1.
PENDAHULUAN
Pola makan masyarakat modern yang
sering mengonsumsi makanan cepat saji,
penambahan bahan pengawet dan bumbu penyedap,
serta konsumsi sayur buah yang rendah
mengindikasikan asupan kalium rendah dan
natrium tinggi. Pola makan tersebut telah
dihubungkan dengan berkembangnya berbagai
penyakit metabolik seperti hipertensi, diabetes
mellitus,
osteoporosis,
serta
penyakit
kardiovaskuler (PKV).1,2
Analisis data National Health and
Nutrition
Examination
Survey
(NHNES)
memperlihatkan nilai rasio asupan natrium/ kalium
(Na/K) orang dewasa >0,83.3 Dietary Guildline di
Amerika Serikat terbaru merekomendasikan asupan
natrium sekitar 1500-2300 mg/ hari dan asupan
kalium sampai 4700 mg/ hari, sehingga rasio
asupan Na/K idealnya antara 0,32-0,49. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut
adalah dengan memperbanyak konsumsi sayur dan
buah yang umumnya tinggi kalium dan rendah
natrium. 3,4
Berbagai penelitian membuktikan asupan
bahan makanan tinggi kalium dan rendah natrium
dapat menurunkan tekanan darah.5-8 Salah satu
contoh minuman khas daerah tropis yang tinggi
kalium adalah air kelapa muda. Air kelapa muda
merupakan minuman isotonis yang mengandung
hampir semua mineral, dengan kandungan
terbanyak adalah kalium. Berbeda dengan minuman
isotonis yang kandungan natriumnya lebih tinggi
daripada kalium, kandungan kalium dalam air
kelapa jauh lebih besar daripada kandungan
natriumnya. Air kelapa umur 6-8 bulan mempunyai
kandungan kadar kalium tertinggi dan kadar
natrium terendah.9,10
Penelitian tentang air kelapa muda
kaitannya dengan kesehatan belum banyak diteliti.
Penelitian Arsa pada berbagai varietas dan umur
buah kelapa memperlihatkan dengan bertambahnya
umur buah kelapa maka kandungan kalium
berkurang dan natrium bertambah.10 Penelitian
Alleyne dkk yang memberikan air kelapa muda,
baik tersendiri maupun kombinasi dengan mauby
sebanyak 300 ml dua kali per hari selama 2 minggu
pada subyek hipertensi, menunjukkan penurunan
signifikan TDS dan TDD.11 Penelitian ini bertujuan
menganalisis kandungan natrium dan kalium dalam
air kelapa muda serta melihat potensi air kelapa
muda
sebagai
minuman kesehatan yaitu
pengaruhnya terhadap tekanan darah
1. METODE PENELITIAN
Bahan penelitian
Pemilihan dan penentuan air kelapa muda
segar yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan melalui serangkaian kegiatan. Pertamatama dilakukan wawancara terhadap beberapa agen
atau penjual besar degan/ kelapa muda di sekitar
wilayah tempat tinggal subyek. Kepada agen pejual
140
141
Variabel
TDS (mm Hg)
H0
H+15
Perubahan
TDD (mm Hg)
H0
H+15
Perubahan
126.756.27
125.387.55
- 1,371,99
0.436*
0.142*
0,031*
80.204.35
78.524.78
- 1,67 1,98
79.503.98
78.814.09
- 0,691,54
0.643*
0.862*
0,134*
4. KESIMPULAN
Air kelapa muda segar merupakan bahan makanan
dengan kandungan kalium tinggi serta memiliki
rasio Na/ K yang rendah. Air kelapa muda 300 ml
dua kali per hari selama 14 hari berturut-turut
mempunyai potensi untuk menurunkan TDS. Perlu
penelitian lanjutan untuk melihat potensi lain dari
air kelapa muda terhadap kesehatan seperti pada
osteoporosis, DM, serta PKV.
5.
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
DAFTAR REFERENSI
143
1. PENDAHULUAN
Bakpia adalah makanan khas kota Yogyakarta
yang dibuat dari campuran kacang hijau sebagai
isinya yang dibalut dengan kulit dari tepung terigu
yang dicetak bulat dan dipanggang [1] . Kebutuhan
terigu pada industri bakpia di Yogyakarta rata-rata
50 ton/hari [2]. Ketergantungan bangsa kita
terhadap komoditas tepung terigu impor sangat
tinggi, hal ini merupakan masalah yang perlu segera
dicarikan solusi. Upaya untuk meningkatkan
ketahanan pangan adalah masalah kita bersama.
144
145
14
5.0
5.0
4.0
5.0
5.0
15
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
16
3.0
2.0
3.0
3.0
3.0
17
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
18
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
19
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
20
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
Warna
Tekstur
Aroma
Rasa
Keselu
ruhan
4.0
2.0
4.0
4.0
3.0
3.0
2.0
4.0
3.0
2.0
Panelis
Didiamkan jam
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
2.0
2.0
2.0
Dipanggang
4.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
3.0
3.0
3.0
3.5
2.0
2.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
3.0
3.0
3.0
4.0
3.0
3.0
10
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
11
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
12
2.0
2.0
2.0
2.0
2.0
13
4.0
2.0
4.0
3.0
2.0
14
3.0
3.0
4.0
3.0
3.0
15
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
16
3.0
2.0
3.0
4.0
3.0
17
3.0
3.0
4.0
4.0
3.0
18
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
19
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
20
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
Dikemas
Gambar 1. Diagram alir pembuatan bakpia
3.
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
3.0
2.0
3.0
3.0
2.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
2.0
2.0
2.0
2.0
5.0
4.0
4.0
4.0
4.0
Panelis
5.0
3.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
3.0
4.0
10
4.0
4.0
11
5.0
12
3.0
13
4.0
Tekstur
Aroma
Rasa
Keselu
ruhan
4.0
2.0
4.0
4.0
3.0
4.0
3.0
2.0
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
4.0
4.0
3.0
3.0
4.0
2.0
2.0
2.0
2.0
4.0
4.0
4.0
3.0
3.0
2.0
3.0
3.0
5.0
5.0
4.0
5.0
3.0
3.0
2.0
3.0
3.0
2.0
2.0
3.0
2.0
2.0
3.0
2.0
2.0
2.0
2.0
4.0
3.0
3.0
2.0
2.0
2.0
2.0
2.0
146
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
5.0
4.0
4.0
10
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
2.0
2.0
2.0
1.0
2.0
11
4.0
4.0
4.0
5.0
5.0
3.0
3.0
3.0
2.0
3.0
12
2.0
4.0
3.0
2.0
2.0
4.0
4.0
4.0
5.0
5.0
13
4.0
2.0
4.0
3.0
2.0
10
4.0
5.0
5.0
4.0
4.0
14
3.0
3.0
4.0
3.0
3.0
11
4.0
5.0
4.0
4.0
4.0
15
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
12
4.0
4.0
2.0
3.0
3.0
16
4.0
2.0
4.0
3.0
4.0
13
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
17
2.0
3.0
3.0
4.0
3.0
14
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
18
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
15
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
19
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
16
3.0
2.0
3.0
3.0
3.0
20
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
17
2.0
3.0
3.0
4.0
3.0
18
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
19
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
20
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
Tekstur
Aroma
Rasa
Keselu
ruhan
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
5.0
4.0
4.0
4.0
4.0
2.0
2.0
4.0
2.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
5.0
5.0
5.0
5.0
2.0
3.0
3.0
3.0
3.0
4.0
4.0
3.0
4.0
4.0
Panelis
5.0
5.0
4.0
4.0
5.0
10
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
11
5.0
5.0
4.0
5.0
5.0
12
4.0
4.0
3.0
4.0
4.0
13
4.0
4.0
4.0
3.0
4.0
14
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
15
4.0
4.0
3.0
3.0
3.0
16
3.0
2.0
3.0
2.0
2.0
17
3.0
4.0
3.0
4.0
4.0
18
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
19
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
20
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
3.0
4.0
3.0
4.0
4.0
3.0
3.0
4.0
2.0
2.0
4.0
2.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
nyata
147
nyata
nyata
nyata
Aroma
merupakan salah satu faktor
penentu kualitas produk makanan [10]. Dalam
industri pangan pengujian aroma atau bau dianggap
penting karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk tentang diterima
atau tidaknya produk tersebut. Timbulnya aroma
atau bau ini karena zat bau tersebut bersifat volatil
(menguap), sedikit larut dalam air dan lemak. Hasil
uji organoleptik terhadap tekstur kulit bakpia secara
statistik menunjukkan tidak beda nyata antara
aroma bakpia dengan berbagai perlakuan. Penilaian
panelis terhadap aroma bakpia memiliki rata-rata
peringkat berkisar antara 46,75-53,58. Perlakuan
pembuatan kulit bakpia pada kontrol (100% terigu)
memiliki nilai rata-rata peringkat tertinggi, yaitu
53,58 sedangkan nilai rata-rata peringkat terendah
pada perlakuan substitusi tepung cassava 50%,
yaitu 46,75 (Tabel 1).
(Ho)
Jika Ho > 0,05, maka tidak beda nyata
Jika Ho < 0,05, maka beda nyata
Warna
Warna memegang peranan penting dalam
produk makanan, karena jika warna suatu makanan
tidak menarik, meskipun kandungan gizinya
lengkap akan mengurangi penerimaan konsumen
terhadap produk [6].
Hasil uji organoleptik terhadap warna
bakpia secara statistik menunjukkan tidak berbeda
nyata antara warna bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis terhadap warna bakpia
rata-rata
peringkatnya
antara
41,58-60,20.
Perlakuan pembuatan kulit bakpia pada kontrol
(100% terigu) memiliki nilai rata-rata peringkat
tertinggi, yaitu 60,20 diikuti dengan perlakuan
substitusi Mocaf 25%, yaitu 57,70 sedangkan
nilai rata-rata peringkat terendah pada perlakuan
substitusi tepung cassava 50%, yaitu 41,58 (Tabel
1). Hal ini sesuai dengan yang di utarakan Salim,
2011, bahwa bila dibandingkan dengan tepung
singkong biasa atau tepung gaplek, tepung mocaf
memiliki performansi yang lebih baik yaitu lebih
putih, lembut dan tidak bau apek.
Rasa
Rasa dari suatu makanan merupakan
gabungan dari berbagai macam rasa bahan-bahan
yang digunakan dalam makanan tersebut [2]. Flavor
(cita rasa) didefinisikan sebagai rangsangan yang
ditimbulkan oleh bahan yang dimakan, terutama
yang dirasakan oleh indera pengecap dan pembau.
Dengan rasa kita dapat menilai suatu masakan
apakah enak, manis, asin, atau pahit. Menurut [8],
indera pencicip berfungsi untuk menilai rasa
dengan cara cicip untuk suatu makanan.
Hasil uji organoleptik terhadap tekstur
kulit bakpia secara statistik menunjukkan tidak
beda nyata antara rasa bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis terhadap rasa bakpia
peringkat rata-ratanya berkisar antara 44,30
60,15. Perlakuan pembuatan kulit bakpia dengan
perlakuan
substitusi
tepung
mocaf
25%
memperoleh nilai peringkat rata-rata paling tinggi
yaitu 60,15 dan nilai tersebut lebih baik jika
dibandingkan dengan kontrolnya (perlakuan
pembuatan kulit bakpia dengan 100% tepung
terigu) yaitu 50,92 (Tabel 1. ).
Tekstur
Tekstur didefinisikan sebagai sifat-sifat
suatu bahan pangan yang dapat diamati oleh mata,
kulit, dan otot-otot dalam mulut. Tekstur
merupakan gambaran mengenai atribut bahan
makanan yang dihasilkan melalui kombinasi sifatsifat fisik dan kimia, diterima secara luas oleh
sentuhan, penglihatan dan pendengaran [9].
Menurut [8], tekstur produk tergantung
pada kekompakan partikel-partikel penyusun,
bentuk, kekukuhan dan keseragaman partikelpartikel penyusun bila produk tersebut dipatahkan.
Adapun mutu tekstur ditentukan oleh kemudahan
terpecahnya partikel-partikel penyusun bila produk
tersebut dikunyah, serta sifat-sifat partikel yang
dihasilkan.
Hasil uji organoleptik terhadap tekstur
kulit bakpia secara statistik menunjukkan adanya
beda nyata antara tekstur bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis
terhadap tekstur
bakpia memiliki nilai peringkat rata-rata antara
39,45-64,52. Perlakuan pembuatan kulit bakpia
dengan perlakuan substitusi tepung mocaf 25%
menghasilkan tekstur yang paling disukai oleh
panelis dengan nilai peringkat rata-rata 64,52, nilai
tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan
kontrolnya (perlakuan pembuatan kulit bakpia
dengan 100% tepung terigu), yaitu 50,22 (Tabel 1 ).
Aroma
148
KESIMPULAN
149
PENDAHULUAN
150
151
Tabel 1. Sifat Fisiko-Kimia Ekstrak Kolagen dari Limbah Tulang Belikat (Os Scapula) Sapi Bali pada Penerapan Jenis
Bahan dan Waktu Proses Demineralisasi Berbeda
No.
Parameter Uji
1.
Rendemen (%)
2.
3.
Viskositas (cP)
4.
pH
5.
Waktu Proses
Demineralisasi
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
Keterangan : a,b,c,d,e ; Superskrip yang sama pada baris dan atau kolom yang sama dari setiap parameter uji menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05)
Rendemen
Rendemen pada dasarnya adalah besaran
produk yang dihasilkan dari sejumlah bahan baku
yang diproses [7] dan besaran rendemen sangat
dipengaruhi oleh proses produksi [8].
Berdasarkan data pada Tabel 1, secara
statistik menunjukkan bahwa penggunaan jenis
bahan demineralisasi berbeda dalam proses
produksi ekstrak kolagen dari limbah tulang sapi
Bali berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap
nilai rendemen. Penerapan bahan demineralisasi
dari golongan asam kuat (H2SO4) menghasilkan
rendemen lebih tinggi dibanding penggunaan bahan
demineralisasi dari golongan asam lemah
(CH3COOH). Asam kuat seperti H2SO4 memiliki
valensi 2 dalam struktur molekulnya sehingga
memiliki kemampuan lebih kuat dalam memotong
ikatan asam amino penyusun serabut kolagen
dibanding asam lemah seperti CH3COOH yang
hanya memiliki valensi satu
Tulang belikat (os scapula) pada sapi Bali
memiliki kandungan protein yang sangat tinggi yakni
mencapai 39,84% dari berat basah bahan atau
kurang lebih sepertiga dari komposisi kimia yang
menyusun tulang belikat itu adalah protein. Dari
jumlah tersebut kurang lebih 60-70% protein yang
ada itu adalah potensi kolagen [3]. Jumlah kolagen
yang mampu terekstrak itu sangat dipengaruhi oleh
kinerja bahan demineralisasi yang digunakan, dalam
hal ini adalah asam yang digunakan. Peningkatan
konsentrasi
asam
menyebabkan
terjadinya
peningkatan konsentrasi ion H+ dalam larutan yang
Kekuatan Gel
Salah satu sifat fungsional yang dimiliki
oleh ekstrak kolagen adalah kekuatan gel [11].
Kekuatan gel merupakan gaya untuk menghasilkan
deformasi tertentu [12]. Data penelitian terkait
nilai pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perbedaan
jenis bahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01)
terhadap nilai kekuatan gel produk kolagen. Hal ini
disebabkan karena pada penggunaan asam kuat,
terjadi pemotongan rantai asam amino pada
molekul protein kolagen secara berlebihan.
Aktivitas tersebut menyebabkan beberapa kolagen
akan mengalami kerusakan pada struktur ikatan
hidrogennya maupun pada bagian struktur triple
heliks khususnya pada rantai- [13]. Sifat kekuatan
gel pada ekstrak kolagen terkait dengan kandungan
protein yang terdapat pada bahan baku tulang
belikat. Nilai kekuatan gel produk ekstrak kolagen
terkait dengan jumlah molekul kolagen yang dapat
terekstrak secara sempurna dari komponen
molekul protein tulang belikat. Sifat kekuatan gel
dipengaruhi pula oleh bahan yang digunakan dalam
proses dalam hal ini penggunaan asam.
Penggunaan asam kuat menurunkan sifat kekuatan
gel. Sifat kekuatan gel berkaitan dengan ikatan
hidrogen antara molekul air dengan kelompok
152
Viskositas
Viskositas
merupakan
kemampuan
menahan dari suatu cairan untuk mengalir akibat
adanya adsorbsi dan pengembangan dari sebuah
koloid [11]. Hasil analisis sidik ragam terhadap
data pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai viskositas
ekstrak kolagen yang diproduksi menggunakan
bahan demineralisasi dari asam lemah dengan asam
kuat tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Nilai
viskositas secara rata-rata mengalami penurunan
dengan penggunaan bahan demineralisasi dari
bahan asam kuat. Laju konversi protein kolagen
yang terdapat pada tulang belikat (os scapula) sapi
Bali salah satunya dipengaruhi oleh proses (suhu,
waktu dan pH) dari bahan baku maupun
praperlakuan [15]. Peningkatan nilai viskositas
dipengaruhi oleh struktur molekul asam amino
yang menyusun protein gelatin. Susunan asam
amino yang semakin panjang akan meningkatkan
nilai viskositas gelatin [16]. Konformasi ikatan
yang kurang stabil menyebabkan ikatan tersebut
mudah mengalami transformasi menjadi molekulmolekul polipeptida pada saat proses ekstraksi
dilakukan. Rantai molekul yang panjang
berpengaruh langsung pada nilai viskositas gelatin
[17].
