Anda di halaman 1dari 2

Wirausahawan Muda

Mulai dari Lingkungan Keluarga

by : Fransiskus Saverius Herdiman

"Suatu bangsa akan maju bila memiliki jumlah entrepreneur (wirausahawan) minimal 2 persen dari
total jumlah penduduk". Pernyataan itu diungkapkan Ir Ciputra pada malam penganugerahan
penghargaan Ernst and Young Entrepreneur of the Year 2007 di Hotel Mulia, Jakarta, (28/11/07). Kala
itu, Ciputra mencontohkan Singapura memiliki wirausahawan sekitar 7,2 persen, dan Amerika Serikat
memiliki 2,14 persen entrepreneur. Bagaimana dengan Indonesia?

Dari 220 juta lebih penduduk, Indonesia hanya memiliki sekitar 400.000 pelaku usaha mandiri, atau
sekitar 0,18 persen wirausahawan dari jumlah penduduknya. Hal ini tentu memrihatinkan. Padahal,
menurut pendiri University of Ciputra Entrepeneurship Center (UCEC) ini, potensi Indonesia
terbilang besar. Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah siap diolah. Indonesia termasuk dalam
ranking 10 besar penghasil tembaga, emas, natural gas, nikel, karet, dan batubara. Dan, masih banyak
lagi keunggulan komparatif yang kita miliki. Karena itu, jika menyedikan stok enterpreneur yang
cukup dan potensial, Indonesia bisa menjadi pemain internasional yang handal.

Peraih penghargaan Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) Ernst and Young Entrepreneur
tahun 2006 Bambang Ismawan mengatakan, wirausahawan muda di Indonesia mulai bangkit. Hal itu
dapat dilihat dari minat dan pelaku wirausaha muda yang semakin bertumbuh. Namun dibandingkan
jumlah penduduk, jumlah entrepreneur muda yang kita miliki memang masih sangat kurang.

"Lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang ingin bekerja sebagai pegawai, sedangkan inisiatif untuk
menciptakan lapangan kerja sendiri masih sangat kecil," ujarnya.

Rendahnya minat dan pertumbuhan wirausahawan muda, kata Bambang, terutama disebabkan oleh
minimnya dorongan lingkungan keluarga sang anak. Orang tua lebih banyak mengharapkan anaknya
bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai kantor. Pasalnya, pekerjaan seperti itu dinilai memiliki
risiko kecil dibandingkan menjadi pengusaha. "Orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan
gaji tetap setiap bulan, daripada harus menunggu keuntungan yang memakan waktu lama," ujar
Bambang.

Harapan orang tua ini didukung pula oleh lesunya sektor kewirausahaan dalam negeri. Sektor ini
dinilai memiliki risiko tinggi, sementara itu kurang menjanjikan penghidupan yang layak. Karena itu,
orang tua petani rela mengeluarkan biaya tinggi untuk menyekolahkan anaknya agar mereka tidak
kembali kepada pertanian. Bambang mencontohkan, tamatan Institut Pertanian Bogor (IPB) lebih
banyak menjadi wartawan atau pegawai, daripada menjadi petani.

Selain pengaruh lingkungan dalam keluarga, kata Bambang, rendahnya minat kaum muda terjun dalam
bidang wirausaha, juga disebabkan oleh arah dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Pendidikan malah tampil sebagai alat untuk menumpulkan semangat berwirausaha. Metode
menghafal, misalnya, membuat anak tidak memiliki daya kreasi dan inovasi, yang sangat dibutuhkan
dalam dunia kewirausahaan. Karena itulah, Bambang mendesak agar pendidikan, terutama pendidikan
tinggi segera dibenahi.

Desakan agar perguruan tinggi melakukan pembenahan - bahkan perubahan paradigma - juga
disuarakan Ciputra. Menurutnya, salah satu penyebab rendahnya jumlah entrepreneur di Indonesia
adalah sistem pendidikan yang hanya fokus pada penciptaan tenaga kerja, bukan menciptakan
enterpreneur-enterpreneur potensial.

"Setiap tahun, lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan pengangguran, karena mereka tidak


didorong untuk menjadi pelaku wirausaha," ujarnya.

Menurut Ciputra, setiap tahun perguruan tinggi Indonesia melahirkan sekitar 750 lebih sarjana yang
menganggur. Karena itu, tantangan perguruan tinggi di Indonesia ke depan, katanya, adalah
melahirkan wirausahawan muda.

Menjawab tantangan itulah Ciputra mendirikan sekolah yang fokus pada upaya mengembangkan
semangat kewirausahawan siswa, seperti Sekolah Ciputra, Sekolah Citra Kasih, Sekolah Citra Berkat,
Sekolah Global Jaya, Sekolah Pembangunan Jaya. Terakhir, ia mendirikan University of Ciputra
Entrepreneurship Center (UCEC). Program yang disiapkan UCEC antara lain mempersiapkan modul
pengayaan kewirausahaan untuk kurikulum nasional, mengembangkan kurikulum kewirausahaan di
Universitas Ciputra, dan mengadakan pelatihan tiga bulan kepada masyarakat.

Selain dukungan keluarga dan perguruan tinggi, pertumbuhan wirausahawan muda juga membutuhkan
peran dunia usaha dan lembaga dunia usaha. Bambang memberi contoh peran pengusaha yang
tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Organisasi ini seharusnya tidak
hanya mendorong lahirnya pengusaha kaya dan bergerak dalam bidang usaha yang membutuhkan
penyertaan modal tinggi, tapi juga harus mendorong munculnya pengusaha kecil yang bergerak dalam
sektor kecil dan mikro (UMKM).

Potensi sektor UMKM, kata Bambang, sesungguhnya sangat menjanjikan. Dari seluruh entitas dunia
usaha yang kita miliki, 95 persen (43 juta) merupakan usaha yang bergerak dalam sektor usaha mikro.
Data ini, kata Bambang, memperlihatkan bahwa Indonesia potensial melahirkan wirausahawan yang
bergerak dalam usaha mikro dan kecil.

Untuk itu, mental kewirausahaan mesti ditumbuhkan dan didorong terus, seperti kreatif, inovatif, dan
berani mengambil risiko sebesar apa pun. Keluarga mesti menjadi lingkungan pertama yang
menumbuhkan mental kewirausahaan anak. Dunia perguruan tinggi juga sudah saatnya diubah menjadi
entrepreneur university. Swasta dan pemerintah harus mendukung terciptanya iklim kondusif bagi
lahirnya wirausahawan muda. Jika iklim itu tersedia, maka wirausahawan muda berprestasi akan terus
bertumbuh.Mungkin seperti cendawan di musim hujan. Very Herdiman

Sumber: http://jurnalnasional.com

Anda mungkin juga menyukai