Anda di halaman 1dari 148

ditanyakan informasi varietas buah kelapa, umur

buah kelapa yang dijual, serta berasal dari mana


buah kelapa dikirim. Berdasarkan informasi agen,
buah kelapa dikirim langsung dari beberapa
perkebunan kelapa; pemasok terbanyak dan yang
secara kontinyu memasok adalah perkebunan
daerah Lumajang. Varietas kelapa hijau dan kelapa
hibrida merupakan varietas yang terbanyak dijual,
karenanya air kelapa muda segar yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari buah kelapa
varietas kelapa hijau dan kelapa hibrida umur 6-8
bulan yang diambil langsung dari perkebunan
kelapa di Lumajang. Dalam mendapatkan sampel
buah kelapa yang akan diuji kandungannya,
dilakukan wawancara langsung kepada pemasok
buah kelapa yang bekerja langsung di perkebunan
kelapa di Lumajang., dan dari pemasok tersebut
diambil sampel sekitar 3 buah kelapa dari varietas
kelapa hijau dan varietas hibrida dengan umur yang
sama sekitar 6-8 bulan.
Metode
atomic
absorption
spectrophotometry (AAS) dengan alat ukur AAS
jena model ZEEnit 700 digunakan untuk
menganalisis kandungan natrium dan kalium dalam
air kelapa muda segar serta menentukan rasio
natrium dan kaliumnya.12 Sebagai perbandingan,
dianalisis juga kandungan natrium dan kalium air
kelapa kemasan yang telah beredar di pasaran.
Pelaksanaan Penelitian
Pembuktikan akan potensi air kelapa muda
segar sebagai minuman kesehatan dilakukan
dengan rancangan penelitian uji klinis paralel untuk
melihat efek air kelapa muda terhadap tekanan
darah. Sejumlah 32 orang guru perempuan dan
karyawati prahipertensi usia 25-44 tahun di lima
yayasan pendidikan (YP) Islam di Surabaya pada
bulan April-Juni 2013 dipilih dengan kriteria
tertentu dan dibagi menjadi dua kelompok dengan
cara randomisasi blok, 16 orang masuk kelompok
perlakuan (P) dan 16 orang masuk kelompok
kontrol (K). Kelompok P mendapat air kelapa muda
dan kelompok K mendapat air putih masing-masing
sebesar 300 ml dua kali per hari selama 14 hari
berturut-turut. Kriteria penerimaan penelitian
meliputi indeks massa tubuh (IMT) normal dan
lebih (overweight) berdasarkan klasifikasi status
gizi dewasa WHO (18,5-29,9 kg/m2), sedangkan
kriteria penolakan meliputi hipertensi, konsumsi
obat antihipertensi, suplemen kalium, alkohol,
merokok, hamil, menyusui, menopause, diabetes
mellitus dengan pemeriksaan gula darah sewaktu
200 mg/dL, dan terdapat gangguan fungsi ginjal
yang ditunjukkan dengan nilai creatinine clearance
test (CCT) < 60 mL/min. Tekanan darah adalah
nilai rerata dua kali hasil pengukuran tekanan darah
sistolik dan diastolik subyek menggunakan
stetoskop dan sfigmomanometer air raksa melalui
pengukuran pada lengan kanan setelah subyek
beristirahat sekitar 10 menit dan dilakukan pada
pagi hari. Bila dua kali pengukuran terdapat beda >

1.

PENDAHULUAN
Pola makan masyarakat modern yang
sering mengonsumsi makanan cepat saji,
penambahan bahan pengawet dan bumbu penyedap,
serta konsumsi sayur buah yang rendah
mengindikasikan asupan kalium rendah dan
natrium tinggi. Pola makan tersebut telah
dihubungkan dengan berkembangnya berbagai
penyakit metabolik seperti hipertensi, diabetes
mellitus,
osteoporosis,
serta
penyakit
kardiovaskuler (PKV).1,2
Analisis data National Health and
Nutrition
Examination
Survey
(NHNES)
memperlihatkan nilai rasio asupan natrium/ kalium
(Na/K) orang dewasa >0,83.3 Dietary Guildline di
Amerika Serikat terbaru merekomendasikan asupan
natrium sekitar 1500-2300 mg/ hari dan asupan
kalium sampai 4700 mg/ hari, sehingga rasio
asupan Na/K idealnya antara 0,32-0,49. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut
adalah dengan memperbanyak konsumsi sayur dan
buah yang umumnya tinggi kalium dan rendah
natrium. 3,4
Berbagai penelitian membuktikan asupan
bahan makanan tinggi kalium dan rendah natrium
dapat menurunkan tekanan darah.5-8 Salah satu
contoh minuman khas daerah tropis yang tinggi
kalium adalah air kelapa muda. Air kelapa muda
merupakan minuman isotonis yang mengandung
hampir semua mineral, dengan kandungan
terbanyak adalah kalium. Berbeda dengan minuman
isotonis yang kandungan natriumnya lebih tinggi
daripada kalium, kandungan kalium dalam air
kelapa jauh lebih besar daripada kandungan
natriumnya. Air kelapa umur 6-8 bulan mempunyai
kandungan kadar kalium tertinggi dan kadar
natrium terendah.9,10
Penelitian tentang air kelapa muda
kaitannya dengan kesehatan belum banyak diteliti.
Penelitian Arsa pada berbagai varietas dan umur
buah kelapa memperlihatkan dengan bertambahnya
umur buah kelapa maka kandungan kalium
berkurang dan natrium bertambah.10 Penelitian
Alleyne dkk yang memberikan air kelapa muda,
baik tersendiri maupun kombinasi dengan mauby
sebanyak 300 ml dua kali per hari selama 2 minggu
pada subyek hipertensi, menunjukkan penurunan
signifikan TDS dan TDD.11 Penelitian ini bertujuan
menganalisis kandungan natrium dan kalium dalam
air kelapa muda serta melihat potensi air kelapa
muda
sebagai
minuman kesehatan yaitu
pengaruhnya terhadap tekanan darah
1. METODE PENELITIAN
Bahan penelitian
Pemilihan dan penentuan air kelapa muda
segar yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan melalui serangkaian kegiatan. Pertamatama dilakukan wawancara terhadap beberapa agen
atau penjual besar degan/ kelapa muda di sekitar
wilayah tempat tinggal subyek. Kepada agen pejual

140

5 mm Hg, dilakukan pengukuran sekali lagi dan


dihitung rata-rata dari pengukuran. Asupan kalium
dan energi dinilai dengan menggunakan food
record 2x24 jam dan dianalisis menggunakan
program Nutrisurvey 2007. Rerata asupan kalium
subyek tergolong rendah yaitu 1420,28405,54
mg/hari atau 30,228,63% terhadap AKG.
Penilaian asupan natrium tidak dilakukan karena
analisis asupan natrium sering memperlihatkan
hasil yang underestimate atau overestimate karena
sulit memperkirakan secara tepat jumlah natrium/
garam pada masing-masing komponen makanan.13
Hampir seluruh populasi di dunia mengonsumsi
kalium lebih rendah dari rekomendasi yang
dianjurkan.3 Sayur dan buah merupan bahan
makanan sumber kalium. Data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan
sekitar 60-70% masyarakat Indonesia kurang
mengonsumsi sayur dan buah sesuai anjuran 4-5
porsi per hari dan rata-rata hanya mengonsumsi
satu porsi per hari.14 Pemilihan air kelapa muda

berdasarkan fakta bahwa Indonesia merupakan


negara dengan produksi buah kelapa terbanyak dan
air kelapa muda masih jarang dikonsumsi secara
teratur, padahal air kelapa muda merupakan
minuman kaya manfaat sumber vitamin dan mineral
terutama kandungan kaliumnya yang tinggi.15
Komposisi air kelapa tergantung dari varietas,
derajat maturitas (umur), dan faktor iklim.9,16 Air
kelapa muda yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari buah kelapa umur 6-8 bulan yang
diambil langsung dari perkebunan kelapa di
Lumajang. Dua macam varietas yaitu kelapa hijau
dan kelapa hibrida dipilih karena varietas ini paling
banyak tersedia di wilayah subyek. Adanya
persamaan tempat, varietas, dan umur buah kelapa,
diperkirakan air kelapa muda dalam penelitian ini
memiliki kandungan kalium yang hampir sama. 9
Tabel 1 memperlihatkan kandungan natrium dan
kalium pada dua varietas kelapa dengan metode
AAS.

Tabel 1. Kandungan natrium dan kalium dalam air


kelapa muda
Varietas
Kandungan
Kandungan
Natrium (mg/L) Kalium (mg/L)
Kelapa hibrida
225,6 12,7
1789116,7
Kelapa hijau
306,98,1
167967,2
Pada penelitian ini tidak digunakan air
kelapa kemasan dikarenakan kandungan kaliumnya
jauh lebih rendah (1080 mg/L) dan kandungan
natrium lebih tinggi (440 mg/L) daripada air kelapa
muda segar yang langsung diambil dari buahnya.
Sehingga rasio asupan Na/K pada air kelapa muda
segar jauh lebih rendah daripada air kelapa
kemasan.
Dari hasil analisis AAS, varietas hibrida
memiliki kadar kalium lebih tinggi dan rasio Na/K
lebih rendah, karenanya varietas hibrida dipilih
untuk melihat potensi air kelapa muda segar

terhadap tekanan darah. Tabel 2 menunjukkan


terdapat penurunan baik TDS maupun TDD pada
kedua kelompok, yang lebih tinggi pada kelompok
perlakuan, namun secara statistik tidak signifikan.
Hal tersebut disebabkan perbedaan pada kriteria
tekanan darah serta usia subyek, total asupan
kalium yang rendah, dosis pemberian yang kurang
besar, serta kemungkinan waktu pemberian yang
kurang lama. Namun demikian, air kelapa muda
mempunyai kecenderungan untuk menurunkan
TDS (p=0,031).

141

Variabel
TDS (mm Hg)
H0
H+15
Perubahan
TDD (mm Hg)
H0
H+15
Perubahan

Tabel 2. Tekanan darah sisstolik dan diastolik


Perlakuan
Kontrol
124.936.54
121.805.39
- 3,13 2,31

126.756.27
125.387.55
- 1,371,99

0.436*
0.142*
0,031*

80.204.35
78.524.78
- 1,67 1,98

79.503.98
78.814.09
- 0,691,54

0.643*
0.862*
0,134*

4. KESIMPULAN
Air kelapa muda segar merupakan bahan makanan
dengan kandungan kalium tinggi serta memiliki
rasio Na/ K yang rendah. Air kelapa muda 300 ml
dua kali per hari selama 14 hari berturut-turut
mempunyai potensi untuk menurunkan TDS. Perlu
penelitian lanjutan untuk melihat potensi lain dari
air kelapa muda terhadap kesehatan seperti pada
osteoporosis, DM, serta PKV.
5.
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

trials. J Hum Hypertens 2003;17:471


80
[6] Lin PH, Allen JD, Li YL, Yu M, Lien
LF, Svetkey LP. Blood PressureLowering Mechanisms of the DASH
Dietary Pattern. J Nutr Metab 2012:110
[7]
Fujita T, Noda H, Ando K. Sodium
susceptibility and potassium effects in
young
patients
with
borderline
hypertension. Circulation 1984;69;46876
[8] Adrogue HJ, Madias NE. Sodium and
potassium
in
pathogenesis
of
hypertension.
N
Engl
J
Med
2007;356:1966-78
[9] Rethinam P. Coconut water-natures
health drink. 2006. Asian and Pacific
Coconut Comunity
[10] Arsa M. Kandungan natrium dan kalium
larutan isotonik alami air kelapa (cocos
nucifera) varietas eburnia, viridis dan
hibrida.Tesis
Program
Magister
Program Studi Kimia Terapan Program
Pascasarjana
Universitas
Udayana
Denpasar. 2011
[11] Alleyne T, Roache S, Thomas C, Shirly
A. The control of hypertension by use
of coconut water and mauby: two
tropical food drinks. West Indian Med J
2005;54(1):3-9
[12] Beaty RD, Kerber JD. Concepts,
Instrumentation and Techniques In
Atomic Absorption Spectrophotometry.
Second Edition. The Perkin-Elmer
Corporation. U.S.A. 1993.
[13] Kawano Y, Tsuchihashi T, Matsuura H,
Ando K, Fujita T, dan Ueshima H.

DAFTAR REFERENSI

Cook NR, Obarzanek E, Cutler JA,


Buring JE, Rexrode KM, Kumanyika
SK, et al. Joint effects of sodium and
potassium
intake
on
subequent
cardiovascular disease: The Trials Of
Hypertension
Prevention
(TOHP)
follow-up study. Arch Intern Med
2009;169(1):32-40
Shin D, Joh H,Kim KH, Park SM.
Benefits of potassium intake on
metabolic syndrome: The fourth Korean
National
Health
and
Nutrition
Examination Survey (KNHANES IV).
Atherosclerosis 2013;230:80-5
Drewnowski A, Maillot M, Rehm C.
Reducing the sodium-potassium ratio in
the US diet: a challenge for public
health. Am J Clin Nutr 2012;96:43944
U.S. Department of Agriculture and U.S.
Department of Health and Human
Services. Dietary Guidelines for
Americans,
2010.7th
Edition,
Washington, DC: U.S. Government
Printing Office, 2010
Geleijnse JM, Kok FJ, Grobbee DE.
Blood pressure response to changes in
sodium and potassium intake: a
metaregression analysis of randomised
142

Report of the Working Group for


Dietary Salt Reduction of the Japanese
Society
of
Hypertension:
(2)
Assessment of Salt Intake in the
Management
of
Hypertension.
Hypertens Res 2007; 30: 88793
[14]
Badan Pusat Statistik (BPS),
2004,Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas), Jakarta: BPS

Pracaya, Kahono PC. Kiat Sukses


Budidaya Kelapa. 2011. PT Maraga
Borneo Tarigas. 2011. Hal 31-5
[16] Prades A, Dornier M, Diop N, Pain JP.
Coconut water uses, composition and
properties: a review. Fruits 2012;67:87
107
[15]

143

Tingkat Kesukaan Bakpia dari Beberapa Tingkat Substitusi Tepung Mocaf


Purwaningsih1, Irawati1 dan H. Purwaningsih1
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No.22, Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman
Email : purwaningsih.gkp@gmail.com
Abstrak - Bakpia merupakan makanan jajanan khas Yogyakarta yang telah dikenal dan disukai masyarakat
banyak. Bahan pangan ini umumnya menggunakan kacang hijau dan terigu sebagai bahan bakunya. Terigu
merupakan bahan makanan yang penggunaannya terus meningkat dari tahun ketahun, sementara salah satu
sasaran dalam Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045 adalah substitusi karbohidrat import 100%
pada tahun 2030, sehingga perlu difikirkan penggunaan tepung lainnya untuk pembuatan bakpia namun harus
tetap memperhatikan tingkat kesukaan konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
kesukaan konsumen terhadap bakpia yang terbuat dari subtitusi tepung Mocaf 25-50% melalui uji hedonik.
Penelitian dilakukan di laboratorium Pasca Panen dan Alsintan BPTP Yogyakarta pada bulan April
November 2013, dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama adalah
perlakuan substitusi tepung, 25% dan 50%,. Faktor kedua adalah perlakuan jenis tepung, tepung mocaf dan
tepung cassava. Selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik oleh 20 orang panelis agak terlatih. Data yang
diperoleh dianalisis dengan Uji Kruskal-Wallis. Berdasarkan analisis uji Kruskal-Wallis, nilai kesukaan secara
umum terhadap bakpia yang terbuat dari substitusi tepung mocaf adalah tidak berbeda nyata dan nilai kesukaan
teringgi adalah pada substitusi tepung mocaf 25%, sehingga tepung mocaf dapat digunakan sebagai campuran
pembuatan kulit bakpia sebesar 25%.
Kata Kunci : : bakpia, tepung mocaf, substitusi, tingkat kesukaan.
Abstract - Bakpia a typical street food of Yogyakarta, which has been known and much appreciated by the
public. Foodstuffs was generally use green beans and wheat as raw material. Flour is a food ingredient whose
use is increasing from year to year , while one of the targets in the Master of Agricultural Development Strategy
2013-2045 is the substitution of carbohydrate import 100 % in 2030 , so it needs a lot of rethinking the use of
other flour for the manufacture bakpia but must still pay attention to the level of consumer preferences . The
purpose of this study was to determine the level of consumer preference towards bakpia made from flour
substitution Mocaf 25-50 % through hedonic test . The study was conducted in the laboratory of Post Harvest
and Agricultural Machinery BPTP Yogyakarta in April-November , 2013, by the method of completely
randomized design ( CRD ) factorial . The first factor is the substitution treatment of flour , 25 % and 50 % ,.
The second factor is the treatment of the type of flour , starch and cassava flour mocaf . Furthermore, the
organoleptic test by 20 panelists somewhat trained. Data were analyzed with the Kruskal-Wallis test . Based on
the Kruskal - Wallis analysis , the value in general to bakpia mocaf made from flour substitution is not
significant and the value is the ultimate joy in flour substitution mocaf 25 % , so that mocaf flour can be used as
an ingredient for leather bakpia by 25 % .
Keywords : bakpia , mocaf flour , substitutions , the level of preference

Salah satu upaya untuk membangun ketahanan


pangan adalah dengan mengembangkan bahanbahan substitusi yang mampu mengurangi
ketergantungan terigu impor. Hal ini sesuai dengan
sasaran dalam Strategi Induk Pembangunan
Pertanian 2013-2045 adalah substitusi karbohidrat
import 100% pada tahun 2030 [3], sehingga perlu
difikirkan penggunaan tepung lainnya untuk
pembuatan bakpia.
Mocaf merupakan tepung yang menjadi pilihan
untuk mensubstitusi terigu karena memiliki
karakteristik mirip terigu sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pengganti terigu atau campuran

1. PENDAHULUAN
Bakpia adalah makanan khas kota Yogyakarta
yang dibuat dari campuran kacang hijau sebagai
isinya yang dibalut dengan kulit dari tepung terigu
yang dicetak bulat dan dipanggang [1] . Kebutuhan
terigu pada industri bakpia di Yogyakarta rata-rata
50 ton/hari [2]. Ketergantungan bangsa kita
terhadap komoditas tepung terigu impor sangat
tinggi, hal ini merupakan masalah yang perlu segera
dicarikan solusi. Upaya untuk meningkatkan
ketahanan pangan adalah masalah kita bersama.

144

terigu 30 % 100 % dan dapat menekan biaya


konsumsi tepung terigu 20-30%. Dibandingkan
dengan tepung singkong biasa atau tepung gaplek,
tepung mocaf memiliki performansi yang lebih baik
yaitu lebih putih, lembut dan tidak bau apek. Kunci
rahasia pembuatan tepung mocaf adalah terletak
pada proses fermentasi yang menyebabkan tepung
mocaf memiliki tekstur yang berbeda dengan
tepung singkong biasa. Perbedaan tepung mocaf
dengan tepung singkong dan tepung gaplek adalah
pada proses pengolahaannya.Tepung singkong atau
tepung cassava dibuat dari singkong yang dikupas
dipotong-potong
menjadi
sawut
langsung
dikeringkan, kemudian ditepungkan. Sedangkan
pada tepung gaplek dibuat dari singkong yang
dibuat gaplek terlebih dahulu, baru kemudian
ditepungkan. Sedangkang tepung mocaf setelah
singkong dipotong-potong menjadi sawut kemudian
di fermentasi dahulu, dicuci, dikeringkan kemudian
digiling [4].
Penggunaan tepung Mocaf dan cassava ini
dapat mengurangi penggunaan terigu pada
pembuatan
bakpia
namun
harus
tetap
memperhatikan tingkat kesukaan konsumen.
Tingkat kesukaan konsumen dapat diukur
menggunakan uji organoleptic melalui alat indra.
Kegunaan uji ini diantaranya untuk pengembangan
produk baru [5]. Menurut [6], bahwa pengujian
bahan pangan tidak hanya dilihat dari aspek
kimiawinya saja, tetapi juga dari cita rasa dan
aroma. Oleh karena itu uji organoleptik perlu
dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh produk
bakpia yang menggunakan bahan baku selain terigu
dapat disukai oleh konsumen.
Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai
suatu produk pangan yang banyak melibatkan indra
pengecap yaitu lidah, menurut [6], bahwa rasa
sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu,
konsistensi dan intteraksi dengan komponen
penyusun makanan seperti protein, lemak, vitamin
dan banyak komponen lainnya.
Uji organoleptik merupakan hasil reaksi
fisiologik berupa tanggapan atau kesan mutu oleh
sekelompok orang yang disebut dengan panelis.
Panelis adalah sekelompok orang yang bertugas
menilai sifat atau kualitas bahan berdasarkan kesan
subyektif. [5] mengelompokkan panelis ke dalam
enam kelompok, yaitu : panelis pencicipan
perorangan, panelis pencicipan terbatas, panelis
terlatih, panelis agak terlatih, dan panelis
konsumen.
Pengujian bahan pangan menggunakan
panelis agak terlatih sering dilakukan, karena tidak
memerlukan panelis yang memiliki kepekaan
tinggi, tetapi hanya memerlukan latihan yang tidak
intensif dan dapat menggunakan mahasiswa.
Panelis agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa
atau staf peneliti (15 sampai 25 orang) yang

mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang


dinilai melalui penjelasan atau latihan sekedarnya
[5].
Sebaran data yang diragukan kenormalannya
harus dilakukan transformasi data agar mendekati
sebaran normal, selain itu dapat digunakan teknik
analisis dengan uji Kruskal Wallis untuk
menganalisis data berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap atau uji Friedman untuk menganalisis data
berdasarkan Rancangan Acak Kelompok [7].
Metode ini merupakan metode nonparametrik yang
tidak memperhatikan bentuk sebaran data.
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan
analisis data organoleptik bakpia dari beberapa
substitusi tepung mocaf melalui uji Kruskal Wallis.
Sehingga tujuan pengkajian ini adalah untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap
bakpia yang terbuat dari beberapa substitusi tepung
mocaf.

2. BAHAN DAN METODE


Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kacang hijau, tepung terigu, Mocaf,
tepung cassava, air, minyak.
Alat
Alat yang digunakan dalam peneltian ini
adalah
baskom,
timbangan,
gelas
ukur,
pemanggang bakpia.
Metode
Penelitian dilakukan di laboratorium Pasca
Panen dan Alsintan BPTP Yogyakarta dan rumah
industri pengrajin Bakpia Bu Giek Minomartani,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta pada bulan April
November 2013, dengan metode rancangan acak
lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama
adalah perlakuan substitusi tepung (2 taraf), yaitu :
25% dan 50%. Faktor kedua adalah perlakuan jenis
tepung (2 taraf), yaitu : tepung mocaf dan tepung
cassava.
Selanjutnya
dilakukan
pengujian
organoleptik (warna, aroma, tekstur dan rasa) oleh
20 orang panelis agak terlatih. Skala penilaian uji
kesukaan terdiri atas 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak
suka), 3 (sedang), 4 (suka) dan 5 (sangat suka).
Selanjutnya data ditabulasi dan dianalisis
menggunakan uji Kruskal Wallis.
Diagram alir pembuatan bakpia di rumah
industri pengrajin Bakpia Bu Giek disajikan pada
Gambar 1.

145

14

5.0

5.0

4.0

5.0

5.0

15

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

16

3.0

2.0

3.0

3.0

3.0

17

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

18

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

19

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

20

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

2 kg tepung (perbandingan sesuai perlakuan)

Tabel 2. Data Tingkat Kesukaan Panelis terhadap


Bakpia Perlakuan Substitusi Tepung Mocaf 50%

Dicampur dengan 400 ml minyak goreng


Ditambah dengan larutan gula 35% 1 liter
(Ditambahkan secara bertahap sambil diuleni sampai
adonan kalis)

Warna

Tekstur

Aroma

Rasa

Keselu
ruhan

4.0

2.0

4.0

4.0

3.0

3.0

2.0

4.0

3.0

2.0

Panelis

Didiamkan jam

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Adonan siap dibentuk dan diisi kacang hijau

4.0

4.0

2.0

2.0

2.0

Dipanggang

4.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

3.0

3.0

3.0

3.5

2.0

2.0

3.0

3.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

3.0

3.0

3.0

4.0

3.0

3.0

10

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Data tingkat kesukaan panelis terhadap


bakpia berbahan baku tepung terigu, tepung mokaf
dan tepung cassava dengan skala penilaian 1
(sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (sedang), 4
(suka) dan 5 (sangat suka), disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 5.

11

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

12

2.0

2.0

2.0

2.0

2.0

13

4.0

2.0

4.0

3.0

2.0

14

3.0

3.0

4.0

3.0

3.0

15

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

Tabel 1. Data Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Bakpia


Perlakuan Kontrol (100% tepung terigu)
Keselu
Panelis Warna Tekstur Aroma Rasa ruhan

16

3.0

2.0

3.0

4.0

3.0

17

3.0

3.0

4.0

4.0

3.0

18

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

19

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

20

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Dikemas
Gambar 1. Diagram alir pembuatan bakpia

3.

4.0

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.0

4.0

4.0

4.0

3.0

2.0

3.0

3.0

2.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

2.0

2.0

2.0

2.0

5.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Panelis

5.0

3.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

3.0

4.0

10

4.0

4.0

11

5.0

12

3.0

13

4.0

Tabel 3. Data Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Bakpia


Substitusi Tepung Cassafa 50 %
Warna

Tekstur

Aroma

Rasa

Keselu
ruhan

4.0

2.0

4.0

4.0

3.0

4.0

3.0

2.0

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

4.0

4.0

3.0

3.0

4.0

2.0

2.0

2.0

2.0

4.0

4.0

4.0

3.0

3.0

2.0

3.0

3.0

5.0

5.0

4.0

5.0

3.0

3.0

2.0

3.0

3.0

2.0

2.0

3.0

2.0

2.0

3.0

2.0

2.0

2.0

2.0

4.0

3.0

3.0

2.0

2.0

2.0

2.0

2.0

146

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

5.0

4.0

4.0

10

5.0

5.0

5.0

5.0

5.0

2.0

2.0

2.0

1.0

2.0

11

4.0

4.0

4.0

5.0

5.0

3.0

3.0

3.0

2.0

3.0

12

2.0

4.0

3.0

2.0

2.0

4.0

4.0

4.0

5.0

5.0

13

4.0

2.0

4.0

3.0

2.0

10

4.0

5.0

5.0

4.0

4.0

14

3.0

3.0

4.0

3.0

3.0

11

4.0

5.0

4.0

4.0

4.0

15

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

12

4.0

4.0

2.0

3.0

3.0

16

4.0

2.0

4.0

3.0

4.0

13

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

17

2.0

3.0

3.0

4.0

3.0

14

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

18

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

15

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

19

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

16

3.0

2.0

3.0

3.0

3.0

20

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

17

2.0

3.0

3.0

4.0

3.0

18

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

19

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

20

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Tabel 4. Data Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Bakpia


Perlakuan Substitusi Tepung Mocaf 25 %
Warna

Tekstur

Aroma

Rasa

Keselu
ruhan

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

5.0

4.0

4.0

4.0

4.0

2.0

2.0

4.0

2.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

5.0

5.0

5.0

5.0

2.0

3.0

3.0

3.0

3.0

4.0

4.0

3.0

4.0

4.0

Panelis

5.0

5.0

4.0

4.0

5.0

10

5.0

5.0

5.0

5.0

5.0

11

5.0

5.0

4.0

5.0

5.0

12

4.0

4.0

3.0

4.0

4.0

13

4.0

4.0

4.0

3.0

4.0

14

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

15

4.0

4.0

3.0

3.0

3.0

16

3.0

2.0

3.0

2.0

2.0

17

3.0

4.0

3.0

4.0

4.0

18

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

19

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

20

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

Data tingkat kesukaan panelis terhadap bakpia


dengan perlakuan substitusi tepung mocaf dan
cassava selanjutnya di analisis menggunakan uji
Kruskal-Wallis dan disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat kesukaan panelis hasil uji organoleptik
dengan analisis uji Kruskal-Wallis
Perlaku
Warna Teks
Aro
Rasa
Kese
an
tur
ma
luruh
an
Kontrol
60,20
50,22
53,58
50,92
53,5
(100%
tepung
terigu)
Substitu 43,4
39,45
47,95
44,30
39,1
si
Tepung
Mocaf
50%
Substitu 41,58
40,92
46,75
45,35
43,6
si
Tepung
Cassafa
50 %
Substitu 57,70
64,52
52,02
60,15
63,0
si
Tepung
Mocaf
25 %
Substitu 49,62
57,38
52,2
51,78
53,3
si
Tepung
Cassafa
25 %
8,754
12,592
1,048
4,616
9,455
ChiSquare
4
4
4
4
4
df
0,068
0,013
0,902
0,329
0,051
Tingkat
Tidak
Beda
Tidak
Tidak
Tidak
Signifi
beda
nyata
beda
beda
beda
kan

Tabel 5. Data Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Bakpia


Perlakuan Substitusi Tepung Cassafa 25 %
Keselu
Panelis Warna Tekstur Aroma Rasa ruhan
1

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

3.0

4.0

3.0

4.0

4.0

3.0

3.0

4.0

2.0

2.0

4.0

2.0

4.0

4.0

4.0

4.0

4.0

nyata

147

nyata

nyata

nyata

Aroma
merupakan salah satu faktor
penentu kualitas produk makanan [10]. Dalam
industri pangan pengujian aroma atau bau dianggap
penting karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk tentang diterima
atau tidaknya produk tersebut. Timbulnya aroma
atau bau ini karena zat bau tersebut bersifat volatil
(menguap), sedikit larut dalam air dan lemak. Hasil
uji organoleptik terhadap tekstur kulit bakpia secara
statistik menunjukkan tidak beda nyata antara
aroma bakpia dengan berbagai perlakuan. Penilaian
panelis terhadap aroma bakpia memiliki rata-rata
peringkat berkisar antara 46,75-53,58. Perlakuan
pembuatan kulit bakpia pada kontrol (100% terigu)
memiliki nilai rata-rata peringkat tertinggi, yaitu
53,58 sedangkan nilai rata-rata peringkat terendah
pada perlakuan substitusi tepung cassava 50%,
yaitu 46,75 (Tabel 1).

(Ho)
Jika Ho > 0,05, maka tidak beda nyata
Jika Ho < 0,05, maka beda nyata

Warna
Warna memegang peranan penting dalam
produk makanan, karena jika warna suatu makanan
tidak menarik, meskipun kandungan gizinya
lengkap akan mengurangi penerimaan konsumen
terhadap produk [6].
Hasil uji organoleptik terhadap warna
bakpia secara statistik menunjukkan tidak berbeda
nyata antara warna bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis terhadap warna bakpia
rata-rata
peringkatnya
antara
41,58-60,20.
Perlakuan pembuatan kulit bakpia pada kontrol
(100% terigu) memiliki nilai rata-rata peringkat
tertinggi, yaitu 60,20 diikuti dengan perlakuan
substitusi Mocaf 25%, yaitu 57,70 sedangkan
nilai rata-rata peringkat terendah pada perlakuan
substitusi tepung cassava 50%, yaitu 41,58 (Tabel
1). Hal ini sesuai dengan yang di utarakan Salim,
2011, bahwa bila dibandingkan dengan tepung
singkong biasa atau tepung gaplek, tepung mocaf
memiliki performansi yang lebih baik yaitu lebih
putih, lembut dan tidak bau apek.

Rasa
Rasa dari suatu makanan merupakan
gabungan dari berbagai macam rasa bahan-bahan
yang digunakan dalam makanan tersebut [2]. Flavor
(cita rasa) didefinisikan sebagai rangsangan yang
ditimbulkan oleh bahan yang dimakan, terutama
yang dirasakan oleh indera pengecap dan pembau.
Dengan rasa kita dapat menilai suatu masakan
apakah enak, manis, asin, atau pahit. Menurut [8],
indera pencicip berfungsi untuk menilai rasa
dengan cara cicip untuk suatu makanan.
Hasil uji organoleptik terhadap tekstur
kulit bakpia secara statistik menunjukkan tidak
beda nyata antara rasa bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis terhadap rasa bakpia
peringkat rata-ratanya berkisar antara 44,30
60,15. Perlakuan pembuatan kulit bakpia dengan
perlakuan
substitusi
tepung
mocaf
25%
memperoleh nilai peringkat rata-rata paling tinggi
yaitu 60,15 dan nilai tersebut lebih baik jika
dibandingkan dengan kontrolnya (perlakuan
pembuatan kulit bakpia dengan 100% tepung
terigu) yaitu 50,92 (Tabel 1. ).

Tekstur
Tekstur didefinisikan sebagai sifat-sifat
suatu bahan pangan yang dapat diamati oleh mata,
kulit, dan otot-otot dalam mulut. Tekstur
merupakan gambaran mengenai atribut bahan
makanan yang dihasilkan melalui kombinasi sifatsifat fisik dan kimia, diterima secara luas oleh
sentuhan, penglihatan dan pendengaran [9].
Menurut [8], tekstur produk tergantung
pada kekompakan partikel-partikel penyusun,
bentuk, kekukuhan dan keseragaman partikelpartikel penyusun bila produk tersebut dipatahkan.
Adapun mutu tekstur ditentukan oleh kemudahan
terpecahnya partikel-partikel penyusun bila produk
tersebut dikunyah, serta sifat-sifat partikel yang
dihasilkan.
Hasil uji organoleptik terhadap tekstur
kulit bakpia secara statistik menunjukkan adanya
beda nyata antara tekstur bakpia dengan berbagai
perlakuan. Penilaian panelis
terhadap tekstur
bakpia memiliki nilai peringkat rata-rata antara
39,45-64,52. Perlakuan pembuatan kulit bakpia
dengan perlakuan substitusi tepung mocaf 25%
menghasilkan tekstur yang paling disukai oleh
panelis dengan nilai peringkat rata-rata 64,52, nilai
tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan
kontrolnya (perlakuan pembuatan kulit bakpia
dengan 100% tepung terigu), yaitu 50,22 (Tabel 1 ).

Kesukaan secara keseluruhan


Untuk mengetahui penerimaan konsumen
terhadap produk bakpia secara utuh dan untuk
menentukan kualitas produk maka dilakukan
penilaian gabungan sebagai penilaian kesukaan
secara keseluruhan. Hasil uji organoleptik secara
keseluruhan yang meliputi atribut warna, tekstur,
aroma, dan rasa bakpia menunjukkan bahwa bakpia
dengan berbagai perlakuan adalah tidak berbeda
nyata, dengan nilai peringkat rata-rata antara 39,163,0. Perlakuan pembuatan kulit bakpia dengan
perlakuan
substitusi
tepung
mocaf
25%
menghasilkan nilai keseluruhan yang paling tinggi
yaitu 63,0 dan nilai tersebut lebih baik jika
dibandingkan dengan kontrolnya (perlakuan

Aroma

148

pembuatan kulit bakpia dengan 100% tepung


terigu), yaitu 53,5 (Tabel 1.)
4.

Tanya:Terigu jenis apa yang digunakan dalam


pembuatan
bakpia
mocaf
25%?
(Miftakhusholihah)
Jawab: Menggunakan terigu cap segi tiga.

Tanya: Apakah Ibu tidak mencoba pembuatan


bakpia dengan komposisi mocaf yang lebih
banyak sehingga menekan penggunaan terigu?
(Miftakhusholihah)
Jawab: Sudah mencoba dengan mocaf 50%
hasilnya tidak disukai, karena teksturnya
pecah-pecah, kami tidak menggunakan
penambahan margarine. Yang digunakan
terigu, minyak, dan air gula 25%. Kami
mengkaji seberapa banyak mocaf yang
diterima oleh masyarakat.

Tanya: Daya simpan bakpia mocaf berapa


lama? (Miftakhusholihah)
Jawab:Daya simpan bakpia mocaf 1 minggu,
karena kami tidak menggunakan bahan
pengawet.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis, tingkat


kesukaan secara umum terhadap bakpia yang
terbuat dari substitusi tepung mocaf adalah tidak
berbeda nyata dan nilai kesukaan teringgi adalah
pada substitusi tepung mocaf 25%, sehingga
tepung mocaf dapat digunakan sebagai campuran
pembuatan kulit bakpia sebesar 25%.
DAFTAR REFERENSI
[1]

Prasidya, G. , Deoranto, P., dan Rizky R.,


Analisis Preferensi Konsumen terhadap
Produk Bakpia Pia Djogdja dengan Metode
Konjoin, 2013
[2] Nurhastuti, N., Pengaruh Lingkungan Kerja
dan Karakteristik Individu terhadap Kinerja
Karyawan Studi Kasus Perusahaan Bakpia
Japon Lopati, Trimurti, Srandakan, Bantul,
Yogyakarta, Skripsi, Sanata Dharma, 2011.
[3] Suswono, et al, Konsep Strategi Induk
Pembangunan
Pertanian
2013-2045
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan Solusi
Pembangunan Indonesia Indonesia, Biro
Perencanaan
Sekretaris
Jenderal
Kementerian Pertanian, 2013, Jakarta
[4] Salim, E., Mengolah Singkong Menjadi
Tepung Mocaf, Bisnis Alternatif Pengganti
Terigu, Andi Offset/Gramedia, 2011.
[5] Soekarto, S.T. Penilaian Organoleptik untuk
Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Bhatara Karya Aksara. Jakarta, 1985
[6]
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan
Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[7] Gaspersz, V. Metode Perancangan
Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Teknik dan
Biologi. Armico, Bandung, 1991.
[8] Matz, S.A., 1972. Bakery Technology and
Engineering. Second Edition. The AVI Pub.
Co.Inc, Westport, Connecticut
[9] Lewis, M.J., 1987. Physical Properties of
Foods and Food Processing System.
Camelot Press. Canada.
[10] Kartika, B. H. Pudji dan S. Wahyu. 1988.
Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi. Fakultas Pasca Sarjana.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Notulensi Diskusi:
PGO-208, Purwaningsih dkk, Tingkat Kesukaan
Bakpia dari Beberapa Tingkat Substitusi Tepung
Mocaf

149

Kajian Sifat-Sifat Fisiko-Kimia Senyawa Bioaktif Kolagen yang Diproduksi


dari Limbah Tulang Belikat (Os Scapula) Sapi Bali
Muhammad Irfan Said1), A. W. Wahab2) dan F. N. Yuliati3)
1,3) Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar 90245 Telp/Fax.(0411) 587217
2) Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar 90245 Telp/Fax (0411) 586498
Email : irfanunhas@gmail.com
Abstrak-Tulang sapi merupakan produk limbah RPH yang kaya dengan senyawa kolagen. Senyawa kolagen
banyak dimanfaatkan dalam bidang pangan dan farmasi. Untuk memperoleh ekstrak kolagen dengan kuantitas
dan kualitas yang maksimal dari tulang, dibutuhkan proses demineralisasi dengan kombinasi bahan dan waktu
proses yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat-sifat fisik dan kimia senyawa
kolagen yang diproduksi dari limbah tulang sapi bali menggunakan beberapa jenis bahan dan waktu proses
demineralisasi berbeda. Materi penelitian adalah tulang belikat (os scapula) sapi bali umur potong 2,5-3 tahun.
Proses demineralisasi menggunakan 2 jenis bahan, yaitu CH3COOH dan H2SO4. Penelitian dilaksanakan
secara eksperimen laboratorium Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor 1 adalah perbedaan
jenis bahan demineralisasi : (1) Asam Lemah (CH3COOH 1M) dan (2) Asam Kuat (H2SO4 1M), dan faktor 2
adalah waktu proses (48 jam dan 96 jam). Data yang diperoleh dianalisis secara sidik ragam. Hasil yang
berpengaruh nyata diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Hasil akhir menunjukkan bahwa
penerapan bahan demineralisasi menggunakan H2SO4 1M menghasilkan nilai rendemen yang tertinggi, namun
penerapan bahan berupa CH3COOH 1M dengan waktu proses 48 jam menghasilkan sifat-sifat yang lebih baik
khususnya yang terkait dengan sifat kekuatan gel.
Kata Kunci : fisikokimia, kolagen, tulang, sapi bali, demineralisasi
Abstract-Bone of beef cattle is slaughterhouse waste which is a product rich in collagen. The collagen was used
widely in the food and pharmaceutical fields. To obtain maximum quantity and quality of collagen extract of
bone was required demineralization process by the combination of materials and processing time is right. The
purpose of this study was to evaluate of physical properties and chemical compound of collagen produced from
bone of Bali cattle using types of materials and different time of demineralization process. The research
materials was belikat bone (os scapula) of Bali cattle aged 2.5-3 years. Two kinds of materials (CH3COOH and
H2SO4) was used to demineralization process. The laboratory experiments with Completely randomized design
(CRD) factorial was used as design of research. The first factor is difference of types of materials weak acid
(CH3COOH 1M) and strong acid (H2SO4 1 M), and the second factor is processing time (48 h and 96 h). The
data were analyzed by analysis of variance (ANOVA), and significant results further were tested by Duncan's
Multiple Range Test (DMRT). The results of this study showed that the application of materials demineralization
using H2SO4 1M produces the highest yields, but CH3COOH 1M with a 48h process better produces of the gel
strength.
Keywords: physicochemical, collagen, bone, Bali cattle, demineralization
1.

PENDAHULUAN

Tulang sapi Bali merupakan salah satu produk


limbah Rumah Potong Hewan (RPH) yang kaya
dengan senyawa kolagen, namun sampai saat ini
limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan.
Pemanfaatan limbah tulang saat ini masih diarahkan
sebagai bahan baku tepung tulang untuk pakan ternak,
sedangkan pemanfaatan dalam bidang pangan belum
banyak dikaji.
Sebagai salah satu ilustrasi sederhana, bahwa
produksi limbah perhari berupa tulang yang dihasilkan
oleh RPH Tamangapa di Kota Makassar ternyata
cukup signifikan. Jumlah ternak sapi yang disembelih
di RPH tersebut dalam setiap harinya rata-rata

mencapai 60 ekor dengan berat badan rata-rata 100 kg


(90% sapi Bali) [1]. Bila diasumsikan jumlah tulang
yang dihasilkan dari penyembelihan seekor ternak
adalah 16,6% dari berat badan hidup [2], maka dalam
setiap bulannya RPH Tamangapa menghasilkan
limbah tulang sebesar, 60 ekor x 100 kg x 16,6% x 30
hari = 29.880 kg atau ekuivalen dengan 29,9
ton/bulan.
Hasil penelitian awal yang telah dilakukan oleh
peneliti diperoleh hasil bahwa tulang belikat (os
scapula) pada sapi Bali memiliki komposisi kadar air
(39,12%), kadar protein kasar (39,84%), kadar lemak
kasar (0,08%), BETN (0,66%), kadar abu (28,93%),
kadar Ca (11,66%) dan kadar P(12,07%) (wet basis)
[3]. Tulang sapi secara struktural kaya dengan

150

senyawa bioaktif berupa protein kolagen yang terikat


secara kuat dengan mineral kalsiumnya [4]. Senyawa
bioaktif kolagen merupakan produk hidrokoloid yang
diperoleh dari hasil hidrolisis protein hewani secara
parsial [5]. Dalam aplikasinya, senyawa kolagen telah
banyak digunakan dalam bidang pangan dan farmasi.
Dalam bidang pangan, kolagen banyak dimanfaatkan
sebagai agensia pengental dan stabilizer, sedangkan
dalam bidang farmasi banyak dimanfaatkan sebagai
bahan pembuat cangkang kapsul. Untuk memperoleh
ekstrak kolagen dengan kuantitas dan kualitas yang
maksimal
dari
tulang,
dibutuhkan
proses
demineralisasi dengan kombinasi bahan dan waktu
proses yang tepat. Pada proses demineralisasi, terjadi
proses hidrolisis dan solubilisasi komponen mineral
serta denaturasi ikatan protein secara terbatas,
sehingga akan sangat mempengaruhi sifat-sifat
khususnya sifat-sifat fisik dan kimianya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji sifat-sifat fisik dan kimia dari senyawa
bioaktif kolagen yang diproduksi dari limbah tulang
sapi Bali dengan menerapkan beberapa jenis bahan
dan waktu proses demineralisasi yang berbeda.
2.BAHAN DAN METODE
Materi Penelitian
Materi utama dari penelitian ini menggunakan
bahan baku dari tulang belikat (os scapula) sapi Bali
jantan dengan umur potong pada kisaran 2,5-3 tahun
yang diperoleh dari RPH Tamangapa, Kota Makassar.
Jenis bahan demineralisasi yang digunakan antara lain
CH3COOH 1M dan H2SO4 1M. Bahan pelengkap
proses ekstraksi diantaranya aquadest dan Ca(OH).
Peralatan pendukung proses produksi antara
lain : water bath (Memmert), oven digital (Memmert),
timbangan analitik (Henherr JCS-K), labu ukur
(pyrex), beker glass (pyrex), erlemenyer (pyrex),
corong gelas, gelas ukur (pyrex) dan termometer.
Peralatan-peralatan pendukung untuk proses uji
kualitas antara lain : universal testing machine
(DIGITAL Force Gauge GY-4), viskometer
(Brookfoeld LV) dan pH meter (Hanna NI 8520).
Metode Penelitian
- Prosedur produksi ekstrak kolagen
Kolagen diekstrak menurut metode [4] yang
telah dimodifikasi.
Potongan tulang belikat (os
scapula) sapi Bali ukuran 3x3 cm sebanyak 300
dimasukkan ke dalam beker glass yang berisi larutan
etanol 70% dan dilakukan perendaman selama 24 jam
pada suhu ruang. Tulang selanjutnya dicuci dengan
air mengalir selama 3 menit. Sampel selanjutnya
dimasukkan ke dalam larutan demineralisasi
(disesuaikan dengan perlakuan) menggunakan rasio
tulang : larutan (1:1,5). Ossein yang dihasilkan,
kemudian dicuci dengan air mengalir. Sampel tulang
dinetralkan dengan Ca(OH)2 20% b/v selama 24 jam
dengan rasio tulang : larutan (1:1,5). Sampel tulang
selanjutnya dimasukkan ke dalam erlemenyer berisi

aquades dengan rasio tulang : aquades (1:1). Proses


ekstraksi dilakukan secara bertingkat dalam water
bath. Ekstraksi pertama pada suhu 70oC selama 24
jam untuk menghasilkan kolagen cair fraksi pertama
yang dilanjutkan dengan esktraksi kedua pada suhu
suhu 75oC selama 24 jam untuk menghasilkan fraksi
2). Hasilnya kemudian dikeringkan di dalam oven
suhu 55oC selama 18-20 jam. Lapisan tipis ekstrak
kolagen digiling dengan blender hingga membentuk
konsistensi kering. Hasil yang diperoleh selanjutnya
dikemas dengan plastik vakum untuk dilakukan uji
kualitas.
- Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan dasar
berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial. Perlakuan menggunakan dua faktor, yakni
faktor pertama adalah perbedaan jenis bahan
demineralisasi : CH3COOH 1M dan H2SO4 1M dan
faktor kedua adalah waktu proses (48 jam dan 96
jam).
- Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara sidik
ragam berdasarkan rancangan acak lengkap. Hasil
yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan Duncan
Multiple Range Test (DMRT) [6].
- Cara analisis
Rendemen. Alat ukur adalah timbangan digital
(Henherr JCS-K). Berat ekstrak dan sampel tulang
bahan baku ditimbang bobotnya (g). Persamaan yang
digunakan adalah ; Rendemen (%) = a/b x 100%,
dimana a = bobot ekstrak kolagen ; b = bobot sampel
tulang yang diproses.
Kekuatan gel. Alat ukur menggunakan
universal testing machine (DIGITAL Force Gauge
GY-4). Larutan ekstrak kolagen dibuat dengan
konsentrasi 6,67% w/v, dipanaskan suhu 60oC
hingga partikel ekstrak larut secara sempurna.
Larutan dimasukkan ke dalam wadah berdiamater 5
cm dengan tinggi 6 cm kemudian disimpan dalam
lemari pendingin pada suhu 5oC selama 16-18 jam.
Sampel dalam wadah diletakkan tepat pada bagian
bawah plunger (d=13mm) untuk selanjutnya
dilakukan proses pengujian. Pengujian dilakukan
sebanyak 3 kali setiap sampel pada suhu 10oC. Hasil
pembacaan adalah gaya maksimum yang diberikan
plunger pada gel. Persamaan yang digunakan adalah ;
Kekuatan gel (g Bloom) = 20 + 2,86 x 10-3 x D ; D =
F/G x 980, dimana F = Gaya tekan plunger (N) ; G =
konstanta (0,07)
Viskositas.
Alat
ukur
menggunakan
viskometer (Brookfoeld LV). Sebanyak 6,67% w/v
larutan ekstrak kolagen dibuat konsentrasi, dipanaskan
pada suhu 60oC hingga partikel ekstrak terlarut.
Larutan dimasukkan ke dalam wadah pada alat
viscometer.
Mesin dijalankan pada RPM 30.
Persamaan yang digunakan adalah ; Viskositas (cP) =
faktor x DR, dimana faktor = hasil pembacaan alat

151

viscometer menggunakan spindel LV1 ; DR = deal


reading (hasil pembacaan RPM viscometer)
pH. Alat ukur menggunakan pH meter (Hanna
NI 8520) yang sudah dikalibrasi. Larutan ekstrak
kolagen dibuat pada konsentrasi 6,67% w/v,
dipanaskan pada suhu 60oC hingga partikel ekstrak
terlarut. Larutan didinginkan pada suhu ruangan,
kemudian pH larutan diukur.
Kadar Protein. Analisis menggunakan
metode AOAC (1995). Persamaan yang digunakan ;

Kadar protein (%) = PxVxN x 14 x 6,25/bobot sampel


(g) x 100%, dimana P = faktor pengenceran (100/5) ;
V = volume ; N = normalitas pentitrasi = 0,0199 N
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data
seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat Fisiko-Kimia Ekstrak Kolagen dari Limbah Tulang Belikat (Os Scapula) Sapi Bali pada Penerapan Jenis
Bahan dan Waktu Proses Demineralisasi Berbeda
No.

Parameter Uji

1.

Rendemen (%)

2.

Kekuatan Gel (g Bloom)

3.

Viskositas (cP)

4.

pH

5.

Kadar Protein (%)

Waktu Proses
Demineralisasi
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam
48 jam
96 jam

Jenis Bahan Demineralisasi


CH3COOH 1 M
H2SO4 1 M
2,260,39a
8,810,47b
a
2,510,24
9,370,23b
200,6815,71c
147,0036,28d
297,5729,48c
139,1515,87d
6,001,91
6,002,00
7,500,64
5,101,01
5,50,21e
3,60,10f
5,80,17e
3,60,06f
70,82,45
71,92,07
73,95,09
74,65,10

Keterangan : a,b,c,d,e ; Superskrip yang sama pada baris dan atau kolom yang sama dari setiap parameter uji menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05)

pada akhirnya akan mempercepat terjadinya proses


hidrolisis [9]. Laju hidrolisis yang semakin cepat
cenderung meningkatkan jumlah molekul kolagen
yang terkonversi dan menyebabkan meningkatnya
nilai rendemen [10].

Rendemen
Rendemen pada dasarnya adalah besaran
produk yang dihasilkan dari sejumlah bahan baku
yang diproses [7] dan besaran rendemen sangat
dipengaruhi oleh proses produksi [8].
Berdasarkan data pada Tabel 1, secara
statistik menunjukkan bahwa penggunaan jenis
bahan demineralisasi berbeda dalam proses
produksi ekstrak kolagen dari limbah tulang sapi
Bali berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap
nilai rendemen. Penerapan bahan demineralisasi
dari golongan asam kuat (H2SO4) menghasilkan
rendemen lebih tinggi dibanding penggunaan bahan
demineralisasi dari golongan asam lemah
(CH3COOH). Asam kuat seperti H2SO4 memiliki
valensi 2 dalam struktur molekulnya sehingga
memiliki kemampuan lebih kuat dalam memotong
ikatan asam amino penyusun serabut kolagen
dibanding asam lemah seperti CH3COOH yang
hanya memiliki valensi satu
Tulang belikat (os scapula) pada sapi Bali
memiliki kandungan protein yang sangat tinggi yakni
mencapai 39,84% dari berat basah bahan atau
kurang lebih sepertiga dari komposisi kimia yang
menyusun tulang belikat itu adalah protein. Dari
jumlah tersebut kurang lebih 60-70% protein yang
ada itu adalah potensi kolagen [3]. Jumlah kolagen
yang mampu terekstrak itu sangat dipengaruhi oleh
kinerja bahan demineralisasi yang digunakan, dalam
hal ini adalah asam yang digunakan. Peningkatan
konsentrasi
asam
menyebabkan
terjadinya
peningkatan konsentrasi ion H+ dalam larutan yang

Kekuatan Gel
Salah satu sifat fungsional yang dimiliki
oleh ekstrak kolagen adalah kekuatan gel [11].
Kekuatan gel merupakan gaya untuk menghasilkan
deformasi tertentu [12]. Data penelitian terkait
nilai pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perbedaan
jenis bahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01)
terhadap nilai kekuatan gel produk kolagen. Hal ini
disebabkan karena pada penggunaan asam kuat,
terjadi pemotongan rantai asam amino pada
molekul protein kolagen secara berlebihan.
Aktivitas tersebut menyebabkan beberapa kolagen
akan mengalami kerusakan pada struktur ikatan
hidrogennya maupun pada bagian struktur triple
heliks khususnya pada rantai- [13]. Sifat kekuatan
gel pada ekstrak kolagen terkait dengan kandungan
protein yang terdapat pada bahan baku tulang
belikat. Nilai kekuatan gel produk ekstrak kolagen
terkait dengan jumlah molekul kolagen yang dapat
terekstrak secara sempurna dari komponen
molekul protein tulang belikat. Sifat kekuatan gel
dipengaruhi pula oleh bahan yang digunakan dalam
proses dalam hal ini penggunaan asam.
Penggunaan asam kuat menurunkan sifat kekuatan
gel. Sifat kekuatan gel berkaitan dengan ikatan
hidrogen antara molekul air dengan kelompok

152

hidroksil bebas dari kelompok asam amino, ukuran


rantai protein, konsentrasi serta distribusi berat
molekul kolagen [14],[15]

berbeda nyata (p>0,05). Kadar protein pada tulang


belikat sapi Bali menempati 1/3 dari komposisi
penyusun
tulang
belikat.
Komposisi
ini
sepenuhnya akan terkonversi menjadi molekul
kolagen oleh karena aktivitas hidrolisis yang
dilakukan molekul asam. Penggunaan bahan asam
dalam proses demineralisasi tulang dapat
menyebabkan fibril-fibril kolagen membengkak
dan pecah serta terhidrolisis menjadi satuan fibril
atau makromolekul tropokolagen [19]. Terjadinya
peningkatan kadar protein kolagen dengan
penggunaan asam pada konsentrasi berbeda
berkaitan dengan perubahan jumlah struktur ikatan
asam amino yang menyusun protein kolagen.

Viskositas
Viskositas
merupakan
kemampuan
menahan dari suatu cairan untuk mengalir akibat
adanya adsorbsi dan pengembangan dari sebuah
koloid [11]. Hasil analisis sidik ragam terhadap
data pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai viskositas
ekstrak kolagen yang diproduksi menggunakan
bahan demineralisasi dari asam lemah dengan asam
kuat tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Nilai
viskositas secara rata-rata mengalami penurunan
dengan penggunaan bahan demineralisasi dari
bahan asam kuat. Laju konversi protein kolagen
yang terdapat pada tulang belikat (os scapula) sapi
Bali salah satunya dipengaruhi oleh proses (suhu,
waktu dan pH) dari bahan baku maupun
praperlakuan [15]. Peningkatan nilai viskositas
dipengaruhi oleh struktur molekul asam amino
yang menyusun protein gelatin. Susunan asam
amino yang semakin panjang akan meningkatkan
nilai viskositas gelatin [16]. Konformasi ikatan
yang kurang stabil menyebabkan ikatan tersebut
mudah mengalami transformasi menjadi molekulmolekul polipeptida pada saat proses ekstraksi
dilakukan. Rantai molekul yang panjang
berpengaruh langsung pada nilai viskositas gelatin
[17].

4. KESIMPULAN
Penerapan bahan demineralisasi dari jenis
asam lemah (CH3COOH 1M) dengan waktu proses
48 jam menghasilkan sifat-sifat yang lebih baik
khususnya yang terkait dengan sifat kekuatan gel,
namun untuk menghasilkan rendemen yang tinggi,
penggunaan asam kuat (H2SO4 1M) akan lebih
baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Kementerian Riset dan Teknologi RI melalui skim
Program SINas Insentif Riset Terapan atas
dukungan pendanaan dalam penelitian ini. Juga
kepada para mahasiswa (Dewi Ramadhani, A. Abd.
Malik Wahid, dan Lukman Hakim) atas peran
sertanya dalam kegiatan penelitian ini.

pH
Berdasarkan hasil analisis ragam dari data
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penerapan jenis
asam yang berbeda berpengaruh sangat nyata
(p<0,01) terhadap nilai derajat keasaman (pH)
produk ekstrak kolagen. Pada saat pemberian asam
dalam proses demineralisai, maka serabut kolagen
yang ada pada tulang akan mengalami proses
pembengkakan (swelling), sehingga
terjadi
penurunan sifat kohesi internal dari serabut kolagen
tersebut yang menyebabkan struktur ikatan asam
amino pada molekul kolagen mengalami
pembukaan dan bahan asam akan terperangkap
diantara ikatan tersebut.
Molekul asam yang
terperangkap dalam struktur ikatan tersebut dan
tidak larut saat proses netralisasi, secara langsung
akan mempengaruhi nilai pH akhir produk dan
akhirnya konsentrasi asam dapat mengubah nilai
pH produk [4]. Nilai pH juga berpengaruh terhadap
kerapatan muatan protein sehingga mampu
memodifikasi
terjadinya
interaksi-interaksi
elektrostatik dalam struktur asam amino penyusun
protein [18].
Kadar Protein
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat nilai
kadar protein produk ekstrak kolagen yang diberi
bahan demineralisasi dari golongan asam lemah
secara rata-rata lebih rendah dibanding pemberian
dengan asam kuat, namun secara statistik tidak

DAFTAR REFERENSI
[1]

Anonim, Statistik Peternakan,


Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota
Makassar, Makassar, 2001
[2] T.W.Widayati dan E.K. Suawa, Pengembangan
Agribisnis Peternakan Sapi Potong Melalui
Perbaikan Manajemen Mikro Di Kabupaten
Sarmi Papua. Prosiding. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 2007,
hal : 346-352
[3] M.I.Said, E. Abustam, A.W.Wahab dan Sartini,
Pengembangan Produk Pangan Baru Dari
Bahan Baku Lokal (Tulang Sapi Potong)
Untuk Kebutuhan Khusus Berupa
Food
Supplement Bagi Masyarakat Spesifik Lanjut
Usia (Lansia), Laporan Penelitian, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LP2M), Universitas Hasanuddin, Makassar,
2012
[4] H.W.Ockerman and C.L. Hansen, Animal By
Product Processing and Utilization, CRC
Press, USA, 2000
[5] I.Kolodziejska., K.Kaczorowski, B.Piotrowska
and M.Sadowska, Modification of the

153

properties of gelatin from skins of Baltic


cod (Gadus morhua) with transglutaminase,
Food Chem, vol.86, no.2, 2003, pp.2003.
203-209.
[6] R.G.D Steel and J.H.Torrie, Principle and
Procedure of Statistics, 2nd.ed, International
Book Company, Tokyo, 1991
[7] B.Gimnez, M.C. Gmez-Guilln and P.
Montero, The role of salt washing of fish
skins in chemical and rheological properties
of gelatin extracted, Food Hydrocolloids,
vol.19, no.6, 2005,pp.951-957.
[8] I.Kolodziejska., K.Kaczorowski, B.Piotrowska
and M.Sadowska, Modification of the
properties of gelatin from skins of Baltic
cod (Gadus morhua) with transglutaminase,
Food Chem, vol.86, no.2, 2003, pp.203-209.
[9] P.Zhou and M.R. Joe, Effect of alkaline and
acid pretreatments on alaska pollock skin
gelatin extraction, J. Food Sci, vol.70, 2005,
pp.392-396.
[10] Anonim, Gelatin.org. Market Data 2005,
Gelatine Manufacturers of Europe,
http://www.gelatine.org, 2006.
[11] R.Schrieber and H.Gareis, Gelatine
Handbook, Wiley-VCH GmbH & Co,
Weinhem, 2007
[12] J.M. de-Man, Kimia Makanan, Edisi Kedua,
Penerjemah : Padmawinata, K. ITB Press,
Bandung, 1989
[13] J.H.Muyonga, C.G.B. Cole and K.G. Duodu,
Fourier
transform
infrared
(FTIR)
spectroscopic study of acid soluble collagen
and gelatin from skins and bones of young
and adult Nile perch (Lates niloticus), Food
Chemistry, vol.86, no.3, 2003, pp.325-332.
[14] J.A.Arnesen and A. Gildberg, Preparation
and characterization of gelatine from the skin
of harp seal (Phoca groendlandica),
Bioresource Technology, vol.82, 2002,
pp.191-194.
[15] R.Bhat and A.A. Karim, Ultraviolet
irradiation improves gel strength of fish
gelatin. Food Chemistry. 2008.
.
doi:10.1016/j.foodchem.2008.08.039
[16] P.B.Leiner, The Physical and Chemical
Properties of Gelatin.
http://www.pbgelatin.com, 2002.
[17] I.Jaswir, Memahami Gelatin. Artikel Iptek.
www.beritaiptek.com, 2007.
[18] M.Verheul, S.P.F.M. Roefs and C.G. de
Kruif, Kinetics of heat-induced aggregation
of -lactoglobulin, J.of Agric and Food
Chem., vol.46, 1998, pp.896903.
[19]C.R.Leeson,T.S.Leeson and A.A.Paparo,
Buku Ajar Histologi (Textbook of Histology).
Penerjemah : Siswojo, S.K., J.Tambajong, S.
Wonodirekso,
I.A.Suryono,
R.Tanzil,
H.Soeharto, S.Roewijoko, I.Goeritnoko dan

M. Martoprawiro, Edisi V, Penerbit Buku


Kedokteran, Jakarta, 1995

154

Potensi Produk Pangan Fungsional Antidiare dari Edamame (Glycine


max(L) Merril)
Nurul Isnaini Fitriyana
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jl. Kalimantan I/37, Jember
e-mail : nurulis_fitriyana@yahoo.com
Abstrak - Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi feses lebih dari biasanya (tiga
kali atau lebih perhari) yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi feses. Lazimnya, pengobatan diare
adalah dengan obat-obatan, baik obat kimia ataupun herbal. Melalui penelitian ini digunakan tanaman pangan
lokal fungsional yaitu kedelai sayur atau edamame (Glycine max (L) Merril) yang diolah menjadi pangan
fungsional antidiare untuk mencegah diare lebih lanjut dan memberikan asupan nutrisi yang banyak hilang
selama terjadinya diare. Edamame ditambah kurma (Phoenix dactylifera L.) diformulasikan menjadi susu
edamame dan kurma (Sumema) sebagai produk pangan fungsional antidiare. Melalui uji kualitatif, dilakukan
skrining terhadap kandungan tanin dengan metode reaksi ferriklorida dan uji gelatin menunjukkan bahawa
filrat Sumema mengandung tanin. Tanin merupakan senyawa bioaktif yang bersifat astringensia yaitu dapat
menciutkan mukosa usus, dan digunakan secara luas sebagai obat antidiare. Uji in vivo sifat antidiare Sumema
dilakukan pada mencit putih (Mus muscullus) jantan galur Balb-C yang diare dengan metode proteksi minyak
jarak (Olleum riccini). Sumema dengan konsentrasi 100 mg/kg BB berpengaruh signifikan terhadap penurunan
frekuensi defekasi dan bobot feses.
Kata kunci : pangan fungsional, edamame,antidiare
Abstract - Diarrhea is a disease characterized by increased frequency of feses than usual (three times or more
per day) are accompanied by changes in the shape and consistency of feses. Treatment of diarrhea typically use
either drugs or herbal medicinal. Through this research used functional local food crops ie vegetable soybean or
edamame (Glycine max (L) Merril) are processed into functional food to prevent diarrhea and provide
nutrition was lost during diarrhea. Edamame with date (Phoenix dactylifera L.) formulated into Sumema as
functional food anti diarrheal. Qualitative assay carried out to analyze tanin in Sumema, with ferrilchlorida
assay and gelatin assay showed positive result. Tanin is bioactive component commonly used as astringensia to
curing diarrhea with collapsing intesttinal mucosa. In vivo assay carried out on male white mice (Mus mucullus)
Balb-C strain were diarrhea with Olleum ricini protection method. Sumema with concentration of 100 mg/ kg of
body weight as a functional food show its anti-diarrheal properties.
Key words : functional food, edamame, antidiarrheal

1.

PENDAHULUAN

Diare adalah keadaan frekuensi buang air


besar lebih dari empat kali pada bayi dan lebih dari
tiga kali pada anak dalam sehari. Konsistensi feses
cair, berwarna hijau, dapat pula bercampur lendir dan
darah. Diare dapat bersifat akut (oleh infeksi bakteri)
atau kronis (gangguan gastrointestinal), kelainan
psikostomatik, kelainan sistem endokrin dan
metabolisme, alergi oleh makanan dan obat-obatan
tertentu serta kekurangan vitamin sehingga tubuh
kehilangan banyak energi dan elektrolit [13]. Diare
merupakan penyebab penting kekurangan gizi
disebabkan karena hilangnya selera makan penderita
diare sehingga makan lebih sedikit dan kemampuan
menyerap sari makanan juga berkurang padahal
kebutuhan nutrisi meningkat akibat dari adanya
infeksi [6].

