Anda di halaman 1dari 10

Melihat Rabb dengan 

hati
8 Januari 2013 oleh mutiarazuhud

Melihat Rabb dengan hati

Allah ta’ala dekat di hati, jauh di mata

Firman Allah ta’ala yang artinya

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah)


bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50]:16 )

“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )

“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah
[56]: 85 )

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)

Dalam hadis qudsi-Nya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati
orang beriman yang sanggup menerimanya.”

Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di
dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu
ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada
lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan
jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”

Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nikmat Allah yakni nikmat cahayaNya atau
nikmat ilmuNya

Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati,
hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari
nikmat-nikmat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya tanpa batas.

Muslim yang dikaruniakan nikmat Allah adalah muslim yang dekat dengan Allah yakni minimal
muslim yang sholeh

Firman Allah ta’ala yang artinya,


”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun
dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)


akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat
kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)

Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih
maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim
yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah

Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh
para Nabi dan Syuhada

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah
(manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka
dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu
wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan
anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-
wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya.
Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila
para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan
termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla
menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“.
Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun
mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan
demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan
manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)

Kesholehan timbul bagi mereka yang selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka
yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), sehingga setiap mereka akan
bersikap atau berbuat maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya ,
menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.

Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah
bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut
(khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak
melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Jadi jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia
tidak akan membiarkan sampah bukan pada tempatnya karena muslim tersebut memandang
Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla

Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia
bekerja dengan tekun, profesional, menghargai waktu dalam menepati janji, tidak bermalas-
malasan, tidak bermewah-mewahan atau tidak boros dan tidak melakukan hal buruk lainnya
karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu
yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla

Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia
seorang pelajar atau mahasiswa maka dia tidak akan melakukan perkelahian atau tawuran antar
siswa atau antar mahasiswa karena mereka memandang Allah dengan hatinya atau karena
mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.

Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia
seorang pejabat maka dia akan melaksanakan jabatannya dengan amanah, jujur, adil, profesional
dan tidak akan melakukan korupsi karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya
atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.

Kehidupan Islami terbentuk karena kaum muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-
ihsan-kan dirinya sehingga jika bersikap dan melakukan perbuatan maka akan bersikap dan
melakukan perbuatan yang dicintaiNya karena kaum muslim memandang Allah dengan hatinya
atau karena kaum muslim selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati,
yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati
tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang
membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)“

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang
kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu
ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya
sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga
tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan,
keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan.
Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan
bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang
memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang
Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang
mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal
maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain
Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka
hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama
yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala
hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian
di RumahNya”.

Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya ketika di dunia

Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat
yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi
merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari
memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam
mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada
hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah.
Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar.
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada” (QS Al Hajj [22]:46 )

“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah
dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)

Untuk dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki akhlak,
membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela
(TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang
selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).

Ketika seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira
menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan Ar
Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai
makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.

Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam
shalat”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri
dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau:
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan
ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab:
“afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak
bersyukur?”
Oleh karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” .
Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka tidak perlu
lagi menjalankan perkara syariat.

Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi
keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia
melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian
kewajiban syari’at”

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra.
“Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang
yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan
agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya
engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita,
melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur
(Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang
kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan
ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam
setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa
kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan,
berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun
duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam
Nawawi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau


menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf,
dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar
ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani
syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa.
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-
Syafi'i, hal. 47]

Mereka yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah
diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra dalam nasehat beliau di atas adalah mereka yang merasakan
“kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan

Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu
adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang
terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti
bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang
khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya
mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).

Syaikh Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa para Wali Allah ketika mereka berdzikir dan
yang utama adalah ketika mereka sholat maka mereka melintasi alam secara cepat  dari alam
nasut (alam mulk), alam malakut, alam jabarut, alam lasut sehingga mereka mengetahui apa yang
dimakasud ‘Arsy , Kursi, Sidratul Muntaha.

Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat
haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah.
Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan
ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).

Rasulullah bersabda “Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-
badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini“

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji
(mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)

Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali
dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan
menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.

Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu
Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-
Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya
“matilah sebelum mati”

Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh
(ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak
terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita
mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.

Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil.
Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang
terjadi pada Qobil.

Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu alaihi
wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat,
terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set.
Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah
menjadi pribadi lain.

Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan hidup
dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan
senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai
juru dakwah kepada penduduk Madinah.

Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan
kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia
mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.

Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing
dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali
harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia
terperosok ke dalam kubangan kebatilan.

Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan,
tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun
lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.

Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan
potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu
upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.

Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan
pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah
pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan
suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia
termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan
kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan
merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian
manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya.

Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan
bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan
kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir
seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi
ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan
untuk menafikan amal lahiriah.

Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan
batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja
tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya.
Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa ,
kepada tuntunan dan ajaran-Nya.

Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia
memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah
adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan
dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan
bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.

“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka
ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam

Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan
globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan.
Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.

Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara
sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al
khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal
antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan
zaman.

Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak
pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.

Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan
manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa
manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar
sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam

“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka
merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis
dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini,
merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.

“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana
mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).

Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa
dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah
tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.

Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan
menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-
Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih
panggilan kasih sayang –Nya.

“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al
Fajr [89] : 27-30)

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai