Anda di halaman 1dari 17

Lab.

Ketrampilan Medik PPD Unsoed Modul SkillabA-JILID I 1

Thianti Sylviningrum
PEMERIKSAAN GLASGOW COMA SCALE (GCS)
DAN PAEDIATRIC COMA SCALE (PCS)
Pada akhir kepaniteraan klinik muda,mahasiswa mampu : 1. Definisi Glasgow Coma Scale dan Paediatric Coma
Scale. 2. Indikasi pemeriksaan GCS dan PCS. 3. Melakukan prosedur pemeriksaan GCS dan PCS dengan baik dan
benar. 4. Menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan GCS dan PCS. 5. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan
GCS dan PCS.
A. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Glasgow Coma Scale
B. TINJAUAN PUSTAKA
Kesadaran adalah
4
pengolahan input tersebut
sehingga menghasilkan
pola-pola output susunan
saraf pusat menentukan
kualitas kesadaran.Input
susunan saraf pusat dapat
dibedakan jadi 2 yaitu : a.
Spesifik : berasal dari
semua lintasan aferen
impuls
protopatik,propioseptif,da
n perasaan panca
indera.Lintasan ini
menghubungkan satu titik
pada tubuh dengan suatu
titik pada kortek perseptif
primer. b. Non spesifik :
merupakan sebagian dari
impuls aferen spesifik
yang disalurkan melalui
aferen non
spesifik,menghantarkan
setiap impuls dari titik
manapun dalam tubuh ke
titik-titik pada seluruh
kedua kortek serebri.
Tingkat kesadaran sangat
penting pada pasien
cedera kepala.Glasgow
coma Scale sudah
digunakan secara luas
untuk menentukan
tingkat kesadaran
penderita.Glasgow Coma
Scale meliputi : 1. Eye /
Mata Spontan membuka
mata
Membuka mata dengan
3
perintah(suara)
Membuka mata dengan
2
rangsang nyeri
Tidak membuka mata
1

dengan rangsang apapun

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam
2.1.1. Definisi
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts Epilepsy (Commision on
Epidemiology and Prognosis, 1993) adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari
38,4oC tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di
atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009).
2.1.2. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam
setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan
imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan caira dan elektrolit (Dewanto
dkk,2009) .
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam dalam keluarga; (2) usia
kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang; dan (4) lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari
adalah (1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat
epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)
2.1.3. Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah
infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan
infeksi saluran kemih ( Soetomenggolo,2000).
Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Klasifikasi
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk penggolongan tersebut
dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan
tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004).
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam sederhana,
kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang
( Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit,
fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam). Kejang demam sederhana ialah
kejang demam yang bukan kompleks. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul
pada lebih dari satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu
kali (Soetomenggolo, 2000).
2.1.5. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang
seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak
Universitas Sumatera Utara

dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan
inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya
aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas
adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang
lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron
otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).
2.1.6. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang
berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis
yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
Universitas Sumatera Utara

lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan
pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh
(dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik
sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang
menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik
yang memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).
2.1.7. Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang
demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang,
frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit
tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C.
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat
kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau
saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang
demam akomlpeks (Dewanto dkk,2009).
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39C.
- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
Universitas Sumatera Utara

- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh
anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009).
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada
kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan
EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi,
kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang
mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan
gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya
epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
2.1.8. Diagnosa Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal.
Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan
dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar
dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium,
menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam (Soetomenggolo, 2000).
2.1.9. Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat
dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila
Universitas Sumatera Utara

muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan
lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan
vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi
diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama
pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan
pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).
3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan pengalaman yang
menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan
mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat).
Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:
- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.
- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi kejang.
Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau
pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat
diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Universitas Sumatera Utara

Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat
digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan
suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk,
dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).
Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16 mgug/ml dalam darh
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang
dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih
baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik.
Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat
mencegah terjandinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai untuk
pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada keadaan berikut:
1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy, retardasi mental,
mikrosefali).
2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sepintas atau menetap.
3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa panik dan lakukanlah
langkah-langkah pertolongan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara

1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping


2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak
3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini diperlukan untuk
membantu menurunkan suhu badanya.
4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari.
5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar dapat ditangani lebih
lanjut (Widjaja, 2001).
2.2. Tinjauan Tentang Perilaku
2.2.1. Konsep Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang
bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah suatu aktifitas daripada manusia itu
sendiri, yang mempunyai bentangan yang luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian,
dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi
juga merupakan perilaku manusia. Atau dapat juga dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang
dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor
genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan
lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup, termasuk perilaku manusia
(Notoatmodjo, 2003).
Saparinah Sadli (1982) dalam Notoatmodjo (2003) menggambarkan hubungan individu dengan
lingkungan sosial yang saling mempengaruhi, yakni:
Perilaku kesehatan individu, sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya dengan lingkungan.
Lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan terbatas, tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat sehubungan dengan
kesehatan.
Lingkungan umum, kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan, undang-undang
kesehatan, program-program kesehatan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Kosa dan Robertson menyatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh
kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan, dan kurang
mendasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya demikian, setiap individu
mempunyai cara yang berbeda didalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan,
meskipun gangguan kesehatannya sama ( Notoatmodjo, 2003).
Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin
Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam 3 domain
(ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan
tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam suatu
tujuan pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang
terdiri dari : a) ranah kognitif (cognitif domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah
psikomotor (psychomotor domain) (Notoatmodjo, 2003).
Dalam kepentingan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil
pendidikan, ketiga domain ini diukur dari : (Notoatmodjo, 2003)
a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)
b. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude)
c. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan
yang diberikan (practice).
Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan


Perilaku dalam bentuk pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal sesuatu.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003).
Hasil penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut menjadi proses yang
berurutan yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
b. Interest, dimana orang merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek
sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal
ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: (Notoatmodjo,
2003)
1. Tahu (Know)
2. Memahami (Comprehension)
3. Aplikasi (Application)
4. Analisis (Analysis)
Universitas Sumatera Utara

5. Sintesis (Synthesis)
6. Evaluasi (Evaluation)
2.2.3. Perilaku dalam Bentuk Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Adapula yang melihat sikap sebagai kesiapan saraf sebelum memberikan respon
(Notoatmodjo, 2003).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan atau
perilaku (Notoatmodjo, 2003).
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen
pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan dimana saling berunut,
yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
1. Menerima (Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah
suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (Valuing)

Universitas Sumatera Utara

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan
sikap yang paling tinggi.
Sikap yang sudah positif terhadap suatu objek, tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata, hal ini
disebabkan oleh: (Notoatmodjo, 2003)
a. Sikap, untuk terwujud didalam suatu tindakan bergantung pada situasi pada saat itu.
b. Sikap akan diikuti atau tidak pada suatu tindakan mengacu pula pada banyak atau sedikitnya
pengalaman seseorang.
Pengukuran terhadap sikap ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek dan secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat hipotesis, kemudian
dikenakan pendapat responden ( Notoatmodjo, 2003).
2.2.4. Perilaku dalam Bentuk Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya
sikap untuk menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor
pendukung (support) dari pihak lain, misalnya orang tua, mertua, suami atau istri (Notoatmodjo,
2003).
Tingkat-tingkat praktek: (Notoatmodjo, 2003)
Persepsi (perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah
merupakan praktek tingkat pertama.
Universitas Sumatera Utara

Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
Respon terpimpin (guided respon)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan
indikator praktek tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari
cara mencuci dan memotong-motongnya, lama memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu
sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu
yang sudah mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau
ajakan orang lain.
Adaptasi (adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan
itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, seorang ibu dapat
memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan
sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran
juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobsevasi tindakan atau kegiatan responden.
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai