Anda di halaman 1dari 14

KEWAJIBAN ORANG SAKIT MENURUT

AGAMA ISLAM

KELOMPOK 3
A.ZIKRI AL-AIDI
APELLA PUTRI RULEF
KEWAJIBAN ORANG SAKIT MENURUT
AGAMA ISLAM
1. Orang yang sakit memiliki kewajiban untuk senantiasa ridha
terhadap qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersabar atas
taqdir-Nya serta berbaik sangka kepada Rabbnya. Itu yang
lebih baik baginya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:


“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, semua
urusannya adalah baik dan tidaklah yang demikian itu ada
kecuali pada seorang mukmin. Yaitu jika ia mendapatkan
kelapangan ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya.
Dan jika mendapat kesempitan ia bersikap sabar, itu pun
menjadi kebaikan baginya.”
2. Seyogyanya orang yang sedang sakit memiliki perasaan
antara rasa takut dan harap, yaitu takut akan siksa Allah
‘Azza wa Jalla atas dosa-dosanya dan berharap akan rahmat
Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya.
Sikap ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik
Radhiyallahu’anhu yang mengatakan:
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam datang kepada
seorang pemuda yang hendak meninggal, maka beliau
berkata: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu
menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya
sangat berharap kepada (rahmat) Allah dan saya sangat
takut akan (siksa Allah) atas dosa-dosa saya.”
Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berkata:
“Tidaklah dua perkara tersebut ada pada hati seorang
hamba yang dalam kadaan seperti ini, kecuali Allah akan
memberikan apa yang diharapkannya dan akan Allah
amankan ia dari apa yang ditakutkannya.”
3. Seberat apapun sakit yang diderita, tidak boleh baginya untuk
berangan-angan ingin mati.

Hal ini karena ada hadits Ummul Fadhl Radhiyallahu’anha,


bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah datang
kepada mereka tatkala ‘Abbas Radhiyallahu’anhu (paman
Rasulullah) menderita sakit, hingga ‘Abbas berangan-angan
ingin mati. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berkata:
Wahai pamanku, janganlah engkau berangan-angan ingin
mati, karena sesungguhnya jika engkau termasuk orang
yang suka beramal baik, apabila ditangguhkan ajalmu lalu
engkau bisa menambah kebaikan lagi kepada kebaikanmu,
itu akan lebih baik bagimu. (Sebaliknya), jika engkau
termasuk orang yang suka beramal buruk, apabila
ditangguhkan ajalmu lalu engkau merasa bersalah atas
amal-amal burukmu (menyesal), itu juga lebih baik bagimu.
Maka janganlah berangan-angan ingin mati.”
4. Jika ia masih memiliki tanggungan atas hak-hak orang lain,
hendaklah ia tunaikan kepada yang berhak apabila hal itu
mudah baginya. Jika tidak mudah, hendaklah ia berwasiat
(kepada keluarganya).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang meninggal dan masih punya tanggungan
hutang, maka disana tidak ada dinar tidak pula dirham, tetapi
yang ada adalah amalan-amalan baik atau amalan-amalan
buruk.”
Diriwayatkan juga oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Kabir
dengan lafadz:
“Hutang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati
sedangkan ia berniat untuk melunasi hutangnya maka aku
yang menjadi walinya. Barang siapa mati sedangkan ia tidak
berniat untuk melunasinya maka itulah orang yang diambil
amalan baiknya, tidak ada pada hari itu dinar tidak pula
dirham.”
5. Seharusnya (orang yang sakit) bersegera untuk membuat
wasiat

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam :


“Tidaklah pantas bagi seorang muslim melewati malam-
malamnya sementara dirinya ingin mewasiatkan sesuatu
kecuali wasiat tersebut telah tertulis di sisinya.”

