Anda di halaman 1dari 5

RAHMAT ALLAH MENDAHULUI

MURKANYA
17 July 2018 Redaksi Akhlaq 2 comments

Pembaca Buletin At Tauhid yang semoga dirahmati oleh Allah. Terdapat


sebuah hadits dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tatkala Allah
menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu
terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih
mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751)

Di dalam Fathul Bari, hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat


Allah ta’ala lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu
disebabkan rahmat Allah ta’ala adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya
(sifat dzatiyyah) dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun.
Dengan kata lain, walaupun tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari
makhluk-Nya, pada asalnya Allah ta’ala tetap sayang kepada makhluk-Nya.
Dia menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan,
ketika penyusuan, sampai dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk
Allah ta’ala. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari
makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah ta’ala sudah tentu mendahului
murka-Nya.

Luasnya Rahmat Allah

Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang
diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat
yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah menjadikan rahmat
(kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan di sisi-Nya 99 bagian dan
Dia menurunkan satu bagiannya ke bumi. Dari satu bagian inilah seluruh
makhluk berkasih sayang sesamanya, sampai-sampai seekor kuda
mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya.” (HR. Bukhari no.
5541 dan Muslim no. 2752)

Dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan:


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan
perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang
mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara
tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan
menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada
kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke
dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara
dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih
sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR.
Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda, “Kalau seandainya seorang mukmin mengetahui segala
bentuk hukuman yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun
yang masih berhasrat untuk mendapatkan surga-Nya. Dan kalau seandainya
seorang kafir mengetahui segala bentuk rahmat yang ada di sisi Allah niscaya
tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk meraih surga-
Nya.” (HR. Bukhari no. 6469 dan Muslim no. 2755)

Jangan Berputus Asa dari Rahmat Allah

Setelah mengetahui betapa luasnya rahmat Allah ta’ala, maka seharusnya


kita lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan sampai berputus
asa darinya. Sikap putus asa dari rahmat Allah inilah yang Allah sifatkan
kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat. Allah berfirman,
“Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan
benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa’.
Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya,
kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS. Al Hijr: 55-56)

Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carlah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum
yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilaly hafidzahullah memberikan faidah untuk ayat di atas, “Oleh sebab itu,
berputus asa dari rahmat Allah ta’ala merupakan sifat orang-orang sesat dan
pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena
mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang
jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama
dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”

Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara
dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar
beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan
merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, hasan)

Ampunan Allah Termasuk Rahmat-Nya

Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah
adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan
kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat.
Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Az Zumar: 53)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini berisi


seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya
untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah
akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-
dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagaikan buih di lautan.”

Kemudian beliau menambahkan, “Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah


mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang mau
bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun
begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah
begitu luas.”

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi


wasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman, “…Hai anak Adam, sungguh
seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh
bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh
Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR.
Tirmidzi, hasan)

Jangan Kau Undang Murka Allah dan Merasa Aman Darinya

Banyak manusia yang terlena karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah
terhadapnya, sehingga menjadikan dia merasa aman dari datangnya murka
Allah disebabkan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemurkaan Allah
bisa datang berupa adzab dan siksa baik di dunia maupun di akhirat.
Allah ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka aman dari adzab Allah (yang
tidak terduga-duga datangnya)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99). Ayat tersebut
menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang musyrik adalah mereka
merasa aman dari siksa Allah dan tidak merasa takut dari siksa-Nya.

Maka hakikat adzab (makar) Allah ta’ala ialah Allah memberikan kelonggaran


kepada seorang hamba yang senantiasa berbuat dosa dan maksiat dengan
memudahkan urusannya (dalam bermaksiat) sehingga di benar-benar merasa
aman dari murka dan siksa-Nya. Dan hal inilah yang dinamakan “istidraj”.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan


kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang
dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” Kemudian
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan firman Allah, “Maka
ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam
dan berputus asa.” [QS. Al An’am: 44] (HR. Ahmad, shahih)

Miliki Rasa Harap (raja’) dan Takut (khauf)

Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk memiliki rasa harap (raja’) dan
takut (khauf) dalam dirinya. Yaitu senantiasa berharap atas rahmat Allah dan
tidak berputus asa darinya, dan senantiasa takut akan datangnya adzab dan
siksa Allah ta’ala. Bagaimana selayaknya menyeimbangkan antara kadar
harap (raja’) dan takut (khauf) pada diri seseorang? Berikut uraian singkat
mengenai masalah tersebut. —  dinukil dari Buku Mutiara Faidah Kitab
Tauhid —

1.
1. Jika seseorang berada dalam keadaan sehat, lapang, dan rajin dalam
beramal shalih, maka semestinya kadar keduanya (harap dan takut) dijaga
kesimbangannya. Allah berfirman, “Maka Kami memperkenankan doanya,
dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat
mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan
mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka
adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)
2. Jika dalam keadaan sehat dan lapang, namun selalu berbuat maksiat
kepada Allah, maka semestinya kadar takutnya lebih ditinggikan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan
kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat
yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” (HR. Ahmad)

 Jika dalam keadaan menghadapi kematian (dalam keadaan kesulitan), maka


semestinya kadar harapnya lebih ditinggikan. Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
berprasangka baik kepada Allah ‘azaa wa jalla.” (HR. Muslim). Wallaahu
a’lam.

Anda mungkin juga menyukai