4. KESIMPULAN
Penerapan bahan demineralisasi dari jenis
asam lemah (CH3COOH 1M) dengan waktu proses
48 jam menghasilkan sifat-sifat yang lebih baik
khususnya yang terkait dengan sifat kekuatan gel,
namun untuk menghasilkan rendemen yang tinggi,
penggunaan asam kuat (H2SO4 1M) akan lebih
baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Kementerian Riset dan Teknologi RI melalui skim
Program SINas Insentif Riset Terapan atas
dukungan pendanaan dalam penelitian ini. Juga
kepada para mahasiswa (Dewi Ramadhani, A. Abd.
Malik Wahid, dan Lukman Hakim) atas peran
sertanya dalam kegiatan penelitian ini.
pH
Berdasarkan hasil analisis ragam dari data
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penerapan jenis
asam yang berbeda berpengaruh sangat nyata
(p<0,01) terhadap nilai derajat keasaman (pH)
produk ekstrak kolagen. Pada saat pemberian asam
dalam proses demineralisai, maka serabut kolagen
yang ada pada tulang akan mengalami proses
pembengkakan (swelling), sehingga
terjadi
penurunan sifat kohesi internal dari serabut kolagen
tersebut yang menyebabkan struktur ikatan asam
amino pada molekul kolagen mengalami
pembukaan dan bahan asam akan terperangkap
diantara ikatan tersebut.
Molekul asam yang
terperangkap dalam struktur ikatan tersebut dan
tidak larut saat proses netralisasi, secara langsung
akan mempengaruhi nilai pH akhir produk dan
akhirnya konsentrasi asam dapat mengubah nilai
pH produk [4]. Nilai pH juga berpengaruh terhadap
kerapatan muatan protein sehingga mampu
memodifikasi
terjadinya
interaksi-interaksi
elektrostatik dalam struktur asam amino penyusun
protein [18].
Kadar Protein
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat nilai
kadar protein produk ekstrak kolagen yang diberi
bahan demineralisasi dari golongan asam lemah
secara rata-rata lebih rendah dibanding pemberian
dengan asam kuat, namun secara statistik tidak
DAFTAR REFERENSI
[1]
153
154
1.
PENDAHULUAN
155
No
1.
2.
3.
4.
5.
6
7
156
0.80.1
1.020.36
Kontrol positif
0.180.18
0.420.19
0.0270.016
Kontrol positif
0.0050.006
0.0170.014
0.0250.022
157
50 mg/kg BB
100 mg/kg BB
CMC Na 1%
BS
BTS
BS
Loperamid HCL
2 mg/kg BB
BS
BTS
Konsentrasi
50 mg/kg BB
BS
Konsentrasi
100 mg/kg BB
Keterangan :
BS
: Berbeda Signifikan
BTS
: Berbeda Tidak Signifikan
KESIMPULAN
158
159
Tingkat Kesukaan, Mutu Fisik dan Mutu Giling Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi Introduksi di Semin, Gunungkidul
Erni Apriyati1, Sarjiman1 dan S. D. Indrasari1
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani,Ngemplak,Sleman
Email : erni_bptpyk@yahoo.com
Abstrak Varietas unggul baru merupakan salah satu inovasi teknologi yang dominan dan terbukti mampu
meningkatkan produksi padi pada tingkat petani. Setiap daerah memiliki unggulan varietas padi tertentu yang
adaptif terhadap kondisi lingkungan alam setempat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesukaan
VUB, mutu fisik dan mutu giling yang didiseminasikan di Kelompok Tani Sri Rejeki, Bedhil Kulon, Rejosari,
Semin, Gunungkidul. Bahan penelitian ini menggunakan beberapa sampel varietas unggul baru yaitu Inpari 10,
Inpari 19, Inpari 25, Inpari 27, Inpari 30, Inpago 7 dan Gilirang. Sampel di uji organoleptik dalam bentuk beras
dan nasi. Sampel juga dianalisa mutu fisik gabah, mutu fisik beras, serta mutu giling beras di laboratorium uji
mutu beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Data hasil uji organoleptik diolah menggunakan uji Kruskal
Wallis. Data mutu fisik dan mutu giling dianalisa dengan uji Anova dilanjutkan uji Duncan (p<0,05). Hasil
penelitian menunjukkan beras yang paling disukai adalah Inpari 27 yaitu dengan karakteristik panjang beras
7,33 mm dengan bentuk ramping, derajat putih 47,05%, kebeningan 2,11% dan derajat sosoh 121,50 (skala
Satake Milling Meter). Nasi yang paling disukai adalah Inpari 19 dengan karakteristik kadar amilosa 18 %dan
tekstur nasi pulen, kemudian diikuti Inpari 27 dengan karakteristik kadar amilosa 21,8 % dan tekstur nasi pulen.
Kata Kunci : Tingkat kesukaan, VUB, Mutu fisik, mutu giling dan Semin Gunung Kidul
Abstract New varieties is one of the dominant technological innovations and proven to increase the production
at the farm level. Each region has a spesific paddy varieties adaptive to the local natural environment. The
purpose of this reasearch was to study the level of preference of some new varieties and the physical and milling
quality which was disseminated to the Sri Rejeki Farmers Group at Bedhil Kulon, Rejosari, Semin, Gunungkidul.
The research material used were several sample of new varieties such as Inpari 10, Inpari 19, Inpari 25, Inpari
27, Inpari 30, Inpago 7 and Gilirang. Samples were organoleptic tested in the form of rice and cooked rice.
Samples were analyzed in term of physical grain quality, physical quality of rice, as well as the quality of milled
rice in rice quality at Indonesian Center for Rice Reaseacrh. The data from organoleptic test were processed
using Kruskal Wallis test. The physical quality data of grain, rice and milled rice were analyzed with ANOVA
followed by Duncan's test (p <0.05). The research results indicated that the most preferred rice was Inpari 27
wth a rice length characteristic of 7.33 mm, with slender shape, whiteness degree of 47.05%, translucency of
2.11% and milling degree 121.50 (scale Satake Milling Meter). The most preferred of cooked rice was Inpari 19
with characteristics of 18% amylose content and fluffier(pulen) texture followed by Inpari 27, with charasteristic
of 21.8% amylose content and less fluffier (pulen) texture.
Keywords: Level of preference , some new varieties, physical quality, milling quality and Semin Gunung Kidul.
1.
PENDAHULUAN
160
Aroma
125,74
Warna
118,63
Bentuk
105,08
Inpari 27
76,27
71,19
59,44
Inpari 19
90,65
84,68
87,05
Inpari 30
102,48
96,55
91,00
Inpari 10
110,02
115,87
Inpago 7
157,60
Gilirang
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
100,24
39,575
6
,000
Kebersihan
108,40
Keseluruhan
118,76
49,05
74,08
57,95
107,94
104,31
97,71
109,76
112,02
102,03
126,58
133,58
102,29
113,71
162,73
143,00
121,40
149,71
151,00
113,35
49,221
6
,000
150,85
56,534
6
,000
144,06
53,181
6
,000
112,19
27,875
6
,000
118,67
44,181
6
,000
Keutuhan
97,21
161
Varietas
Aroma
Inpari 25
110,35
Inpari 27
114,48
81,84
76,29
Inpari 19
65,68
85,48
88,31
Inpari 30
103,60
99,58
Inpari 10
125,08
Inpago 7
Gilirang
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
Rasa
Keseluruhan
119,74
115,52
105,53
102,61
111,66
78,68
59,85
65,44
113,40
124,35
97,02
100,19
101,45
112,73
126,65
135,56
105,16
154,92
165,05
154,23
163,03
146,81
167,74
88,89
48,585
6
,000
92,19
59,538
6
,000
92,47
37,853
6
,000
79,21
57,260
6
,000
101,40
46,490
6
,000
97,29
54,827
6
,000
Kad. air
densitas
kadar
butir
butir
butir
bobot
gabah
gabah
gabah
hijau
kuning
merah
1000
hampa
kapur
rusak
btr
gr/l
gram
Inpari 10
11,70b
518,5c
1,12b
0,65a
19,87d
0a
28,38a
Inpari 19
11,70b
524,5b
0,25a
1,10ab
4,96c
0a
25,51cd
Inpari 25
11,60b
479,0f
0,68ab
0,53a
0,66a
97,84c
23,60e
Inpari 27
10,55a
518,5c
1,14b
3,75e
2,27b
0a
24,63d
Inpari 30
11,55b
535,5a
1,00b
2,86d
1,60ab
0a
26,02bc
Inpago 7
10,55a
505,0e
0,92ab
2,01c
0,41a
96,33b
24,93d
Gilirang
10,70a
510,0d
5,13c
1,69bc
5,92c
0,80a
26,85b
Mutu Gabah
Mutu fisik gabah VUB dapat dilihat pada
Tabel 3. Kadar air merupakan salah satu faktor
yang menentukan kualitas dan daya simpan gabah.
Kadar air gabah ketujuh varietas yang
didiseminasikan sudah memenuhi standar SNI [3]
yaitu kurang dari 14 %.
Densitas gabah tertinggi yaitu varietas Inpari
30 yang menunjukkan kebernasan gabah panen.
Butir gabah hampa adalah butir gabah yang tidak
berkembang sempurna, tetapi kedua tangkup
sekamnya utuh dan tidak berisi butir beras akibat
serangan hama atau oleh sebab lain SNI [3].
Inpari 19 dan Inpari 25 termasuk dalam mutu
I berdasarkan komponen mutu banyaknya gabah
162
UKURAN BPK
Pan-
lebar
MILLING METER
P/L
WH
TR
MD
jang
mm
kadar
air
beras
Inpari 10
7,24a
mm
2,24bc
ratio
3,23c
47,75a
1,63d
Score
124,00a
%
11,95d
Inpari 19
7,22a
2,27b
3,18bc
40,70c
2,82a
98,50b
11,95d
Inpari 25
7,14ab
2,10d
3,39d
25,90d
0,49f
0c
11,65bc
Inpari 27
7,33a
2,10d
3,48e
47,05ab
2,11c
121,50a
10,90a
Inpari 30
7,02b
2,23bc
3,14b
45,20b
2,52b
121,00a
11,45b
Inpago 7
7,20ab
2,21c
3,25c
21,55e
0,92e
0c
10,75a
Gilirang
6,71c
2,45a
2,73a
40,95c
2,84a
99,50b
11,80cd
Mutu Beras
Dari tabel 4. dapat dilihat bentuk dan ukuran
yang paling panjang adalah Inpari 19, bentuk yang
paling ramping adalah Inpari 27 dan paling bulat
adalah Gilirang.
Varietas yang berasnya paling putih adalah
Inpari 10 yaitu mempunyai jilai derajad putih
47,75 % diikuti Inpari 27 dan Inpari 30. Inpari 25
dan Inpago 7 mempunyai derajad putih yang rendah
yaitu 25,90 % dan 21,55 % karena merupakan
varietas beras merah.
Kebeningan (translucency) adalah tingkat
kebeningan butiran beras yang dalam hal ini banyak
dipengaruhi oleh tingkat pengapuran (kenampakan)
dari beras utuhnya [6]. Penentuan kebeningan/
keterawangan
beras
dilakukan
dengan
menggunakan alat Satake Milling Meter.
Kebeningan
(translucency)
butiran
beras
dipengaruhi
sifat
genetik
dan
metode
penyosohan[6]. Varietas yang berasnya paling
bening adalah Ciherang sebaliknya yang paling
rendah adalah Inpari 25 dan Inpago 7, hal ini
menunjukkan varietas beras merah secara fisik
terlihat kurang bening[10].
Derajad giling (milling degree) merupakan
tingkat terlepasnya lapisan bekatul, lembaga dan
163
Varietas
Introduksi
BPK
BG
BK
BP
menir
Btr
kuning
kapur
rusak
Inpari 10
75,15c
65,37d
82,77b
16,67b
0,55b
0,47b
6,7e
Inpari 19
77,10b
67,98bc
80,31b
19,06b
0,62bc
0,62bc
3,27d
Inpari 25
77,80b
71,36a
82,59b
16,93b
0,47ab
0,02a
0,51ab
Inpari 27
78,07b
69,29b
82,55b
16,89b
0,55b
1,51e
0,96ab
Inpari 30
80,05a
71,72a
86,30a
13,43a
0,26a
1,06d
1,11b
Inpago 7
80,50a
72,52a
63,50d
35,83d
0,66bc
0,88d
0,29a
Gilirang
76,65bc
66,99c
76,63c
22,51c
0,85c
0,85cd
2,46c
4.
Btr
KESIMPULAN
164
UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BPPTK-LIPI)
Jl. Yogyakarta-Wonosari Km 31,5 Desa Gading, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, D.I.Y
Telpon (0274) 392570
2
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora 1, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia
3
Pusat Penelitian Biologi Cibinong
JL. Raya Jakarta - Bogor Km.46 Cibinong 16911 Bogor
Contact email: miftalipi@gmail.com
Abstrak - Tacca (Tacca leontopetaloides) merupakan umbi yang mempunyai kandungan karbohidrat tinggi
namun belum banyak dipelajari potensinya. Umbi tacca dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan pangan
melalui proses penepungan. Penepungan memerlukan penambahan natrium metabisulfit agar menghasilkan
tepung yang putih. Tepung tacca dibuat dengan metode pengirisan (tepung tacca chips) dan pemarutan (tepung
tacca kempa) kemudian ditambahkan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%; 0,4% dan
0,5% serta dianalisis residu sulfit dan karakteristik warnanya. Selanjutnya tepung dengan penggunaan
konsentrasi natrium metabisulfit terpilih dianalisis toksisitasnya. Tepung tacca yang dibuat dengan cara kempa
ataupun pengirisan dengan berbagai konsentrasi penambahan natrium metabisulfit mempunyai residu sulfit
kurang dari 300 ppm. Untuk nilai L (kecerahan), tepung yang dibuat dengan cara kempa mempunyai nilai L
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung yang dibuat dengan cara pengirisan. Baik pada tepung tacca
yang dibuat dengan cara kempa maupun pengirisan, nilai L meningkat dengan semakin meningkatnya
konsentrasi penambahan natrium metabisulfit. Namun peningkatan nilai L tidak signifikan pada penambahan
Na2S2O5 0,1% ke 0,2% untuk cara kempa dan Na2S2O5 0,2% ke 0,3% untuk cara pengirisan. Penambahan
konsentrasi natrium metabisulfit sebesar 0,1% untuk tepung tacca kempa dan 0,2% untuk tepung tacca chips
menghasilkan tepung tacca warna putih dan residu sulfit dibawah batasan SNI.
Kata Kunci: tacca, tepung, sulfit, warna, HCN
Abstract - Tacca (Tacca leontopetaloides) is a tuber that has high carbohydrate content, but its potential has not
been widely studied. Tacca can be used as raw material for processed food through flouring process. It process
require addition of sodium metabisulfite to produce white flour. Tacca flour was made by slicing method
(chipped tacca flour) and grating method (pressed tacca flour) and then added sodium metabisulfite with 0.1%;
0.2%; 0.3%; 0.4% and 0.5% concentration and analyzed residual sulphite and color characteristics.
Furthermore flour with the use of sodium metabisulphite concentration analyzed elected toxicity. Tacca flour
that is made by forged or slicing with various concentrations of sodium metabisulphite addition of sulfite
residues having less than 300 ppm. For values of L (brightness), flour made by means of felt has a value of L is
higher than the flour that is made by shredding. Neither the tacca flour that is made by forged or slicing, the
value of L increases with the increasing concentration of the addition of sodium metabisulfite. However,
increasing the value of L is not significant at 0.1% Na2S2O5 addition to 0.2% for ways Felts and Na2S2O5
0.2% to 0.3% for the incision method. The addition of sodium metabisulphite concentration of 0.1% to flour
tacca Felts and 0.2% for flour tacca tacca chips produce white flour and sulfite residue limits under the SNI.
Keywords: tacca, flour, sulfit, colour, HCN
1.
PENDAHULUAN
165
2.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah umbi tacca yang
diperoleh dari pesisir selatan Kabupaten Garut.
Umbi tacca yang digunakan adalah umbi
dengan umur panen 7 bulan, segar dan tidak
terdapat cacat fisik. Natrium metabisulfit
diperoleh dari agen lokal.
Pembuatan Tepung Tacca dengan Cara
Chips
Tepung
tacca cara chips dibuat
dengan
perlakuan
mekanis
meliputi:
pengupasan, pencucian, perajangan (pembuatan
chips), perendaman natrium metabisulfit dengan
variasi konsentrasi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%,
0,4%, dan 0,5% selama 30 menit, penirisan,
pengeringan suhu 60oC selama 16 jam,
penepungan, dan pengayakan 60 mesh.
Tepung tacca yang dibuat dengan cara
pengirisan ini selanjutnya disebut sebagai
tepung tacca chips.
Pembuatan Tepung Tacca dengan Cara
Kempa
Proses pembuatan tepung tacca cara
kempa dimulai dengan pengupasan dan
pencucian menggunakan air mengalir yang
bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah
yang menempel pada umbi kupas. Setelah
bersih kemudian dilakukan pengecilan ukuran
menggunakan mesin parut. Parutan yang
dihasilkan kemudian ditambahkan Na2S2O5
dengan variasi konsentrasi 0%; 0,1%; 0,2%;
0,3%; 0,4% dan 0,5% dan didiamkan selama 30
menit.
Slurry tacca yang diperoleh kemudian
dikempa
untuk
mengeluarkan
airnya.
Pengeringan menggunakan cabinet dryer
dengan suhu kurang lebih 60C hingga kadar air
mencapai <12 % atau setara dengan waktu 1012 jam. Selanjutnya penghancuran material
kering menggunakan mesin penggiling dan
pengayakan dengan ukuran 60 mesh. Proses
pengayakan tepung menghasilkan tepung yang
halus dan residu yang kasar. Residu kasar
dikembalikan ke proses penghancuran dan
kemudian diayak kembali. Tepung yang dibuat
dengan cara pemarutan dan pengempaan
selanjutnya akan disebut sebagai tepung tacca
kempa.
Analisis Residu Sulfit [8]
Ditimbang 0,2 g sampel yang telah
dihaluskan lalu ditambahkan 50 ml 0,01 N
iodine dalam gelas beker. Dibiarkan selama 5
166
Analisis Warna
Pengukuran
warna
dilakukan
menggunakan Minolta Chromameter untuk
menentukan nilai L, a, dan b. Nilai L
menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap)
sampai 100 (terang); nilai a menunjukkan
derajat warna hijau (-) sampai merah (+); dan
nilai b menunjukan derajat warna biru (-)
sampai kuning (+).
LD50 = 1000 -
= 450
= 450 mg/kg.BB
Tabel 1. Jumlah kematian hewan uji, dosis, perbedaan dosis dan rerata interval jumlah kematian pada suatu uji
keracunan akut bahan kimia A pada mencit
Kelompok
I
II
III
IV
V
VI
Dosis (mg/kg
BB)
1000
500
250
125
62,5
0
Perbedaan dosis
Mati
Interval rata-rata
Hasil
500
250
125
62,5
62,5
10
6
4
0
0
0
8
5
2
0
0
4000
1250
250
5500
3.
167
168
Tabel 2. Residu sulfit tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan
Residu Sulfit (ppm)
Variasi Perlakuan
Na2S2O5
Kempa
1,271,33a
7,441,78b
16,820,70c
18,403,13c
20,281,34c
25,041,94d
0%
0,1%
0,2%
0,3%
0,4%
0,5%
Chip
0,570,56a
5,230,28b
14,290,72c
16,310,59d
17,811,16e
22,661,22f
Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%
Tabel 3. Warna tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan
Variasi
Perlakuan
Na2S2O5
0%
0,1%
0,2%
0,3%
0,4%
0,5%
Warna
a
Chip
-0,05000,0300c
-0,75330,0710b
-0,92000,1179a
-0,90000,0100a
-0,88670,01000a
-0,89670,0252a
L
Kempa
87,07330,7583a
95,43670,0839b
95,61670,0404bc
95,92000,0361bcd
96,07670,0208cd
96,22330,0252d
Chip
84,18670,0862a
92,30330,2237b
93,13670,1185c
93,34670,1124c
93,36670,0907c
93,37330,0379c
Kempa
0,83000,0400c
-0,56670,0306b
-0,67000,1127ba
-0,82670,0153a
-0,79670,0162a
-0,76670,1069a
b
Kempa
11,42670,5563b
6,66670,7382a
6,74000,6090a
6,67330,5954a
6,87670,4646a
7,123300,5530a
Chip
11,72000,2598c
9,14670,0586b
8,90000,4063b
8,76000,1323b
8,19670,1185a
8,28000,1825a
Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%.
Tabel 4. Warna pati tacca dan tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan pada konsentrasi natrium metabisulfit terpilih
Jenis Sampel
Tepung tacca kempa
Tepung tacca chip
Pati tacca
L
95,43670,0839b
93,13670,1185a
97,09000,1670c
a
-0,56670,0306b
-0,92000,1179c
-0,05000,0300a
Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%.
169
b
6,66670,7382b
8,90000,4063c
2,63670,0404a
Dosis
(mg/k
g BB)
36000
18000
9000
4500
2000
0
Perbedaa
n dosis
Mat
i
18000
9000
4500
2500
2000
1
0
0
0
0
0
Interva
l ratarata
0,5
0
0
0
0
Hasi
l
900
0
900
0
LD = 36000 50
= 35100 mg/kg BB
4.
KESIMPULAN
Notulensi Diskusi:
PGO-212, Miftakhussolikhah dkk, Pengaruh
Penggunaan Natrium Metabisulfit terhadap Warna
170
Tepung
Tacca
(Tacca
171
PENDAHAULUAN
Pertumbuhan
penduduk
yang
tinggi,
berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi
lahan merupakan pemicu kerawanan pangan yang
mengancam kepada ketahanan pangan yang terjadi..
Dampak tersebut dapat dilihat dari kondisi ekonomi
yang tidak stabil, gizi buruk, meninggalnya balita
akibat gizi buruk, dan penduduk miskin yang
semakin bertambah serta masalah lainnya [1].
172
Dimana:
Kk = Kecukupan kalori
Pemahaman masyarakat terhadap pangan dan
gizi dengan menggunakan Skala Likert [3]. Skor dan
kriteria seperti pada Tabel 1
Tabel 1. Nilai skor dan katagori pemahaman terhadap pangan dan gizi
Kategori
Sangat Mengetahui
Mengetahui
Cukup Mengetahui
Kurang Mengetahui
Tidak Mengetahui
3.
Skor
4,20 - 5,00
3,40 4,19
2,60 3,39
1,80 2,59
1,00 1,79
Ketersediaan Pangan
Menurut Dewan Ketahanan Pangan [5],
ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber
yaitu produksi dalam negeri, impor pangan, dan
pengelolaan cadangan pangan. Ketersediaan pangan
173
Tabel 2. Jumlah pedagang dan sumber bahan pangan yang dijual pedagang
No
Bahan
Jumlah
Pangan
Sumber
Tersediaan
Pedagang
Pokok
1
Beras
16
Ld
H dan M
2
Sumber
4
Ld
M
Protein
3
Lauk
57
D dan
M
Ld
4
Sayuran
25
D dan
M
Ld
5
Buah14
D dan
M
buahan
Ld
6
Susu
3
Ld
H dan M
7
Minyak
6
Ld
H dan M
Goreng
8
Gula Pasir
7
Ld
H dan M
Keterangan:
D
= Desa
H = Harian
Ld = Luar desa M = Mingguan
Tabel 3. Rata-rata jumlah bahan pangan yang dipasok berdasarkan sumbernya (Kg/bulan)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Jenis
Beras
Sumber
Protein
Lauk
Sayuran
Buah-buahan
Susu
Minyak
goreng
Gula Pasir
Luar Desa
Jumlah
(%)
(Kg)
139,82 100,00
99,41
100,00
Dalam Desa
Jumlah
(%)
(Kg)
0,00
0,00
0,00
0,00
139,88
12,46
84,73
38,67
193,75
99,81
83,70
83,33
100,00
100,00
0,29
2,89
1,67
0,00
0,00
0,19
16,3
16,67
0,00
0,00
92,08
100,00
0,00
0,00
174
Akses Pangan
Sistem distribusi
bukan
semata-mata
mencakup aspek fisik dalam arti pangan yang
No
0,00
27
39,70
Jumlah
68
100,00
Rata-rata
pendapatan
sampingan
(Rp.71.728,00)
1
Di bawah rata-rata
46
67,64
0,00
II
Jumlah
22
32,36
68
100,00
penduduk
Provinsi
Riau
sebesar
Rp.1.718.225,00/kapita/bulan.
Rendahnya
pendapatan yang diperoleh karena terbatasnya
kemampuan masyarakat dalam memperoleh
pekerjaan yang digambarkan bahwa terdapat 82,35
masyarakat hanya memperoleh pendidikan SMP
kebawah dan disisi lain terbatasnya aset yang
dimiliki seperti lahan sehingga 55,80 persen hanya
mampu bekerja sebagai buruh tani atau buruh
bangunan serta 52,84 persen tidak memiliki
pekerjaan sampingan. Kondisi tersebut membuat
terbatasnya
kemampuan
masyarakat
dalam
memperoleh pendapatan yang layak.
Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun kebutuhan
non
pangan
keluarga.
Besar
pengeluaran
perkapita/bulan disajikan pada Tabel 5 dibawah ini.
175
No
II
39
57,35
0,00
29
42,65
68
100,0
0
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan mencakup pengetahuan
dan pemahaman atas pangan, gizi, dan kesehatan
yang baik, sehingga dalam mengkonsumsi pangan
memperhatikan asupan zat pangan dan gizi yang
176
dan bergizi
Rata-rata
3,70
mengetahui
Mengetahui
Standar Kebutuhan
Kalori
(1.964,55Kkal)*
1 Di bawah ratarata
2 Sama dengan
rata-rata
3 Di atas ratarata
Jumlah
32
58,82
0,00
36
41,18
68
100,00
177
DAFTAR REFERENSI
[1] Waluyo, Eko B, Keanekaragaman Hayati
Untuk
Pangan,
2011..
http://www.opi.lipi.go.id/data/1228964432/dat
a/130867021320841770. makalah.pdf. diakses
tanggal 30 Oktober 2012.
[2] Badan Ketahanan Pangan, Petunjuk
pelaksanaan
Desa
Mandiri
Pangan
Kementerian Pertanian: Jakarta, 2012
[3] Sugiyono, Metode Penelitian Administratif.
Alfabeta. Bandung, 2012
[4]
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau,
Petunjuk teknis Pengembangan Cadangan
Pangan Masyarakat, Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Riau, 2012
178
1. PENDAHULUAN
Masalah gizi yang rentan pada bayi dan anak-anak
adalah defisiensi vitamin A yang disebabkan kurang
energi protein (KEP), penyakit infeksi dan yang
paling utama adalah kurangnya asupan vitamin A.
Hasil studi masalah gizi mikro di Indonesia tahun
2006 menunjukkan kadar serum vitamin A balita
rata-rata 11 g/dl [1]. Kurang vitamin A (KVA)
menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga
mempertinggi resiko terhadap penyakit infeksi [2].
Asupan vitamin A pada bayi berasal dari air susu ibu
(ASI), ASI hanya memenuhi kebutuhan gizi sampai
berumur 6 bulan [3]. Pada periode ini bayi tidak
memerlukan makanan lain selain ASI. Akan tetapi
setelah melampaui periode tersebut asupan vitamin
A dan zat gizi lainnya harus dipenuhi dari makanan
pendamping ASI (MPASI). Jenis MPASI terdiri dari
179
180
Formula
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16
F
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
Tepung Kc Hijau(%)
20,000
23,333
25,000
25,000
20,000
25,000
18,333
20,000
23,333
23,333
15,000
20,000
25,000
25,000
15,000
21,667
Tabel 3. Hasil analisis proksimat tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida (%)
Air
Abu
Lemak
Potein
Karbohidrat
6,700,11
4,810,02
1,590,16
7,230,27
79,680,20
6,840,06
4,570,24
1,460,11
9,380,34
77,760,06
6,670,08
4,400,00
1,630,04
7,000,45
80,300,33
6,750,05
4,700,03
1,770,08
8,690,08
78,100,14
6,700,11
4,810,02
1,590,16
7,230,27
79,680,20
6,670,08
4,400,00
1,630,04
7,000,45
80,300,33
5,710,35
4,400,46
1,660,15
8,740,37
79,510,59
5,180,23
4,640,25
1,630,21
9,250,04
79,310,15
4,150,16
6,560,05
1,580,09
9,380,19
78,350,11
4,340,18
6,360,08
1,500,04
8,090,41
79,710,64
4,520,40
6,920,08
1,680,13
6,570,35
80,330,01
5,180,23
4,640,25
1,630,21
9,250,04
79,310,15
4,050,33
7,080,05
1,600,07
9,240,32
78,050,13
4,050,33
7,080,05
1,600,07
9,240,32
78,050,13
4,520,40
6,920,08
1,680,13
6,570,35
80,330,01
5,770,06
6,640,03
1,930,11
9,270,98
76,390,83
181
F8
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16
7,450,04
7,030,06
7,380,06
7,780,10
7,360,09
7,220,09
7,020,07
7,320,06
7,400,06
3,980,04
4,270,04
3,580,37
3,650,03
4,320,09
4,460,12
4,850,06
3,710,15
3,980,06
2,360,3
3,250,16
3,711,81
4,050,19
3,870,07
3,790,38
3,400,47
3,970,36
4,470,04
9,800,17
10,310,12
9,610,19
8,810,95
9,150,09
10,480,04
11,850,14
8,360,33
9,230,07
76,420,14
75,140,18
75,721,93
75,711,02
75,290,17
74,050,13
72,88074
76,640,78
74,920,02
182
183
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16
7,690,24
7,580,08
8,390,10
8,210,50
7,940,76
8,240,78
7,610,29
7,240,61
6564,11
6270,14
7010,11
60620,93
6660,74
66612,03
66835,39
6295,66
0,780,00
0,800,03
0,740,04
0,730,00
0,820,00
0,820,02
0,720,04
0,690,05
Desirability
0,949
0,903
0,9
184
No
1
2
MPASI
Komersil
10
6,25
77,5
2,1
3,4
1,9
262
400
185
DAFTAR REFERENSI
[1] Herman S, Masalah Kurang Vitamin A (KVA)
dan Prospek Penanggulangannya, Di
dalam Media Penelitian dan pengembangan
kesehat an, 2006; Vol, XVIII No, 4/2007
[2] Almatsier S, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, 2005;
Gramedia Pustaka. Jakarta.
[3] Krisnatuti D &
R Yenrina, Menyiapkan
Makanan Pendamping ASI, Puspa Swara,
Jakarta 2006,
[4] Astawan M, Labu kuning penawar racun dan
cacing pita yang kaya antioksidan, 2004,
www,gizi,net [4 Juli 2009]
[5] Pongjanta J, A Naulbunrang, S Kawngdang, T
Manon, T Thepjaikat, Utilization of
pumpkin powder in bakery products,
Journal Sci Techno, 2006; 28:71-79
186
[24]
[25]
[26]
[27]
Notulensi Diskusi:
PGO-214, Abu Bakar dkk, Mutu Tepung Komposit
Berbasis Labu Kuning untuk Makanan Pendamping
Asi (MPASI) Kaya -Karoten (SNI 01-7111.42005)
187
Abstract - This study aims to determine the characteristics of the physico-chemical properties and
organoleptic properties of rice analog fortification is to the tuna flour. Stages in the research include:
Optimization of extrusion process by the method of RSM (Response Surface Methodology) approach
to the design of the CCD (Central Composite Design) with two factors: water content and the
percentage of tuna flour. Analysis was conducted on the physical, chemical and organoleptic
acceptance panelist on rice analog. The results of the chemical properties of rice obtained is
analogous water content ranged from 5.64-8.77%, 0.32-0.88% ash, 2.86-7.8% protein, total fat 0.130.27%, crude fiber 5.6-7.79%, 76.85-84.01% carbohydrate, sugar 0:27 to 0:42% total energy 325.58 337.67 kcal / 100 g, starch (starch) 72.13-76.96%, 19.21-26.69% amylose. Organoleptic value is the
analog rice aroma (2.80-3.40); form (2.53-3.60); color (2.07-3.67) and texture (3:20-4:13). Of
combined treatment of water content and starch tuna with methods RSM (Response Surface
Methodology) and CCD (central composite design) organoleptic value formula 1 (S) can be upgraded
to preferred (scale 4-5) to give the treatment the water content of 54.14% and 2:17% fish meal, while
the formula 2 (A) with a treated water content of 54.14% and 7.83% fish meal. Rice has Fbreak
analog produced by 40.365 N and the resulting analog rice color white browned.
Keywords: analog rice, fortification, tuna, organoleptic properties
upaya promosi kepada
masyarakat untuk
mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah
utama diversifikasi pangan di Indonesia terutama
diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan
masyarakat terhadap beras. Ketergantungan terhadap
beras menjadi masalah disebabkan oleh tingkat
konsumsi beras yang sangat tinggi namun tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi padi.
Meskipun masyarakat di beberapa daerah di
Indonesia masih ada yang mengonsumsi jagung atau
1. PENDAHULUAN
Diversifikasi
pangan
adalah
upaya
penganekaragaman
pola
konsumsi
pangan
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi
makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan
meningkatkan status gizi penduduk. Program
diversifikasi pangan meliputi kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta
188
189
C. Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan
Ms.Excel dan dianalisis optimasi menggunakan
software minitab 16 untuk menentukan formula
yang memberikan respon optimal. Selain itu, untuk
menentukan perlakuan yang memberikan sifat kimia
terbaik dianalisa dengan metode Multiple Attribute
(Multiple Criteria Decession Making).