Diare bisa disebabkan oleh beberapa hal


yaitu aktor infeksi, misalnya infeksi saluran
pencernaan oleh virus (rotavirus, adenovirus,
enterovirus), bakteri (E. Coli, Salmonella, Shigella,
Staphylococcus). Faktor penyebab lain adalah
malabsorbsi, diantaranya malabsorbsi karbohidrat,
lemak dan protein serta kekurangan gizi [10].
Edamame dan kurma dengan kandungan gizi yang
lengkap dan mudah diserap diharapkan mampu
sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi diare
pada anak-anak,serta sifat antimikroba buah kurma [4]
dan sifat antioksidannya [3] diharapkan mampu
mengatasi diare.
Uji in vivo potensi edamame sebagai
antidiare dilakukan pada mencit putih jantan galur
Balb-C menggunakan metode proteksi minyak jarak.
Mekanisme minyak jarak sebagai pencahar adalah
mengurangi absorbsi air dan elektrolit, meningkatkan
osmolaritas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan
hidrostatik dalam usus. Minyak jarak merupakan

155

pecahar yang mampu menghasilkan pengeluaran feses


yang cair dalam waktu 1 6 jam [14].
2. BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah edamame (Glycine max (L) Merril), kurma
(Phoenix dactylifera L.), gula pasir (lokal), Olleum
ricini (minyak jarak), loperamid HCl 2 mg/kgBB,
CMC-Na, kertas saring.Hewan: Mencit putih jantan
galur Balb-C 20-25g dan memiliki feses normal,
gelatin, NaCl 10%, FeCl3.
Rancangan Penelitian
Penelitian meliputi dua tahap yaitu tahap
pembuatan dan formulasi pangan fungsional dari
edamame dan uji in vivo sifat antidiare produk pangan
fungsional dari edamame tersebut.
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Farmasi Klinik dan Komunitas, Fakultas Farmasi,
Universitas Jember, dimulai bulan September sampai
dengan November 2013.

sebagai berikut : mencit dikelompokkan menjadi 4


kelompok : kelompok 1 (kontrol), kelompok 2-3 (uji)
dan kelompok 4 (pembanding). Masing-masing
kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Kelompok
kontrol diberi minyak jarak (Oleum riccini) kelompok
uji diberi Sumema dan kelompok pembanding diberi
loperamid HCl. 1 jam sebelum percobaan, mencit
dipuasakan. Kelompok 1 diberi pembawa (larutan
CMC Na 1%) 1ml/100g BB, kelompok 2-3 diberi
sediaan uji yang terbagi dalam 2 konsentrasi yaitu 50
mg dan 100 mg/Kg BB dalam larutan CMC Na 1%)
dan kelompok 4 diberi loperamid HCl 2 mg / Kg BB
dalam larutan CMC Na 1% secara oral. Kemudian
diletakkan di bejana yang dilapisi kertas saring untuk
pengamatan.1 jam setelah perlakuan di atas, semua
mencit diberi Oleum riccini per oral. Respon yang
diamati setelah pemberian setiap 30 menit sampai 5
jam, kemudian selang 1 jam sampai 6 jam setelah
pemberian Olleum riccini. Parameter yang diamati :
waktu terjadinya diare, frekuensi defekasi, konsistensi
dan jumlah/bobot feses serta jangka waktu
berlangsungnya diare.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Susu Edamame (Glycine max


L.) dan Kurma (Phoenix dactylifera L.) (Sumema)
(Fitriyana, 2013)
Proses pembuatan Sumema dilakukan secara
sederhana. Biji-biji edamame (mukimame) dipisahkan
dari kulitnya, kurma dipisahkan dari bijinya,
kemudian ditimbang sesuai fomulasi dan dilakukan
pemblenderan. Dari 1 kg mukimame ditambah 200 g
kurma menghasilkan kurang lebih 4 liter Sumema.
Setelah ditambahkan perisa pandan serta gula pasir,
Sumema dipanaskan sampai mendidih dengan terus
diaduk-aduk, kemudian sumema yang telah
didinginkan dikemas menggunakan plastik tahan
panas.
Skrining Kandungan Tanin (Robinson, 1995)
Skrining kandungan tanin pada Sumema
dilakukan dengan metode uji Ferriklorida dan uji
Gelatin. Uji Feriklorida dilakukan dengan meneteskan
larutan FeCl3 pada filtrat, kemudian diamati perubahan
warna, jika terjadi perubahan warna menjadi
kehitaman maka menunjukkan adanya kandungan
tanin. Uji Gelatin dilakukan dengan cara memipet 0,3
ml Sumema dan ditambahkan 10 ml akuades panas,
diaduk dan dibiarkan sampai suhunya turun, kemudian
menambhakna 3-4 tetes NaCl 10% diaduk dan
disaring. Filtrat ditambah sedikit larutan gelatin, jika
terbentuk endapan putih maka dalam filtrat terdapat
tanin.
Uji Aktivitas Antidiare secara in vivo Metode
Proteksi terhadap Diare oleh Oleum ricini
(Adnyana, 2004)
Uji in vivo sifat
antidiare dilakukan
menggunakan rancangan penelitian Post Test Only
Control Goup Design. Pelaksanaan penelitian adalah

Fitriyana, 2013 melaporkan sifat fisikokimia


Sumema seperti tercantum dalam Tabel 1. Sebagai
berikut :

No
1.
2.
3.
4.
5.
6
7

Tabel 1. Sifat Fisikokimia Sumema


Parameter
Nilai (%)
Kadar Air
41,4152
Kadar Protein
38,3542
Kadar Lemak
2,8309
Kadar Karbohidrat
16,0425
Kadar Abu
1,3572
Aktivitas antioksidan
16,06
Tanin
(+)

Berdasarkan sifat fisikokimia Sumema pada


Tabel 1 diatas dapat dilihat komponen tanin yang
berpengaruh terhadap sifat fungsional sehat
menurunkan prevalensi diare. Berdasarkan uji
ferrikloridan dan uji gelatin menunjukkan hasil yang
positif. Sumema yang mengandung tanin ketika
dikonsumsi mampu menciutkan mukosa usus
sehingga mampu menurunkan frekuensi defekasi serta
meningkatkan konsistensi feses dari cair atau lembek
menjadi padat.
Uji in vivo sifat antidiare dilakukan dengan
metode proteksi terhadap minyak jarak. Prinsip
metode ini adalah kandungan utama dari minyak jarak
yakni trigliserida akan mengalami hidrolisa di dalam
usus halus oleh lipase pankreas menjadi gliserida dan
asam risinoleat. Sebagai surfaktan anionik, zat ini
bekerja mengurangi absorbsi cairan dan elektrolit serta
menstimulasi peristaltik usus. Obat yang bersifat
antidiare akan melindungi hewan uji yang telah
diinduksi dengan minyak jarak terhadap diare
(Jamaludin, 2008).

156

Berdasarkan data pengujian Sumema sebagai


antidiare pada mencit jantan galur Balb-C selama 5
jam diperoleh data frekuensi defekasi, konsistensi
feses, serta bobot feses.
a. Frekuensi defekasi
Berdasarkan hasil pengujian Sumema sebagai
antidiare terhadap mencit putih jantan dengan
metode proteksi terhadap minyak jarak diperoleh
data frekuensi terjadinya diare seperti pada Tabel 2
berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Frekuensi Diare selama 5 Jam
RATA-RATA FREKUENSI
KELOMPOK
DEFEKASI SD
Kontrol negatif
Konsentrasi 50
mg/kgBB
Konsentrasi 100
mg/kgBB

0.80.1
1.020.36

Kontrol positif

0.180.18

0.420.19

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa frekuensi


feses
semakin
menurun
dengan
semakin
meningkatnya konsentrasi Sumema. Frekuensi paling
tinggi yaitu pada kontrol negatif, sedangkan frekunsi
paling rendah yaitu pada kontrol positif. Semakin
tinggi konsentrasi Sumema maka semakin rendah
frekuensi defekasi. Sumema dengan konsentrasi 100
mg/kg BB mempunyai kemampuan menurunkan
frekuensi defekasi.
b. Pengamatan bobot feses mencit setelah diberi
minyak jarak
Berdasarkan hasil pengujian Sumema sebagai
antidiare terhadap mencit putih jantan dengan
metode proteksi terhadap minyak jarak diperoleh
data bobot feses seperti pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Bobot Feses selama 5 Jam
RATA-RATA BOBOT
KELOMPOK
FESES SD
kontrol negatiF
Konsentrasi 50
mg/kgBB
Konsentrasi 100
mg/kgBB

0.0270.016

Kontrol positif

0.0050.006

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa bobot feses


semakin menurun dengan semakin meningkatnya
konsentrasi Sumema. Bobot feses paling besar yaitu
pada kontrol negatif, sedangkan bobot feses paling
kecil yaitu pada kontrol positif. Semakin tinggi
konsentrasi uji maka semakin kecil bobot feses.
Konsentrasi 100 mg/kg BB mempunyai kemampuan
menurunkan bobot feses.
Data frekuensi defekasi dianalisa dengan
statistika menggunakan uji Kruskal-Wallis dan
Mann-Whitney, sedangkan bobot feses dianalisa
dengan uji Anova dan LSD (Least Significant
Difference). Perbedaan analisa disebabkan oleh data
yang tidak homogen, dapat dilihat dari nilai RSD
yang jauh lebih besar daripada 5% (syarat
homogenitas adalah nilai RSD (Relative Standard
Deviation) kurang dari 5%). Dari data hasil penelitian
diperoleh nilai RSD 36,8% yang berarti data tidak
homogen. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
variasi mekanisme respon tubuh (variasi biologis)
dari mencit, karena respon setiap individu terhadap
suatu obat atau kandungan zat sangat bervariasi.
Hasil perhitungan Kruskal Wallis diperoleh
nilai p untuk frekuensi defekasi adalah 0,001; syarat
nilai p untuk Kruskal Wallis adalah p < 0,05. Dari data
pada Lampiran nilai p untuk frekuensi defekasi <0,05
maka dapat disimpulkan bahwa data memenuhi uji
Kruskal Wallis. Data kontrol negatif dibandingkan
dengan konsentrasi 50 mg/kg BB menunjukkan nilai
signifikansi 0,0548 hal ini berarti bahwa konsentrasi
50 mg/kg BB tidak berbeda nyata dengan kontrol
negatif. Sedangkan kontrol negatif dan konsentrasi
100 mg/kg BB diperoleh nilai 0,008, hal ini berarti
konsentrasi 100 mg/kg BB berbeda nyata dengan
perlakuan kontrol negatif, artinya konsentrasi 100
mg/kg BB mampu menurunkan frekuensi defekasi.
Hasil uji signifikan Mann-Whitney antara konsentrasi
bahan uji yang digunakan dalam penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut :

0.0170.014
0.0250.022

157

Tabel 4. Hasil Analisis Uji Mann-Whitney Frekuensi Defekasi pada Mencit


Perlakuan
CMC Na 1% Loperamid HCl
Konsentrasi
Konsentrasi
2 mg/kg BB

50 mg/kg BB

100 mg/kg BB

CMC Na 1%

BS

BTS

BS

Loperamid HCL
2 mg/kg BB

BS

BTS

Konsentrasi
50 mg/kg BB

BS

Konsentrasi
100 mg/kg BB

Keterangan :
BS
: Berbeda Signifikan
BTS
: Berbeda Tidak Signifikan

Dari hasil uji Mann-Whitney pada Tabel 4


dapat dilihat bahwa Sumema konsentrasi 100 mg/kg
BB mempunyai perbedaan signifikan dengan kontrol
negatif dan tidak berbeda signifikan dengan kontrol
positif. Sumema konsentrasi 100 mg/kg BB tidak
berbeda signifikan dengan kontrol positif sehingga
dapat disimpulkan bahwa Konsentrasi 100 mg/kg BB
mempunyai aktivitas antidiare mendekati kontrol
positif (Loperamid HCl 2 mg/kg BB).
Berdasarkan hasil penelitian ini, Sumema
memiliki aktivitas antidiare dengan menurunkan bobot
feses, frekuensi defekasi serta konsistensi feses pada
mencit diare yang diinduksi dengan minyak jarak.
Kandungan senyawa bioaktif pada Sumema yaitu
tanin merupakan komponen bioaktif yang bersifat
sebagai astringensia yang telah digunakan secara luas
sebagai obat antidiare karena kemampuannya untuk
menciutkan mukosa usus.
4.

KESIMPULAN

Sumema dengan konsentrasi 100 mg/kg BB


mempunyai kemampuan menurunkan frekuensi
defekasi, bobot feses, dan konsistensi feses pada
kondisi diare. Sumema juga mengandung tanin,
komponen bioaktif yang bersifat sebagai astringensia
yang dapat menciutkan mukosa usus dan telah
digunakan secara luas sebagai komponen obat diare.
Dengan demikian, Sumema berpotensi sebagai produk
pangan fungsional antidiare.
DAFTAR REFERENSI
[1] Araujo, M. M., Fanaro, G. B., & Villavicencio,
A.L. 2013. Soybean and Isoflavones Form
Farm to Fork. Provisional chapter of InTech
[2] Asadi. 2009. Karakterisasi Plasma Nutfah untuk
Perbaikan
Varietas
Kedelai
Sayur
(Edamame). Buletin Plasma Nutfah Vol. 15
No. 2 Th. 2009,59-69

[3] Bhat, R.S. & Al-Daihan, S. 2012. Antibacterial


properties of DifferentCultivars of Phoenix
dactilyfera L. And their Corresponding
Protein Content. Annals of Biological
Research, 2012, 3 (10):4751 - 4757
[4] Bokhari, N.A. dan Perveen, K. 2012. In vitro
inhibition potential of Phoenix dactylifera L.
extracts on the growth of pathogenic fungi.
Journal of Medicinal Plants Research Vol.
6(6), pp. 1083-1088, 16 February, 2012
[5] Born, H. 2006. Edamame : Vegetable Soybean.
NCAT Agriculture

[6] Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum


Ekstrak. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
[7] Grieshop, C. M., Kadzere, C. T., Clapper, G. M.,
Flickinger, E. A., Bauer, L. L.,
Frazier,. L., & Fahey Jr, G. C. 2003.
Chemical and nutritional characteristics of
UnitedStates soybeans and soybean meals.
Journal of Agricultural and Food Chemistry,
51(26), 7684-7691.
[8] Jamaludin, M. 2008. Efek Antidiare Ekstrak
Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma domestica
Val) pada Mencit Jantan
[9] Mateo-Aparicio,I., Cuenca, A.R., VillanuevaSuarez, M.J., & Zapata-Revilla, M.A. 2008.
Soybean, a Promising Health Source. J. Nutr.
Hosp. 2008; 23(4) : 305-312
[10] Ngastiyah. 1997. Perawatan Bati dan Anak
dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta
: ECG.
[11] Nuraida, L., Hana, Hartanti A.W., Prangdimurti,
E. 2012. Potensi Lactobacillus yang diisolasi
dari Air Susu Ibu untuk Mencegah Diare.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol
XXIII Tahun 2012; 158 164.
[12] Ponnusha, B.S., Subramaniyam, S., Paupathi, P.,
Subramaniyam, B., & Virumandy R.2011.

158

Antioxidant and Antimicrobial properties of


Glycine max L., International Journal of
Current Biological and Medical Science.
2011; 1 (2):49 62
[13] Tjay, R.H dan Raharja, K. 2007. Obat-obatan
Penting:Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Edisi IV Cetakan Kedua.
Jakarta. Departemen Kesehatan RI
[14] Wells, D. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7 th
edition. New York : The Mc Graw Hill
Companies,Inc
Notulensi Diskusi:
PGO-210, Nurul Isnaini Fitriyana, Potensi Produk
Pangan Fungsional Antidiare dari Edamame (Glycine
max(L) Merril)

Tanya: Makanan anti diare, efek pangan


fungsional tidak memberikan efek spontan.
Apakah bias mengimbangi antara pengeluaran
cairan dan efek? (Dimas Rahardian A.M.)
Jawab: Pada penilitian pangan fungsional yang
digunakan tidak untuk obatanti diare, tetapi untuk
mencegah diare, dengan cara menggunakan bahan
yang mengandung tanin. Dengan pangan
fungsional yang saya gunakan harapannya dapat
memberikan nutrisi yang cukup saat anak terkena
diare.

159

Tingkat Kesukaan, Mutu Fisik dan Mutu Giling Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi Introduksi di Semin, Gunungkidul
Erni Apriyati1, Sarjiman1 dan S. D. Indrasari1
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani,Ngemplak,Sleman
Email : erni_bptpyk@yahoo.com
Abstrak Varietas unggul baru merupakan salah satu inovasi teknologi yang dominan dan terbukti mampu
meningkatkan produksi padi pada tingkat petani. Setiap daerah memiliki unggulan varietas padi tertentu yang
adaptif terhadap kondisi lingkungan alam setempat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesukaan
VUB, mutu fisik dan mutu giling yang didiseminasikan di Kelompok Tani Sri Rejeki, Bedhil Kulon, Rejosari,
Semin, Gunungkidul. Bahan penelitian ini menggunakan beberapa sampel varietas unggul baru yaitu Inpari 10,
Inpari 19, Inpari 25, Inpari 27, Inpari 30, Inpago 7 dan Gilirang. Sampel di uji organoleptik dalam bentuk beras
dan nasi. Sampel juga dianalisa mutu fisik gabah, mutu fisik beras, serta mutu giling beras di laboratorium uji
mutu beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Data hasil uji organoleptik diolah menggunakan uji Kruskal
Wallis. Data mutu fisik dan mutu giling dianalisa dengan uji Anova dilanjutkan uji Duncan (p<0,05). Hasil
penelitian menunjukkan beras yang paling disukai adalah Inpari 27 yaitu dengan karakteristik panjang beras
7,33 mm dengan bentuk ramping, derajat putih 47,05%, kebeningan 2,11% dan derajat sosoh 121,50 (skala
Satake Milling Meter). Nasi yang paling disukai adalah Inpari 19 dengan karakteristik kadar amilosa 18 %dan
tekstur nasi pulen, kemudian diikuti Inpari 27 dengan karakteristik kadar amilosa 21,8 % dan tekstur nasi pulen.
Kata Kunci : Tingkat kesukaan, VUB, Mutu fisik, mutu giling dan Semin Gunung Kidul
Abstract New varieties is one of the dominant technological innovations and proven to increase the production
at the farm level. Each region has a spesific paddy varieties adaptive to the local natural environment. The
purpose of this reasearch was to study the level of preference of some new varieties and the physical and milling
quality which was disseminated to the Sri Rejeki Farmers Group at Bedhil Kulon, Rejosari, Semin, Gunungkidul.
The research material used were several sample of new varieties such as Inpari 10, Inpari 19, Inpari 25, Inpari
27, Inpari 30, Inpago 7 and Gilirang. Samples were organoleptic tested in the form of rice and cooked rice.
Samples were analyzed in term of physical grain quality, physical quality of rice, as well as the quality of milled
rice in rice quality at Indonesian Center for Rice Reaseacrh. The data from organoleptic test were processed
using Kruskal Wallis test. The physical quality data of grain, rice and milled rice were analyzed with ANOVA
followed by Duncan's test (p <0.05). The research results indicated that the most preferred rice was Inpari 27
wth a rice length characteristic of 7.33 mm, with slender shape, whiteness degree of 47.05%, translucency of
2.11% and milling degree 121.50 (scale Satake Milling Meter). The most preferred of cooked rice was Inpari 19
with characteristics of 18% amylose content and fluffier(pulen) texture followed by Inpari 27, with charasteristic
of 21.8% amylose content and less fluffier (pulen) texture.
Keywords: Level of preference , some new varieties, physical quality, milling quality and Semin Gunung Kidul.

1.

strategis pada gelar teknologi yang dilakukan dalam


mendukung SLPTT dengan metode partisipatif
dengan petani. Salah satunya adalah di Kabupaten
Gunungkidul. Varietas unggul baru yang
diperkenalkan melalui Display VUB adalah Inpari
10, Inpari 19, Inpari 25, Inpari 27, Inpari 30, Inpago
7 dan Gilirang. Upaya ini untuk memperkenalkan
VUB secara langsung kepada responden (petani dan
penyuluh) sehingga mereka dapat menentukan
pilihan untuk pergiliran varietas sesuai tingkat
kesukaan. Tingkat kesukaan petani terhadap jenis
padi, minat pedagang maupun komsumen terhadap
beras dan nasi merupakan suatu indikator bahwa
suatu varietas padi dapat dikembangkan serta
berpotensi baik di wilayah tersebut. Standar
Nasional Indonesia bertujuan untuk mengantisipasi

PENDAHULUAN

Indonesia bertekad untuk memperkuat


kemandirian pangan dengan meningkatkan
produksi padi menuju tahun 2020 [1]. Varietas
unggul baru merupakan salah satu inovasi teknologi
yang dominan dan terbukti mampu meningkatkan
produksi padi pada tingkat petani. Teknologi ini
merupakan teknologi utama dalam penerapan PTT
padi dan paling mudah diadopsi oleh petani [2].
Setiap daerah memiliki unggulan varietas padi
tertentu yang adaptif terhadap kondisi lingkungan
alam setempat.
Salah satu upaya penyebaran VUB yang telah
dilakukan oleh BPTP Yogyakarta adalah
mengadakan display VUB disejumlah lokasi yang

160

terjadinya manipulasi mutu gabah atau beras di


pasaran, terutama pencampuran/ pengoplosan antar
kualitas atau antar varietas.Standar mutu gabah
yang digunakan adalah SNI 0224 1987 meliputi
beberapa komponen mutu yaitu kadar air gabah,
persentase gabah hampa, persentase butir kuning
rusak, persentase butir mengapur/ gabah muda dan
persentase butir merah diklasifikasikan dalam mutu
I, mutu II dan mutu III [3]. Standar mutu beras yang
digunakan adalah SNI 6128 : 2008 meliputi
beberapa komponen mutu yaitu kadar air beras,
persentase butir kepala, persentase butir patah,
persentase
butir
menir,
persentase
butir
kuning/rusak dan persentase butir mengapur,
diklasifikasikan dalam mutu I, mutu II, mutu III,
mutu IV dan mutu V [4]. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui tingkat kesukaan VUB, mutu
fisik dan mutu giling yang didiseminasikan di
kelompok tani Sri Rejeki Bedhil Kulon, Rejosari,
Semin, Gunungkidul, Yogyakarta.
2.

dan penerimaan umum). Sampel juga dianalisa


mutu fisik gabah (kadar air, densitas gabah, gabah
hampa/kotoran,butir hijau/kapur butir kuning/rusak,
dan butir merah) dan beras (panjang, lebar, bentuk,
derajat putih, kebeningan, dan derajat sosoh), serta
mutu giling beras (rendemen beras pecah
kulit/BPK, rendemen beras giling/BG, persentase
beras kepala/BK, persentase beras patah/BP,
persentase menir, persentase butir kapur, dan
persentase butir kuning/rusak) di laboratorium uji
mutu beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Sukamandi, Subang.
Data hasil uji organoleptik dengan 31
responden diolah menggunakan uji Kruskal Wallis.
Data mutu fisik dan mutu giling dengan 2 kali
ulangan dianalisa uji statistik Anova dilanjutkan uji
Duncan (p<0,05), menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 12.
3.

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Kesukaan (Beras dan Nasi)


Mutu gabah dan beras salah satunya
ditentukan oleh selera masyarakat setempat, dalam
hal ini adalah Kelompok Tani Sri Rejeki, Bedhil
Kulon, Rejosari, Semin, Gunungkidul [5]. Hasil uji
kesukaan terhadap VUB beras menunjukkan beda
nyata antar VUB yang diujikan (Tabel 1).
Berdasarkan uji kruskal wallis peringkat rata-rata
(mean rank) nilai kesukaan aroma, warna, bentuk,
keutuhan, kebersihan dan keseluruhan berbeda
nyata (p<0,05). Semakin kecil nilai peringkat ratarata berarti semakin disukai dan semakin besar nilai
peringkat rata-rata berarti semakin tidak disukai.

Bahan penelitian ini menggunakan beberapa


sampel varietas unggul baru yaitu Inpari 10, Inpari
19, Inpari 25, Inpari 27, Inpari 30, Inpago 7 dan
Gilirang yang diperoleh dari UPBS BPTP
Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada Bulan
Mei sampai dengan Juni 2014 di Kelompok Tani
Sri Rejeki, Bedhil Kulon, Rejosari, Semin,
Gunungkidul.Sampel di uji organoleptik dalam
bentuk beras (aroma, warna, bentuk/ukuran,
keutuhan, kebersihan dan penerimaan umum) dan
nasi (aroma, warna, kilap, tekstur/kepulenan, rasa

Tabel 1. Hasil Uji Kesukaan Beras VUB


Varietas
Inpari 25

Aroma
125,74

Warna
118,63

Bentuk
105,08

Inpari 27

76,27

71,19

59,44

Inpari 19

90,65

84,68

87,05

Inpari 30

102,48

96,55

91,00

Inpari 10

110,02

115,87

Inpago 7

157,60

Gilirang
Chi-Square
df
Asymp. Sig.

100,24
39,575
6
,000

Kebersihan
108,40

Keseluruhan
118,76

49,05

74,08

57,95

107,94

104,31

97,71

109,76

112,02

102,03

126,58

133,58

102,29

113,71

162,73

143,00

121,40

149,71

151,00

113,35
49,221
6
,000

150,85
56,534
6
,000

144,06
53,181
6
,000

112,19
27,875
6
,000

118,67
44,181
6
,000

Menurut tabel 1. beras yang paling disukai


adalah Inpari 27 karena nilai peringkat rata-ratanya
paling kecil berdasarkan parameter aroma , warna,
bentuk, keutuhan, kebersihan dan secara

Keutuhan
97,21

keseluruhan. Dengan derajad putih 47,05 %,


berbentuk ramping, persentase beras kepala 82,
55%, persentase beras patah 16,89% dan persentase
butir kuning rusak 0,96 %.

161

Varietas

Aroma

Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Nasi


Tekstur/
Warna
Kilap
kepulenan
137,40
125,58
85,55

Inpari 25

110,35

Inpari 27

114,48

81,84

76,29

Inpari 19

65,68

85,48

88,31

Inpari 30

103,60

99,58

Inpari 10

125,08

Inpago 7
Gilirang
Chi-Square
df
Asymp. Sig.

Rasa

Keseluruhan

119,74

115,52

105,53

102,61

111,66

78,68

59,85

65,44

113,40

124,35

97,02

100,19

101,45

112,73

126,65

135,56

105,16

154,92

165,05

154,23

163,03

146,81

167,74

88,89
48,585
6
,000

92,19
59,538
6
,000

92,47
37,853
6
,000

79,21
57,260
6
,000

101,40
46,490
6
,000

97,29
54,827
6
,000

Berdasarkan Tabel 2. nasi yang paling disukai


adalah Inpari 19 yang diikuti dengan Inpari 27.
Menurut parameter warna dan kilap yang paling
disukai adalah inpari 27 sedangkan menurut
parameter aroma, tekstur/kepulenan, rasa serta
secara keseluruhan yang paling disukai adalah
inpari 19. Semakin tinggi kadar amilosa maka

semakin rendah tingkat kepulenan nasinya [6].


Inpari 19 memiliki tekstur pulen dengan kadar
amilosa 18 % sedangkan Inpari 27 memiliki kadar
amilosanya lebih tinggi yaitu sebesar 21,8 % [7].
Parameter aroma, rasa dan tekstur/ kepulenan nasi
mempengaruhi nilai penerimaan secara keseluruhan
pada nasi VUB.

Tabel 3. Mutu Gabah


MUTU GABAH
Varietas
Introduksi

Kad. air

densitas

kadar

butir

butir

butir

bobot

gabah

gabah

gabah

hijau

kuning

merah

1000

hampa

kapur

rusak

btr

gr/l

gram

Inpari 10

11,70b

518,5c

1,12b

0,65a

19,87d

0a

28,38a

Inpari 19

11,70b

524,5b

0,25a

1,10ab

4,96c

0a

25,51cd

Inpari 25

11,60b

479,0f

0,68ab

0,53a

0,66a

97,84c

23,60e

Inpari 27

10,55a

518,5c

1,14b

3,75e

2,27b

0a

24,63d

Inpari 30

11,55b

535,5a

1,00b

2,86d

1,60ab

0a

26,02bc

Inpago 7

10,55a

505,0e

0,92ab

2,01c

0,41a

96,33b

24,93d

Gilirang

10,70a

510,0d

5,13c

1,69bc

5,92c

0,80a

26,85b

hampa yaitu tidak lebih dari 1%, yang lain


termasuk mutu II dan Gilirang tidak memenuhi
standar mutu karena lebih dari 3 %. Menurut
komponen mutu persentase butir mengapur dan
gabah muda Inpari 10 dan Inpari 25 termasuk
dalam mutu I sedangkan varietas lainnya termasuk
mutu II.
Menurut komponen mutu butir kuning/rusak
Inpari 10 tidak memenuhi standar SNI karena lebih
dari 7%, gilirang termasuk kedalam mutu III dan
yang lain termasuk dalam mutu II.
Menurut komponen mutu butir merah semua
memenuhi standar SNI kecuali Inpari 25 dan
Inpago 7 karena kedua varietas tersebut merupakan
jenis beras merah. Bobot 1000 butir biasanya

Mutu Gabah
Mutu fisik gabah VUB dapat dilihat pada
Tabel 3. Kadar air merupakan salah satu faktor
yang menentukan kualitas dan daya simpan gabah.
Kadar air gabah ketujuh varietas yang
didiseminasikan sudah memenuhi standar SNI [3]
yaitu kurang dari 14 %.
Densitas gabah tertinggi yaitu varietas Inpari
30 yang menunjukkan kebernasan gabah panen.
Butir gabah hampa adalah butir gabah yang tidak
berkembang sempurna, tetapi kedua tangkup
sekamnya utuh dan tidak berisi butir beras akibat
serangan hama atau oleh sebab lain SNI [3].
Inpari 19 dan Inpari 25 termasuk dalam mutu
I berdasarkan komponen mutu banyaknya gabah

162

menentukan rendemen beras giling, dalam hal ini


yang terbesar adalah Inpari 10, tetapi karena kadar
gabah hampa dan butir kuning/rusak juga banyak
maka rendemen beras gilingnya tidak lebih besar
dari varietas yang lain. Mutu beras sangat
bergantung pada mutu gabah yang akan digiling
dan sarana mekanis yang digunakan dalam
penggilingan. Selain itu, mutu gabah juga
dipengaruhi oleh genetik tanaman, cuaca, waktu
pemanenan, dan penanganan pascapanen [8].
Beberapa sifat fisik beras seperti ukuran dan
bentuk biji, rendemen giling dan penampakan biji

ditentukan oleh faktor genetik yang diturunkan.


Cuaca yang menyebabkan biji terendam air
menjelang panen akan menghasilkan butir rusak
yang tinggi. Pada penetapan waktu panen, tingkat
kematangan biji mempunyai pengaruh langsung
terhadap
rendemen,
butir
mengapur,
kerapuhan/keretakan biji yang menentukan mutu
giling beras. Dan kegiatan pasca panen merupakan
kegiatan utama untuk meningkatkan dan
mempertahankan karakteristik dari mutu beras,
tetapi juga merupakan kegiatan paling rawan yang
menyebabkan rendahnya mutu hasil panen [9].

Tabel 4. Mutu Giling Beras


Mutu Beras
Varietas
Introduksi

UKURAN BPK
Pan-

lebar

MILLING METER
P/L

WH

TR

MD

jang
mm

kadar
air
beras

Inpari 10

7,24a

mm
2,24bc

ratio
3,23c

47,75a

1,63d

Score
124,00a

%
11,95d

Inpari 19

7,22a

2,27b

3,18bc

40,70c

2,82a

98,50b

11,95d

Inpari 25

7,14ab

2,10d

3,39d

25,90d

0,49f

0c

11,65bc

Inpari 27

7,33a

2,10d

3,48e

47,05ab

2,11c

121,50a

10,90a

Inpari 30

7,02b

2,23bc

3,14b

45,20b

2,52b

121,00a

11,45b

Inpago 7

7,20ab

2,21c

3,25c

21,55e

0,92e

0c

10,75a

Gilirang

6,71c

2,45a

2,73a

40,95c

2,84a

99,50b

11,80cd

sedikit endosperm dari butiran beras[6]. Sebagai


pembanding digunakan kristal putih BaSO4 dengan
nilai derajad giling 199[8]. Nilai derajad giling
yang paling tinggi adalah Inpari 10 diikuti Inpari 27
dan inpari 30.
Menurut komponen mutu kadar air beras,
ketujuh VUB sudah memenuhi standar mutu I [4]
yaitu kurang dari 14 %.
Menurut tabel 5. rendemen BPK tertinggi
adalah Inpago 7 diikuti Inpari 30 dan rendemen BG
tertinggi juga Inpago 7 diikuti Inpari 30. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi rendemen BPK maka
rendemen BG juga semakin tinggi.
Menurut komponen mutu persentase butir
kepala [4] Inpari 10, Inpari 19, Inpari 25, Inpari 27
dan Inpari 30 memenuhi mutu III sedangkan
Gilirang hanya memenuhi mutu IV dan Inpago 7
hanya memenuhi mutu V.
Menurut komponen mutu butir patah [4]
Inpago 7 tidak memenuhi standar mutu karena lebih
dari 35 % sedangkan Gilirang memenuhi mutu IV
dan varietas lainnya bisa memenuhi mutu III.
Menurut komponen mutu butir menir [4]
ketujuh varietas termasuk kedalam mutu II yaitu
tidak lebih dari 1 %.

Mutu Beras
Dari tabel 4. dapat dilihat bentuk dan ukuran
yang paling panjang adalah Inpari 19, bentuk yang
paling ramping adalah Inpari 27 dan paling bulat
adalah Gilirang.
Varietas yang berasnya paling putih adalah
Inpari 10 yaitu mempunyai jilai derajad putih
47,75 % diikuti Inpari 27 dan Inpari 30. Inpari 25
dan Inpago 7 mempunyai derajad putih yang rendah
yaitu 25,90 % dan 21,55 % karena merupakan
varietas beras merah.
Kebeningan (translucency) adalah tingkat
kebeningan butiran beras yang dalam hal ini banyak
dipengaruhi oleh tingkat pengapuran (kenampakan)
dari beras utuhnya [6]. Penentuan kebeningan/
keterawangan
beras
dilakukan
dengan
menggunakan alat Satake Milling Meter.
Kebeningan
(translucency)
butiran
beras
dipengaruhi
sifat
genetik
dan
metode
penyosohan[6]. Varietas yang berasnya paling
bening adalah Ciherang sebaliknya yang paling
rendah adalah Inpari 25 dan Inpago 7, hal ini
menunjukkan varietas beras merah secara fisik
terlihat kurang bening[10].
Derajad giling (milling degree) merupakan
tingkat terlepasnya lapisan bekatul, lembaga dan

163

Menurut komponen butir mengapur [4]


varietas Inpari 27 dan Inpari 30 termasuk dalam
mutu III sedangkan varietas yang lain bisa masuk
mutu II.
Menurut komponen mutu butir kuning/rusak
[4] Inpari 25, Inpari 27 dan Inpago 7 masuk

kedalam mutu II kemudian Inpari 30 masuk mutu


III, gilirang masuk mutu IV dan Inpari 19 masuk
mutu V sedangkan Inpari 10 tidak memenuhi
standar karena melebihi 5 %.

Tabel 5. Mutu Beras


Mutu Beras
Rendemen

Varietas
Introduksi

BPK

BG

BK

BP

menir

Btr

kuning

kapur

rusak

Inpari 10

75,15c

65,37d

82,77b

16,67b

0,55b

0,47b

6,7e

Inpari 19

77,10b

67,98bc

80,31b

19,06b

0,62bc

0,62bc

3,27d

Inpari 25

77,80b

71,36a

82,59b

16,93b

0,47ab

0,02a

0,51ab

Inpari 27

78,07b

69,29b

82,55b

16,89b

0,55b

1,51e

0,96ab

Inpari 30

80,05a

71,72a

86,30a

13,43a

0,26a

1,06d

1,11b

Inpago 7

80,50a

72,52a

63,50d

35,83d

0,66bc

0,88d

0,29a

Gilirang

76,65bc

66,99c

76,63c

22,51c

0,85c

0,85cd

2,46c

4.

Btr

[3]Anonim. 1987. Standar Nasional Indonesia.


Standar Mutu Gabah. SNI 0224 1987. Pusat
Standardisasi
dan
Akreditasi.
Badan
Agribisnis. Departemen Pertanian.
[4]Anonim. 2008. Standar Nasional Indonesia.
Standar Mutu Beras. SNI 6128 : 2008. Badan
Standardisasi Nasional.
[5]A.R. Fauziah et al.. 2001. Cara Pengujian Mutu
Fisik Gabah dan Beras.
[6]Yulianingsih Rini, 2012. Pengujian Mutu Beras.
Rice Grain Quality By JF. Rickman and
M.Gummert, IRRI, Los Banos, Philippines.
Karakterisasi dan Standardisasi Mutu gabahBeras, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
[7]Anonim. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Padi. Badan Penelitian dan Pengembanga
Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.
[8]Soerjandoko R.M.E., 2010. Teknologi Pengujian
Mutu Beras Skala Laboratorium. Buletin
Teknik Pertanian 15 (2) : 44 47.
[9]Damardjati, D. S., 1995. Karakterisasi Sifat dan
Standardisasi Mutu Beras sebagai Landasan
Pengembangan Agri-Bisnis dan Agro-Industri
Padi di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli
Peneliti Utama. Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian.
Departemen
Pertanian. Bogor.
[10]Indrasasi S.D., Wibowo P dan Purwani EY,
2010. Evaluasi Mutu Fisik, Mutu Giling dan
Kandungan

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beras


yang paling disukai Kelompok Tani Sri Rejeki
adalah Inpari 27 yaitu dengan karakteristik panjang
beras 7,33 mm dengan bentuk ramping, derajat putih
47,05%, kebeningan 2,11% dan derajat giling
121,50 (skala Satake Milling Meter). Nasi yang
paling disukai adalah Inpari 19 dengan karakteristik
kadar amilosa 18 %dan tekstur nasi pulen, kemudian
diikuti Inpari 27 dengan karakteristik kadar amilosa
21,8 % dan tekstur nasi pulen. Menurut SNI 0224 :
1987 mutu gabah Varietas Inpari 19, Inpari 25,
Inpari 27 dan Inpari 30 termasuk kedalam mutu II,
Gilirang dan Inpari 10 tidak memenuhi standar
mutu. Menurut SNI 6128 : 2008 mutu Beras
varietas Inpari 25, Inpari 27 dan Inpari 30 memenuhi
kualifikasi standar mutu III, Gilirang memenuhi
mutu IV sedangkan Inpari 10 dan Inpago 7 tidak
memenuhi standar mutu beras.
DAFTAR REFERENSI
[1]Departemen Pertanian. 2008. Peningkatan
Produksi Padi menuju 2020. Memperkuat
Kemandirian Pangan dan Peluang ekspor.
Departemen Pertanian. Jakarta
[2]Suhendrata T.E., Kushartanti, dan Widarto. 2008.
Preformasi Varietas Unggul Baru dalam
Mendukung peningkatan produksi beras di
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prosiding
Seminar Nasional Padi : 683-688.

164

Pengaruh Penggunaan Natrium Metabisulfit terhadap Warna dan


Toksisitas Akut Tepung Tacca (Tacca leontopataloides)
Miftakhussolikhah1,2, D. Ariani1, C. Darsih1, M. Angwar1, Wardah3
1

UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BPPTK-LIPI)
Jl. Yogyakarta-Wonosari Km 31,5 Desa Gading, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, D.I.Y
Telpon (0274) 392570
2
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora 1, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia
3
Pusat Penelitian Biologi Cibinong
JL. Raya Jakarta - Bogor Km.46 Cibinong 16911 Bogor
Contact email: miftalipi@gmail.com

Abstrak - Tacca (Tacca leontopetaloides) merupakan umbi yang mempunyai kandungan karbohidrat tinggi
namun belum banyak dipelajari potensinya. Umbi tacca dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan pangan
melalui proses penepungan. Penepungan memerlukan penambahan natrium metabisulfit agar menghasilkan
tepung yang putih. Tepung tacca dibuat dengan metode pengirisan (tepung tacca chips) dan pemarutan (tepung
tacca kempa) kemudian ditambahkan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%; 0,4% dan
0,5% serta dianalisis residu sulfit dan karakteristik warnanya. Selanjutnya tepung dengan penggunaan
konsentrasi natrium metabisulfit terpilih dianalisis toksisitasnya. Tepung tacca yang dibuat dengan cara kempa
ataupun pengirisan dengan berbagai konsentrasi penambahan natrium metabisulfit mempunyai residu sulfit
kurang dari 300 ppm. Untuk nilai L (kecerahan), tepung yang dibuat dengan cara kempa mempunyai nilai L
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung yang dibuat dengan cara pengirisan. Baik pada tepung tacca
yang dibuat dengan cara kempa maupun pengirisan, nilai L meningkat dengan semakin meningkatnya
konsentrasi penambahan natrium metabisulfit. Namun peningkatan nilai L tidak signifikan pada penambahan
Na2S2O5 0,1% ke 0,2% untuk cara kempa dan Na2S2O5 0,2% ke 0,3% untuk cara pengirisan. Penambahan
konsentrasi natrium metabisulfit sebesar 0,1% untuk tepung tacca kempa dan 0,2% untuk tepung tacca chips
menghasilkan tepung tacca warna putih dan residu sulfit dibawah batasan SNI.
Kata Kunci: tacca, tepung, sulfit, warna, HCN
Abstract - Tacca (Tacca leontopetaloides) is a tuber that has high carbohydrate content, but its potential has not
been widely studied. Tacca can be used as raw material for processed food through flouring process. It process
require addition of sodium metabisulfite to produce white flour. Tacca flour was made by slicing method
(chipped tacca flour) and grating method (pressed tacca flour) and then added sodium metabisulfite with 0.1%;
0.2%; 0.3%; 0.4% and 0.5% concentration and analyzed residual sulphite and color characteristics.
Furthermore flour with the use of sodium metabisulphite concentration analyzed elected toxicity. Tacca flour
that is made by forged or slicing with various concentrations of sodium metabisulphite addition of sulfite
residues having less than 300 ppm. For values of L (brightness), flour made by means of felt has a value of L is
higher than the flour that is made by shredding. Neither the tacca flour that is made by forged or slicing, the
value of L increases with the increasing concentration of the addition of sodium metabisulfite. However,
increasing the value of L is not significant at 0.1% Na2S2O5 addition to 0.2% for ways Felts and Na2S2O5
0.2% to 0.3% for the incision method. The addition of sodium metabisulphite concentration of 0.1% to flour
tacca Felts and 0.2% for flour tacca tacca chips produce white flour and sulfite residue limits under the SNI.
Keywords: tacca, flour, sulfit, colour, HCN
1.

fosfor 0,2% [1]. Menurut Manek et al [2], kadar


amilosa pati tacca adalah 22,5%. Daging umbi
tacca mengandung karbohidrat sebesar 95,0295,42% [3], oleh karena itu umbi tacca potensial
sebagai sumber karbohidrat.
Pemanfaatan tacca sebagai bahan
pangan masih terbatas pada penggunaan patinya
sebagai bahan baku untuk kue-kue basah
tradisional. Di samping itu informasi ilmiah
untuk pemanfaatan tacca secara optimal masih
sangat terbatas. Sehingga perlu adanya

PENDAHULUAN

Tacca (Tacca leontopetaloides) atau


jalawure atau Polynesian arrowroot merupakan
tumbuhan yang tumbuh di daerah pesisir dan
bersalinitas tinggi khususnya pesisir selatan
Jawa Barat. Kandungan umbi segar tacca adalah
kulit 2-3%, serat 6-7%, pati 20-30% dan air 6070%. Sedangkan umbi kering mengandung
protein 5,1%; lemak 0,2%; karbohidrat 89,4%;
selulosa 2,1%; abu 3,2%; kalsium 0,27% dan

165

penelitian mengenai karakteristik tacca sebagai


bahan pangan dan pemanfaatannya sebagai
suatu bentuk pangan tertentu.
Pemanfaatan umbi agar lebih mudah
digunakan dengan umur simpan lebih lama
adalah dengan mengolah umbi menjadi tepung.
Ada dua metode penepungan yang banyak
dilakukan yaitu dengan cara konvensional
(pengirisan umbi) dan pemarutan yang diikuti
dengan pengempaan. Cara penepungan dengan
metode pemarutan dan pengempaan diketahui
dapat meminimalkan waktu pengeringan tepung
[4].
Menurut Muharram [1] dalam umbi
tacca terdapat senyawa toksis yang pahit.
Sementara menurut Nwokocha et al [5]
senyawa toksis pada Tacca involcurata dapat
dihilangkan dengan proses perebusan. Namun
belum diketahui potensi toksis tepung dari
Tacca leontopataloides. Oleh karena itu, perlu
dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui
potensi toksik umbi tacca.
Proses penepungan pada umbi-umbian
berpotensi
memicu
terjadinya
reaksi
pencoklatan
enzimatis
sehingga
dapat
menghasilkan tepung yang cenderung gelap.
Pencoklatan enzimatis tidak hanya dapat
menyebabkan perubahan kenampakan, tetapi
juga perubahan flavor dan nilai gizi dari
makanan [6]. Tacca juga diketahui mempunyai
senyawa flavanoid yang cukup tinggi [3]
sehingga berpotensi terjadi pencoklatan
enzimatis.
Sulfit selama ini telah dikenal sebagai
reduktor yang akan mengikat oksigen sehingga
tidak dapat mengoksidasi polifenol atau
kombinasi dengan quinon. Quinon akan kembali
ke bentuk asli berupa fenol yang akan
menyebabkan
pembentukan
senyawa
pembentuk warna coklat berkurang [7]. Namun,
pada penggunaaan sulfit juga harus diperhatikan
residu sulfit pada produk. Batas residu sulfit
yang diperkenankan dalam SNI nomor 01-02221995 tentang bahan tambahan makanan adalah
tidak lebih dari 300 ppm. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui
konsentrasi
natrium
metabisulfit yang ditambahkan pada proses
pembuatan tepung tacca cara pengirisan dan
pengempaan dengan kadar residu sulfit di
bawah persyaratan SNI (300 ppm) serta warna
tepung yang paling putih serta mengetahui
toksisitas akut tepung tacca.

2.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah umbi tacca yang
diperoleh dari pesisir selatan Kabupaten Garut.
Umbi tacca yang digunakan adalah umbi
dengan umur panen 7 bulan, segar dan tidak
terdapat cacat fisik. Natrium metabisulfit
diperoleh dari agen lokal.
Pembuatan Tepung Tacca dengan Cara
Chips
Tepung
tacca cara chips dibuat
dengan
perlakuan
mekanis
meliputi:
pengupasan, pencucian, perajangan (pembuatan
chips), perendaman natrium metabisulfit dengan
variasi konsentrasi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%,
0,4%, dan 0,5% selama 30 menit, penirisan,
pengeringan suhu 60oC selama 16 jam,
penepungan, dan pengayakan 60 mesh.
Tepung tacca yang dibuat dengan cara
pengirisan ini selanjutnya disebut sebagai
tepung tacca chips.
Pembuatan Tepung Tacca dengan Cara
Kempa
Proses pembuatan tepung tacca cara
kempa dimulai dengan pengupasan dan
pencucian menggunakan air mengalir yang
bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah
yang menempel pada umbi kupas. Setelah
bersih kemudian dilakukan pengecilan ukuran
menggunakan mesin parut. Parutan yang
dihasilkan kemudian ditambahkan Na2S2O5
dengan variasi konsentrasi 0%; 0,1%; 0,2%;
0,3%; 0,4% dan 0,5% dan didiamkan selama 30
menit.
Slurry tacca yang diperoleh kemudian
dikempa
untuk
mengeluarkan
airnya.
Pengeringan menggunakan cabinet dryer
dengan suhu kurang lebih 60C hingga kadar air
mencapai <12 % atau setara dengan waktu 1012 jam. Selanjutnya penghancuran material
kering menggunakan mesin penggiling dan
pengayakan dengan ukuran 60 mesh. Proses
pengayakan tepung menghasilkan tepung yang
halus dan residu yang kasar. Residu kasar
dikembalikan ke proses penghancuran dan
kemudian diayak kembali. Tepung yang dibuat
dengan cara pemarutan dan pengempaan
selanjutnya akan disebut sebagai tepung tacca
kempa.
Analisis Residu Sulfit [8]
Ditimbang 0,2 g sampel yang telah
dihaluskan lalu ditambahkan 50 ml 0,01 N
iodine dalam gelas beker. Dibiarkan selama 5

166

menit lalu ditambahkan deng HCl pekat 5 ml.


Dititrasi kelebihan iodine dengan 0,1 N natrium
thiosulfate dengan ditambahkan pati sebagai
indicator. Tiap ml iodine 0,1 N= 4,753 mg;
natrium metabisulfit=3,203 mg sulfur dioksida.
SO2 (ppm) =

Uji Toksisitas Akut


Uji toksisitas dilakukan berdasarkan
metode aritmatik dari Karber et al (1931) dalam
Gad dan Chengelis [9]. Pada cara ini interval
rata-rata jumlah kematian pada tiap kelompok
digunakan dalam perhitungan sebagaimana pada
perbedaan dosis dari interval yang sama, seperti
terlihat pada Tabel 1. LD50 diperoleh dari selisih
dosis terkecil yang menyebabkan kematian
seluruh hewan uji dengan angka yang diperoleh
dari pembagian hasil dengan jumlah hewan uji
tiap kelompok.

Analisis Warna
Pengukuran
warna
dilakukan
menggunakan Minolta Chromameter untuk
menentukan nilai L, a, dan b. Nilai L
menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap)
sampai 100 (terang); nilai a menunjukkan
derajat warna hijau (-) sampai merah (+); dan
nilai b menunjukan derajat warna biru (-)
sampai kuning (+).

LD50 = 1000 -

= 450

= 450 mg/kg.BB

Tabel 1. Jumlah kematian hewan uji, dosis, perbedaan dosis dan rerata interval jumlah kematian pada suatu uji
keracunan akut bahan kimia A pada mencit
Kelompok
I
II
III
IV
V
VI

Dosis (mg/kg
BB)
1000
500
250
125
62,5
0

Perbedaan dosis

Mati

Interval rata-rata

Hasil

500
250
125
62,5
62,5

10
6
4
0
0
0

8
5
2
0
0

4000
1250
250
5500

3.

pangan tersebut. Sulfit dalam bentuk SO2 dapat


berikatan dengan protein, pati, dan gula yang
tidak dapat larut dalam pencucian sehingga
meninggalkan residu [13].
Sebelum dilakukan proses penepungan,
dilakukan penentuan penambahan konsentrasi
Na2S2O5. Variasi konsentrasi Na2S2O5 yang
ditambahkan adalah 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; dan
0,5%. Berdasarkan kelima variasi konsentrasi
tersebut dilihat besarnya residu sulfit dan warna
yang dihasilkan pada tepung tacca seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 2 dan 3. Perbandingan
warna tepung tacca yang dilihat terutama nilai L
yang merupakan nilai derajat putih atau
kecerahan tepung.
Tepung tacca yang dibuat dengan cara
kempa ataupun pengirisan dengan berbagai
konsentrasi penambahan Na2S2O5 mempunyai
residu sulfit kurang dari 300 ppm. Untuk nilai L
(kecerahan) yang menunjukkan derajat putih
tepung secara keseluruhan, tepung yang dibuat
dengan cara kempa mempunyai nilai L yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tepung yang
dibuat dengan cara pengirisan. Pada proses
penepungan dengan cara kempa, umbi tacca
terlebih dahulu diparut dan selanjutnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Residu Sulfit dan Warna Tepung Tacca


Warna kecoklatan pada tepung berasal
dari reaksi pencoklatan enzimatis yang terjadi
selama pengolahan yang melibatkan senyawa
fenol dan enzim polifenol oksidase dan
menghasilkan
senyawa
quinon
yang
menghasilkan warna coklat [10]. Menurut
Ukpabi et al [3] umbi tacca mengandung 3,153,58% crude flavonoid extract. Pencoklatan
enzimatis dapat terjadi karena adanya jaringan
tanaman yang terluka, misalnya pemotongan,
penyikatan, dan perlakuan lain yang dapat
mengakibatkan kerusakan integritas jaringan
tanaman [11]. Menurut Ruttenberg dan Solarek
[12], tepung atau pati yang sudah teroksidasi
sangat sensitif terhadap panas sehingga menjadi
berwarna kuning atau kecoklatan dalam proses
pengolahan.
Na2S2O5
digunakan
untuk
mengendalikan terjadinya pencoklatan dalam
bahan pangan. Selama digunakan dalam
perendaman bahan pangan, larutan Na2S2O5
akan meninggalkan residu sulfit dalam bahan

167

direaksikan dengan Na2S2O5 dan dikempa untuk


mengurangi kandungan air. Dengan cara
pemarutan, luas permukaan kontak antara
reaktan lebih tinggi dibanding cara pengirisan
sehingga proses pencoklatan enzimatis dapat
diminimalisir dan derajat putih tepung menjadi
lebih tinggi. Namun jika dibandingkan dengan
pati tacca, derajat putih tepung tacca kempa dan
tepung tacca chips lebih rendah sebagaimana
terlihat pada Tabel 4.
Baik pada tepung tacca yang dibuat
dengan cara kempa maupun pengirisan, nilai L
meningkat dengan semakin meningkatnya
konsentrasi penambahan Na2S2O5. Namun
peningkatan nilai L tidak signifikan pada
penambahan Na2S2O5 0,1% ke 0,2% untuk cara
kempa dan Na2S2O5 0,2% ke 0,3% untuk cara
pengirisan. Sehingga pada metode penepungan
cara kempa digunakan penambahan konsentrasi
Na2S2O5 sebesar 0,1% dan untuk cara chips
ditambahkan konsentrasi Na2S2O5 sebesar 0,2%.
Untuk pembuatan pati tacca tidak dibutuhkan
penambahan
Na2S2O5
karena
sudah
menghasilkan pati tacca yang cerah dengan nilai
L 97,09.
Nilai L tepung tacca kempa, tepung
tacca chip dan pati tacca lebih tinggi daripada
nilai L pada pati aren (88,17) dan pati jagung
(92,2) yang dilaporkan oleh Rahim [14]. Hal ini
menunjukkan bahwa tepung dan pati tacca yang
dihasilkan lebih cerah atau lebih putih. Jika
dilihat dengan SNI pada berbagai tepung yaitu
tepung terigu, tepung singkong dan tepung sagu,
persyaratan warna tepung yang tercantum
adalah warna putih khas tepung tersebut.
Derajat putih minimal untuk tepung singkong
yang juga merupakan tepung dari jenis umbi
adalah 85. Sehingga, tepung tacca sudah
memenuhi kaidah warna yang disyaratkan pada
SNI tepung singkong.
Nilai a semakin negatif dengan
meningkatya
konsentrasi
Na2S2O5 yang
digunakan. Sementara nilai b menujukkan nilai
positif dan menurun dengan meningkatnya
konsentrasi Na2S2O5. Berdasar Tabel 3, tepung
yang dihasilkan semakin menuju ke arah hijau
dan warna kuning semakin berkurang. Hal ini
disebabkan agensia pencegah kecoklatan yang

digunakan konsentrasinya semakin tinggi


sehingga warna tepung semakin putih dan
warna lain semakin berkurang.
Toksisitas Akut Tepung Tacca
Uji toksisitas akut dilakukan untuk
mengetahui pada dosis berapa umbi tacca dapat
memberikan efek toksik. Hal ini karena tepung
tacca tidak lazim dikonsumsi oleh masyarakat.
Tacca biasa dikonsumsi setelah diambil patinya
dan diolah menjadi kue-kue tradisional. Selain
itu pemanfaatan tacca juga belum dikenal luas
di masyarakat. Umbi tacca diketahui
mempunyai senyawa toksis yang pahit yang
dapat hilang karena pengolahan [1]. Oleh karena
itu diperlukan pengujian toksisitas untuk
mengetahui keamanan tepung tacca untuk
dikonsumsi.
Efek toksik ditandai dengan adanya
kematian pada mencit yang telah diberikan
tepung tacca. Pada pengamatan hewan coba
setelah perlakuan didapatkan hasil bahwa tidak
terdapat gejala-gejala toksik yang timbul setelah
pemberian tepung tacca. Hasil pengamatan
selama 24 jam perlakuan tidak menunjukkan
adanya hewan coba yang mati melebihi 50%
dari jumlah hewan pada tiap kelompok (10
ekor) baik pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan, hewan yang mati hanya 1
pada dosis paling tinggi (Tabel 5).
Berdasarkan perhitungan toksisitas
oleh Karber (1931) nilai LD50 tepung tacca
adalah 35.100 mg/kg bb. Pemberian dosis
secara oral tepung tacca sampai dengan dosis
maksimum yang masih dapat diberikan secara
teknis pada hewan uji (36g/kgBB) tidak
menimbulkan kematian pada hewan coba. Dosis
tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50
semu. Berdasarkan kriteria Frank (1996) dalam
Ibrahim et al [15], hasil tersebut mempunyai
makna toksikologi bahwa potensi ketoksikan
akut tepung tacca termasuk dalam kategori
praktis tidak toksik (>15000mg). Kematian
yang terjadi pada 1 ekor mencit dapat
disebabkan adanya kesalahan pada saat
pemberian sediaan atau kondisi kesehatan
mencit.

168

Tabel 2. Residu sulfit tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan
Residu Sulfit (ppm)

Variasi Perlakuan
Na2S2O5

Kempa
1,271,33a
7,441,78b
16,820,70c
18,403,13c
20,281,34c
25,041,94d

0%
0,1%
0,2%
0,3%
0,4%
0,5%

Chip
0,570,56a
5,230,28b
14,290,72c
16,310,59d
17,811,16e
22,661,22f

Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%

Tabel 3. Warna tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan
Variasi
Perlakuan
Na2S2O5
0%
0,1%
0,2%
0,3%
0,4%
0,5%

Warna
a
Chip
-0,05000,0300c
-0,75330,0710b
-0,92000,1179a
-0,90000,0100a
-0,88670,01000a
-0,89670,0252a

L
Kempa
87,07330,7583a
95,43670,0839b
95,61670,0404bc
95,92000,0361bcd
96,07670,0208cd
96,22330,0252d

Chip
84,18670,0862a
92,30330,2237b
93,13670,1185c
93,34670,1124c
93,36670,0907c
93,37330,0379c

Kempa
0,83000,0400c
-0,56670,0306b
-0,67000,1127ba
-0,82670,0153a
-0,79670,0162a
-0,76670,1069a

b
Kempa
11,42670,5563b
6,66670,7382a
6,74000,6090a
6,67330,5954a
6,87670,4646a
7,123300,5530a

Chip
11,72000,2598c
9,14670,0586b
8,90000,4063b
8,76000,1323b
8,19670,1185a
8,28000,1825a

Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%.

Tabel 4. Warna pati tacca dan tepung tacca yang dibuat dengan perlakuan pengempaan dan perajangan pada konsentrasi natrium metabisulfit terpilih
Jenis Sampel
Tepung tacca kempa
Tepung tacca chip
Pati tacca

L
95,43670,0839b
93,13670,1185a
97,09000,1670c

a
-0,56670,0306b
-0,92000,1179c
-0,05000,0300a

Keterangan:
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 95%.

169

b
6,66670,7382b
8,90000,4063c
2,63670,0404a

Tabel 5. Jumlah kematian hewan uji, dosis, perbedaan


dosis dan rerata interval jumlah kematian pada uji
keracunan akut tepung tacca pada mencit
Kelompo
k
I
II
III
IV
V
VI

Dosis
(mg/k
g BB)
36000
18000
9000
4500
2000
0

Perbedaa
n dosis

Mat
i

18000
9000
4500
2500
2000

1
0
0
0
0
0

Interva
l ratarata
0,5
0
0
0
0

[4] Dewastri, S. 2011. Pengaruh Variasi Tingkat


Penambahan Sodium Metabisulfit dan Waktu
Inkubasi pada Hancuran Singkong terhadap
Residu Sianida, Residu Sulfit dan Warna
Tepung Singkong. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian
Universitas
Gadjah
Mada,
Yogyakarta
[5] Nwokocha, L.M., Senan, C dan Williams, P.A.,
2011. Structural, physicochemical
and
rheological
characterization
of
Tacca
involucrata starch. Carbohydrate Polymers 86:
789 796.
[6] Vega, W.R., Cortez, Prado, A.M.B., Soares,
J.M., dan Fonseca, G.G., 2008. Effect of LAscorbic Acid and Sodium Metabisulfite in the
Inhibition of the Enzymatic Browning of
Minimally Processed Apple. International
Journal of Agricultural Research 3: 196-201.
[7] Liang, Y.S., Chen, N.L., dan Ke, L.S., 2012.
Influence
of
Dipping
in
Sodium
Metabisulfite on Pericarp Browning of
Litchi cv. Yu Her Pau (Feizixiao).
Postharvest Biology and Technology 68: 72
77
[8] AOAC, 1984. Official Methods of Analysis.
Association of Official Analytical Chemists,
Washington
[9] Gad, S.C. dan Chengelis, C.P., 1997. Acute
Toxicology Testing. Academic Press. New
York.
[10] Fennema, O.R., 1996. Food Chemistry. CRC
Press, Florida
[11] Cheng, G.W. dan Crisosto, C.H., 1995.
Browning Potential, Phenolic Composition,
and Polyphenoloxidase Activity of Buffer
Extracts of Peach and Nectarine Skin Tissue.
Journal of the American Society for
Horticultural Science 120: 835-838
[12] Rutenberg, V.M. dan Solarek, D., 1984. Starch
Derivatives, Production and Uses. Starch
Chemistry and Technology, Academic Press,
Inc., Orlando
[13] Rahman, M. S. 2007. Handbook of Food
Preservation. CRC Press. Florida.
[14] Rahim, A. 2007. Pengaruh Cara Pengolahan
Instant Starch Noodles dari Pati Aren terhadap
Sifat Fisikokimia dan Sensoris. Thesis. Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
[15] Ibrahim, M., Anwar, A, Yusuf, N.I., 2012. Uji
Lethal Dose 50% (LD50) Poliherbal (Curcuma
xanthorriza, Kleinhovia hospita, Nigella sativa,
Arcangelisia flava dan Ophiocephalus striatus)
pada Heparmin terhadap Mencit (Mus
Musculus). Research and Development PT
Royal Medicalink Pharmalab, Makassar

Hasi
l
900
0
900
0

LD = 36000 50

= 35100 mg/kg BB
4.

KESIMPULAN

Proses pembuatan tepung tacca baik


dengan cara pemarutan maupun pengirisan dengan
penambahan Na2S2O5 meninggalkan residu sulfit di
bawah batas yang dipersyaratkan SNI dan dapat
meningkatkan derajat putih. Konsentrasi Na2S2O5
yang dipilih pada pembuatan tepung tacca cara
kempa adalah 0,1% dan untuk cara chips adalah
0,2%. Potensi ketoksikan akut tepung tacca
termasuk dalam kategori tidak toksik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis sampaikan ucapan terima kasih
kepada Prof. Dr. Haryadi, M.App.Sc (Alm.) dan Dr.
Yudi Pranoto, STP, MP atas saran, masukan dan
bimbingan pada proses penelitian dan penulisan
makalah.
DAFTAR REFERENSI
[1] Muharam, E. 2011. Jalawure (Tacca
leontopetaloides) Tumbuhan Liar Sumber
Pangan Alternatif Prospektif Nasional dari
Kabupaten
Garut.
http://www.opi.lipi.go.id/data/1228964432/dat
a/13086710321320839015.makalah.pdf.
Diakses pada tanggal 2 Januari 2013.
[2] Manek, R.V., Kunleb, O.O., Emejeb, M.O.,
Buildersb, P., Rao, G.V.R., Lopez, G.P.,
Kollinga, W.M., 2005. Physical, Thermal and
Sorption Profile of Starch Obtained from Tacca
leontopetaloides. Starch/Strke 57: 556.
[3] Ukpabi, J.U., Ukenye, E., Olojede, A.O., 2009.
Raw-Material Potentials of Nigerian Wild
Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides)
Tubers and Starch. Journal of Food
Technology 7: 135-138.

Notulensi Diskusi:
PGO-212, Miftakhussolikhah dkk, Pengaruh
Penggunaan Natrium Metabisulfit terhadap Warna

170

dan Toksisitas Akut


leontopataloides)

Tepung

Tacca

(Tacca

Tanya: Apakah ada hipotesa yang


menjelaskan
dalam
umbi
Tacca
mengandung toksik, sehingga diteliti
toksisitasnya? (Purwaningsih)
Jawab: Umbi Tacca memiliki rasa pahit
yang berasal dari flavanoid yang tidak
beracun, selama ini masyarakat Jawa Barat
juga tidak ada riwayat keracunan.

171

Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada Desa Mandiri Pangan di


Kabupaten Kampar
Rosnita 1, R. Yulida 1, A. Rifai 1, Arifudin 1, S. Khaswarina 1
1

Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau


Jl. Bina Widya No.30 Simpang Baru Kecamatan Tampan Pekanbaru (28293)
Telpon (0761) 63270-63271/Fax (0761) 63270
Contact Email: Rosnita_ita@yahoo.co.id
Abstrak- Penelitian ini bertujuan menganalisis ketersediaan pangan, kemampuan akses dan konsumsi pangan
perserta program Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Kampar dari Januari sampai Desember 2013. Survei
dilakukan kepada 30 rumahtangga di Desa Sei.Geringging dan 38 rumahtangga di Desa Simpang Dua
Kabupaten Kampar. Ketersediaan dan pemahaman terhadap pangan dan gizi dianalisis menggunakan Skala
Likert, kemampuan akses pangan dilihat dari pendapatan dan pengeluaran pangan, dan kemampuan konsumsi
menggunakan rumus Kansumsi kalori. Hasil penelitian, Desa Mandiri Pangan hanya mampu menyediakan lauk
pauk, sayur dan buah-buahan yang dijual pada pasar mingguan, sedangkan minyak goreng, beras, gula pasir
dan susu berasal dari luar desa. Pendapatan masyarakat berkisar Rp 222.667,00 sampai Rp
1.767,00/kapita/bulan, dimana 69,96 persen untuk pengeluaran pangan. Masyarakat sudah memahami pangan
yang beragam, bergizi dan berimbang serta kesehatan yang baik namun belum mampu diaplikasikan seutuhnya
dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah kalori yang dikonsumsi masyarakat sebesar 1.242,77 kkal/kapita/hari
yang berada dibawah rata-rata konsumsi kalori daerah pedesaan di Provinsi Riau tahun 2012 (2.081,96
kkal/kapita/hari) dan Pola Pangan Harapan 2.000 K.kal/kapita/hari (Widaya Karya Nasional Pangan dan
Gizi,2004). Diperlukan upaya dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan untuk meningkatkan produksi
dan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang beragam, bergizi dan berimbang.
Kata Kunci: pola pangan harapan, pendapatan, pengeluaran
Abstract - This study aimed to analyze the food availability, accessibility and consumption of Food Independent
Village program participants in Kampar regency from January to December 2013. The survey was conducted to
30 households in the Sei.Geringging village and 38 households in Simpang Dua village of Kampar district.
Availability and understanding of food and nutrition was analyzed using a Likert scale, the ability to access food
was seen from the revenue and expenditure of food, and the ability to consumpt was calculated using a calorie
comsumption equation. The results showed that the Food Independent Village was only be able to provide side
dishes, vegetables and fruits that were sold at the weekly market, while cooking oil, rice, sugar and milk come
from outside of village. Income of communities was around Rp 222,667.00 to Rp. 1767,000.00/capita/month,
with 69.96 percent was used for food expenditure. The society had understood the variety of foods, nutritious
and balanced for good health but had not been able to applied fully in everyday life. The number of calories
consumed by people was around 1242.77 kcal/capita/day which were below the average calorie consumption of
rural areas in the province of Riau in 2012 (2081.96 kcal/capita/day) and the Dietary Pattern Standard of 2000
k.kal/capita/day (Widaya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004). There are should be any efforts from the
Food Security and Guidance organization to improve the production and the ability of community to have
diverse, nutritious and balanced food.
Keywords: food pattern expectancy, income, expenses
1.

PENDAHAULUAN

Pertumbuhan
penduduk
yang
tinggi,
berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi
lahan merupakan pemicu kerawanan pangan yang
mengancam kepada ketahanan pangan yang terjadi..
Dampak tersebut dapat dilihat dari kondisi ekonomi
yang tidak stabil, gizi buruk, meninggalnya balita
akibat gizi buruk, dan penduduk miskin yang
semakin bertambah serta masalah lainnya [1].

Permasalahan pangan di Riau lima tahun


terakhir yaitu: (1) laju pertumbuhan penduduk
sekitar 3,55 persen, sementara laju peningkatan
produksi beras hanya 2,43 persen pertahun; (2) rasio
produksi dan kebutuuhan beras masih 1,
kekurangan produksi beras pada tahun 2011 adalah
43% (233.449 ton); (3) potensi lahan yang belum
dimanfaatkan secara optimal termasuk sleeping land

172

(lahan tidur); (4) terdapatnya 4 sungai yang setiap


tahun berpotensi mendatangkan banjir, [2]
Kabupaten Kampar sebagai salah satu daerah
yang memiliki kerawanan pangaan karena 30 persen
penduduknya termasuk katagori penduduk miskin,
Desa Simpang Dua dan Desa Sungai Geringging
merupakan desa yang mendapatkan program Desa
Mandiri Pangan. Berdasarkant uraian tersebut tujuan
penelitian ini adalah: 1) bagaimana ketersediaan
pangan , 2) bagaimana akses pangaan, dan 3)
bagaimana konsumsi pangan rumahtangga di Desa
Mandiri Pangan.
2. BAHAN DAN METODE
Penelitian menggunakan metoda Survei di Desa
Sungai Geringging dan Desa Simpang Dua
Kabupaten Kampar dari bulan Januari sampai
Desember 2013. Pengambilan sampel secara sensus
terhadap peserta program yang terdiri dari 30
rumahtangga di Desa Geringging dan 38
rumahtangga di Desa Simpang Dua, dan 60 orang
pedagang. Variabel penelitian terdiri dari: aspek
ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.
Ketersediaan pangan dilihat melalui survei
pasar dengan mengidentifikasi dan menganalisis
jenis dan jumlah bahan pangan serta asal bahan
pangan yang terdapat di desa.
Akses pangan dianalisis dari besar pendapatan
dan pengeluaran rumahtangga yang dapat

menggambarkan kemampuan memenuhi pangan


dengan menggunakan rumus :
Rt = Rp + Rnp
Dimana :
Rt
= Total pendapatan rumahtangga peserta
program (rupiah/kapita/bulan)
Rp = Pendapatan utama (rupiah/kapita/bulan)
Rnp = Pendapatan sampingan (rupiah/kapita/bulan)
Pengeluaran rumahtangga dengan menggunakan
rumus :
Ct = Cm + Cnm
Dimana :
Ct = Total pengeluaran rumahtangga peserta
program (rupiah/kapita/ bulan)
Cm = Pengeluaran pangan pokok ditambah
pengeluaran non pangan pokok
(rupiah/kapita/bulan)
Cnm = Pengeluaran untuk non makanan
(rupiah/kapita/ bulan)
Kemampuan konsumsi pangan per hari
dianalisis dengan menggunakan rumus Kalori
Konsumsi [2] dengan rumus :
Kk = konsumsi kalori standar konsumsi kalori

Dimana:
Kk = Kecukupan kalori
Pemahaman masyarakat terhadap pangan dan
gizi dengan menggunakan Skala Likert [3]. Skor dan
kriteria seperti pada Tabel 1

Tabel 1. Nilai skor dan katagori pemahaman terhadap pangan dan gizi
Kategori
Sangat Mengetahui
Mengetahui
Cukup Mengetahui
Kurang Mengetahui
Tidak Mengetahui

3.

Skor
4,20 - 5,00
3,40 4,19
2,60 3,39
1,80 2,59
1,00 1,79

dengan usaha budidaya ikan lele dengan anggota 15


rumahtangga. Desa ini mendapatkan dana Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp
60.000.000,- Desa Simpang Dua dijalankan oleh 2
kelompok yakni Kelompok Maju Jaya dengan
anggota 12 orang dan Kelompok Tani Makmur yang
beranggotakan 26 orang. Dana yang BLM yang
diperoleh Desa Simpang Dua sebesar Rp
80.000.000,-. Dana tersebut dipinjamkan ke anggota
kelompok dengan suku bunga 0,6 persen per sepuluh
bulan yang pembayarannya dilakukan pada setiap
tanggal 10. Selain bantuan dana kelompok juga
mendapatkan penyuluhan dan bantuan pupuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Desa Mandiri Pangan


Program Desa Mandiri Pangan di Kabupaten
Kampar sudah dilaksanakan sejak tahun 2007, yang
bertujuan menjadikan sebuah desa memiliki
masyarakat yang berkemampuan untuk mewujudkan
ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan
subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan
subsistem
konsumsi
dengan
memanfaatkan
sumberdaya setempat secara berkelanjutan [4].
Peserta progam tergabung ke dalam kelompok
yang disebut dengan kelompok afinitas. Di Desa Sei
Geringging
ada
tiga
kelompoktani
yaitu
Kelompoktani Harapan Jaya bergerak dibidang
pertanian (padi sawah) dengan anggota 30
rumahtangga, Kelompoktani Tunas Baru di bidang
peternakan kambing dan kolam ikan dengan anggota
30 rumahtangga, serta Kelompoktani Anggrek

Ketersediaan Pangan
Menurut Dewan Ketahanan Pangan [5],
ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber
yaitu produksi dalam negeri, impor pangan, dan
pengelolaan cadangan pangan. Ketersediaan pangan

173

di Kabupaten Kampar dianalisis adalah ketersediaan


bahan pangan pokok yang ada di pasar dengan
melihat jumlah bahan pangan yang dipasok dan
dijual di pasar, serta sumber bahan pangan tersebut.

Jumlah bahan pangan dan sumbernya berdasarkan


informasi dari 60 pedagang seraca rinci disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah pedagang dan sumber bahan pangan yang dijual pedagang
No
Bahan
Jumlah
Pangan
Sumber
Tersediaan
Pedagang
Pokok
1
Beras
16
Ld
H dan M
2
Sumber
4
Ld
M
Protein
3
Lauk
57
D dan
M
Ld
4
Sayuran
25
D dan
M
Ld
5
Buah14
D dan
M
buahan
Ld
6
Susu
3
Ld
H dan M
7
Minyak
6
Ld
H dan M
Goreng
8
Gula Pasir
7
Ld
H dan M
Keterangan:
D
= Desa
H = Harian
Ld = Luar desa M = Mingguan

Kelompok beras terdiri dari beras, jagung


kuning, kentang dan singkong, sumber protein yaitu
tahu dan tempe, lauk yaitu ayam, daging sapi,
daging kambing, telur ayam, telur bebek, patin,
baung, ikan mas, tongkol sisik, bawal dan nila,
sayuran yaitu daun singkong, kangkung, kacang
panjang, kol putih, tomat, wortel, dan baya, buahbuahan yaitu jambu biji, jeruk, mangga, nenas
papaya, dan pisang.
Dari keseluruhan bahan pangan yang ada,
hanya beras, susu, minyak goreng dan gula pasir

yang ketersediaannya mencakup harian dan


mingguan. Ketersediaan harian diperoleh dari
warung yang terdapat di desa, sedangkan
ketersediaan mingguan diperoleh di pasar dengan
hari pasar setiap hari Kamis untuk Desa Sei
Simpang Dua dan hari Sabtu untuk Desa Sei
Geringging. Pedagang yang memasarkan bahan
pangan 71,67 persen merupakan pedagang yang
berasal dari desa dan sisanya pedagang luar desa.
Jumlah bahan pangan yang dipasok dari dalam dan
luar desa disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Rata-rata jumlah bahan pangan yang dipasok berdasarkan sumbernya (Kg/bulan)
No

1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis

Beras
Sumber
Protein
Lauk
Sayuran
Buah-buahan
Susu
Minyak
goreng
Gula Pasir

Luar Desa
Jumlah
(%)
(Kg)
139,82 100,00
99,41
100,00

Dalam Desa
Jumlah
(%)
(Kg)
0,00
0,00
0,00
0,00

139,88
12,46
84,73
38,67
193,75

99,81
83,70
83,33
100,00
100,00

0,29
2,89
1,67
0,00
0,00

0,19
16,3
16,67
0,00
0,00

92,08

100,00

0,00

0,00

Jumlah bahan pangan yang mampu dipasok


oleh desa hanya lauk 0,29 kg, sayuran 2,89 kg, dan
buah-buahan sebanyak 1,67 kg. Dari 8 jenis bahan
pangan hanya 3 jenis yang mampu dihasilkan desa
dan sisanya didatangkan dari luar desa.

Ketergantungan masyarakat yang sangat besar


terhadap bahan pangan yang datang dari luar desa
terutama minyak goring, gula pasir, sumber protein
dan gula pasir serta susu. Kondisi ini dikarenakan

174

desa belum mampu menghasilkan jenis bahan


pangan tersebut.
Masyarakat Desa Sei Geringging dan Desa Sei
Simpang Dua belum mampu menyediakan bahan
pangan bagi masyarakat desanya sehingga membeli
bahan pangan dari luar desa dan menjualnya di
dalam desa dengan tujuan agar kebutuhan pangan
masyarakat terpenuhi. Disarankan kepada anggota
kelompoktani agar dapat mengembangkan usahatani
disekitar rumah atau pekarangan, dan pemerintah
perlu mendukung dengan bantuan modal serta
mendatangkan pangan dari luar desa agar kebutuhan
pangan masyarakat belum terpenuhi.

tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi


juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang
dicerminkan oleh harga dan daya beli masyarakat.
Perbandingan jumlah pendapatan dan pengeluaran
masyarakat diharapkan mampu menggambarkan
daya beli masyarakat.
Pekerjaan utama masyarakat
bervariasi
antara lain buruh bangunan, petani lele, buruh tani,
pembuat batu bata, guru mengaji, petani sawit,
petani, penjahit, pedagang dan lainnya, disamping
itu pekerjaan sampingan yaitu buruh batu bata,
pembantu rumah tangga, pedagang makanan,
pemilik bengkel, peternak dan buruh serabutan.
Besar dan sumber pendapatan responden disajikan
pada Tabel 4.

Akses Pangan
Sistem distribusi
bukan
semata-mata
mencakup aspek fisik dalam arti pangan yang
No

Tabel 4. Rata-rata pendapatan Bulan Maret-Mei 2013


Sumber
dan
Besar
Jumlah
Persentase
Pendapatan
Responden
(%)
(kapita/bulan)
Rata-rata
pendapatan
utama Rp.471.801,00)
1
Di bawah rata-rata
41
60,30
2

0,00

27

39,70

Jumlah

68

100,00

Rata-rata
pendapatan
sampingan
(Rp.71.728,00)
1
Di bawah rata-rata

46

67,64

0,00

II

Sama dengan ratarata


Di atas rata-rata

Sama dengan ratarata


Di atas rata-rata

Jumlah

22

32,36

68

100,00

Sumber: Data Olahan

Pendapatan dan pengeluaran masyarakat yang


dianalisis yaitu pendapatan dan pengeluaran ratarata pada bulan Maret, April, dan Mei 2013.
Pendapatan
rata-rata
masyarakat
Rp
543.529,0/kapita/bulan, dimana pendapatan utama
Rp 471.801,-/kapita/bulan dan sampingan sebesar
Rp Rp 71.728,00/kapita/ bulan, dilihat dari besar
pendapatan, terdapat 64,70 persen masyarakat
pendapatannya berada di bawah rata-rata dan 35,30
persen responden di atas rata-rata. Dari masingmasing sumber pendapatan lebih dari 50 persen
responden pendapatannya masih dibawah rata-rata.
Jika besar pendapatan digunakan sebagai indikator
kesejahteraan masyarakat, kondisi
yang ada
menggambarkan bahwa kesejahteraan masyarakat di
Kampar masih rendah karena besar pendapatan yang
diperoleh masih dibawah rata-rata pendapatan

penduduk
Provinsi
Riau
sebesar
Rp.1.718.225,00/kapita/bulan.
Rendahnya
pendapatan yang diperoleh karena terbatasnya
kemampuan masyarakat dalam memperoleh
pekerjaan yang digambarkan bahwa terdapat 82,35
masyarakat hanya memperoleh pendidikan SMP
kebawah dan disisi lain terbatasnya aset yang
dimiliki seperti lahan sehingga 55,80 persen hanya
mampu bekerja sebagai buruh tani atau buruh
bangunan serta 52,84 persen tidak memiliki
pekerjaan sampingan. Kondisi tersebut membuat
terbatasnya
kemampuan
masyarakat
dalam
memperoleh pendapatan yang layak.
Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun kebutuhan
non
pangan
keluarga.
Besar
pengeluaran
perkapita/bulan disajikan pada Tabel 5 dibawah ini.

175

Dilihat dari besarnya pengeluaran masyarakat, maka


alokasi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan
pangan digunakan lebih besar dari alokasi
pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non
pangan. Pengeluaran responden terdiri dari
pengeluaran untuk pangan dan non pangan dengan
rata-rata pengeluaran Rp 276.588/kapita/bulan, dari
total pengeluaran 68,96 persen digunakan untuk

No

II

memenuhi pengeluaran pangan, dimana terdapat


72,05 persen memiliki pengeluaran berada dibawah
rata-rata. Jika kembali kepada Hukum Enggel,
apabila alokasi pengeluaran sebagian besar masih
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan maka
masyarakat tersebut dikatakan masih belum
sejahtera.

Tabel 5. Pengeluaran responden pada bulan


Maret Mei 2013
Sumber dan Besar
Responden
(%)
Pengeluaran
(kapita/bulan)
Rata-rata pengeluaran
pangan (Rp.190.724,00)
1
Di
bawah
49
72,05
rata-rata
2
Sama
0
0,00
dengan ratarata
3
Di atas rata19
27,95
rata
Jumlah
68
100,0
0
Rata-rata pengeluaran
non pangan
(Rp.85.864,00)
1
Di
bawah
rata-rata
2
Sama
dengan ratarata
3
Di atas ratarata
Jumlah

39

57,35

0,00

29

42,65

68

100,0
0

Sumber: Data Olahan

cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi


pembentukan manusia yang sehat. Pemahaman
masyarakat terhadap pangan, gizi, dan kesehatan
yang
baik
disajikan
pada
Tabel
6.

Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan mencakup pengetahuan
dan pemahaman atas pangan, gizi, dan kesehatan
yang baik, sehingga dalam mengkonsumsi pangan
memperhatikan asupan zat pangan dan gizi yang

Tabel 6. Skor pemahaman responden terhadap


pangan, gizi, dan kesehatan yang baik
No
Soal
Skor
Penilaian
1
Pengertian tentang
3,98 Mengetahui
pangan
2
Menu 4 sehat 5
4,86 Sangat
sempurna
mengetahui
3
Standar kebutuhan
4,11 Mengetahui
4
Akibat kekurangan
4,31 Sangat
pangan
mengetahui
5
Penerapan pangan sehat
1,20 Tidak

176

dan bergizi
Rata-rata

3,70

mengetahui
Mengetahui

Sumber : Data Olahan

Tabel 6 menggambarkan bahwa masyarakat


sudah sangat mengetahui menu 4 sehat 5 sempurna
dan akibat kekurangan pangan akan tetapi belum
menerapkan pangan sehat dan bergizi dalam
memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Hal tersebut
terjadi karena terbatasnya pendapatan yang

diperoleh, kondisi ini terlihat dari kemampuan


masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kalori
sesuai dengan standar kebutuhan kalori yang
ditetapkan WKNPG 2004. Kemampuan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan kalori disajikan pada
Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Konsumsi Kalori dan standar kebutuhan kalori


No Sumber dan Besar
Jumlah
Persentase
Kalori
(responden)
(%)
(Kkal/kapita/hari)
I
Rata-rata konsumsi
Kalori
(1.242,78
Kkal/kapita/hari)
1 Di bawah rata40
47,06
rata
2 Sama dengan
0
0,00
rata-rata
3 Di atas rata28
52,94
rata
Jumlah
68
100,00
II

Standar Kebutuhan
Kalori
(1.964,55Kkal)*
1 Di bawah ratarata
2 Sama dengan
rata-rata
3 Di atas ratarata
Jumlah

32

58,82

0,00

36

41,18

68

100,00

Sumber: Data Olahan

Tabel 7 menggambarkan rata-rata konsumsi kalori


masyarakat sebesar 1.242,78 Kkal/kapita/hari yang
berada dibawah standar kebutuhan kalori sebesar
1.964,55Kkal/kapita/hari.
Jika
dibandingkan
dengan rata-rata konsumsi kalori daerah pedesaan
sebesar
Provinsi
Riau
sebesar
2.081,96
Kkal/kapita/hari, maka rata-rata konsumsi kalori
masyarakat Desa Mandiri Pangan masih berada
dibawah rata-rata konsusi daerah pedesaan Provinsi
Riau.
4. KESIMPULAN
Ketersediaan pangan di Kabupaten Kampar
pada Desa Manadiri Pangan menggambarkan desa
belum mampu menyediakan bahan pangan bagi
masyarakat desanya karena sebagian besar bahan
pangan masih berasal dari luar desa seperti minyak
goreng, beras, gula pasir dan susu. Bahan pangan
yang mampu dihasilkan dari dalam desa, lauk,

sayuran dan buah-buahan masih dalam persentase


yang sangat kecil.
Akses
pangan
menunjukkan
bahwa
pengeluaran
masyarakat
sebesar
Rp.
276.588,00/kapita/bulan,
dimana
pengeluaran
pangan sebesar 69 persen. Sesuai Hukum Engel
bahwa masyarakat desa belum sejahtera karena
proporsi untuk pangan masih lebih besar dari non
pangan. Konsumsi pangan masyarakat sebesar
1.242,78 Kkal/kapita/hari yang masih berada di
bawah rata-rata anjuran energi WKNPG 2.000,00
Kkal/kapita/hari. Tingginya angka
kekurangan
konsumsi kalori ini
terjadi karena masyakat
menganggap bahwa yang terpenting hanya
mencukupi kebutuhan pangan tanpa memperhatikan
kecukupan standar kalori dan gizi anggota
keluarganya.
UCAPAN TERIMA KASIH

177

[5] Dewan Ketahanan Pangan, Kebijakan Umum


Ketahanan Pangan 2006-2009, Jakarta, 2006

Ucapan terima kasih disampaikan kepada


Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas
Riau yang telah memberikan bantuan pendanaan
dalam pelaksanaan penelitian ini.

Notulensi Diskusi:PGO-213, Rosnita dkk,


Ketahanan Pangan Rumah tangga pada Desa
Mandiri Pangan di Kabupaten Kampar

DAFTAR REFERENSI
[1] Waluyo, Eko B, Keanekaragaman Hayati
Untuk
Pangan,
2011..
http://www.opi.lipi.go.id/data/1228964432/dat
a/130867021320841770. makalah.pdf. diakses
tanggal 30 Oktober 2012.
[2] Badan Ketahanan Pangan, Petunjuk
pelaksanaan
Desa
Mandiri
Pangan
Kementerian Pertanian: Jakarta, 2012
[3] Sugiyono, Metode Penelitian Administratif.
Alfabeta. Bandung, 2012
[4]
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau,
Petunjuk teknis Pengembangan Cadangan
Pangan Masyarakat, Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Riau, 2012

Tanya: Bagaimana rencana ke depan agar menjadi


rekomendasi yang baik atau solusi dari penelitian
Ibu? Untuk meningkatkanya bagaimana? (Sri
Priatni)
Jawab: Pendapatan masyarakat masih dibawah
rata-rata, alokasi untuk kebutuhan pangan masih
menjadi
prioritas,
sehingga
hal
tersebut
menandakan masyarakat belum sejahtera. Cara
meningkatkan pendapatan masyarakat yaitu dengan
cara anggaran yang disalurkan disesuaikan
kebutuhan serta diberikan ketrampilan yang terarah.

178

Mutu Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning untuk Makanan


Pendamping Asi (MPASI) Kaya -Karoten (SNI 01-7111.4-2005)
Abubakar 1), B. Setiawan 2), S. Rahmawati 3)
1) Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
2) Dep Gizi Masyarakat Fak,Ekologi Manusia IPB, Bogor
3) Alumni Dep Gizi Masyarakat Fak,Ekologi Manusia IPB, Bogor
Email: abu.028@gmail.com
Abstrak-Penelitian ini bertujuan menyusun formula tepung komposit berbasis labu kuning dengan campuran
tepung pisang dan tepung kacang hijau sebagai bahan makanan pendamping ASI (MPASI) kaya -karoten
dengan menggunakan Rerponse Surface Methodology (RSM), Tujuan khususnya mengetahui mutu kimia (kadar
air, abu, protein, lemak, -karoten, besi, seng, kalsium, daya cerna pati) dan energi, serta membandingkan
formula terpilih dari tepung komposit (labu kuning, pisang, dan kacang hijau) MPASI dengan dan tanpa reduksi
oligosakarida. Formula terpilih dari tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida memiliki karakteristik mutu:
kadar air 4,05%, abu 7,08%, protein 9,24%, lemak 1,6%, beta-karoten 277 ppm, seng 1,29 mg/100g, kalsium
754 mg/100g, daya cerna pati 92,34%, dan energi 364 kkal. Sedangkan formula terpilih dari tepung komposit
dengan reduksi oligosakarida memiliki karakteristik: kadar air 7,12%, abu 4,66%, protein 11,17%, lemak
4,66%, beta-karoten 239 ppm, besi 6,48 mg/100g, seng 0,87 mg/100g, kalsium 596 mg/100g, daya cerna pati
84,7%, dan energi 372 kkal. Tepung komposit yang dihasilkan sudah memenuhi syarat protein, - karoten, besi,
kalsium, dan energi (SNI SNI 01-7111.4-2005).
Katakunci: tepung komposit, labu kuning, makanan pendamping asi
Abstract - The Quality of Composit flour based on Pumpkin as a Complementary food of Breast milk rich of
-Carotene (SNI 01-7111.4-2005), This study aimed at developing a formula of pumpkin-based composite flour
mixed with banana flour and green-bean flour as a complementary food for breast-milk rich in -carotene using
Response Surface Methodology (RSM), Special objective was to analyze its chemical quality (moisture content,
ash, protein, fat, -carotene, Fe, Zn, Ca, and starch digestibility),energy and comparing formula selected with
and without oligosaccharides reduction, Quality characteristics of selected composite flour formula without
reducing oligosaccharides was as follow: 4,05% moisture content, 7,08% ash, 9,24% protein, 1,6% fat, 277 ppm
of beta-carotene, 1,29 mg/100g zinc, 754 mg/100g calcium, starch digestibility of 92,34%, and 364 kcal of
energy, On the other hand, the selected formula of composite flour with reducing oligosaccharides have the
characteristics as follow: 7,12% moisture content, 4,66% ash 4,66% fat, 11,17 protein, 239 ppm of betacarotene, 0,87 mg/100g zinc, 596 mg/100g calcium, starch digestibility of 84,7%, and 372 kcal of energy. The
composite flour produced has met protein, -carotene, iron, calcium, and energy requirements (SNI 01-7111.42005),
Keywords: composite flour, pumpkin, complementary foods
MPASI komersial yang dijual di pasaran dan
MPASI lokal atau dapur ibu yang bahan bakunya
diambil dari bahan pangan lokal sesuai kebiasaan
dan sosial budaya setempat. Salah satu bahan lokal
yang populer di masyarakat adalah labu kuning,
Labu kuning merupakan sayuran yang kaya akan karoten dan antioksidan. Karakteristik warna kuning
pada labu kuning menandakan adanya karotenoid
[4],[5].Kombinasi dari labu kuning, pisang, dan
kacang hijau jika diformulasikan akan memberikan
produk dengan zat gizi lengkap. Dalam pembuatan
produk MPASI yang perlu diingat adalah organ
pencernaan bayi usia 6-24 bulan belum kuat,
sehingga makanan yang diberikan harus lunak dan
mudah dicerna. Bahan-bahan sumber karbohidrat
yang berasal dari pangan nabati tersebut
mengandung
senyawa
oligosakarida
berupa
raffinosa, stakhiosa, dan verbaskosa yang

1. PENDAHULUAN
Masalah gizi yang rentan pada bayi dan anak-anak
adalah defisiensi vitamin A yang disebabkan kurang
energi protein (KEP), penyakit infeksi dan yang
paling utama adalah kurangnya asupan vitamin A.
Hasil studi masalah gizi mikro di Indonesia tahun
2006 menunjukkan kadar serum vitamin A balita
rata-rata 11 g/dl [1]. Kurang vitamin A (KVA)
menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga
mempertinggi resiko terhadap penyakit infeksi [2].
Asupan vitamin A pada bayi berasal dari air susu ibu
(ASI), ASI hanya memenuhi kebutuhan gizi sampai
berumur 6 bulan [3]. Pada periode ini bayi tidak
memerlukan makanan lain selain ASI. Akan tetapi
setelah melampaui periode tersebut asupan vitamin
A dan zat gizi lainnya harus dipenuhi dari makanan
pendamping ASI (MPASI). Jenis MPASI terdiri dari

179

menyebabkan diare dan flatulensi pada bayi [6].


Dosis aman konsumsi oligosakarida sekitar 0,3 g/kg
bb/hari [7]. Maka bahan-bahan yang mengandung
oligosakarida tinggi harus melalui proses
pengurangan kadar oligosakarida sampai pada taraf
yang aman. Tepung komposit dari labu kuning,
pisang dan kacang hijau yang sudah mengalami
reduksi oligosakarida dapat menjadi bahan baku
MPASI yang dapat diterima oleh pencernaan bayi.
Penggunaan tepung akan memudahkan penyusun an
formulasi dan pembuatan MPASI.

Formulasi Tepung Komposit. Formulasi tepung


komposit tanpa reduksi oligosakarida menggunakan
campuran tepung labu kuning tanpa reduksi oligo
sakarida, tepung pisang dan tepung kacang hijau
tanpa reduksi oligosakarida. Sedangkan formulasi
tepung komposit dengan reduksi oligosakarida
menggunakan campuran tepung labu kuning dengan
reduksi oligosakarida, tepung pisang dan tepung
kacang hijau dengan reduksi oligosakarida
(perendaman 6 jam). Rancangan penelitian
menggunakan Response Surface Methodology
(RSM) mixture design D-optimal dengan software
Design Expert trial (DX trial), sesuai faktor
perlakuan yaitu perlakuan pencampuran komponen
yang diubah-ubah untuk memperoleh respon tertentu
[9],[10]. Faktor perlakuan yang diubah-ubah adalah
jumlah tepung labu kuning, tepung pisang, dan
tepung kacang hijau. Output dari proses analisa
respon yang diolah dengan rancangan statistik RSM
mixture design adalah berupa persamaan polinomial,
yang diperoleh tiap respon ditunjukkan dengan
variabel tertentu yang berbentuk Mean (M), Linear
(L), Quadratik (Q), dan Cubic (C). Variabel tersebut
menjadi faktor yang menentukan rancangan model
polinomial untuk faktor perlakuan pada penelitian
sehingga didapatkan respon yang mendukung
terciptanya produk yang optimal [10]. Kisaran
komponen dikonversi berdasarkan berat total
formula tepung komposit (100%), kisaran komponen
yang digunakan adalah tepung labu kuning 50-60%,
tepung pisang 15-25%, dan tepung kacang hijau 1525%. Komponen tersebut merupakan kendala bahan
dalam pembuatan rancangan percobaan D-optimal
yang menghasilkan 16 formula dalam percobaan.
Tabel 1 menunjukkan kisaran komponen penyusun
tepung komposit berbasis labu kuning.

2. BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Bahan baku utama adalah labu kuning (Cucurbita
moschata), pisang (Musa sp) dan kacang hijau
(Vigna radiata). Labu kuning didapat dari daerah
Kopeng Semarang berumur 2,5-3 bulan. Pisang yang
digunakan adalah pisang raja bulu yang sudah tua
tapi belum matang [8]. Tepung labu kuning tanpa
reduksi oligosakarida dibuat dengan proses
pembuangan kulit dan biji, pencucian, pengirisan,
perendaman
dengan air
kapur,
penirisan,
pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Tepung
labu kuning dengan reduksi oligosakarida dibuat
dengan proses pembuangan kulit dan biji, pencucian,
pengirisan, perendaman dengan air kapur 0,15%
selama 1 jam, penirisan, perendaman dengan enzim
-galaktosidase,
penirisan,
pengeringan,
penepungan, dan pengayakan. Perendaman air kapur
bertujuan agar hasil tepung tidak menggumpal dan
mudah diayak. Perendam kultur enzim galaktosidase dengan menggunakan starter bakteri
selama 8 jam. Starter bakteri yang digunakan dipilih
secara eksperimental. Ada empat macam bakteri
yang
digunakan
(Lactobacillus
plantarum,
Lactobacillus brevis, Bivido bacterium longum,
Leuconostoc mesenteroidis),

Tabel 1, komponen penyusun tepung komposit berbasis labu kuning


Komponen
Batas bawah (%)
Batas atas (%)
Tepung Labu Kuning
50
60
Tepung Pisang
15
25
Tepung Kacang Hijau
15
25

Berdasarkan kisaran konsentrasi komponen,


program DX trial merancang beberapa formula.
Pada tahap ini juga dilakukan penentuan respon
yang akan diukur. Pemilihan respon dilakukan
berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat
perubahan proporsi relatif dari komponenkomponennya. Respon ini diukur dan dioptimasi
sehingga diperoleh formula optimum. Respon pada
penelitian adalah kadar air, abu, lemak, potein,
karbohidrat,Fe, Zn, Ca, -karoten, dan daya cerna
pati. Berdasarkan tahap perancangan formula
dihasilkan 11 formula dan terdapat 5 formula yang

memiliki nilai leverage mendekati satu. Nilai


leverage merupakan nilai probability kesalahan
formula [11]. Nilai leverage mendekati satu berarti
formula ber peluang salah. Menurut rekomendasi
program, dengan leverage tersebut sebaiknya
diulang sehingga total formula hasil olahan DX trial
adalah sebanyak 16 formula. Tabel 2 menunjukkan
rancangan formula tepung komposit dengan program
DX trial. Keenam belas formula dianalisis masingmasing
responnya.
Program
akan
merekomendasikan salah satu model polinomial
yang cocok untuk setiap respon.

180

Formula
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16

Tabel 2. Formula tepung komposit MPASI


Tepung Labu Kuning(%)
Tepung Pisang(%)
60,000
20,000
58,333
18,333
50,000
25,000
55,000
20,000
60,000
20,000
50,000
25,000
58,330
23,333
55,000
25,000
55,833
20,833
53,333
23,333
60,000
25,000
55,000
25,000
60,000
15,000
60,000
15,000
60,000
25,000
56,667
21,667

Program DX trial selanjutnya menampilkan hasil


analisis ragam atau ANOVA. Variabel respon yang
paling signifikan dapat digunakan sebagai model
prediksi pada tahap optimasi.
Karakteristik Mutu Kimia. Setiap formula tepung
komposit dilakukan analisis karakteristik kimia,
meliputi: kadar air, karbohidrat, protein, lemak, abu,
-karoten, Fe, Zn, Ca, dan dayacerna pati (data
analisis dalam berat basah).
Formulasi Terpilih. Hasil analisis karakteristik
dimasukkan sebagai respon dengan metode RSM.
Formulasi tepung komposit terpilih dihasilkan dari
respon protein dan -karoten yang maksimum. Hasil
formula terpilih dari tepung komposit reduksi
Formula
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16

F
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7

Tepung Kc Hijau(%)
20,000
23,333
25,000
25,000
20,000
25,000
18,333
20,000
23,333
23,333
15,000
20,000
25,000
25,000
15,000
21,667

oligosakarida akan dibandingkan dengan formula


terpilih dari tepung komposit tanpa reduksi oligo
sakarida serta dengan persyaratan MPASI.
Pengolahan dan Analisis Data. Data yang
dihasilkan diolah menggunakan Microsoft Exel
software.
3, HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Mutu Tepung Komposit. Hasil
analisis proksimat tepung komposit tanpa dan
dengan reduksi oligosakarida, terlihat pada Tabel 3
dan 4.

Tabel 3. Hasil analisis proksimat tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida (%)
Air
Abu
Lemak
Potein
Karbohidrat
6,700,11
4,810,02
1,590,16
7,230,27
79,680,20
6,840,06
4,570,24
1,460,11
9,380,34
77,760,06
6,670,08
4,400,00
1,630,04
7,000,45
80,300,33
6,750,05
4,700,03
1,770,08
8,690,08
78,100,14
6,700,11
4,810,02
1,590,16
7,230,27
79,680,20
6,670,08
4,400,00
1,630,04
7,000,45
80,300,33
5,710,35
4,400,46
1,660,15
8,740,37
79,510,59
5,180,23
4,640,25
1,630,21
9,250,04
79,310,15
4,150,16
6,560,05
1,580,09
9,380,19
78,350,11
4,340,18
6,360,08
1,500,04
8,090,41
79,710,64
4,520,40
6,920,08
1,680,13
6,570,35
80,330,01
5,180,23
4,640,25
1,630,21
9,250,04
79,310,15
4,050,33
7,080,05
1,600,07
9,240,32
78,050,13
4,050,33
7,080,05
1,600,07
9,240,32
78,050,13
4,520,40
6,920,08
1,680,13
6,570,35
80,330,01
5,770,06
6,640,03
1,930,11
9,270,98
76,390,83

Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung komposit dengan reduksi oligosakarida(%)


Air
Abu
Lemak
Potein
Karbohidrat
7,420,23
4,590,01
2,440,05
9,060,11
76,490,06
7,500,01
4,310,22
2,730,15
10,590,40
74,880,75
7,130,06
3,270,42
2,630,09
10,740,27
76,230,19
7,600,09
4,240,02
3,100,89
11,850,18
73,211,00
7,740,09
4,350,16
4,560,24
11,380,09
71,970,41
7,290,03
3,540,08
2,770,78
10,850,60
75,541,50
7,460,11
4,290,10
2,730,10
9,960,44
75,560,74

181

F8
F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16

7,450,04
7,030,06
7,380,06
7,780,10
7,360,09
7,220,09
7,020,07
7,320,06
7,400,06

3,980,04
4,270,04
3,580,37
3,650,03
4,320,09
4,460,12
4,850,06
3,710,15
3,980,06

2,360,3
3,250,16
3,711,81
4,050,19
3,870,07
3,790,38
3,400,47
3,970,36
4,470,04

Kadar Air. Kadar air formula tepung komposit


tanpa reduksi oligosakarida 4,05- 6,84 %, tertinggi
pada formula 2 yaitu 6,84%. Sedangkan kadar air
tepung komposit dengan reduksi oligosakarida 7,02 7,78%, tertinggi pada formula 11 dengan nilai
7,78%. Kadar air tepung komposit tanpa dan dengan
reduksi oligosakarida yang diuji Anova tidak
berbeda nyata terhadap komposisi tepung labu
kuning, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Hal
ini terjadi karena semua jenis tepung berasal dari
proses pengeringan yang sama yaitu dengan cabinet
dryer sehingga menghasilkan kadar air yang relatif
sama. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap
kadar air antara tepung komposit tigernut-wheat
(90:10) dengan tepung komposit tigernut-wheat
(80:20) [12]. Kadar air dari kedua formulasi baik
yang tanpa maupun yang dengan reduksi
oligosakarida memiliki nilai yang rendah. Kadar air
ini lebih rendah dari kadar air pada tepung terigu
12% [13], Air dalam bahan makanan menentukan
kesegaran dan daya tahan bahan makanan karena
kandungan air berkaitan dengan perkembangan
mikroorganisme dalam bahan makanan [14].
Kandungan air bahan pangan tidak dapat ditentukan
hanya dengan melalui bentuk fisiknya. Air juga
dapat mempengaruhi tekstur, rupa maupun cita rasa
bahan makanan [15],[16]. Kadar Abu. Kadar abu
tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida 4,407,08%, tertinggi pada formula 13 dan 14 yaitu
7,08%. Sedangkan kadar abu tepung komposit
reduksi oligosakarida 3,27-4,85%, tertinggi pada
formula 14. Hasil uji Anova kadar abu menunjukkan
bahwa komposisi tepung komposit tanpa reduksi
oligo sakarida tidak menunjukkan berbeda nyata.
Hal ini terjadi karena kandungan abu pada tepung
kacang hijau dan tepung labu kuning memiliki
kandungan abu yang lebih tinggi dari kandungan abu
tepung pisang. Kacang-kacangan mengandung
sejumlah fospor yang sebagian besar dalam bentuk
asam fitat, kadarnya bisa dikurangi melalui proses
pengolahan [17]. Bahan anorganik merupakan
mineral yang ada dalam produk makanan seperti Ca,
Mg, Na, P, K, Mn, dan Cu, Abu yang terbentuk
berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan
mudah dilarutkan [15]. Pada tepung komposit
dengan reduksi oligosakarida menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata terhadap kandungan abu. Hal
ini terjadi karena kandungan abu pada tepung
kacang hijau dan tepung labu kuning mengalami
penurunan
saat proses reduksi oligosakarida.
Tepung kacang hijau dengan reduksi oligosakarida

9,800,17
10,310,12
9,610,19
8,810,95
9,150,09
10,480,04
11,850,14
8,360,33
9,230,07

76,420,14
75,140,18
75,721,93
75,711,02
75,290,17
74,050,13
72,88074
76,640,78
74,920,02

diproses dengan cara merendam kacang hijau selama


6 jam dengan air bersih, sedangkan tepung labu
kuning direndam dengan larutan enzim galaktosidase selama 18 jam. Perendaman tersebut
yang menyebabkan kandungan mineral berkurang
yang berdampak pada penurunan kadar abu.
Penurunan jumlah komponen mineral (abu) selama
proses germinasi kacang-kacangan disebabkan oleh
kehilangan mineral larut air saat pencucian dan
perendaman sebelum proses germinasi [18]. Kadar
Lemak.
Kadar lemak tepung komposit tanpa
reduksi oligosakarida 1,46 -1,93 %, tertinggi pada
formula 16 yaitu 1,93%. Sedangkan kadar lemak
dengan reduksi oligosakarida memiliki kadar lemak
2,36-4,56 %, tertinggi pada formula 5 yaitu 4,56%.
Secara keseluruhan terjadi peningkatan lemak pada
formula tepung reduksi oligosakarida, dikarenakan
terjadi penambahan lemak saat reduksi oligosakarida
pada proses penepungan labu kuning. Proses
penepungan labu kuning reduksi oligosakarida
melalui tahap perendaman dengan enzim -galakto
sidase dengan starter bakteri L. Brevis. Beberapa
enzim hanya terdiri dari protein, tetapi kebanyakan
enzim mengandung komponen non protein
tambahan seperti karbohidrat, lemak, logam, fosfat,
atau beberapa bagian organik lain [19]. Hasil
analisis Anova menunjukkan komposisi tepung labu
kuning, tepung kacang hijau, dan tepung pisang
tidak berbeda nyata terhadap kadar lemak tepung
komposit baik yang tanpa reduksi maupun dengan
reduksi oligosakarida. Hal ini disebabkan karena
semua jenis tepung yang digunakan bukan
merupakan sumber lemak sehingga tepung komposit
yang dihasilkan memiliki kandungan lemak relatif
sama. Kandungan lemak pada tepung labu kuning
adalah 1,34% (bb) [5], kandungan lemak pada
tepung kacang hijau sebesar 1,44% (bk) atau sekitar
1,34% (bb) [20]. Pada tepung pisang berbagai
varietas memiliki kandungan lemak 0,2-0,85% (bb)
[21]. Kadar Protein. Kadar protein merupakan
salah satu faktor yang menentukan mutu dari tepung
komposit. Kadar protein tepung komposit tanpa
reduksi oligosakarida 6,57% - 9,38%, tertinggi pada
formula 2 dan 9 yaitu 9,38%. Sedangkan kadar
protein tepung komposit reduksi oligosakarida 8,3611,85%, tertinggi pada formula 4 dan 14 sebesar
11,85%. Secara keseluruhan kandungan protein
meningkat pada formula tepung komposit dengan
reduksi oligosakarida. Hal ini karena terjadi
penambahan protein pada tepung labu kuning pada
saat proses penepungan. Proses penepungan labu

182

kuning dengan reduksi oligosakarida menggunakan


perendaman dengan enzim -galaktosida mengguna
kan starter L. Brevis. Penambahan tersebut berasal
dari enzim. Enzim adalah protein yang mempunyai
sifat katalik [22]. Hasil uji Anova komposisi tepung
labu kuning, tepung pisang, dan tepung kacang hijau
berbeda nyata terhadap kandungan protein baik pada
tepung tanpa reduksi maupun dengan reduksi
oligosakarida. Hal ini diduga karena kandungan
protein dari kacang hijau mempengaruhi kandungan
protein tepung secara keseluruhan. Kandungan
protein pada tepung kacang hijau sebesar 27,99%
(bk) atau sekitar 25,17% (bb) [20]. Nilai tersebut
jauh lebih tinggi dari kandungan protein pada tepung
labu kuning yaitu sebesar 3,74 % (bb) [5], dan
tepung pisang berbagai varietas dengan protein 1,053,25% (bb), [21]. Kadar Karbohidrat. Kadar
karbohidrat tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida 76,39 - 80,33%, tertinggi pada formula
11 dan 15, yaitu 80,33%. Sedangkan kadar karbo
hidrat tepung komposit reduksi oligosakarida adalah
71,97- 76,64%. Kadar karbohidrat tertinggi pada
formula 15 sebesar 76,64%. Secara keseluruhan
karbohidrat pada formula tepung reduksi
oligosakarida menurun, hal ini karena kandungan
protein dan lemak pada tepung reduksi oligosakarida
bertambah sehingga ber pengaruh terhadap

kandungan karbohidrat secara kasar [23]. Hasil uji


Anova bahwa komposisi baik pada tepung tanpa
reduksi maupun dengan reduksi oligosakarida
berbeda nyata terhadap kandungan karbohidrat. Hal
ini terjadi diakibatkan dua jenis tepung dari 3 tepung
penyusun tepung komposit merupakan sumber
karbohidrat yaitu tepung labu kuning dan tepung
pisang. Tepung pisang memiliki kandungan
karbohidrat yang tinggi [21]. Karbohidrat mem
pengaruhi struktur dan mutu tepung [24],[27].
Berdasarkan penelitian nya berbagai macam varietas
pisang, tepung pisang memiliki kadar karbohidrat
82,0-86,05% (bb). Hasil penelitian tepung labu
kuning memiliki kandungan karbohidrat 78,77%
(bb) [5]. Kadar Besi ( Fe). Kadar besi tepung tanpa
reduksi oligosakarida 1,366,48 mg/100g, tertinggi
pada formula 13 dan 14. Sedangkan tepung dengan
reduksi oligosakarida adalah 7,2411,71 mg/100 g,
tertinggi pada formula 2 (Tabel 5). Hasil uji Anova
komposisi tepung labu kuning, tepung pisang, dan
tepung kacang hijau berbeda nyata terhadap kadar
besi tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida.
Hal ini terjadi karena kandungan fe pada tepung
kacang hijau tanpa reduksi oligosakarida lebih tinggi
dari tepung pisang dan tepung labu tanpa reduksi
oligosakarida. Kandungan besi kacang hjau 9,67
mg/100g (bk) [22].

Tabel 5. Hasil analisis mineral tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida


Formula
Fe (mg/100g)
Ca (mg/100g)
Zn (mg/100g)
F1
4,820,95
544,829,60
0,840,02
F2
5,051,45
444,4321,8
1,030,00
F3
3,300,52
482,2976,0
0,930,04
F4
1,610,73
480,0175,9
1,000,12
F5
4,820,95
544,829,60
0,840,02
F6
3,300,52
482,2976,0
0,930,04
F7
1,360,05
486,9285,7
0,860,08
F8
2,600,10
568,5917,5
1,010,02
F9
5,920,92
650,314,70
0,720,02
F10
1,920,60
708,1746,3
0,850,01
F11
4,091,99
805,6629,2
0,990,00
F12
2,600,10
568,5917,5
1,010,02
F13
6,480,58
753,5962,1
1,290,19
F14
6,480,58
753,5962,1
1,290,19
F15
4,091,99
805,6629,2
0,990,00
F16
4,550,44
677,7415,0
0,970,01

Lain halnya dengan


reduksi oligosakarida
menunjukkan terdapat
terhadap kadar besi. Hal
peningkatan kadar besi

tepung komposit dengan


(Tabel 6) Uji Anova
perbedaan tidak nyata
ini diduga karena terdapat
saat proses penepungan

kacang hijau dengan reduksi oligosakarida.


Kecambah ini dapat menambah kandung an besi
pada tepung komposit. Peningkatan kadar besi
terjadi saat perkecambahan kacang hijau [22].

Tabel 6. Hasil analisis mineral tepung komposit dengan reduksi oligosakarida


Formula
Fe (mg/100g)
Ca (mg/100g)
Zn (mg/100g)
F1
7,332,25
66830,10
0,910,13
F2
11,710,74
63021,53
1,300,26
F3
10,960,98
58211,29
1,010,10
F4
8,140,80
6198,64
0,870,01
F5
9,440,79
66918,86
0,840,03
F6
9,600,39
56625,09
0,940,01
F7
11,220,12
62640,35
0,860,01
F8
10,732,42
64619,25
0,900,15

183

F9
F10
F11
F12
F13
F14
F15
F16

7,690,24
7,580,08
8,390,10
8,210,50
7,940,76
8,240,78
7,610,29
7,240,61

6564,11
6270,14
7010,11
60620,93
6660,74
66612,03
66835,39
6295,66

Kadar Kalsium (Ca). Kadar kalsium tepung


komposit tanpa reduksi oligosakarida 444,43-805,66
mg/100g, tertinggi pada formula 11 dan 15.
Sedangkan tepung komposit dengan reduksi oligo
sakarida adalah 566-701 mg/100g, tertinggi pada
formula 11 (Tabel 5). Hasil uji Anova menunjukkan
komposisi tepung labu kuning, tepung pisang, dan
tepung kacang hijau tidak berbeda nyata terhadap
kadar kalsium tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida. Hal ini terjadi karena kandungan
kalsium pada tepung kacang hijau dan labu kuning
mendominasi tepung komposit. Berdasarkan uji
Anova terdapat perbedaan yang nyata pada kadar
kalsium tepung komposit dengan reduksi
oligosakarida. Hal ini diduga karena proses reduksi
oligosakarida pada tepung labu kuning dengan
perendaman selama 18 jam. Kadar Seng (Zn).
Kadar seng tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida 0,72 1,29 mg/ 100g, tertinggi pada
formula 13 dan 14 (Tabel 5). Sedangkan tepung
komposit dengan reduksi oligosakarida mengandung
adalah 0,691,30 mg/100g, tertinggi pada formula 2
(Tabel 6). Hasil uji anova menunjukkan komposisi
tepung labu kuning, tepung pisang dan tepung
kacang hijau berbeda nyata terhadap kadar seng. Hal
ini diduga karena perbedaan kandungan seng pada
komponen penyusun tepung komposit. tanpa reduksi
oligosakarida berbeda terutama pada tepung labu
kuning. Labu kuning merupakan sayuran yang
memiliki kandungan seng sekitar 1,5 mg/100 bb atau
sekitar 11,1 mg/100g bk [6]. Lain halnya pada
tepung komposit dengan reduksi oligosakarida. Uji
No
1
2
3

0,780,00
0,800,03
0,740,04
0,730,00
0,820,00
0,820,02
0,720,04
0,690,05

Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang


nyata pada kadar seng tepung komposit dengan
reduksi oligosakarida. Hal ini terjadi karena
terjadinya penurunan kadar seng pada tepung
komposit akibat perlakuan reduksi oligosakarida.
Optimasi Formula Tepung Komposit Berbasis
Labu Kuning.
Respon yang digunakan dalam RSM adalah kadar
protein dan -karoten maksimal pada tepung
komposit. Nilai variabel respon protein dan karoten yang didapat dari setiap formula
dimasukkan dalam software Design Expert trial.
Program DX trial akan mengolah semua variabel
respon berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan
dan memberikan beberapa solusi formula tepung
komposit terpilih. Nilai target optimasi yang dapat
dicapai disebut desirability, yang memiliki nilai 0
sampai 1,0. Namun demikian, tujuan optimasi bukan
untuk mencari nilai desirability sebesar 1,0
melainkan untuk mencari kondisi terbaik yang
mempertemukan semua fungsi tujuan [10]. Proses
optimasi merekomendasikan 3 formula terpilih
tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida,
Masing- masing memiliki desirability 0,949; 0,903;
0,900. Dari persamaan polinomial masing-masing
respon dapat dihitung prediksi nilai kadar air, abu,
emak, protein, karbohidrat, -karoten, total pati, dan
dayacerna pati formula terpilih. Nilai prediksi
protein dan -karoten dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Prediksi formula terbaik tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida


Tepung
Labu Tepung
Tepung
Protein (%) Beta-karoten
Kuning (%)
Pisang (%)
KacangHijau (%)
ppm
60
15
25
9,33
255,2
56,02
24,744
19,236
9,057
225,442
56,071
25
18,929
8,9
226,64

Desirability
0,949
0,903
0,9

kadar lemak, protein, karbohidrat, -karoten, dan


dayacerna pati formula terpilih, Nilai prediksi
protein dan -karoten dapat dilihat pada Tabel 8.
Berdasarkan nilai desirability paling tinggi (0,644)
didapat formula terpilih dari tepung komposit
dengan reduksi oligo sakarida yaitu formula dengan
komposisi tepung labu kuning 60 %, tepung pisang
15%, dan tepung kacang hijau 25%. Formula
tersebut memiliki nilai prediksi kadar protein lebih
tinggi dan nilai -karoten lebih rendah dari prediksi
lain yaitu 11,28% dan 246,79 ppm.

Berdasarkan nilai desirability paling tinggi (0,949)


didapat formula terpilih dari tepung tanpa reduksi
oligosakarida yaitu formula dengan komposisi
tepung labu kuning 60 %, tepung pisang 15%, dan
tepung kacang hijau 25%, dengan nilai prediksi
kadar protein dan beta-karoten paling tinggi dari
prediksi lain yaitu 9,33% dan 255,2%. Proses
optimasi merekomendasi kan 2 formula terpilih
tepung komposit dengan reduksi oligosakarida.
Formula tersebut memiliki desirability 0,644 dan
0,626. Dari persamaan polinomial masing-masing
respon dapat dihitung prediksi nilai kadar air, abu,

184

No

1
2

Tabel 8. Prediksi formula terbaik tepung komposit dengan reduksi oligosakarida


Tepung Labu Tepung
Tepung
Protein (%) Beta-karoten
Desirability
Kuning (%)
Pisang (%)
Kacang
ppm
Hijau (%)
60
15
25
11,28
246,79
0,644
55
20
25
10,92
254,33
0,626

Setelah mendapatkan formula terpilih kemudian


nilai prediksi mutu kimia hasil rekomendasi DX trial
dibandingkan dengan nilai mutu kimia hasil analisa
di laboratorium. Hasil analisis dapat dilihat pada
Tabel 9, Hasil analisa protein dan -karoten dari
kedua tepung terpilih tidak jauh berbeda dengan
nilai prediksi yang dihasilkan program DX trial pada
optimasi. Hal ini menunjukkan bahwa optimasi
tepung komposit dengan menggunakan metode RSM
sesuai dengan analisa sebenarnya.

Perbandingan Formula Tepung Komposit SNI


MPASI dan MPASI Komersil.
Mutu kimia dari formula terpilih tepung komposit
tanpa reduksi oligosakarida dibandingkan dengan
formula terpilih tepung komposit dengan reduksi
oligosakarida. Selain dari itu, dibandingkan pula
dengan persyaratan SNI MPASI [25] dan MPASI
komersil. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 9

Tabel 9. Kandungan kimia MPASI dalam 100 gram bahan


Tepung Komposit Terpilih
Syarat
Sifat Kimia
Tanpa Reduksi
Dengan Reduksi
MPASI**
oligosakarida
oligosakarida
Kadar Air (g)
4,05
7,12
Abu (g)
7,08
4,66
Protein (g)
9,24
11,17
8-22
Lemak (g)
1,6
3,6
6-15
Karbohidrat (g)
78,05
73,77
-karoten (mg)
27,7
23,9
1,5-4,2
Besi (mg)
6,48
8,59
>5
Seng (mg)
1,29
0,87
>2,5
Kalsium (mg)
754
666
>200
Daya cerna pati (%)
92,34*
84,7*
Energi (kkal)
364
372
80

MPASI
Komersil
10
6,25
77,5
2,1
3,4
1,9
262
400

Keterangan: *Persentase terhadap kandungan pati, ** SNI 01-7111.4-2005 (BSN )

Kadar air tepung komposit tanpa reduksi


oligosakarida memiliki kandungan air (4,05g/100g)
lebih rendah dari kadar air tepung komposit terpilih
dengan reduksi oligosakarida (7,12 g/100g). Kadar
air ini lebih rendah dari kadar air tepung terigu
sebesar 12% (12g/100g) [13], sehingga tepung
komposit ini memiliki masa simpan yang relatif
lama. Kadar abu tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida
(7,08g/100g)
lebih
tinggi
dibandingkan kadar abu tepung komposit reduksi
oligosakarida (4,66 g/100g). Kadar abu dari kedua
tepung komposit menggambarkan kandungan
mineral secara kasar. Kadar protein
tepung
komposit tanpa reduksi oligosakarida (9,24 g/100g)
lebih rendah dari kadar protein tepung komposit
reduksi oligosakarida (11,2g/100g). Kandungan
protein dari kedua tepung komposit me menuhi
syarat SNI MPASI dan memiliki nilai tidak jauh
berbeda dari protein MPASI komersial (10 g/100g).
Persyaratan SNI-kandungan protein MPASI 822g/100g bahan. Kadar lemak tepung komposit
tanpa reduksi oligosakarida (1,6 g/100g) lebih kecil

dari tepung komposit dengan reduksi oligosakarida


(3,6 g/100g). Kandungan lemak dari kedua tepung
komposit dibawah syarat SNI MPASI dan di bawah
lemak MPASI komersial (6,25 g/100g). Persyaratan
SNI menyebutkan lemak MPASI 6-15g/100 g bahan.
Kadar karbohidrat tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida
(78,05g/100g)
lebih
tinggi
dibandingkan dengan kadar karbohidrat tepung
komposit dengan reduksi oligosakarida (73,77
g/100). Energi MPASI dihitung berdasarkan
komposisi protein, lemak, dan karbohidrat bahan.
Protein dan karbohidrat menyumbang 4 kkal/1g,
sedangkan lemak me nyumbang 9 kkal/1g.
Berdasarkan kandungan protein, lemak, dan
karbohidrat, ketersediaan energi pada tepung
komposit tanpa reduksi oligosakarida adalah 364
kkal, sedangkan energi pada tepung komposit
dengan reduksi oligosakarida adalah 372 kkal.
Kedua energi dari tepung komposit memilki nilai
sedikit lebih rendah dari energi MPASI komersial
(400 kkal). Meskipun demikian nilai tersebut telah
memenuhi syarat energi MPASI berdasarkan SNI

185

yaitu lebih besar dari 80 kkal. Kadar besi pada


tepung
komposit
tanpa
reduksi
oligosakarida(6,48mg/100g) lebih rendah dari kadar
besi tepung komposit dengan reduksi oligosakarida
(8,59mg/100g). Kandungan besi kedua tepung
komposit masih memenuhi syarat SNI MPASI dan
memiliki nilai lebih besar dari kandungan besi
MPASI komersial (3,4 mg/100g). Persyaratan SNI
menyebutkan kandungan besi MPASI minimal tidak
kurang dari 5 mg/100g. Kadar seng pada tepung
komposit tanpa reduksi oligosakarida(1,29 mg/100g)
lebih tinggi dari kadar seng tepung komposit reduksi
oligosakarida (0,87 mg/100g), Kandungan seng dari
kedua tepung komposit terpilih masih dibawah
syarat SNI MPASI dan masih di bawah kandungan
seng MPASI komersial (1,9 mg/100g). Persyaratan
SNI MPASI [25] menyebutkan kandungan seng
dalam MPASI minimal 2,5 mg/100g. Kadar kalsium
tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida (754
mg/100g) lebih tinggi dari kadar kalsium tepung
komposit
dengan
reduksi
oligosakarida
(666mg/100g). Kandungan kalsium kedua tepung
komposit sudah memenuhi syarat SNI MPASI dan
lebih tinggi dari kandungan kalsium MPASI
komersial (262 mg/100g). Persyaratan
SNI
menyebutkan kalsium MPASI minimal 200
mg/100g. -karoten tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida lebih tinggi yaitu 277 ppm (27,7 mg/
100g) atau setara dengan 4616 RE/100g
dibandingkan tepung komposit reduksi oligosakarida
yaitu 239 ppm (23,3 mg/100g) atau setara dengan
3983 RE/100g. Nilai -karoten dari kedua tepung
komposit lebih tinggi dari -karoten MPASI
komersial yaitu 2,1 mg/100g. Persyaratan SNI
menyebutkan bahwa kandungan vitamin A dalam
MPASI 250-700 RE/100g atau setara dengan 1,5-4,2
mg/100g -karoten. Berdasarkan tingkat kecukupan
kandungan -karoten memenuhi lebih dari 100%
angka kecukupan Vitamin A jika mengggunakan
tepung komposit 100 gram. Daya cerna pati pada

tepung komposit tanpa reduksi oligosakarida lebih


tinggi (92,4%) dari dayacerna pati tepung komposit
dengan reduksi oligosakarida (84,7%). Meskipun
demikian, kedua nilai daya cerna pati tersebut
tergolong tinggi, Semakin tinggi nilai dayacerna pati
tepung komposit akan semakin banyak pati yang
dapat dihidrolisis dalam pencernaan [26], [27].
4. KESIMPULAN
Formula terpilih tepung komposit tanpa reduksi
oligosakarida memiliki komposisi 60% tepung labu
kuning, 15% tepung pisang, dan 25% tepung kacang
hijau serta nilai desirability 0,949 dengan
karakteristik: kadar air 4,05%, abu 7,08%, protein
9,24%, lemak 1,6%, karbohidrat 78,05 %, -karoten
277 ppm, besi 6,48 mg/100g, seng 1,29 mg/100g,
kalsium 754 mg/100g, daya cerna pati 92,34%, dan
energi 364 kkal. Sedangkan folmula terpilih tepung
komposit reduksi oligosakarida memiliki komposisi
60% tepung labu kuning, 15% tepung pisang, dan
25% tepung kacang hijau serta nilai desirability
0,644 dengan karakteristik: kadar air 7,12%, abu
4,6%, lemak 4,66%, protein 11,17%, karbohidrat
73,77%, -karoten 239 ppm, besi 8,59 mg/100g,
seng 0,87 mg/100g, kalsium 666 mg/100g, daya
cerna pati 84,7%, dan energi 372 kkal. Berdasarkan
SNI 01-7111.4-2005MPASI, tepung komposit yang
dihasilkan dari penelitian memenuhi syarat protein,
-karoten, besi, kalsium, dan energi. Akan tetapi zat
gizi lemak dan seng yang masih kurang dari
persyaratan. Karena tepung komposit ini hanya
sebagai bahan dasar pembuatan MPASI sehingga
kekurangan tersebut dapat dikombinasikan dengan
bahan pangan lain pada saat proses pembuatan
MPASI. Perlu dilakukan penambahan bahan tepung
komposit yang berasal dari serealia kaya asam
amino sulfur agar kandungan asam amino dari
tepung komposit lebih lengkap.
[6] Pramote K, A. Pokpong, K. Klinchongkon and S.
Adachi. Production of oligosaccharides
from coconut meal by subcritical water
treatment. International Journal of Food
Science & Technology 2014; 49 (8):
19461952
[7] Muchtadi D, Evaluasi Nilai Gizi Pangan,
Petunjuk laboratorium PAU Pangan dan
Gizi, 1993; IPB Bogor
[8] Anonymous, Teknologi budidaya tanaman
pangan pisang raja bulu, 2005. http//www,
iptek, net,id /ind/teknologi pangan/ index
pho [8 Juli 2009]
[9] Hadiningsih, Optimasi formula makanan pen
damping ASI dengan menggunakan
response surface methodology (RSM)
[Tesis], 2004;
Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor
[10] Anonymous, Design Ekspert, [www, stat-ease,
com] 15 November 2009

DAFTAR REFERENSI
[1] Herman S, Masalah Kurang Vitamin A (KVA)
dan Prospek Penanggulangannya, Di
dalam Media Penelitian dan pengembangan
kesehat an, 2006; Vol, XVIII No, 4/2007
[2] Almatsier S, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, 2005;
Gramedia Pustaka. Jakarta.
[3] Krisnatuti D &
R Yenrina, Menyiapkan
Makanan Pendamping ASI, Puspa Swara,
Jakarta 2006,
[4] Astawan M, Labu kuning penawar racun dan
cacing pita yang kaya antioksidan, 2004,
www,gizi,net [4 Juli 2009]
[5] Pongjanta J, A Naulbunrang, S Kawngdang, T
Manon, T Thepjaikat, Utilization of
pumpkin powder in bakery products,
Journal Sci Techno, 2006; 28:71-79

186

[11] Giovani M, Response surface methodology and


product
optimation,
IFT
Sensory
Evaluation
Division Program, Aproaches to Product
Optimization through Sensory Evaluation
43rd Annual Meeting of Institut of Food
Technologists, New Orleans, LA, 1983,1922 Juni
[12] Adeomowaye BIO, Akinwande BA, Bolarinwa
IF, Adebiyi AO, Evaluation of tigernut
(Cyperus esculentus)-wheat composit flour
and bread,
African Journal of Food
Science, 2008, 2: 087-091
[13] Mahmud MK, Hermana, NA Zulfianto, RR
Apriantono I, Ngadiarti, B Hartati,
Bernadus, Tinexcelly, Tabel Komposisi
Pangan
Indonesia,
Elex
Media
Komputindo Jakarta, 2009
[14] Sulaeman A, Laurie K, Steve LT, David WG,
Judy AD, Effect of Moisture Content of
Carrot Slices on the Fat Content, Carote
noids Content and Sensory Characte ristics
of Deep-fried Carrot Chip, Journal of Food
Science 2004; 69 (6)
[15] Winarno FG, Gizi Makanan Bagi Bayi dan
Anak Sapihan,Pustaka Sinar Harapan
Jakarta. 1995

[24]

[25]
[26]

[27]

value of foods, Journal of food composition


and analysis 2004; 17: 331-338
Chonthira S, Z. R.Gutirrez, E. Berghofer and
R. Schoenlechner. Effect of green plantain
flour addition to gluten-free bread on
functional bread properties and resistant
starch content, International Journal of
Food Science & Technology. 2014; 49 (8) :
18251833.
Anonymous, Badan Standardisasi Nasional,
SNI 01-7111.4-2005, Jakarta 2005. BSN.
Rebecca L, J. Chu, S. Wang, R. Coorey, A.
James, Y. Zhao and S. Johnson. Determina
tion of formulation and processing factors
affecting slowly digestible starch, protein
digestibility and antioxidant capacity of
extruded sorghummaize composite flour,
International Journal of Food Science &
Technology. 2014; 49 (5):14081419
Ya-Fei L, S. Chaiwanichsiri and K. Laohasong
kram. Physicochemical properties of flour
recovered from broken rice noodles during
production, International Journal of Food
Science & Technology. 20144; 9 (7):1722
1728

Notulensi Diskusi:
PGO-214, Abu Bakar dkk, Mutu Tepung Komposit
Berbasis Labu Kuning untuk Makanan Pendamping
Asi (MPASI) Kaya -Karoten (SNI 01-7111.42005)

[16] Winarno FG, Kimia Pangan dan Gizi, M-Brio


Fress. 2008. Bogor
[17] Salunkhe DK, Kadam SS, Chavan JK, Post
harvest Biotechnology of Food Legume,
Boca Raton.1985, CRC Press
[18] Donangelo CM, Trugo LC, Trugo NMF,
Eggum BO, Effect of germinasi of legume
seed on cemical composition and energy
utilitation in rats, Journal Food Chem,
1995;53:23:27
[19] See EF, Wan NWA, Noer AAA, Phycochemical and sensory evaluation of bread
suplemented with pumpkin flour, ASEAN
Food Journal. 2007; 14(2): 123-130
[20] Prabhavat S, D Hengsawadi, T Lohana, Produc
tion os snacks from composite flour of
fulfat soy flour addition of nata de coco,
Journal
Food
Science
and
Technology,1999; 27: 715-719
[21] Daramola B & Osanyinlusi S, Production,
charac terization and aplication of banana
(Musa spp) flour in whole mize, African
Journal of Biotechnology 2006; 5(10): 992995
[22] Mubarak AE, Nutritional composition and anti
nutritional factor of mungbean seeds
(Phase olus aureus) as affected by some
home traditional proces, Food Chemistry
2005; 89: 489-495
[23] Menezes EW, AT de Melo, GH Lima, dan FM
Lajolo, Meansurement of carbohydrat
componen and their impact on energy

187

Tanya: Proses pada labu kuning dengan enzim


dan kacang hijau dengan perendaman, kenapa
prosesnya tidak sama-sama dengan enzim,
apakah proses tersebutadalah cara yang paling
efektif? (Dimas Rahardian A.M.)
Jawab: Harapan kami menggunakan metode
yang lebih murah yaitu perendaman. Untuk saat
ini metodenya seperti yang kami jelaskan.

Tanya: Hasil uji -karoten Bapak sangat tinggi,


sedangkan -karoten yang tinggi tidak baik
untuk bayi. Apakah dalam penelitian ini sudah
dilakukan uji panelis?
Jawab: Belum dilakukan uji panelis, dimana
panelis harus bayi. Dimana ada kekhawatiran
dengan efek yang akan terjadi.

Karakteristik Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Organoleptik


Beras Analog dengan Fortifikasi Tepung Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis. L)
Indah Rodianawati1, M. Assagaf2, H. Rasulu1, E. R.M Saleh1, Marliani3
1

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Khairun.


Jl. Kampus II UNKHAIR, Kel. Gambesi Kec Ternate Selatan, Maluku Utara
Email: rodiana79@gmail.com
2
BPPTP Maluku Utara. 3BALITBANGDA Maluku Utara.
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat fisiko-kimia dan sifat organoleptik beras
analog dengan fortifikasi tepung ikan cakalang. Tahapan pada penelitian meliputi: Optimasi proses ekstrusi
dengan metode RSM (Response Surface Methodology) dengan pendekatan desain CCD (Central Composite
Design) dengan 2 faktor yaitu kadar air dan persentase tepung ikan cakalang. Analisis yang dilakukan meliputi
sifat fisik, kimia dan uji organoleptik penerimaan panelis terhadap beras analog. Hasil sifat kimia beras analog
yang diperoleh adalah Kadar air berkisar antara 5.64-8.77%, abu 0.32-0.88%, protein 2.86-7.8%, lemak total
0.13-0.27 %, serat kasar 5.6-7.79%, karbohidrat 76.85-84.01%, gula total 0.27-0.42%, energi 325.58 337.67
kkal/100g, amilum (pati) 72.13-76.96%, amilosa 19.21-26.69%. Nilai organoleptik beras analog adalah aroma
(2.80-3.40); bentuk (2.53-3.60); warna (2.07-3.67) dan tekstur (3.20-4.13). Dari kombinasi perlakuan kadar air
dan tepung ikan cakalang dengan metode RSM (Response Surface Methodology) dan CCD (central composite
design) nilai organoleptik formula 1 (S) dapat ditingkatkan menjadi lebih disukai (skala 4-5) dengan
memberikan perlakuan kadar air 54.14 % dan tepung ikan 2.17%, sedangkan untuk formula 2 (A) dengan
perlakuan kadar air 54.14% dan tepung ikan 7.83 %. Beras analog yang dihasilkan mempunyai Fbreak sebesar
40,365 N dan warna beras analog yang dihasilkan putih kecoklatan.
Kata kunci: beras analog, fortifikasi, ikan cakalang, sifat organoleptik

Abstract - This study aims to determine the characteristics of the physico-chemical properties and
organoleptic properties of rice analog fortification is to the tuna flour. Stages in the research include:
Optimization of extrusion process by the method of RSM (Response Surface Methodology) approach
to the design of the CCD (Central Composite Design) with two factors: water content and the
percentage of tuna flour. Analysis was conducted on the physical, chemical and organoleptic
acceptance panelist on rice analog. The results of the chemical properties of rice obtained is
analogous water content ranged from 5.64-8.77%, 0.32-0.88% ash, 2.86-7.8% protein, total fat 0.130.27%, crude fiber 5.6-7.79%, 76.85-84.01% carbohydrate, sugar 0:27 to 0:42% total energy 325.58 337.67 kcal / 100 g, starch (starch) 72.13-76.96%, 19.21-26.69% amylose. Organoleptic value is the
analog rice aroma (2.80-3.40); form (2.53-3.60); color (2.07-3.67) and texture (3:20-4:13). Of
combined treatment of water content and starch tuna with methods RSM (Response Surface
Methodology) and CCD (central composite design) organoleptic value formula 1 (S) can be upgraded
to preferred (scale 4-5) to give the treatment the water content of 54.14% and 2:17% fish meal, while
the formula 2 (A) with a treated water content of 54.14% and 7.83% fish meal. Rice has Fbreak
analog produced by 40.365 N and the resulting analog rice color white browned.
Keywords: analog rice, fortification, tuna, organoleptic properties
upaya promosi kepada
masyarakat untuk
mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah
utama diversifikasi pangan di Indonesia terutama
diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan
masyarakat terhadap beras. Ketergantungan terhadap
beras menjadi masalah disebabkan oleh tingkat
konsumsi beras yang sangat tinggi namun tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi padi.
Meskipun masyarakat di beberapa daerah di
Indonesia masih ada yang mengonsumsi jagung atau

1. PENDAHULUAN
Diversifikasi
pangan
adalah
upaya
penganekaragaman
pola
konsumsi
pangan
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi
makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan
meningkatkan status gizi penduduk. Program
diversifikasi pangan meliputi kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta
188

sagu, konsumsi rata-rata beras masyarakat Indonesia


masih mencapai angka 120.02 kg per kapita per
tahun pada tahun 2007 [1]. Produktivitas padi
Indonesia saat ini mencapai 57,16 juta ton dan 4,71
ton per hektar. Konsumsi beras di Indonesia
mencapai 139 kg/orang/tahun, sehingga Indonesia
merupakan konsumen beras terbesar di kawasan
Asia Tenggara. Meskipun produksi beras saat ini
cukup banyak, namun dikhawatirkan tidak dapat
memenuhi kebutuhan beras nasional, hal ini
berkaitan dengan adanya laju pertumbuhan
penduduk yang semakin tinggi, berkurangnya lahan
produksi serta pola konsumsi masyarakat yang
memiliki ketergantungan terhadap beras. Oleh
karena itu untuk mendukung ketahanan pangan perlu
dilakukan diversifikasi jenis makanan pokok.
Di lain pihak Indonesia kaya akan produk
sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong,
sorgum, sagu, aren dan umbi-umbian lainnya.
Bahan-bahan tersebut sudah digunakan sebagai
bahan pangan, namun masih belum bisa
menggantikan beras sebagai makanan pokok.
Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai
bahan makanan pokok disebabkan masyarakat
merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian
yang belum bervariasi sehingga lebih memilih
produk berbasis gandum sebagai pengganti beras.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi untuk
mengolah bahan-bahan karbohidrat lokal seperti
singkong, sagu, aren, dan jagung menjadi bentuk
yang menyerupai beras yang dapat diolah dan
dikonsumsi seperti nasi.
Salah satu produk olahan sumber karbohidrat
non padi yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah
beras tiruan dan beras analog. Beras tiruan adalah
beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan
karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang
terbuat dari tepung lokal atau tepung beras [2,3].
Beras analog adalah beras tiruan yang hanya terbuat
dari tepung lokal non-beras [4]. Hingga saat ini
teknologi pembuatan beras analog antara lain
metode pembutiran atau granulasi [3, 5, 6] dan
metode ekstrusi [7, 8, 9]. Perbedaan metode tersebut
menyebabkan perbedaan bentuk akhir produk. Pada
pembuatan beras analog menggunakan metode
pembutiran beras akan memiliki bentuk bulat seperti
sagu mutiara, namun pada metode ekstrusi bentuk
produk adalah lonjong dan hampir menyerupai butir
beras. Kelebihan lain penggunaan teknologi ekstrusi
adalah kapasitas produksi alat ekstruder yang tinggi
sehingga dapat memperoduksi produk secara masal.
Indonesia mempunyai areal sagu terbesar di
dunia, yaitu sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari
2,201 juta ha areal sagu dunia. Areal sagu di sekitar
1,128 juta ha, dan 90% dari jumlah tersebut atau
1.015 juta ha berkembang di Provinsi Papua,
Maluku dan Maluku Utara [10]. Maluku Utara selain
dikenal sebagai daerah penghasil sagu juga
merupakan daerah penghasil ikan cakalang dan aren.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan

Perkebunan Provinsi Maluku Utara luas tanaman


aren di Maluku Utara sebesar 1689 ha dengan
produksi 1.018 ton per tahun dan berdasarkan data
dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku
Utara, produksi ikan cakalang pada tahun 2009
sebesar 447.151 ton per tahun. Tingginya nilai
karbohidrat dan rendahnya nilai protein serta
mineral dari beras analog ini, menjadikan perlunya
usaha meningkatkan nilai gizi yang terkandung di
dalamnya.
Salah
satu
alternative
untuk
meningkatkan nilai gizi beras analog adalah dengan
fortifikasi tepung ikan cakalang yang merupakan
hasil perikanan unggulan di Maluku Utara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui karakteristik sifat
fisiko-kimia dan sifat organoleptik beras analog
dengan fortifikasi tepung ikan cakalang
2.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas bahan untuk pembuatan beras analog dan
bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan beras
terdiri dari tepung sagu, tepung aren, tepung mocaf,
tepung jagung, air dan GMS (Gliserol Monostearat).
Bahan untuk analisis terdiri dari beras analog dan
bahan untuk analisis kimia.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas alat-alat untuk pembuatan beras analog
dan alat-alat untuk analisis. Alat-alat yang
digunakan untuk pembuatan beras analog adalah
ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256), mixer,
oven dryer, baskom, baki, sendok, timbangan,
neraca analitik, saringan, disc mill, plastik, dan rice
cooker, serta alat-alat untuk analisis fisik dan kimia
B. Tahapan Penelitian
Proses pembuatan beras analog
Formula beras analog yang digunakan adalah
formula 1 (S) dan formula 2 (A). Formula 1 terdiri
dari tepung komposit (mocaf dan tepung Jagung)
75 % dan tepung sagu 25%. Formula 2 terdiri dari
tepung komposit dan tepung aren 25%. Faktor
perlakuan yang digunakan ada dua yaitu: faktor
persentase kadar air dan faktor persentasi tepung
ikan cakalang yang ditambahkan (Tabel 1).
Tabel 1. Kombinasi nilai taraf variabel menggunakan
RSM metode CCD
Run
Kadar Air (%)
Tepung ikan (%)
1
30
3
2
50
3
3
30
7
4
50
7
5
25.858
5
6
54.142
5
7
40
2.172
8
40
7,828
9
40
5
10
40
5

189

C. Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan
Ms.Excel dan dianalisis optimasi menggunakan
software minitab 16 untuk menentukan formula
yang memberikan respon optimal. Selain itu, untuk
menentukan perlakuan yang memberikan sifat kimia
terbaik dianalisa dengan metode Multiple Attribute
(Multiple Criteria Decession Making).

Pembuatan Beras Analog


Pembuatan beras analog menggunakan
teknologi ekstrusi. Tahap awal adalah penimbangan
bahan-bahan sesuai formulasi. Setelah itu bahanbahan kering meliputi tepung
dan GMS
dicampurkan dengan mixer selama 10 menit.
Kemudian air ditambahkan sedikit-demi sedikit
hingga adonan rata. Adonan tersebut disangrai
selama 10 menit dan tahap berikutnya adalah proses
ekstrusi menggunakan Twin Screw Extruder. Fungsi
ekstruder
meliputi
gelatinisasi,
pemotongan
molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan,
dan pengeringan. Dari hasil penelitian pendahuluan
proses ekstrusi yang dilakukan dalam pembuatan
beras analog ini adalah dengan hot Extrusion
menggunakan suhu 73oC. Produk hasil ekstrusi
kemusian dikeringkan dalam oven dryer pada suhu
60oC selama 4 jam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendemen dan Sifat Fisik Beras Analog
Rendemen beras yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh proses ekstruksi menggunakan
twin ekstruder. Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa
rendemen beras analog yang dihasilkan tidak terlalu
besar, hal ini dikarenakan alat ekstruder yang
digunakan mempunyai kapasitas yang besar (20 kg)
sehingga ketika digunakan pada kapasitas 2 kg
banyak bahan yang masih tersisa atau melekat di
alat dan tidak tercetak karena tidak ada dorongan
bahan pada bagian screw ekstruder saat bahan habis
tercetak. Hasil rendemen yang rendah dapat
diminimalkan dengan memasukkan bahan dengan
kapasitas maksimal atau memasukkan bahan secara
continue sehingga dorongan bahan dibagian screw
ekstruder tetap ada, dengan demikian beras analog
yang tercetak akan lebih banyak dan bahan yang
melekat di alat dapat dikurangi.

Analisa Sifat Fisik, Kimia dan Sifat Organoleptik


Beras analog yang dihasilkan dianalisa
komposisi kimianya yaitu: proximat [11], kadar pati
[12], amilosa, serat kasar, dan kalori. Sifat fisik
beras yang diamati yaitu densitas, bobot per butir
dan daya rehidrasi [13]. Sifat organoleptik (tekstur,
aroma, warna, dan bentuk) untuk beras analog.
Penilaian sifat organoleptik dilakukan oleh 25
panelis tidak terlatih dengan menggunakan uji
tingkat kesukaan (uji hedonik) dari skala 1 sampai 5.

Tabel 2. Sifat fisik beras analog formula 1 (S) dan formula 2 (A)

Kode
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
Beras

FORMULA 1 (S)
Berat
Daya
Densitas
perbutir Rehidrasi
(g/ml)
(g)
(%)
0,588
0,02
276
0,612
0,018
245
0,819
0,031
226
0,62
0,017
233
0,587
0,017
261
0,575
0,016
243
0,58
0,023
212
0,622
0,029
211
0,612
0,017
220
0,61
0,021
213
0,844
0,02
208

RenDemen
(%)
63,72
56,6
63,5
58,63
71,6
62,18
65,52
69,2
70
63,83

Kode
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
Beras

Nilai densitas kamba dan rata-rata berat per butir


beras analog pada Tabel 2 menunjukkan bahwa beras
analog yang mempunyai densitas kamba yang besar
maka berat perbutirnya juga meningkat. Berat per
butir dihitung dari berat 1000 butir yang dirataratakan. Hasil analisis bobot per butir beras analog
yang dihasilkan hampir sama dengan beras. Hal ini
disebabkan karena bobot per butir beras analog dapat
dipengaruhi oleh proses pencetakkan beras analog
menggunakan ekstruder. Parameter proses yang
paling berpengaruh adalah kecepatan screw dan
kecepatan cutter. Kombinasi kedua parameter
190

FORMULA 2 (A)
berat
Daya
densitas
perbutir Rehidrasi
(g/ml)
(g)
(%)
0,597
0,016
234
0,644
0,019
254
0,625
0,018
233
0,536
0,027
245
0,597
0,023
237
0,637
0,022
239
0,639
0,02
223
0,658
0,019
208
0,59
0,021
220
0,591
0,018
206
0,844
0,02
208

RenDemen
(%)
66,05
59,35
66,9
59,78
66,6
61,86
61,65
57,7
75,48
73,34

tersebut dapat menentukan bentuk beras analog. Jika


kecepatan dikurangi maka ukuran beras analog
menjadi besar dan begitu pula sebaliknya. Analisis
bobot per butir beras analog berkaitan dengan analisis
densitas kamba untuk mengetahui volume dan
porositas beras. Dibandingkan dengan densitas
kamba beras (0.844 g/ml) beras analog yang
dihasilkan memiliki densitas yang lebih rendah.
Sehingga dapat disimpulkan beras analog memiliki
berat yang lebih kecil dibandingkan beras padi yang
disosoh pada volume yang sama. Densitas kamba
beras analog yang rendah juga menunjukkan beras

analog memiliki porositas yang tinggi. Semakin kecil


densitas kamba maka produk tersebut makin porous.
Porositas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh
kandungan gizi beras analog maupun proses
pembuatan yang meliputi pengeringan. Pengeringan
dapat membuat beras analog kehilangan air dan
matriks beras analog menjadi lebih poros. Hasil
analisis densitas kamba dapat juga mengetahui
volume beras untuk mendapatkan 1 kg beras. Jika
densitas kamba beras adalah 0.65g/ml maka untuk
mendapatkan 1 kg beras adalah dengan mengukur
1538.46 ml atau sekitar 1.5 liter.
Nilai daya rehidrasi menunjukkan daya serap air
oleh beras analog. Daya rehidrasi ditunjukkan juga
oleh
nilai
pengembangan
volume
nasi.
Pengembangan volume nasi adalah mengembangkan
volume beras menjadi nasi selama pemasakan.
Pengembangan ini akan menyebabkan permukaan
butir beras retak. Semakin tinggi kadar amilosanya,
daya serap airnya pun akan semakin tinggi sehingga
pengembangan volume dari beras yang dimasak akan
tinggi juga [14]. Daya serap air adalah jumlah air
yang terperangkap di dalam matriks molekul pada
kondisi tertentu. Pengukuran indeks penyerapan air
menunjukkan seberapa besar kemampuan suatu
bahan makanan dalam menyerap air. Faktor- faktor
yang mempengaruhi daya rehidrasi suatu bahan
adalah sifat partikel bahan atau porositas bahan serta
komposisinya. Hal ini berhubungan dengan suhu dan
lama pengeringan. Semakin lama pengeringan pada

Perlakuan
S1
S2
S3
S4
Formula 1
S5
(S)
S6
S7
S8
S9
S10
A1
A2
A3
A4
Formula 2
A5
(A)
A6
A7
A8
A9
A10
Beras sosoh
(Kusumaningrum,2009;
Rohmah, 1997,
Wulan et al., 2007)

Kadar
Air (%)

suatu produk maka kadar air akan semakin menurun


dan lebih porous. Produk yang lebih porous akan
lebih cepat terhidrasi. Produk beras analog yang
porus ditunjukkan oleh berat perbutir yang rendah
atau ringan.
Cooking time merupakan waktu yang digunakan
untuk memasak beras hingga didapatkan beras yang
matang sempurna. Cooking time dalam penelitian
beras analog ini adalah 6,57 menit yang didapatkan
dari penanakan beras dengan perbandingan 1 bagian
air dan 2 bagian air, pada penelitian ini dilakukan 100
gram penanakan beras analog. Parameter mutu
cooking time pada produk beras analog sangat
dipengaruhi oleh tingkat gelatinisasi bahan yang
digunakan. Semakin tinggi tingkat gelatinisasinya
maka nilai cooking time beras analog akan semakin
besar. Temperatur gelanitinisasi pati sangat tergantung
pada sumber bahan baku pembuat pati. Tingkat
pengembangan dan penyerapan air tergantung pada
kandungan amilosa [15]. Makin tinggi kandungan
amilosa, kemampuan pati untuk menyerap air dan
mengembang menjadi lebih besar karena amilosa
mempunyai kemampuan membentuk ikatan hidrogen
yang lebih besar daripada amilopektin.
Uji kekerasan (hardness) beras analog yang
dihasilkan diukur menggunakan texture analyzer.
Beras analog yang dihasilkan mempunyai Fbreak
sebesar 40,365 N dan Fmax sebesar 44,364 N. Warna
beras analog yang dihasilkan putih kecoklatan.

Tabel 3. Sifat kimia beras analog.


Lemak Serat
Abu Protein
Karbohidrat
Total Kasar
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)

5,97
7,64
8,05
7,21
5,64
7,9
7,08
8,73
8,4
7,94
6,91
8,77
7,85
8,33
6,39
7,82
7,45
7,53
7,98
7,76

0,73
0,56
0,51
0,54
0,57
0,63
0,42
0,32
0,45
0,44
0,88
0,87
0,52
0,34
0,69
0,55
0,64
0,73
0,43
0,74

2,86
4,51
7,47
6,9
5,83
6,06
3,92
7,01
6,47
5,85
4,67
3,92
7,8
7,42
6,32
6,11
3,84
7,03
6,44
6,32

0,22
0,26
0,15
0,19
0,25
0,15
0,15
0,15
0,24
0,13
0,22
0,13
0,15
0,15
0,27
0,14
0,14
0,19
0,14
0,26

6,21
6,11
5,85
5,61
7,14
5,84
6,32
5,6
7,6
6,17
7,32
6,4
5,75
6,43
6,52
6,79
7,79
7,67
6,66
6,68

84,01
80,93
77,98
79,55
80,58
79,42
82,11
78,2
76,85
79,47
79,99
79,91
77,95
77,34
79,81
78,59
80,14
76,85
78,35
78,25

12,75
14,52

0,23
0,37

7,1
8,3

0,35
0,39

3,29
3,49

74,9
77,8

191

Energi
(kkal/ 100 g)

(pati)
(%)

Amilosa
(%)

337,67
333,19
333,44
337,47
337,33
333,02
334,23
332,3
325,65
332,12
329,95
325,58
334,71
330,79
336,71
329,94
326,18
327,63
330,38
330,58

76,96
73,27
72,13
73,13
73,6
73,83
74,6
72,67
72,15
73,28
76,16
74,22
72,76
73,2
76,17
72,88
76,21
72,51
73,83
74,69

20,11
28,08
25,1
27,94
28,1
29,69
28,4
28,6
28,13
26,27
23,51
28,12
25,8
23,1
19,21
26,42
29,29
28,09
27,11
24,57

68,18

20-25

Sifat Kimia Beras Analog


Sifat kimia beras analog yang dihasilkan seperti
terlihat pada Tabel 3. Kadar air berkisar antara 5.648.77%, abu 0.32-0.88%, protein 2.86-7.8%, lemak
total 0.13-0.27 %, serat kasar 5.6-7.79%, karbohidrat
76.85-84.01%, gula total 0.27-0.42%, energi 325.58337.67 kkal/100g, amilum (pati) 72.13-76.96%, dan
amilosa 19.21-26.69%.
Formula beras analog yang memiliki kandungan
karbohidrat sama dengan beras sosoh adalah A4 dan
S9. Formula (perlakuan) lainnya memiliki kandungan
karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan beras
sosoh. Banyaknya bahan baku pembuatan beras
analog yang merupakan sumber karbohidrat,
menyebabkan tingginya kandungan karbohidrat ini.
Oleh karena itu beras analog ini dapat dijadikan
sumber karbohidrat selain beras. Kandungan gula total
dan energi yang terkandung dalam beras analog ini
cukup tinggi. Hal ini berkorelasi dengan kandungan
karbohidratnya yang juga tinggi.

Beras Analog
Nasi Beras Analog
Gambar 1. Gambar beras analog dan nasi beras analog

tidak dapat menjadi satu-satunya parameter yang


dapat menggambarkan indeks glikemik beras karena
masih memunginkan faktor lain seperti serat pangan,
pati resisten dan ikatan kompleks amilosa dengan
komponen lain yang dapat mempengaruhi indeks
glikemik beras. Kadar amilosa dan amilopektin juga
sangatberperan pada saat proses gelatinisasi,
retrogradasi dan lebih menentukan karakteristik pasta
pati [15]. Pati yang berkadar amilosa tinggi
mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar
karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula,
sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk
gelatinisasi [18].
Secara umum perlakuan yang diberikan
(penambahan ikan cakalang) membuat beras analog
ini memiliki kadar air yang lebih rendah, kadar abu
yang lebih tinggi, kadar protein yang lebih rendah,
kadar lemak yang lebih rendah, kadar serat total lebih
tinggi, karbohidrat yang lebih tinggi, kadar serat yang
lebih tinggi, kadar amilosa yang lebih tinggi dan kadar
amilopektin yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan beras sosoh.
Berdasarkan hasil analisa multiple atribute, beras
analog yang memiliki sifat kimia terbaik adalah beras
analog dengan formula A4. Beras ini adalah beras
dengan perlakuan penambahan kadar air 50% dan
tepung ikan 7%.
Sifat Organileptik Beras Analog
Analisa sifat organoleptik sangat penting bagi
setiap produk karena berkaitan erat dengan
penerimaan konsumen. Untuk mengetahui tingkat
penerimaan panelis terhadap produk beras analog
dengan fortifikasi tepung ikan cakalang maka
dilakukan uji kesukaan terhadap produk beras analog
dengan menggunakan skala 1 (tidak suka), 2 (kurang
suka), 3 (netral/suka), 4 (lebih suka) dan 5 (sangat
suka). Uji organoleptik ini melibatkan 25 orang
panelis tidak terlatih. Parameter yang dinilai dalam
pengujian ini meliputi kesukaan terhadap aroma,
bentuk, warna, dan tekstur pada beras analog. Dari
pengujian organoleptik akan diketahui beras mana
yang lebih disukai dari beberapa perlakuan.
Hasil uji organoleptik beras analog disajikan
pada Tabel 4. Beras analog yang difortifikasi tepung
ikan cakalang mempunyai aroma yang khas (ikan).
Rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma beras
analog adalah berkisar antara 2,80 sampai 3,40 pada
formula 1 (S) dan 2,73 sampai 3,27 pada formula 2
(A). Bentuk beras yang dihasilkan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata kesukaan
panelis terhadap bentuk beras analog adalah berkisar
antara 2,53 sampai 3,73 pada formula 1 (S) dan 2,67
sampai 3,87 pada formula 2 (A). Warna bukan
merupakan suatu zat, melainkan sensasi sensoris
karena adanya rangsangan dari seberkas energi radiasi
yang jatuh ke indra penglihatan [19]. Secara visual
faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang
sangat menentukan [20]. Kesukaan panelis terhadap
warna beras analog adalah berkisar antara 2,07 sampai

Hasil analisa kandungan amilum (pati)


menunjukkan beras analog pada kedua formula
memiliki kandungan amilum yang jauh lebih tinggi
dari beras sosoh.
Kadar pati yang tinggi ini
berkorelasi dengan kandungan karbohidrat dari beras
analog yang juga lebih tinggi dari beras sosoh.
Amilosa adalah senyawa polimer glukosa yang
memiliki rantai lurus dan tidak bercabang. Analisis
kadar amilosa pada beras biasanya bertujuan untuk
mengetahui hubungannya dengan kepulenan nasi
beras tersebut. Oleh sebab itu, pengukuran kadar
amilosa dijadikan salah satu parameter karakterisasi
beras varietas baru. Kadar amilosa beras analog kedua
formula, umumnya tinggi (>25%).
Beras analog
dengan amilosa yang tinggi (25-33%) menunjukkan
bahwa beras tersebut termasuk beras pera. Hanya
terdapat 4 formula (A1, A4, A10 dan S1) yang
memiliki amilosa sedang antara 20-25% yang
menunjukkan bahwa beras tersebut agak pulen. Dan 1
formula (A5) yang memiliki amilosa rendah (9-20%)
yang menunjukkan bahwa beras tersebut pulen. Kadar
amilosa berbanding terbalik dengan kadar amilopektin,
sehingga terlihat beras analog yang memiliki amilosa
rendah cenderung memiliki kadar amilopektin yang
tinggi. Kadar amilosa memiliki korelasi yang cukup
tinggi dengan indeks glikemik [17] . Semakin tinggi
kadar amilosa beras maka indeks glikemiknya
semakin rendah. hal tersebut disebabkan amilosa
merupakan senyawa polimer yang tidak memiliki
cabang sehingga ikatannya menjadi sangat kuat
sehingga lebih sulit dicerna. Namun, kadar amilosa
192

3,67 pada formula 1 (S) dan 2,27 sampai 3,87 pada


formula 2 (A). Pada umumnya penilaian panelis
bersifat antara kurang suka dan suka pada warna beras
analog formula 1 dan 2. Dari hasil optimasi dengan
program minitab 16 menunjukan nilai kesukaan
terhadap aroma, bentuk dan warna pada formula 1
dapat ditingkatkan menjadi lebih disukai dengan
memberikan perlakuan kadar air 54,1421% dan tepung
ikan 2,17157%, sedangkan untuk formula 2 dengan
memberikan perlakuan kadar air 54,1421% dan tepung

Perlakuan
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10

ikan 7,82843%. kesukaan panelis terhadap tekstur


beras analog adalah berkisar antara 3,20 sampai 3,93
pada formula 1 (S) dan 3,40 sampai 4,13 pada formula
2 (A). Dari hasil optimasi dengan program minitab 16
menunjukan nilai kesukaan terhadap tekstur pada
formula 1 dapat ditingkatkan menjadi lebih disukai
dengan memberikan perlakuan kadar air 54,1421%
dan tepung ikan 2,17157%, sedangkan untuk formula
2 dengan perlakuan kadar air 30 (%) dan tepung ikan
6,02307%.

Tabel 4. Sifat Organoleptik beras analog formula 1 (S) dan formula 2 (A)
FORMULA 1 (S)
FORMULA 2 (A)
Aroma
Bentuk
Warna
Tesktur
Perlakuan
Aroma
Bentuk
Warna
2,80
3,53
3,40
3,60
3,07
3,00
2,53
A1
3,07
3,33
3,13
3,73
2,93
3,00
2,40
A2
2,80
2,53
2,07
3,93
3,00
2,87
2,33
A3
3,40
3,60
3,13
3,80
3,13
3,73
3,07
A4
3,13
3,73
3,67
3,20
3,13
2,87
3,20
A5
3,20
3,27
3,20
3,40
2,93
3,67
3,33
A6
3,33
3,13
3,47
3,87
3,00
2,67
2,27
A7
3,07
3,20
3,33
3,67
3,27
3,87
3,87
A8
3,27
3,40
3,60
3,80
2,87
3,87
3,87
A9
3,07
2,73
3,33
3,73
2,73
3,20
3,60
A10

Tesktur
3,87
3,40
3,93
3,73
4,13
3,60
3,47
3,80
3,80
3,93

4. KESIMPULAN

DAFTAR REFERENSI

Dari Hasil Penelitian ini diperoleh kesimpulan


bahwa formulasi dasar beras analog terbuat dari
tepung komposit (tepung mocaf dan tepung jagung)
75% dan tepung sagu 25% (S) atau tepung aren 25%
(A) yang diekstruder dengan kondisi hot ekstrusion
yaitu suhu 73C, kecepatan auger 35 Hz, Kecepatan
screw 45 Hz dan kecepatan cutter 20 Hz. Pemberian
perlakuan membuat beras analog yang dihasilkan
memiliki kadar air, kadar protein, kadar lemak yang
lebih rendah, sedangkan kadar abu, kadar serat total,
karbohidrat, kadar serat, dan kadar amilosa yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan beras sosoh. Nilai
organoleptik dari beras analog yang diperoleh adalah:
aroma (2,80-3,40); bentuk (2,53-3,60); warna (2,073,67) dan tekstur (3,20-4,13), Dari kombinasi
perlakuan kadar air dan tepung ikan cakalang dengan
metode RSM (Response Surface Methodology) dan
CCD (central composite design) nilai organoleptik
dapat ditingkatkan menjadi lebih disukai (skala 4-5),
untuk formula 1 dengan memberikan perlakuan kadar
air 54,1421% dan tepung ikan 2,17157%, sedangkan
untuk formula 2 dengan perlakuan kadar air 30 (%)
dan tepung ikan 6,02307%.

[1] Martianto D, Briawan D, Ariani M, dan Yulianis


M. 2009. Percepatan Diversifikasi Konsumsi
Pangan Berbasis Pangan Lokal : Perspektif
Pejabat Daerah dan Strategi Pencapaiannya.
Jurnal Gizi dan Pangan, Vol. 4 No. 3 :123-131
[2] [DEPTAN] Departemen Pertanian Republik
Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan
penganekaragaman konsumsi pangan 2011.
Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Deptan.
[3] Samad, MY. 2003. Pemuatan Beras Tiruan
(Artificial Rice) Dengan Bahan Baku Ubi Kayu
dan Sagu. J Saint dan Teknologi BPPT VII.IB.02
[4] Budijanto S, dkk. 2011. Pengembang rantai nilai
serelalia lokal (indegenous sereal) untuk
memperkokoh ketahanan pangan nasional.
[Laporan Program Riset Strategi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Peranian
Bogor
[5] Kurachi H. 1995. Process for Producing Artifical
Rice. USA. 5403606
[7] Mishra, A, Mishra, H.N., dan Rao, P.S. 2012.
Preparation of rice analogues using extrusion
technology. Internationan Journal of Food
Science and Technology.
[6] Yoshida, T., Sagara, T., Ojima, T., Takahashi,
R., dan Takahashi, M. 1971. Process For
Producing Artificial Rice. USA 3620762.
[8] Moretti, D., Lee, T.C., Zimmermann, M.B.,
Nuessli, J., dan Hurrell, R.F. 2005. Development
and evaluation of iron-fortified extruded rice
grains. Journal Food Science 2005: 70; 330-6
[9] Scella, R.P., Hegedus, E., Giacone, J., Bruins,
H.B., dan Benjamin, E.J. Extruded quick cooking
rice-like product. EP 0226375A1

Ucapan Terima Kasih


Penelitian
Pengembangan
KKP3N 2013,
Kegiatan No:
Pebruari 2013.

didanai oleh Badan Penelitian dan


Pertanian melalui kegiatan penelitian
sesuai surat perjanjian Pelaksanaan
789/LB.620/I.1/2/2013 tanggal 25

193

[10] Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa


hasil kajian dan teknologi yang diperlukan untuk
pengembangan sagu di Provinsi Papua. Prosiding
Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober
2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan
Palma Lain, Manado.
[11] [AOAC] Association of Official Analytical
Chemists. 2006. Official Methods of Analysis of
The Association of Officiial Agriculture Chemist
16th edition. Virginia. AOAC International.
[12] Sudarmaji, S, Bambang Haryono dan Suhardi.
1997. Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
[13] Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit
and
Vegetable
Products.
MCGraw-Hill
Publishing Company Limited. New Delhi.
[14] Mulyana. 1988. Pengaruh Varietas Beras,
Perlakuan Kimia dan Suhu Pengeringan Pada
Pembuatan Bubur Nasi Kering. Skripsi. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.
[15] Juliano, B.O., 1994. Criteria and Test for Rice
Grain Quality. In: Rice Chemistry and
Technology (B.O. Juliano, ed., 1994). American
Association of Cereal Chemists, St. Paul,
Minnesota
[16] Widowati S, Astawan M, Muchtadi D, and
Wresdiyati T. 2006. Hypoglycemic activity of
some Indonesian rice varieties and their
physicochemical properties. Indonesian Journal
of Agricultural Science 7(2); 57-66
[17] Jane, J., Y.Y. Chen, L.F. Lee, A.E. McPherson,
K.S. Wong, M. Radosavljevics, and T.
Kasemsuwan. 1999. Effect of amylopectin brain
chain length and amylose content on the
gelatinization and pasting properties of starch.
Cereal Chem.76(5): 629 637.
[18] Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and Their
Uses in Foods. Di dalam G.M.A. Van Beynum
and J.A. Rolls (eds). Food Carbohydrate. 1982.
AVI. Publ. Co. Inc. , Westport , Connecticut.
[19] Kartika, B. P. Hastuti, W. Supartono. 1988.
Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM
Press. Yogyakarta.
[20] Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Nutrisi.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Notulensi Diskusi:
PGO-215, Indah Rodianawati dkk, Karakteristik Sifat
Fisiko-Kimia dan Sifat Organoleptik Beras Analog
dengan
Fortifikasi
Tepung
Ikan
Cakalang
(Katsuwonus pelamis. L)

Tanya: Bagaimana prosentase tepung mocaf dan


jagung sebesar 75% pada tepung komposit? ( Sri
Anggrahini, UGM).
Jawab: Untuk komposisi tepung komposit
sebesar 75% menggunakan 45% tepung mocaf
dan 30% tepung jagung. Untuk beras analog di
tambah 25% tepung sagu.
194

Tanya: Pada penelitian awal belum disukai oleh


masyarakat, bentuknya bagaimana dan bagaimana
tindak lanjutnya? (Agnes Murdiati, UGM).
Jawab: Pada penelitian awal menggunakan
tepung sagu dari 35% bentuk beras analog yang
dihasilkan blending kemudian pemakaian tepung
sagu diturunkan menjadi 25%, bentuk yang
dihasilkan sudah menyerupai bentuk beras dan
tidak blendung dan diterima masyarakat.

Evaluasi Pengembangan Formula Flakes Dengan Menggunakan Tepung


Tempe Terhadap Kandungan Gizi dan Organoleptik
Yuniar Khasanah1, M. Kurniadi1, U. Laila1
1) UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(UPT BPPTK LIPI) Jl Yogyakarta Wonosari km 31,5 Desa Gading, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul,
D.I.Y. Telpon (0274) 392570/Fax (0274) 391168
Contact email: yuni008@lipi.go.id
Abstrak - Flakes merupakan makanan siap saji yang berbentuk lembaran tipis, berwarna kuning kecoklatan
serta biasanya dikonsumsi dengan penambahan susu sebagai menu sarapan maupun dikonsumsi secara
langsung seperti snack. Penggunaan flakes untuk sarapan makin digemari karena dinilai lebih praktis dan dapat
mensuplai kebutuhan gizi. Tempe sebagai produk pangan tradisional diketahui memiliki komponen gizi yang
lengkap serta beberapa sifat fungsional yang menguntungkan. Melihat sifat fungsional serta kandungan gizinya
maka pemanfaatan tempe dalam pengembangan berbagai produk pangan fungsional mulai banyak dilakukan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan tepung tempe sebagai substitusi tepung terigu dan
pengaruhnya terhadap kandungan gizi serta sifat organoleptik flakes. Desain penelitian yang digunakan yaitu
Rancangan Acak Lengkap menggunakan 3 substitusi tepung tempe. Perbandingan formula tepung terigu:
tepung tempe: tepung tapioka yang digunakan yaitu: F1 (= 50:30:20); F2 (60:20:20); F3 (70:10:20). Bahan
yang digunakan yaitu tepung terigu, tepung tempe, tepung tapioka, gula serta garam. Parameter yang diamati
pada flakes yang dihasilkan yaitu: (1) kandungan gizi: kadar air, kadar abu, protein, lemak serta karbohidrat;
(2) uji organoleptik menggunakan metode hedonik terhadap kesukaan panelis pada tekstur, aroma, warna,
rasa, dan kesukaan secara keseluruhan. Panelis yang dilibatkan sebanyak 20 orang. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa berdasarkan SNI 01-3842-1995, produk flakes tempe telah memenuhi persyaratan dalam
beberapa kriteria untuk kadar air dan protein yaitu pada formula F2, sedangkan formula F1 dan F3 masih
belum memenuhi. Berdasarkan hasil uji sensori flakes tempe, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna,
aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan secara keseluruhan berkisar antara netral hingga suka.
Kata Kunci: pengembangan produk, Flakes, tepung tempe, gizi, organoleptik
Abstract - Flakes are thin sheets, brownish yellow, and is usually consumed with the addition of milk as a
breakfast menu and consumed directly as a snack. Use of flakes for breakfast increasingly popular because it is
considered more practical and can supply nutritional needs. Tempe as traditionally food products known to have
a complete nutrition as well as some favorable functional properties. Seeing the functional properties and
nutritional content, the utilization of tempe in the development of functional food products began much done.
This study was conducted to determine the use of soybean flour as substitute for wheat flour and its effect on
nutrient content and organoleptic properties of flakes. The study used completely randomized design using 3
tempe flour substitution. The comparison of the formula using wheat flour: flour tempe: tapioca flour are: F1 (=
50:30:20); F2 (60:20:20); F3 (70:10:20). Materials used are wheat flour, soybean flour, tapioca flour, sugar
and salt. The parameters were observed are: (1) nutrient content: moisture, ash, protein, fat and carbohydrates;
(2) organoleptic using hedonic methods on the texture, aroma, color, flavor, and overall. Panelists were
involved 20 people. The results showed that based on SNI 01-3842-1995, soybean flakes product meets the
requirements of the criteria for moisture and protein that is the formula F2, F1 and F3 formula while still
fulfilling. Based on the results of sensory tests flakes tempe, the average score of the panelist's favorite color,
aroma, flavor, texture, and overall liking ranged from neutral to like.
Keywords: product development, Flakes, tempe flour, nutritional, organoleptic test

195

1.

tempe tersebut adalah dengan membuat flakes


tempe.
Pengembangan produk flakes tempe tidak
hanya bertujuan untuk meningkatkan nilai guna
tempe maupun sebagai penganekaragaman pangan
terutama untuk produk olahan tempe dan breakfast
cereal. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan tepung tempe sebagai
substitusi tepung terigu dan pengaruhnya terhadap
kandungan gizi serta sifat organoleptik flakes yang
dihasilkan.

PENDAHULUAN

Flakes merupakan makanan siap saji yang


berbentuk lembaran tipis, berwarna kuning
kecoklatan serta biasanya dikonsumsi dengan
penambahan susu sebagai menu sarapan maupun
dikonsumsi secara langsung seperti snack. Flakes
biasa dijadikan sebagai pengganti menu sarapan pagi
(breakfast cereals). Sebenarnya ada dua golongan
breakfast cereals, pertama breakfast cereals yang
memerlukan pemasakan sebelum disantap, dan yang
kedua adalah breakfast cereals yang dapat disantap
secara langsung dengan penambahan air atau susu.
Penggunaan flakes untuk sarapan makin
digemari karena dinilai lebih praktis dan dapat
mensuplai kebutuhan gizi. Sarapan sangat penting
peranannya dalam mensuplai kadar gula darah serta
zat gizi lain bagi tubuh di pagi hari sehingga dapat
meningkatkan produktivitas seseorang [1]. Oleh
karena itu, produk sarapan haruslah yang memiliki
kandungan gizi yang lengkap dan seimbang.
Penelitian tentang pengembangan produk flakes
sebagai alternatif produk sarapan telah banyak
dilakukan. Bahan utama yang digunakan juga
bermacam-macam seperti ubi jalar [2][3], talas
[4][5]. Untuk memperkaya kandungan gizi dalam
pembuatan flakes biasanya ditambahkan komponen
protein dari kacang-kacangan seperti tepung tempe,
tepung kacang hijau, tepung kecambah kedelai serta
protein dari sumber hewani seperti tepung ikan lele
[5][6].
Pemanfaatan tepung tempe sebagai bahan
dalam pembuatan flakes belum banyak dilakukan.
Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia
yang dikonsumsi oleh hampir semua lapisan
masyarakat. Konsumsi rata-rata harian tempe adalah
19,1 g/kapita/hari dengan rincian konsumsi
masyarakat perkotaan 21,3 g/kapita/hari dan
masyarakat pedesaan 17 g/kapita/hari pada tahun
2012 [7]. Tempe mengandung komponen-komponen
gizi yang tinggi, sehingga cocok apabila digunakan
sebagai bahan baku utama atau bahan tambahan
untuk produk sarapan pagi yang dituntut harus
memiliki kandungan gizi yang lengkap dan
seimbang. Tempe banyak mengandung protein dan
vitamin B12, bahkan tempe diketahui mengandung
senyawa antioksidan yang diidentifikasi sebagai
isoflavon, yakni daidzein, genistein, glisitein, dan
faktor-2 (6, 7, 4, trihidroksi isoflavon), serta 3hydroxyantranilic acid [8]. Tempe juga kaya akan
mineral serta mengandung folat yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh [9].
Tempe
pada
umumnya
mempunyai
keterbatasan dalam hal variasi pengolahan serta rasa
khas yang terkadang tidak disukai oleh sebagian
orang [8]. Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai
tambah secara ekonomis, peningkatan nilai gizi, dan
organoleptik konsumen terhadap produk tempe
dilakukan upaya diversifikasi dalam hal pengolahan
tempe. Salah satu alternatif diversifikasi pengolahan

2.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedelai lokal varietas
Anjasmoro yang diperoleh dari UPTD Balai
Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPPTPH), Gunungkidul. Bahan lain
yaitu Ragi tempe (Raprima) dari LIPI Bandung,
tepung terigu, tepung tapioka, gula (merk gulaku)
serta bahan-bahan kimia untuk analisis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Kimia UPT Balai Pengembangan Proses dan
Teknologi Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (UPT BPPTK LIPI) Yogyakarta. Waktu
pelaksanaan penelitian pada bulan Januari Februari
2014.
Penelitian ini menggunakan desain rancangan
acak lengkap dengan 3 perlakuan substitusi tepung
terigu dan 3 ulangan. Uraian perlakuan sebagai
berikut:
1.F1 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 50:30:20
2.F2 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 60:20:20
3.F3 : tepung terigu : tepung tempe : tepung
tapioka = 70:10:20
Formula flakes tempe secara lengkap disajikan dalm
tabel 1.
Tabel 1. Formula pembuatan flakes tempe
Perlakuan
F1
F2
F3
Bahan
Tepung terigu
50
60
70
Tepung tempe
30
20
10
Tepung tapioka
20
20
20
Garam
2
2
2
Gula
5
5
5
Air
50
50
50

Parameter yang diamati pada flakes yang


dihasilkan yaitu: (1) kandungan gizi yang meliputi
kadar air (metode thermogravimetri) [10], kadar abu
[10], lemak (metode soxhlet), protein (metode
micro-kjeldahl), karbohidrat secara by different (2)
penerimaan
produk
secara
organoleptik

196

menggunakan metode hedonik , skala 1 5 terhadap


kesukaan panelis pada warna, aroma, rasa, tekstur,
dan kesukaan secara keseluruhan. Panelis yang
dilibatkan sebanyak 20 orang [11].
Hasil
dalam
penelitian
ini
dianalisa
menggunakan analisis varian (Anava) dan perbedaan
antar perlakuan dianalisa menggunakan Duncan
Multiple Range Test (DMRT).

Kandungan protein teringgi diperoleh pada F1


dan mengalami penurunan sesuai dengan
penggunaan tepung tempe pada formula.
Berdasarkan uji DMRT menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0.05) pada masing-masing formula.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung
tempe memberikan kontribusi pada kandungan
protein, karena tepung tempe mengandung protein
53,82 % [9]. Kandungan protein pada F1 (19,22 %)
dan F2 (15, 91 %) memenuhi persyaratan untuk
kandungan protein sesuai SNI 01-3842-1995, yaitu
minimal 14% [13].
Kandungan lemak flakes tempe sebanding
dengan penggunaan tepung tempe dalam formula.
Hal ini diakibatkan oleh tingginya kandungan lemak
pada tepung tempe jika dibandingkan dengan tepung
terigu. Kandungan lemak pada tepung tempe yaitu
21,21 % [9]. Kandungan lemak tertingi pada F1
(6,35 %) diikuti F2 (3,77 %) dan F3 (2,43 %).
Berdasarkan uji DMRT
menunjukkan bahwa
masing-masing formula menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (p<0.05) .
Kadar karbohidrat pada flakes dihitung
dengan penentuan kadar karbohidrat menggunakan
metode by difference. Kadar karbohidrat flakes F3
yaitu 80,52 %, paling tinggi pada F2 (76,61 %) dan
F1 ( 67,81). Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa
kadar karbohidrat flakes masing-masing formula
kontrol berbeda nyata (p<0.05) .
Berdasarkan hasil uji organoleptik flakes
tempe, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap
warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan secara
keseluruhan berkisar antara netral sampai menuju
kepada suka. Berdasarkan hasil uji rangking hedonik
ternyata keempat formula yang disajikan memiliki
nilai yang hampir sama. Hasil uji organoleptik pada
20 orang panelis disajikan pada tabel 3.

Cara pembuatan Flakes


a. Persiapan bahan baku
Sebelum dilakukan pembuatan flakes tempe,
perlu dibuat terlebih dahulu tempe yang kemudian
akan diolah menjadi tepung tempe. Pembuatan
tempe menggunakan metode dua kali perendaman
dan dua kali pemasakan [12]. Tempe yang
dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut menjadi
tepung tempe.
b. Pembuatan
Mencampurkan tepung tapioka dan
tepung terigu, aduk hingga rata, Kemudian
garam dan gula dilarutkan dalam air hingga
seluruhnya terlarut sempurna. Selanjutnya
mencampurkan tepung tempe dengan campuran
tepung terigu dan tepung tapioka, aduk sampai
rata. Adonan dilakukan penipisan, dan
dilakukan pencetakan. Adonan yang telah
dicetak dan disusun dalam loyang di dalam
oven pada suhu 140OC hingga matang atau
berwarna kuning kecoklatan. Flakes yang
diperoleh kemudian dikemas.
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan gizi Flakes tempe yang


dihasilkan dari formula yang dibuat (Tabel 1) adalah
seperti ditampilkan pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Gizi Flakes tempe yang dihasilkan
Kode
Kadar
Kadar
Kadar
Kadar Kadar
Sampel
air
abu
protein
lemak Karbohidrat
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
F1
4.52b
2.11a
19.22c
6.35c
67.81a
F2
1.66a
2.05a
15.91b
3.77b
76.61b
F3
1.42a
3.00b
12.63a
2.43a
80.52c
Keterangan:Notasi pada kolom yang sama menunjukkan tidak
beda nyata

Kode
Sampel
F1
F2
F3

Tabel 3. Hasil penilaian kesukaan panelis


terhadap produk flakes
Penilaian
Kesukaan
Warna Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan
3.00a
3.25a
3.10a
3.05a
2.85a
3.55a

3.50a

3.10a

3.63b

3.25ab

3.25a

3.45a

3.50a

3.95b

3.65b

Keterangan:Notasi pada kolom yang sama menunjukkan tidak


beda nyata

Kadar air tertinggi diperoleh pada F1 yaitu 4,52 % ,


sedangkan untuk F2 dan F3 secara berturut- turut
1,66 % dan 1,42 %. Berdasarkan analisis DMRT
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)
antara F1 dengan F2 dan F3. berdasarkan SNI 013842-1995 tentang syarat mutu makanan pelengkap
serealia instan untuk bayi dan anak [13], formula F2
dan F3 sudah memenuhi persyaratan untuk kadar air
(maks 4 %). Hasil analisis kadar abu pada F3 (3,00
%) paling tinggi jka dibandingkan dengan F1(2,11
%) dan F2 (2,05 %). Berdasarkan uji DMRT
menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) pada
F3 dengan F1 dan F2.

Hasil pengujian pada parameter warna


menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0.05). Warna
dari keempat formula flakes tempe tidak berbeda
nyata satu sama lain, yaitu berada pada kisaran
warna putih kekuningan.
Berdasarkan Tabel 3, skor terhadap aroma
dan rasa dari ketiga formula flakes tempe yang
dihasilkan tidak berbeda nyata (p<0.05). Meskipun
demikian nilai skor yang diperoleh belum mencapai
taraf suka, yaitu masih berada di dalam taraf netral
atau biasa. Flakes tempe F1dengan komposisi

197

tepung tempe tertinggi memiliki nilai skor kesukaan


panelis terendah. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena aroma langu yang ditimbulkan dari tepung
tempe. Aroma langu pada tepung tempe diduga
akibat aktivitas enzim lipoksigenase yang secara
alami terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, untuk
mengurangi aroma langu pada tepung tempe, maka
sebelum dilakukan proses pengeringan, tempe yang
digunakan di-blanching terlebih dahulu pada suhu
100C selama 10 menit. Hal ini dilakukan untuk
menginaktivasi enzim lipoksigenase yang terdapat
dalam tempe.
Nilai kesukaan terhadap flakes tempe F2 dan
F3 tidak berbeda nyata, namun jika dibandingkan
dengan F1 berbeda myata (p<0.05). Kedua formula
flakes tempe tersebut
(F2 dan F3) memiliki
komposisi tepung terigu yang relatif banyak.
Kemampuan tepung terigu dalam menyerap air lebih
besar dibanding tepung tempe menyebabkan adonan
yang dihasilkan juga lebih lembek yang akhirnya
berpengaruh pada kerenyahan flakes tempe. Tekstur
juga dipengaruhi oleh kandungan pati dari tepung
tapioka. Pada saat proses pemanggangan, terjadi
proses gelatinisasi pati tepung tapioka. Proses
pemanggangan
yang
menggunakan
panas
menyebabkan air yang terdapat di dalam adonan
masuk ke dalam granula pati. Meresapnya air ke
dalam granula pati menyebabkan terjadinya
pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan
meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya
granula pati tersebut pecah. Air yang masih terjebak
di dalam adonan dan granula pati yang telah pecah
tersebut kemudian diuapkan sehingga menghasilkan
tekstur flakes tempeyang berporous dan renyah.
Kesukaan keluruhan merupakan parameter
penilaian terhadap citarasa (flavor) dari flakes tempe
yang dihasilkan. Citarasa atau flavor ialah perpaduan
dari rasa, aroma, warna, dan tekstur. Tingkat
kesukaan secara keseluruhan panelis terhadap
tekstur flakes tempe paling tinggi ada pada F3, yaitu
dengan nilai skor sebesar 3,65. Nilai skor tersebut
tidak berbeda nyata F2, yaitu sebesar 3,25, namun
berbeda nyata (p<0.05) dengan F1 yang memiliki
nilai skor 2,85. Nilai tersebut masih berada di dalam
taraf biasa atau netral, akan tetapi telah menuju
kepada taraf suka.
4.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Arfini
Hidayanti (mahasiswa THP, Unsoed), Sri Endartini,
STP dan teknisi di Laboratorium Proses dan Kimia
Analisa UPT.BPPTK-LIPI Yogyakarta yang banyak
membantu penelitian ini hingga terlaksana dengan
baik.
DAFTAR REFERENSI
[1] Khomsan, A., 2002. Pangan dan Gizi Untuk
Kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
[2] Khasanah, U., 2004. Formulasi, Karakterisasi
Fisiko-Kimia dan Organoleptik Produk
Makanan Sarapan Ubi Jalar (Sweet Potato
Flakes). Skripsi. Fateta-IPB. Bogor.
[3] Syafrina, N dan Syarifah A. 2014. Consumers
Preferences to Sweet Potato Flakes (Spf)
from Sweet Potato Pasta as A Raw
Material, with Enrichment Mung Bean
Flour as Source Protein. International
Journal on Advanced Science Engineering
Information Technology, Vol 4, No.3.
ISSN 2088:5334
[4] Sukasih, Ermi., dan Setyadjit. 2012. Formulasi
pembuatan flake berbasis talas untuk
makanan sarapan (breakfast meal) energi
tinggi dengan metode oven. J. Pascapanen
9(2) : 70 76.
[5] Paramita, A.H., dan 1*, Widya D. R.P. 2015.
Pengaruh penambahan tepung bengkuang
dan lama pengukusan terhadap karakteristik
fisik, kimia dan organoleptik tepung talas,
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No
3 p.1071-1082, Juli
[6] Amalia, F., dan Clara M.K. 2013. Formulasi
flakes pati garut dan tepung ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) sebagai pangan
kaya energi protein dan mineral untuk
lansia. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli, 8(2):
137144. ISSN 1978 1059.

KESIMPULAN

Formula Flakes tempe degan komposisi


tepung terigu: tepung tempe: tepung tapioka (50 : 30
: 20) atau F2 telah memenuhi persyaratan dalam
beberapa kriteria untuk kadar air dan protein
berdasarkan SNI 01-3842-199. Berdasarkan hasil
uji sensori flakes tempe, skor rata-rata kesukaan
panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan
kesukaan secara keseluruhan berkisar antara netral
hingga suka, dan formula flakes tempe yang paling
disukai yaitu Formula 2 (F2).

[7] Hardinsyah. 2013. Soyfood Consumption in


Indonesia - Updates from Current National
Health & Nutrition Survey. Makalah
Disampaikan dalam 8th SE Asia Soy Foods
Seminar and Trade Show.
[8] Subagio, A., S. Hartanti, W. S. Windarti, Unus,
M. fauzi, B. Herry.2002. Kajian Sifat
Fisikokimia dan Organoleptik Hidrolisat

198

Tempe Hasil Hidrolisis Protease. Jurnal


Teknol. dan Ind. Pangan XIII (3) : 204-210.

flakes pada saat uji kesukaan panelis? (Agnes


Murdiati, UGM).
Jawab: Pada saat penyajian dalam uji kesukaan
panelis flakes dikonsumsi langsung tanpa
penambahan susu dan untuk melihat tingkat
penyerapan air belum dilakukan.

[9] Khasanah, Y., 2013. Pengaruh asupan tempe


terhadap status folat pada tikus (Sprague
dawley). Tesis. Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, UGM, Yogyakarta.
[10] AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of
the Association of Official Analytical
Chemists. Vol I, Published by AOAC
International, Arlington, USA.
[11]

Kartika, Bambang., Pudji Hastuti,dan


Supartono. 1988. Pedoman Uji Inderawi
Bahan Pangan.Pusat Antar Universitas.
Pangan dan Gizi.Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

[12] Astuti, M. 1992. Iron Bioavailability of


Traditional Indonesian Soybean Tempe.
PhD Thesis Tokyo University of
Agriculture, Tokyo.
[13] Anonim. 1995. Nasional Indonesia (SNI)
Makanan pelengkap serealia instan untuk
bayi dan anak. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Notulensi Diskusi:
PGO-216, Yuniar Khasanah dkk, Evaluasi
Pengembangan
Formula
Flakes
dengan
Menggunakan Tepung Tempe Terhadap Kandungan
Gizi dan Organoleptik

Tanya: Penggunaan tepung tempe kedelai sebai


sumber protein dalam flakes sebagai variabel
tetap atau berubah? (Sri Kanoni, UGM).
Jawab: Pada penelitian tepung terigu dan
tepung tempe sebagai variable yang diubah, dan
penggunaan tepung tapioka sebagai varibel
tetap.

Tanya: Pada tampilan table awal menggunakan


kode sampel F1, F2, dan F3, namun pada table
uji kesukaan menggunakan kode E1, E2, E3,
dan E4. Mohon dijelaskan. Uji statistik belum
ditampilkan pada pemaparan. (Sri Anggrahini,
UGM).
Jawab: Mohon maaf antara kode sampel F dan
E adalah sama, terdapat kesalahan dalam
mengetik dalam slide tampilan. Untuk uji
statistik belum dianalisa statistik, baru sebagai
penelitian awal.

Tanya: Flakes biasanya digunakan untuk


sarapan, bukan cemilan dan dalam penyajiannya
ditambah susu. Bagaiman anda menyajikan

199

Kajian Kandungan Gizi Kedelai Plus Hasil Penanaman di Wilayah


Kabupaten Gunungkidul, DIY
Dini Ariani1, H. Sukiman2
1) UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI
Desa Gading, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DIY
2) Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911, Kabupaten Bogor
Abstrak - Teknologi insersi mikroba kedalam biji tanaman sudah dikuasai dan dapat diimplementasikan untuk
membekali biji dengan mikroba terpilih yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman. Implementasi
teknologi ini telah dilakukan pada biji kedelai yang kemudian dikenal dengan kedelai plus LIPI. Hasil
penanaman kedelai plus varietas Anjasmoro di desa Bleberan kecamatan Playen kabupaten Gunungkidul tahun
2013 mampu menghasilkan 1.84 ton/ha, adapun kedelai lokal non plus rata-rata hanya 1.2 1.5 ton/ha.
Disamping hasil produksi yang meningkat, penggunaan pupuk kimia juga dapat ditekan hingga 50%, sehingga
dapat menekan biaya produksi. Kajian mengenai kandungan gizi kedelai plus belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan gizi dari beberapa jenis kedelai lokal plus
maupun non plus dibandingkan dengan kedelai import yang selama ini banyak dimanfaatkan masyarakat
sebagai bahan baku pembuatan tempe di kabupaten Gunungkidul, DIY. Bahan baku yang digunakan adalah
kedelai varietas Anjasmoro Plus dan Non Plus, kedelai varietas Argomulyo Plus dan Non Plus, serta kedelai
import yang banyak dipasarkan di pasar tradisional kabupaten Gunungkidul. Analisis kandungan gizi yang
dilakukan adalah analisis proksimat. Hasil peneltian menunjukkan bahwa kandungan gizi kedelai lokal varietas
Anjasmoro dan Argomulyo plus dan non plus lebuh unggul dibandingkan dengan kedelai import khususnya dari
kadar protein. Kadar potein kedelai lokal varietas Anjasmoro dan Argomulyo plus dan non plus berkisar antara
35-38 %, sedangkan kedelai import hanya berkisar 32%.
Kata kunci: Kedelai Plus, Kedelai varietas Anjasmoro, Kedelai varietas Argomulyo
Abstract - Insertion technology of microbial into the plant seeds are already controlled and can be implemented
to provide seeds with the selected microbes that can meet the nutritional needs of plants. The implementation of
this technology had been conducted on soybean seed that became known as soybean plus LIPI. The results of
soybean plus planting varieties of Anjasmoro in rural districts of Bleberan, Playen, Gunungkidul district in 2013
was capable of producing 1.84 tonnes/ha, while the local soybean non plus was produced an average of only 1.2
- 1.5 tonnes/ha. Besides of the increasing production, the use of chemical fertilizers also could be reduced up to
50%, so that could reduce the production costs. The study of the nutritional content of soy plus has never been
studied before. The aim of this study was to determine the nutrient content of some types of local soybean plus or
non plus compared to imported soybean which has been widely used as a raw material for making tempeh in the
district of Gunungkidul, DIY. The raw materials used were soybean varieties of Anjasmoro Plus and Non Plus,
soybean varieties of Argomulyo Plus and Non Plus, as well as imported soybeans which were widely sold in
traditional markets in Gunung Kidul district. The analysis of nutrient content was conducted using proximate
analysis. The results showed that the nutrient content of local soybean varieties of Anjasmoro and Argomulyo
plus and non plus were superior to soybean imports, especially of the protein content. The protein content of
local soybean varieties of Anjasmoro and Argomulyo plus and non plus was ranged between 35-38%, while
soybean imports was only about 32%.
Keywords: Soybean Plus, Soybean varieties of Anjasmoro, Soybean varieties of Argomulyo
minyak tumbuh-tumbuhan non-kolesterol yang
bermutu tinggi, mengandung lechitin, yaitu suatu
zat yang sangat bermanfaat untuk mengontrol kadar
kolesterol di dalam tubuh dan sedikit sekali
mengandung hidrat arang sehingga penderita
diabetes boleh mengonsumsinya. Disamping
mengandung hampir semua unsur vitamin penting,
diketahui pula bahwa kandungan senyawa isoflavon
(antioksidan) dan serat pangan dalam kedelai

1. PENDAHULUAN
Salah satu sumber protein yang kaya adalah
kacang kedelai. Beberapa jenis makanan yang biasa
dibuat dengan bahan baku kedelai adalah tahu,
tempe dan tauge (toge/taoge). Beberapa manfaat
kedelai yaitu diantaranya mengandung protein dua
kali lebih banyak dari daging dan empat kali lebih
banyak dari telur. Kedelai juga mengandung

200

terbukti membantu memperbaiki resistensi insulin


dan menjaga kestabilan kadar gula darah, jadi
penderita diabetes bagus mengonsumsinya [1].
Hingga saat ini, produksi kedelai dalam
negeri masih jauh dibawah angka kebutuhan
nasional. Kebutuhan kedelai di Indonesia rata-rata
pertahun tercatat mencapai 2 juta ton, terbagi untuk
produksi tempe 1.2 juta ton, kecap dan susu kedelai
0,65 juta ton, pakan ternak 1,0 juta ton, serta benih
0,05 juta ton. Sedangkan, angka produksi kedelai
dalam negeri hanya berkisar 600.000-800.000 per
tahun. Para peneliti di Indonesia sebenarnya sudah
sejak lama mengembangkan bibit kedelai unggul
yang tidak kalah dengan kedelai impor. Kualitas
kedelai lokal bisa lebih baik dibandingkan dengan
kedelai impor dengan metode pengelolaan benih
yang lebih baik. Biaya tanam juga bisa ditekan
dengan pola tanam organik yang tidak tergantung
kepada pupuk kimia [2].
Teknologi insersi mikroba kedalam biji
tanaman
sudah
dikuasai
dan
dapat
diimplementasikan untuk membekali biji dengan
mikroba terpilih yang dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi tanaman. Implementasi teknologi ini telah
dilakukan pada biji kedelai yang kemudian dikenal
dengan kedelai plus LIPI [2]. Mikroba Rhizobium
yang terpilih merupakan satu dari ratusan koleksi
mikrobaterseleksi yang mempunyai keistimewaan
karena mampu bersimbiosis secara efektif dengan
banyak galur kedelai, kacang hijau dan
sengon. Telah diketahui bahwa mikroba yang
berperan pada tanaman khususnya bakteri dapat
digolongkan manjadi dua, yaitu bakteri yang
membentuk hubungan simbiosis dengan tanaman
(contoh: Rhizobium), dan bakteri yang hidup bebas
di tanah dan seringkali dapat ditemukan menempel
atau berada di sekitar perakaran tanaman [3].
Kedelai plus dengan teknologi insersi
mikroba bukan merupakan varietas baru. Bukan
rekayasan genetika seperti halnya sebagaian besar
kedelai yang diimpor saat ini. Kedelai Plus
memanfaatkan bakteri Rhizobium untuk penambat
nitrogen sehingga mengurangi pemakaian pupuk
kimia. Pemakaian pupuk dapat berkurang hingga 40
%. Selain itu, tanamannya akan tumbuh lebih baik
dan jauh lebih sehat. Benih kedelai plus dihasilkan
dengan cara "menginjeksikan" Rhizobium (BTCCB64) ke dalam biji kedelai (benih) menggunakan
teknik vakum pada tekanan 1 atmosphere
menggunakan mesin khusus kedelai plus.
Bakterinya, langsung dimasukkan dalam bitiran biji
supaya tidak mudah terlepas. Isolat Rhizobium
BTCC-B64 merupakan satu dari ratusan koleksi
isolat terseleksi yang mempunyai keistimewaan
karena mampu bersimbiosis secara efektif dengan
banyak galur kedelai , kacang hijau dan sengon [4].
Dalam uji lapangan, tanaman kedelai plus
mampu bertahan hidup dan memperbanyak diri

pada pH sangat rendah (pH2) dan membentuk bintil


akar pada kondisi tanah asam (pH3). Selain itu,
dapat meningkatkan nitrogen tanah sampai 20%
setelah penanaman. Tanahnya setelah ditanami
kedelai plus justru akan semakin subur. Selain itu,
bisa tidak memerlukan pupuk sama sekali.
Kalaupun menggunakan pupuk hara dalam dosis
hanya 2 kg per hektar.. Petani kedelai mampu
menekan biaya produksi hingga 60% dengan
menggunakan benih kedelai plus [4].
Kajian mengenai kandungan gizi kedelai
lokal plus dan non plus belum pernah diteliti
sebelumnya. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengetahui karakter dari kedelai-kedelai tersebut
sehingga dalam pengembangan pemanfaatan lebih
lanjut dapat lebih terarah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kandungan gizi dari beberapa jenis
kedelai lokal plus maupun non plus dibandingkan
dengan kedelai import yang selama ini banyak
dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku
pembuatan tempe di kabupaten Gunungkidul, DIY.
2.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat penelitian


Penanaman kedelai dilakukan mu;ai bulan Juni
2013 selama 3 bulan. Sedangkan analisis
kandungan gizi kedelai dilakukan pada bulan
September-Oktober 2013. Penanamn kedelai
dilakukan di desa Bleberan, Playen, Gunungkidul. .
Analisis kandungan gizi kedelai dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Teknologi
Pertanian UGM.
Bahan
Bahan penelitian untuk analisis kandungan gizi
kedelai meliputi kedelai varietas Anjasmoro Plus
dan Non Plus, kedelai varietas Argomulyo Plus dan
Non Plus, serta kedelai import
Analisis
Analisis proksimat kandungan gizi kedelai yang
dilakukan meliputi kadar air (thermogravimetri),
abu, protein (mikro kjeldahl) , lemak (soxhlet) [5].
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji coba penanaman kedelai lokal plus dan non


plus varietas Anjasmoro dan Argomulyo di
Kelurahan Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten
Gunungkidul, DIY, terlaksana dengan adanya
kerjasama dengan Kelompok Tani Gayam Rejo,
Bleberan,
Kabupaten
Gunungkidul,
DIY.
Penanaman dilakukan sebagaimana petani biasa
melakukan pertanaman kedelai. Petani dalam hal
ini pada tanaman kedelai plus tidak melakukan
pemupukkan NPK dengan dosis yang biasa mereka

201

lakukan namun mereka hanya memberikan


setengah dosis dari pupuk kimia yang mereka biasa
gunakan. Hal ini ditujukan agar menggunaan pupuk
kimia dapat dikurangi sementara kebutuhan NPK
tanaman dapat dipenuhi dari kerja mikroba
(Rhizobium) yang diinsersikan kedalam biji dan
yang diberikan dengan cara melumuri biji dengan
pupuk bio phosphat (Mikoriza). Tanaman kedelai
lokal non plus tetap dilakukan pemupukkan dengan
dosis yang direkomendasikan.
Hasil
pengamatan panenan ubinan
menunjukkan bahwa produksi meningkat dari 1.1
ton per hektar menjadi 1.84 ton per hektar. Hal
tersebut menjelaskan bahwa benih kedelai plus
yang dibekali dengan mikroba potensi Rhizobium
dan Mikorisa lebih baik dibandingkan dengan benih
kedelai yang tidak diberi tambahan mikroba
(kedelai non plus hanya mencapai 1.2 sd 1.5
ton/ha).
Untuk mengetahui kandungan gizi kedelai
lokal plus dan non plus telah dilakukan analisis
proksimat terhadap kedelai tersebut, termasuk juga
kedelai import yang banyak digunakan para
pengrajin tempe di kabupaten Gunungkidul. Hasil
analisis proksimat tertera dalam tabel 1.
Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk
kadar air dan kadar abu tidak terdapat perbedaan
yang nyata antara kedelai lokal plus, non plus
maupun kedelai import.
Sedangkan untuk analisis kandungan
lemak menunjukkan bahwa kedelai lokal plus
varietas Anjasmoro dan Argomulyo mempunyai
kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan
kedelai lokal nonplus dan kedelai import. Ditinjau
dari sisi kesehatan mengkonsumsi kedelai lokal
dengan kandungan lemak yang rendah akan lebih
dibandingkan dengan mengkonsumsi kedelai
import yang mengandung lemak lebih tinggi.
Hasil
analisis
kandungan
protein
menunjukkan bahwa semua jenis kedelai lokal
antara plus dan non plus mempunyai kadar protein
yang tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa pada kedelai plus meskipun dosis pemberian
pupuk hanya 50% tetapi bakteri tanah penambat
nitrogen - Rhizobium yang terinsersi dalam benih
kedelai plus mampu memberikan seluruh
kebutuhan unsur nitrogen, untuk pembentukan
protein seperti yang diberikan melalui pupuk urea (
pupuk Nitrogen) pada kedelai non plus. Memang
terjadi sedikit perbedaan antara plus dan non plus ,
tetapi
tidak
berbeda
nyata.
Mikroba yang bersimbiosa dengan tanaman akan
melakukan proses penambatan Nitrogen dan
memberikannya
kepada
tanaman
sehingga
kebutuhan nitrogen tanaman dapat terpenuhi [6].

Kadar
Air (%)
Abu
(%)
Lemak
(%)
Protein
(%)

Tabel 1. Hasil analisis kandungan gizi kedelai


Anjas+
Anjas
Argo+
Argo
Import
9.25a
10.28a
11.44a
11.97a
11.16a
4.61a

4.26a

4.68a

4.56a

5.06b

11.75a

14.03b

15.45c

18.35d

18.43abc

35.44a

38.64a

37.04a

34.9a

32.22b

Keterangan:
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji
5%)
Anjas+ :Kedelai Plus var. Anjasmoro ; Anjas :Kedelai Non
Plus var. Anjasmoro ; Argo+ :Kedelai Plus var. Argomulyo
; Argo:Kedelai Non Plus var. Argomulyo ; Import : Kedelai
import

Akan tetapi apabila dibandingkan dengan


kedelai import, kandungan protein kedelai lokal
plus dan non plus mempunyai kadar protein yang
lebih tinggi dibandingkan kedelai import. Sebagian
kalangan menganggap kedelai varietas lokal tidak
unggul dan masih kalah dengan kedelai impor.
Selain itu untuk menanamnya tidak efisien, sebab
hasil panennya sedikit, harga jualnya rendah,
padahal
biaya
produksinya
tinggi.
Ditinjau dari hasil penelitian diatas
pernyataan tersebut sangat tidak tepat. Bahkan jika
dilihat mulai dari kandungan gizi hingga tingkat
keamanan pangannya, jelas kedelai lokal yang plus
dan non plus lebih aman ketimbang kedelai import
yang merupakan hasil rekayasa genetik dan
menggunakan pestisida sintetik.Hasil produksi biji
kedelai plus, tentu kualitas biji akan lebih sehat
karena penggunaan pupuk kimia yang lebih rendah
dibandingkan kedelai non plus dan kedelai import.
4. KESIMPULAN
Ditinjau dari analisis kandungan gizi, kedelai lokal
plus varietas anjasmoro dan agomulyo memiliki
kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kedelai import, disamping itu juga memiliki
kadar lemak yang lebih rendah.
DAFTAR REFERENSI
[1]. Anonim, 2013. 1001 Manfaat Kedelai Bagi
Manusia. http://www.medkes.com.
[2]. Dini Ariani dan Harmastini I. Sukiman. 2009.
Uji lapangan kedelai plus di kecamatan
Imogiri, Bantul. Prosiding Seminar Nasional
2009 "Pengembangan Teknologi Berbasis
Bahan Baku Lokal", Yogyakarta 2 Desember
2009. ISBN: 979-1519-52-8.
[3]. Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant
growth by free-living bacteria. Ca. J. Microbiol.
41: 109-117
[4]. Harmastini I. Sukiman dan Dini Ariani. 2010.
Uji lapangan kedelai plus di kelurahan

202

Bleberan, kecamatan Playen, kabupaten


Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Prosiding
Seminar fak. Biologi UGM, 24-25 September
2010. ISBN 979896905.8-8
[5]. AOAC. 1984, Official Methods of Analysis of
the Association of Analytical Chemist, 14th ed.
AOAC Inc, Arlington, Virginia.
[6]. Harmastini. 2013. Naskah Sosialisasi Kedelai
Plus dan Pupuk Hayati LIPI di desa Bleberan,
Kabupaten Gunung Kidul , Daerah Istimewa
Yogyakarta

Notulensi Diskusi:
PGO-217, Dini Ariani1 dan Harmastini Sukiman2
Kajian Kandungan Gizi Kedelai Plus Hasil
Penanaman Di Wilayah Kabupaten Gunungkidul,
DIY

Tanya: Pada penelitian yang dilakukan adalah


membandingkan antara kedelai Anjasmoro dan
Argomulyo, dijudul kedelai lokal plus dan
kedelai lokal non plus, mohon dijelaskan.
Belum ada uji statistic dalam paparan (Agnes
Murdiati).
Jawab: Penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan gizi dari kedelai lokal
Anjasmoro dan Argomulyo yang diberi
perlakuan insersi mikroba ke dalam biji
kedelai. Untuk informasi awal dengan adanya
penambahan inokulan rhizobium memiliki
produktivitas lebih tinggi dibandingkan yang
tidak ditambah. Istilah yang digunakan plus
dan non plus merupakan istilah yang
digunakan di Biotek LIPI.

203

Karakterisasi dan Uji Sifat Organoleptik Telur Ayam Ras Infertile sebagai Telur Konsumsi
Sri Anggrahini1), M. Almunifah2)
1) Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jl. Flora no 1, Bulaksumur, Yogyakarta
Telpon (0274) 549650/fax 0274 549650
Email: sri_anggrahini2006@yahoo.com
2) Alumni Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jl. Flora no 1, Bulaksumur, Yogyakarta
Telpon (0274) 549650/fax 0274 549650
Abstrak - Telur ayamras infertile adalah telur yang tidak dibuah dan dapat terdeteksi pada proses penetasan,
yang masih dapat digunakan sebagai telurkonsumsi sebagai sumber asupan protein. Pemeraman telur infertile
di dalam mesin tetas pada suhu 38-39C selama 5 hingga 10 hari akan berpengaruhterhadap karakteristik telur,
nilai kecernaan protein dan kesukaan konsumen. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan pemeraman telur
selama 5; 7; dan 10 hari, kemudian diambil telur yang infertile. Telur infertile diamati karakteristiknya (kadar
abu, kadar protein, kadar lemak, pH) dan daya cerna proteinnya serta kesukaan konsumen terhadap telur ayam
infertile rebus dan sebagai pembanding digunakan telur ayam kontrol (telur ayam segar yang disimpan selama
5; 7; dan 10 hari pada suhu kamar).Uji organoleptik menggunakan uji kesukaan dengan menggunakan metode
scoring test dengan skala nilai 1-9 (nilai 1 menunjukkan ama sangat tidak disukai dan 9 menunjukkan amat sangat disukai). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu (3,22 -3,53%db), kadar lemak (25,53 32,86%db),
kadar protein (48,91 52,96%db), dan nilai pH (7,65 8, serta tingkat kecernaan protein (43,85
51,92%db)telur ayam ras infertile yang telah mengalami penetasan dalam mesin tetas selama 5; 7; dan 10 hari
dengan suhu penetasan 38-39C tidak berbeda nyata dengan telur ayam ras segar yang disimpan pada suhu
kamar selama 5; 7; dan 10 hari. Tingkat kesukaan panelis terhadap telur ayam ras infertil juga tidak berbeda
nyata dengan telur segar, tingkat kesukaannya berada dalam taraf cukup disukai (5,38 6,25).
Kata kunci: telur infertil, penetasan, karakteristik, tingkat kecernaan protein,sifat sensoris
Abstract -Infertle eggs are meaning they will not hatch and no chicken will come out of it. Infertile egg from the
hatchery probably can be consumed as protein sources. The aim research was to know the characteristics, pH,
protein digestability and organoleptic properties of infertile chicken eggs that used separate by aging time (5, 7,
and 10 days) at hatcher temperature, presumably 38 to 39C. Infertle chicken egg observed from day five, day
seven and day ten in the hatchery machine at incubator temperature, presumably between 38 to 39C. As a control used consuming chicken eggs was stored in the room temperature for five day, seven day and ten day. Characteristics of infertile chicken egg and control egg to be observed as follow : ash content, protein content, and
lipid content, pH, protein digestability. The organoleptic properties of infertile chicken egg to be observed the
texture, color, flavor and preferent test by scoring test. The result showed that the characteristics and organoleptic properties of infertile chicken egg in the hatchery machine at incubator temperature, presumably between 38
to 39C, observed from day five, day seven and day ten and consuming eggs non significant (P>0,05). Infertile
eggs of hatchery still addible.
Keywords: infertile egg, aging, characteristics, protein digestibility, organoleptic properties

1.

Ayam yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia ada ayam kampong dan ada ayam ras. Telur
ayam ras tergolong jenis telur yang paling sering
dan banyak di konsumsi oleh masyarakat di Indonesia karena harganya yang terjangkau, ukurannya
lebih besar dan mudah di dapat daripada telur ayam
kampung maupun itik. Telur ayam ras tergolong
telur yang mempunyai ukuran besar yakni mempunyai berat 55-65 gram per butir. Warna kulit telur
ayam ras biasanya coklat tetapi ada sedikit yang
berwarna putih. Rata-rata produktivitas telur ayam
ras adalah 250-260 butir telur per ayam per tahun
1 .

PENDAHULUAN

Telur merupakan sumber protein yang mudah


didapat dan paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia karena harga telur lebih terjangkau daripada sumber protein hewani lainnnya.
Konsumsi telur di Indonesia cenderung lebih tinggi
daripada konsumsi sumber protein hewani lain seperti daging sapi dan daging ayam. Berdasarkan nilai
gizinya telur mempunyai nilai biologis yang tinggi
yakni 94, artinya 94 persen dari kandungan protein
telur dapat dicerna dengan baik oleh tubuh.

204

Menurut data BAPPENAS pada tahun 2010


kebutuhan konsumsi telur adalah 2.081.000 ton
telur per tahun, daging ayam 1.019.000 ton per tahun, dan daging sapi 359.000 ton per tahun. Sedangkan ketersediaan telur normal di Indonesia
baru mencapai 1.270.000 ton per tahun. Data ini,
menunjukkan bahwa ketersediaan telur normal untuk konsumsi masih kurang.
Secara alamiah ayam akan mengerami telurtelurnya untuk memperbanyak keturunannya. Untuk mengambil alih tugas mengerami dapat digantikan dengan menggunakan mesin tetas 2 .. Selama
penetasan pemeriksaan fertilitas telur perlu dilakukan untuk menentukan jumlah telur yang fertile
dan telur yang tidak fertile atau telur infertile. Telur
ayam infertile merupakan telur yang tidak dapat
dibuahi karena tidak mengandung embrio 3. Telur
ayam infertile biasanya digunakan sebagai telur
konsumsi. Sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah mengkonsumsi telur infertile sebagai
sumber asupan protein.
Harga telur semakin lama semakin naik akibat
lonjakan harga pakan ternak dan tingginya permintaan konsumen dan telur yang tersedia terbatas
jumlahnya. Kondisi ini apabila berlangsung terus
menerus dapat meningkatkan harga telur. Harga
telur mempunyai hubungan yang negatif terhadap
permintaan telur, sehingga, semakin naik harga
telur maka daya beli masyarakat terhadap telur akan
menurun 4. Menurunnya daya beli masyarakat
terhadap permintaan telur berpengaruh terhadap
asupan zat gizi yang dikonsumsi terutama protein.
Untuk mengatasi naiknya harga telur biasanya
masyarakat yang berpenghasilan rendah akan membeli telur infertile yang harganya lebih murah daripada telur segar.
Di Kabupaten Bantul, terdapat beberapa usaha
penetasan telur baik milik perseorangan maupun
instansi pemerintah. Kapasitas mesin tetas yang
dimiliki oleh rata-rata pengusaha penetasan ayam
adalah 6000 butir telur/periode penetasan dengan
efisiensi daya tetas 70% sehingga hasil telur infertile yang keluar dari mesin tetas adalah 180 butir
telur/periode penetasan. Telur infertile yang
jumlahnya mencapai 30% ini, biasanya di jual murah sebagai telur konsumsi.
Pemeraman telur infertile di dalam mesin tetas
pada suhu 38-39C selama 5 hingga 10 hari akan
berpengaruh terhadap karakteristik telur karena
faktor waktu penyimpanan dan kondisi suhu yang
lebih tinggi daripada suhu kamar. Sifat putih dan
kuning telur akan berubah sementara telur bertambah usianya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dan tingkat daya cerna
protein telur ayam ras infertile yang telah mengalami perlakuan pemeraman di dalam mesin tetas
selama 5; 7; dan 10 hari dan sifat organoleptik telur
ayam ras infertile yang telah mengalami perlakuan
pemeraman di dalam mesin tetas selama 5; 7; dan
10 hari yang telah direbus, sebagai pembanding

digunakan telur ayam kontrol (telur ayam segar


yang disimpan selama 5; 7; dan 10 hari pada suhu
kamar).
2. BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah
telur ayam ras segar dan telur ayam infertile yang
diperoleh dari peternak telur di Galur, Kulon Progo.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa kimia
adalah Petrolium Eter, HCl, NaOH, H2SO4, NaThiosulfat, Na-Asetat, Asam Borat, Indikator BCGMR dan Enzim Pepsin berasal dari dari E-Merck.
Alat
Alat yang digunakan adalah timbangan
analit merk Shimadzu, pH meter merk schott, 2100
Kjeltec Distilation Unit Toss Tecator, Oven
Memmert, Muffle FUW 220 PA Advance, water
bath Julobo SW 25 dan alat gelas untuk analisa dan
peralatan uji organoleptik.
Jalannya Penelitian
Penelitian dilakukan dengan memilih telur
ayam ras yang mempunyai berat 65-75 gram, warna
coklat, bentuk bulat telur dan tidak retak, telur di
kelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama telur dimasukkan ke dalam mesin penetas
(suhu 38-39C) untuk mendapatkan telur infertil
(pengambilan setelah 5; 7, dan 10 hari penetasan)
dan kelompok kedua sebagai kontrol,yaitu telur
segar disimpan pada suhu kamar (26-27C) selama
5; 7; dan 10 hari. Pada setiap perlakuan masingmasing dibutuhkan 20 butir telur infertile dan 20
telur yang disimpan pada suhu ruangan. Jumlah
telur yang dibutuhkan untuk penelitian dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Kebutuhan Telur untuk Penetasan
dan Penyimpanan
Perlakuan
Lama
Kebutuhan
Jumlah
(Hari)
Telur
telur
Segar
yang
(butir)
dipakai
(butir)
Penetasan dalam
5
80
20
mesin tetas telur
7
80
20
suhu 38 - 39C
10
80
20
Penyimpanan
5
24
20
pada suhu ruang
7
24
20
(26-27C)
se10
24
20
bagai control
Jumlah
120
*) Jumlah telur yang dipakai pada penetasan dalam
mesin tetas telur (telur infertile) menggunakan asumsi
dari 100% telur yang ditetaskan akan menghasilkan 30%
telur infertile.

Pada hari ke 5; 7; dan 10 penetasan dilakukan candling untuk mendapatkan telur infertile. Telur infertile dan telur kontrol dianalisis kadar
abu, kadar protein, kadar lemak, pH, daya cerna
protein dan sifat organoleptiknya. Uji organoleptik
meliputi tingkat kesukaan terhadap tekstur, warna,

205

penetasan 38 39C penurunan kadar airnya tidak


berbeda nyata antar perlakuan (72.80%wb
73.79%wb) akibatnya konsentrasi mineral dalam
bahan tidak mengalami perubahan yang signifikan
sehingga kadar abu dalam telur tidak berbeda nyata.

bau dan kesukaan secara keseluruhan pada telur


yang telah direbus.
Metode Uji
Analisa kadar protein menggunakan metode
mikrokhjeldal 5, kadar air menggunakan metode
termogravimetri 5, kadar lemak menggunakan
metode soxhlet 5, dan kadar abu menggunakan
metode pengabuan kering 5. Pengamatan pH
dengan pH meter.

b.

Kadar Protein
Kadar protein dalam telur infertile tidak berbeda nyata dengan kadar protein telur kontrol, hal
ini menunjukkan bahwa pemeraman telur ayam ras
sampai selama 10 hari pada suhu 38 39C tidak
menurunkan kandungan gizinya karena kandungan
proteinnya masih sama dengan telur yang disimpan
dalam suhu kamar selama 10 hari. Tidak adanya
perubahan yang nyata pada kadar protein dalam
telur infertil selama penetasan selama 5; 7; dan 10
hari, dikarenakan pada suhu 38 39C protein belum mengalami denaturasi dan degradasi menjadi
senyawa yang mudah menguap. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Shenga dkk.,
bahwa pemanasan telur pada suhu 57C selama 15
menit yang dilanjutkan dengan penyimpanan selama 15 hari pada suhu 35C nilai protein terlarut
telur tidak memberikan hasil yang berbeda nyata
dengan telur ayam tanpa perlakuan 8.

Sifat Organoleptik
Uji organoleptik menggunakan uji kesukaan
dengan menggunakan metode skoring test dengan
skala nilai 1-9 (nilai 1 menunjukkan amat sangat
tidak disukai dan 9 menunjukkan amat sangat
disukai).
Rancangan Percobaan
Data yang didapat dari hasil analisa diolah
menggunakan One Way ANOVA dengan
menggunakan metode Turkey, dengan tingkat signifikasi 0,05. Apabila terjadi beda nyat dilanjutkan
dengan metode Duncan Multiple range test
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

c.

Kadar Lemak
Pada Tabel 2. menunjukkan kadar lemak telur
infertile yang ditetaskan dalam mesin penetas suhu
38-39C selama 5; 7; dan 10 hari dan telur ayam
kontrol yang disimpan pada suhu kamar (26-27C)
selama 5; 7; dan 10 hari tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa selama penetasan maupun
penyimpanan selama 5; 7; dan 10 hari lemak yang
ada di dalam telur ayam belum mengalami oksidasi
maupun kerusakan.

Sifat Kimia
Hasil analisa kadar abu, kadar protein dan
kadar lemak telur ayam ras infertil dan telur ayam
ras segar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisa Kadar Abu, Kadar Protein dan
Kadar Lemak Telur Ayam Ras Infertil dan Telur Ayam
Ras segar
Suhu
Waktu
Kadar
Kadar
Kadar
Penetasan/ Penetasan/ abu
protein
lemak
PenyimPenyim(%db)
(%db)
(%db)
panan
panan
Suhu
5 hari
3,22 a
52.67 a
25.53 a
a
a
penetasan
7 hari
3,53
51.03
32.86 a
(38-39C)
10 hari
3,41 a
48.91 a
31.43 a
Suhu
5 hari
3,23 a
51.13 a
31.22 a
Penyima
7 hari
3,47
52.96 a
26.42 a
panan
10 hari
3,34 a
51.74 a
31.33 a
26-27C
*) Huruf yang sama (a) pada kolom yang sama menunkan hasil yang tidak berbeda nyata p>0.05.

Daya Cerna Protein dan Nilai pH


Daya cerna protein dapat digunakan sebagai
penentu kualitas protein pada bahan pangan. Kenaikan pH menjadi basis pada proses penyimpanan
telur karena menunjukkan adanya karbondioksida
yang hilang melewati cangkang telur 7. Daya cerna protein dan pH telur ayam ras infertile dan telur
ayam segar dapat dilihat pada Tabel 3.

juk-

a.

Kadar Abu
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan kadar abu telur infertile yang mengalami perlakuan
pemeraman dalam mesin tetas suhu 38 - 39C
selama 5; 7; dan 10 hari tidak menunjukkan hasil
yang berbeda nyata dengan kadar abu telur segar
yang mengalami penyimpanan di dalam suhu kamar
selama 5; 7; dan 10 hari. Penurunan kadar air
produk selama penyimpanan dapat menyebabkan
peningkatan kadar mineral sehingga kadar abu
meningkat 6.
Pada telur ayam infertile yang mengalami
pemeraman selama 5; 7; dan 10 hari dengan suhu

Tabel 3. Daya cerna protein dan nilai pH Telur Ayam Ras


Infertil dan Telur Ayam Ras segar setelah penetasan/penyimpanan
Suhu
Waktu
Daya cerna
pH
Penetasan/
Penetasan/
proten
Penyimpanan
Penyimpanan
(%db)

206

Suhu penetasan (38-39


C)
Suhu Penyimpanan
26-27C

5 hari
7 hari

43.85 a
48.40 a

7.65 a
7.79 a

10 hari

51.92 a

7.82 a

5 hari
7 hari

43.95 a
47.01 a

8.11 a
7.99 a

10 hari

46.61 a

7.94a

*) Huruf yang sama (a) pada kolom yang sama


kan hasil yang tidak berbeda nyata p>0.05.

agak disukai hingga cukup disukai dan pada telur


segar cukup disukai. Penilaian tekstur pada telur
infertile dalam taraf agak disukai hingga cukup
disukai dan pada telur segar agak disukai. Penilaian
bau telur infertile dan pada telur segar menunjukkan
tingkat kesukaan pada taraf agak disukai. Penilaian
kesukaan secara keseluruhan pada telur infertile
berada pada tingkat kesukaan agak disukai hingga
cukup disukai, sedangkan pada telur segar kesukaan
pada taraf cukup disukai.

menunjuk-

a.

Daya Cerna Protein


Daya cerna protein telur ayam infertil yang
mengalami penetasan selama 5; 7; dan 10 hari tidak
berbeda nyata dengan telur ayam yang disimpan
selama 5; 7; dan 10 hari. Hal ini terjadi karena protein dalam telur ayam belum mengalami degradasi
yang dapat meningkatkan nilai cerna protein 7.
Hal ini berarti belum terjadi perubahan kemunduran
mutu telur ayam yang signifikan seperti bertambah
encernya isi telur sehingga nilai daya cerna protein
di dalam telur infertil tidak berbeda nyata dengan
telur kontrol.

Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Telur Ayam Ras Infertil


dan Telur Ayam Ras Segar
Sampel
Telur Infertil penetasan
5 hari
Telur Infertil penetasan
7 hari
Telur Infertil penetasan
10 hari
Telur segar
penyimpanan 5 hari

b.

pH
Pada Tabel 3. terlihat bahwa penetasan telur
dengan mesin tetas telur suhu 38 -39 C selama 5, 7
dsn 10 hari belum berpengaruh secara nyata terhadap pertambahan nilai pH telur, hal ini menunjukkan bahwa penetasan sampai selama 10 hari
karbondioksida didalam telur belum banyak yang
hilang. Pada proses penyimpanan pada suhu kamar
sampai selama 10 hari pH telur ayam ras kontrol
juga tidak mengalami kenaikan yang nyata. Hal ini
didukung oleh penelitian yang sudah dilakukan oleh
Stadelman dan Cotteril yang menunjukkan bahwa
penyimpanan telur pada kondisi suhu 2C ataupun
37C tidak akan memberikan nilai pH yang berbeda
nyata 7.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardi, dkk. 5 bahwa nilai pH telur
segar utuh adalah 8,20 dan nilai pH albumin telur
segar adalah 7.6 hingga 7.9 7. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai pH telur infertil dan telur
segar yang disimpan pada suhu kamar selama 10
hari masih termasuk dalam katagori baik sebagai
telur konsumsi.

Warna

Tekstur

Bau

Keseluruhan

6.00a

6.04a

5.67a

6.08a

6.04a

5.63a

5.33a

5.38a

5.96a

5.96a

5.42a

6.17a

6.29a

5.80a

5.63a

6.25a

*) Huruf yang sama (a) pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p>0.05

Tidak ada perbedaan yang nyata antara telur infertile dengan telur segar kemungkinan karena telur belum mengalami kerusakan fisik yang
nyata sepeti penurunan viskositas, oksidasi lemak
(Lihat Tabel 2) dan penurunan pH (lihat Tabel 3)
yang dapat berpengaruh pada tekstur, bau dan
warna telur. Hal ini didukung dengan hasil uji
oragnoleptik dengan penilaian penampakan, tekstur,
flavor dan penilaian keseluruhan pada telur dengan
penetasan pada suhu 35C selama 10 hari menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan telur
segar 8.
4.

KESIMPULAN

Kadar abu, kadar lemak, kadar protein,


daya cerna protein dan nilai pH telur ayam ras infertile yang telah mengalami penetasan dalam mesin tetas selama 5; 7; dan 10 hari dengan suhu
penetasan 38-39C tidak berbeda nyata dan tidak
berbeda nyata dengan telur ayam segar yang disimpan pada suhu kamar selama 5; 7 dan 10 hari.
Tingkat kesukaan panelis terhadap telur ayam ras
infertil yang direbus tidak berbeda nyata dengan
telur ayam segar yang direbus. Tingkat kesukan
semua perlakuan penetasan berada dalam taraf
cukup disukai.

Uji Organoleptik
Penilaian atribut sensoris telur infertil
dapat menjadi gambaran bagaimana penerimaan
konsumen terhadap telur infertile sebagai telur konsumsi. Hasil uji organoleptik telur ayam ras infertile dan telur ayam ras segar dapat dilihat pada
Tabel 4.
Hasil uji organoleptik yang diperoleh pada
semua atribut sensoris yang dinilai (warna, tekstur
dan bau) memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata p>0.05 pada sampel telur infertile maupun
telur segar. Penilaian warna pada telur infertile
menunjukkan tingkat kesukaan panelis dalam taraf

DAFTAR REFERENSI
1 S. Hadiwoyoto, Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan,

207

Daging dan Telur.Liberty : Yogyakarta.1983.


2 Anonim,. Penetasan Telur Dengan Mesin Tetas.
http://www.glory-farm.com/ptetas_mesin/
mesin_tetas.htm. Diakses pada tanggal 20
Desember 2010.
3 E. Winarti dan Triyantini. Peluang Telur Infertil
Pada Usaha Penetasan Telur Itik Sebagai Telur
Konsumsi.Makalah Seminar. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian:
Bogor. 2005
4 R. Wahyuningsih.Analisa Permintaan Telur
Ayam di Jawa Timur.Skripsi. Fakultas Pertanian. UniversitasMuhammadiyah Jember. Jember.
2008
5 Suhardi; , S. Kanoni. dan S. Naruki. Evalusasi
Sifat Fisik, Sensorik dan Daya Cerna Protein
Telur Asin AyamNegeri (Petelur). Laporan Penelitian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. 1991
6 Suliantari; S. Koswara dan I.A. I. Danur.
Mempelajari Metode Reduksi Kadar Histamnin
dalam Pembuatan Ikan Pindang Tongkol
(Euthynus affinis). Buletin Teknologi dan
Industri Pangan. Vo. V, no. 3, 1994
7 W. J. Stadelman dan O. J. Cotteril. Eggs
Science and Technology.The AVI Publishin
Co. Inc. Westport.Connecticut. 1977
8 E. Shenga; R.D Singh dan A.S. Yadav.Effect of
pasteurization of shell egg on its quality characteristics under ambient storage.Journal of
Food Science and Technology.vol.47, no.4,
2010, hal.420-425
Notulensi Diskusi:
PGO-218, Sri Anggrahini dkk, Karakterisasi dan
Uji Sifat Organoleptik Telur Ayam Ras Infertile
sebagai Telur Konsumsi

Tanya: Jenis telur yang di gunakan dalam


penelitian? Berapa lama telur menetas?
Jawab: Telur yang digunakan dalam penelitian
adalah telur ayam ras. Telur yang menetas adalah telur fertile setelah pemeraman selama 21
hari. Dalam 100 butir telur yang ditetaskan kurang lebih ada 26 butir telur yang infertile.
Hasil penelitian menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk analisa kimia dan tingkat kesukaan
hingga hari ke sepuluh pemeraman.

208

Mutu dan Preferensi Konsumen Terhadap Tempe Kedelai dengan Beberapa


Persentase Penambahan Beras Hitam Lokal DIY
Yeyen Prestyaning Wanita1) dan M. Kobarsih1)
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22, Karangsari, Ngemplak, Sleman, DIY. Tlp (0274) 884662
Email: yeyen_world@yahoo.com
Abstrak - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki potensi padi lokal berupa padi berpigmen hitam yang lebih
dikenal sebagai padi Cempo Ireng. Padi hitam ditambahkan dalam penelitian ini untuk meningkatkan mutu dari
tempe kedelai yaitu meningkatkan kandungan antosianin dari tempe serta mengembangkan diversifikasi pengolahan
beras berpigmen mengingat tempe adalah salah satu lauk pauk utama di masyarakat. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh persentase penambahan beras hitam terhadap mutu dan penerimaan konsumen terhadap
tempe yang dihasilkan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen dan Alsintan, BPTP Yogyakarta pada
bulan Februari Mei 2013. Beras hitam yang digunakan berasal dari padi hitam Cempo Ireng dari petani di
Kabupaten Sleman, sedangkan kedelai yang digunakan adalah varietas Anjasmoro. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan pembuatan tempe yang
dilaksanakan adalah B0= penambahan 0% beras hitam dari berat kedelai, B1= penambahan 10% beras hitam
(b/b), B2= penambahan 20% beras hitam (b/b), dan B3= penambahan 30% beras hitam(b/b). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Rendemen tempe yang dihasilkan adalah 120 - 178%, dengan rendemen tempe tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan penambahan 30% beras hitam pada proses pembuatan tempe yaitu sebesar 178%. 2)
Hasil uji organoleptik tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan tertinggi pada perlakuan 20% beras hitam pada
proses pembuatan tempe dengan nilai kesukaan sebesar 3 yang berarti agak suka. 3) Kandungan protein dan
antosianin pada tempe yang paling disukai penelis yaitu dari penambahan 20% beras hitam adalah 18,3% dan
88,33 ppm. 4) Penambahan beras hitam dalam pengolahan tempe kedelai dapat memperbaiki mutu tempe yang
dihasilkan terutama dalam kandungan antosianin sehingga layak dikembangkan sebagai pangan fungsional.
Kata kunci: tempe, beras hitam, kedelai, dan kesukaan konsumen.

Abstract - Special Region of Yogyakarta (DIY) has the potential of local rice, ie. pigmented black rice known as
'Cempo Ireng'rice. Black rice is added in this study to improve the quality of soybean tempeh, which is to increase
the anthocyanin content of tempeh, and developing a diversified pigmented rice processing. Given tempeh is one of
the main side dishes in the community. The aims of htis study to determine the effect of black rice adding to quality
and consumer acceptance of soy tempeh. The experiment was conducted at the Laboratory of Post Harvest and
Agricultural Machinery, Yogyakarta IAIT in February-May 2013. The black rice is derived from 'Cempo Ireng' black
rice from farmers in Sleman, while soybean used are Anjasmoro varieties. The experiment was a completely
randomized design of four treatments and five replications. Treatment implemented were: B0 = addition of 100% by
weight of soybean, B1 = 10% black rice (w/w), B2 = 20% black rice (w/w), and B3 = 30% black rice from soy
weight (w/w). The results showed that: 1) The yield of tempeh produced is 120-178%, with the highest yield
generated by the treatment of the addition of 30% black rice, which amounted to 178%. 2) The organoleptic test
results ie. the highest panelist overall preference level was 20% black rice additional treatment ie. 3, which means
preferences rather like. 3) The anthocyanins and protein content from the most preferred tempe was the addition of
20% black rice ie. 88.33 ppm and 18,3%. 4) Addition of black rice processing can improve the quality of soy tempeh
tempeh produced, especially in anthocyanins could be developed as a functional food.
Keywords: tempeh, black rice, soybeans, and consumer preferences level

209

1.

PENDAHULUAN

Tempe merupakan bahan makanan hasil


fermentasi kacang kedelai atau jenis kacangkacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus
oligosporus dan Rhizopus oryzae. Tempe umumnya
dibuat secara tradisional dan merupakan sumber
protein nabati. Di Indonesia pembuatan tempe sudah
menjadi industri rakyat [1]. Tempe mengandung
berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti
protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih
mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh. Hal
ini dikarenakan kapang yang tumbuh pada kedelai
menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi
senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh
manusia [2]. Dalam beberapa tahun belakangan ini
produksi kedelai terus merosot, sedangkan kebutuhan
terhadap kedelai masih relatif besar. Kebutuhan
kedelai dalam negeri terhadap kedelai sebesar 2 juta
ton/ tahun, sebanyak 1,4 juta ton dipenuhi dari impor
[3].
Pada satu sisi, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) memiliki potensi padi lokal berupa padi
berpigmen hitam yang lebih dikenal sebagai padi
Cempo Ireng. Diversifikasi pengolahan beras
berpigmen saat ini masih sangat terbatas sehingga
penerimaan masyarakat terhadapnya masih berjalan
lambat hanya pada kalangan tertentu saja. Untuk itu
salah satu alternatif diversifikasi pengolahannya
adalah penambahan padi hitam dalam pembuatan
tempe kedelai, mengingat tempe merupakan salah
satu lauk utama di masyarakat. Penambahan beras
hitam kedalam proses pembuatan tempe kedelai
bertujuan sebagai bahan pengayaan (fortifikasi) bagi
tempe kedelai yang dihasilkan. Fortifikasi disini
berdasar pada kandungan antosianin pada beras
hitam, sehingga diharapkan didapatkan tempe kedelai
yang memiliki nilai fungsional lebih serta warna yang
lebih menarik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui mutu dan preferensi konsumen terhadap
tempe kedelai dengan beberapa persentase
penambahan beras hitam.
2.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium


Pasca Panen dan Alsintan, BPTP Yogyakarta pada
bulan Februari Mei 2013. Bahan baku penelitian ini
adalah beras hitam dan kedelai. Beras hitam yang
digunakan berasal dari padi hitam Cempo Ireng dari
petani di Kabupaten Sleman, sedangkan kedelai yang

digunakan adalah varietas Anjasmoro. Rancangan


percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap empat perlakuan dan lima ulangan.
Perlakuan pembuatan tempe yang dilaksanakan
adalah B0= penambahan 0% beras hitam dari berat
kedelai, B1= penambahan 10% beras hitam (b/b),
B2= penambahan 20 beras hitam (b/b) dan B3=
penambahan 30% beras hitam (b/b). Uji organoleptik
dilaksanakan menggunakan skala hedonik antara 1
sampai 5, dimana semakin tinggi nilainya maka
tingkat kesukaannya semakin tinggi. Pengamatan
dilakukan terhadap rendemen yang dihasilkan, kadar
air, skor nilai organoleptik, kadar protein [4], serta
kadar antosianin. Data hasil analisa fisik, kimia, dan
organoleptik dianalisa secara statistik untuk
mengetahui beda nyata antar perlakuan dengan Uji
Duncan tingkat kepercayaan 95% [5]. Proses
pembuatan tempe dilakukan berdasarkan metode
Cahyadi [6]. Proses pembuatan tempe dibagi dalam
3 (tiga) tahapan proses, yaitu 1) Proses penyiapan
kedelai. Kedelai direbus selama 30 menit dalam suhu
100C. Kedelai matang selanjutnya direndam dalam
air rebusan selama 24 jam. Kedelai kemudian
mengalami proses penirisan, pencucian, dan
pengupasan. Proses pengupasan bertujuan untuk
menghilangkan kulit ari dari biji kedelai. Biji
kemudian dicuci kembali sampai bersih. Biji kedelai
kemudian direbus kembali selama 20 menit,
ditiriskan dan didinginkan kembali pada suhu kamar.
2) Penyiapan beras hitam. Beras hitam dicuci dengan
air dan direndam selama 12 jam. Beras kemudian di
kukus selama 20 menit dan didinginkan pada suhu
kamar. 3) Proses peragian. Biji kedelai dan beras
hitam setengah matang dicampurkan dengan
perbandingan sesuai perlakuan. Campuran biji
kedelai dan beras hitam kemudian diinokulasi
menggunakan ragi tempe berupa RAPRIMA
sebanyak 2%. Campuran biji kedelai dan beras hitam
kemudian dibungkus dengan daun pisang dan
diinkubasi selama 48 jam pada suhu kamar dan
jadilah tempe.
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini penambahan beras


hitam dalam proses pengolahan tempe berfungsi
sebagai pengkayaan atau fortifikasi gizi dalam tempe
yang dihasilkan, yaitu dalam kandungan antosianin
serta sebagai bahan pewarna bagi tempe itu sendiri.
Meskipun dalam tempe kedelai sudah memiliki nilai
gizi sendiri. Karena proses fermentasi dalam
pembuatan tempe dapat mengurangi beberapa
senyawa anti nutrisi. Selain sebagai sumber zat gizi,

210

tempe juga memiliki manfaat untuk menjaga


kesehatan tubuh. Tempe mengandung senyawa anti
bakteri yang aktif melawan bakteri gram positif dan
bakteri penyebab diare seperti Salmonella typhii,
Shigella flexneri dan Escherichia coli K 70 (B) H 19
[7].
Proses fermentasi ini menggunakan beberapa
jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus,
Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh.
arrhizus. Kapang yang tumbuh pada kedelai dan
beras hitam menghidrolisis senyawa-senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah
dicerna oleh manusia. Zat gizi tempe lebih mudah
dicerna,
diserap,
dan
dimanfaatkan
tubuh
dibandingkan dengan yang ada dalam biji utuhnya
(biji awalnya).

dengan perlakuan penambahan beras hitam. Uji


dilakukan terhadap warna, tekstur, aroma, rasa, dan
kesukaan secara keseluruhan terhadap 25 orang
panelis yang diambil secara acak. Pengambilan
sampel secara acak ini dikarenakan hampir semua
orang sudah pernah dan sering mengkonsumsi tempe.
Hasil uji organoleptik tempe kedelai dengan
perlakuan penambahan beras hitam disajikan dalam
tabel 1 berikut.

Rendemen
Rendemen
dihitung
berdasarkan
perbandingan dari berat tempe yang dihasilkan
dengan berat kedelai dan beras hitam yang digunakan
sebagai bahan baku pembuatan. Rendemen tempe
yang dihasilkan dari perlakuan penambahan beras
hitam dalam proses pembuatan tempe kedelai
disajikan dalam gambar 1 berikut.

Penambahan beras hitam dalam pembuatan


tempe kedelai menghasilkan warna tempe yang agak
ungu kehitaman. Semakin besar persentase
penambahan beras hitam, maka warna tempe yang
dihasilkan semakin ungu pekat. Dari segi warna, nilai
kesukaan konsumen terhadap tempe dengan
penambahan beras hitam lebih tinggi dari tempe yang
dibuat dari 100% kedelai. Dimana kesukaan tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan penambahan 20% dan 30%
beras hitam, yaitu sebesar 3,29 yang berarti
konsumen mulai menyukai.
Tekstur adalah tingkat kekerasan dan
kekompokan hifa dari tempe yang dihasilkan. Terjadi
perubahan tekstur dari kedelai dan beras hitam
sebelum dan setelah proses fermentasi terjadi.
Tekstur biji kedelai dan beras hitam yang semula
masih agak keras, setelah mengalami proses
fermentasi dengan bantuan ragi tempa menjadi
bertekstur lebih lunak dan lembut. Secara uji
inderawi menggunakan panca indera terlihat bahwa
semakin besar persentse penambahan beras hitam,
tempe yang dihasilkan cenderung lebih keras.
Berdasarkan hasil uji organoletik terhadap tekstur
tempe terlihat bahwa nilai kesukaan panelis terhadap
tempe dari 100% kedelai dengan tempe dengan
penambahan 10% dan 20% beras hitam adalah sama,
yaitu sebesar 3,00 yang berarti agak suka. Proses
perubahan tekstur pada pembuatan tempe salah
satunya dipengaruhi oleh faktor perendaman.
Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan
mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama
fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji
kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh
bakteri yang terdapat di air terutama oleh bakteri
asam laktat. Perendaman juga bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada keping-keping

Tabel 1. Hasil uji organoleptik tempe kedelai dengan


perlakuan penambahan beras hitam

Rendemen (%)

200
150
100
50

152

120

126

BO

B1
B2
Perlakuan

178

0
B3

Gambar 1. Rendemen tempe yang dihasilkan dari perlakuan


penambahan beras hitam

Dari gambar 1 terlihat bahwa: 1) Rendemen


tempe yang dihassilkan adalah 120% - 178%. 2)
Semakin besar persentase penambahan beras hitam
dalam penambahan tempe kedelai, maka rendemen
yang dihasilkan akan semakin tinggi. Rendemen
tertinggi dihasilkan oleh perlakuan penambahan 30%
beras hitam dari volume kedelai yang digunakan,
yaitu sebesar 178%.
Hasil Uji Organoleptik
Uji
organoleptik
dilakukan
untuk
mengetahui tingkat kesukaan dan persentase
penerimaan konsumen terhadap tempe kedelai

211

Perlakuan

Warna

Tekstur

Aroma

Rasa

Keseluruhan

B0
B1
B2
B3

3,00a
3,29a
3,29a
2,71a

3,00a
3,00a
3,00a
2,57a

3,00a
2,00a
3,14b
2,43ab

3,00a
2,41a
2,57a
2,00a

3,00a
2,43a
2,71a
2,14a

kedelai
menyerap
air
sehingga
menjamin
pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini
tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi
mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan [8]. Selama proses perendaman, biji
mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji
naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu
mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi
kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat
sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi
sekitar 4,55,3. Bakteri yang berkembang pada
kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei,
Streptococcus
faecium,
dan
Streptococcus
epidermidis.
Kondisi
ini
memungkinkan
terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat
patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap
asam.
Selain
itu,
peningkatan
kualitas
organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya
aroma dan flavor yang unik. Penurunan pH biji
kedelai tidak menghambat pertumbuhan jamur
tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan
bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk.
Proses fermentasi selama perendaman yang
dilakukan bakteri mempunyai arti penting ditinjau
dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula
stakhiosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi
asam dalam biji adalah menghambat kenaikan pH
sampai di atas 7,0 karena adanya aktivitas proteolitik
jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat
meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0
dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan atau
kematian jamur tempe. Dalam biji kedelai terdapat
komponen yang stabil terhadap pemanasan dan larut
dalam air bersifat menghambat pertumbuhan
Rhizopus oligosporus, dan juga dapat menghambat
aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian
sangat penting untuk menghilangkan komponen
tersebut. Proses hidrasi terjadi selama perendaman
dan perebusan biji.
Aroma merupakan bau yang dihasilkan oleh
tempe. Dalam industri pangan pengujian aroma atau
bau dianggap penting karena cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk terkait diterima atau
tidaknya suatu produk [9]. Timbulnya aroma atau bau
ini karena zat bau tersebut bersifat volatil (mudah
menguap), sedikit larut air dan lemak. Ternyata
tempe kedelai dengan penambahan beras hitam
mempunyai aroma yang khas. Aroma khas ini
ditunjukkan dengan adanya bau seperti bau wangi
yang kemungkinan dihasilkan oleh antosianin yang
terkandung dalam beras hitam. Dari hasil uji
organoleptik, tempe kedelai dengan penambahan

20% beras hitam memiliki aroma yang paling disukai


panelis, yaitu dengan nilai kesukaan 3,14. Semakin
tinggi persentase penambahan beras hitam dalam
pembuatan tempe kedelai, aroma wangi dari
antosianin semakin terasa.
Makanan merupakan gabungan dari
berbagai macam rasa bahan bahan yang digunakan
dalam membuat makanan tersebut [10]. Sedangkan
rasa sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan
yang dimakan, yang dirasakan oleh indra pengecap
atau pembau, serta rangsangan lainnya seperti
perabaan dan penerimaan derajat panas oleh mulut
[9]. Dari segi rasa, kesukaan panelis tertinggi pada
tempe yang dihasilkan adalah perlakuan 100% bahan
baku dari kedelai. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi
tempe selain tempe berbahan baku 100% kedelai.
Secara keseluruhan kesukaan panelis
tertinggi pada tempe dengan bahan baku 100%
kedelai, yaitu sebesar 3,00. Meskipun dari segi
warna, tekstur dan aroma panelis mulai menyukai
tempe kedelai yang dihasilkan dengan penambahan
beras hitam. Sedangkan jika dilihat dari perlakuan
persentase penambahan beras hitam, perlakuan
penambahan sebesar 20% beras hitam dalam
pembuatan tempe kedelai memiliki nilai kesukaan
tertinggi dalam warna, tekstur, aroma, rasa, dan
kesukaan secara keseluruhan.
Kandungan Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks
dengan berat molekul tinggi. Protein merupakan
polimer dari monomer-monomer asam amino yang
dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida
Gugus amin dari satu asam bersatu dengan gugus
karboksil dari asam amino dengan mengeluarkan satu
molekul air.
Proses pengolahan kedelai dan beras hitam
menjadi tempe menyebabkan adanya perubahan
protein di dalamnya. Perubahan kandungan protein
dalam proses pengolahan tempe kedelai dengan
bahan baku 100% kedelai dan perlakuan penambahan
beras hitam yang paling disukai (penambahan 20%)
disajikan dalam gambar 2 berikut.

212

40
35
30
25
20
15
10
5
0

mempengaruhi stabilitas antosianin adalah modifikasi


pada struktur spesifik antosianin (glikosasi, asilasi
dengan asam alifatik atau aromatik), pH, temperatur,
cahaya, keberadaan ion logam, oksigen, kadar gula,
enzim, dan pengaruh sulfur dioksida. Proses
pengolahan mengakibatkan perubahan kandungan
antosianin dari beras hitam menjadi tempe.
Perubahan kandungan antosianin pada perlakuan
penambahan beras hitam yang paling disukai panelis,
yaitu sebesar 20% dari berat kedelai disajikan dalam
gambar 3.

36,49
18,3

18,13
8
Biji kedelai

Tempe dari 100%


kedelai

Beras hitam

Tempe dengan
penambahan 20%
beras hitam

Gambar 2. Perubahan kandungan protein selama


proses pengolahan tempe dengan perlakuan bahan baku
100% kedelai dan penambahan 20% beras hitam

300
250
200

Kandungan protein biji kedelai dan bersa


hitam sebelum mengalami proses fermentasi adalah
36,49% dan 8%. Setelah mengalami proses
fermentasi kandungan protein tempe menjadi
manurun. Perlakuan dengan bahan baku dari 100%
kedelai menghasilkan tempe dengan kandungan
protein sebesar 18,31%. Sedangkan dengan perlakuan
penambahan 20% beras hitam dari berat kedelai
menghasilkan kandungan protein sebesar 18,30%.
Penurunan kadar protein setelah fermentasi dapat
dijelaskan sebagai berikut: Jamur Rhizopus
oligosporus bersifat proteolitik dan ini penting dalam
pemutusan protein [11]. Jamur ini akan mendegradasi
protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan
seterusnya menjadi senyawa NH3 atau N2 yang
hilang melalui penguapan [12]. Proses perendaman
dan pemasakan juga mempengaruhi hilangnya
protein. Selama perendaman protein turun sebanyak
1,4%. Pada kedelai utuh, susut padatan total berkisar
dari 22-27%. Susut ini terdiri dari: 8-12% karena
pembuangan kulit, 9-12% karena perendaman dan
pemasakan dan sekitar 2-4% selama fermentasi.
Susut nitrogen akibat pembungan kulit, perendaman
dan pemasakan 3,9-8,0% dan selama fermentasi 0,81,7% [13].

150
100

247,23

50

88,33

0
beras hitam

tempe

Gambar 3. Perubahan kandungan antosianin pada


pengolahan tempe dengan perlakuan penambahan 20%
beras hitam dari berat kedelai.

Dari gambar 3 terlihat bahwa kandungan


antosianin menurun, dari 247,23 ppm (berbentuk
beras hitam) menjadi 88,33 ppm (berbentuk tempe).
Perubahan kandungan antosianin ini kemungkinan
disebabkan karena adanya proses pencucian,
perendaman, dan pemanasan. Proses pencucian dan
perendaman dapat menurunkan kandungan antosianin
karena antosianin memiliki sifat larut dalam air.
Perlakuan pemanasan dapat menurunkan kandungan
antosianin
karena
pemanasan
menyebabkan
kesetimbangan antosianin cenderung menuju bentuk
yang tidak berwarna, yaitu basa karbinol dan kalkon.
Kerusakan akibat pemanasan terjadi dalam 2 tahap,
yaitu pada tahap pertama hidrolisis terjadi pada
ikatan glikosidik antosianin sehingga menghassilkan
aglikon-aglikon yang tidak stabil. Tahap kedua cincin
aglikon terbuka membentuk gugus karbinol dan
kalkon. Degradasi ini dapat terjadi lanjut jika terdapat
oksidator sehingga terbentuk sanyawa berwarna
coklat (43)

Kandungan Antosianin
Antosianin merupakan senyawa berwarna
yang bertanggung-jawab untuk kebanyakan warna
merah, ungu, biru pada tanaman maupun hasil
tanaman. Senyawa ini termasuk dalam golongan
flavanoid, dengan struktur utama berupa dua cincin
aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan oleh 3
rantai karbon yang membentuk cincin. Degradasi
antosianin dapat terjadi selama proses ekstraksi,
pengolahan makanan, dan penyimpanan. Faktor yang

213

4.

[11]Hesseltine, C. W. 1985. Genus Rhizopus and


tempeh microorganisms. Proceedings, Asian
Symposium
on
Non-salted
Soybean
Fermentation. Tsukuba, Japan, July 1985. p. 2026. National Food Research Institute Tsukuba
Science City.
[12]Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[13]Steinkraus, K.H., 1983. Indonesian Tempeh and
Related Fermentation. Dalam: Handbook of
Indigenous Fermented Foods, ed. K.H.,
Steinkraus dkk. Marcel-Dekker Inc., NY. Hal 194.
Notulensi Diskusi:
PGO-219, Yeyen Prestyaning Wanita dkk, Mutu dan
Preferensi Konsumen terhadap Tempe Kedelai
dengan Beberapa Persentase Penambahan Beras
Hitam Lokal DIY

KESIMPULAN

Beras hitam dapat ditambahkan sebagai


bahan fortifikasi dalam proses pembuatan tempe
kedelai. Penambahan 20% beras hitam dalam proses
pembuatan tempe kedelai menghasilkan kesukaan
konsumen
tertinggi
dibandingkan
perlakuan
penambahan beras hitam yang lainnya, yaitu untuk
warna, tesktur, aroma, rasa dan kesukaan secara
keseluruhan berturut-turut adalah 3,29; 3,00; 3,14;
2,57; da 2,71. Pada perlakuan ini dihasilkan tempe
dengan kandungan protein sebesar 18,3% dan
kandungan antosianin sebesar 88,33 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Suharyono, A. S. dan Susilowati. 2006. Pengaruh
Jenis Tempe dan Bahan Pengikat Terhadap Sifat
Kimia dan Organoleptik Produk Nugget Tempe.
Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas
Lampung,
2006,
hal
280-290.
http://lemlit.unila.ac.id/file/Prosiding/ProsidingI2
006.pdf
[2]Kasmidjo, R.B., 1990. TEMPE : Mikrobiologi
dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya.
PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
[3]Widjang, H.S. 2008. Produktivitas Kedelai
Rendah Akibat Penanaman Tidak Intensif.
www.media-indonesia.com
[4]AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The
Association of Official Analitycal Chemists.
Volume I, Published by AOAC International,
Arlinton, USA
[5]Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1993. Principles
and Procedures of Statistics. A Biomedical
Approach, 3rd Ed. Mc Graw Hill, Kagasukha Ltd.,
Tokyo
[6]Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan
Teknologi. Bumi Aksara. Bandung.
[7]Mahmud, M. K. 1987. Penggunaan makanan bayi
formula tempe dalam diit bayi dan anaka balita
sebagai suatu upaya penanggulangan masalah
diare (desertasi). Institut Pertanian Bogor.
[8]Ali,
I.
2008.
Buat
Tempe
Yuuuuk.
http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempeyuuuuk/
[9]de Mann, J. M. 1989. Principle of Food
Chemistry. The Avi Pub Co. Inc., Westport.
Connecticut (4): 10-13.
[10]Kartika, B. P. Hastuti, W. Supartono. 1988.
Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM
Press. Yogyakarta.

214

Tanya: Apa yang menjadi pertimbangan dalam


menggunakan beras hitam?
Jawab: pertimbangan yang digunakan untuk
diversifikasi pengolahan beras hitam dan untuk
fortifikasi pengkayaan antosianin pada produk
tempe. Pada penambahan 20% beras hitam
paling disukai oleh panelis.

Pengaruh Waktu Setelah Penyembelihan Itik Terhadap Karakteristik Sosis


Dengan Binder Tepung Kacang Tolo (Vignaunguiculata L. Walp)
Sri Kanoni1), S. Naruki1), R. R. Ratriningtyas2)
1) Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2) Alumnus of Faculty of Agricultural Technology, Gadjah Mada University
*srikanoni_ugm@yahoo.com
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik fisik, kimiawi, dan sensoris sosis yang dibuat
dari daging yang dibiarkan beberapa jam post mortem, dengan binder tepung kacang tolo dan susu skim. Daging
itik masing-masing 1, 3, dan 5 jam post mortem diblansing, digiling, dan diemulsikan dengan binder susu skim.
Daging dengan waktu post mortem terpilih kemudian digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan sosis
dengan penggunaan binder tepung kacang tolo dan susu skim. Variasi rasio tepung kacang tolo : susu skim adalah
0:100, 25:75, 50:50, 75:25, dan 100:0 % (b/b). Terhadap sosis yang dihasilkan dilakukan analisis karakteristik fisik
(stabilitas emulsi, cooking loss, warna), kimiawi (proksimat), dan sensoris (kesukaan dan deskriptif terhadap warna,
kekerasan, kekenyalan, sifat irisan, bau amis, rasa, dan beany flavor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosis itik
dari daging 3 jam post mortem dengan binder tepung kacang tolo sampai dengan 50% memiliki stabilitas emulsi
yang tinggi (96,27%), cooking loss yang rendah (0,26%), dengan nilai sensoris yang berkisar antara agak suka
sampai dengan suka. Sosis tersebut memenuhi persyaratan SNI 01-3818-1995 untuk sosis.
Kata Kunci: post mortem, sosis, kacang tolo, cooking loss
Abstract The objective of this study was to evaluate characteristics of sausage made from delayed-processed duck
meat with the use of black eyed pea (Vignaunguiculata L. Walp) powder as binder. At first, duck was kept for 1, 3,
and 5 hours after slaughter, respectively. The meat was then blanched, comminuted, and emulsified to produce
sausage, in which skim milk powder was used as standard binder. Furthermore, the best meat was used as raw
material for sausage processing, in which skim milk powder was substituted with black eyed pea powder. The ratio
of black eyed pea powder : skim milk powder were varied, i.e. 0:100, 25:75, 50:50, 75:25, and 100:0 (w/w),
respectively. All kinds of sausage were then determined its physical characteristics (emulsion stability, cooking loss,
and color), chemical characteristics (moisture, protein, fat, ash, and carbohydrate content), and sensory evaluated
(preference test and descriptive sensory analysis of color, hardness, elasticity, cutting properties, stinky aroma,
taste, and beany flavor) The result showed that 3 hours post mortem of meat and the use of black eyed pea powder
up to 50% produced sausage with high emulsion stability (96.27%), low cooking loss (0.26%), and overall
preference ranged from slightly like to like. These sausage met the chemical requirement of Indonesian Standard for
sausagel (SNI 01-3818-1995).

Keywords: post mortem, sausage, black eyed pea, cooking loss

1. PENDAHULUAN
Itik adalah jenis unggas sumber protein yang masih
terbatas pengolahannya karena kandungan lemak
tinggi dan bau amissehingga perlu dilakukan blansing
[1] daging itik segar sebelum dibuat produk (sosis).
Daging itik yang beredar dipasaran sebagian besar
adalah daging yang telah mengalami fase post
rigor(fase lunak kembali) [2].Kesalahan penggunaan
daging postmortem dapat mengakibatkan rendahnya
mutu daging sehingga penting diketahui mekanisme

rigormortis untuk menghindari perubahan struktur


kimia, fisik serta mikrobiologinya [3]. Sebagai bahan
dasar sosis, waktu rigor yang tepat penting diteliti
karena daging itik segar setelah penyembelihan(post
mortem) akan mengalami fase rigor yang sangat
menentukan kualitas sosis [1]. Tepung kacang tolo
(VignaunguicuataL.Walp) memiliki potensi sebagai
binder emulsi sosis seperti susu skim karena
kandungan protein yang tinggi [4]. Tepung kacang
tolo akan berorientasi dengan susu skim

215

memperangkap globula lemak yang terdispersi dalam


sistem emulsi dan akan mengalami gelatinisasi pada
perebusan sehingga emulsi stabil [5]. Penelitian
bertujuan Untuk mengetahui karakteristik fisik,
kimiawidan sensoris (kesukaan) sosis daging itik
terpilih pada variasi waktu setelah penyembelihan
(rigor) (1,3 dan 5 jam blansing) dengan binder tepung
kacang tolo dengan susu skim perbandingan
:(0%:100%); (25%:75%); (50%:50%); (75%:25%);
(100%:0%) .
2.

(AOAC,1980); Kadar protein (mikro Kjeldahl


,Sudarmaji,1997);
Kadar
lemak
(Soxhlet,
Woodman,1981). Pengujian Sensoris Uji kesukaan
dan deskriptif (Meilgard,2000)

3.

HASIL dan PEMBAHASAN

Karakteristik kimiawi tepung kacang tolo dan susu


skim
Kandungan protein yang cukup tinggi mencerminkan
tepung kacang tolo mampu sebagai binder sosis itik
(Tabel 1).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Daging itik(Anas moscha) kacang tolo(Vigna
unguiculata L.Walp)diperoleh dari pasar tradisional
Terban di Yogyakarta. Garam dapur, merica, pala,
tepung terigu, susu skim, minyak jagung, diperoleh
dari Mirota Yogyakarta.
H2SO4 pekat, katalisator K2SO4, larutan NaOHNa2S3O2,larutan asam borat 4%, indikator BCG-MR,
HCl 0,02N ,petroleum Eter (PE) , diperoleh dari
Laboratorium Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi
Pertanian UGM Yogyakarta

Tabel.1 Komposisi kimia tepung kacang tolo dan susu skim


Kadar

karbohid
rat
by
differenc
e
(%)

Bahan

Tepung
kacang
tolo

Alat
Grinder, Cabinet drier type IL-70.110, dan
ayakan tyler 100 mesh Waterbath Memmert type
SV1422 Blender National Deluxe Super Blender
MX-T700GN Mikroskop Olympus CX21LED.
instrumen Lloyd Universal Testing Machine Zwick
type Z0.5 dan Chromameter L a b Konika Minolta
CR400 .

Susu
skim

air
(%wb)

protein
(%db)

lemak
(%db)

abu
(%db)

9.47

24.76

2.91

3.19

69.14

3.6

34.5

0.8

7.8

56.9

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Karakteristik kimiawi daging itik blansing dan


sosissetelah waktu penyembelihan 1,3 dan 5 jam
dengan binder susu skim

Cara Penelitian
Pengolahan Sosis Daging Itik
Daging itik setelah penyembelihan (post
mortem) 1,3,dan 5 jam,diblansing suhu 80C, selama 5
menit, digiling dan dicampur dengan bumbu-bumbu
dan binder tepung kacang tolo : susu skim
:(0%:100%); (25%:75%); (50%:50%); (75%:25%);
(100%:0%) untuk dichopper(emulsifikasi) menjadi
emulsi, kemudian dimasukkan dalam casing dan
direbus.Sosis
yang
dihasilkan
dianalisa
karakteristiknya :fisik, kimiawi dan sensoris untuk
menentukan yang terpilih
dengan binder tepung
kacang tolo : susu skim .

Blansing berpengaruh terhadap penurunan


pH dan WHC pada daging itik (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan bahwa setelah penyembelihan terjadi
proses rigor dan post rigor serta melunaknya daging.
Proses rigor yang terjadi tidak berpengaruh pada
komposisi kimawi daging (Tabel 2) ataupun sosis
yang dihasilkan dengan penambahan susu skim (Tabel
3).

Analisa Sosis itik


Stabilitas emulsi (Baliqa dan Maidah,
1970), Mikroskopis emulsi (Hansen, 1960),
kekenyalan
LLOYD
Instrumen,Cooking
Loss(Modifikasi
metode
uji
susutmasak(Soeparno,1994)
,
Kadar
air

216

Tabel 2.Komposisi kimiawi daging itik


blansing
Waktu
pH
setelah
Kadar
(%)
penyemb
Air
Protein Lemak
elihan
(%WB) (%DB) (%DB)
(jam)
1
70,25a
59.97a
48,52a
6,81b
3
68,88a
58.72a
46,98a
6,58ab
5

67,06a

53.02a

45,41a

Tabel.4.Karakteristik fisik sosis itik


WHC
(%)

Lemak

(%wb)

(%db)

(%db)

setelah

(%)

(%)

Warna

kekerasa
n
(N)

97.31 c

0.46 a

62,86 c

5.93 a

13.68 a

0.16 a

35,15a

96.27 b

0,60 b

60.68 b

6.18 b

14.02 ab

0.21 b

94.71 a

0.75 c

59.96 a

6.69 c

14.11 b

0.24 b

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Karakteristik sensoris (kesukaan) dan


(deskriptif)
sosis
itik
setelah
penyembelihan1,3 dan 5 jam dengan binder
susu skim.

Kadar
Protein

loss

6,34a

Air

cooking

emulsi

37,90b
36,95b

Tabel.3 Komposisi kimiawi sosis itik setelah waktu


penyembelihan 1,3 dan 5 jam dengan binder susu skim

setelah

stabilitas

penyembe
lihan

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Waktu

Lama
waktu

penyembe
lihan
1

70.05 a

45.55 a

37.39 a

67.86 a

44.94 a

34.69 a

67.36 a

43.94 a

34.52

Panelis menilai sosis itik kisaran agak sukapada rasa,warna dan keseluruhan. Hasil analisis
statistik menunjukkan kesukaan secara keseluruhan
pada sosis tidak berbeda nyata (Tabel 5).
Tabel 5. Karakteristik sensoris kesukaan sosis itik

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda

Waktu
setelah keRasa
penyembe kenyalan
lihan
1
3.60 a
4.25 a

nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Karakteristik fisik sosis itik setelah waktu


penyembelihan 1,3 dan 5 jam dengan binder susu
skim
Terjadinya penurunan pH dan Water Holding
Capacity (WHC) karena akumulasi asam laktat
setelah 1,3 dan 5 jam penyembelihan berpengaruh
terhadap stabilitas emulsi, cooking loss dan kekerasan
pada sosis yang disebabkan menurunnya regiditas
protein aktin dan myosin sebagai emulsifier. Warna
sosis menjadi pucat akibat pelepasan air akibat
menurunnya WHC sehingga dapat melarutkan pigmen
myoglobin [5]. Secara lengkap karakter fisik sosis itik
ditampilkan pada Tabel 4.

Atribut Uji Kesukaan


Aroma kesosis
kerasan
3.40 a

warna

2.85 a

3.90 a

3.80 a

3.55 a

4.33 a

3.55 a

3.35 b

4.15 a

3.45 a

4.20 a

3.45 a

3.40 b

4.10 a

4.15 a
4.05 a

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95% Uji Kesukaan : 1. Sangat
Tidak Suka Sekali ; 2. Sangat Tidak Suka ; 3. Tidak Suka; 4. Agak
Suka ; 5. Suka ; 6. Sangat Suka; 7. Sangat Suka Sekali

Meningkatnya kekerasan pada rigor 3 jam sosis


disukai panelis (3.35), sesuai dengan uji deskriptif
(2.85) pada kisaran tidak keras(Tabel 6)

217

Keseluruhan

Tabel 6. Karakteristik sensorisdeskriptif sosis itik


Waktu
setelah
penyemb Kekenya
lan
elihan
a

Karakteristik fisik sosis itik setelah


penyembelihan 3 jam dengan binder tepung kacang
tolo : susu skim: (0:100); (25:75); (50:50); (75:25);
(100:0)

Atribut Uji Deskriptif


Bau
amis

Rasa
a

kekeras
an

warna

3.20

4.40

4.05

2,35

3.25

3.15a

4.60a

4.20a

2.85b

3.05ab

3.05

4.55

4.45

Rendahnya kekerasan sosis berhubungan


dengan kadar airnya. Menurunnya kandungan protein
mengikat air berpengaruh pada nilai deformasi,
kekenyalan rendah serta Stabilitas tinggi (96.27%)
dengan binder tepung kacang tolo 50% (Tabel 8).

2.65a

3.30

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak


beda nyata dengan tingkat signifikansi 95%
Uji Deskriptif
Kekenyalan : 1. sangat tidak kenyal sekali; 3. tidak kenyal; 4.
agak kenyal; 7. sangat kenyal sekali
Rasa : 1. sangat tidak terasa sekali; 3. tidak terasa, 4. agak
terasa; 7. sangat terasa sekali
Bau : 1. sangat tidak bau sekali; 3. tidak bau; 4.agak bau; 7.
sangat bau sekali
Kekerasan : 1. sangat tidak keras sekali; 3. tidak keras; 4. agak
keras; 7. sangat keras sekali
Warna : 1.putih; 3. agak cokelat ; 4. cokelat muda; 7. cokelat
keabu-abu

Tabel 8.Karakteristik fisik sosis itik

Kadar

(%wb)

Protein
(%db)

Lemak
(%db)

(N)

(%deformasi)

Stabilitas

Cooking

emulsi

Loss

(%)

(%)

0 : 100

0.34e

1.80a

65.30e 4.24a

14.70c

97.49 a

0.15 a

25 : 75

0.23d

2.28b

64.24d 4.43b

14.37b

96.58 a

0.15 a

50 : 50

0.21

2.82

62.98

75 : 25

0.19b

3.39d

62.05b 4.87c

14.06a

95.61 a

0.32 b

100 : 0

0.16a

4.68e

57.51a 5.64e

13.99a

95.48 a

0.36 b

4.78

14.18

ab

96.27

0.26 ab

Tabel 9.Karakteristik sensoris (kesukaan) sosis itik

Karbohidrat
Abu

Warna

Karakteristik sensoris (kesukaan) dan (deskriptif)


sosis itik setelah penyembelihan 3 jam binder
tepung kacang tolo : susu skim: (0:100); (25:75);
(50:50); (75:25); (100:0)
Panelis menilai kesukaan keseluruhan sosis
dengan binder tepung kacang tolo 50% cukup tinggi
(4.29) pada kisaran agak suka suk a dan menurun
pada penggunaan inder kacang tolo 75% (Tabel 9).

Tabel 7.Karakteristik kimiawi sosis


itik

Air

Kekenyalan

TKT : Tepung kacang tolo, SS : Susu Skim. Pada nilai kekenyalan,


semakin tinggi % deformasi yang dihasilkan maka kekenyalan
semakin rendah

Kadar protein yang tinggi (61.47%)


mencerminkan bahwa tepung kacng tolo 50% mampu
sebagai binder sosis itik walaupun lebih rendah dari
susu (Tabel 7). skimkarena sifat hidrofilik dan
hidrofobik susu skim lebih baik.