Ibnu Umar berkata :


“Tidaklah aku melewati malam-malamku sejak aku
mendengar sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam tersebut
kecuali tertulis wasiat di sisiku.”
6. Wajib baginya untuk memberikan wasiat kepada
sanak kerabatnya yang tidak menerima warisan
darinya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:


“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian,
jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah:
180)
7. Boleh baginya untuk berwasiat dengan sepertiga hartanya, tidak
boleh lebih. Bahkan yang afdhal (lebih utama) kurang dari sepertiga.
karena adanya hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu’anhu,
ia mengatakan:
“Ketika aku bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pada
waktu haji wada’, aku jatuh sakit yang mendekati kematian. Maka
Rasulullah mejengukku. Lalu kukatakan kepada beliau: “Ya
Rasulullah, saya memiliki harta yang sangat banyak, tetapi tidak ada
yang mewarisi kecuali anak perempuan saya. Apa boleh saya
berwasiat dengan dua pertiga harta saya?” Beliau menJawab: “Tidak
boleh.” Kata Sa’ad: Aku berkata lagi: “Kalau separoh hartaku?” Beliau
menjawab: “Tidak boleh”. Kukatakan lagi: “Kalau sepertiga hartaku?”
Kata beliau: “Ya sepertiga, itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau
wahai Sa’ad, kau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan
itu lebih baik bagimu daripada kau meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin minta-minta kepada manusia (dengan tangannya).
Wahai Sa’ad, tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah dalam
rangka mencari wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala.
Sampai-sampai suapan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
8.Ketika berwasiat, hendaknya dipersaksikan oleh dua orang muslim
yang adil. Jika tidak ada maka dua orang yang bukan muslim,
dengan terlebih dahulu diminta untuk bersumpah, jika dia ragu atas
persaksian mereka berdua.
Sebagaimana penjelasan dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu
tahan kedua saksi itu sesudah shalat, lalu mereka keduanya
bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu. ‘(Demi Allah)
kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit
(untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah.Sesungguhnya kami
kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa. (QS.
Al-Maidah: 106)
9. Tidak boleh berwasiat agar hartanya diberikan kepada
kedua orang tua dan sanak kerabat yang berhak
menerima warisan dari orang yang meninggalkan
warisan itu.

Karena hal ini sudah dimasukan dengan ayat


tentang warisan. Dan telah dijelaskan pula oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan
penjelasan yang paling sempurna, ketika beliau
berkhutbah pada haji Wada’. Kata beliau:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap yang punya hak (warisan), dan tidak ada wasiat
bagi ahli waris.”
10. Diharamkan membuat wasiat yang mendatangkan mudharat
(kerugian) bagi orang lain, seperti berwasiat agar sebagian ahli
waris jangan diberikan hak warisnya atau berwasiat agar
melebihkan sebagian ahli waris atas sebagian yang lain.
Hal ini disebabkan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(An-Nisaa’: 7)
Di akhir ayat waris ini disebutkan:
“Sesudah ditunaikan wasiat yang dipesan olehnya atau dibayar
hutangnya dengan tidak menimbulkan mudharat (kerugian
kepada ahli waris). Semua itu sebagai wasiat dari Allah. Allah
adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Lembut.” (An-
Nisaa’: 12)
11. Wasiat yang lalim (tidak adil) hukumnya batil
lagi tertolak.

karena adanya sabda Rasulullah


Shallallahu’alaihi wa Sallam:
“Barang siapa yang mengada-adakan
perkara baru dalam (agama) kami ini yang tidak
ada asal darinya, maka ia tertolak.”
12. Karena pada umumnya yang terjadi dikalangan manusia saat ini
adalah membuat aturan dalam agama mereka (baca : bid’ah),
terutama terkait (tata cara) mengurus jenazah, maka sudah
menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk berwasiat,
agar jenazahnya diurus dan dikafani sesuai dengan sunnah nabi.

Sebagai realisasi firman Allah ta’ala:


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu,penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”(Qs. At-Tahrim :6)

Oleh karena itu banyak diantara kalangan sahabat Rasulullah


shallallahu’alaiihi wasallam berwasiat akan hal ini.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai