MURKANYA
17 July 2018 Redaksi Akhlaq 2 comments
Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang
diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat
yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah ta’ala.
Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carlah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum
yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilaly hafidzahullah memberikan faidah untuk ayat di atas, “Oleh sebab itu,
berputus asa dari rahmat Allah ta’ala merupakan sifat orang-orang sesat dan
pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena
mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang
jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama
dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”
Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara
dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar
beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan
merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, hasan)
Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah
adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan
kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat.
Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Az Zumar: 53)
Banyak manusia yang terlena karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah
terhadapnya, sehingga menjadikan dia merasa aman dari datangnya murka
Allah disebabkan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemurkaan Allah
bisa datang berupa adzab dan siksa baik di dunia maupun di akhirat.
Allah ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka aman dari adzab Allah (yang
tidak terduga-duga datangnya)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99). Ayat tersebut
menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang musyrik adalah mereka
merasa aman dari siksa Allah dan tidak merasa takut dari siksa-Nya.
Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk memiliki rasa harap (raja’) dan
takut (khauf) dalam dirinya. Yaitu senantiasa berharap atas rahmat Allah dan
tidak berputus asa darinya, dan senantiasa takut akan datangnya adzab dan
siksa Allah ta’ala. Bagaimana selayaknya menyeimbangkan antara kadar
harap (raja’) dan takut (khauf) pada diri seseorang? Berikut uraian singkat
mengenai masalah tersebut. — dinukil dari Buku Mutiara Faidah Kitab
Tauhid —
1.
1. Jika seseorang berada dalam keadaan sehat, lapang, dan rajin dalam
beramal shalih, maka semestinya kadar keduanya (harap dan takut) dijaga
kesimbangannya. Allah berfirman, “Maka Kami memperkenankan doanya,
dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat
mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan
mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka
adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)
2. Jika dalam keadaan sehat dan lapang, namun selalu berbuat maksiat
kepada Allah, maka semestinya kadar takutnya lebih ditinggikan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan
kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat
yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” (HR. Ahmad)