Variasi

Kekerasan

Keterangan :Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Karakteristik
kimiawi sosis itik setelah
penyembelihan 3 jam dengan binder tepung kacang
tolo:susu skim: (0:100); (25:75); (50:50); (75:25);
(100:0)

TKT : SS

Variasi
TKT : SS

By Difference
Variasi

(%db)

(%db)

0 : 100

70.98a

65.51b

22.32 a

6.55d

5.62a

25 : 75

74.50b

63.79ab

23.41 b

6.33 d

6.28b

50 : 50

75.07b

61.47 ab

24.72 c

5.21c

9.60ab

75 : 25

75.26bc

60.98ab

25.46 d

2.00b

11.56b

100 : 0

76.55c

59.01a

26.55 e

0.98a

13.46b

Warna

TKT : SS

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak


beda nyata dengan tingkat signifikansi 95%
TKT : Tepung kacang tolo, SS : Susu Skim

sifat

rasa

beany

bau

Ke-

kerasan

kenyalan irisan

gurih

flavor

amis

seluruhan

4.29c

4.14b

4.14bc

3.71a

3.90b

3.20a

4.57a

25 : 75

4.33

4.19

4.33

4.62a

50 : 50

3.86bc

3.90ab

3.86ab

3.52a

3.95abc 3.76ab

3.76 a 4.29ab

75 : 25

3.67ab

3.86ab

3.86ab

3.48a

4.10bc

3.48a

4.10b

4.10b

218

ke-

0 : 100

100 : 0

ke-

3.67

3.76

3.62

3.57a
3.52

3.43

ab

3.86

4.19

3.86

ab

3.48ab
3.43

3.24

3.48

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan


tidak beda nyata dengan tingkat signifikansi 95%
Uji Kesukaan : 1. Sangat Tidak Suka Sekali ; 2. Sangat Tidak
Suka ; 3. Tidak Suka; 4. Agak Suka ; 5. Suka ; 6. Sangat

Suka; 7. Sangat Suka Sekali

Tabel 11.Karakteristik kimiawi sosis itik dan sosis Standar


Nasional Indonesia

Hasil ini sesuai dengan uji deskriptif (Tabel 10)


yang menunjukkan bahwa sosis warnanya agak
cokelat, kekerasan tidak keras, kekenyalan agak
kenyal, sifat irisan agak halus, bau tidak amis,
rasa agak terasa gurih dan beany flavor tidak
terasa

Kadar

Tabel.10. Karakteristik sensoris deskriptif sosis itik


Variasi

Warna

TKT : SS

0 : 100
25 : 75

2.62a
ab

2.81

ab

ke-

ke-

kerasan

bau

rasa

beany

kenyalan irisan

amis

gurih

flavor

3.67c

3.86b

3.86b

3.76a

4.04a

2.71a

3.67

2.90

3.10

sifat

3.62

3.71
3.71

4.19

2.95a

3.24a

3.33ab

3,62a

4.24a

3.10a

3.14a

2.81a

3.76a

4.47a

3.10a

2.90

3.00

3.29

75 : 25

3.24ab

2.86ab

100:0

3.62b

2.71a

4.14

3.43

50 : 50

ab

Protein

Lemak

Abu

by Difference

TKT : SS

(%wb)

(%wb)

(%wb)

(%wb)

(%wb)

0 : 100

70.98a

17.77 e

5.97 a

1.90e

3.38c

25 : 75

74.50

50: 50

75.07

75 : 100

75.26bc

0 : 100

76.55

SNI

67.7

6.16

ab

15.90

6.22

ab

15.09b

6.29 bc

16.70

13.74

6.50

min. 13%

mak. 13%

0.62

2.02ab

1.30

1.51a

0.50b

2.86bc

2.98bc

0.23

mak. 3%

mak. 8%

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa waktu setelah penyembelihan berpengaruh
terhadap pH dan WHC sehingga menghasilkan sifat
fisik(stabilitas emulsi,cooking loss dan kekerasan yang
berbeda.Sosis itik yang menggunakan daging itik 3
jam setelah penyembelihan dengan binder tepung
kacang tolo 50% memiliki stabilitas emulsi (96.27%);
cooking loss (0.26%); dengan nilai kesukaan
keseluruhan agak suka suka dengan nilai kekerasan,
kekenyalan dan warna yang dapat diterima konsumen
serta nilai protein (15.90%db), Lemak(6,22%db),
abu(1.30%db), dan karbohidrat (1.51%db) yang
memenuhi Standar Standar Nasional Indonesia

Warna : 1.putih; 3. agak cokelat ; 4. cokelat muda; 7. cokelat keabuabuan .Kekerasan : 1. sangat tidak keras sekali; 3. tidak keras; 4.
agak keras; 7. sangat keras sekaliKekenyalan : 1. sangat tidak
kenyal sekali; 3. tidak kenyal; 4. agak kenyal; 7. sangat kenyal
sekali

Air

Keterangan :Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Keterangan : Notasi pada kolom yang sama menunjukan tidak beda


nyata dengan tingkat signifikansi 95%

Karbohidrat

Variasi

Sifat Irisan : 1. sangat tidak halus sekali; 3. tidak halus; 4. agak


halus; 7. sangat halus sekali
Bau amis : 1. sangat tidak bau amis sekali; 3. tidak bau amis;
4.bau amis; 7. sangat bau amis sekali
Rasa : 1. sangat tidak terasa sekali; 3. tidak terasa, 4. agak
terasa; 7. sangat terasa sekali
Beany Flavor : 1.sangat tidak beany sekali; 3. tidak beany; 4.
agak beany; 7. sangat beany sekali

DAFTAR PUSTAKA
[1] Arbele.,H.B.Forrest,J.C.,E.D.Hendrick.,M.D.Judge
dan
R.A.Merkel.2001.Principles
of
Meat
Science.4th Edit.Kendal/Hunt Publishing Co.,USA

Karakteristik kimawi sosis itik waktu setelah


penyembelihan 3 jam dengan binder tepung kacang
tolo: susu skim dengan sosis Standar Nasional
Indonesia

[2] Acton,J.C dan R.L.Saffle.1971. Stability of OilWater Emulsion,Effects of Oil Phase Volume,
Stability Test, Viscosity, Type of Oil and Protein
Additive. J. of Food Science Vol.36:1118-1120

Komposisi kimiawi sosis itik memiliki nilai


yang telah memenuhi standar SNI. Secara lengkap
karakteristik sosis itik ditampilkan pada Tabel 11.

[3] Fennema.1976.Principles of Food Science .Part I


Food Chemistry .Marcel Dekker Inc.New York

219

[4]

Price.J.F and B.S.Schweigert,1987. The


Science of Meat and Meat Product .3 rd
Edition.Food and Nutritional Press.West Port

[5]

Rangel,Saravia,K.,Schwenger,P.,Sarciso,
M.S.Domont.,G.B.,Ferreira Sergio T., and
Pedrosa,C. 2003. Biological Evaluation of

Protein Isolate from


Cowpea (Vigina
unguiculuta L.Walp) seeds.J.Food Chemistry
87(2004) 491-499

Notulensi Diskusi:
PGO-220, Sri Kanoni dkk, Pengaruh Waktu Setelah
Penyembelihan Itik Terhadap Karakteristik Sosis
Dengan
Binder
Tepung
Kacang
Tolo
(Vignaunguiculata L. Walp)

Tanya: Pada pemotongan sapi ada proses


pelayuan daging sagi, apakah pada daging bebek
juga mengalami proses seperti pada sapi? (Dadik
Raharjo, Unair).
Jawab: Proses pelayuan daging setelah
pemotongan tidak hanya berlaku pada sapi. Pada
daging bebek juga mengalami proses pelayuan
untuk mencapai post rigor agar memiliki flavor
tertentu untuk masing-masing ternak memerlukan
waktu yang berbeda-beda.

220

Potensi Kacang Nagara (Vigna unguiculata spp Cylindrica)


untuk Olahan Tempe
Rini Hustiany
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat
Jl. Jend. A. Yani KM 32 Banjarbaru 70714 Telpon/Fax 0511 4772254
Contact Email : hustiany@yahoo.com
Abstrak - Tujuan penelitian adalah mengetahui penerimaan konsumen dan sifat fisiko kimia tempe kacang
Nagara dan arab yang tersubstitusi kacang kedele. Tempe diolah dengan rasio antara kacang Nagara dan arab
dengan kedele adalah 100 % ; 75:25; 50:50; dan 25:75. Kacang Nagara dan arab dapat diolah menjadi tempe
dengan rasa dan aroma yang sedikit asam dan getir, warna putih tulang pucat dan masih terdapat sisa-sisa
hilum yang berwarna hitam, serta teksturnya empuk sedikit lembek dan tidak serenyah tempe kedele. Kadar air
tempe kacang Nagara hampir sama dengan tempe kedele dan kacang arab, yaitu 64,35 -68,64 %; kadar abu
1,43 - 2,12 %. Tempe kacang Nagara mengandung lemak (2,81 %) yang lebih kecil dari tempe kedele (15,31%).
Tempe kacang Nagara juga mengandung protein (29,25%) yang lebih kecil dibandingkan tempe kedele (42,73
%). Akan tetapi tempe kacang Nagara mengandung karbohidrat (66,46 %) yang lebih besar dibandingkan tempe
kedele (39,99%). Tempe kacang Nagara mengandung lemak dan protein sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan tempe kacang arab, yaitu 2,27 % dan 28,49 %. Tempe kacang Nagara mengandung karbohidrat lebih
kecil dibandingkan dengan kacang arab (67,71%). Tempe kacang Nagara tersubstitusi kacang kedele pada rasio
50 : 50 masih diterima konsumen dari sisi rasa, aroma, tekstur, warna dan penampilan.
Kata Kunci : kacang Nagara, kedele, kacang arab, tempe
Abstract - The study purpose was to determine consumer acceptance and physico chemical properties of Nagara
and arab bean substituted soybean tempeh. Tempeh processed by the ratio between Nagara and arab bean with
soybean is 100%; 75:25; 50:50; and 25:75. Nagara and arab bean can be made into tempeh with flavors and
aromas slightly sour and bitter, pale bone white color and there are still remnants of the black hilum, and the
soft and mushy texture and not crispy such as soybean tempeh. The water content of Nagara bean tempeh is
similar to soybean and arab bean, which is 64.35 -68.64%; ash content of 1.43 to 2.12%. Nagara bean tempeh
contain fat (2.81%) smaller than soybean tempeh (15.31%). Nagara bean tempeh also contain protein (29.25%)
is smaller than soybean tempeh (42.73%). But Nagara bean tempeh contain carbohydrate (66.46%) are greater
than soybean tempeh (39.99%). Nagara bean tempeh contain fat and protein is slightly higher than arab bean
tempeh, which is 2.27% and 28.49%. Nagara bean tempeh contain carbohydrate less than arab bean (67.71%).
Nagara bean substituted soybean tempeh at 50: 50 ratio is still acceptable to consumers in taste, aroma, texture,
color and appearance.
Keywords : Nagara bean, soybean, arab bean, tempeh
lebak, kecamatan Nagara, kabupaten Hulu Sungai
Selatan. Kacang Nagara kurang termanfaatkan,
kacang Nagara kebanyakan hanya dimanfaatkan
sebagai sayur pada masakan karih dan dibuat
menjadi kacang goreng dengan pengolahan yang
lama.
Kacang Nagara (Vigna unguiculata ssp
cylindrica) adalah jenis kacang tunggak (Vigna
unguiculata) yang telah beradaptasi dengan
lingkungan daerah rawa di daerah Nagara
Kalimantan Selatan. Penanaman kacang ini
biasanya dilakukan pada musim kemarau, yaitu
ketika lahan rawa telah surut tetapi tanahnya masih
cukup lembab untuk ditanami.
Plasma nutfah kacang tunggak ada empat
kultivar, yaitu Padi, Papan, Kuning dan Arab.
Kultivar Padi mempunyai polong lebih panjang, biji

1. PENDAHULUAN
Protein adalah bahan pangan yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
bagi tubuh. Salah satu sumber protein yang banyak
dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah protein
nabati yang berasal dari kacang kedele, harganya
murah, rasanya enak dan tinggi protein. Akan tetapi
ada permasalahan dengan kacang kedele, yaitu
kacang kedele adalah tanaman sub tropis dan
kebanyakan merupakan komoditas impor. Dengan
demikian perlu adanya alternatif pengganti kacang
kedele dan merupakan kacang-kacangan yang
berasal dari sumberdaya lokal, dimana salah
satunya adalah kacang Nagara (Vigna unguiculata
sp Cylindrica) yang merupakan kacang lokal
Kalimantan Selatan yang tumbuh di daerah rawa

221

berukuran kecil dan berwarna putih kekuningkuningan dengan hilum berwarna coklat tua.
Kultivar papan mempunyai polong besar, biji besar
berwarna putih kekuning-kuningan atau kehijauhijauan dengan hilum besar berbentuk segitiga
berwarna coklat tua. Kultivar Kuning berpolong
besar, pada waktu muda polong berwarna hijau dan
putih kekuning-kuningan jika matang, biji putih
kekuningan-kuningan dengan hilum berwarna
coklat tua. Kultivar Arab berpolong besar, dengan
ukuran biji yang jiga relatif besar, biji berwarna
putih agak kekuning-kuningan dengan hilum
berwarna hitam [1]. Kacang tunggak kultivar
Kuning yang tumbuh di daerah Nagara menjadi
kacang tunggak unggul Nasional dengan nama
kacang Nagara atau kacang tunggak kultivar
Nagara pada tahun 1994 [2].
Kacang-kacangan dapat diolah menjadi
suatu olahan yang enak dan bergizi, seperti tempe.
Tempe adalah makanan yang diperoleh dengan cara
memfermentasikan
kacang-kacangan
dengan
menggunakan kapang Rhizopus oligosporus.
Tempe adalah makanan yang terkenal di Asia
Tenggara dan sekarang sudah menyebar ke seluruh
penjuru dunia, seperti Asia dan Afrika.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan
konsumen dan sifat fisiko kimia tempe kacang
Nagara yang tersubstitusi dengan kacang kedele
dan dibandingkan dengan kacang tunggak kultivar
arab.

ditiriskan. Selesai ditiriskan kacang diberi ragi


tempe komersil kurang lebih 1 g ragi untuk 100 g
kacang. Selanjutnya kacang dimasukkan ke dalam
daun pisang atau plastik untuk difermentasi selama
1 malam dan menjadi tempe
Tempe yang sudah dijadi selanjutnya
dilakukan analisis preferensi konsumen dengan uji
hedonik pada skala 1 sampai 7 dan analisis
proksimat berupa kadar air (metode oven), kadar
abu (metode tanur), kadar lemak (metode Soxhlet),
kadar protein (metode mikro Kjeldahl), dan kadar
karbohidrat (by differences) .
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kacang Nagara dan arab dapat diolah
menjadi tempe dengan proses yang sama dengan
pengolahan tempe kedele pada umumnya. Tempe
kedele berwarna kuning dan tidak ada warna bintikbintik hitam. Adapun pada tempe kacang Nagara
maupun arab berwarna putih keabu-abuan dan
mengandung bintik-bintik hitam. Pada kacang
Nagara kandungan bintik-bintik hitam ini lebih
banyak dibandingkan pada tempe kacang arab.
Warna hitam yang terdapat pada tempe kacang
Nagara maupun arab berasal dari hilum-hilum yang
terdapat pada kacang Nagara yang berwarna hitam,
sedangkan pada kedele hilumnya berwarna
kekuningan sehingga pada tempe kedele tidak ada
yang berwarna hitam.
Hilum-hilum yang berwarna hitam pada
kacang Nagara tidak dapat dihilangkan seluruhnya
pada saat penggilingan dan pencucian. Warna hitam
yang berasal dari hilum lebih banyak terdapat pada
tempe kacang Nagara dibandingkan dengan tempe
kacang arab. Hal ini disebabkan kacang Nagara
papan lebih kecil ukuran bijinya dibandingkan
dengan kacang arab. Akibatnya pada satuan jumlah
yang sama, hilum pada kacang Nagara lebih banyak
tertinggal pada saat dibuat menjadi tempe.
Tempe kedele berwarna kuning (Tabel 1)
sesuai dengan warna kedele, sedangkan warna
tempe kacang Nagara maupun arab berwarna putih
keabu-abuan sesuai dengan warna kacang Nagara
yang juga putih keabu-abuan. Adanya substitusi
kacang Nagara dan arab dengan kedele dapat
memperbaiki warna tempe yang pada mulanya
berwarna putih keabu-abuan dan pucat menjadi
agak lebih cerah.
Tempe kacang Nagara dan arab
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
tempe kedele. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa
tempe kedele 100% yang telah digoreng
mempunyai rasa gurih, sedangkan pada tempe
kacang Nagara dan arab 100 % atau kandungan
kacang Nagara dan arabnya sampai 75 % terasa
asam dan getir. Rasa asam pada tempe kacang
Nagara dan arab diduga disebabkan pada kacang
Nagara dan arab lebih banyak mengandung

2. BAHAN DAN METODE


Kacang Nagara yang digunakan untuk
diolah menjadi tempe ada dua jenis, yaitu kacang
Nagara dan arab. Kedua jenis kacang tersebut
diperoleh dari petani kacang Nagara yang berada di
desa Daha Utara, Kecamatan Nagara, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan. Adapun kedele diperoleh dari
pasar Banjarbaru.
Kacang Nagara dan arab selanjutnya
diolah menjadi tempe dengan disubstitusikan
kedelai. Perlakuan yang digunakan ada 4 perlakuan,
yaitu:
1. 75 kacang Nagara/arab : 25 kedele
2. 50 kacang Nagara/arab : 50 kedele
3. 25 kacang Nagara/arab : 75 kedele
4. 100 % kacang Nagara
5. 100 % kacang arab
6. 100 % kedele
Pengolahan tempe dilakukan dengan cara
terlebih dahulu kacang Nagara atau tersubstitusi
kedele direndam selama 1 malam. Selanjutnya
kacang digiling untuk memisahkan kulit ari kacang
dengan bagian daging kacang sekaligus untuk
memecah bagian kacang menjadi dua bagian.
Kacang yang sudah digiling dicuci untuk
memisahkan bagian kulitnya. Setelah itu kacang

222

karbohidrat dan sedikit protein dibandingkan


dengan kedele yang lebih banyak mengandung
protein dan sedikit karbohidrat (dapat dilihat pada
bagian analisis proksimat). Kandungan karbohidrat
yang banyak terdapat pada tempe kacang Nagara
dan arab berubah menjadi asam selama proses
fermentasi pada pengolahan tempe. Hal ini
dikuatkan dengan pendapat [3] yang menyatakan
bahwa pada saat dilakukan fermentasi, maka
Tempe Kacang Nagara
100 % Kedele
100 % Nagara
100 % Arab

25 : 75 kedele : Nagara
50 : 50 kedele : Nagara
75 : 25 kedele : Nagara
25 : 75 kedele : arab
50 : 50 kedele : arab
75 : 25 kedele : arab

bakteri asam laktat juga tumbuh pada pengolahan


tempe tersebut, seperti Lactobaccillus plantarum,
Lactobacillus fermentum,Lactobacillus acidophilus,
and Lactococcus lactis.Selain itu pH tempe juga
akan semakin menurun, sampai 2,8. Apabila pH
semakin menurun, maka Rhizopus oligosforus
menjadi mati dan pengolahan tempe menjadi tidak
baik.

Tabel 1. Karakteristik tempe kacang Nagara tersubstitusi kedelai


Karakteristik
Rasa gurih, aroma tempe, tekstur sedikit keras dan renyah, warna kuning
Rasa sedikit asam dan getir, aroma sedikit asam, tektur empuk, warna pucat dan
ada butiran-butiran hitam dari hilum kacang Nagara
Rasa lebih asam dari papan dan getir, aroma lebih asam dari papan, tekstur empuk
dan sedikit lembek, warna pucat dan sedikit warna hitam sisa dari hilum kacang
Nagara
Rasa sedikit asam dan getir, aroma sedikit asam, tekstur sedikit keras dan empuk,
warna pucat dan ada sisa-sisa warna hitam dari hilum kacang Nagara
Rasa gurih, aroma tempe, tekstur renyah, tidak terasa ada kacang Nagara, warna
agak kuning
Rasa gurih, aroma tempe, tektur sedikit keras dan renyah, tidak terasa ada kacang
Nagara, warna agak kuning
Rasa asam dan getir, aroma asam, tekstur agak lembek, warna pucat
Rasa asam dan getir, aroma asam, tekstur agak lembek, warna pucat
Rasa sedikit asam dan getir, aroma sedikit asam, tekstur agak lembek, warna
pucat

Proses perendaman kacang sebelum


dilakukan
penggilingan
sebenarnya
dapat
mengurangi rasa asam pada tempe. Akan tetapi,
bagian asam dari kacang Nagara dan arab sangat
sedikit dapat keluar selama proses perendaman.
Kondisi ini juga mengakibatkan rasa asam pada
tempe kacang Nagara masih terasa asam.
Selain rasa asam, pada tempe kacang
Nagara lebih terasa langu kacang dan getir
dibandingkan tempe kedelai. Rasa langu kacang
dapat disebabkan secara alami ada pada kacang
Nagara atau dapat disebabkan adanya oksidasi lipid
yang terdapat pada kacang Nagara.
Rasa asam dan langu tidak hanya terasa
pada saat tempe kacang Nagara dimakan akan tetapi
juga tercium pada aroma tempe kacang Nagara.
Adapun aroma tempe kedele tidak ada rasa asam,
getir dan langu, akan tetapi beraroma tempe pada
umumnya.
Karakteristik lain yang mempengaruhi
penerimaan konsumen adalah tekstur tempe kacang
Nagara. Tekstur tempe kacang Nagara maupun arab
adalah empuk dan lembek. Tekstur tempe kacang
arab lebih lembek dibandingkan dengan tempe
kacang Nagara. Tekstur empuk dan lembek pada
kacang Nagara dipengaruhi dengan kandungan
karbohidrat pada kacang Nagara yang lebih tinggi
dibandingkan dengan proteinnya. Selain itu, sifat
protein pada kacang Nagara diduga protein yang
bersifat polar sehingga mudah larut dan mudah

untuk berikatan dengan air [4]. Selain itu juga dapat


disebabkan, pada tempe kacang Nagara dan arab,
terjadi penurunan pH, sehingga kapang Rhizopus
oligosforus tidak dapat berkembang biak dengan
baik.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan
kedele yang bertekstur keras dan renyah apabila
sudah digoreng. Tekstur yang keras dan renyah pada
tempe kedelai dipengaruhi oleh kandungan protein
yang tinggi dan kandungan karbohidrat yang rendah
pada kedelai.
Preferensi Konsumen
Berdasarkan empat atribut yang dinilai
dengan uji hedonik, maka dapat dilihat bahwa
atribut rasa adalah yang menjadi titik kritis diterima
atau tidak diterimanya tempe kacang Nagara
maupun arab. Pada Gambar 1 dapat dilihat rasa
tempe kacang Nagara dapat diterima oleh panelis
adalah tempe kacang Nagara yang tersubstitusi
kedelai sampai 50%. Apabila lebih dari 50% sampai
100% kandungan kacang Nagara, maka konsumen
sudah tidak menyukai rasa tempe kacang Nagara.
Atribut aroma, warna dan tekstur antara
tempe kedelai dan kacang Nagara secara umum
tidak berbeda jauh. Hanya saja pada tempe kacang
arab dari 50% sampai 100% jumlah kacang, aroma
dan teksturnya agak tidak disukai konsumen
(Gambar 1). Aroma tempe kacang arab dari 50%
sampai 100% adalah asam, sedangkan teksturnya

223

lebih lembek dibandingkan dengan tempe kacang


Nagara.

Gambar 1. Preferensi konsumen terhadap tempe kacang Nagara

sampai 68,64 %. Kandungan air tempe kacang


Nagara hampir sama dengan tempe kedelai yang
sebesar 66,3 % (Gambar 2).

Sifat Fisiko Kimia


Kadar air kacang Nagara sebesar 13,65 %
dan arab sebesar 14,84 % (Gambar 2). Kadar air
kacang Nagara lebih kecil dibandingkan dengan
tempe kacang Nagara, arab maupun kedele yang
berkisar antara 64,35 %

Gambar 2. Kadar Air Kacang Nagara dan Tempe Kacang Nagara

Tempe dengan kandungan kacang arab


yang lebih besar, maka meningkatkan jumlah air
yang terdapat pada tempe, yaitu 67,35 - 68,64 %.
Peningkatan kadar air juga terjadi pada pengolahan
tempe dari barley dan oat, yaitu 52 - 56 % [5].
Kadar abu menunjukkan kandungana
mineral yang terdapat pada kacang dan tempe
kacang Nagara. Pada kacang Nagara dan arab
mengandung kadar abu yang lebih besar daripada
tempenya, yaitu berkisar antara 3,93 sampai 4,03 %
(Gambar 3). Hal ini disebabkan pada kacang Nagara
masih mengandung kulit ari dan belum ada proses
pencucian sebagaimana pada tempe kacang Nagara.
Kedua hal ini merupakan penyumbang kadar abu
yang sangat besar.

224

Gambar 3. Kadar abu kacang Nagara dan tempe kacang Nagara

Kadar abu tempe kacang Nagara berkisar


antara 1,43 sampai 2,12 % dengan besaran yang
tidak berbeda jauh dengan tempe kedele (1,98 %).
Menurunnya kadar abu pada tempe kacang Nagara
dan arab maupun kedele, karena sebagian besar kulit
arinya dan sebagian kecil hilumnya terbuang pada
waktu pencucian.
Penurunan kadar abu tempe juga terjadi
pada tempe barley dan oat. Kadar abu tempe barley
dan oat yang berkisar antara 0,9 sampai 1,2 % [5]
lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu barley
sebelum dibuat tempe yaitu 2,15 % [6].

Kadar lemak pada tempe kedele lebih tinggi


(15,31 %) dibandingkan dengan tempe kacang
Nagara (2,81 %) maupun arab (2,27 %) (Gambar 4).
Kadar lemak pada tempe kedele maupun kacang
Nagara dan arab menurun dibandingkan dengan
kedelenya atau kacang Nagara dan arabnya. Menurut
[7] kedele mengandung lemak sekitar 20%.
Penurunan kadar lemak juga terjadi pada tempe
barley, yaitu 1,8 % [5] sampai 1 % [6] dibandingkan
dengan kadar lemak barleynya sendirinya sebesar 2,
11 % [6].

Gambar 4. Kadar lemak kacang Nagara dan tempe kacang Nagara

Kandungan terpenting pada pangan olahan


yang berasal dari kacang-kacangan adalah protein,
karena kacang-kacangan adalah sumber protein.
Kandungan protein kacang Nagara sebesar 16,46 %,
sedangkan kacang arab mengandung protein sebesar
16,15 % (Gambar 5). Apabila kacang Nagara
dibandingkan dengan kedele yang mengandung 30
% karbohidrat (15 %-nya adalah serat), 18 % lemak
(85 %-nya adalah asam lemak tidak jenuh), 14 %
kadar air, dan 38 % protein [8], maka kacang Nagara

dan arab mengandung protein yang lebih rendah


dibandingkan dengan kedele.
Kandungan protein pada kacang Nagara ini
lebih kecil dibandingkan dengan kandungan protein
pada tempe kacang Nagara, yaitu 29,25 % dan 28,49
% untuk tempe kacang arab. Peningkatan kandungan
protein pada tempe kacang Nagara disebabkan pada
proses pembuatan tempe terjadi proses fermentasi
oleh kapang. Proses fermentasi ini diduga dapat
meningkatkan biosintesis protein dengan bantuan
kapang.

225

Tempe kedele juga mengandung protein


yang lebih tinggi, yaitu 42,73 %, dibandingkan
dengan tempe kacang Nagara dan arab. Adanya
substitusi kacang Nagara dengan kedelai akan
meningkatkan kandungan protein pada tempe
kacang Nagara tersubstitusi kedele (Gambar 5).

Tingginya kandungan protein pada tempe kedele


maupun pada tempe kacang Nagara tersubstitusi
kedele akan mempengaruhi kekerasan dan
kerenyahan tekstur tempe segar maupun tempe
goreng.

Gambar 5. Kadar protein kacang Nagara dan tempe kacang Nagara

Selain dipengaruhi oleh kandungan protein


pada kacang yang digunakan, tekstur tempe juga
dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat. Kadar
karbohidrat kacang Nagara dan arab berkisar antara
79,02 sampai 79,57 % (Gambar 6). Kadar
karbohidrat ini sangat besar dibandingkan dengan
kedele yang hanya mengandung sekitar 38 % [8].
Kandungan karbohidrat yang tinggi pada kacang
Nagara akan mengakibatkan kadar karbohidrat pada
tempe kacang Nagara juga tinggi (Gambar 6). Akan
tetapi terjadi penurunan kandungan karbohidrat pada
tempe kacang Nagara dibandingkan dengan kacang
Nagara. Penurunan kandungan karbohidrat ini
disebabkan pada pembuatan tempe terjadi
pembuangan kulit ari dari kacang Nagara dan
mengalami proses pencucian secara berulang-ulang
yang dapat mengurangi kandungan karbohidrat.

Tingginya kandungan karbohidrat dan


rendahnya kandungan protein pada kacang Nagara
dan arab mengakibatkan terbentuknya aroma asam
pada tempe kacang Nagara dan arab. Adapun tekstur
tempe yang terbentuk lebih empuk dan lunak.
Kondisi ini bertolak belakang dengan keadaan tempe
kedele yang tinggi kandungan proteinnya dan rendah
kandungan karbohidratnya. Dengan demikian tempe
yang dihasilkan keras dan renyah. Berdasarkan hal
ini kacang Nagara mempunyai sifat yang berbeda
dengan kedelai.
Semakin banyak substitusi kedelai pada
tempe kacang Nagara, semakin rendah pula
kandungan karbohidratnya. Bahkan pada kacang
arab yang tersubstitusi kedelai sebanyak 75 %, kadar
proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan
karbohidratnya, sebagaimana yang terdapat pada
tempe kedele.

226

Gambar 6. Kadar karbohidrat pada kacang Nagara dan tempe kacang Nagara

[5] M. Alminger dan C. Eklund-Jonsson. 2008.


"Whole-grain Cereal Products Based on a
High-fibre Barley or Oat Genotype Lower
Post-prandial
Glucose
and
Insulin
Responses in Healthy Humans". Eur J Nutr.
47:294300.
[6] Khokhar, Z.,M. A. Athar, Q-A. Syed, S. Baig,
M. Nadeem, M. G. Sher, S. Ali and I.
Islam. 2010. "Studies on the Development
of Value Added Food by Rhizopus
Oligosporus in Koji Fermentation".
Sci.Int(Lahore).22(3):219-226.
[7] K-I Chen, M-H Erh, N-W Su, W-H Liu, C-C
Chou, dan K-C Cheng. 2012. "Soyfoods
and Soybean Products: from Traditional
Use to Modern Applications". Appl.
Microbiol Biotechnol. 96:922.
[8] Dupont. 2002. "Soy Protein Forms".
www.protein.com. [Nopember 2002]

4. KESIMPULAN
Kacang Nagara (Vigna unguiculata spp
Cylindrica) berpotensi untuk diolah menjadi tempe
dan menjadi sumber protein nabati. Tempe kacang
Nagara yang tersubstitusi kacang kedele pada rasio
50 : 50 masih diterima konsumen dari sisi rasa,
aroma, tekstur, warna dan penampilan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan
Selatan yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI
[1] Badrussaufari dan C. Nisa. 1999. "Studi
Mikroskopik Kromosom Kacang Nagara
(Vigna sp.)". [Laporan Penelitian]. Faperta
Unlam, Banjarbaru.
[2] Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih
Tanaman
Pangan
dan
Hortikultura
Kalimantan Selatan. 1994. "Pelepasan
Kacang Nagara sebagai Kultivar Unggul".
BPSBTPH, Banjarbaru.
[3] O. R. Afolabi dan T. O. S. Popoola. 2005. "The
Effects of Baobab Pulp Powder on the
Micro
Flora
Involved
in
Tempe
Fermentation". Eur. Food Res. Technol.
220:187190.
[4] Hustiany, R. dan Mustikasari, K. 2009.
"Karakterisasi Dan Fraksinasi Produk
Bernilai Protein
Tinggi dari Kacang
Nagara dan Tempe Kacang Nagara (Vigna
Unguiculata Spp Cylindrica)". [Laporan
Hibah Fundamental].Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin.

Notulensi Diskusi:
PGO-221, Rini Hustiany, Potensi Kacang Nagara
(Vigna unguiculata spp Cylindrica) untuk Olahan
Tempe

227

Tanya: Bagaimana peningkatan protein dan


lemak pada kacang nagara sebelum dan setelah
diolah menjadi tempe ? (Sri Naruki, UGM).
Jawab: Kadar air yang berbeda pada saat
kacang dan setelah menjadi tempe. Kadar air
pada saat kacang + 13% dan setelah menjadi
tempe + 60%, berdasarkan analisis kimia balam
bentuk bahan kering maka kadar protein dan
kadar lemak setelah proses pengolahan menjadi
tempe mengalami peningkatan.

Permen Karet Berbahan Aktif Lilin Propolis sebagai Pangan Fungsional


Pencegah Karies pada Gigi
Muhamad Sahlan1), E. N. S. Irianto1), R. Tistama2), S. Angky3)
1) Laboratorium Rekayasa Teknologi Industri Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia. Kampus UI Depok 16424, Depok, Jawa Barat. Telpon (021-7863516) Fax. (0217863515)
2) Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, PT. Riset Perkebunan Nusantara. PO BOX
1415, Medan 20001, Sumatera Utara. Telpon (021-7863516) Fax. (021-7863515)
3) Laboratorium Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia. Kampus UI Salemba,
Jakarta
Contact email : sahlan@che.ui.ac.id
Abstrak - Karies gigi merupakan penyakit periodonsium yang terjadi akibat demineralisasi enamel gigi oleh
asam yang berasal dari aktivitas bakteri kariogenik, khususnya Streptococcus mutans. Permen karet terbukti
ampuh membantu pencegahan karies gigi dengan menstimulasi aliran saliva sehingga dapat mengurangi nutrisi
bagi bakteri kariogenik. Dalam penelitian ini permen karet bebas gula diformulasikan dengan menggunakan
lateks jelutong (Dyera costulata) sebagai komponen kunyahan dasar permen karet dengan penambahan zat aktif
antibakteri berupa lilin propolis (1-5%) untuk menginhibisi aktivitas bakteri S. mutans sebagai upaya
pencegahan karies gigi. Hasil karakterisasi (DSC dan TGA) lateks jelutong menunjukkan bahwa lateks tersebut
memiliki puncak Tg pada -22,46 C dan 33,86 C, serta mengandung komponen volatil (14,96%), komponen
polimer (84,43%), komponen organik (0,36%), dan komponen anorganik (0,25%). Lilin propolis yang
digunakan sebagai zat aktif permen karet merupakan produk samping pemurnian raw propolis Apis
melliferayang tersusun atas komponen resin dan lilin. Senyawa flavonoid yang berperan sebagai antibakteri
pada propolis, disinyalir masih terkandung dalam lilin propolis sehingga diduga kuat bahwa lilin propolis
memiliki sifat antibakteri selayaknya propolis. Hasil pengujian in vitro menunjukkan bahwa dengan konsentrasi
5% dalam sediaan permen karet bebas gula, lilin propolis 80% lebih efektif menginhibisi aktivitas S.mutans
dalam pembentukan biofilm plak gigi relatif terhadap kontrol negatif (tanpa permen karet).
Kata Kunci: Biofilm, formulasi, lilin propolis, permen karet, Streptococcus mutans
Abstract - Dental caries is a periodontium disease caused by demineralization of tooth surface by organic acid
as the result of cariogenic bacteria metabolism, especially Streptococcus mutans. Chewing gum has been proven
to help prevent dental caries formation by stimulating salivary flow thus reduce the nutrients for cariogenic
bacteria. In this study, sugar-free chewing gum are formulated by using latex from jelutong (Dyera costulata)
with the addition of propolis wax (1-5%) as the antibacterial agent to inhibit the activity of S. mutans to prevent
biofilm formation which is an earlier stage of dental caries. Characterization of latex jelutong (DSC and TGA)
shows that the latex has a temperature Tg at -22.46 C and 33.86 C, and contain volatile components
(14.96%), the polymer component (84.43%), organic components (0.36%), and the inorganic component
(0.25%). Propolis wax that used in this formulation is a by-product of raw propolis Apis mellifera purification
which generally composed of resin and wax. Flavonoids which act as antibacterial compound in propolis,
presumably also contained in propolis wax, so allegedly it also have the antibacterial properties of propolis. The
in vitro test showed that 5% of propolis wax in sugar-free chewing gum is able to prevent the formation of dental
caries by inhibiting biofilm formation up to 80% more effective relative to the negative control (without chewing
gum).
Keywords: biofilm; chewing gum; formulation; Streptococcus mutans; wax propolis
penduduk Indonesia yang mempunyai masalah gigi
dan mulut mencapai 43,3%[1]. Namun, karies masih
seringkali dianggap remeh oleh masyarakat
Indonesia. Menurut Liza Ramdhani Wiyonoputri,
pakar dari Dentist Gallery, 87% masyarakat yang
mengeluh sakit gigi tidak berobat sama sekali, atau
sekitar 12% masyarakat yang mengeluh sakit gigi
dan datang berobat sudah dalam keadaan terlambat.
Pencegahan perkembangan karies gigi ini menjadi
penting karena dapat menyebabkan focal infection

1. PENDAHULUAN
Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan
keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum yang
disebabkan aktivitas jasad renik dalam rongga mulut
yang tidak bersih. Hingga saat ini, karies masih
merupakan masalah kesehatan baik di negara maju
maupun di negara-negara berkembang. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2013, prevalensi
228

dental origin, yaitu infeksi kronis di suatu tempat


yang memicu penyakit di tempat lain seperti infeksi
pada paru-paru, jantung dan otak yang bahkan dapat
menyebabkan kematian.
Penyebab utama dari karies gigi adalah bakteri
Streptococcus mutans.[2] S. mutans akan membentuk
asam dari gula yang terkandung dalam makanan,
yang melekat pada permukaan gigi (plak). Asam ini
dilarutkan oleh enamel gigi dan menyebabkan
terjadinya demineralisasi, yaitu terkikisnya lapisan
kalsium dan fosfat pada permukaan gigi yang
berujung pada karies gigi. Oleh karena itu, dalam
upaya pencegahan karies gigi, pertumbuhan bakteri
kariogenik dalam rongga mulut, khususnya S.
mutans harus dihambat. Permen karet telah terbukti
dapat menstimulasi aliran saliva dalam rongga mulut
untuk membantu mengurangi endapan sisa makanan
sehingga mengurangi nutrisi bagi populasi bakteri
kariogenik.[3] Hal tersebut menyebabkan sediaan
permen karet bebas gula sering digunakan sebagai
produk anti karies gigi.
Pemanfatan bahan-bahan alami sebagai zat
antibakteri tersebut sudah sering dilakukan, salah
satunya adalah propolis lebah. Bagi manusia,
propolis sangat bermanfaat bagi kesehatan karena
mengandung senyawa flavonoid, turunan senyawasenyawa fenolik, dan asam-asam aromatik yang
berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan.
Dalam pemanfaatannya, propolis yang diperoleh
harus dimurnikan sebelum di proses lebih lanjut.
Hasil samping dari proses pemurnian propolis
tersebut adalah lilin propolis yang hingga kini belum
dimanfaatkan lebih lanjut karena kandungan
polifenol dalam lilin propolis yang lebih sedikit
dibanding dalam propolis murni (hanya sekitar 2,45%). Namun dalam jumlah tersebut, polifenol dalam
lilin propolis terbukti masih efektif dalam
menginhibisi aktivitas bakteri S.mutans, yaitu
mencapai 100% dalam konsentrasi 45 mg/ml.[4]
Penelitian ini bertujuan untuk membuat
formulasi permen karet bebas gula dengan
penambahan lilin propolis sebagai zat aktif
antibakteri. Hasil formulasi tersebut selanjutnya
akan diuji kemampuannya dalam menginhibisi
aktivitas Streptococcus mutans secara in vitro untuk
mengetahui efektivitasnya
dalam mencegah
pembentukan koloni primer pembentuk plak gigi.

pengunyan permen karet, dan alat-alat gelas untuk


analisis (Pyrex, Jepang).
2.2 Bahan
Lateks jelutong (Dyera costulata, Sumatera
Utara), gum arabic, lilin lebah dan lilin propolis
A.mellifera(diperoleh dari proses maserasi raw
propolis oleh Andhika Akhmariadi, 2012), gilserin,
oleum menthae, madu hutan (Sumatera Utara),
sugarleaf stevia, CaCO3, aquademineralisata
(Brataco Indonesia), phosphate buffered saline
(PBS), Brain Heart Infusion (BHI) broth dan agar
(Sigma Aldrich), serta bakteri Streptococcus mutans
(ATCC 25175).
2.3 Pembuatan Permen Karet
Permen karet dibuat dalam 5 variasi lilin
propolis (1-5%) dan 1 permen blanko dengan
komposisi seperti pada Tabel 1. Seluruh formula
dibuat dengan metode dan kondisi operasi yang
sama. Pembuatan permen dilakukan dengan
pemanasan berulang menggunakan presto cooker
dengan urutan pencampuran bahan: jelutong - lilin
lebah - gum arabic gliserin madu hutan stevia
lilin propolis. Masing-masing formulasi permen
karet dibentuk dengan massa sajian 3 gram.
Tabel 1: Komposisi Campuran Awal Permen Karet
Bahan
Fungsi
Jelutong
Elastomer
Lilin lebah
Pengemulsi
Gum Arabic
Plasticizer
Gliserin
Softener
Oleum Menthae
Perisa mint
Madu
Pemanis
Stevia
Pemanis (polyols)

2.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri


Preparasi sampel uji dimulai dengan
mempersiapkan saliva murni yang diambil dari
mulut manusia dan ditampung pada centrifuge tube
50 mL. Saliva yang terkumpul disentrifugasi selama
20 menit dengan kecepatan 4500 x g pada suhu 4 oC.
Saliva tersebut diencerkan 10x dengan MiliQ Water
dan disaring menggunakan filter minisart 0,22 m.
Sampel uji diperoleh dengan cara mensimulasikan
proses pengunyahan permen karet dengan
menggunakan mortar dengan laju penumbukan yang
dijaga pada 1 tumbukan/detik dan laju penambahan
saliva 0,7 mL/menit.
Selanjutnya dilakukan pembuatan media kultur
BHI Agar dan disterilisasi media tersebut beserta
seluruh alat yang digunakan, menggunakan autoklaf
pada suhu 121oC selama 2 jam. Stok Streptococcus
mutans dibuat dengan cara menginolukasi 1 ose
biakan murni ke dalam 5 mL BHI Broth dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Stok
diencerkan menggunakan BHI Broth hingga
konsentrasi bakteri mencapai konsentrasi 106
CFU/mL.
Sebanyak 250 L sampel uji (campuran saliva
dan permen karet) dimasukkan ke dalam masing-

2. BAHAN DAN METODE


2.1 Alat
Presto
cooker(Maxim),
inkubator

(Memmert , Japan), filter 0,22 m, syringe


(Sartorius Minisart, Jerman), vortex (SciQuip,
Inggris), microcentrifuge tube 1,5 mL, pipet mikro
(ExtraGene, Jerman), 24-well plate, cawan petri
(TPP, Swiss), cell scrapper (Iwaki, Jepang), ose
dan kapas lidi, autoklaf (Nacro e series model 9000D, Jerman), wadah alumunium untuk pembutan
permen karet, mortar untuk alat bantu simulasi

229

masing sumuran pada 24-well plate. Well plate


diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37oC. Setelah
90 menit, masing-masing sumuran dibilas dengan
menggunakan PBS steril sebanyak 500 L.
Selanjutnya, dilakukan kultur bakteri Streptococcus
mutans dengan cara menginjeksikan 1000 L bakteri
S. mutans ke setiap sumuran pada well-plate tersebut
untuk kemudian diinkubasi selama 24 dan 48 jam.
Hasil kultur bakteri berupa lapisan biofilm dan
supernatan yang terbentuk diinokulasikan pada
medium BHI agar. Koloni yang terbentuk dihitung
jumlahnya menggunakan metode Total Plate Count
(TPC).
3.

(14,96%), komponen polimer (84,43%), komponen


organik (0,36%), dan komponen anorganik (0,25%).
3.2 Hasil Uji Efektivitas Antibakteri Permen
Karet Lilin Propolis
Pengujian aktivitas antibakteri dari permen
karet uji dilihat dari kemampuan masing-masing
formulasi untuk menginhibisi pertumbuhan bakteri
kariogenik, Streptococcus mutans, secara in vitro.
Pengujian dilakukan dengan mensimulasikan
pembentukan biofilm pada permukaan gigi manusia
dalam sebuah well plate. Sampel yang digunakan
sebagai bahan uji merupakan permodelan saliva
manusia yang telah mengonsumsi permen karet uji,
yaitu dibuat dengan cara menumbuk permen karet
hasil formulasi dalam saliva steril seama 20 menit
dengan bantuan mortar sebagai model gerakan
mekanik yang terjadi dalam rongga mulut manusia
selama pengunyahan permen karet.
Larutan yang dihasilkan dari simulasi tersebut
yang kemudian digunakan sebagai pembentuk
lapisan pelikel dalam well-plate. Untuk memastikan
bahwa larutan uji bebas dari kontaminan, larutan uji
tersebut tersebut diinokulasi pada medium Agar
BHI. Setelah diketahui bahwa tidak ada koloni
bakteri yang terbentuk pada medium agar untuk
setiap larutan uji, sehingga dapat disimpulkan bahwa
larutan uji telah bebas dari kontaminan.
Larutan uji yang telah steril diinokulasi ke
dalam well plate dan kemudian diinkubasi selama 90
menit. Selama inkubasi tersebut, terbentuk suatu
lapisan tipis berupa endapan glikoprotein (mucin)
dari saliva yang melapisi permukaan well yang
disebut pelikel. Seperti halnya pada rongga mulut
manusia, dimana ikatan antara adsorbsi dan desorbsi
molekul saliva terjadi 90-120 menit setelah
menyikat gigi[5]. Dalam periode tersebut terbentuk
pelikel yang bekerja seperti perekat bersisi dua, satu
sisi melekat ke permukaan gigi, sedangkan
permukaan lainnya merupakan sisi yang melekatkan
bakteri pada permukaan gigi[6].
Setelah lapisan pelikel terbentuk, bakteri uji
(Streptococcus
mutans)
dengan
konsentrasi
106CFU/mL diinokulasi kedalam well sebagai
permodelan aktivitas karies yang tinggi. Bakteri uji
diperoleh dari stok kultur bakteri S. mutans yang
diencerkan hingga konsentrasinya mencapai
106CFU/mL. Bakteri yang diinokulasikkan ke dalam
wellakan melekat pada lapisan pelikel yang telah
terbentuk di dasar well dengan bantuan adhesin,
yaitu molekul spesifik yang berada pada permukaan
bakteri. Streptococcus mutans mempunyai berbagai
polimer permukaan sel sebagai bahan antigen yang
dikenal sebagai antigen B, 1/I1, IF, Pac, SR, P1,
dimana antigen tersebut berperan sebagai adhesin
yang yang akan berinteraksi dengan reseptor pada
pelikel gigi sehingga terjadi interaksi antara bakteri
dengan saliva yang dapat membentuk lapisan
biofilm di permukaan gigi atau bahan restorasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Lateks Jelutong (Dyera


costulata)
Dalam pembuatan formulasi permen karet ini,
lateks jelutong (Dyera costulata) dipilih sebagai
elastomer dalam campuran dasar permen karet
karena lateks jelutong merupakan salah satu
elastomer alami yang penggunaanya dalam permen
karet telah disetujui oleh FDA.
Profil termal dari lateks ini diperoleh dengan
melakukan analisa suhu transisi menggunakan
Differential Scanning Calorimetric (DSC - ASTM
D3418-08), sedangkan komposisi lateks diperoleh
melalui
analisa
ketahanan
termal
dengan
Thermogravimetric Analysis (TGA ASTM E113108).
Pengujian DSC pada sampel lateks jelutong
dilakukan dengan kecepatan pemanasan 30
o
C/menit, dengan kecepatan aliran gas nitrogen
sebagai purge gas sebesar 20 ml/menit. Analisis
diakukan dengan program temperatur heatingcooling-heating (50 oC 140 oC (-100) oC 100
o
C). Pengukuran DSC dilakukan untuk mengetahui
temperatur transisi gelas (Tg) dari lateks jelutong.
Adanya puncak endotermis pada termogram DSC,
yaitu pada -22,46 C dan 33,86 C, menunjukkan
titik temperatur Tg pada lateks jelutong, dimana di
bawah temperatur tersebut polimer bersifat glassy,
dan di atas temperatur tersebut polimer bersifat
rubbery. Transisi gelas terjadi karena suhu padatan
amorf meningkat. Transisi ini muncul sebagai
langkah dalam dasar rekaman dari sinyal DSC. Hal
ini disebabkan sampel mengalami perubahan dalam
kapasitas panas namun tidak ada perubahan fase
formal yang terjadi. Dengan meningkatnya suhu,
padatan amorf akan menjadi kurang kental
(mencair).
Hasil termogram dari pengujian lateks
jelutong menggunakan TGA menujukkan adanya
penurunan massa yang signifikan pada suhu sekitar
2000C, 3000C, dan 7000Cyg kemungkinan besar
dikarenakan kehilangan unsur volatil, rantai polimer,
dan karbon secara berurutan. Dari data tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa pada lateks jelutong
(Dyera costulata) mengandungkomponen volatil
230

sehingga menghantar terjadinya proses kolonisasi.


Bakteri Streptococcus mutans dapat berikatan dan
beragregasi dengan berbagai molekul saliva seperti:
sIgA, B2, mikroglobulin, histidin rich polipeptides,
glikoprotein 60 kD dan glikoprotein dengan berat
molekul tinggi. Khusus untuk antigen Pac diketahui
dapat berikatan dengan protein saliva dengan berat
molekul 28000 kD, lisozim dan -amilase. Protein
saliva yang berikatan dengan molekul Pac tersebut
dikenal dengan agglutinin saliva sebagai media
perlekatan bakteri Streptococcus mutans.
Untuk memastikan jumlah koloni yang
terbentuk pada biofilm maupun jumlah bakteri
planktonik yang terbentuk, maka masing-masing
sampel biofilm dan supernatan diinokulasi kedalam
medium Agar BHI dengan metode cawan agar sebar/
spread plate, yaitu dengan menuangkan terlebih
dahulu agar ke dalam cawan petri dan kemudian
larutan uji diratakan pada permukaan agar
menggunakan slider. Agar jumlah koloni yang
terbentuk pada agar dapat dengan mudah dihitung,
maka sebelumnya masing-masing sampel biofilm
dan supernatan diencerkan hingga 6 kali dengan
menggunakan
medium
cair
BHI
Broth.
Jumlahkoloni yang terbentuk pada masingmasingplate dihitung dan kemudian dikalikan
dengan faktor pengenceran untuk memperoleh
jumlah bakteri yang terdapat dalam masing-masing
sumuran.
Hasil penghitungan jumlah koloni yang
tumbuh pada `masing-masing plate dapat dilihat
pada Tabel 2 dan 3.
Analisis statistik pada data yang tersaji pada
kedua tabel diatas menggunakan one-way Anova
menunjukkan bahwa pertumbuhan S. mutans
dipengaruhi secara signifikan oleh kehadiran lilin
propolis (p < 0.05).

3.2.1 Pengaruh Konsentrasi Zat Aktif Lilin


Propolis dalam Sediaan Permen Karet
terhadap Aktivitas Antibakteri
Hubungan antara konsentrasi zat aktif lilin
propolis
terhadap
aktivitas
penghambatan
pertumbuhan bakteri kariogenik S. mutans dalam
membentuk biofilm dapat dilihat pada Gambar 2.
Dapat dilihat melalui Tabel 2 dan 3 serta
Gambar 1 bahwa pada kondisi in vitro, semakin
tinggi konsentrasi zat aktif lilin propolis dalam
formulasi permen karet uji, maka daya hambat
permen karet tersebut terhadap pembentukan biofilm
relatif semakin tinggi.

Gambar 1: Hubungan Konsentrasi Zat Aktif terhadap


Konsentrasi Streptococcus mutans pada Lapisan Biofilm

Lilin propolis mengandung senyawa polifenol


sebanyak 24-50 mg/g. Adanya senyawa polifenol
dalam lilinpropolis
mengindikasikan bahwa
lilinpropolis memiliki masih memiliki aktivitas
sebagai antibakteri, sama halnya seperti propolis[4].
Hal tersebut terbukti dengan adanya penurunan
jumlah koloni S. mutans pada lapisan biofilm seiring
dengan kenaikan persentase zat aktif dalam permen
karet uji. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, senyawa polifenol
berperan dalam inhibisi pertumbuhan bakteri S.
mutans, salah satunya dengan cara menginhibisi
sintesis enzim glukuronil transferase (GTF). GTF
pada S.mutans berperan dalam sintesis beberapa
bentuk glukan ekstrakseluler dengan berat molekular
tinggi, dimana polimer glukosa ini akan membantu
agregasi bakteri melalui interaksi protein ikatan
glukan (glucan binding protein).
S. mutans memproduksi 3 jenis enzim GTF,
yaitu GTF B (yang mensintesis 1,3 - glukan yang
bersifat tidak larut), GTF C (yang mensintesis
campuran 1,3-glukan dan 1,6-glukan), dan GTF
D (yang mensintesis 1,6-glukan yang bersifat tidak
larut)[10].
Dalam kondisiin situ, sukrosa yang berasal dari
karbohidrat akan dihidrolisis dengan bantuan enzim
GTF-B dan GTF-C membentuk glukan yang tidak
larut, sedangkan enzim GTF-D akan menghasilkan
glukan terlarut yang berperan sebagai primer bagi
GTF-B untuk mempercepat sintesis polikasarida.
Molekul glukan ini selanjutnya akan berikatan satu
sama lain, membentuk matriks yang akan membantu
perekatan S.mutans (attachment phase) dan

Tabel 2: Koloni yang Terbentuk Setelah 24 Jam


Inkubasi 24 jam
Konsentrasi
Biofilm
Planktonik
Lilin Propolis
(x106 CFU/ml)
(x106 CFU/ml)
Kontrol (saliva)
3000
1900
0% (blanko)
3600
1100
1%
2600
2000
2%
1600
2500
3%
2000
2000
4%
1100
2400
5%
600
3500
Tabel 3: Koloni yang Terbentuk Setelah 48 Jam
Inkubasi 48 jam
Konsentrasi
Biofilm
Planktonik
Lilin Propolis
(x106 CFU/ml)
(x106 CFU/ml)
Kontrol (saliva)
3500
1500
0% (blanko)
4000
900
1%
2800
1700
2%
1100
3000
3%
1700
2300
4%
700
2700
5%
400
3700

231

membantu proses akumulasiS.mutans (maturity


phase) pada lapisan pelikel.
Pengaplikasian permen karet berbahan aktif
lilin propolis menyebabkan terjadinya dispersi
senyawa aktif antibakteri yang terkandung dalam
lilin propolis, pada saliva, sehingga lapisan pelikel
akan didominasi oleh senyawa aktif tersebut.
Mengingat bahwa lilin propolis merupakan hasil
samping dari pemurnian propolis yang masih
mengandung 13-15% resin propolis[4], maka dapat
diasumsikan senyawa aktif antibakteri pada propolis
juga terkandung dalam lilin propolis yang digunakan
sebagai zat aktif dalam formulasi permen karet ini.
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang
paling aktif dalam menujukkan sifat antibakteri;
flavon dan flavonol efektif sebagai inhibitor GTF,
sedangkan
flavanon
dan
dihidroflavonol
pinobanksin-3-asetat
menunjukkan
aktivitas
antibakteri. Hingga kini, belum dapat diketahui
secara persis bagaimana mekanisme kerja flavonoid
untuk menginhibisi sintesis enzim GTF oleh S.
mutans, namun dari data penelitian sebelumnya
dapat diketahui bahwa bahwa inhibisi enzim GTF
bergantung pada struktur molekul flavonoid dan
kondisi fisik enzim itu sendiri. Flavon dan flavonol
yang memiliki ikatan rangkap tak jenuh antara posisi
C-2 dan C-3, menunjukkan penghambatan yang luar
biasa pada aktivitas enzim GTF; sebaliknya,
flavanon dan dihidroflavonol, yang tidak memiliki
ikatan rangkap antara C-2 dan C-3, menunjukkan
aktivitas penghambatan yang sederhana[7].
Kehadiran ikatan rangkap diantara C-2 dan C-3
dapat memberikan tempat untuk terjadinya reaksi
adisi nukleofilik oleh rantai samping dari asam
amino pada GTF. Asam amino yang berperan
penting dalam reaksi ini adalah asam aspartat,
dimana rantai samping asam aspartat (CH2COOH)
berperan sebagai nukleofil yang akan bereaksi
dengan flavon dan flavonol sehingga menginhibisi
aktivitas GTF. Adanya inhibisi enzim GTF dapat
menginhibisi pelekatan S. mutans pada permukaan
well akibat dari berkurangnya hidrofobisitas dari
bakteri tersebut, sehingga pembentukan biofilm pun
terhambat.
Selain itu flavonoid (khususnya flavanon dan
dihidroflavonol pinobanksin-3-asetat) dan terpen
(khususnya tt-farnesol) pada resin propolis juga
bertanggung jawab atas aktivitas penghambatan
pertumbuhan bakteri. Para peneliti menyatakan
pendapat yang berbeda-beda sehubungan dengan
mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Di Bryan LE[8] dan Gisvold
Wilson[9], menemukan bahwa flavonoid mampu
menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas
dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai
hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri.
Sedangkan Di Carlo et al [10] dan Estrela et al [11]
menyatakan bahwa gugus hidroksil yang terdapat
pada struktur senyawa flavonoid menyebabkan
perubahan komponen organik dan transpor nutrisi

yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek


toksik terhadap bakteri. Mekanisme yang bereda
ditemukan oleh Mirzoeva et al [10], ia menyatakan
bahwa flavonoid mampu melepaskan energi
tranduksi terhadap membran sitoplasma bakteri dan
juga menghambat motilitas bakteri.
3.2.2 Pengaruh Waktu terhadap Aktivitas
Antibakteri Sediaan Permen Karet
Waktu termasuk dalam variabel yang
dimodifikasi dalam penelitian ini untuk mengamati
kinerja zat aktif lilin propolis dalam menginhibisi
pertumbuhan bakteri kariogenik dalam membentuk
biofilm. Setelah diinkubasi selama 24 jam, secara
kualitatif dapat terlihat bahwa terbentuk 2 jenis
koloni bakteri S.mutans dalam well plate, yaitu
bakteri planktonik pada supernatan dan koloni
bakteri yang membentuk lapisan biofilm pada dasar
sumuran (Gambar 2.).

Gambar 2: Hasil Kultur Bakteri dalam Well Plate.


(a1) Hasil inkubasi 24 jam; (a2) Hasil inkubasi 24 jam setelah dibilas
dengan PBS; (b1) Hasil inkubasi 48 jam; (b2) Hasil inkubasi 48 jam
setelah dibilas dengan PBS.

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada baris


pertama, supernatan pada hasil inkubasi 48 jam
relatif lebih keruh dibandingkan dengan supernatan
pada hasil inkubasi 24 jam, yang berarti supernatan
tersebut mengandung lebih banyak S.mutans dalam
bentuk bakteri planktonik. Sedangkan pada baris
kedua, secara kualitatif terlihat bahwa koloni
S.mutans yang membentuk lapisan biofilm pada
periode inkubasi 24 jam terlihat lebih tebal
dibandingkan pada periode inkubas 48 jam. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
periode 48 jam, siklus perkembangan biofilm telah
mencapai tahap dispersi koloni.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Ruijie Huang, et al.[12] yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, bahwa pada kondisi sebenarnya pada
rongga mulut manusia, setelah biofilm matang akan
terjadi pelepasan gumpalan-gumpalan maupun
individu sel bakteri untuk mencari substrat di
232

permukaan gigi baru sehingga terjadi penyebaran


pembentukan biofilm. Keterbatasan nutrien yang
terdapat pada tempat pelekatan awal bakteri
merupakan salah satu penyebab terjadinya dispersi
koloni tersebut, sehingga bakteri tersebut perlu
mencari tempat pelekatan baru untuk memenuhi
nutrisi [12].
Secara kuantitatif, efektivitas penghambatan
pembentukan biofilm pada dua variasi waktu untuk
masing-masing variasi konsentrasi zat aktif dalam
permen karet uji tersebut dapat dihitung dan dilihat
pada Tabel 4 dan Gambar 3.

Lateks jelutong (Dyera costulata) yang


digunakan sebagai komponen elastomer dalam
formulasi permen karet memiliki suhu Tg pada 22,46 C dan 33,86 C, serta mengandung komponen
volatil (14,96%), komponen polimer (84,43%),
komponen organik (0,36%), dan komponen
anorganik (0,25%).
Formulasi permen karet bebas gula yang
disertai penambahan lilin propolis pada rentang 15% pada penelitian ini menghasilkan tekstur permen
karet bebas gula yang mendekati tekstur permen
karet yang telah komersil di pasaran. Dalam bentuk
sediaan permen karet bebas gula tersebut, lilin
propolis sebanyak 5% b/b terbukti mampu
menginhibisi aktivitas Streptococcus mutans dalam
proses pembentukan biofilm plak gigi,yaitu 80%
lebih efektif relatif terhadap kontrol negatif (tanpa
permen karet), sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa permen karet lilin propolis yang dihasilkan
dapat menghambat proses pembentukan karies gigi.

Tabel 4: Persentase Efektivitas Penghambatan Biofilm


Sediaan Permen Karet
Kandungan
Zat Aktif
0%
1%
2%
3%
4%
5%

% Inhibisi*
24 Jam 48 Jam
-20%
-11%
13%
-8%
47%
31%
33%
15%
63%
36%
80%
33%

DAFTAR REFERENSI
[1] Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2007). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKEDAS) Nasional.
[2] Narins, B. (2003). World of Microbiology and
Immunology. America: Thomson Gale.
[3] Azarpazhooh, A., & Limeback, H. (2008).
Clinical efficacy of casein derivatives: A
systematic review of the literature. The Journal
of the American Dental Association, 139(7),
915-924.
[4] Hudnall, M. (2007). United States Patent No.
7.294.351.
[5] Rasinta, T. (1999). Karies Gigi. Jakarta:
Hipokrates.
[6] Nakai, M., Okahashi, N., Ohta, H., & Koga, T.
(1993). Saliva-binding region of Streptococcus
mutans surface protein antigen. Infection And
Immunity, p.4344-4349.
[7] Koo, H., Rosalen, L. P., Cury, A. J., Park, Y.
K., dan Bowen, W. H. (2002). Effects of
Compounds
Found
in
Propolis
on
Streptococcus mutans Growth and on
Glucosyltransferase Activity. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, 46 (5), 13021309
[8] Di Carlo G, Mascolo N, Izzo AA, Capasso F.
Falvonoids: old and new aspects of a class of
natural therapeutic drugs. Life Sci 1999; 65
(4):33753.
[9] Wilson, Gisvold. (1982). Kimia farmasi dan
medisinal organik. Edisi ke-8. Achmad
Mustofa Fatah. Jakarta: Dirjen Dikti dan
Kebudayaan h. 102.
[10] Di Carlo G, Mascolo N, Izzo AA, Capasso F.
Falvonoids: old and new aspects of a class of
natural therapeutic drugs. Life Sci 1999; 65
(4):33753.

* % Inhibisi 24 jam relatif terhadap kontrol; %Inhibisi 48


jam relatif terhadap jumlah koloni pada perlakuan 24 jam

Gambar 3: Grafik Persentase Efektivitas Penghambatan


Biofilm Sediaan Permen Karet

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui


bahwa setelah 48 jam persentase penghambatan
aktivitas bakteri kariogenik dalam pembentukan
biofilm oleh permen karet lilin propolis menurun
untuk seluruh variasi konsentrasi lilin propolis.
Sehingga, dari hasil tersebut disimpulkan bahwa
sediaan permen karet lilin propolis bekerja efektif
dalam menghambat proses pelekatan bakteri hingga
pematangan biofilm plak gigi (attachment maturation phase) pada 24 jam pertama, yaitu
mencapai 80% pada konsentrasi lilin propolis
sebesar 5%.
4. KESIMPULAN
Dari proses penelitian hingga pembahasan
yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya,
dapat disimpulan bahwa permen karet bebas gula
yang diformulasikan menggunakan bahan-bahan
yang aman sesuai dengan peraturan Food and Drug
Admnistration, sehingga permen karet ini tergolong
aman.

233

[11] Estrela C, Sydney GB, Bammann LL, Felippe


Jr O. Mechanism of action calcium and
hydroxyl ions of calcium hydroxide on tissue
and bacteria. Brazil Dent J 1995; 6:8590.
[12] Huang, R., Li, M., & Gregory, R. L. (2011).
Bacterial interactions in dental biofilm.
Virulence, 2, 435-444.
[13] Mirzoeva OK, Grishanin RN, Calder PC.
Antimicrobial action of propolis and some of
its components: the effects on growth,
membrane potential, and motility of bacteria.
Microbiol Res 1997; 152:239-46.
Notulensi diskusi:
PGO-222, Muhamad Sahlan dkk, Permen Karet
Berbahan Aktif Lilin Propolis sebagai Pangan
Fungsional Pencegah Karies pada Gigi

Tanya: Apa yang menjadi dasar atau landasan


pada penelitian, yang menggunakan 6 formula?
(Sri Pudjiraharti, LIPI).
Jawab: Pada penelitian menggunakan satu
blanko dan lima formula yang berbeda, yang
membedakan adalah kandungan persentase lilin
propolis dari 1 5 %. Sedangkan 5%
merupakan batas penggunaan lilin propolis
setelah membaca paten- paten tentang lilin
propolis yang ada.

234

Pengembangan Ragam Produk Cookies, Flake, Stik, Mie Sorgum:


Dalam Rangka Menggerakkan Industri Pangan Sorgum
1)Endang

Noerhartati

1)Program Studi Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknik -Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Jl. Dukuh Kupang XXV/54 Surabaya 60225
Telpon (031) 5677577 (psw 135,134) / Fax (031) 5679791, 8295513 / Hp. 08563046119
email: endang_noer@uwks.ac.id
Abstrak - Sorgum sebagai sumber pangan potensial mendukung program diversifikasi dan ketahanan pangan,
peringkat ke-5 setelah gandum, padi, jagung dan barley. Penelitian bertujuanmendapatkan kombinasi terbaik
cookies, flake, stik, mie sorgum, menggunakanRancanganAcakKelompok (RAK) 2 faktor3 ulangan. Faktor I:
JenisTepung (T): T1: tepung sorgum merah (Sorgum bicolor) dan T2: tepungsorgumputih (KD 4). FaktorII
:Konsentrasi (K): K1:25%; K2:50%; K3:75%; dan K4:100%. Pengamatan: ujiorganoleptik parameter rasa,
warna, aroma, dan kerenyahan, kadar air, karbohidrat, protein, dan lemak. Analisis data:
ujiorganoleptikmenggunakanuji Friedman, analisis kimia menggunakananalisisvarian dilanjutkan ujiduncan
5%. Hasilpenelitian: 1) rendemen biji 6 ton/ha, beras 4,2 ton/ha, tepung 4,2 ton/ha, bekatul 0,6 ton/ha, dedak
sorgum 1,2 ton/ha; 2) kombinasi perlakuan terbaik cookies: T1K4,flake: T1K2, stik: T1K3, dan mie: T1K1; 3)
kombinasi terbaik cookies kedua: T2K4, flake: T2K2, stik: T2K3, dan mie: T2K1; 4) kadar air cookies=2-3%,
flake=2-2,5%, stik=2-3%, dan mie=2-3%; 5) karbohidrat cookies=71-74%, flake=48-50%, stik=64-66%, dan
mie=39-45%; 6) protein cookies=10-12%, flake=2-2,5%, stik=4,5-5,1%, dan mie=8-9%; 7) lemak cookies=710%, flake=3-5%, stik=6-7%, dan mie=2-4%; 8) uji organoleptik parameter rasa, warna, dan aroma berbeda
nyata, sedangkan kenampakan tidak berbeda nyata; 9) produk cookies, stik, flake, dan mie parameter
rasa=3(netral)-5(sangat menyukai), warna=3-5; aroma=3-5; kerenyahan=4(menyukai)-5.
Kata Kunci: Tepung sorgum, cookies, flake, stik, dan mie
Abstract-Sorghum as a potential food source supporting the diversification and food security programs, ranked
5th after wheat, rice, maize and barley. The research aims to obtain the best combination of cookies, flake, stick,
sorghum noodles, using a randomized block design (RBD), factorI, T1: redflour(Sorghum bicolor);T2: white
flour(KD4), factorII: Concentration: K1:25%; K2:50%; K3:75%; and K4:100%. Observations: organoleptik of
taste, color, flavor and crispness, moisture content, carbohydrate, protein, and fat. Data analysis: organoleptic
test using Friedman test, chemical analysis using analysis of variance test followed duncan 5%. Results of:1)
seed yield 6 tons/ha, rice 4,2 tons/ha, flour 4,2 tons/ha, bran 0,6 tons/ha, husk 1,2 tons/ha; 2) The best of
cookies: T1K4, flake: T1K2, sticks: T1K3, and noodles: T1K1; 3) a combination of the two best cookies:T2K4,
flake:T2K2, sticks:T2K3, and noodles:T2K1; 4) The moisture content of cookies=2-3%, flake=2-2.5%, stick=2-3%,
and noodles=2-3%; 5) carbohydrate of cookies=71-74%, flake=48-50%, stick=64-66%, and noodles=39-45%;
6) protein of cookies=10-12%, flake=2-2,5%, sticks=4,5-5,1%, and noodles=8-9%; 7) fat of cookies=7-10%,
flake=3-5%, sticks=6-7%, and noodles=2-4%; 8) organo leptic parameters of taste, color, and flavor were
significantly different, while the appearance; 9) cookies,stick, flake, and the noodles, taste
parameter=3(neutral)-5(very fond), color=3-5; aroma=3-5; crispness=4(liked)-5.
Keywords: sorghum flour, cookies, flakes, sticks, and noodles
1.

Makna eksistensi pengembangan tanaman


sorgumterhadap lingkungannya
(dampak keberadaannya), apabila dikembangkan
secara maksimal akan terbentuk suatu rantai
pengembangan
klaster
sorgum
nasional,
menggerakkan industri pangan sorgum, menunjang
perekonomian Indonesia, dan membuka peluang
pengembangan tanaman sorgum, yang diarahkan
sejalan dengan upaya peningkatan produktivitas
lahan kosong (lahan marginal, lahan tidur, dan lahan

PENDAHULUAN

Sorgum (Sorghum sp) sebagai sumber


pangan dunia berada di peringkat ke-5 setelah
gandum, padi, jagung dan barley [1, 2].Produksi
rata-rata hasil sorgum dapat mencapai 6-7ton/ha.
Salah satu hasil dari sorgum adalah tepung
sorgum. Produk yang dapat dihasilkan dengan
menggunakan tepung sorgum adalah cookies, flake,
stik, dan mie sorgum.

235

non-produktif lainnya). Upaya tersebut merupakan


suatu langkah penyelamatan lingkungan hidup.
Tujuan
Penelitian yang dilakukan yaitu:
memperkenalkan sumber pangan alternatif yaitu
tepung sorgum; Peningkatan potensi tepung sorgum
menjadi produk cookies, flake, stik, mie yang
memiliki nilai tambah (value added), Mendapatkan
kombinasi perlakuan terbaik cookies, flake, stik, mie
sorgum.
2.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil rendemen olahan dan komposisi


tepung sorgum pada aneka produk disajikan pada
Gambar 2 dan 3, serta hasil uji warna disajikan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Warna Produk Sorgum

METODE PENELITIAN

No.

Bahan
yang
digunakan
adalah
tepungsorgum merah (Sorgum bicolor) dan tepung
sorgum putih (KD 4)
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Analisa Hasil Industri Program Studi Teknologi
Industri Pertanian Fakultas Teknik Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya, tahun 2013-2014
Penelitian
menggunakan
metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor, 3
ulangan. Faktor I: Jenis Tepung (T): T1: tepung
sorgum merah (Sorgum bicolor) dan T2: tepung
sorgum putih (KD 4). Faktor II : Konsentrasi
Tepung (K): K1: 25%, K2: 50%, K3: 75%, dan K4:
100%.Proses pembuatan cookies, flake, stik, dan
mie basah disajikan pada Gambar 1.
Pengamatan meliputi uji organo leptik
parameter rasa, warna, aroma, dan kerenyahan,
kadar air, karbohidrat, protein, dan lemak. Analisis
data: uji organoleptik menggunakan uji Friedman,
analisis kimia menggunakan analisis varian
dilanjutkan ujiduncan 5%.

Produk

1.

Biji

Sorgum
Merah/T1
(Sorghum
bicolor)
Warna merah

Sorgum
Putih/T2
(KD4)

2.

Beras

Warna merah

Warna putih

3.

Tepung

Warna merah

Warna putih

4.

Cookies

5.

Stik

6.

Flake

7.

Mie

Warna coklat
tua
Warna coklat
tua
Warna coklat
tua
Warna Coklat

Warna coklat
muda
Warna coklat
muda
Warna coklat
muda
Warna kuning

Warna putih

Tepung sorgum + tepung terigu


(sesuai perlakuan)
Kuning telur
Margarin
Gula

Gambar 2. Rendemen Olahan Sorgum (Produksi biji


sorgum 6-7ton/Ha)

Pencampuran

Pencetakan

Gambar 3. Komposisi Tepung Sorgum dalam Aneka


Produk

Pengeringan

Pada Gambar 2 dan 3 menunjukkan bahwa sorgum


(T1: tepung sorgum merah (Sorgum bicolor) dan T2:
tepung sorgum putih (KD 4)) mempunyai potensi
untuk dikembangkan dalam mendukung industri
pangan, dimana tepung yang dihasilkan bisa dapat
digunakan untuk cookies, stik, flake, dan mie [5, 6].
Karakteristik tepung sorgum pada aneka produk
ditunjukkan pada Gambar 4, terlihat bahwa
kandungan gizi aneka produk sorgum dibandingkan
dengan produk beras, jagung, dan gandum (Tabel 2)

Cookies, Flake,
Stik, Mie Sorgum
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Cookies, Flake, Stik,
Mie basah Sorgum [3,4, 5]

236

maka sorgum mempunyai nilai gizi bisa setara


dengan nilai gizi beras jagung dan gandum.
Sedangkankandungan vitamin dan mineral sorgum
lebih unggul dari kandungan vitamin dan mineral
yang terdapat dalam beras, jagung, dan gandum
(Tabel 3) [5, 6, 7].Keunggulan lainnya dari sorgum
adalah adanya sorgum merah (T1) dan sorgum putih
(T2), yang akan memberikan warna produk yang
dihasilkan juga bervariasi (Tabel 1).Hasil analisis
ragam cookies, stik, flake, dan mie menunjukkan
bahwa kandungan karbohidrat berbeda nyata,
dimana semakin tinggi konsentrasi sorgum semakin
meningkatkan karbohidrat, sedangkan kadarair,
protein, dan lemak tidak berbeda nyata [15].

(mg)
Besi (mg)
Posfor
(mg)

0,8
140

4,6
380

1,2
106

4,4
287

Gambar 5. Probabilitas Produk Sorgum

Nilai probabilitas menunjukkan tingkat


kepentingan suatu keadaan dasar, semakin besar
nilai probabilitas suatu keadaan dasar maka semakin
penting pula keadaan dasar tersebut. Untuk produk
sorgum nilai probabilitasnya ditunjukkan dalam
Gambar 5, dengan beberapa parameter. arameter
rasa (17%) dianggap sebagai parameter yang paling
penting bila dibandingkan dengan parameter
lainnya,
yaitu secara berturut-turut adalah
karbohidrat (15%), protein, lemak, kenampakan,
dan warna (14%),`serta aroma (12%) [5, 9].

Gambar 4. Komposisi Gizi Cookies, Flake, Stik, dan Mie


Sorgum
Tabel 2. Kandungan Gizi Beras, Jagung, dan Gandum [8]

Unsur
Nutrisi
Karbohidrat
Protein
Lemak

Beras

Jagung

78,9
6,8
0.7

Gandum

72,4
8,7
4,5

Gambar 6. Hasil Uji Organoleptik

77
8,9
1,3

Hasil pengamatan uji organoleptik sorgum


dengan parameter rasa, warna, aroma, dan
kenampakan ditunjukkan pada Gambar 6, dimana
uji organoleptik menggunakan skala hedonik,
dengan nilai skor 5(sangat menyukai), 4(menyukai),
3(netral), 2(tidak suka), 1(sangat tidak suka). Hasil
uji organoleptik untuk parameter rasa dan aroma
cookies, stik, dan mie menghasilkan skor
4(menyukai), sedangkan rasa untuk flake skor 5
(sangat
menyukai), parameter
warna
dan
kenampakan cookies dan stik menghasilkan skor 5,
untuk stik skor 4, sedangkan warna mie skor 4,
kenampakan skor 5. Hasil perhitungan uji friedman
dari uji organoleptik untuk semua produk parameter
rasa, aroma, tidak berbeda nyata, parameter warna
dan kenampakan berbeda nyata untuk Tepungmerah
/ Sorghum bicolor (T1) dan Tepungputih / KD4(T2).
Hal ini berarti bahwa untuk parameter warna sorgum
dipengaruhi oleh kedua faktor jenis dan konsentrasi
tepung sorgum.Warna sorgum sangat dipengaruhi
oleh warna dari tepung sorgum dan semakin banyak
tepung yang digunakan maka warna akan bertambah
gelap [11].
Alternatif proses dilakukan untuk diginakan
sebagai pembanding dalam menentukan optimalisasi

Tabel 3. Kandungan Vitamin dan Mineral Beras, Jagung,


Gandum, dan Sorgum [5, 6]
Karbohidr
at (15 %)

Rasa,
(17 %)

Warna
(14 %)

Protein
(14 %)

Lemak
(14 %)

Aroma
( 12 %)
Penampakan
(14 %)

Unsur
Nutrisi
Vitamin
B1(mg)
Kalsium

Beras

Jagung

Gandum

Sorgum

0,12

0,27

tad

0,38

16

28

237

proses. Pemilihan alternatif ini dilakukan dengan


cara menghitung nilai harapan yang diperoleh
masing-masing alternatif proses. Hasil perhitungan
nilai harapan untuk masing-masing alternatif proses
disajikan pada Gambar 7.

[5] Endang Noerhartati, 2009. Diktat Kuliah


Pengetahuan Bahan Industri Edisi Kedua.
Progdi TIP, Fak. Teknik, UWKS, 2009:
[6] ________________, 2014. Bahan Pangan
Alternatif Sorgum (Sorghum sp): Biji, Tepung,
Aneka Cookies dan Gula cair Batang Sorgum.
Media Ilmu. Sidoarjo
[7]
________________,
2014.Bisnis
Plan
Agroindustri
Sorgum.Kegiatan
Fasilitasi
Kemitraan dan Adopsi Teknologi Pangan
Alternatif.Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi
Jawa Timur. Surabaya
[8] ________________, 2014. Inkubator Bisnis Kue
Kering
Sorgum.
Kegiatan
Fasilitasi
Pengembangan Sorgum. Dinas Pertanian
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.Lamongan.
[9] Illaningtyas,F., Sri I, Sri P, Iim A, dan Fajarwati.
2013. Pengaruh Suplementasi Isolat Protein
Sorghum Terhadap Sifat Kimia Biologis dan
Organoleptik Biskuit Sorghum. Prosiding
Seminar Nasional.PATPI 2013.Jember. Hal 5166
[10] Stonestreet, N.J.M.S Alawi and SR. Bean.
2010. Sorghum Proteins: The Concentration,
Isolation, modification and food applications of
Kafirin. J. Food Scence Vol. 75 (5): R90-104
[11] Revitriani, M, Endang RW, dan Diana P. 2013,
Kajian Konsentrasi Tepung Kimpul Pada
Pembuatan Mie Basah. J. REKA Agro Industri.
I (1) 2013:28-36

Gambar 7. Hasil perhitungan nilai harapan produk


sorgum

Berdasarkan hasil perhitungan nilai


harapan, maka alternatif perlakuan yang terpilih
adalah produk cookies perlakuan T1K4 dan T2K4,
flake T1K2 dan T2K2, stik T1K3 dan T2K3,
sedangkan mie T1K1 dan T2K1, hal ini berarti
perlakuan tersebut berdasarkan kualitas terbaik bila
dibandingkan dengan perlakuan lainnya [5, 10 11].

4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
rendemen biji 6 ton/ha, beras 4,2 ton/ha, tepung 4,2
ton/ha, bekatul 0,6 ton/ha, dedak sorgum 1,2 ton/ha.
Kombinasi perlakuan terbaik pada cookies: (T1K4)
,flake ( T1K2), stik (T1K3 ), dan mie (T1K1 ). Kadar
air cookies (2-3%), flake (2-2,5%), stik (2-3%) dan
mie (2-3%). Kandungan karbohidrat cookies (7174%), flake (48-50%), stik (64-66%), dan mie (3945%). Kandungan protein cookies (10-12%), flake
(2-2,5%), stik (4,5-5,1%), dan mie (8-9%).
Kandungan lemak cookies=7-10%, flake=3-5%,
stik=6-7%, dan mie=2-4%. Hasil uji organoleptik
menunjukkan berbeda nyata pada parameter rasa,
warna, dan aroma, sedangkan kenampakan tidak
berbeda nyata.

Notulensi Diskusi:
PGO-223, Endang Noerhartati, Pengembngan
Ragam Produk Cookies, Flake, Stik, Mie Sorgum:
Dalam Rangka Menggerakkan Industri Pangan
Sorgum

DAFTAR REFERENSI
[1] Depkes RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Penerbit Bhratara. Jakarta.
[2] Kentz, N.L. 1970. Technology of Cereal.
Pergamon Press. Sydney.
[3] Metz, S.A. 1970. Cereal Technology. The AVI
Publishing Company. USA.
[4] Nasional Sorghum Producers. 2007. Grain
Sorghum Production Handbook.University of
Arkansan Division of Agriculture.North
Inerstate 27 lubbock.Texas.
(www.sorghumgrowers.com)

238

Tanya: Bagaimana cara mengatasi adanya


bintik merah pada produk yang menggunakan
bahan sorgum merah ? (Diana, UNM).
Jawab: Sorgum merupakan sumber pangan
alternative yang mengandung serat tinggi,
tannin dan rendah kalori sehingga bagus untuk
diet. Serat kasar yang tinggi tidak bisa ditutupi.
Sedangkan untuk bintik merah pada produk
shorghum merah jangan dihilangkan sehingga
kita mengekspos bintik merah pada produk
sebagai keunggulan dari produk berbahan
sorgum merah.

KarakteristikdanUmur Simpan Minuman Bubuk Kaya Protein Kedelai


Hitam (Glycine max L.)
dan Ekstrak Antosianin Beras Hitam (Oryza sativa L.)
Mary Astuti1), S. Naruki1), E. P. Nurlaili1), dan D. L. N. Fibri1)
1) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jalan Flora No.1. Bulaksumur Yogyakarta 55281
Telpon dan Fax: (0274) 549650
Contact email: ana_food@yahoo.com
Abstrak - Minuman kaya protein kedelai hitam dan ekstrak antosianin beras hitam dipercaya dapat mengatasi
stres oksidatif.Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik (fisikawi dan kimiawi, serta aktivitas
antioksidan) dan umur simpan minuman bubuk kaya protein kedelai hitam dan ekstrak antosianin beras
hitam.Ekstrak protein kedelai hitam dibuat dari tepung kedelai hitam yangfraksi lemak dan karbohidrat dengan
bobot molekul rendah dikurangi dengan pelarut heksanadan etanol. Minuman bubuk dirancang untuk memenuhi
kebutuhan 20 g protein (setara dengan 30 % AKG) dan 150 mg antosianin per hari dalam dua sajian, disukai
konsumen, dan memiliki warna ungu yang disebabkan oleh antosianin. Guna memberi rasa manis, digunakan
natrium siklamat dengan kadar 2,0 dan 2,5 g/kg bahan. Pengujian proksimat dilakukan sesuai AOAC, pengujian
kadar antosianin dilakukan dengan metode pH differensial, pengujian total fenol dengan folin-ciocalteau,
pengujian sensoris dilakukan menggunakan focus group discussion yang melibatkan panelis semi terlatih,
pengujian warna dilakukan dengan chromameter, pengujian aktivitas antioksidan dengan DPPH Radical
Scavenging Activit dan umur simpan ditentukan dengan metoda accelerated shelf life test. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar protein ekstrak protein kedelai hitam dan kadar antosianin ekstrak antosianin beras
hitam berturut-turut adalah 47,89 dan 25%. Oleh karena itu, dalam satu takaran saji dibutuhkan 21 g ekstrak
protein kedelai hitam dan 300 mg ekstrak antosianin beras hitam. Panelis lebih memilih minuman dengan 2g
natrium siklamat/kg bubuk minuman. Minuman bubuk tersebut memiliki kadar air, protein, lemak, karbohidrat,
danabu berturut-turut sebesar 6,24; 49,66; 5,34; 33,24; 5,52 % (wb). Minuman bubuk tersebut mengandung
fenol sebesar221,47 mg GAE/g bubuk. Warna minuman bubuk secara sensoris adalah ungu, dan menurut hasil
pengujian menggunakan chromameter adalah L = 30,01; a = 1,06; dan b = 2,19. Minuman bubuk memiliki
DPPH Radical Scavenging Activity sebesar 78,26 % dan umur simpan selama 125 hari pada RH 60% dan suhu
27oC.
Kata kunci : stres oksidatif, kedelai hitam, antosianin beras hitam, DPPH Radical Scavenging Activity
Abstract - Beverages that rich in black soybean protein and black rice anthocyanin can be a solution to solve
oxidative stress problem. The objective of this research was to evaluate characteristics (physical, chemical, and
the antioxidant activity) and shelf life of the powder of beverages that rich in black soybean protein and black
rice anthocyanin. The black soybean protein extract was made from black soybean flour that wass less in fat and
low molecular weight carbohydrate.The beverage was developed to fulfill 20 g protein need (~30% RDA) and
150 mg anthocyanin/ day in two serving size, accepted by consumer, and had purple color because of the
anthocyanin. Sodium cyclamate in dosage 2,0 and 2,5 g/kg beverage powder was added to give sweet taste. The
proxymate content was evaluated using AOAC procedure, anthocyanin content with pH difference procedure,
total phenolic content with folin-ciocalteau, sensorical analysis with focus group discussion (using semi trained
panelists), color analysis with chromameter, antioxidant activity with DPPH Radical Scavenging Activity and
shelf life with accelerated shelf life procedure. The results showed that the protein content of black soybean
protein extract and anthocyanin content of black rice anthocyanin extract were 47,89 and 25%. Because of that,
in one serving size 21 g of black soybean protein extract and 300 mg of black rice anthocyanin extract was
needed. Panelists preferred beverage with sodium cyclamate 2g/kg beverage powder than the 2,5 g/kg beverage
powder one. The water, protein, fat, carbohydrates, and ash contents of beverage powder were 6,24; 49,66;
5,34; 33,24; 5,52 % (wb) respectively. The beverage powder also contained total phenolic compounds at
amount221,47 mg GAE/g powder. The beverage has purple colour. The results of colour analysis with
chromameter was L = 30,01; a = 1,06; dan b = 2,19. The antioxidant activity of the beverage was 78,26 %
and the shelf life was 125 days in RH 60% and temperature 27oC.
keywords : oxidative stress, black soybean, black rice anthocyanin, DPPH Radical Scavenging Activity

239

1.

butuh waktu panen sekitar 3 (tiga) bulan. Perhatian


pemerintah dan peneliti terhadap beras hitam semakin
meningkat setelah diketahui bahwa beras hitam yang
mengandung antosianin dapat dipergunakan untuk
mencegah stress oksidatif yang menimbulkan
penyakit degenerative dan dapat meningkatkan daya
tahan tubuh [9].Ekstrak antosianin beras hitam yang
kaya antosianin dapat digunakan untuk meningkatkan
kandungan antosianin pangan fungsional yang
dikembangkan.
Pemanfaatan pangan fungsional yang berbahan
baku kedelai hitam lokal dan beras hitam lokal
kiranya dapat menjawab tantangan akan kebutuhan
konsumen terhadap pangan fungsional. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui formula
terbaik produk pangan fungsional kaya protein dan
antioksidan berbahan baku kedelai hitam dan beras
hitam dalam bentuk produk minuman instan, serta
mengetahui daya simpan produk pangan fungsional
berbahan baku kedelai hitam dan beras hitam
tersebut.

PENDAHULUAN

Pangan fungsional adalah produk pangan yang


mengandung komponen alami yang aktif di dalam
tubuh sehingga dapat membantu tubuh untuk
pencegahaan penyakit pada tingkat awal, membantu
meningkatkan daya tahan tubuh, membantu tubuh
dalam pemulihan atau recovery [1]. Pangan
fungsional bukan suplemen dan bukan pil tetapi
pangan yang dikonsumsi sebagaimana makanan
sehari-hari bisa berbentuk padatan atau tepung atau
berbentuk cairan atau minuman dan disukai/dapat
diterima oleh konsumen [2]. Pangan fungsional yang
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia umumnya
masih impor padahal bahan pangan lokal yang dapat
dikembangkan sebagai pangan fungsional tersedia
melimpah dan perlu digali potensinya misalnya
adalah kedelai hitam dan beras hitam.
Kedelai hitam telah lama dikenal dan dikonsumsi
oleh
masyarakat
Indonesia,
namun
dalam
pengembangannya masih sangat terbatas.Protein pada
kedelai hitam mempunyai komposisi asam amino
yang lengkap [3], sehingga dibandingkan dengan
protein telur kualitas protein kedelai sedikit lebih
rendah.Kedelai hitam varietas Mallika merupakan
hasil penelitian UGM dengan kandungan protein
cukup tinggiyaitu sekitar 37-42% , produkstivitasnya
tinggi yaitu sekitar 2.90 ton per Ha [4], kedelai lokal
non GMO ( genetic modified organism) yang
mengandung antioksidan kelompok fenolik [5].
Kedelai hitam selama ini penggunaannya masih
terbatas untuk industri pangan terutama industri
kecap dan rempeyek, meskipun kedelai hitam
mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
pangan fungsional.Minuman bubuk kedelai hitam
pernah dikembangkan, namun kurang disukai oleh
konsumen sebab kelarutannya rendah dan kurang
enak karena kulit kedelai hitam tidak larut dalam air
dan kandungan antosianin masih rendah [6], oleh
karena itu perlu dikembangkan lebih lanjut dalam
bentuk minuman yang mudah larut, rasanya enak dan
kandungan antosianinnya tinggi.
Beras (Oryza sativa) merupakan makanan pokok
di Indonesia dan berdasarkan warna perikarpnya ada
beberapa macam beras berwarna, seperti beras merah,
beras hitam, beras coklat. Warna beras seperti merah,
hitam dan coklat mengandung antioksidan antosianin
[7] dan zat warna yang terdapat pada lapisan aleuron
juga mengandung vitamin terutama kelompok
vitamin B dan mineral terutama Fe dan Zn, protein
dan lemak. Kandungan zat besi pada beras hitam tiga
kali lebih tinggi dibandingkan pada beras putih dan
kandungan seratnya delapan kali lebih tinggi
dibandingkan beras putih [8].Tingginya kandungan
serat dan warna ungu tua pada beras hitam
mengakibatkan beras hitam kurang disukai untuk
dimakan sebagai nasi pengganti beras putih. Para
petani juga kurang berminat mengembangkan beras
hitam karena memerlukan waktu 5 (lima) bulan untuk
dipanen dibandingkan dengan beras putih yang hanya

2.

BAHAN DAN METODE

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini


adalah kedelai hitam varietas Mallika yang diperoleh
dari Pacitan, Jawa Timur. Bubuk ekstrak antosianin
beras hitam berasal dariShaanxi Zhengsheng
Kangyuan Bio-Medical Co., Ltd,Xianyang,Shaanxi,
China (Mainland).
Bahan kimia untuk preparasi dan pengujian sampel
secara kimiawi adalah aquades, heksana, alkohol,
petroteum eter, katalisator N, H2SO4, Natrium
thiosulfat, asam borat, metil merah,dan HCl.
Penelitian
dilakukan
dalam
2
tahap,
yaitu:a)Pengembangan formula pangan fungsional
kaya protein kedelai hitam yang disuplementasi
dengan ekstrak antosianin beras hitam sehingga
produk tersebut tidak hanya mengandung protein
tinggi tapi juga antosianin tinggi. Formula ini akan
diuji secara sensoris dan apabila belum diterima oleh
panelis akan direformulasikan kembali. Kandungan
total fenolikdanantosianin serta aktivitas antioksidan
dalam produk formula tersebut akan dievaluasi,
beserta sifat fisiknya. Pada tahap pertama ini,
sebelumnya dilakukan ekstraksi protein pada kedelai
hitam.
Ekstraksi
protein
kedelai
hitam
dilakukandengan pengeringanbiji kedelai hitam
terlebih dahulu hingga kadar air kurang dari 10%.
Kemudian biji kedelai digiling dengan grinder untuk
memisahkan bagian kotiledon dengan kulitnya.
Kotiledon kedelai hitam lalu digiling menjadi tepung
dan diayak 80 mesh. Tepung kotiledon kedelai hitam
yang lolos ayakan kemudian direndam dengan
heksana
untuk
mengurangi
kadar
minyak.
Perbandingan tepung dengan heksana adalah 1:3.
Perendaman dilakukan selama 2 jam, dan diulang
hingga 3 kali untuk memaksimalkan pengurangan
minyak pada tepung kotiledon. Setelah heksana

240

dibuang dan tepung kotiledon kedelai rendah lemak


dikeringanginkan dalam lemari asap, tepung tersebut
kemudian direndam dengan etanol 80% untuk
menghilangkan karbohidrat dengan berat molekul
rendah. Perbandingan antara tepung dan etanol adalah
1:5. Perendaman dilakukan selama 12 jam. Setelah itu
dilakukan pemisahan antara etanol dengan ekstrak
protein. Ekstrak protein kedelai hitam kemudian
dikeringkan menggunakan cabinet dryer suhu 55oC.
Tepung ekstrak protein kedelai hitam kering kemudian
diayak dengan ayakan 100 mesh.Tepung ekstrak
protein lalu diformulasi dengan dicampur ekstrak
antosianin beras hitam.Formula yang diinginkan
adalah formula yang dapat memenuhi kebutuhan

kebutuhan protein 30% AKG manusia yaitu 20 g


(30% dari 60 g) dan kadar antosianin 150 mg. Angka
150 mg antosianin didapatkan dari Acceptable Daily
Intake (ADI) seseorang dengan berat badan 60 kg
[10].
b) Pada tahap kedua, produk pangan kaya protein
dan antioksidan yang diperoleh pada tahap pertama
akan diuji daya simpannya dengan metode
accelerateshelf life test(ASLT). Pengujian dilakukan
terhadap produk yang berbentuk bubuk atau tepung.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui berapa
lama produk tersebut dapat disimpan dalam suhu dan
kelembaban ruangan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Sensoris Awal


Ekstrak protein yang dikembangkan awalnya
menggunakan tepung ekstrak protein yang lolos
ayakan 100 mesh.Namun pada pengujian terhadap
ekstrak protein yang telah diseduh dengan air putih
suhu ruang, amat terasa tekstur chalkiness yang
mengganggu panelis. Chalkiness merupakan salah
satu atribut penolakan konsumen [11]. Chalkiness
didefinisikan sebagai sensasi pada mulut dan
kerongkongan yang terasa seperti menelan sesuatu
berpartikel.Salah satu sebab munculnya sensasii
chalkiness adalah partikel yang tidak lolos ayakan 150
mesh. Menilik ekstrak protein yang diuji, digunakan
tepung ekstrak protein yang hanya lolos ayakan 100
mesh. Untuk mengurangi sensasi chalkiness,
dilakukan tindak lanjut berupa pengayakan 200 mesh.
Partikel tepung yang lolos ayakan 200 mesh lah yang
digunakan untuk formulasi minuman instan.

Sifat Kimia Ekstrak Protein Kedelai Hitam dan


Ekstrak Antosianin Beras Hitam
Sifat kimia yang dikandung ekstrak protein kedelai
hitam tampak pada Tabel 1, sedangkan sifat kimia
ekstrak antosianin tampak pada Tabel 2.
Tabel 1. Sifat Kimia Ekstrak Protein Kedelai Hitam
Komponen

Kadar (%)

Air

7,26 0,22

Abu

5,45 0,01

Lemak

4,15 0,01

Protein

47,892,64

Karbohidrat

35,262,67

*Hasil ditampilkan dalam format nilai rata-rata SD

Tabel 2. Sifat Kimia Ekstrak Antosianin Beras Hitam


Komponen

Kadar (%)

Air

5,78 0,14

Abu

2,66 0,09

Lemak

0,02 0,02

Protein

10,35 5,13

Karbohidrat

81,17 5,34

Kadar antosianin

25,03 3,34

*Hasil ditampilkan dalam format nilai rata-rata SD

Dengan kandungan protein 47,89%, maka untuk


memenuhi kebutuhan protein 30% AKG manusia
yaitu 20 g (30% dari 60 g) dibutuhkan ekstrak protein
sebanyak 41,76 g ekstrak protein kedelai hitam.
Ekstrak antosianin beras hitam yang digunakan
memiliki kandungan ekstrak antosianin 25 %.
Sehingga untuk kadar antosianin yang diinginkan 150
mg dibutuhkan 600 mg antosianin.

Formulasi dan Pengujian Kesukaan


Yang menjadi dasar dari formulasi adalah target
agar konsumen dapat mengonsumsi protein sebanyak
30% AKG (20 g) dan 150 mg antosianin setiap hari.
Dua puluh gram protein dapat dipenuhi dengan
mengonsumsi 41,76 g ekstrak protein kedelai hitam.
Jumlah ini dinilai terlalu banyak untuk satu takaran
saji minuman instan. Oleh karenanya diputuskan
bahwa target konsumen dapat mengonsumsi protein
sebanyak 20 g dalam dua takaran saji, sehingga dalam
satu takaran saji mengandung 10 g protein. Ekstrak
protein yang dibutuhkan adalah 21 g. Sementara untuk
pemenuhan antosianin 150 mg juga didapat dalam 2
takaran saji, sehingga dalam 1 takaran saji
mengandung 75 mg ekstrak antosianin. Ekstrak
antosianin yang digunakan mengandung antosianin
25% sehingga dibutuhkan ekstrak sebanyak 300 mg
atau 0,3 g.
Formula awal yang mengandung 21 g ekstrak
protein dan 0,3 g ekstrak antosianin lalu diujikan
kepada panelis. Panelis menyukai warna ungu pada
minuman, dan minuman terasa seperti susu kedelai
hitam. Chalkiness telah berkurang, dan panelis
menyukai mouthfeel yang dirasakan.

Pengujian Sensoris

241

Untuk memperkaya rasa, pada formula lalu


diberikan pemanis.Pemanis yang digunakan adalah
pemanis buatan natrium siklamat.Penggunaan pemanis
buatan natrium siklamat dimaksudkan agar minuman
juga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes
mellitus.Mencermati Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan batas maksimum
penggunaan natrium siklamat dalam makanan adalah
3g/kg.Dalam formulasi diputuskan untuk tidak
memakai batas penggunaan maksimum natrium
siklamat 3g/kg bahan.Karenanya pada panelis diujikan
minuman ekstrak protein kedelai hitam + antosianin
yang ditambahkan pemanis buatan natrium siklamat
dengan kadar 2g/kg dan 2,5 g/kg bahan. Dari hasil
pengujian didapatkan bahwa walau panelis lebih
menyukai formula dengan natrium siklamat 2 g/kg
bahan. Hal ini dikarenakan rasa manis yang dinilai pas
sehingga terasa segar dan tidak terlalu manis.
Untuk memperbaiki tekstur, dicoba formulasi
dengan maltodekstrin 5%[6]. Namun menurut panelis
penggunaan maltodekstrin tidak berpengaruh terhadap
tekstur minuman, malah mengurangi rasa manis yang
ada. Panelis masih menyukai formula tanpa
maltodekstrin dengan natrium siklamat 2 g/kg
bahan.Walaupun minuman dinilai kurang stabil karena
dapat mengendap bila didiamkan, namun panelis
dalam focus group discussion masih menerima.Bila
dibandingkan dengan minuman di pasaran, terdapat
minuman herbal yang dapat mengendap dan perlu
dikocok (shake) apabila hendak diminum. Minuman
ekstrak
protein+antosianin
ini
pun
dapat
dikembangkan ke arah sana.
Sebagai kesimpulan dari tahap formulasi dan uji
sensoris, formula yang dipilih adalah formula yang
mengandung 21 g ekstrak protein kedelai hitam, 0,3 g
ekstrak antosianin beras hitam, dan 0.0426 g (2g/kg
bahan) natrium siklamat dalam 1 takaran saji. Satu
takaran saji dimaksudkan untuk dilarutkan dalam 200
ml air.
Karakteristik Kimia Minuman
Kandungan bubuk minuman tampak pada Tabel
.3.Dari data kandungan proksimat, dapat dihitung nilai
energi dari minuman dengan mengalikan gram
komponen dalam satu takaran saji dengan faktornya.
Untuk lemak faktornya adalah 8,37 ;protein 3,47; dan
karbohidrat 4,07 (Persatuan Ahli Gizi Indonesia,
2008). Sehingga dalam satu takaran saji 21,3426 g
bubuk yang mengandung 1,18 g lemak, 10,60 g
protein, dan 7,09 g karbohidrat, nilai energinya adalah
75,51 kkal.
Kadar

Air

6,24 0,27 %

Abu

5,52 1,15%

Lemak

5,341,64%

Protein

49,66 2,12 %

33,241,85 %

Total fenol

221,47 6,28 mgGAE/g


bahan

*Hasil ditampilkan dalam format nilai rata-rata SD

Aktivitas Antioksidan (DPPH Radical Scavenging


Activity)
Nilai DPPH radical scavenging activity dari satu
takaran saji minuman adalah 78,26%. Nilai ini lebih
besar daripada nilai pada antioksidan BHT (Butil
Hidroksi Toluena) yang dipaparkan oleh Astadi et al
[12] yaitu sebesar 77%.
Karakteristik Fisik Minuman
Warna Minuman
Setelah DilarutkanSetelah dilakukan pengujian dengan
chromameter, warna bubuk minuman setelah
dilarutkan adalah:L= 30,01; a* = 1,06 ; b* = -2.19. L
menunjukkan lightness . Rentang nilainya adalah 0100 diimana 0= hitam dan 100= putih. Nilai +a* 1
80 menunjukkan warna merah dan nilai b* 0 sampai
-70 menunjukkan warna biru.Gambar minuman
setelah dilarutkan tampak pada Gambar 1.Terlihat
bahwa minuman cenderung berwarna ungu tua.

Gambar 1. Ketampakan Minuman

Kekentalan Minuman
Kekentalan minuman diukur dengan Brookfield
Viscometer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
minuman ekstrak protein kedelai yang ditambah
antosianin ini memiliki kekentalan 2,40 Centipoise.
Sebagai perbandingan, viskositas air adalah 1,01
Centipoise sehingga minuman dua kali lebih kental
daripada air biasa.

Tabel 3. KandunganBubuk Minuman


Komponen

Karbohidrat

242

Gambar 2. Z

Zona Jernih
Zona Jernih

Kestabilan
Hasil pengujian kestabilan menunjukkan bahwa ada
pengendapan setelah 5 menit pertama minuman
diseduh dengan air bersuhu ruang.Hal ini tampak dari
terbenttuknya zona jernih pada bagian atas larutan
seperti terlihat pada Gambar 2.Setelah dituang, masih
terdapat endapan di dasar wadah/tabung reaksi, seperti
tampak pada Gambar 3.Adanya zona jernih dan
endapan setelah penuangan memperlihatkan bahwa
minuman kurang stabil atau mudah mengendap.

Telah dilakukan pengujian umur simpan pada


bubuk minuman. Pada pengkondisian berbagai macam
RH didapatkan kadar air bubuk minuman seperti
tampa pada Tabel 4. Dari Tabel 4, dibuat kurva
Isotermal Sorbsi Lembab (ISL).Persamaan yang
didapatkan dari kurva ISL adalah y=0,4551x-8,7329,
dengan slope = 0,4551. Kondisi penyimpanan bubuk
yang diinginkan adalah RH 60% dan suhu 27oC.
Dengan kadar air awal bubuk minuman adalah 6,24%,
kadar air kritis 9,60%, kadar air setimbang pada RH
60% = 18,57%, Water Vapor Transmission Rate
(WVTR) bahan pengemas = 5,11 g/m2.24h atau 0,0028
g/m2/jam/mmHg, luas permukaan bahan pengemas
0,0119 m2, Po pada suhu 27oC = 26,739 mmHG, dan
berat produk 21,3 g, maka menggunakan rumus ASLT
Arrhenius didapatkan umur simpan produk bubuk
minuman adalah 125 hari (3 bulan).
Tabel 4. Kadar Air Bubuk Minuman pada Berbagai RH
RH

Kadar Air )%)

11,28
21,61
43,17
75,09
97,00

1,07798
2,599646
5,472922
15,36168
44,7622

Umur simpan ini dinilai masih cukup rendah bila


dibandingkan dengan produk bubuk minuman yang
beredar di pasaran. Umur simpan ini masih dapat
dioptimasi dengan pengeringan bahan yang lebih
intensif sehingga kadar air bubuk minuman lebih
rendah, dan penggunaan kemasan yang lebih baik,
misalnya dengan bahan pengemas yang di dalamnya
terdapat lapisan alumunium foil.
Gambar 3. Endapan di Dasar Wadah Setelah Minuman
Dituang

Kelarutan Minuman
Telah dilakukan evaluasi mengenai kelarutan
bubuk minuman menurut metode Kinsella [13]. Hasil
pengujian memperihatkan bahwa kelarutan bubuk
minuman dalam air adalah 25,74%.
Pengujian Umur Simpan Bubuk Minuman

DAFTAR REFERENSI
[1]

International Food Information Council


Foundation. Functional Foods.2011. Diakses dari
www.foodinsight.org pada 08 Oktober 2014
[2] Badan Pengawas Obat dan Makanan.Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang

4.

KESIMPULAN

Telah berhasil diformulasikan minuman fungsional


kaya protein (48,81%) dan antosianin (75 mg) dari
ekstrak protein kedelai hitam dan antosianin beras
hitam dalam satu takaran saji. Minuman fungsional
tersebut memiliki karakter fisik dan kimia yang
spesifik. Nilai DPPH Radical Scavenging Activity nya
adalah 78,26%. Porsi yang dianjurkan bagi konsumen
adalah 2 takaran saji. Umur simpan formula bubuk
minuman adalah selama 125 hari pada RH 60%
dansuhu27o
Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan
Olahan. Diakses dari jdih.pom.go.id pada 08
Oktober 2014
[3] Singh, P., Kumar, R., Sabapathy, S. N., dan Bawa,
A. S. Functional and Edible Uses of Soy Protein
Products.. Comprehensive Reviews in Food
Science and Food Safety 7, 2008, Hal 14-28
[4] Ginting, E., Antarlina, S.S., dan Widowati, S..
Varietas unggul kedelai untuk bahan baku industri

243

pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (3), 2009


Hal.79-87
[5] Astuti,S. Isoflavon kedelai dan potensinya sebagai
penangkap radikal bebas. Jurnal Teknologi
Industri dan Hasil Pertanian 13(2), 2008, Hal.126136
[6] Agustia, F.C.Potensi antioksidatif formula bubuk
kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.)sebagai
minuman kesehatan pada penyandang diabetes
mellitus tipe 2. Tesis. Universitas Gadjah Mada,
2009
[7] Park, Y.S., Kim, S.J., dan Chang, H.I. Isolation of
Anthocyanin from Black Rice (Heugjinjubyeo)
and Screening of its Antioxidant Activities. Kor. J.
Microbiol. Biotechnol Vol. 36(1), 2008, Hal. 55
60
[8] Food and Agriculture Organization.International
year of rice, FAO, 2004
[9] Hu, C., Zawitowski, J., Ling, W., dan Kitts, D. D.
Black Rice (Oryza sativa L. Indica) Pigmented
Fraction Supresses Both Reactive Oxygen Species
and Nitric Oxide in Chemical and Biological
Model System. Journal of Agricultural dan Food
51, 2003, Hal. 5271-5277
[10] He,J. Absorbtion, Excretion and Transformation
of Individual Anthocyanin in Rats.Tesis.
University of Maryland, 2004
[11] Kuntz, Nelson, Steinberg, dan Wei. Control of
Chalkiness in Soymilk.Journal of Food Science
43, 1978, Hal. 1279-1283
[12] Astadi, I.R, M. Astuti., U. Santosa dan P.S.
Nugraheni. In vitro antioxidant activity of
anthocyanins of black soybean seed coat in human
low density lipoprotein (LDL). J. Food Chemistry
112, 2009, Hal. 659-663
[13] Kinsella, J.E. Functional Properties of Proteins in
Food: A Survey. Food Science and Nutrition 7,
1976
Notulensi Diskusi:
PGO-224, Mary Astuti dkk, Pengembngan Ragam
Produk Cookies, Flake, Stik, Mie Sorgum: dalam
Rangka Menggerakkan Industri Pangan Sorgum

Tanya:Minuman yang dihasilkan warnanya apa?


(Rini Hustiany, Unlam)
Jawab:Minuman yang dihasilakan berwarna
ungu yang disebabkan oleh antosianin. Pada uji
in-vivo tikus yang diberi minuman kaya protein
kedelai hitam dan ekstrak antosianin beras hitam
tingkat stress oksidatifnya menurun.

244

PANGAN
Bidang bahasan : Mikrobiologi dan Keamanan Pangan

Pengaruh Penambahan Bakteriosin Lactobacilus sp. Galur SCG 1223 yang


Diisolasi dari Susu Sapi terhadap Karakteristik Mikrobiologis Daging
Ayam Segar
Abu bakar1 dan S. Usmiati1
1) Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
Jl.Tentara Pelajar 12 Bogor 16114
Email: abu.028@gmail.com
Abstrak - Bakteriosin merupakan protein atau peptida bakteri yang menunjukkan aksi bakterisidal terhadap
spesies yang kekerabatannya dekat dan tidak toksik sehingga dapat didegradasi dalam pencernaan manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG
1223 terhadap karakteristik mikrobiologis daging ayam segar yang disimpan pada suhu dan lama simpan
berbeda. Penelitian dibagi dua rancangan percobaan. Rancangan pertama menyelidiki pengaruh faktor A
(penambahan biopreservatif): A1=kontrol, A2=penambahan ekstrak bakteriosin IAI SCG 1223,
A3=penambahan nisin, faktor B (waktu penyimpanan pada suhu ruang): B1=0 jam, B2=6 jam, B3=12 jam.
Rancangan kedua pengaruh faktor A (penambahan biopreservatif): A1=kontrol, A2= penambahan ekstrak
bakteriosin IAI SCG 1223, A3=penambahan nisin dan faktor C (waktu penyimpanan pada suhu refrigerator):
C1= 0 hari, C2=14 hari, C3=28 hari. Aplikasi bakteriosin (IAI, nisin) terhadap daging dada ayam segar
dengan perendaman selama 30 menit. Setelah perendaman, daging ayam dikontaminasi bakteri uji sebanyak 102
cfu/g, lalu dikemas plastik PE dan disimpan pada suhu ruang (27 0C) serta suhu refrigerator (40C). Peubah yang
diamati: jumlah total bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes), Total Plate Count (TPC),
penampilan fisik daging ayam, kadar protein, dan nilai pH. Analisis data dilakukan uji ANOVA dan analisis
deskriptif terhadap laju pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bakteriosin IAI 600
AU mampu menurunkan jumlah total S. typhimurium, E. coli dan L. monocytogenes daging ayam segar secara
nyata (P<0,05) baik pada suhu ruang maupun suhu refrigerator. Pengaruh ekstrak bakteriosin IAI tidak
berbeda dengan pengaruh nisin. Ekstrak bakteriosin IAI dan nisin memperpanjang umur simpan daging ayam
segar. Perlakuan biopreservatif 600 AU (IAI, nisin) tidak merubah nilai pH dan kadar protein daging ayam
segar. Lama simpan mempengaruhi pH daging ayam segar pada penyimpanan suhu ruang.
Kata kunci : bakteriosin, daging ayam segar, bakteri uji
Abstract- Effects of Bacteriocin Crude Produced By Lactobacilus sp. SCG 1223 Isolated from Cow Milk to
Microbiology Characteristics of Raw Chicken Meat. Bacteriocins are bacterial proteins or peptides that show a
bactericidal mode of action against closely related species. The objective of this research were studying the
effects of bacteriocin from Lactobacillus sp. to raw chicken meat microbial characteristic which kept in different
time and temperature. Research is grouped into two experimental design. The first draft of investigating the
influence of factors A (addition biopreservatif): A1=control, A2= soaking with a solution of extract bacteriocins
IAI SCG 1223, A3 = immersion with nisin, factor B (long storage at room temperature): B1=0 hours, 6 hours =
B2, B3=12 hours. The design investigating of a second (additional biopreservatif): A1=control, A2=soaking
with a solution of extract bacteriocins IAI SCG 1223, A3= immersion with nisin, and factor C (long storage at
refrigerator temperature) : C1=0 days, the C2=14 days, C3=28 days. Application bacteriocins (IAI, nisin) on
fresh chicken breast meat by soaking for 30 minutes. After soaking, the chicken meat is contaminated with
bacteria as test 102 cfu/g. Then the chicken meat packed with PE plastic and stored at room temperature (27 0C)
and refrigerator temperature (40C).Variables measured: the total number of test bacteria (S. typhimurium, E.
coli, L. monocytogenes), Total Plate Count (TPC), the physical appearance of chicken meat, protein content, and
pH value. Data analysis was performed ANOVA and test descriptive analysis of the growth rate of bacteria.
Results show bacteriocin IAI 600 AU able to reduce the total of S. typhimurium, E.coli, and L.monocytogenes
significantly (P<0,05) in the room temperature and in the cold storage. The effect of IAI bacteriocin is not
different with nisin. Therefore, can be concluded that bacteriosin used is effective as biopreservatif agent.
Bacteriocins (IAI, nisin) 600 AU in this research did not affect the level of protein and pH value. Storage period
affect the pH value of chicken meat stored in room temperature.
Key words : bacteriocin, chicken meat, test bacteria

245

1.

ayam segar yang disimpan pada suhu dan lama


penyimpanan yang berbeda.

PENDAHULUAN

Daging ayam mengandung gizi yang sangat


baik dan lengkap, serta dapat memenuhi kebutuhan
protein hewani, tetapi bersifat perishable (mudah
rusak) karena sangat rentan terkontaminasi oleh mikro
organisme pembusuk maupun mikroorganisme
patogen. Mikroorganisme patogen seperti Salmonella
typhimurium,
Eschericia
coli,
dan
Listeria
monocytogenes dapat menimbulkan penyakit dan
bahkan kematian. Hal ini menimbulkan permasalahan
besar di bidang industri pangan. Mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan pengawetan
pangan produk pangan (Food preservation) yang
bertujuan mengamankan daging ayam dan produk
daging ayam dari bakteri patogen, menghambat reaksireaksi enzimatis, kemis, mikrobiologis, serta
kerusakan fisik daging dan daging olahan sehingga
dapat memperpanjang masa simpannya. Salah satu
metode preservasi adalah penambahan bahan
pengawet. Penggunaan biopreservatif (pengawet
alami) telah disarankan sebagai pengembangan
alternatif. Salah satu jenis biopreservatif alami adalah
bakteriosin yang telah banyak dimanfaatkan sebagai
bahan pengawet dengan keuntungan tidak toksik, tidak
membahayakan mikroflora usus, dapat mengurangi
penggunaan pengawet kimia, fleksibel, serta memiliki
kestabilan terhadap pH dan suhu yang cukup luas.
Bakteriosin yang biasa digunakan sebagai agen
biopreservatif berasal dari Bakteri Asam Laktat
(BAL). BAL termasuk bakteri gram positif dengan
status GRAS (Generally Regarded As Safe) [1]. Hasil
penelitian menunjukkan adanya aktivitas antimikroba
bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp.
galur SCG 1223 melalui uji antagonistik terhadap S.
typhimurium, E. coli, dan L. Monocytogenes [2]. Hasil
tersebut perlu dipelajari lebih lanjut melalui aplikasi
pada bahan pangan hasil ternak (salah satunya daging
ayam segar). Aplikasi bakteriosin pada daging ayam di
Rumah Potong Ayam (RPA) diharapkan dapat
meminimalkan populasi mikroorganisme yang meng
kontaminasi daging ayam setelah penyembelihan,
selama distribusi, hingga sampai ke tangan konsumen.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh
pemberian bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur
SCG 1223 terhadap karakteristik mikrobiologis daging

2.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Potong


Ayam (RPA) PT Kartika Eka Dharma, Jakarta Barat,
Laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen
Pertanian, Bogor serta Laboratorium Bakteriologi
Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Bahan-bahan
yang digunakan:daging ayam segar bagian dada, kultur
bakteri Isolat Asli Indonesia (IAI) Lactobacillus sp.
galur SCG 1223, nisin (Sigma Chemical Co., Amerika
Serikat), kultur bakteri uji (S.typhimurium, E.coli,
L.monocytogenes),Plate Count Agar (PCA), XyloseLysine-Desoxycholate (XLD) medium, Eosin Methy
lene Blue Agar (EMBA), deMan Ragosa Sharpe Broth
(MRSB), Mueller-Hinton Agar (MHA), Listeria
Selective Agar (LSA), aquades, alkohol, Buffered
Peptone Water (BPW), NaCl fisiologis, selenium,
H2SO4 pekat 96%, NaOH, H3BO3, KH(YO3)2, dan
HCl. Penelitian dikelompokkan dua rancangan
percobaan, pertama: pengaruh faktor A (penambahan
biopreservatif): A1=kontrol, A2= perendaman dengan
ekstrak bakteriosin IAI SCG 1223, A3=perendaman
dengan nisin, faktor B (lama penyimpanan pada suhu
ruang 270C): B1= 0 jam, B2=6 jam, B3=12 jam,
kedua:pengaruh faktor A (penambahan biopreservatif):
A1=kontrol, A2= perendaman dengan
ekstrak
bakteriosin IAI SCG 1223, A3= perendaman dengan
nisin, dan faktor C (lama penyimpanan pada suhu
refrigerator40C): C1= 0 hari, C2=14 hari, C3=28 hari.
Peubah yang diamati: jumlah total bakteri uji (S.
typhimurium, E. coli, L. monocytogenes), Total Plate
Count (TPC), penampilan fisik daging ayam, kadar
protein, dan nilai pH. Analisis data dilakukan dengan
ANOVA [3] dan deskriptif terhadap laju pertumbuhan
bakteri.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas bakteriosin IAI SCG 1223 terhadap
jumlah bakteri uji S. typhimurium.
Jumlah S. typhimurium pada daging ayam dengan
perlakuan kontrol, ekstrak kasar bakteriosin IAI 600
AU, dan nisin 600 AU pada suhu 270C dan suhu 40C
disajikan pada Tabel 1.

246

Tabel 1. Jumlah S. typhimurium pada daging dada ayam dengan biopreservatif selama penyimpanan
pada suhu 270C dan suhu 40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0
Kontrol

1,23 0,23
a

6
c

3,84 0,24
b

12

5,85 0,25
cd

1,23 0,23
a

14

28

3,76 0,05

3,34 0,41

Bakteriosin IAI

1,56 0,17

2,92 0,02

4,25

0,30

1,56 0,17

2,64 0,06

2,67 b 0,08

Nisin

1,21 a 0,12

3,18 b 0,25

4,48 d 0,09

1,21 a 0,12

2,98 bc 0,09

2,99 bc 0,14

Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%

Uji statistik menunjukkan jumlah S. typhimurium


dalam daging dada ayam di suhu ruang nyata
dipengaruhi oleh interaksi antara penambahan
biopreservatif dan lama penyimpanan. Interaksi antara
jam ke-0 dengan penambahan bakteriosin IAI, serta
dengan penambahan nisin tidak menimbulkan
pengaruh berbeda terhadap jumlah S. typhimurium
dibandingkan kontrol. Hal ini karena bakteriosin
belum mempunyai cukup waktu untuk melakukan
aktivitas
antimikrobial.
Bakteriosin
umumnya
memerlukan waktu untuk menembus sel-sel bakteri
yang akan dihambatnya [4]. S.typhimurium merupakan
bakteri gram negatif. Dinding sel bakteri gram negatif
lebih kompleks dan berlapis sehingga sulit ditembus
[5],[6]. Jumlah Salmonella typhimurium pada daging
ayam dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin
jam ke-6 nyata lebih rendah dibandingkan kontrol.
Laju pertumbuhan S. Typhimurium lebih tinggi pada
daging ayam kontrol dibandingkan daging ayam
dengan penambahan bakteriosin dan nisin. Laju
pertumbuhan S. typhimurium pada daging ayam
dengan penambahan nisin jam ke-6 sampai jam ke-12
menurun dibandingkan laju pertumbuhan jam ke-0
sampai jam ke-6. Bakteriosin IAI mampu menekan
pertumbuhan S. typhimurium hingga jumlah S.
typhimurium daging ayam dengan penambahan
bakteriosin IAI pada jam ke-12 sama levelnya dengan
jumlah S. typhimurium daging ayam kontrol pada jam
ke-6. Untuk penyimpanan pada suhu refrigerator, uji
statistik menunjukkan jumlah S. typhimurium daging
dada ayam di suhu refrigerator nyata dipengaruhi oleh
interaksi penambahan biopreservatif dan lama
penyimpanan. Jumlah S. typhimurium daging ayam
dengan penambahan bakteriosin IAI hari ke-14 nyata
lebih rendah dibandingkan kontrol. Jumlah S.

typhimurium nyata meningkat sepanjang 14 hari


pertama penyimpanan, walaupun daging ayam
disimpan pada suhu refrigerator. S. typhimurium
termasuk bakteri yang mampu hidup pada suhu dingin.
Pertumbuhan Salmonella dapat dikontrol dengan suhu
rendah namun ada beberapa laporan adanya
pertumbuhan Salmonella pada kerabang telur pada
suhu 40C serta pada daging giling dan potongan daging
ayam pada 20C [7]. Laju pertumbuhan S. typhimurium
lebih tinggi pada daging ayam kontrol dibandingkan
daging ayam dengan penambahan bakteriosin IAI.
Nisin baru berpengaruh nyata hari ke-28. Berdasarkan
pendapat Klaenhammer [8], Nettles dan Barefood [9],
dan Martinez-Cuesta [10], nisin kurang efektif
melawan bakteri gram negatif. Penyimpanan pada
suhu refrigerator tidak merusak bakteriosin, bahkan
suhu -200C bakteriosin masih menunjukkan aktivitas
terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan [4].
Penyimpanan dingin dalam refrigerator memperlambat
reaksi kimia dan aktivitas enzim [11] sehingga
bakteriosin yang berupa protein lebih stabil dan
terlindung dari reaksi-reaksi yang dapat menghambat
aktivitasnya, misalnya enzim protease. Penurunan laju
pertumbuhan dapat dipengaruhi berbagai faktor
diantaranya kompetisi antar mikroorganisme serta
adanya hasil-hasil metabolisme dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme [6],[12]. Bakteriosin
IAI dan nisin mampu menurunkan laju pertumbuhan S.
typhimurium secara nyata pada suhu ruang dan pada
suhu refrigerator. Bakteriosin IAI memberikan ke
cenderungan penghambatan S. typhimurium yang lebih
baik selama penyimpanan daging ayam bila dibanding
nisin. Jumlah E. coli pada daging ayam kontrol,
ekstrak bakteriosin IAI 600 AU dan nisin 600 AU pada
suhu 270C dan suhu 40C disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah E.coli pada daging dada ayam dengan penambahan biopreservatif selama penyimpanan
pada suhu 270C dan 40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif

Kontrol

12

14

28

2,62 0,09

3,53 0,20

4,30 0,02

2,62 0,09

3,50 0,23

3,70 0,08

247

Bakteriosin IAI
Nisin
Rataan

2,47 0,15
2,52 0,06
2,54 a 0,11

3,12 0,10
3,11 0,07
3,25 b 0,24

4,07 0,07
4,10 0,09
4,16 c 0,12

2,47 0,15
2,52 0,06
2,54 a 0,11

3,02 0,04
2,99 0,19
3,17 b 0,29

3,33 0,05
3,45 0,10
3,49 c 0,18

Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%

Uji statistik menunjukkan hasil nyata penambahan


biopreservatif dan lama penyimpanan. Laju per
tumbuhan E. coli jam ke-0 sampai jam ke-12 daging
ayam kontrol lebih tinggi, sedangkan daging ayam
dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin lebih
rendah. Hal ini menyebabkan jumlah E. coli nyata
lebih rendah. Penambahan bakteriosin IAI memberi
kan kecenderungan pengaruh yang sama terhadap
pertumbuhan E. coli selama penyimpanan daging
ayam bila dibanding nisin. Jumlah E. coli nyata
meningkat pada jam ke-6 dan jam ke-12 karena E.
coli cepat berkembang biak pada suhu ruang. Untuk
perlakuan penyimpanan suhu refrigerator, uji statistik
menunjukkan hasil nyata penambahan biopreservatif
dan lama penyimpanan. Jumlah E. coli pada daging
dada ayam dengan penambahan bakteriosin IAI dan
penambahan nisin nyata lebih rendah pada suhu
refrigerator dibandingkan kontrol pada suhu yang
sama. Laju pertumbuhan E. coli hari ke-0 sampai hari
ke-28 pada daging ayam kontrol lebih tinggi,
sedangkan pada daging ayam dengan penambahan
bakteriosin IAI maupun nisin lebih rendah.
Penyimpanan dingin dapat memperlambat pertumbuh
an dan aktivitas mikroorganisme bahan pangan [11],
namun beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada

kondisi tersebut sehingga menyebabkan kebusukan


daging segar. E. coli masih dapat tumbuh pada suhu 360C [13]. Pengamatan pada Salmonella dan E. coli
menunjukkan ekstrak bakteriosin IAI dan nisin
menunjukkan aktivitas hambat pada bakteri gram
negatif. Misalnya Plantaricin S dan T bakterisidal
terhadap beberapa bakteri gram positif termasuk
Clostridium dan Propionibacterium namun tidak
menghambat bakteri gram negatif [14], bakteriosin
dari Leuconostoc carnosum 4010 tidak menghambat
bakteri gram negatif termasuk Salmonella infantis, S.
typhimurium, E. coli, dan Yersinia enterocolitica [15].
Efektivitas nisin dilaporkan mempunyai efek
bakterisidal terhadap Staphylococcus, Streptococcus
[16], Clostridium [17], Lacto coccus, Bacillus, Micro
coccus, Listeria monocytogenes [9], Brochothrix [18].
Penelitian aktivitas nisin untuk menghambat bakteri
gram negatif dilakukan dengan mengkombinasikan
nisin dengan EDTA, EGTA, sitrat dan fosfat, hasilnya
efektivitas nisin meningkat dalam mengurangi
populasi bakteri E. coli O157: H7 dan S. typhimurium
[19]. Jumlah L. monocytogenes pada daging ayam
control dengan penambahan ekstrak bakteriosin IAI
600 AU dan nisin 600 AU pada suhu 270C dan suhu
40C disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah L. monocytogenes dalam daging dada ayam dengan biopreservatif selama penyimpanan pada suhu 270C dan
40C (log10 cfu/g)
Penambahan
Biopreservatif
Kontrol
Bakteriosin IAI
Nisin
Rataan

Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C


0
2,55 0,16
2,19 0,04
1,19 0,20
1,98 a 0,62

6
4,35 0,75
4,15 0,22
2,97 0,38
3,82 b 0,77

12
5,31 0,10
4,56 0,16
3,69 0,16
4,52 c 0,71

Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C


0
2,55 b 0,16
2,19 b 0,04
1,19 a 0,20

14
< 3,00 0,00 *
< 3,00 0,00 *
< 3,00 0,00 *

28
4,02 e 0,08
3,16 d 0,11
2,86 cd 0,08

Keterangan : angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5%
- tanda bintang (*) menunjukkan tidak adanya pertumbuhan pada pemupukan yang dilakukan, sehingga tidak ikut
diperhitungkan dalam analisis statistik

Uji statistik penyimpanan suhu ruang menunjukkan


hasil nyata antara perlakuan dan lama penyimpanan.
Jumlah L. monocytogenes daging ayam dengan
penambahan nisin nyata lebih rendah dibandingkan
daging ayam penambahan bakteriosin IAI, dan jumlah
L. monocytogenes pada daging ayam dengan
penambahan bakteriosin IAI nyata lebih rendah
dibandingkan daging ayam kontrol. Efektivitas nisin
tampak sejak jam ke-0 dengan aksi bakterisidal terhadap
L. monocytogenes, sesuai pernyataan [8], [9], dan [10]
bahwa nisin lebih efektif melawan bakteri gram positif.
Penggunaan bakteriosin pada daging banyak dikaji dan
mengindikasikan aktivitas antimikroba yang bervariasi
tergantung mikroorganisme target, formulasi, dan tipe
dari produk daging [18]. Lama penyimpanan yang

berbeda berpengaruh terhadap jumlah L.monocytogenes


daging ayam. Jumlah L.monocytogenes mengalami
peningkatan nyata jam ke-6 dan jam ke-12. Jumlah awal
L.monocytogenes pada daging ayam 2,14 log10 cfu/g.
Hal ini tidak sesuai dengan SNI(2000)[20] yang
mensyaratkan tidak boleh terdapat Listeria sp. pada
produk daging. Setelah dikontaminasi dengan 10 2 cfu/g
L.monocytogenes,
diasumsikan
jumlah
L.mono
cytogenes adalah 2,38 log10 cfu/g. Setelah perendaman,
terlihat penurunan jumlah L. monocytogenes pada
daging ayam dengan penambahan nisin. Interaksi
perlakuan biopreservatif dan lama penyimpanan
berpengaruh nyata terhadap jumlah L. monocytogenes
daging ayam pada suhu refrigerator. Efektivitas IAI dan
nisin baru dapat dilihat pada data hari ke-28. Jumlah L.

248

monocytogenes daging ayam dengan penambahan


bakteriosin IAI maupun nisin hari ke-28 nyata lebih
rendah dibandingkan kontrol. Nisin memberikan ke
cenderungan penghambatan L. monocytogenes yang
lebih baik selama penyimpanan daging ayam bila
dibanding bakteriosin IAI. Penelitian lain menunjukkan
efektivitas bakteriosin terhadap L.monocytogenes antara
lain penelitian dilakukan [21], menunjukkan aplikasi
nisin 1400 IU pada daging sapi segar menurunkan
jumlah L.monocytogenes 3,28 log10 cfu/g atau sebanyak
54% pada penyimpanan 40C selama 72 jam. Jumlah L.
monocytogenes pada ketiga penambahan biopreservatif
nyata meningkat pada hari ke-28. Bahwa 64% dari 123
kasus listeriosis L. monocytogenes dapat diisolasi dari
makanan yang disimpan dalam refrigerator [22]. Suhu
minimum pertumbuhan L. monocytogenes adalah -0,40C
[23], [24]. Peningkatan jumlah bakteri tetap terjadi
meskipun diberi perlakuan bakteriosin juga dilaporkan
oleh [19]. Efektivitas nisin 5000 AU/ml pada penelitian
tersebut terjadi pada jam ke-0 yaitu menurunkan jumlah
Listeria pada jaringan lean dari 4,82 log10 cfu/cm2
menjadi 2,52 log10 cfu/cm2. Selanjutnya setelah 28 hari
penyimpanan 40C, jumlah Listeria pada control
mencapai 6,85 log10 cfu/cm2 sedangkan perlakuan nisin
5,85 log10 cfu/cm2. Jika ditinjau dari aspek biopre
servatif daging ayam, baik bakteriosin IAI maupun nisin
sama-sama dihasilkan oleh BAL mempunyai efek yang
hampir sama sebagai bakterisidal dan bakteriostatik
[24], yaitu menekan peningkatan populasi bakteri S.
typhimurium, E. coli, dan L. monocytogenes pada
daging ayam segar. Aktivitas bakteriosin tidak mampu
menghambat jenis sel bakteri resisten. Sel resisten
biasanya berada bersama populasi bakteri yang sensitif
[8] dan [25]. Total bakteri (TPC) daging ayam kontrol
negatif selama penyimpanan suhu 270C tanpa
penambahan biopreservatif jam ke-0 sebesar 4,46 log10
cfu/g. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan total
bakteri daging ayam penelitian [26] yaitu 5,53 log10
cfu/cm2. RPA di PT Kartika Eka Dharma tergolong
modern dalam sistem preparasi daging ayam artinya
karkas ayam dihasilkan melalui serangkaian proses
secara baik dan bersih. Total bakteri daging ayam
kontrol jam ke-6 menunjukkan hasil 5,57 log10 cfu/g.