Tabel 2. Sifat fisik beras analog formula 1 (S) dan formula 2 (A)
Kode
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
Beras
FORMULA 1 (S)
Berat
Daya
Densitas
perbutir Rehidrasi
(g/ml)
(g)
(%)
0,588
0,02
276
0,612
0,018
245
0,819
0,031
226
0,62
0,017
233
0,587
0,017
261
0,575
0,016
243
0,58
0,023
212
0,622
0,029
211
0,612
0,017
220
0,61
0,021
213
0,844
0,02
208
RenDemen
(%)
63,72
56,6
63,5
58,63
71,6
62,18
65,52
69,2
70
63,83
Kode
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
Beras
FORMULA 2 (A)
berat
Daya
densitas
perbutir Rehidrasi
(g/ml)
(g)
(%)
0,597
0,016
234
0,644
0,019
254
0,625
0,018
233
0,536
0,027
245
0,597
0,023
237
0,637
0,022
239
0,639
0,02
223
0,658
0,019
208
0,59
0,021
220
0,591
0,018
206
0,844
0,02
208
RenDemen
(%)
66,05
59,35
66,9
59,78
66,6
61,86
61,65
57,7
75,48
73,34
Perlakuan
S1
S2
S3
S4
Formula 1
S5
(S)
S6
S7
S8
S9
S10
A1
A2
A3
A4
Formula 2
A5
(A)
A6
A7
A8
A9
A10
Beras sosoh
(Kusumaningrum,2009;
Rohmah, 1997,
Wulan et al., 2007)
Kadar
Air (%)
5,97
7,64
8,05
7,21
5,64
7,9
7,08
8,73
8,4
7,94
6,91
8,77
7,85
8,33
6,39
7,82
7,45
7,53
7,98
7,76
0,73
0,56
0,51
0,54
0,57
0,63
0,42
0,32
0,45
0,44
0,88
0,87
0,52
0,34
0,69
0,55
0,64
0,73
0,43
0,74
2,86
4,51
7,47
6,9
5,83
6,06
3,92
7,01
6,47
5,85
4,67
3,92
7,8
7,42
6,32
6,11
3,84
7,03
6,44
6,32
0,22
0,26
0,15
0,19
0,25
0,15
0,15
0,15
0,24
0,13
0,22
0,13
0,15
0,15
0,27
0,14
0,14
0,19
0,14
0,26
6,21
6,11
5,85
5,61
7,14
5,84
6,32
5,6
7,6
6,17
7,32
6,4
5,75
6,43
6,52
6,79
7,79
7,67
6,66
6,68
84,01
80,93
77,98
79,55
80,58
79,42
82,11
78,2
76,85
79,47
79,99
79,91
77,95
77,34
79,81
78,59
80,14
76,85
78,35
78,25
12,75
14,52
0,23
0,37
7,1
8,3
0,35
0,39
3,29
3,49
74,9
77,8
191
Energi
(kkal/ 100 g)
(pati)
(%)
Amilosa
(%)
337,67
333,19
333,44
337,47
337,33
333,02
334,23
332,3
325,65
332,12
329,95
325,58
334,71
330,79
336,71
329,94
326,18
327,63
330,38
330,58
76,96
73,27
72,13
73,13
73,6
73,83
74,6
72,67
72,15
73,28
76,16
74,22
72,76
73,2
76,17
72,88
76,21
72,51
73,83
74,69
20,11
28,08
25,1
27,94
28,1
29,69
28,4
28,6
28,13
26,27
23,51
28,12
25,8
23,1
19,21
26,42
29,29
28,09
27,11
24,57
68,18
20-25
Beras Analog
Nasi Beras Analog
Gambar 1. Gambar beras analog dan nasi beras analog
Perlakuan
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
Tabel 4. Sifat Organoleptik beras analog formula 1 (S) dan formula 2 (A)
FORMULA 1 (S)
FORMULA 2 (A)
Aroma
Bentuk
Warna
Tesktur
Perlakuan
Aroma
Bentuk
Warna
2,80
3,53
3,40
3,60
3,07
3,00
2,53
A1
3,07
3,33
3,13
3,73
2,93
3,00
2,40
A2
2,80
2,53
2,07
3,93
3,00
2,87
2,33
A3
3,40
3,60
3,13
3,80
3,13
3,73
3,07
A4
3,13
3,73
3,67
3,20
3,13
2,87
3,20
A5
3,20
3,27
3,20
3,40
2,93
3,67
3,33
A6
3,33
3,13
3,47
3,87
3,00
2,67
2,27
A7
3,07
3,20
3,33
3,67
3,27
3,87
3,87
A8
3,27
3,40
3,60
3,80
2,87
3,87
3,87
A9
3,07
2,73
3,33
3,73
2,73
3,20
3,60
A10
Tesktur
3,87
3,40
3,93
3,73
4,13
3,60
3,47
3,80
3,80
3,93
4. KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI
193
Notulensi Diskusi:
PGO-215, Indah Rodianawati dkk, Karakteristik Sifat
Fisiko-Kimia dan Sifat Organoleptik Beras Analog
dengan
Fortifikasi
Tepung
Ikan
Cakalang
(Katsuwonus pelamis. L)
195
1.
PENDAHULUAN
2.
Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedelai lokal varietas
Anjasmoro yang diperoleh dari UPTD Balai
Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPPTPH), Gunungkidul. Bahan lain
yaitu Ragi tempe (Raprima) dari LIPI Bandung,
tepung terigu, tepung tapioka, gula (merk gulaku)
serta bahan-bahan kimia untuk analisis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Kimia UPT Balai Pengembangan Proses dan
Teknologi Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (UPT BPPTK LIPI) Yogyakarta. Waktu
pelaksanaan penelitian pada bulan Januari Februari
2014.
Penelitian ini menggunakan desain rancangan
acak lengkap dengan 3 perlakuan substitusi tepung
terigu dan 3 ulangan. Uraian perlakuan sebagai
berikut:
1.F1 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 50:30:20
2.F2 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 60:20:20
3.F3 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 70:10:20
Formula flakes tempe secara lengkap disajikan dalm
tabel 1.
Tabel 1. Formula pembuatan flakes tempe
Perlakuan
F1
F2
F3
Bahan
Tepung terigu
50
60
70
Tepung tempe
30
20
10
Tepung tapioka
20
20
20
Garam
2
2
2
Gula
5
5
5
Air
50
50
50
196
Kode
Sampel
F1
F2
F3
3.50a
3.10a
3.63b
3.25ab
3.25a
3.45a
3.50a
3.95b
3.65b
197
KESIMPULAN
198
199
1. PENDAHULUAN
Salah satu sumber protein yang kaya adalah
kacang kedelai. Beberapa jenis makanan yang biasa
dibuat dengan bahan baku kedelai adalah tahu,
tempe dan tauge (toge/taoge). Beberapa manfaat
kedelai yaitu diantaranya mengandung protein dua
kali lebih banyak dari daging dan empat kali lebih
banyak dari telur. Kedelai juga mengandung
200
201
Kadar
Air (%)
Abu
(%)
Lemak
(%)
Protein
(%)
4.26a
4.68a
4.56a
5.06b
11.75a
14.03b
15.45c
18.35d
18.43abc
35.44a
38.64a
37.04a
34.9a
32.22b
Keterangan:
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji
5%)
Anjas+ :Kedelai Plus var. Anjasmoro ; Anjas :Kedelai Non
Plus var. Anjasmoro ; Argo+ :Kedelai Plus var. Argomulyo
; Argo:Kedelai Non Plus var. Argomulyo ; Import : Kedelai
import
202
Notulensi Diskusi:
PGO-217, Dini Ariani1 dan Harmastini Sukiman2
Kajian Kandungan Gizi Kedelai Plus Hasil
Penanaman Di Wilayah Kabupaten Gunungkidul,
DIY
203
Karakterisasi dan Uji Sifat Organoleptik Telur Ayam Ras Infertile sebagai Telur Konsumsi
Sri Anggrahini1), M. Almunifah2)
1) Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jl. Flora no 1, Bulaksumur, Yogyakarta
Telpon (0274) 549650/fax 0274 549650
Email: sri_anggrahini2006@yahoo.com
2) Alumni Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jl. Flora no 1, Bulaksumur, Yogyakarta
Telpon (0274) 549650/fax 0274 549650
Abstrak - Telur ayamras infertile adalah telur yang tidak dibuah dan dapat terdeteksi pada proses penetasan,
yang masih dapat digunakan sebagai telurkonsumsi sebagai sumber asupan protein. Pemeraman telur infertile
di dalam mesin tetas pada suhu 38-39C selama 5 hingga 10 hari akan berpengaruhterhadap karakteristik telur,
nilai kecernaan protein dan kesukaan konsumen. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan pemeraman telur
selama 5; 7; dan 10 hari, kemudian diambil telur yang infertile. Telur infertile diamati karakteristiknya (kadar
abu, kadar protein, kadar lemak, pH) dan daya cerna proteinnya serta kesukaan konsumen terhadap telur ayam
infertile rebus dan sebagai pembanding digunakan telur ayam kontrol (telur ayam segar yang disimpan selama
5; 7; dan 10 hari pada suhu kamar).Uji organoleptik menggunakan uji kesukaan dengan menggunakan metode
scoring test dengan skala nilai 1-9 (nilai 1 menunjukkan ama sangat tidak disukai dan 9 menunjukkan amat sangat disukai). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu (3,22 -3,53%db), kadar lemak (25,53 32,86%db),
kadar protein (48,91 52,96%db), dan nilai pH (7,65 8, serta tingkat kecernaan protein (43,85
51,92%db)telur ayam ras infertile yang telah mengalami penetasan dalam mesin tetas selama 5; 7; dan 10 hari
dengan suhu penetasan 38-39C tidak berbeda nyata dengan telur ayam ras segar yang disimpan pada suhu
kamar selama 5; 7; dan 10 hari. Tingkat kesukaan panelis terhadap telur ayam ras infertil juga tidak berbeda
nyata dengan telur segar, tingkat kesukaannya berada dalam taraf cukup disukai (5,38 6,25).
Kata kunci: telur infertil, penetasan, karakteristik, tingkat kecernaan protein,sifat sensoris
Abstract -Infertle eggs are meaning they will not hatch and no chicken will come out of it. Infertile egg from the
hatchery probably can be consumed as protein sources. The aim research was to know the characteristics, pH,
protein digestability and organoleptic properties of infertile chicken eggs that used separate by aging time (5, 7,
and 10 days) at hatcher temperature, presumably 38 to 39C. Infertle chicken egg observed from day five, day
seven and day ten in the hatchery machine at incubator temperature, presumably between 38 to 39C. As a control used consuming chicken eggs was stored in the room temperature for five day, seven day and ten day. Characteristics of infertile chicken egg and control egg to be observed as follow : ash content, protein content, and
lipid content, pH, protein digestability. The organoleptic properties of infertile chicken egg to be observed the
texture, color, flavor and preferent test by scoring test. The result showed that the characteristics and organoleptic properties of infertile chicken egg in the hatchery machine at incubator temperature, presumably between 38
to 39C, observed from day five, day seven and day ten and consuming eggs non significant (P>0,05). Infertile
eggs of hatchery still addible.
Keywords: infertile egg, aging, characteristics, protein digestibility, organoleptic properties
1.
Ayam yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia ada ayam kampong dan ada ayam ras. Telur
ayam ras tergolong jenis telur yang paling sering
dan banyak di konsumsi oleh masyarakat di Indonesia karena harganya yang terjangkau, ukurannya
lebih besar dan mudah di dapat daripada telur ayam
kampung maupun itik. Telur ayam ras tergolong
telur yang mempunyai ukuran besar yakni mempunyai berat 55-65 gram per butir. Warna kulit telur
ayam ras biasanya coklat tetapi ada sedikit yang
berwarna putih. Rata-rata produktivitas telur ayam
ras adalah 250-260 butir telur per ayam per tahun
1 .
PENDAHULUAN
204
Pada hari ke 5; 7; dan 10 penetasan dilakukan candling untuk mendapatkan telur infertile. Telur infertile dan telur kontrol dianalisis kadar
abu, kadar protein, kadar lemak, pH, daya cerna
protein dan sifat organoleptiknya. Uji organoleptik
meliputi tingkat kesukaan terhadap tekstur, warna,
205
b.
Kadar Protein
Kadar protein dalam telur infertile tidak berbeda nyata dengan kadar protein telur kontrol, hal
ini menunjukkan bahwa pemeraman telur ayam ras
sampai selama 10 hari pada suhu 38 39C tidak
menurunkan kandungan gizinya karena kandungan
proteinnya masih sama dengan telur yang disimpan
dalam suhu kamar selama 10 hari. Tidak adanya
perubahan yang nyata pada kadar protein dalam
telur infertil selama penetasan selama 5; 7; dan 10
hari, dikarenakan pada suhu 38 39C protein belum mengalami denaturasi dan degradasi menjadi
senyawa yang mudah menguap. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Shenga dkk.,
bahwa pemanasan telur pada suhu 57C selama 15
menit yang dilanjutkan dengan penyimpanan selama 15 hari pada suhu 35C nilai protein terlarut
telur tidak memberikan hasil yang berbeda nyata
dengan telur ayam tanpa perlakuan 8.
Sifat Organoleptik
Uji organoleptik menggunakan uji kesukaan
dengan menggunakan metode skoring test dengan
skala nilai 1-9 (nilai 1 menunjukkan amat sangat
tidak disukai dan 9 menunjukkan amat sangat
disukai).
Rancangan Percobaan
Data yang didapat dari hasil analisa diolah
menggunakan One Way ANOVA dengan
menggunakan metode Turkey, dengan tingkat signifikasi 0,05. Apabila terjadi beda nyat dilanjutkan
dengan metode Duncan Multiple range test
3.
c.
Kadar Lemak
Pada Tabel 2. menunjukkan kadar lemak telur
infertile yang ditetaskan dalam mesin penetas suhu
38-39C selama 5; 7; dan 10 hari dan telur ayam
kontrol yang disimpan pada suhu kamar (26-27C)
selama 5; 7; dan 10 hari tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa selama penetasan maupun
penyimpanan selama 5; 7; dan 10 hari lemak yang
ada di dalam telur ayam belum mengalami oksidasi
maupun kerusakan.
Sifat Kimia
Hasil analisa kadar abu, kadar protein dan
kadar lemak telur ayam ras infertil dan telur ayam
ras segar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisa Kadar Abu, Kadar Protein dan
Kadar Lemak Telur Ayam Ras Infertil dan Telur Ayam
Ras segar
Suhu
Waktu
Kadar
Kadar
Kadar
Penetasan/ Penetasan/ abu
protein
lemak
PenyimPenyim(%db)
(%db)
(%db)
panan
panan
Suhu
5 hari
3,22 a
52.67 a
25.53 a
a
a
penetasan
7 hari
3,53
51.03
32.86 a
(38-39C)
10 hari
3,41 a
48.91 a
31.43 a
Suhu
5 hari
3,23 a
51.13 a
31.22 a
Penyima
7 hari
3,47
52.96 a
26.42 a
panan
10 hari
3,34 a
51.74 a
31.33 a
26-27C
*) Huruf yang sama (a) pada kolom yang sama menunkan hasil yang tidak berbeda nyata p>0.05.
juk-
a.
Kadar Abu
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan kadar abu telur infertile yang mengalami perlakuan
pemeraman dalam mesin tetas suhu 38 - 39C
selama 5; 7; dan 10 hari tidak menunjukkan hasil
yang berbeda nyata dengan kadar abu telur segar
yang mengalami penyimpanan di dalam suhu kamar
selama 5; 7; dan 10 hari. Penurunan kadar air
produk selama penyimpanan dapat menyebabkan
peningkatan kadar mineral sehingga kadar abu
meningkat 6.
Pada telur ayam infertile yang mengalami
pemeraman selama 5; 7; dan 10 hari dengan suhu
206
5 hari
7 hari
43.85 a
48.40 a
7.65 a
7.79 a
10 hari
51.92 a
7.82 a
5 hari
7 hari
43.95 a
47.01 a
8.11 a
7.99 a
10 hari
46.61 a
7.94a
menunjuk-
a.
b.
pH
Pada Tabel 3. terlihat bahwa penetasan telur
dengan mesin tetas telur suhu 38 -39 C selama 5, 7
dsn 10 hari belum berpengaruh secara nyata terhadap pertambahan nilai pH telur, hal ini menunjukkan bahwa penetasan sampai selama 10 hari
karbondioksida didalam telur belum banyak yang
hilang. Pada proses penyimpanan pada suhu kamar
sampai selama 10 hari pH telur ayam ras kontrol
juga tidak mengalami kenaikan yang nyata. Hal ini
didukung oleh penelitian yang sudah dilakukan oleh
Stadelman dan Cotteril yang menunjukkan bahwa
penyimpanan telur pada kondisi suhu 2C ataupun
37C tidak akan memberikan nilai pH yang berbeda
nyata 7.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardi, dkk. 5 bahwa nilai pH telur
segar utuh adalah 8,20 dan nilai pH albumin telur
segar adalah 7.6 hingga 7.9 7. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai pH telur infertil dan telur
segar yang disimpan pada suhu kamar selama 10
hari masih termasuk dalam katagori baik sebagai
telur konsumsi.
Warna
Tekstur
Bau
Keseluruhan
6.00a
6.04a
5.67a
6.08a
6.04a
5.63a
5.33a
5.38a
5.96a
5.96a
5.42a
6.17a
6.29a
5.80a
5.63a
6.25a
*) Huruf yang sama (a) pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p>0.05
Tidak ada perbedaan yang nyata antara telur infertile dengan telur segar kemungkinan karena telur belum mengalami kerusakan fisik yang
nyata sepeti penurunan viskositas, oksidasi lemak
(Lihat Tabel 2) dan penurunan pH (lihat Tabel 3)
yang dapat berpengaruh pada tekstur, bau dan
warna telur. Hal ini didukung dengan hasil uji
oragnoleptik dengan penilaian penampakan, tekstur,
flavor dan penilaian keseluruhan pada telur dengan
penetasan pada suhu 35C selama 10 hari menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan telur
segar 8.
4.
KESIMPULAN
Uji Organoleptik
Penilaian atribut sensoris telur infertil
dapat menjadi gambaran bagaimana penerimaan
konsumen terhadap telur infertile sebagai telur konsumsi. Hasil uji organoleptik telur ayam ras infertile dan telur ayam ras segar dapat dilihat pada
Tabel 4.
Hasil uji organoleptik yang diperoleh pada
semua atribut sensoris yang dinilai (warna, tekstur
dan bau) memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata p>0.05 pada sampel telur infertile maupun
telur segar. Penilaian warna pada telur infertile
menunjukkan tingkat kesukaan panelis dalam taraf
DAFTAR REFERENSI
1 S. Hadiwoyoto, Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan,
207
208
Abstract - Special Region of Yogyakarta (DIY) has the potential of local rice, ie. pigmented black rice known as
'Cempo Ireng'rice. Black rice is added in this study to improve the quality of soybean tempeh, which is to increase
the anthocyanin content of tempeh, and developing a diversified pigmented rice processing. Given tempeh is one of
the main side dishes in the community. The aims of htis study to determine the effect of black rice adding to quality
and consumer acceptance of soy tempeh. The experiment was conducted at the Laboratory of Post Harvest and
Agricultural Machinery, Yogyakarta IAIT in February-May 2013. The black rice is derived from 'Cempo Ireng' black
rice from farmers in Sleman, while soybean used are Anjasmoro varieties. The experiment was a completely
randomized design of four treatments and five replications. Treatment implemented were: B0 = addition of 100% by
weight of soybean, B1 = 10% black rice (w/w), B2 = 20% black rice (w/w), and B3 = 30% black rice from soy
weight (w/w). The results showed that: 1) The yield of tempeh produced is 120-178%, with the highest yield
generated by the treatment of the addition of 30% black rice, which amounted to 178%. 2) The organoleptic test
results ie. the highest panelist overall preference level was 20% black rice additional treatment ie. 3, which means
preferences rather like. 3) The anthocyanins and protein content from the most preferred tempe was the addition of
20% black rice ie. 88.33 ppm and 18,3%. 4) Addition of black rice processing can improve the quality of soy tempeh
tempeh produced, especially in anthocyanins could be developed as a functional food.
Keywords: tempeh, black rice, soybeans, and consumer preferences level
209
1.
PENDAHULUAN
210
Rendemen
Rendemen
dihitung
berdasarkan
perbandingan dari berat tempe yang dihasilkan
dengan berat kedelai dan beras hitam yang digunakan
sebagai bahan baku pembuatan. Rendemen tempe
yang dihasilkan dari perlakuan penambahan beras
hitam dalam proses pembuatan tempe kedelai
disajikan dalam gambar 1 berikut.
Rendemen (%)
200
150
100
50
152
120
126
BO
B1
B2
Perlakuan
178
0
B3
211
Perlakuan
Warna
Tekstur
Aroma
Rasa
Keseluruhan
B0
B1
B2
B3
3,00a
3,29a
3,29a
2,71a
3,00a
3,00a
3,00a
2,57a
3,00a
2,00a
3,14b
2,43ab
3,00a
2,41a
2,57a
2,00a
3,00a
2,43a
2,71a
2,14a
kedelai
menyerap
air
sehingga
menjamin
pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini
tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi
mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan [8]. Selama proses perendaman, biji
mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji
naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu
mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi
kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat
sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi
sekitar 4,55,3. Bakteri yang berkembang pada
kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei,
Streptococcus
faecium,
dan
Streptococcus
epidermidis.
Kondisi
ini
memungkinkan
terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat
patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap
asam.
Selain
itu,
peningkatan
kualitas
organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya
aroma dan flavor yang unik. Penurunan pH biji
kedelai tidak menghambat pertumbuhan jamur
tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan
bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk.
Proses fermentasi selama perendaman yang
dilakukan bakteri mempunyai arti penting ditinjau
dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula
stakhiosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi
asam dalam biji adalah menghambat kenaikan pH
sampai di atas 7,0 karena adanya aktivitas proteolitik
jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat
meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0
dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan atau
kematian jamur tempe. Dalam biji kedelai terdapat
komponen yang stabil terhadap pemanasan dan larut
dalam air bersifat menghambat pertumbuhan
Rhizopus oligosporus, dan juga dapat menghambat
aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian
sangat penting untuk menghilangkan komponen
tersebut. Proses hidrasi terjadi selama perendaman
dan perebusan biji.
Aroma merupakan bau yang dihasilkan oleh
tempe. Dalam industri pangan pengujian aroma atau
bau dianggap penting karena cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk terkait diterima atau
tidaknya suatu produk [9]. Timbulnya aroma atau bau
ini karena zat bau tersebut bersifat volatil (mudah
menguap), sedikit larut air dan lemak. Ternyata
tempe kedelai dengan penambahan beras hitam
mempunyai aroma yang khas. Aroma khas ini
ditunjukkan dengan adanya bau seperti bau wangi
yang kemungkinan dihasilkan oleh antosianin yang
terkandung dalam beras hitam. Dari hasil uji
organoleptik, tempe kedelai dengan penambahan
212
40
35
30
25
20
15
10
5
0
36,49
18,3
18,13
8
Biji kedelai
Beras hitam
Tempe dengan
penambahan 20%
beras hitam
300
250
200
150
100
247,23
50
88,33
0
beras hitam
tempe
Kandungan Antosianin
Antosianin merupakan senyawa berwarna
yang bertanggung-jawab untuk kebanyakan warna
merah, ungu, biru pada tanaman maupun hasil
tanaman. Senyawa ini termasuk dalam golongan
flavanoid, dengan struktur utama berupa dua cincin
aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan oleh 3
rantai karbon yang membentuk cincin. Degradasi
antosianin dapat terjadi selama proses ekstraksi,
pengolahan makanan, dan penyimpanan. Faktor yang
213
4.
KESIMPULAN
214
1. PENDAHULUAN
Itik adalah jenis unggas sumber protein yang masih
terbatas pengolahannya karena kandungan lemak
tinggi dan bau amissehingga perlu dilakukan blansing
[1] daging itik segar sebelum dibuat produk (sosis).
Daging itik yang beredar dipasaran sebagian besar
adalah daging yang telah mengalami fase post
rigor(fase lunak kembali) [2].Kesalahan penggunaan
daging postmortem dapat mengakibatkan rendahnya
mutu daging sehingga penting diketahui mekanisme
215
3.
karbohid
rat
by
differenc
e
(%)
Bahan
Tepung
kacang
tolo
Alat
Grinder, Cabinet drier type IL-70.110, dan
ayakan tyler 100 mesh Waterbath Memmert type
SV1422 Blender National Deluxe Super Blender
MX-T700GN Mikroskop Olympus CX21LED.
instrumen Lloyd Universal Testing Machine Zwick
type Z0.5 dan Chromameter L a b Konika Minolta
CR400 .
Susu
skim
air
(%wb)
protein
(%db)
lemak
(%db)
abu
(%db)
9.47
24.76
2.91
3.19
69.14
3.6
34.5
0.8
7.8
56.9
Cara Penelitian
Pengolahan Sosis Daging Itik
Daging itik setelah penyembelihan (post
mortem) 1,3,dan 5 jam,diblansing suhu 80C, selama 5
menit, digiling dan dicampur dengan bumbu-bumbu
dan binder tepung kacang tolo : susu skim
:(0%:100%); (25%:75%); (50%:50%); (75%:25%);
(100%:0%) untuk dichopper(emulsifikasi) menjadi
emulsi, kemudian dimasukkan dalam casing dan
direbus.Sosis
yang
dihasilkan
dianalisa
karakteristiknya :fisik, kimiawi dan sensoris untuk
menentukan yang terpilih
dengan binder tepung
kacang tolo : susu skim .
216
67,06a
53.02a
45,41a
Lemak
(%wb)
(%db)
(%db)
setelah
(%)
(%)
Warna
kekerasa
n
(N)
97.31 c
0.46 a
62,86 c
5.93 a
13.68 a
0.16 a
35,15a
96.27 b
0,60 b
60.68 b
6.18 b
14.02 ab
0.21 b
94.71 a
0.75 c
59.96 a
6.69 c
14.11 b
0.24 b
Kadar
Protein
loss
6,34a
Air
cooking
emulsi
37,90b
36,95b
setelah
stabilitas
penyembe
lihan
Waktu
Lama
waktu
penyembe
lihan
1
70.05 a
45.55 a
37.39 a
67.86 a
44.94 a
34.69 a
67.36 a
43.94 a
34.52
Panelis menilai sosis itik kisaran agak sukapada rasa,warna dan keseluruhan. Hasil analisis
statistik menunjukkan kesukaan secara keseluruhan
pada sosis tidak berbeda nyata (Tabel 5).
Tabel 5. Karakteristik sensoris kesukaan sosis itik
Waktu
setelah keRasa
penyembe kenyalan
lihan
1
3.60 a
4.25 a
warna
2.85 a
3.90 a
3.80 a
3.55 a
4.33 a
3.55 a
3.35 b
4.15 a
3.45 a
4.20 a
3.45 a
3.40 b
4.10 a
4.15 a
4.05 a
217
Keseluruhan
Rasa
a
kekeras
an
warna
3.20
4.40
4.05
2,35
3.25
3.15a
4.60a
4.20a
2.85b
3.05ab
3.05
4.55
4.45
2.65a
3.30
Kadar
(%wb)
Protein
(%db)
Lemak
(%db)
(N)
(%deformasi)
Stabilitas
Cooking
emulsi
Loss
(%)
(%)
0 : 100
0.34e
1.80a
65.30e 4.24a
14.70c
97.49 a
0.15 a
25 : 75
0.23d
2.28b
64.24d 4.43b
14.37b
96.58 a
0.15 a
50 : 50
0.21
2.82
62.98
75 : 25
0.19b
3.39d
62.05b 4.87c
14.06a
95.61 a
0.32 b
100 : 0
0.16a
4.68e
57.51a 5.64e
13.99a
95.48 a
0.36 b
4.78
14.18
ab
96.27
0.26 ab
Karbohidrat
Abu
Warna
Air
Kekenyalan
Variasi
Kekerasan
Karakteristik
kimiawi sosis itik setelah
penyembelihan 3 jam dengan binder tepung kacang
tolo:susu skim: (0:100); (25:75); (50:50); (75:25);
(100:0)
TKT : SS
Variasi
TKT : SS
By Difference
Variasi
(%db)
(%db)
0 : 100
70.98a
65.51b
22.32 a
6.55d
5.62a
25 : 75
74.50b
63.79ab
23.41 b
6.33 d
6.28b
50 : 50
75.07b
61.47 ab
24.72 c
5.21c
9.60ab
75 : 25
75.26bc
60.98ab
25.46 d
2.00b
11.56b
100 : 0
76.55c
59.01a
26.55 e
0.98a
13.46b
Warna
TKT : SS
sifat
rasa
beany
bau
Ke-
kerasan
kenyalan irisan
gurih
flavor
amis
seluruhan
4.29c
4.14b
4.14bc
3.71a
3.90b
3.20a
4.57a
25 : 75
4.33
4.19
4.33
4.62a
50 : 50
3.86bc
3.90ab
3.86ab
3.52a
3.95abc 3.76ab
3.76 a 4.29ab
75 : 25
3.67ab
3.86ab
3.86ab
3.48a
4.10bc
3.48a
4.10b
4.10b
218
ke-
0 : 100
100 : 0
ke-
3.67
3.76
3.62
3.57a
3.52
3.43
ab
3.86
4.19
3.86
ab
3.48ab
3.43
3.24
3.48
Kadar
Warna
TKT : SS
0 : 100
25 : 75
2.62a
ab
2.81
ab
ke-
ke-
kerasan
bau
rasa
beany
kenyalan irisan
amis
gurih
flavor
3.67c
3.86b
3.86b
3.76a
4.04a
2.71a
3.67
2.90
3.10
sifat
3.62
3.71
3.71
4.19
2.95a
3.24a
3.33ab
3,62a
4.24a
3.10a
3.14a
2.81a
3.76a
4.47a
3.10a
2.90
3.00
3.29
75 : 25
3.24ab
2.86ab
100:0
3.62b
2.71a
4.14
3.43
50 : 50
ab
Protein
Lemak
Abu
by Difference
TKT : SS
(%wb)
(%wb)
(%wb)
(%wb)
(%wb)
0 : 100
70.98a
17.77 e
5.97 a
1.90e
3.38c
25 : 75
74.50
50: 50
75.07
75 : 100
75.26bc
0 : 100
76.55
SNI
67.7
6.16
ab
15.90
6.22
ab
15.09b
6.29 bc
16.70
13.74
6.50
min. 13%
mak. 13%
0.62
2.02ab
1.30
1.51a
0.50b
2.86bc
2.98bc
0.23
mak. 3%
mak. 8%
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa waktu setelah penyembelihan berpengaruh
terhadap pH dan WHC sehingga menghasilkan sifat
fisik(stabilitas emulsi,cooking loss dan kekerasan yang
berbeda.Sosis itik yang menggunakan daging itik 3
jam setelah penyembelihan dengan binder tepung
kacang tolo 50% memiliki stabilitas emulsi (96.27%);
cooking loss (0.26%); dengan nilai kesukaan
keseluruhan agak suka suka dengan nilai kekerasan,
kekenyalan dan warna yang dapat diterima konsumen
serta nilai protein (15.90%db), Lemak(6,22%db),
abu(1.30%db), dan karbohidrat (1.51%db) yang
memenuhi Standar Standar Nasional Indonesia
Warna : 1.putih; 3. agak cokelat ; 4. cokelat muda; 7. cokelat keabuabuan .Kekerasan : 1. sangat tidak keras sekali; 3. tidak keras; 4.
agak keras; 7. sangat keras sekaliKekenyalan : 1. sangat tidak
kenyal sekali; 3. tidak kenyal; 4. agak kenyal; 7. sangat kenyal
sekali
Air
Karbohidrat
Variasi
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arbele.,H.B.Forrest,J.C.,E.D.Hendrick.,M.D.Judge
dan
R.A.Merkel.2001.Principles
of
Meat
Science.4th Edit.Kendal/Hunt Publishing Co.,USA
[2] Acton,J.C dan R.L.Saffle.1971. Stability of OilWater Emulsion,Effects of Oil Phase Volume,
Stability Test, Viscosity, Type of Oil and Protein
Additive. J. of Food Science Vol.36:1118-1120
219
[4]
[5]
Rangel,Saravia,K.,Schwenger,P.,Sarciso,
M.S.Domont.,G.B.,Ferreira Sergio T., and
Pedrosa,C. 2003. Biological Evaluation of
Notulensi Diskusi:
PGO-220, Sri Kanoni dkk, Pengaruh Waktu Setelah
Penyembelihan Itik Terhadap Karakteristik Sosis
Dengan
Binder
Tepung
Kacang
Tolo
(Vignaunguiculata L. Walp)
220
1. PENDAHULUAN
Protein adalah bahan pangan yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
bagi tubuh. Salah satu sumber protein yang banyak
dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah protein
nabati yang berasal dari kacang kedele, harganya
murah, rasanya enak dan tinggi protein. Akan tetapi
ada permasalahan dengan kacang kedele, yaitu
kacang kedele adalah tanaman sub tropis dan
kebanyakan merupakan komoditas impor. Dengan
demikian perlu adanya alternatif pengganti kacang
kedele dan merupakan kacang-kacangan yang
berasal dari sumberdaya lokal, dimana salah
satunya adalah kacang Nagara (Vigna unguiculata
sp Cylindrica) yang merupakan kacang lokal
Kalimantan Selatan yang tumbuh di daerah rawa
221
berukuran kecil dan berwarna putih kekuningkuningan dengan hilum berwarna coklat tua.
Kultivar papan mempunyai polong besar, biji besar
berwarna putih kekuning-kuningan atau kehijauhijauan dengan hilum besar berbentuk segitiga
berwarna coklat tua. Kultivar Kuning berpolong
besar, pada waktu muda polong berwarna hijau dan
putih kekuning-kuningan jika matang, biji putih
kekuningan-kuningan dengan hilum berwarna
coklat tua. Kultivar Arab berpolong besar, dengan
ukuran biji yang jiga relatif besar, biji berwarna
putih agak kekuning-kuningan dengan hilum
berwarna hitam [1]. Kacang tunggak kultivar
Kuning yang tumbuh di daerah Nagara menjadi
kacang tunggak unggul Nasional dengan nama
kacang Nagara atau kacang tunggak kultivar
Nagara pada tahun 1994 [2].
Kacang-kacangan dapat diolah menjadi
suatu olahan yang enak dan bergizi, seperti tempe.
Tempe adalah makanan yang diperoleh dengan cara
memfermentasikan
kacang-kacangan
dengan
menggunakan kapang Rhizopus oligosporus.
Tempe adalah makanan yang terkenal di Asia
Tenggara dan sekarang sudah menyebar ke seluruh
penjuru dunia, seperti Asia dan Afrika.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan
konsumen dan sifat fisiko kimia tempe kacang
Nagara yang tersubstitusi dengan kacang kedele
dan dibandingkan dengan kacang tunggak kultivar
arab.
222
25 : 75 kedele : Nagara
50 : 50 kedele : Nagara
75 : 25 kedele : Nagara
25 : 75 kedele : arab
50 : 50 kedele : arab
75 : 25 kedele : arab
223
224
225
226
Gambar 6. Kadar karbohidrat pada kacang Nagara dan tempe kacang Nagara
4. KESIMPULAN
Kacang Nagara (Vigna unguiculata spp
Cylindrica) berpotensi untuk diolah menjadi tempe
dan menjadi sumber protein nabati. Tempe kacang
Nagara yang tersubstitusi kacang kedele pada rasio
50 : 50 masih diterima konsumen dari sisi rasa,
aroma, tekstur, warna dan penampilan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan
Selatan yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI
[1] Badrussaufari dan C. Nisa. 1999. "Studi
Mikroskopik Kromosom Kacang Nagara
(Vigna sp.)". [Laporan Penelitian]. Faperta
Unlam, Banjarbaru.
