Anda di halaman 1dari 3

Ibadah Imam Ali bin Abi Thalib (sa)

Imam Ali (sa) adalah ahli ibadah yang paling tinggi derajatnya di zamannya, baik dari segi kuantitas
ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap
Allah swt.

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan
pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada
siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah
ibadah orang-orang yang bebas.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14)

Imam Ali (sa) juga berkata : “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus
terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14)

Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dan berkata : “Apakah engkau melihat Allah
sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan
yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata
kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.”
(Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 16)

Qusyairi menulis : “Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berubah
dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, “Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?” Beliau berkata,
“Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya
menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini
atau tidak?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17)

Imam Ali Zainal Abidin (sa) membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau
menaruh buku itu di atas meja dan berkata : “Siapakah yang mampu beribadah seperti Ali?” (Bihârul
Anwâr, jld 41, hlm 17)

Ibn abbas mengatakan: “Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada
para sahabat, “Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang melaksanakan shalat
dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak
memikirkan urusan duniawi.” Dalam hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian
Rasulullah menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 18)

Habbah Arani berkata : “Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami
menyaksikan Imam Ali (sa) seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan gelisah. Ia meletakkan
tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
seterusnya dengan diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, “Wahai
Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?” Aku menjawab, “Aku terjaga. Kalau Anda berbuat demikian,
lalu apa yang harus kami lakukan?” Imam Ali mulai menangis dan berkata : “ Wahai Habbah! Allah lebih
dekat kepada kita daripada urat leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah.”

Kemudian, beliau berkata kepada Nauf : “Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut kepada
Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang menangis karena takut kepada
Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai
kedudukannya. Wahai Nauf! Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan
kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya di jalan Allah maka
kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi. Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya
menjadi sempurna.”

Kemudian beliau menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata: “Takutlah kepada
Allah!” Kemudian ia bergerak dan berkata, “Ya Allah! Aku tidak tahu apakah Engkau berpaling dariku
atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu, dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur
ini, bagaimana keadaannku!”

Habbah berkata: “Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar.” (Bihârul Anwâr, jld
41, hlm 22)

Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang
tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Wahai Dunia! Menjauhlah
dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku! Aku tidak
memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara
harapanku terhadapmu sedikit.”
Muawiyah kepada Dhirar bin Dhamrah berkata: “Sifatilah Ali untukku!” Dhirar berkata, “Aku
menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, “Oh, betapa sedikitnya bekal, jauhnya
perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan.” (Bihârul Anwâr, jld 40, hlm 340)

http://shalatdoa.blogspot.com/2010/03/ibadah-imam-ali-bin-abi-thalib-sa.html

Anda mungkin juga menyukai