[2] Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih
Tanaman
Pangan
dan
Hortikultura
Kalimantan Selatan. 1994. "Pelepasan
Kacang Nagara sebagai Kultivar Unggul".
BPSBTPH, Banjarbaru.
[3] O. R. Afolabi dan T. O. S. Popoola. 2005. "The
Effects of Baobab Pulp Powder on the
Micro
Flora
Involved
in
Tempe
Fermentation". Eur. Food Res. Technol.
220:187190.
[4] Hustiany, R. dan Mustikasari, K. 2009.
"Karakterisasi Dan Fraksinasi Produk
Bernilai Protein
Tinggi dari Kacang
Nagara dan Tempe Kacang Nagara (Vigna
Unguiculata Spp Cylindrica)". [Laporan
Hibah Fundamental].Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin.
Notulensi Diskusi:
PGO-221, Rini Hustiany, Potensi Kacang Nagara
(Vigna unguiculata spp Cylindrica) untuk Olahan
Tempe
227
1. PENDAHULUAN
Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan
keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum yang
disebabkan aktivitas jasad renik dalam rongga mulut
yang tidak bersih. Hingga saat ini, karies masih
merupakan masalah kesehatan baik di negara maju
maupun di negara-negara berkembang. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2013, prevalensi
228
229
231
% Inhibisi*
24 Jam 48 Jam
-20%
-11%
13%
-8%
47%
31%
33%
15%
63%
36%
80%
33%
DAFTAR REFERENSI
[1] Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2007). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKEDAS) Nasional.
[2] Narins, B. (2003). World of Microbiology and
Immunology. America: Thomson Gale.
[3] Azarpazhooh, A., & Limeback, H. (2008).
Clinical efficacy of casein derivatives: A
systematic review of the literature. The Journal
of the American Dental Association, 139(7),
915-924.
[4] Hudnall, M. (2007). United States Patent No.
7.294.351.
[5] Rasinta, T. (1999). Karies Gigi. Jakarta:
Hipokrates.
[6] Nakai, M., Okahashi, N., Ohta, H., & Koga, T.
(1993). Saliva-binding region of Streptococcus
mutans surface protein antigen. Infection And
Immunity, p.4344-4349.
[7] Koo, H., Rosalen, L. P., Cury, A. J., Park, Y.
K., dan Bowen, W. H. (2002). Effects of
Compounds
Found
in
Propolis
on
Streptococcus mutans Growth and on
Glucosyltransferase Activity. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, 46 (5), 13021309
[8] Di Carlo G, Mascolo N, Izzo AA, Capasso F.
Falvonoids: old and new aspects of a class of
natural therapeutic drugs. Life Sci 1999; 65
(4):33753.
[9] Wilson, Gisvold. (1982). Kimia farmasi dan
medisinal organik. Edisi ke-8. Achmad
Mustofa Fatah. Jakarta: Dirjen Dikti dan
Kebudayaan h. 102.
[10] Di Carlo G, Mascolo N, Izzo AA, Capasso F.
Falvonoids: old and new aspects of a class of
natural therapeutic drugs. Life Sci 1999; 65
(4):33753.
233
234
Noerhartati
1)Program Studi Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknik -Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Jl. Dukuh Kupang XXV/54 Surabaya 60225
Telpon (031) 5677577 (psw 135,134) / Fax (031) 5679791, 8295513 / Hp. 08563046119
email: endang_noer@uwks.ac.id
Abstrak - Sorgum sebagai sumber pangan potensial mendukung program diversifikasi dan ketahanan pangan,
peringkat ke-5 setelah gandum, padi, jagung dan barley. Penelitian bertujuanmendapatkan kombinasi terbaik
cookies, flake, stik, mie sorgum, menggunakanRancanganAcakKelompok (RAK) 2 faktor3 ulangan. Faktor I:
JenisTepung (T): T1: tepung sorgum merah (Sorgum bicolor) dan T2: tepungsorgumputih (KD 4). FaktorII
:Konsentrasi (K): K1:25%; K2:50%; K3:75%; dan K4:100%. Pengamatan: ujiorganoleptik parameter rasa,
warna, aroma, dan kerenyahan, kadar air, karbohidrat, protein, dan lemak. Analisis data:
ujiorganoleptikmenggunakanuji Friedman, analisis kimia menggunakananalisisvarian dilanjutkan ujiduncan
5%. Hasilpenelitian: 1) rendemen biji 6 ton/ha, beras 4,2 ton/ha, tepung 4,2 ton/ha, bekatul 0,6 ton/ha, dedak
sorgum 1,2 ton/ha; 2) kombinasi perlakuan terbaik cookies: T1K4,flake: T1K2, stik: T1K3, dan mie: T1K1; 3)
kombinasi terbaik cookies kedua: T2K4, flake: T2K2, stik: T2K3, dan mie: T2K1; 4) kadar air cookies=2-3%,
flake=2-2,5%, stik=2-3%, dan mie=2-3%; 5) karbohidrat cookies=71-74%, flake=48-50%, stik=64-66%, dan
mie=39-45%; 6) protein cookies=10-12%, flake=2-2,5%, stik=4,5-5,1%, dan mie=8-9%; 7) lemak cookies=710%, flake=3-5%, stik=6-7%, dan mie=2-4%; 8) uji organoleptik parameter rasa, warna, dan aroma berbeda
nyata, sedangkan kenampakan tidak berbeda nyata; 9) produk cookies, stik, flake, dan mie parameter
rasa=3(netral)-5(sangat menyukai), warna=3-5; aroma=3-5; kerenyahan=4(menyukai)-5.
Kata Kunci: Tepung sorgum, cookies, flake, stik, dan mie
Abstract-Sorghum as a potential food source supporting the diversification and food security programs, ranked
5th after wheat, rice, maize and barley. The research aims to obtain the best combination of cookies, flake, stick,
sorghum noodles, using a randomized block design (RBD), factorI, T1: redflour(Sorghum bicolor);T2: white
flour(KD4), factorII: Concentration: K1:25%; K2:50%; K3:75%; and K4:100%. Observations: organoleptik of
taste, color, flavor and crispness, moisture content, carbohydrate, protein, and fat. Data analysis: organoleptic
test using Friedman test, chemical analysis using analysis of variance test followed duncan 5%. Results of:1)
seed yield 6 tons/ha, rice 4,2 tons/ha, flour 4,2 tons/ha, bran 0,6 tons/ha, husk 1,2 tons/ha; 2) The best of
cookies: T1K4, flake: T1K2, sticks: T1K3, and noodles: T1K1; 3) a combination of the two best cookies:T2K4,
flake:T2K2, sticks:T2K3, and noodles:T2K1; 4) The moisture content of cookies=2-3%, flake=2-2.5%, stick=2-3%,
and noodles=2-3%; 5) carbohydrate of cookies=71-74%, flake=48-50%, stick=64-66%, and noodles=39-45%;
6) protein of cookies=10-12%, flake=2-2,5%, sticks=4,5-5,1%, and noodles=8-9%; 7) fat of cookies=7-10%,
flake=3-5%, sticks=6-7%, and noodles=2-4%; 8) organo leptic parameters of taste, color, and flavor were
significantly different, while the appearance; 9) cookies,stick, flake, and the noodles, taste
parameter=3(neutral)-5(very fond), color=3-5; aroma=3-5; crispness=4(liked)-5.
Keywords: sorghum flour, cookies, flakes, sticks, and noodles
1.
PENDAHULUAN
235
3.
METODE PENELITIAN
No.
Bahan
yang
digunakan
adalah
tepungsorgum merah (Sorgum bicolor) dan tepung
sorgum putih (KD 4)
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Analisa Hasil Industri Program Studi Teknologi
Industri Pertanian Fakultas Teknik Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya, tahun 2013-2014
Penelitian
menggunakan
metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor, 3
ulangan. Faktor I: Jenis Tepung (T): T1: tepung
sorgum merah (Sorgum bicolor) dan T2: tepung
sorgum putih (KD 4). Faktor II : Konsentrasi
Tepung (K): K1: 25%, K2: 50%, K3: 75%, dan K4:
100%.Proses pembuatan cookies, flake, stik, dan
mie basah disajikan pada Gambar 1.
Pengamatan meliputi uji organo leptik
parameter rasa, warna, aroma, dan kerenyahan,
kadar air, karbohidrat, protein, dan lemak. Analisis
data: uji organoleptik menggunakan uji Friedman,
analisis kimia menggunakan analisis varian
dilanjutkan ujiduncan 5%.
Produk
1.
Biji
Sorgum
Merah/T1
(Sorghum
bicolor)
Warna merah
Sorgum
Putih/T2
(KD4)
2.
Beras
Warna merah
Warna putih
3.
Tepung
Warna merah
Warna putih
4.
Cookies
5.
Stik
6.
Flake
7.
Mie
Warna coklat
tua
Warna coklat
tua
Warna coklat
tua
Warna Coklat
Warna coklat
muda
Warna coklat
muda
Warna coklat
muda
Warna kuning
Warna putih
Pencampuran
Pencetakan
Pengeringan
Cookies, Flake,
Stik, Mie Sorgum
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Cookies, Flake, Stik,
Mie basah Sorgum [3,4, 5]
236
(mg)
Besi (mg)
Posfor
(mg)
0,8
140
4,6
380
1,2
106
4,4
287
Unsur
Nutrisi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Beras
Jagung
78,9
6,8
0.7
Gandum
72,4
8,7
4,5
77
8,9
1,3
Rasa,
(17 %)
Warna
(14 %)
Protein
(14 %)
Lemak
(14 %)
Aroma
( 12 %)
Penampakan
(14 %)
Unsur
Nutrisi
Vitamin
B1(mg)
Kalsium
Beras
Jagung
Gandum
Sorgum
0,12
0,27
tad
0,38
16
28
237
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
rendemen biji 6 ton/ha, beras 4,2 ton/ha, tepung 4,2
ton/ha, bekatul 0,6 ton/ha, dedak sorgum 1,2 ton/ha.
Kombinasi perlakuan terbaik pada cookies: (T1K4)
,flake ( T1K2), stik (T1K3 ), dan mie (T1K1 ). Kadar
air cookies (2-3%), flake (2-2,5%), stik (2-3%) dan
mie (2-3%). Kandungan karbohidrat cookies (7174%), flake (48-50%), stik (64-66%), dan mie (3945%). Kandungan protein cookies (10-12%), flake
(2-2,5%), stik (4,5-5,1%), dan mie (8-9%).
Kandungan lemak cookies=7-10%, flake=3-5%,
stik=6-7%, dan mie=2-4%. Hasil uji organoleptik
menunjukkan berbeda nyata pada parameter rasa,
warna, dan aroma, sedangkan kenampakan tidak
berbeda nyata.
Notulensi Diskusi:
PGO-223, Endang Noerhartati, Pengembngan
Ragam Produk Cookies, Flake, Stik, Mie Sorgum:
Dalam Rangka Menggerakkan Industri Pangan
Sorgum
DAFTAR REFERENSI
[1] Depkes RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Penerbit Bhratara. Jakarta.
[2] Kentz, N.L. 1970. Technology of Cereal.
Pergamon Press. Sydney.
[3] Metz, S.A. 1970. Cereal Technology. The AVI
Publishing Company. USA.
[4] Nasional Sorghum Producers. 2007. Grain
Sorghum Production Handbook.University of
Arkansan Division of Agriculture.North
Inerstate 27 lubbock.Texas.
(www.sorghumgrowers.com)
238
239
1.
PENDAHULUAN
2.
240
Kadar (%)
Air
7,26 0,22
Abu
5,45 0,01
Lemak
4,15 0,01
Protein
47,892,64
Karbohidrat
35,262,67
Kadar (%)
Air
5,78 0,14
Abu
2,66 0,09
Lemak
0,02 0,02
Protein
10,35 5,13
Karbohidrat
81,17 5,34
Kadar antosianin
25,03 3,34
Pengujian Sensoris
241
Air
6,24 0,27 %
Abu
5,52 1,15%
Lemak
5,341,64%
Protein
49,66 2,12 %
33,241,85 %
Total fenol
Kekentalan Minuman
Kekentalan minuman diukur dengan Brookfield
Viscometer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
minuman ekstrak protein kedelai yang ditambah
antosianin ini memiliki kekentalan 2,40 Centipoise.
Sebagai perbandingan, viskositas air adalah 1,01
Centipoise sehingga minuman dua kali lebih kental
daripada air biasa.
Karbohidrat
242
Gambar 2. Z
Zona Jernih
Zona Jernih
Kestabilan
Hasil pengujian kestabilan menunjukkan bahwa ada
pengendapan setelah 5 menit pertama minuman
diseduh dengan air bersuhu ruang.Hal ini tampak dari
terbenttuknya zona jernih pada bagian atas larutan
seperti terlihat pada Gambar 2.Setelah dituang, masih
terdapat endapan di dasar wadah/tabung reaksi, seperti
tampak pada Gambar 3.Adanya zona jernih dan
endapan setelah penuangan memperlihatkan bahwa
minuman kurang stabil atau mudah mengendap.
11,28
21,61
43,17
75,09
97,00
1,07798
2,599646
5,472922
15,36168
44,7622
Kelarutan Minuman
Telah dilakukan evaluasi mengenai kelarutan
bubuk minuman menurut metode Kinsella [13]. Hasil
pengujian memperihatkan bahwa kelarutan bubuk
minuman dalam air adalah 25,74%.
Pengujian Umur Simpan Bubuk Minuman
DAFTAR REFERENSI
[1]
4.
KESIMPULAN
243
244
PANGAN
Bidang bahasan : Mikrobiologi dan Keamanan Pangan
245
1.
PENDAHULUAN
2.
246
Tabel 1. Jumlah S. typhimurium pada daging dada ayam dengan biopreservatif selama penyimpanan
pada suhu 270C dan suhu 40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0
Kontrol
1,23 0,23
a
6
c
3,84 0,24
b
12
5,85 0,25
cd
1,23 0,23
a
14
28
3,76 0,05
3,34 0,41
Bakteriosin IAI
1,56 0,17
2,92 0,02
4,25
0,30
1,56 0,17
2,64 0,06
2,67 b 0,08
Nisin
1,21 a 0,12
3,18 b 0,25
4,48 d 0,09
1,21 a 0,12
2,98 bc 0,09
2,99 bc 0,14
Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%
Tabel 2. Jumlah E.coli pada daging dada ayam dengan penambahan biopreservatif selama penyimpanan
pada suhu 270C dan 40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
Kontrol
12
14
28
2,62 0,09
3,53 0,20
4,30 0,02
2,62 0,09
3,50 0,23
3,70 0,08
247
Bakteriosin IAI
Nisin
Rataan
2,47 0,15
2,52 0,06
2,54 a 0,11
3,12 0,10
3,11 0,07
3,25 b 0,24
4,07 0,07
4,10 0,09
4,16 c 0,12
2,47 0,15
2,52 0,06
2,54 a 0,11
3,02 0,04
2,99 0,19
3,17 b 0,29
3,33 0,05
3,45 0,10
3,49 c 0,18
Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%
Tabel 3. Jumlah L. monocytogenes dalam daging dada ayam dengan biopreservatif selama penyimpanan pada suhu 270C dan
40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Biopreservatif
Kontrol
Bakteriosin IAI
Nisin
Rataan
6
4,35 0,75
4,15 0,22
2,97 0,38
3,82 b 0,77
12
5,31 0,10
4,56 0,16
3,69 0,16
4,52 c 0,71
14
< 3,00 0,00 *
< 3,00 0,00 *
< 3,00 0,00 *
28
4,02 e 0,08
3,16 d 0,11
2,86 cd 0,08
Keterangan : angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%
- tanda bintang (*) menunjukkan tidak adanya pertumbuhan pada pemupukan yang dilakukan, sehingga tidak ikut
diperhitungkan dalam analisis statistik
248
Tabel 4. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi S. typhimurium penyimpanan
Pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu
Biopreservatif
suhu 270C
40C
0
12
28
Kontrol
20,94 7,00
19,57 2,45
20,94 7,00
21,94 0,48
Bakteriosin IAI
21,39 0,71
18,11 2,45
21,39 0,71
20,94 2,80
Nisin
19,42 4,61
19,95 6,11
19,42 4,61
21,29 0,44
Tabel 5. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi E. coli penyimpanan
Pada suhu 270C dan 40C
249
Penambahan
Biopreservatif
12
28
Kontrol
18,49 4,22
20,23 1,64
18,49 4,22
20,60 2,77
Bakteriosin IAI
20,06 1,40
21,15 2, 85
20,06 1,40
21,92 0,53
Nisin
23,29 0,06
20,66 1,73
23,29 0,06
20,85 0,60
Tabel 6. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi L. monocytogenes penyimpanan
pada suhu 270C dan40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada
Lama Penyimpanan (jam) pada
Biopreservatif
suhu 270C
suhu 40C
0
12
28
Kontrol
21,11 1,40
19,46 0,71
21,11 1,40
22,20 0,62
Bakteriosin IAI
22,59 2,51
19,75 3,09
22,59 2,51
22,20 0,63
Nisin
18,23 2,87
20,92 1,52
18,23 2,87
22,76 0,75
Tabel 7. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi S. typhimurium selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0
12
14
28
Kontrol
5,84 0,13
5,93 0,24
5,84 0,16
5,84 0,13
5,98 0,14
6,32 0,03
Bakteriosin IAI
5,96 0,07
5,76 0,21
5,51 0,06
5,96 0,07
5,85 0,20
6,03 0,29
Nisin
6,08 0,14
5,77 0,10
5,64 0,06
6,08 0,14
6,04 0,14
6,06 0,40
Rataan
5,96 a 0,14
5,82 b 0,19
5,66 c 0,17
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %
Tabel 8. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi E.Coli selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0
12
14
28
Kontrol
6,04 0,33
5,93 0,37
5,79 0,06
6,04 0,33
5,96 0,14
6,23 0,25
Bakteriosin IAI
6,16 0,15
5,86 0,20
5,75 0,21
6,16 0,15
5,89 0,25
6,03 0,16
Nisin
6,17 0,07
5,69 0,09
5,84 0,23
6,17 0,07
6,31 0,15
6,20 0,17
Rataan
6,12 0,19
5,83 0,24
5,79 0,16
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %
Tabel 9. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi L. monocytogenes selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
Kontrol
12
14
28
6,03 0,09
5,80 0,26
5,83 0,23
6,03 0,09
6,07 0,15
6,18 0,42
250
Bakteriosin IAI
6,09 0,18
5,85 0,12
5,56 0,10
6,09 0,18
6,05 0,15
5,99 0,33
Nisin
6,03 0,06
5,99 0,25
5,60 0,09
6,03 0,06
6,07 0,36
6,15 0,04
Rataan
6,05 0,11
5,88 0,21
5,67 0,18
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %
4. KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI
[1] Susann M, T. Dong, A. Rathemacher, H. Rohm and
D. Jaros. Physicochemical characterisation of the
exopoly
saccharides
of
Streptococcus
thermophilus ST-143. 2014. International Journal
of Food Science & Technology. 49 (5): 1254
1263
[2] Usmiati, S.,T. Marwati, R. Sunarlim, Abubakar,
C. Winarti, Miskiah, T. Ariyanti, Sugiarto, dan
M. Wahyudi,Teknologi produksi Bakteriosin
sebagai biopreservatif untuk
mengendalikan
kontaminan daging dan produk daging. Laporan
Akhir, 2007, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
[3] Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, Prinsip dan
Prosedur Statistika, Terjemahan B. Sumantri, PT
Gramedia Pustaka Utama, 1991, Jakarta.
[4] Gonzales, B. E., F. Glaasker, F. R. S. Kunji. A. J.
M. Driessen, J. E. Suarez, and W. N. Konings,
Bactericidal mode of action of Plantaricin S, J.
Appl. Environ. Microbiol, 1996, 62:2701-2709.
251
252
253
254
Sampel
97
Hasil
pemeriksaan
PCR
dengan
elektroforesis menunjukkan adanya pita DNA
yang sesuai dengan target DNA yang
diamplifikasi
Negatif
57
Positif
EPEC : 2
EAEC : 27
EHEC : 3
EHEC, EAEC : 4
EPEC, EAEC : 2
EPEC, EAEC, EHEC : 2
255
4. KESIMPULAN
1. Escherichia coli strain patogen merupakan salah
satu agen infeksi penyebab diare di Indonesia
2. Enteroaggregatif E.coli (EAEC) merupakan strain
yang paling dominan sebagai E.coli penyebab diare
pada anak yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Soetomo.
Surabaya.
DAFTAR REFERENSI
256
1. PENDAHULUAN
Pemasalahan penyakit menular khususnya
penyakit demam tifoid sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia. Indonesia merupakan salah
satu wilayah endemis demam tifoid dengan
257
3.
Intensitas
Extremely
Low
Frequency
Magnetic Field (ELF-MF)
Intensitas medan magnet yang digunakan
dalam penelitian ini ditujukan untuk membunuh
mikroba patogen S. typhimurium yang terdapat
dalam bahan pangan gado-gado. Intensitas
paparan medan magnet ELF yang hasilkan oleh
alat ELF Magnetic Sources di Laboratorium
Fisika Lanjut FKIP, Universitas Jember, dengan
cara mengatur kuat arus listrik pada alat seperti
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Intensitas ELF-MF untuk mendekstruksi
Salmonella Typhimurium
Kuat arus
(Ampere)
500
700
900
409.7
536.3
646.7
259
260
DAFTAR REFERENSI
[1]
Brusch
JL,
Typhoid
Fever.
http://emedicine.medscape.com/article/23
1135-overview.
[2] Duun J, Clark RW, Asmus JF, Pearlman JS,
Boyer K, Pairchaud F, Hofmann GA.
1991. Methods for Preservation of
Foodstuffs. US: Maxwell Laboratories
Inc.
[3] Estiasih T, Ahmadi Kgs. 2011. Teknologi
Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi
Aksara
[4] Fardiaz, S,. Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU
Institut Pertanian Bogor. 1989.
[5] Gurtler, J.B., R.B. Rivera, H.Q. Zhang, D.J.
Geveke. 2010. Selection of surrogate
bacteria in place of E. coli O157:H7
and Salmonella Typhimurium for
pulsed electric field treatment of
orange juice. International Journal of
Food Microbiology 139 (2010) 18
[6] Indahwati dan Jusmaldi. (2010). Studi kasus
frekuensi kejadian penyakit tropis dan
penyebaran
kelompok
resikonya
berdasarkan hasil pemeriksaan sampel
laboratorium di Rumah Sakit Islam
Samarinda. Jurnal Bioprospek. Vol. 7
No. 1
[7] Lavigne J.P., A.B. Blanc-Potard. 2008.
Molecular evolution of Salmonella
enterica serovar Typhimurium and
pathogenic Escherichia coli: From
pathogenesis to therapeutics. Infection,
Genetics and Evolution 8 217226.
[8] Lesser CF, Samuel IM. 2005. Salmonellosis.
Harrisons
Principles
of
Internal
Medicine (16th ed), 897-900.
[9] Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar
Mikroboilogi, Terjemahan Ratna SH dkk.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Notulensi Diskusi:
PGO-303, Sudarti dkk, Pemanfaatan Medan
Magnet Extremely Low Frequency (ELF)
sebagai Alternatif Strerilisasi Salmonella
Typhimurium pada Gado-Gado
261
262
263
284 bp
(a)
Sampel
Hasil Identifikasi
Kelompok
Kelompok
Salmonella
Serotipe
Tifoid
PK 1
PK 2
PK 3
PK 4
+
+
+
-
O4 , O7
O4
O4 , O9
-
-,-,+
-
KS 1
KS 2
KS 3
KS 4
+
+
+
-
O4
O4
-
PJ 1
O4
IK 1
IK 2
IK 3
IK 4
+
-
- , O7
-
-,-
AB 1
KP 1
264
DAFTAR REFERENSI
[1] Kementerian Kesehatan RI, Situasi Diare di
Indonesia, Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan, Triwulan II, 2011, hal. 6.
[2] C. Bell and A. Kyriakides, Salmonella : A
Practical Approach to The Organism and Its
Control In Foods, Blackwell Science, Ltd.
Oxford, 2002.
[3] M.D. Miliotis and J.W. Bier, International
Handbook of Foodborne Pathogens, Marcel
Dekker, Inc, New York, 2003.
[4] W.H. Andrews, A. Jacobson, and T. Hammack,
Chapter 5: Salmonella, Bacteriological
Analytical Manual, US-FDA, 2011.
[5] Malorny, B., J. Hoorfar, C. Bunge, and R.
Helmuth. Multicenter Validation of the
265
2)
Abstrak - Banyak produk pengawet yang digunakan dalam produk makanan, dimana dapat mengganggu
kesehatan tubuh. Sebenarnya Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah tersebut, seperti daun belimbing wuluh yang memiliki komponen antimicrobial yang tinggi. Daun
tersebut dapat diekstraksi menggunakan metode iradiasi gelombang mikro. Keuntungan dari metode ini lebih
cepat dari metode konvensional dan dapat mengekstrak komponen dari daun belimbing wuluh seperti polifenol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya microwave dan volume pelarut pada karakteristik dari
ekstrak daun belimbing wuluh. Ini merupakan pengawet alternatif yang dapat digunakan untuk mengawetkan
makanan dan sebagai antimikroba. Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua
perlakuan antara daya microwave dan rasio bahan pelarut aquades dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
Analisa data statistik menggunakan ANOVA dan DMRT. Hasil penelitian ini didapatkan satu perlakuan terbaik
yaitu pada perlakuan volume pelarut 450 ml dan daya ekstraksi 280 W yang memiliki rendemen sebesar
82.419%, dan total fenol sebesar 5721.139 (g/g), uji aktivitas antimikroba sebesar 7.33 (mm) dan KHM ekstrak
daun belimbing wuluh pada konsentrasi 80% dan 100%.
Kata Kunci: antimikroba, Averrhoa bilimbi linn, microwave
Abstract - Many synthetic ingredients are used in food products, which can damage the human body gradually.
In the other hand, Indonesia has many natural resources to solve this problem, such as the leaves star fruit
(Averrhoa bilimbi linn) that have high content of antimicrobial substances. It can be extracted by microwave
irradiation method. The advantages of this method are faster than conventional method and can extract the
content of star fruit leaves such as polyphenol compounds. The aim of this research is to study the influences of
microwave power and solvent volume on characteristic of leaves star fruit extraction. This alternative
preservative can be used for food preservatives and antimicrobials. The research method used a randomized
block design (RBD) with two factors ; ratio power of microwave and volume of solvent. Statistical analysis using
ANOVA and DMRT. The best treatment was solvent treatment volume of 450 ml and power of microwave of 280
W which average of yield value 82.419%, total phenols 5721.139 (g /g), the antimicrobial activity 7.33 (mm)
and Concentration of Minimum Block on extract of star fruit concentration 80% and 100%.
Keywords: antimicrobial, Averrhoa bilimbi linn, microwave
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan
sumberdaya alam, banyak tumbuhan mempunyai
khasiat sangat tinggi untuk kehidupan manusia.
Kandungan alam yang ada di Negara Indonesia
merupakan suatu keuntungan yang harus bisa
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa. Banyak
kandungan alam yang memiliki khasiat penting bagi
kehidupan, dan itu perlu adanya pemanfaatan yang
baik untuk menunjang dan meningkatkan suatu ilmu
sains untuk Indonesia.
Pada era ini banyak pemakaian bahan non-alami
pada produk pangan, dan bisa merusak organ-organ
tubuh manusia secara perlahan dalam jangka yang
panjang. Hal ini menjadi persoalan penting yang harus
dipecahkan dalam mengurangi pemakaian bahanbahan non-alami pada produk pangan. Pemakaian
266
P1 (bahan : Pelarut
1:250 ml)
P2 (bahan : Pelarut
1:350 ml)
P3 (bahan : Pelarut
1:450 ml)
D1
(20%)
D2
(40%)
D3
(60%)
P1D1
P1D2
P1D3
P2D1
P2D2
P2D3
P3D1
P3D2
P3D3
adalah
digital,
tabung
rotary
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk analisa
pengaruh Metode Microwave Assisted Extraction
(MAE) terhadap kadar fenol yang terekstrak dari daun
belimbing wuluh ini adalah dengan pengulangan
masing-masing sebanyak tiga kali. Metode rancangan
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 2 perlakuan yaitu Daya Microwave (D) yang
terdiri atas 3 level (20% (140 W), 40% (280 W),
60% (420 W)) dan rasio bahan : pelarut (P) yang
terdiri atas 3 level (250, 350, 450 ml). Kombinasi
rancangan penelitian dari kedua perlakuan tersebut
ditampilkan pada tabel 1. Diagram alir perlakuan
dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.
267
Diayak 60 mesh
Bubuk daun
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Proses Persiapan Bahan
Mulai
Dimasukkan erlenmeyer
Dipenetrasi 5 menit
Daya
Microwave
(D) (20, 40,
60%)
Dimicrowave 6 menit
Supernatan
Ampas
Disaring dengan
kertas saring
Filtrat
Konsentrat
Pekat
Analisa
Selesai
Gambar 2. Proses Ekstraksi Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa Bilimbi Linn)
268
269
No.
Perlakuan
Rerata
OD
Awal
Rerata
OD
Akhir
Selisih
1
2
3
4
5
20%
40%
60%
80%
100%
0.083
0.326
1.128
1.481
1.743
0.401
0.773
1.321
1.461
1.732
0.392
0.447
0.193
-0.02
-0.011
Ulangan
1
2
3
Diameter (mm)
8
7
7
Rerata (mm)
7.33
270
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
DAFTAR REFERENSI
[1]
[2]
[14]
271
1.
PENDAHULUAN
272
Pemanasan
Tapioka
Homogenisasi
Agar dan
BPA
Homogenisasi
Gliserol
Pendinginan
Egg yolk
tellurite
Pencetakan
Pengeringan
Label cerdas
273
(a)
(b)
(a)
(b)
274
diunduh
pada
08
Agustus
2014,
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/
LaboratoryMethods/ucm071429.htm
[8] Acumedia, Baird Parker Agar 7112, Neogen
Corporation, 2012.
[9] Beishir L, Microbiology In Practice: A SelfInstructional Laboratory Course, Fifth Edition.
New York, Harper Collins Publisher Inc., 1991.
[10] Ray B, Fundamental Food Microbiology, Third
Edition, USA: CRC Press LLC, 2004.
Notulensi Diskusi:
PGO-308, Endang Warsiki dkk, Label Cerdas
Pendeteksi Cepat Staphlylococcus aureus
DAFTAR REFERENSI
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
275
Abstrak_ Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu inkubasi dalam
proses fermentasi TKKS oleh T. reesei. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) yang terdiri
dari petak utuh dan petak bagian diulang dua kali. Petak utuh adalah variasi suhu inkubasi (S) terdiri dari 28
0
C (S1), 30 0C (S2) dan 32 0C (S3). Petak bagian adalah variasi waktu inkubasi (L) terdiri dari 2 hari (L 1), 4 hari
(L2), 6 hari (L3), 8 hari (L4) dan 10 hari (L5)..Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu inkubasi berpengaruh
terhadap kadar gula reduksi, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah jamur Trichoderma reesei, aktivitas
enzim endo-glukanase,dan aktivitas enzim ekso-glukanase. Waktu inkubasi berpengaruh terhadap jumlah jamur
Trichoderma reesei dan aktivitas enzim endo-glukanase, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar gula reduksi
dan aktivitas enzim ekso-glukanase. Pengaruh suhu dan waktu inkubasi terbaik berdasarkan aktivitas enzim
endo-glukanase tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu inkubasi 28 0C dengan waktu inkubasi selama
4 hari yaitu dengan jumlah jamur Trichoderma reesei sebanyak 1,30 x 10 6 CFU/gram, aktivitas enzim endoglukanase sebesar 0,0182 mol glukosa dilepas/menit/ml, aktivitas enzim ekso-glukanase 0,3002 U/ml dan
kadar gula reduksi sebesar 0,0187 %.
Kata kunci: Trichoderma reesei, enzim selulase, suhu fermentasi, waktu inkubasi
Abstract -_The purpose of this study was to determine the effect of temperature and time of incubation in the
fermentation process of TKKS by T. reesei. Experiments was conducted using Split Plot Design (RPT) consisting
of whole plots and section plots and was repeated twice. Whole plot was a variation of the temperature of
incubation (S) consists of 28 0C (S1), 30 0C (S2) and 32 0C (S3). Section plots was a variation of incubation
time (L) consists of 2 days (L1), 4 days (L2), 6 days (L3), 8 days (L4) and 10 days (L5) . The result showed that
incubation temperatures affect the reducing sugar, but did not affect the amount of the Trichoderma reesei fungi,
and the activity of the enzyme endo-glucanase and exo-glucanase enzyme. The incubation time affected the
amount of Trichoderma reesei and endo-glucanase enzyme activity, but had no effect on reducing sugar levels
and exo-glucanase enzyme activity. The best effect of temperature and incubation time by endo-glucanase
enzyme activity was obtained in the treatment with incubation temperature of 28 0C and time of incubation for 4
days which resulted in the number of Trichoderma reesei about 1.30 x 106 CFU / g, the activity of the enzyme
endo-glucanase of 0 , 0182 mole of glucose released / min / ml, exo-glucanase enzyme activity of 0.3002 U /
ml, and reducing sugar levels at 0.0187%.
Keywords: Trichoderma reesei, cellulase enzymes, fermentation temperature, incubation time
1. PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit telah menyebar di 22
propinsi yang pada tahun 2010 luasnya mencapai
8,3 juta Ha dengan produksi TBS sebesar 21 juta
ton yang sekitar 41% merupakan perkebunan rakyat
[1].
Perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah
padat yang cukup berlimpah sepanjang tahun dan
pemanfaatannya
masih
terbatas.
Limbah
276
277
B. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Petak Terbagi (RPT) yang terdiri dari
petak utuh dan petak bagian, sebagai berikut : Petak
utuh yaitu variasi suhu inkubasi (S) terdiri dari 3
taraf, yaitu : S1 = 28 0C, S2 = 30 0C, S3 = 32
0
C. Petak bagian yaitu variasi waktu inkubasi (L)
terdiri dari 5 taraf, yaitu :L1 2 hari, L2 4 hari, L3
6 hari, L4 8 hari, dan L5 10 hari. Percobaan ini
mengkombinasikan petak utuh dan petak bagian
sehingga diperoleh 3 x 5 = 15 kombinasi perlakuan
masing-masing perlakuan diulang 2 kali sehingga
diperoleh 3 x 5 x 2 = 30 satuan eksperimental. Data
yang diperoleh dikomputasi dan dianalisis
keragamannya, jika terdapat beda nyata dilanjutkan
dengan uji Jarak Berganda duncan jenjang 5%.
Bahan Kimia
KH2PO4
(NH4)2SO4
MgSO4.7H2O
CoCl2
FeSO4.7H2O
MnSO4.H2O
ZnSO4.7H2O
CaCl2.2H2O
Komposisi
2 gram
1,4 gram
0,3 gram
4,2 gram
0,005 gram
0,0016 gram
0,0014 gram
0,3 mg
C. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, tahap pertama
yaitu persiapan bahan baku, produksi enzim
selulase dan pemanenan enzim selulase kasar. Pada
persiapan bahan baku, terdapat tiga persiapan bahan
baku yaitu persiapan bahan baku TKKS dengan
proses delignifikasi menggunakan metode basa,
persiapan larutan mineral Mandel dan persiapan
larutan spora jamur T.reesei.
a.
Persiapan bahan baku
Persiapan bahan baku TKKS dengan proses
delignifikasi
Limbah padat kelapa sawit berupa tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) diperkecil ukurannya
sepanjang 4 cm yang selanjutnya dikeringkan
menggunakan sinar matahari. Setelah itu diperkecil
ukurannya menggunakan alat pencacah kompos
(MPO 500 HD Yanmar Engine). Diperkecil
ukurannya kembali dengan menggunakan grinder
selanjutnya diayak sehingga diperoleh bubuk
TKKS dengan ukuran 30 mesh mengacu pada
PDII-LIPI (1996). Selanjutnya dilakukan proses
delignifikasi sebagai berikut sebanyak 12,5 gram
bubuk TKKS, ditambahkan 1 % NaOH sebanyak
100 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer.
Selanjutnya di masukkan ke dalam autoklaf dan
dipanaskan pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm
selama 1 jam. Selanjutnya langsung disaring pada
kondisi panas dan dicuci dengan air mineral 70 0C
sampai pH air cucian netral. Kemudian dikeringkan
278
Waktu
Inkubasi
L1 (2)
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)
L5 (10)
Rerata
Keterangan :
0,0044b
0,0794b
0,2000b
0,8170b
6,6300a
Rerata
0,0063 b
bcd
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)
0,0182 a
0,0137 ab
0,0136 ab
0,0012 e
0,0012 e
0,0012 e
0,0115 bc
0,0041 de
0,0057 cde
L5 (10)
0,0021 e
0,0013 e
0,0016 e
0,0103 a
0,0063 b
0,0068
ab
279
0,0016 c
Rerata
Keterangan :
0,0556
0,0058
0,0329
Mikrobia
selulotik
umumnya
akan
mensekresikan tiga jenis enzim selulase, yaitu
endoglukanase atau carboxymethycelullase (CMCase), eksoglukanase dan -glukosidase. Secara
sinergis ketiga enzim ini mendegradasi selulosa
menjadi glukosa. CMC-ase memecah ikatan
hidrogen yang didalam struktur kristalin selulosa.
Eksoglukanase memotong ujung-ujung rantai
individu selulosa sehingga menghasilkan disakarida
dan tersakarida misalnya selobiosa dan -glukanase
menghidrolisis disakarida dan tersakarida menjadi
glukosa [13].
Waktu inkubasi tidak berpengaruh terhadap
aktivitas enzim eksoglukanase, namun pada 4 hari
inkubasi
menghasilkan
aktivitas
enzim
eksoglukanase yang paling tinggi meskipun tidak
signifikan. Diduga hal ini karena waktu inkubasi
pada 4 hari mikroorganisme sedang memasuki fase
eksponensial dimana pertumbuhan jamur sangat
pesat. Sehingga enzim yang dihasilkan juga paling
tinggi.
mol
glukosa
dilepas/menit/ml larutan kultur. Diduga pada hari
ke 4, inkubasi pada suhu 28-32 0C pertumbuhan
jamur sudah memasuki fase eksponensial. Dimana
pertumbuhan jamur sangat pesat, sehingga enzim
yang dihidrolisis juga paling tinggi.
Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih
sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan
menurun pada hari ke-10. Hal ini mengikuti pola
pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami
beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase
eksponensial, fase stasioner dan fase kematian.
Organisme
pembentuk
spora
biasanya
memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial.
Jadi dapat diduga bahwa pada saat aktivitas enzim
yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada
pada fase tersebut [14]
Waktu
Inkubasi
L1 (2)
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)
L5 (10)
Rerata
Keterangan :
Suhu Inkubasi
S1
S2
(28 0C)
(30 0C)
0,1156
0,3002
0,1704
0,1627
0,1006
0,8495
0,1621
0,2500
0,2215
0,1527
0,1727
0,9589
(oC)
L5 (10)
Rerata
Rerata
S3
(32 0C)
0,3142
0,2071
0,1185
0,1621
0,1408
0,9427
0,0187
0,0171
0,0167
0,0053
0,0631 b
Keterangan :
0,1973
0,2524
0,1701
0,1592
0,1380
0,0189
0,0153
0,0136
0,0144
0,0823 a
0,0158
0,0092
0,0133
0,0065
0,0578 b
0,0178
0,0138
0,0145
0,0087
280
4. KESIMPULAN
Suhu inkubasi yang diberikan berpengaruh
terhadap kadar gula reduksi, tetapi tidak
berpengaruh terhadap jumlah jamur Trichoderma
reesei, aktivitas enzim endo-glukanase, aktivitas
enzim ekso-glukanase dan kadar total nitrogen.
Waktu inkubasi yang diberikan berpengaruh
terhadap jumlah jamur Trichoderma reesei dan
aktivitas enzim endo-glukanase, tetapi tidak
berpengaruh terhadap kadar gula reduksi, aktivitas
enzim ekso-glukanase dan kadar total nitrogen.
Pengaruh suhu dan waktu inkubasi terbaik
berdasarkan aktivitas enzim endo-glukanase
tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu
inkubasi 28 0C dengan waktu inkubasi selama 4
hari yaitu dengan jumlah jamur Trichoderma reesei
sebanyak 1,30 x 106 CFU/gram, aktivitas enzim
endo-glukanase sebesar 0,0182 mol glukosa
dilepas/menit/ml, aktivitas enzim ekso-glukanase
0,3002 U/ml, kadar gula reduksi sebesar 0,0187 %
dan kadar total nitrogen sebesar 0,6829 %.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Deptan, Pedoman Pengelolaan Limbah Industri
Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan Lingkungan,
Ditjen
PPHP,
Deptan.
2006
http://www.agribisnis.deptan.go.id.
[25
November 2012].
[2] Loebis B. dan Tobing P.L. Potensi
pemanfaatan limbah kelapa sawit Buletin
Perkebunan, No. 20, 1989, hal 49-56.
[3] Tun Tedja Irawadi. Produksi Enzim
ekstraselular (Selulase dan Xylanase) dari
Neurospora sitophilada Substrat Limbah
Kelapa Sawit. Disertasi. Fakultas Pascasarjana
IPB, Bogor, 1991.
[4] Ngatirah, Maria Ulfah, Mustofa AR dan selvi A.
Pretreatment Limbah Biomassa Kelapa Sawit
281
Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl.Sangkuriang Bandung, 40135
Telpon/Faks (022)-2503051/2503240.
2
Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan
Jl. Dr. Setiabudi, Bandung No.93
Telpon/Faks (022)-2019433/2009267
Contact email: praharti@yahoo.com
Abstrak. Pada penelitian ini, isolat-isolat kapang amilolitik dan proteolitik Usar yang diperoleh dari daerah
Yogyakarta yaitu Pi1, Pi5, Pi10, Pi 11, Pl7, Pl9, Pl 13 dan Pl19 diuji potensinya dalam memproduksi Glukosidase pada substrat kedele. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 oC selama 48 jam. Analisa aktifitas Glukosidase dan kadar protein enzim dilakukan setiap 24 jam. Isolat Pl 19 dengan aktifitas enzim tertinggi
dipilih untuk proses pembuatan inokulum tempe dengan substrat beras dengan variasi konsentrasi starter isolat
Pl 19 yaitu 1, 2, dan 3 % b/b. Fermentasi inokulum dilakukan pada suhu dan waktu yang sama. Hasil analisis
inokulum memperlihatkan adanya kenaikan aktifitas unit -Glukosidase dari konsentrasi starter 1 sampai 2%,
kemudian aktifitas hampir konstan pada konsentrasi starter 3 %. Nilai aktifitas spesifik enzim teramati rendah
dan relatif tidak jauh berbeda pada semua konsentrasi starter. Aktifitas -Glukosidase tertinggi 11 U/g
diperoleh pada inokulum dengan konsentrasi starter 2 %, sementara aktifitas unit terendah 7,2 U/g teramati
pada inokulum dengan konsentrasi starter 1 %. Teramati pula adanya kenaikan aktifitas protease yang disertai
dengan kenaikan kadar protein dan penurunan aktifitas spesifik enzim pada setiap kenaikan konsentrasi starter.
Isolat Pl 19 dengan konsentrasi starter 2 % dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengembangan inokulum tinggi Glukosidase.
Kata kunci: Isolat usar, inokulum tempe, -Glukosidase, protease
Abstract. In this study, amylolytic and proteolytic fungi isolates of Usar obtained from Yogyakarta namely Pi1,
Pi5, Pi10, Pi 11, PL7, PL9, PL19 Pl 13 were tested its potential in producing -glucosidase on soybean
substrate. Fermentation was carried out at 30 C for 48 hours. Analysis of -glucosidase activity and enzyme
protein level were conducted every 24 hours. Pl 19 isolate with the highest enzyme activity was chosen for the
process of tempe inoculums making with rice substrate and variation of Pl 19 isolate starter concentration of 1,
2, and 3% w/w. The fermentation was carried out at the same temperature and time. The results of inoculums
analysis showed an increase in unit activity of -glucosidase from starter concentration of 1 to 2%, and the
activity was almost constant at starter concentration of 3%. The -glucosidase specific activity was observed
relatively low and not much different at all concentrations of starter. The highest -glucosidase activity of 11 U /
g was obtained at a concentration of 2%, while the lowest of 7.2 U /g was observed in inoculums with starter
concentration of 1%. It was also observed an increase of protease activity followed by the increase of protein
content and a decrease of protease specific activity at every increase of starter concentration. Pl 19 isolate with
starter concentration of 2% was further used for the development of rich -glucosidase inoculums.
Keywords: Usar, Tempe inoculums, -Glukosidase, protease
1.
PENDAHULUAN
282
2.
Fermentasi Kedele
Isolat kapang yang dipelihara pada media Potato
Dektrosa Agar (PDA), suhu 30 oC, selama seminggu
disuspensikan dalam larutan tween steril. Suspensi
isolat kapang diinokulasikan 0.2 %, b/v pada kedele
steril dan diaduk merata. Kedele yang telah
diinokulasi ditempatkan pada plastik yang diberi
lubang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam.
Pengambilan sampel dilakukan setiap 24 jam.
Pembuatan Starter
Beras dan air dengan perbandingan 1: 1
disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Beras
steril diinokulasi dengan suspensi spora isolat kapang
2 %, b/v, diaduk merata dan ditempatkan dalam baki
alumininium berlubang dengan tutup . Inkubasi adalah
pada suhu 30 oC dilakukan selama dua hari. Beras
terfermentasi selanjutnya dikeringkan pada suhu 50 oC
selama 12 sampai 18 jam dan kemudian diblender
menjadi bubuk halus.
10,0
8,0
6,0
24 Jam
4,0
48 Jam
2,0
0,0
Pi 1 Pi 5 Pi 10Pi 11 Pl7 Pl9 Pl13 Pl19
Isolat Usar
Pembuatan Inokulum
Beras dan air dengan perbandingan 1: 1
disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Beras
steril diinokulasi dengan starter isolat kapang 1 %, 2
% dan 3 %, b/b, diaduk merata dan ditempatkan dalam
baki alumininium berlubang dengan tutup. Inkubasi
adalah pada suhu 30 oC dilakukan selama dua hari.
Beras terfermentasi selanjutnya dikeringkan pada suhu
50 oC selama 12 sampai 18 jam dan kemudian
diblender menjadi bubuk halus.
Analisa Kimia
Kadar protein terlarut enzim ditentukan dengan
metoda Lowry [6], penentuan aktifitas protease
dilakukan menurut metoda Kunitz [7] dan pengukuran
Isolat
Waktu Inkubasi
(Jam)
Protein
(mg/g Kedele)
Pi1
24
0.58
48
0.96
24
0.84
48
1.61
24
0.98
48
0.59
24
0.83
48
0.46
24
0.36
48
0.70
24
0.45
Pi5
Pi10
Pi11
Pl7
Pl9
283
Pl13
Pl19
48
0.57
24
0.75
48
0.86
24
1.22
48
0.74
24 Jam
48 Jam
4,0
0,0
Pi 1 Pi 5 Pi 10Pi 11 Pl7 Pl9 Pl13 Pl19
Isolat Usar
Tabel 2. Pengamatan fisik hasil fermentasi kedele oleh berbagai isolate usar
Isolat
WaktuInkubasi
Tekstur
Warna
Aroma
(Jam)
Pi1
Pi5
Pi10
Pi11
Pl7
Pl9
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Putih (Miselia)
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Putih (Miselia)
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Putih (Miselia)
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Hitam di tepian
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Hitam di tepian
(Spora)
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Hitam di tepian
(Spora)
Khas tempe
284
Pl19
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Putih (Miselia)
Khas tempe
24
Kurang padat
Putih (Miselia)
Bau kedele
48
Padat
Hitam di tepian
(Spora)
Khas tempe
Konsentrasi Starter
(%, b/b)
Protein
(mg/g Inokulum)
15.1
23.8
28.4
12,0
Aktifitas B-Glukosidase
Pl13
Dalam inokulum, diperkirakan selain protease dan glukosiadase diproduksi pula enzim-enzim lain seperti
-amilase, glukoamialse, enzim selulase yang lain dan
sebagainya.
11,0
9,0
7,2
6,0
U/g Inok.
U/mg P
3,0
0,0
1
Aktifitas Protease
10,4
50
40
30
U/g Inok.
20
U/mg P
10
0
1
2
3
Konsentrasi Starter Pl 19 (%)
Gambar 4. Aktifitas protease pada inoukulum
variasi konsentrasi starter isolat PL 19.
dengan
285
mencerminkan
sesungguhnya.
potensi/kemampuan
enzim
yang
4. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan analisis disimpulkan
bahwa isolat Pl19 memperlihatkan potensi aktifitas glukosidase tertinggi dibandingkan isolat usar yang
lain yang diuji. Pada pembuatan inokulum tempe
dengan substrat beras, dalam
bentuk starter
konsentrasi 2 %, isolat Pl19 mampu menunjukkan
aktifitas enzim -Glukosidase tertinggi 11 U/g
inokulum. Oleh karena itu, Pl19 dapat dimanfaatkan
lebih lanjut untuk pengembangan inokulum tinggi glukosidase untuk pengembangan tempe kaya
isoflavon.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibantu oleh anggaran pemerintah
melalui kegiatan tematik DIPA Pusat Penelitian Kimia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terima kasih
diucapkan pada Rina Dhammayanti yang telah
membantu penelitian ini.
1.
2.
DAFTAR REFERENSI
K. Ulanowska, A. Traczyk,G. Konopa and G.
Wegrzym. Differential antibacterial activity of
genistein arising from global inhibition of DNA,
RNA and protein synthesis in some bacterial
strains. Arch. Microbiol., vol. 184, no. 5, 2006,
hal. 271-278
M.B. Ruiz-Larrea, A.R. Mohan, G. Paganga, N.J.
Miller, G.P. Bolwell, C.A. Rice-Evans.
Antioxidant
activity
of
phytoestrogenic
isoflavones. Free Radic. Res. vol. 26, no. 1, 1997,
hal.63-70.
3.
A.
Rusin
and
Z.Krawczyk.
Genistein
Derivatization From a Dietary Supplement to
aPharmaceutical Agent, Soybean and Health,
Prof. Hany El-Shemy (Ed.), ISBN: 978-953-307535-8,
InTech,
2011.
Available
from:
http://www.intechopen.com/books/soybean-andhealth/genistein-derivatization-from-adietarysupp-lement -to-a-pharmaceutical-agent.
4. X.O. Shu, F. Jin, and Q. Dai Q. Soyfood intake
during adolescence and subsequent risk of breast
cancer among Chinese women. Cancer
Epidemiol. Biomarkers Prev. vol.10, no. 5, 2001,
hal. 483-488.
5. http://afrodita.rcub.bg.ac.rs/~todorom/tutorials/ra
d12.html
6. Lowry, O.H., Rosebrough, N.J., Farr, A.L., and
Randall, R.J. J.Biol.Chem. vol. 193. no. 265,
1951.
7. M. Kunitz. Crystalline soybean trypsin inhibitor.
II. General properties. J.Gen Physiol., vol. no. 30,
1947, hal.291310.
8. Y. Takii et.al. Production and characterization of
-glucosidase from Rhizopus oryzae MIBA348. J.
Biol. Macromol., vol. 5, no. 1, 2005, hal. 11-16.
9. Chauve et al . Comparative kinetic analysis of
two fungal -glucosidases. Biotechnology for
Biofuels, vol.3, no. 3, 2010.
10. J. Langston, N. Sheehy, and F. Xu. Substrate
specificity of Aspergillus oryzae family 3 glucosidase. Biochimica et Biophysica Acta
(BBA) - Proteins and Proteomics, vol. 1764, no.5,
2006, hal. 972978.
286