Secara fisik, daging ayam belum menunjukkan pe


nyimpangan. Peningkatan populasi bakteri disebabkan
pertumbuhan dan perkembangan bakteri daging ayam
segar dengan kondisi lingkungan yang menguntungkan.
Total bakteri pada jam ke-12 adalah 9,4 log10 cfu/g.
Daging ayam mulai berbau tidak sedap. Bau timbul
karena produksi hidrogen sulfida (H2S), NH3 dan
merkaptan yang merupakan bahan utama pembentuk
bau busuk akibat metabolisme protein oleh
mikroorganisme. Bakteri yang menyebabkan bau busuk
di antaranya Pseudomonas, Shewanella, Serratia, dan
Brochothrix [27], [28]. Daging ayam dengan penambah
an ekstrak bakteriosin IAI dan nisin menunjukkan
kondisi fisik yang baik. Daging dada ayam segar kontrol
pada penelitian [26] sudah berbau busuk pada jam ke-8
penyimpanan suhu ruang akibat jumlah mikroorganisme
awal yang lebih tinggi. Total bakteri pada penyimpanan
suhu 40C hari ke-14 menunjukkan 8,17 log10cfu/g dan
pH 6,17. Secara fisik, daging ayam tampak sudah
membusuk. Bau busuk dan lendir timbul ketika jumlah
bakteri mencapai 1x108 cfu/cm2, sedangkan penelitian
lain menyebutkan bau busuk timbul ketika jumlah
bakteri mencapai 1,2x106 cfu/cm2 dan lendir timbul
ketika bakteri berjumlah 3,2x107 cfu/cm2 sampai dengan
1x109 cfu/cm2 [29]. Lendir disebabkan oleh bakteri
berkapsul [14] di antaranya Pseudomonas dan
Alcaligenes [11] dan [30]. Daging dengan kontaminan
105 cfu/cm2 akan menjadi busuk dalam 6 hari apabila
disimpan pada suhu 50C dan daging dengan kontaminan
103 cfu/cm2 tidak akan menjadi busuk selama 10-11 hari
penyimpanan pada suhu 50C [31] dan [32]. Daging
dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin sudah
berbau namun belum berlendir pada hari ke-14. Total
bakteri daging ayam kontrol hari ke-28 sebanyak 9,68
log10cfu/g. Semua daging ayam sudah membusuk.
Artinya bakteriosin IAI maupun nisin tidak mampu
mempertahankan kualitas daging ayam hingga 28 hari.
Pengaruh Bakteriosin terhadap Kadar Protein
Daging Ayam. Rataan kadar protein daging ayam pada
penyimpanan suhu ruang dan suhu refrigerator untuk
masing-masing bakteri uji dapat dilihat pada Tabel 4, 5
dan 6.

Tabel 4. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi S. typhimurium penyimpanan
Pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu
Biopreservatif
suhu 270C
40C
0

12

28

Kontrol

20,94 7,00

19,57 2,45

20,94 7,00

21,94 0,48

Bakteriosin IAI

21,39 0,71

18,11 2,45

21,39 0,71

20,94 2,80

Nisin

19,42 4,61

19,95 6,11

19,42 4,61

21,29 0,44

Tabel 5. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi E. coli penyimpanan
Pada suhu 270C dan 40C

249

Penambahan
Biopreservatif

Lama Penyimpanan (hari) pada


suhu 270C

Lama Penyimpanan (jam) pada


suhu 40C

12

28

Kontrol

18,49 4,22

20,23 1,64

18,49 4,22

20,60 2,77

Bakteriosin IAI

20,06 1,40

21,15 2, 85

20,06 1,40

21,92 0,53

Nisin

23,29 0,06

20,66 1,73

23,29 0,06

20,85 0,60

Tabel 6. Rataan kadar protein (%) daging ayam yang dikontaminasi L. monocytogenes penyimpanan
pada suhu 270C dan40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada
Lama Penyimpanan (jam) pada
Biopreservatif
suhu 270C
suhu 40C
0

12

28

Kontrol

21,11 1,40

19,46 0,71

21,11 1,40

22,20 0,62

Bakteriosin IAI

22,59 2,51

19,75 3,09

22,59 2,51

22,20 0,63

Nisin

18,23 2,87

20,92 1,52

18,23 2,87

22,76 0,75

Uji statistik menunjukkan penambahan biopreservatif


dan lama penyimpanan tidak mempengaruhi kadar
protein daging ayam. Kadar protein 18,11 % hingga
23,29 %. Protein berasal dari protein alami daging
ayam, bakteriosin IAI dan nisin dengan konsentrasi
600 AU dan mikroorganisme yang merupakan protein.

Semakin tinggi jumlah mikroorganisme memungkin


kan kadar protein meningkat.
Pengaruh Bakteriosin terhadap Nilai pH Daging
Ayam
Rataan pH daging ayam pada penyimpanan suhu
ruang dan suhu refrigerator untuk masing-masing
bakteri uji dapat dilihat pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi S. typhimurium selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0

12

14

28

Kontrol

5,84 0,13

5,93 0,24

5,84 0,16

5,84 0,13

5,98 0,14

6,32 0,03

Bakteriosin IAI

5,96 0,07

5,76 0,21

5,51 0,06

5,96 0,07

5,85 0,20

6,03 0,29

Nisin

6,08 0,14

5,77 0,10

5,64 0,06

6,08 0,14

6,04 0,14

6,06 0,40

Rataan

5,96 a 0,14

5,82 b 0,19

5,66 c 0,17

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 8. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi E.Coli selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif
0

12

14

28

Kontrol

6,04 0,33

5,93 0,37

5,79 0,06

6,04 0,33

5,96 0,14

6,23 0,25

Bakteriosin IAI

6,16 0,15

5,86 0,20

5,75 0,21

6,16 0,15

5,89 0,25

6,03 0,16

Nisin

6,17 0,07

5,69 0,09

5,84 0,23

6,17 0,07

6,31 0,15

6,20 0,17

Rataan

6,12 0,19

5,83 0,24

5,79 0,16

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 9. Rataan pH daging ayam yang dikontaminasi L. monocytogenes selama penyimpanan pada suhu 270C dan 40C
Penambahan
Lama Penyimpanan (hari) pada suhu 270C
Lama Penyimpanan (jam) pada suhu 40C
Biopreservatif

Kontrol

12

14

28

6,03 0,09

5,80 0,26

5,83 0,23

6,03 0,09

6,07 0,15

6,18 0,42

250

Bakteriosin IAI

6,09 0,18

5,85 0,12

5,56 0,10

6,09 0,18

6,05 0,15

5,99 0,33

Nisin

6,03 0,06

5,99 0,25

5,60 0,09

6,03 0,06

6,07 0,36

6,15 0,04

Rataan

6,05 0,11

5,88 0,21

5,67 0,18

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil nyata pada taraf uji 5 %

Uji statistik menunjukkan pH daging ayam yang


disimpan suhu ruang maupun suhu refrigerator tidak
dipengaruhi oleh penambahan biopreservatif untuk
ketiga jenis bakteri uji. Hal ini karena bakteriosin IAI
yang ditambahkan mempunyai pH netral (pH=7). L.
monocytogenes pada media padat menunjukkan nisin
dalam level tinggi tidak berpengaruh terhadap pH
eksternal (pH lingkungan) pada range pH 5-9 [33],
[34]. Efek bakteriosin terhadap pH sampel menunjuk
kan bahwa jaringan dengan perlakuan nisin 5000
AU/ml mempunyai pH lebih tinggi secara nyata
dibanding jaringan control [19]. Hambatan terhadap
pertumbuhan bakteri oleh nisin menyebabkan
metabolit asam lebih sedikit. Data penelitian ini
berbeda dengan hal tersebut, kemungkinan karena: (1)
konsentrasi bakteriosin digunakan lebih rendah
sehingga pengurangan metabolit akibat penurunan
jumlah bakteri belum cukup untuk dapat mem
pengaruhi nilai pH; (2) jumlah E.coli pada daging
ayam perlakuan IAI dan nisin masih cukup tinggi. E.
coli merupakan bakteri yang tergolong pembentuk
asam. Penurunan pH terjadi karena proses glikolisis
anaerob menyebabkan perubahan glikogen menjadi
asam laktat [35] serta hasil metabolisme bakteri
pembentuk asam [36], [37].

Ekstrak bakteriosin IAI Lactobacillus sp. galur SCG


1223 dengan aktivitas antimikroba 600 AU mampu
menghambat pertumbuhan S. typhimurium, E. coli dan
L.monocytogenes pada daging dada ayam segar.
Kombinasi perlakuan bakteriosin dan pendinginan
menghasilkan penghambatan lebih baik terhadap
bakteri uji. Bakteriosin IAI lebih efektif terhadap S.
typhimurium dibanding nisin, sedangkan nisin lebih
efektif terhadap L. monocytogenes dibanding
bakteriosin IAI. Ekstrak bakteriosin IAI dan nisin 600
AU tidak merubah nilai pH dan kadar protein daging
ayam. Nilai pH daging ayam semakin menurun selama
penyimpanan pada suhu 270C. Disarankan 1) perlu
dikaji metode aplikasi dengan cara selain perendaman,
misalnya penyemprotan (spray) dan 2) perlu dikaji
metode pemurnian bakteriosin menjadi bentuk bubuk
(powder) dengan memperhatikan stabilitas bakteriosin
agar dapat didistribusikan dengan lebih mudah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada
Amalia PR, alumni Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan Fak. Peternakan IPB, yang telah
membantu penelitian ini.

4. KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI
[1] Susann M, T. Dong, A. Rathemacher, H. Rohm and
D. Jaros. Physicochemical characterisation of the
exopoly
saccharides
of
Streptococcus
thermophilus ST-143. 2014. International Journal
of Food Science & Technology. 49 (5): 1254
1263
[2] Usmiati, S.,T. Marwati, R. Sunarlim, Abubakar,
C. Winarti, Miskiah, T. Ariyanti, Sugiarto, dan
M. Wahyudi,Teknologi produksi Bakteriosin
sebagai biopreservatif untuk
mengendalikan
kontaminan daging dan produk daging. Laporan
Akhir, 2007, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
[3] Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, Prinsip dan
Prosedur Statistika, Terjemahan B. Sumantri, PT
Gramedia Pustaka Utama, 1991, Jakarta.
[4] Gonzales, B. E., F. Glaasker, F. R. S. Kunji. A. J.
M. Driessen, J. E. Suarez, and W. N. Konings,
Bactericidal mode of action of Plantaricin S, J.
Appl. Environ. Microbiol, 1996, 62:2701-2709.

[5] Bhunia, A. K., M. C. Johnson, B. Ray, and N.


Kalchaanand, Mode of action of pediocin AcH
from Pediococcus acidilactici H on sensitive
bacteria strains, J. Appl. Bacte riol, 1991, 70 : 125.
[6] Nelson J. G. Neto, Isabelle S, L. Octavio, L.
Franco, M. Magnani and E. L. Souza. Tolerance
evaluation in Salmonella enterica serovar
Typhimurium challenged with sublethal amounts
of Ros marinus officinalis L. essential oil or 1,8cineole in meat model.2014. International Journal
of Food Science & Technology, 49(8): 1912
1917.
[7] Blackburn, C. de W., and P. J. McClure, Foodborne Pathogens:Hazard, Risk Analysis and
Control, Woodhead Pubishing Limited, 2002,
Cambridge.
[8] Klaenhammer, T. R, Bacteriocin of Lactic Acid
Bacteria, Biochimie, 1988, 70 : 337-349.
[9] Nettles, C. G and S. F. Barefoot, Biochemical and
lactic acid bacteria, J. Food Protect, 1993, 56 :
78-81.

251

[10] Martinez Cuesta, M. C., Jan Kok, E. Herranz, C.


Pelaez, T. Requina, and G. Buist, Requirement of
autolytic activity for bacteriocin-induced lysis, J.
Appl. Environ. Microbiol , 2000, 66 (8) : 31743179.
[11] Frazier, W. C. and D. C. Westhoff, Food
Microbiology, 4th Edition, McGraw-Hill Book
Company, 1988, Singapore.
[12] Fardiaz, S, Mikrobiologi Pangan 1, PT Grame
dia Pustaka Utama, 1992, Jakarta.
[13] Ray, B, Fundamental Food Microbiology, CRC
Press, 1992, London.
[14] Alcamo, I. E, Fundamentals of Microbiology,
Addison-Wesley Publishing Company, 1983,
London.
[15] Budde, B. B., T. Hornbaek, T. Jacobsen, V.
Barkholt, and A. G. Koch, Leuconostoc carnosum
4010 has the potential for use as a protective
culture for vacuum-packed meats: culture
isolation, bacteriocin identification, and meat
application experiments, Int. J. Food Microbiol,
2003, 83 : 171-184.
[16] Engelkel, G., Z. Gutowski-Eckel, P.Kiesau, K.
Siegers, M. Hammelmannl, and K. D. Entian,
Biosynthesis of antibiotic nisin, genomic
organization and membrane localization of the
nis B protein. J. Appl. Microbiol. 58 : 3730-3734.
[17] OSullivan, L., R.P. Ross, and C. Hill, Potential of
bacteriocin-producing lactic acid bacteria for
improvements in food safety and quality, Bio
chimie,2002, 84:593-604. J.Appl. Microbiol, 58:
3730-3734
[18] Coventry, M. J., K. Muirhead, and M. W. Hickey,
Partial characterization of pediocin PO2 and
comparison with nisin for biopreservation of
meat products, Int. J. Food Microbiol, 1995, 26 :
133-145.
[19] Cutter, C. N. and G. R. Siragusa, Reductions of
Listeria innocua and Brochothrix thermosphacta
on beef following nisin spray treatments and
vacuum packaging, J. Food Microbiol, 1996, 13 :
23-33.
[20] Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional
Indonesia 01-0366-2000, Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu
dalam Bahan Makanan Asal Ternak Hewan.
2000. Badan Standarisasi
[21] Harijani, N,
Pengaruh bakteriosin sebagai
biopreservatif pada daging segar dalam kemasan
dan profil aktivitas antibakterial. Tesis, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 1997,
Bogor.
[22] Jackson, T. C., G. R. Acuff, L. M. Lucia, R. K
Prasai, R. A. Benner, and C. T. Terr. Survey of
residential refrigerators for the presence of L.
monocytogenes. J. Food Protect, 1993, 56 (10) :
874-878.

[23] Januarsyah, T, Kajian aktivitas hambat bakteri


osin dari bakteri asam laktat galur SCG 1223,
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, 2007, Bogor.
[24] Kamlesh A. S, Q. Shen and R. Nannapaneni.
Reduction of Listeria monocytogenes in coldsmoked salmon by bacteriophage P100, nisin and
lauric arginate, singly or in combinations, 2014.
International Journal of Food Science &
Technology, 49 (8): 19181924
[25] Todorov, S. D. and L. M. T. Dicks, L. plantarum
isolated from molasses produces bacteri ocins
active against Gram-negative bacteria, J. Enz.
Microb. Technol, 2005, 36 : 318-326.
[26] Karyadinata, C. H. K, Kualitas mikrobiologi
daging dada ayam broiler yang direndam pada
ekstrak bawang putih (Allium sativu), Skripsi,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
2005, Bogor.
[27] Ray, B, Fundamental Food Microbiology, 3th
Edition, CRC Press, 2004, London.
[28] Luchansky, J. B., K. A. Glass, K. D. Harsono, A.
J. Degnan, N. G. Faith, B. Cauvin, G. BaccusTaylor, and K. Arihara, Genomic analysis of
Pediococcus starter cultures used to control
L.monocytogenes in turkey summer sausage, J.
Appl. Environ. Microbiol, 1992, 58: 3053-3059.
[29] Russel, S. M., Spoilage bacteria associated with
poultry. In: A. R. Sams (Editor), Poultry Meat
Processing. CRC Press, 2001, New York.
[30] Ogunbanwo, S. T., A. I. Sanni, and A. A. Onilude,
Influence of cultural conditions on the production
of bacteriocin by L.brevis OG1 African, J.
Biotechnol, 2003, 2 (7): 179-184.
[31] Suyasa, I. N, Penambahan asam asetat dan asam
laktat serta pengaruhnya terhadap kualitas
daging sapi, Tesis, Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, 2002, Bogor.
[32] McAuliffe, O, C. Hil, and R. P. Ross, Inhibition
of L.monocytogenes in cottage cheese manu
factured with a lacticin 3147-producing starter
culture, J. Appl. Microbiol, 1999, 86 : 251-256.
[33] Budde, B. B. and M. Jakobsen, Real-time
measurements of the interaction between single
cells of L.monocytogenes and nisin on a solid
surface, J. Appl. Environ. Microbiol, 2000, 66 (8)
: 3586-3591.
[34] Todorov, S. D. and L. M. T. Dicks, Influence of
growth conditions on the production of a bacteri
ocin by L.lactis subsp. lactis ST34BR, a strain
isolated from barley beer,J. Basic Microbiol.
2004, 44 (4) : 305-316.
[35] Soeparno. Ilmu dan Teknologi Daging, Gadjah
Mada University Press, 1994, Yogyakarta.
[36]

252

Buchanan, R. L. and L. A. Klawitter,


Effectiveness of Carnobacterium piscicoa LK5
for controlling the growth of L. monocytogenes

Scott A in refrigerated foods, J. Food Safety,


1992, 12 : 219-236.

[37] Olasupo, N. A., D.J. Fitzgerald, M.J. Gasson, and


A. Narbad, Activity of natural antimicrobial
compounds against E.coli and S. enterica serovar
typhimurium, Lett. Appl. Microbiol, 2003, 36 :
448451.
Notulensi Diskusi:
PGO-301, Abubakar dan Sri Usmiati, Pengaruh
Penambahan Bakteriosin Lactobacilus sp. Galur SCG
1223 yang Diisolasi Dari Susu Sapi terhadap
Karakteristik Mikrobiologis Daging Ayam Segar

Tanya: Bagaimana penggunaan bakteriosin untuk


mengurangi kontaminan pada daging ayam segar,
jika ditinjau secara ekonomis? (Widodo, BPPTP
Yogyakarta).
Jawab: Jika ditinjau dari segi ekonomi sangat
ekonomis, selain itu juga dari segi keamanan
pangan juga sangat baik. Keuntungan bakteriosin
sebagai bahan pengawet yaitu tidak toksik, tidak
membahayakan
mikroflora
usus,
dapat
mengurangi penggunaan pengawet kimia,
penggunaannya
fleksibel,
serta
memiliki
kestabilan terhadap pH dan suhu yang cukup luas.

253

Tanya: Bakteriosin yang digunakan tidak murni


atau belum dimurnikan, hanya disaring. Mohon
diklarifikasi lagi mengenai hal ini. (Sarjono,
UGM).
Jawab: Pada penelitian ini menggunakan larutan
ekstrak kasar bakteriosin yang diperoleh dengan
metode sebagai berikut : Sebanyak 1 ml isolat
terpilih diino kulasi pada 9 ml MRSB dan diinku
basi 370C selama 24jam. diinokulasikan pada
MRSB (1:9) - diinkubasi pada shaker 370C
selama minimal18jam. diinokulasikan
MRSB (1:9) dengan pH 5- dalam labu Erlen
meyer diinkubasi pada inkubator shaker 33,50C
selama 9 jam. disentrifugasi kecepatan 10.000
rpm(15 menit). Nilai pH dari filtrat dinetralkan
dengan penambahan NaOH disaring dengan
Millipore 0,22 m diperoleh larutan ekstrak
kasar bakteriosin.
Ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG
1223 dengan aktivitas antimikroba 600 AU
mampu
menghambat
pertumbuhan
S.
typhimurium, E. coli dan L. monocytogenes pada
daging dada ayam segar.

Escherichia coli strain patogen pada anak penderita diare


Dadik Raharjo1,2, W. Setyarini2, S. M. Sudarmo3, T. Shirakawa4
1) Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Uniersitas Airlangga, Jl.
Mulyorejo Selatan Surabaya 60115. Tel/Fax. 031-5992445
2) Laboratorium Gastroenteritis dan Salmonellosis Lembaga Penyakit Tropis Uniersitas Airlangga, Jl.
Mulyorejo Selatan Surabaya 60115 Tel/Fax. 031-5992445
3) Divisi Gastroenterologi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Universitas
Airlangga Jl. Dr. Moestopo Surabaya 60286 Tel/Fax. 031-5020457
4) International Center for Medical Research and Treatment Kobe University School of Medicine Japan
650-0017. Tel. 81-78-382-5686
Kontak : dadik_tdc@yahoo.co.id
Abstrak Sebanyak 97 sampel feses yang berasal dari penderita diare anak yang dirawat di RS. Dr. Soetomo
Surabaya dilakukan deteksi Escherichia coli strain patogen secara polymerase chain reaction (PCR). Uji PCR
dilakukan untuk mendeteksi gen pengkode sifat patogen dari enterotoksigenik (ETEC), enterohaemorrhagik
(EHEC) : enteropatogenik (EPEC); enteroinvasif (EIEC); dan enteroaggregatif (EAEC). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa enteroaggregatif (EAEC) merupakan E.coli strain patogen yang paling banyak ditemukan
sedangkan enterotoksigenik (ETEC) tidak ditemukan pada sampel yang diuji.
Kata kunci : PCR, E. coli, patogen, gen
Abstract A total of 97 stool samples derived from children with diarrhea admitted to. Dr Soetomo general
hospital. The Polymerase Chain Reaction (PCR) used to detect of pathogenic Escherichia coli strains . The PCR
test is done to detect the gene encoding pathogenic properties of enterotoxigenic (ETEC), enterohaemorrhagic
(EHEC): enteropathogenic (EPEC); enteroinvasive (EIEC); and enteroaggregative (EAEC). The results
showed that enteroaggregative (EAEC) is a pathogenic strain of E. coli most commonly found while
enterotoxigenic (ETEC) is not found in the samples tested.
Kata kunci : PCR, E. coli, pathogen, gene
1. PENDAHULUAN
Kematian akibat diare secara global pada
anak berumur kurang dari 5 tahun sebesar 1,87 juta
(19% dari total kematian anak). Di Indonesia
sebanyak 15.161 anak/tahun meninggal akibat diare
(10% total kematian) [1]
Agen infeksi penyebab diare masuk dalam
tubuh manusia secara oral bersama makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Escherichia coli ,
Salmonella spp., Shigella spp., Yersinia spp., Vibrio
spp., Campylobacter spp., Aeromonas spp., dan
Plesiomonas shigelloides merupakan bakteri penyebab
diare disamping parasit dan virus [2].
Escherichia coli mempunyai banyak serotipe,
menurut mekanisme virulensinya, dikategorikan ke
dalam : enterotoksigenik (ETEC), enterohaemorrhagik
(EHEC) : enteropatogenik (EPEC); enteroinvasif
(EIEC); dan enteroaggregatif (EAEC), sedangkan
kelompok diffusely adherent E. coli bukan termasuk
patogen [3].
Enterotoksigenik
E.
coli
merupakan
penyebab paling umum pada travelers' diarrhea dan
telah menyebabkan beberapa wabah di Amerika
Serikat. Diperkirakan ada 79.420 kasus ETEC di

Amerika Serikat setiap tahun. EPEC dan EIEC


terutama menginfeksi anak-anak di negara berkembang. Enteroaggregatif E. coli mungkin menyebabkan diare kronis pada pasien yang terinfeksi HIV.
Terjadi wabah E. coli O157:H7, terkait dengan daging
giling, E. coli O121, terkait dengan produk daging
olahan beku dan kecambah mentah [4].
2. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan 97 sampel feses
dari penderita diare yang dirawat di bagian anak,
divisi gastro, RSU. Dr. Soetomo Surabaya Indonesia.
Sampel feses diambil secara aseptis menggunakan
rectal tube (Bicakcilar, Turkey ), dimasukkan dalam
kontainer steril sehingga bakteri yang didapat
merupakan bakteri yang berasal dari feses penderita.
Sampel dengan segera dibawa ke Laboratorium
Gastroenteritis dan Salmonellosis, Lembaga Penyakit
Tropis Universitas Airlangga. Surabaya.
Sampel feses dilakukan penanaman pada
media Mac Conkey (Oxoid, Basingstoke,England).
Sejumlah koloni yang tumbuh diambil dengan ose
steril dan dimasukkan dalam tabung effendorf yang
telah di isi 1 ml air suling steril.Tabung effendorf

254

kemudian dilakukan pemanasan sampai 100oC selama


10 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi 10.000
RPM selama 10 menit, supernatan diambil dan
digunakan sebagai DNA template.
Primer yang digunakan untuk amplifikasi
setiap target gen terdapat pada tabel 1. PCR dilakukan
dengan volume akhir 25ul, PCR dilakukan untuk
mendeteksi faktor virulensi dari EPEC, EHEC, ETEC,
EIEC dan EAEC. Setiap tabung disiapkan dengan
menambahkan 12,5 ul PCR mix (Qiagen), 2 ul primer,
4,5 ddH2O dan 6 ul template DNA.
PCR dilakukan dengan :
96 oC selama 4 menit
95 oC selama 20 detik
57 oC selama 20 detik
35 siklus
72 oC selama 1 menit
96 oC selama 7 menit
4 oC
Hasil PCR dilakukan elektroforesis dengan agarose
gel 2%.

Gambar 1. Hasil elektroforesis dengan primer AAIC,


dengan amplicon 215 pb.

Hasil pemeriksaan terhadap 97 sampel


didapatkan :
Tabel 2. Hasil pemeriksaan E. coli patogen

Tabel 1. Primer digunakan dalam penelitian [5].


Primer
Sekuen primer
Hasil
LT-F
CACACGGAGCTCCTCAGTC
508
LT-R
CCCCCAGCCTAGCTTAGTTT
ST-F
GCTAAACCAGTAG
147
/AGGTCTTCAAAA
ST-R
CCCGGTACAG
/AGCAGGATTACAACA
FPA-F
GGAAGTCAAATTCATGGGGG
367
FPA-R
GGAATCAGACGCAGACTGGT
VD432
CTGGCGAAAGACTGTATCAT
630
VD432
CAATGTATAGAAATCCGCTG
EAE-F
CCCGAATTCGGC
881
ACAAGCATAAGC
EAE-R
CCCGGATCCGTCT
CGCCAGTATTCG
AIC-F
ATTGTCCTCAGGCATTTCAC
215
AIC-R
ACGACACCCCTGATAAACAA

Sampel
97

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
pemeriksaan
PCR
dengan
elektroforesis menunjukkan adanya pita DNA
yang sesuai dengan target DNA yang
diamplifikasi

Negatif
57

Positif
EPEC : 2
EAEC : 27
EHEC : 3
EHEC, EAEC : 4
EPEC, EAEC : 2
EPEC, EAEC, EHEC : 2

Escherichia coli strain patogen didapatkan


sebanyak 40 (41%) sampel, adanya Escherichia coli
strain patogen pada feses penderita diare dapat
menjadi penyulit pada pengobatan diare pada anak,
mengingat masih sedikitnya laboratorium klinik yang
melakukan pemeriksaan terhadap adanya E. Coli
strain patogen ini.
Pemeriksaan terhadap Escherichia coli strain
patogen dapat dilakukan dengan sel kultur, EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA), uji aglutinasi
dan uji terhadap gen pengkode faktor keganasan
dengan Polymerase Chain Reaction [6].
Entero toksigenik Escherichia coli (ETEC)
tidak ditemukan pada penelitian ini, hal ini sesuai
dengan laporan dari India dimana tidak ditemukan
ETEC pada penderita diare [7], ETEC banyak
menjadi agen penyebab diare bagi warga Amerika
yang melakukan perjalanan ke negara berkembang
sehingga disebut juga travelers' diarrhea [4].
Sebanyak 35 (36%) sampel didapatkan
Escherichia coli strain enteroaggregatif (EAEC)
merupakan strain paling banyak dibanding strain
E.coli patogen lainnya. Sampel feses didapat dari anak
penderita diare yang dirawat di rumah sakit. Penderita
diare ini umumnya sudah menderita diare untuk
jangka waktu yang lama sehingga dapat disimpulkan
sebagai diare yang persisten. Hasil ini sesuai dengan
[8], yang menyatakan bahwa ada kemungkinan

255

enteroaggregative E. coli (EAEC) berkaitan dengan


diare persisten pada anak di negara berkembang.

BFPA, EAEC dengan primer CVD 432 dan


AAIC, dan EHEC dengan primer EAE.

4. KESIMPULAN
1. Escherichia coli strain patogen merupakan salah
satu agen infeksi penyebab diare di Indonesia
2. Enteroaggregatif E.coli (EAEC) merupakan strain
yang paling dominan sebagai E.coli penyebab diare
pada anak yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Soetomo.
Surabaya.
DAFTAR REFERENSI

[1] UNICEF/WHO/The World Bank/UN Pop


Div. Levels and Trends in Child Mortality.
Report 2013
[2] Scarpignato C and . Lanas. 2006. Bacterial
Flora in Digestive Disease. Karger. Tokyo.
[3] Nataro JP and JB. Kaper. 1998. Diarrheagenic
Escherichia coli. Clinical Microbiology
Reviews. Vol. 11. No.1. p. 142201.
[4] www.CDC/E.coli.
[5] Ramamurthy T. 2011. Manual of Laboratory
Microbiology for Surveillance of Acute
Diarrheal Disease. NICED. Kolkata.India.
[6] OIE Biological Standards Commission . 2008.
Manual of Diagnostic Test and Vaccines for
Terrestrial Animals. 6th Ed. World
Organisation for AnimalHealth. Office
International des Epizooties. Paris. France.
[7] Shetty VA., SH. Kumar and I. Karunasagar .
2012. Prevalence and Characterization of
Diarrheagenic Escherichia coli Isolated from
Adults and Children in Mangalore, India.
Journal of Lab. Physicians. Vol. 4(1), 24-29
[8] Prez C., OG. Gmez-Duarte, and M L. Arias.
2010. Diarrheagenic Escherichia coli in
Children from Costa Rica. The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene.
vol. 83 no. 2, p. 292-297
Notulensi Diskusi:
PGO-302, Dadik Raharjo dkk, Escherichia coli strain
patogen pada anak penderita diare
Tanya: Bagaimana pengelompokan penderita
diare dengan gejala klinis ETEC, EPEC, EAEC,
dan EHEC? Dan bagaimana dengan primer yang
digunakan ? (Widodo, BPPTP, Yogyakarta).
Jawab : Metodologi yang digunakan dengan uji
bakteriologi dan menggunakan teknik PCR,
karena uji serologi hanya mampu mendeteksi
hingga kelompok serotipenya saja. Sedangkan
untuk primer yang digunakan untuk ETEC
dengan primer ST dan LT. EPEC dengan primer

256

Tanya: Bagaimana dengan kebiasaan makan


apakah akan berpengaruh dengan sampel daerah
yang satu dengan daerah yang lain ?
Jawab: Kebiasaan makan sangat berpengaruh
dengan daya tahan tubuh seseorang dan sangat
berbeda dengan orang asing. Perut orang
Indonesia sangat kuat. Kasus diare dengan strain
ETEC tidak ada di Indonesia.

Pemanfaatan Medan Magnet Extremely Low Frequency (Elf) sebagai


Alternatif Strerilisasi Salmonella Typhimurium pada Gado-Gado
Sudarti1), Nurhayati2), E. Ruriani2)
Jurusan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
dr.sudarti_unej@yahoo.com
2
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember
Alamat Koresponden:Jl. Kalimantan I FTP Universitas Jember 68121; nurhayatiftp@yahoo.com;
rurianiftp@yahoo.com
Abstrak Medan magnet ELF merupakan radiasi yang bersifat non ionizing dan non-termal. Hasil penelitian
sebelumnya membuktikan bahwa prevalensi kematian Salmonela Typhimurium dalam larutan fisiologi berkorelasi
positif dengan intensitas paparan, namun tidak dengan lama paparan. Paparan medan magnet ELF 646.7T
selama 30 menit memberikan dampak kematian Salmonela lebih tinggi dibanding dengan paparan 60 menit dan 90
menit (Sudarti, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk menguji dosis efektif paparan medan magnet ELF pada
makanan segar gado-gado sebagai alternatif metode sterilisasi terhadap Salmonela Typhimurium. Sampel dalam
penelitian ini adalah gado-gado (terdiri dari bumbu dan bahan saruran) yang diperoleh dari pedagang kaki lima di
sekitar kampus Universitas Jember. Dosis paparan medan magnet ELF yang akan diuji yaitu pada intensitas
646.7T dengan paparan selama 30 menit. Dosis efektif medan magnet extremely low frequency intensitas 646.7T
selama 30 menit terbukti dapat menurunkan populasi S. typhimurium pada gado-gado dengan efektivitas
penghambatan ditunjukkan dengan persentase destruksi pada bumbu gado-gado sebesar 56% dan pada sayuran
gado-gado sebesar 17%. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa radiasi medan magnet ELF
memiliki potensi sebagai alternatif metode sterilisasi makanan segar yang aman dan murah terhadap Salmonella
typhimurium
Kata Kunci: non ionizing radiation, extremely low frequency, magnetic field, pH, Salmonella Typhimurium
Abstract Extremely Low Frequency Magnetic Field (ELF-MF) is non-ionizing and non-termal radiation. The
previous research result was proven that prevalence death of Salmonela Typhimurium in the fisiology liquid that has
positive correlation with emission intensity, but without emission duration.The emission of ELF 646.7 T magnetic
field during 30 minutes gives higher Salmonella death impact rather than 60 minutes and 90 minutes emission
(Sudarti, 2014). The objective of this research was to determine dose effectiveness of ELF magnetic field emission in
Gado Gado fresh food as sterilization alternative method from Salmonela Typhimurium. The sample in this
research was Gado Gado (containing of seasoning and vegetables) which was gotten from the cadger around
Jember University campus. The dose of ELF magnetic field emission that be tested was on 646.7T with emission
during 30 minutes. The dose effectiveness of Extremely Low Frequency (ELF) magnetic field with 646.7T intensity
during 30 minutes was proven can decrease Salmonela Typhimurium population in Gado Gado by inhibition
effectiveness was shown by the destruction percentage in Gado Gado seasoning was 56% and in Gado Gado
vegetables was 17 %. According to the result of this research, it can be concluded that ELF magnetic field radiation
has potency as the sterilization alternative method of fresh food which was cheap and safe from Salmonela
Typhimurium.
Keywords: non ionizing radiation, extremely low frequency, magnetic field, pH, Salmonella Typhimurium.
mayoritas angka kejadian terjadi pada
kelompok umur 3-19 tahun sekitar 91% kasus
[8]. Sebagai penyebab penyakit ini adalah
adanya bakteri Salmonella Typhimurium dalam
tubuh. Penularan Salmonella Typhimurium
terutama terjadi melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi. Berdasarkan Standar

1. PENDAHULUAN
Pemasalahan penyakit menular khususnya
penyakit demam tifoid sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia. Indonesia merupakan salah
satu wilayah endemis demam tifoid dengan
257

Nasional Indonesia (SNI), tidak diperkenankan


prevalensi Salmonella Typhimurium dalam
bahan pangan, yang berarti bahwa hasil uji
harus menunjukkan nilai negatif.
Pada umumnya metode yang dilakukan
untuk menghilangkan berbagai pencemar
biologis termasuk bakeri dalam makanan atau
minumam adalah melalui radiasi baik
menggunakan sinar gamma atau sinar Beta. Sisa
bahan radiasi yang terdapat dalam makanan
atau minuman akan berdampak biologis dalam
tubuh kita, yang kemungkinan besar dapat
menimbulkan mutasi pada sel dan menjadi
pencetus munculnya kanker dalam tubuh.
Sementara proses Pasteurisasi sering berdampak
pada perubahan tekstur dan rasa pada makanan.
Oleh karena itu diperlukan metode yang efektif,
murah, mudah, dan aman bagi tubuh, serta tidak
merubah tesktur dan rasa makanan untuk
menghindarkan
kontaminasi Salmonella
Typhimurium. Radiasi medan magnet Extremely
Low Frequency (ELF) merupakan radiasi nonionizing yang mudah dan murah didapatkan
dan aman bagi kesehatan, pada dosis tertentu
dapat membunuh sel atau bakteri.
Hasil
penelitian
sebelumnya,
membuktikan bahwa paparan medan magnet
ELF 646.7T selama 30 menit memberikan
dampak kematian Salmonela lebih tinggi
dibanding dengan paparan 60 menit dan 90
menit (Sudarti, 2014).
Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk menguji dosis
paparan medan magnet ELF 646.7T selama 30
menit memberikan dampak efektif membunuh
Salmonella Typhimurium pada Gado-gado.

digunakan adalah akuades. Bakteri uji yang


digunakan
adalah
kultur
Salmonella
typhimurium. Media yang digunakan adalah
trypticase soy broth (TSB) dan salmonella
chromogenic agar (SCA). Bahan lainnya seperti
NaCl dan pewarna safranin.
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah Control Group Design. Sampel
penelitian ini adalah bahan gado-gado terdiri
dari bumbu dan sayur yang diperoleh dari
pedagang kaki lima di sekitar kampus
Universitas Jember.

2. BAHAN DAN METODE

Hasil Pemeriksaan Presentasi Kematian S.


Typhimurium
Analisis prevalensi S. Typhimurium
pada
gado-gado
di
dasarkan persentase
kematian Salmonella Typhimurium yang
dihitung dengan mengacu pada hitungan
bacteriological analytical mannual (BAM,
2001), penentuan ukuran sel bakteri (Pelczar
dan Chan, 1986; Fardiaz, 1989) dan derajat
keasaman (Dufour et al., 2002).

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas
Extremely
Low
Frequency
Magnetic Field (ELF-MF)
Intensitas medan magnet yang digunakan
dalam penelitian ini ditujukan untuk membunuh
mikroba patogen S. typhimurium yang terdapat
dalam bahan pangan gado-gado. Intensitas
paparan medan magnet ELF yang hasilkan oleh
alat ELF Magnetic Sources di Laboratorium
Fisika Lanjut FKIP, Universitas Jember, dengan
cara mengatur kuat arus listrik pada alat seperti
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Intensitas ELF-MF untuk mendekstruksi
Salmonella Typhimurium

Penelitian ini dilakukan pada sampel


gado-gado yang diperoleh dari pedagang kaki
lima di sekitar kampus Universitas Jember yang
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok
kontrol (K), kelompok perlakuan yang dipapar
medan magnet ELF dengan intensitas 646.7T
(P) selama 30 menit.
Alat yang digunakan dalam penelitian
meliputi Magnetic Field Sources, mikroskop,
inkubator, otoklaf, pH-meter, dan seperangkat
alat-alat gelas. Bahan utama yang digunakan
yaitu bumbu gado-gado. Pelarut yang
258

Kuat arus
(Ampere)

Intensitas Medan Magnet


(T)

500
700
900

409.7
536.3
646.7

bahan mentah dan umumnya berada pada suhu


ruangan dalam waktu yang cukup lama. Telur
merupakan
peluang
terbanyak
yang
memungkinkan
terpapar
oleh
bakteri
Salmonella. Lavigne dan Blanc-Potard (2008)
melaporkan bahwa telur sering terkontaminasi
oleh Salmonella enterica serovar Typhimurium.
Bakteri ini dapat melakukan invasif mengikuti
peredaran darah dan dapat menginfeksi embrio
telur. Selain itu juga sangat memungkinkan
terjadinya kontaminasi silang dari bahan pangan
segar yang terkontaminasi bakteri Salmonella
dan koliform maupun peralatan dan penyajian
oleh penjual.

Prevalensi S. Typhimurium pada gado-gado


pada kelompok kontrol
Sampel gado-gado (bumbu dan sayurnya)
diperoleh dari pedagang kaki lima (PKL)
lingkar kampus Universitas Jember. Sampel
yang diperoleh dihitung populasi awal paparan
Salmonella sp yang ada baik pada bumbu
maupun bahan sayuran gado-gado.Perhitungan
dilakukan pada seri pengenceran 100 dan 101.
Keberadaan bakteri Salmonella sp pada
pemupukan dengan menggunakan media
Salmnella chromogenic agar ditunjukkan
dengan koloni yang berwarna ungu/magenta
seperti yang ditunjukkan Gambar 2 untuk
sampel bahan gado-gado dan Gambar 3 untuk
sampel bumbu gado-gado.

Prevalensi Salmonella sp pada gado-gado


Setelah di papar medan magnet ELF
Sampel bahan sayuran gado-gado
Sampel bahan sayuran gado-gado
masing-masing cawan berisi 100g satu
kelompok
dipapar medan magnet ELF
intensitas
646,7T selama 30 menit dan
kelompok kontrol adalah bahan sayuran yang
tidak dipapar medan magnet ELF.

Gambar 1 Sampel Gado-gado (bumbu dan bahan


sayuran)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa


sampel gado-gado baik pada bumbu maupun
bahannya mengandung bakteri Salmonella sp
sebesar 2 log cfu/ml (lebih dari 100 koloni per
ml) pada bahan gado-gado dan sebesar 1 log
cfu/ml (sekitar 10 koloni per ml). Populasi
tersebut sangat tidak sesuai dengan standar
nasional Indonesia (SNI 1992 dan SNI No 01.
6242. 2000) untuk air minum dan pangan yang
siap konsumsi (ready to eat/RTE) bahwa
keberadaan bakteri Salmonell sp harus nol
(tidak ada) pada pangan siap konsumsi.
Populasi bakteri Salmonella sp cukup
tinggi pada bahan sayuran gado-gado karena
terdapat beragam pangan seperti telur, sayur
kubis, tauge, lontong, kentang, mentimun tahu
dan lain sebagainya yang mayoritas terdiri dari

Gambar 2 Populasi Salmonella sp pada sayuran


gado-gado sebelum (atas) dan setelah (bawah) di
papar medan magnet ELF

Sampel bumbu gado-gado


Sampel bumbu gado-gado masingmasing cawan berisi 100g satu kelompok
dipapar medan magnet ELF intensitas 646,7T
selama 30 menit dan kelompok kontrol adalah
bumbu gado-gado yang tidak dipapar medan
magnet ELF.

259

Gambar 4 Populasi Salmonella sp sebelum dan


sesudah perlakuan ELF intensitas 646,7T selama 30
menit: pada bahan sayur dan bumbu gado-gado
Gambar 3 Populasi Salmonella pada bumbu gadogado: sebelum (atas) dan setelah (bawah) dipapar
medan magnet ELF

Hasil penelitian menunjukkan bahwa


terjadi reduksi (pengurangan) populasi bakteri
Salmonella sp pada bumbu gado-gado yang di
papar medan magnet ELF intensitas 646,7T
selama 30 menit. Persentase destruksi terbesar
terjadi pada bumbu gado-gado sebesar 56%
dibandingkan destruksi pada sayuran gadogado (17%). Hal ini disebabkan bahwa pada
bahan gado-gado sampel berupa padatan
sedangkan pada bumbu gado-gado berupa
cairan kental. Selain itu pada bahan gado-gado
terdapat lebih banyak kandungan protein seperti
pada telur. Bahan pangan berprotein merupakan
komponen pelindung yang kuat bagi sel bakteri
terhadap perlakuan pemanasan maupun fisik
dan mekanik. Gurtler et al. (2010) melaporkan
bahwa Salmonella sp yang terlindungi oleh
senyawa krioprotektan alami seperti protein dan
lemak akan memiliki ketahanan lebih baik
terhadap perlakuan fisik dan mekanik.

Gambar 5 Persentase Destruksi Salmonella sp


sesudah perlakuan ELF intensitas 646.7T selama 30
menit

Konsumsi pangan yang mengandung


bakteri Salmonella dapat meningkatkan
frekuensi kejadian penyakit tropis di antaranya
yaitu tifus. Indahwati dan Jusmaldi (2010)
melaporkan bahwa frekuensi kejadian penyakit
tropis tertinggi disebabkan oleh penyakit tifus
oleh Salmonella Typhi (20,73%) dibandingkan
penyakit tropis tuberculosis (1,37%).
4. KESIMPULAN
Dosis efektif medan magnet extremely
low frequency intensitas 646.7T selama 30
menit, terbukti dapat mnurunkan populasi
Salmonella typhimurium pada makanan segar
gado-gado dengan efektivitas penghambatan
ditunjukkan dengan persentase destruksi
terbesar terjadi pada bumbu gado-gado sebesar
56% dibandingkan destruksi pada sayuran
gado-gado sebesar 17%. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa radiasi
medan magnet ELF memiliki potensi sebagai
alternatif sterilisasi makanan segar yang aman
dan murah terhadap Salmonella typhimurium.

260

[10] Sari EKN, Susilo B, Sumarlan SH. 2012.


Proses pengawetan sari buah apel
(Mallus sylvestris Mill) secara non-termal
berbasis teknologi oscillating magneting
field
(OMF).
Jurnal
Teknologi
Pertanian 13(2):78-87.
[11] Sudarti, The Mechanism of Increasing
Apoptosis Germinal Cell on Bulb/C Mice
Exposed Extremely Low Frequency
Magnetic Field 100 -150 uT, Saintifika
(ISSN: 1411-5433), Vol. 8 No. 1 Juni
2007: 36 44.
[12] Sudarti, Prevalence of Salmonela
Typhimurium on Gado-Gado seasoning
by Treatment of Extremely Low
Frequency Magnetic Fields. Prosiding
Seminar Nasional Nutrisi, Keamanan
Pangan dan Produk Halal 26 April 2014.
Fakultas MIPA UNS SURAKARTA.
ISBN: 978-602-18580-2-8

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih
kepada
Dirjen DIKTI DP2M yang telah
membiayai penelitian melalui Penelitian
Fundamental tahun 2013/2014 dan Panitia
Seminar Nasional SPRINT 2014 atas
kesempatan yang diberikan pada kami.

DAFTAR REFERENSI
[1]

Brusch
JL,
Typhoid
Fever.
http://emedicine.medscape.com/article/23
1135-overview.
[2] Duun J, Clark RW, Asmus JF, Pearlman JS,
Boyer K, Pairchaud F, Hofmann GA.
1991. Methods for Preservation of
Foodstuffs. US: Maxwell Laboratories
Inc.
[3] Estiasih T, Ahmadi Kgs. 2011. Teknologi
Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi
Aksara
[4] Fardiaz, S,. Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU
Institut Pertanian Bogor. 1989.
[5] Gurtler, J.B., R.B. Rivera, H.Q. Zhang, D.J.
Geveke. 2010. Selection of surrogate
bacteria in place of E. coli O157:H7
and Salmonella Typhimurium for
pulsed electric field treatment of
orange juice. International Journal of
Food Microbiology 139 (2010) 18
[6] Indahwati dan Jusmaldi. (2010). Studi kasus
frekuensi kejadian penyakit tropis dan
penyebaran
kelompok
resikonya
berdasarkan hasil pemeriksaan sampel
laboratorium di Rumah Sakit Islam
Samarinda. Jurnal Bioprospek. Vol. 7
No. 1
[7] Lavigne J.P., A.B. Blanc-Potard. 2008.
Molecular evolution of Salmonella
enterica serovar Typhimurium and
pathogenic Escherichia coli: From
pathogenesis to therapeutics. Infection,
Genetics and Evolution 8 217226.
[8] Lesser CF, Samuel IM. 2005. Salmonellosis.
Harrisons
Principles
of
Internal
Medicine (16th ed), 897-900.
[9] Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar
Mikroboilogi, Terjemahan Ratna SH dkk.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Notulensi Diskusi:
PGO-303, Sudarti dkk, Pemanfaatan Medan
Magnet Extremely Low Frequency (ELF)
sebagai Alternatif Strerilisasi Salmonella
Typhimurium pada Gado-Gado

261

Tanya: Apakah bahan awal atau


bumbu gado-gado juga di beri
perlakuan ELF ? (Abu Bakar, BBLPP,
Bogor).
Jawab: Untuk bumbu gado-gado
sebagai bahan awal mengalami
perlakuan ELF.

Identifikasi Salmonella sp. pada Karkas Ayam dari Pasar Tradisional di


Surabaya Timur
Windra Prayoga1,2, A. K. Wardani1, D. Raharjo2,3, T. Shirakawa4
1

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya


Jl.Veteran, Malang, 65145
Tel. (0341) 580106 / Faks. (0341)568917
2
Laboratorium Gastroenteritis dan Salmonellosis, Lembaga Penyakit Tropik
Kampus C Universitas Airlangga Jl. Mulyorejo , Surabaya 60115
Tel. / Faks. (031) 5992445
3
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Kampus C Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo, Surabaya 60115
Tel / Faks. (031) 5992445
4
International Center for Medical Research and Treatment Kobe University School of Medicine Japan 650-0017.
Tel. 81-78-382-5686
Abstrak Identifikasi Salmonella sp. pada karkas ayam sebagai agen pembawa akan berguna untuk mengetahui
jenis Salmonella sp. yang banyak ditemukan pada karkas ayam di wilayah Surabaya Timur, sehingga
diharapkan akan dapat dilakukan tindakan lanjut yang sesuai. Setelah dilakukan identifikasi, diketahui bahwa
jenis Salmonella sp. yang ditemukan pada karkas ayam di wilayah Surabaya Timur cukup bervariasi.
Kata kunci : identifikasi, karkas ayam, PCR, Salmonella sp.
Abstract Identification of Salmonella in chicken carcass as carrier agent will be able to find out the serotype
of Salmonella that mostly found in chicken carcass on East Surabaya region, so it can be handled correctly. The
identification of Salmonella sp. showing a variety of Salmonella sp. that found in chicken carcass on East
Surabaya region.
Keywords : identification, chicken carcass, PCR, Salmonella sp.
1. PENDAHULUAN
Kasus infeksi oleh Salmonella sp. merupakan
salah satu penyakit yang mengkhawatirkan di
Indonesia hingga saat ini. tercatat bahwa diare dan
gastroenteritis serta demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam tiga besar peringkat utama penyakit
yang diderita pasien rawat inap rumah sakit di
Indonesia [1]. Salmonella sp. merupakan bakteri Gram
negatif yang berbentuk basil dan bersifat anaerob
fakultatif. Seluruh anggota Salmonella sp. selain
Salmonella bongori merupakan bakteri patogen yang
menginfeksi saluran pencernaan. Salmonella sp.
umumnya masuk kedalam tubuh melalui perantara
makanan atau minuman [2].
Salmonella sp. dapat dikelompokkan berdasarkan
penyakit yang diakibatkannya menjadi dua, yakni
kelompok tifoid dan non-tifoid. Kelompok tifoid
merupakan Salmonella sp. yang menyebabkan demam
tifoid dan paratifoid, yakni S.Typhi dan S.Paratyphi.
Kelompok non-tifoid merupakan anggota Salmonella
sp. yang menyebabkan diare dan gastroenteritis, terdiri

atas seluruh serotipe Salmonella sp. selain S.Typhi


dan S.Paratyphi [3].
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis
Salmonella sp. yang terdapat pada karkas ayam dari
pasar tradisional di wilayah Surabaya Timur. Hal
tersebut dikarenakan prevalensi jenis dan serotipe
Salmonella sp. pada setiap daerah dapat berbeda-beda.
Disamping itu, karkas ayam sebagai bahan makanan
yang banyak dikonsumsi di Indonesia diduga
merupakan perantara yang baik bagi Salmonella sp.
untuk masuk kedalam tubuh dan menyebabkan
terjadinya infeksi pencernaan.
2. BAHAN DAN METODE
Pengambilan dan persiapan sampel
Tahap awal adalah pengambilan sampel berupa
15 potong karkas ayam yang dilakukan di 6 pasar
tradisional di wilayah Surabaya Timur, yakni Pasar
Pacar Keling (PK), Pasar Kendangsari (KS), Pasar
Panjang Jiwo (PJ), Pasar Indrakila (IK), Pasar
Ambengan Batu (AB), dan Pasar Keputih (KP).

262

Sampel yang didapat kemudian dilakukan


persiapan sampel berupa pengambilan bagian daging
sebanyak 25 gram dan dilakukan pencacahan secara
aseptis menggunakan pinset dan gunting stainless
steril.
Isolasi Salmonella sp.
Isolasi bakteri Salmonella sp. dari sampel karkas
ayam dilakukan dalam 3 tahap, yakni tahap preenrichment, selective enrichment, dan selective
plating. Pada tahap pre-enrichment, sampel yang telah
tercacah dimasukkan kedalam 225 ml media buffered
peptone water (BPW) dan diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan tahap selective
enrichment dengan cara mengambil 1 ml hasil preenrichment dan masing-masing dimasukkan kedalam
media selenite cystine broth (SCB) dan tetrathionate
broth (TTB) kemudian diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Tahap selective plating dilakukan
dengan cara mengambil hasil selective enrichment
masing-masing sebanyak 1 ose, kemudian digoreskan
pada media Salmonella-Shigella agar (SSA) [4].
Identifikasi Salmonella sp.
Koloni yang tumbuh pada media SSA dilakukan
identifikasi screening berupa pemilihan koloni dan uji
biokimiawi. Pemilihan koloni dilakukan dengan cara
mengamati penampakan koloni yang tumbuh pada
media SSA dan memilih koloni yang memiliki
penampakan seperti koloni Salmonella sp., yakni
berbentuk bulat, tidak berwarna, bagian tengah koloni
berwarna kehitaman yang menandakan bahwa
terdapat presipitat H2S. Koloni yang terpilih tersebut
kemudian dilakukan uji biokimiawi yang terdiri atas
uji Triple Sugar Iron (TSI) dan uji IMViC (indol,
methyl red, voges proskauer, dan sitrat). Uji ini
bertujuan untuk menyeleksi ulang koloni terpilih
dengan
menguji
karakteristik
metabolisme
biokimiawi. Media yang digunakan dalam uji
biokimiawi adalah media TSI agar, SIM medium,
MRVP medium, dan Simmons citrate agar [4].
Koloni terduga Salmonella sp. yang lolos
penyeleksian tersebut kemudian dilakukan identifikasi
definitif menggunakan 2 metode, yakni metode
konvensional dan metode molekuler. Identifikasi
definitif metode konvensional menggunakan uji
serologi sebagai teknik deteksinya dimana uji serologi
tersebut dilakukan dengan dua macam kit, yakni kit
Latex Agglutination (LA) dan kit Multiple Antisera
(MA). Kit LA digunakan untuk memastikan bahwa
koloni terduga Salmonella sp. yang lolos identifikasi
screening merupakan Salmonella sp. dan setelah

dipastikan bahwa koloni tersebut merupakan


Salmonella sp., dilanjutkan pengujian menggunakan
kit MA yang berfungsi untuk mengetahui kelompok
serotipe dari Salmonella sp. tersebut.
Seluruh koloni yang terbukti sebagai Salmonella
sp. pada pengujian dengan kit LA serta telah diketahui
kelompok serotipenya dengan kit MA, kemudian
dilakukan identifikasi secara molekuler menggunakan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk
konfirmasi ulang dan mengetahui lebih lanjut apakah
isolat Salmonella sp. yang telah diketahui kelompok
serologinya tersebut merupakan Salmonella tifoid atau
non-tifoid. PCR dilakukan menggunakan reagen
berupa PCR mix , primer S139-S141, dan primer prt.
PCR mix yang digunakan dalam penelitian ini adalah
TopTaqTM Master Mix Kit merek Qiagen yang
merupakan PCR mix yang siap untuk digunakan.
TopTaqTM Master Mix Kit tersebut terdiri atas TopTaq
Master Mix (DNA Polymerase, dNTP, dan buffer),
Loading Dye (Coral Load Concentrate), dan H2O.
Primer S139-S141 merupakan pasangan primer untuk
konfirmasi ulang secara molekuler bahwa isolat
tersebut merupakan Salmonella sp. dengan cara
mendeteksi gen invA.
Susunan sekuen gen primer S139-F adalah
5GTGAAATTATCGCCACGTTCGGGCAA
3,
sedangkan susunan sekuen gen primer S141-R adalah
5TCATCGCACCGTCAAAGGAACC 3 dengan
amplicon sebesar 284 bp. PCR untuk pasangan primer
S139-S141 dilakukan sebanyak 35 siklus dan untuk
tiap siklusnya dibutuhkan pola gradient suhu sebagai
berikut : tahap denaturasi pada suhu 94oC selama 1
menit, tahap annealing pada suhu 64oC selama 30
detik, dan tahap elongasi pada suhu 72oC selama 30
detik [5]. Sedangkan primer prt merupakan pasangan
primer untuk mengidentifikasi apakah isolat
Salmonella sp. tersebut termasuk tifoid atau non-tifoid
dengan cara mendeteksi gen invA. Susunan sekuen
gen primer prt-F 5CTTGCTATGGAAGACA
TAACGAACC 3, sedangkan susunan sekuen gen
primer prt-R adalah 5CGTCTCCATCAAAAGCT
CCATAGA 3 dengan amplicon sebesar 258 bp. PCR
untuk pasangan primer prt dilakukan sebanyak 35
siklus dan untuk tiap siklusnya dibutuhkan pola
gradient suhu sebagai berikut : tahap denaturasi pada
suhu 94oC selama 30 detik, tahap annealing pada suhu
58oC selama 1 menit, dan tahap elongasi pada suhu
72oC selama 90 detik [6].
Hasil PCR yang didapatkan kemudian dianalisa
dengan teknik elektroforesis DNA. Elektroforesis
DNA
dilakukan
menggunakan
elektroforesis
horizontal dengan gel agarosa konsentrasi 2% dan

263

marker DNA 100bp merek Intron. Gel agarosa hasil


elektroforesis tersebut direndam dalam pewarna
ethidium bromide selama 30 menit dan selanjutnya
difoto pada kondisi disinari sinar ultraviolet (UV)
sehingga tampak pita (band) yang merupakan DNA 258 bp
amplicon hasil PCR.
(b)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari tahap isolasi terhadap 15 sampel karkas
ayam, diketahui bahwa 9 sampel diantaranya
mengandung Salmonella sp. Hal ini terlihat dari
ditemukannya isolat Salmonella sp. dari 9 sampel
tersebut yang terbukti positif pada pengujian serologi
menggunakan kit LA dan uji PCR menggunakan
primer S139-S141. Sedangkan pada 6 sampel lainnya
tidak ditemukan adanya pertumbuhan Salmonella sp.
meskipun ada pertumbuhan bakteri lain. Hal ini
dikarenakan seluruh isolat bakteri yang didapatkan
dari 6 sampel tersebut terbukti negatif pada pengujian
serologi menggunakan kit LA.
Seluruh isolat yang terbukti sebagai Salmonella
sp. tersebut kemudian diuji lebih lanjut menggunakan
kit MA untuk mengetahui kelompok serotipe. Hasil
pengujian
menggunakan
kit
MA
tersebut
menunjukkan bahwa terdapat 4 sampel yang
mengandung Salmonella sp. kelompok serotipe O4, 1
sampel mengandung Salmonella sp. kelompok
serotipe O4 dan O7, 1 sampel mengandung
Salmonella sp. kelompok serotipe O4 dan O9, 2
sampel mengandung Salmonella sp. non-enterica, dan
1 sampel mengandung Salmonella sp. non-enterica
dan kelompok serotipe O7.
Hasil uji PCR menggunakan primer prt
menunjukkan bahwa dari seluruh isolat Salmonella sp.
terdapat satu isolat yang merupakan Salmonella sp.
golongan tifoid, sedangkan isolat lain merupakan
isolat Salmonella sp. golongan non-tifoid. Hasil uji
PCR menggunakan primer S139-S141dan prt terhadap
isolat Salmonella sp. tersebut ditampilkan pada
Gambar 1. Isolat Salmonella sp. golongan tifoid
tersebut merupakan isolat Salmonella sp. kelompok
serotipe O9. Hasil identifikasi Salmonella sp. terhadap
15 sampel karkas ayam dapat dilihat secara lengkap
pada Tabel 1.

284 bp
(a)

Gambar 1. Hasil uji PCR terhadap isolat Salmonella sp.


yang didapatkan dari sampel karkas ayam menggunakan (a)
primer S139-S141 dan (b) primer prt
Tabel 1. Hasil Identifikasi Salmonella sp. pada Sampel
Karkas Ayam

Sampel

Hasil Identifikasi
Kelompok
Kelompok
Salmonella
Serotipe
Tifoid

PK 1
PK 2
PK 3
PK 4

+
+
+
-

O4 , O7
O4
O4 , O9
-

-,-,+
-

KS 1
KS 2
KS 3
KS 4

+
+
+
-

O4
O4
-

PJ 1

O4

IK 1
IK 2
IK 3
IK 4

+
-

- , O7
-

-,-

AB 1

KP 1

Dari data pada Tabel 1.


terlihat bahwa
Salmonella sp. yang paling banyak didapatkan adalah
Salmonella sp. kelompok serotipe O4 golongan nontifoid. Berdasarkan data prevalensi Salmonella sp. di
negara lainnya, Salmonella sp. kelompok serotipe O4
golongan non-tifoid yang paling banyak ditemukan di
karkas ayam adalah Salmonella enterica serotipe
Typhimurium. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa Salmonella sp. kelompok serotipe
O4 golongan non-tifoid yang paling banyak
ditemukan di sampel pada penelitian ini diduga kuat
adalah Salmonella Typhimurium [7].
Salmonella sp. kelompok serotipe O9 golongan
tifoid yang ditemukan pada sampel PK 3 diduga kuat
merupakan Salmonella enterica serotipe Typhi, sebab
hanya Salmonella Typhi yang merupakan kelompok

264

serotipe O9 yang merupakan golongan tifoid.


Salmonella sp. kelompok serotipe O7 golongan nontifoid yang ditemukan pada sampel PK 1 dan IK 1
diduga merupakan Salmonella enterica serotipe
Choleraesuis. Dikarenakan S.Choleraesuis merupakan
kelompok serotipe O7 golongan non-tifoid yang
cukup banyak ditemukan, namun dapat juga bukan
S.Choleraesuis mengingat kelompok O7 merupakan
kelompok serotipe yang jarang ditemukan. Sedangkan
Salmonella sp. golongan non-tifoid kelompok nonenterica yang ditemukan pada sampel KS 2, IK 1, KP
1 diduga kuat merupakan Salmonella bongori. Hal ini
dikarenakan isolat tersebut terbukti sebagai
Salmonella sp. ketika diuji menggunakan kit LA
maupun pada uji PCR menggunakan primer S139S141, namun memberikan hasil negatif saat diuji
menggunakan polivalen O dan O1 pada pengujian
menggunakan kit MA yang berarti bahwa isolat
tersebut bukan Salmonella enterica [8].
4. KESIMPULAN
Dari rangkaian hasil penelitian ini didapatkan
kesimpulan bahwa jenis Salmonella sp. yang
ditemukan pada karkas ayam di wilayah Surabaya
Timur cukup bervariasi. Jenis Salmonella sp. yang
paling banyak ditemukan adalah Salmonella sp.
golongan non-tifoid utamanya kelompok serotipe O4
yang
diduga
kuat
merupakan
Salmonella
Typhimurium. Ditemukan pula Salmonella sp.
golongan non-tifoid yang merupakan kelompok
serotipe O7 dan non-serotipe yang diduga merupakan
Salmonella Choleraesuis dan Salmonella bongori.
Salmonella sp. golongan tifoid yang ditemukan hanya
satu buah, diduga kuat merupakan Salmonella Typhi
sebab merupakan kelompok serotipe O9.

Analytical Accuracy of Salmonella PCR: towards


an International Standard, Journal of Applied
and Environmental Microbiology, Vol. 69, No.1,
Jan. 2003, p.290-296.
[6] K. Hirose et al., Selective Amplification of tyv
(rfbE), prt (rfbS), viaB, and fliC Genes by
Multiplex PCR for Identification of Salmonella
enterica Serovars Typhi and Paratyphi A,
Journal of Clinical Microbiology, Vol. 40, No. 2,
Feb. 2002, p. 633636.
[7] S. Bailey, L.J. Richardson , N.A. Cox, and D.E.
Cosby. Chapter 7, Salmonella, dalam Juneja,
V.K. and J.N. Sofos, Pathogens and Toxins in
Foods : Challenges and Interventions, ASM
Press, Washington D.C., 2010.
[8] M.Y. Popoff and L.E.L Minor. Genus XXXIII:
Salmonella, dalam G.M. Garrity et al., Bergeys
Manual of Systematic Bacteriology, Second
Edition, Volume Two:The Proteobacteria, Part
B:The Gammaproteobacteria, Springer Science +
Business Media, LLC, New York.
Notulensi Diskusi:
PGO-304,Windra
Prayoga
dkk,
Identifikasi
Salmonella sp. pada Karkas Ayam dari Pasar
Tradisional di Surabaya Timur

Tanya: Mengapa sampel yang digunakan dalam


penelitian menggunakan karkas ayam dari pasar
tidak langsung dari RPA? (Abu Bakar, BBLPP,
Bogor).
Jawab: Sampel yang digunakan dari hasil
pemotongan ayam konvensional atau dari pasar
tradisional. Tujuan dari penelitian untuk
mengetahui jenis Salmonella sp. yang paling
banyak ditemukan pada karkas ayam di pasar
tradisional, untuk dapat dilakukan penanganan
yang tepat sehingga bahan pangan tersebut
menjadi aman untuk dikonsumsi.

Tanya: Untuk metodologi penelitian apakah ada


uji biokimia, kemudian hasil dari identifikasi
menggunakan PCR apakah juga di sekuensing?
(Widodo, BPPTP Yogyakarta).
Jawab: Hasil isolasi dilakukan uji bio kimiawi
dan uji serologi, kemudian dilakukan identifikasi
lebih lanjut menggunakan teknik PCR. Untuk
hasil yang positif belum dilakukan sekuensing
karena terkendala biaya.

DAFTAR REFERENSI
[1] Kementerian Kesehatan RI, Situasi Diare di
Indonesia, Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan, Triwulan II, 2011, hal. 6.
[2] C. Bell and A. Kyriakides, Salmonella : A
Practical Approach to The Organism and Its
Control In Foods, Blackwell Science, Ltd.
Oxford, 2002.
[3] M.D. Miliotis and J.W. Bier, International
Handbook of Foodborne Pathogens, Marcel
Dekker, Inc, New York, 2003.
[4] W.H. Andrews, A. Jacobson, and T. Hammack,
Chapter 5: Salmonella, Bacteriological
Analytical Manual, US-FDA, 2011.
[5] Malorny, B., J. Hoorfar, C. Bunge, and R.
Helmuth. Multicenter Validation of the

265

Intensitas Iradiasi "Gel Mikro" pada Pemanfaatan Ekstrak Averrhoa


Bilimbi Linn sebagai Anti Mikroba dan Alternatif Pengawet Pangan
M. Husain Kamaluddin1, M. I. Khurniyati2, K. Rosyidin1, M. Lutfi1
Jurusan Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Jl.Veteran, Malang 65145
email : ilhamzain27@yahoo.com
1)

2)

Abstrak - Banyak produk pengawet yang digunakan dalam produk makanan, dimana dapat mengganggu
kesehatan tubuh. Sebenarnya Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah tersebut, seperti daun belimbing wuluh yang memiliki komponen antimicrobial yang tinggi. Daun
tersebut dapat diekstraksi menggunakan metode iradiasi gelombang mikro. Keuntungan dari metode ini lebih
cepat dari metode konvensional dan dapat mengekstrak komponen dari daun belimbing wuluh seperti polifenol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya microwave dan volume pelarut pada karakteristik dari
ekstrak daun belimbing wuluh. Ini merupakan pengawet alternatif yang dapat digunakan untuk mengawetkan
makanan dan sebagai antimikroba. Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua
perlakuan antara daya microwave dan rasio bahan pelarut aquades dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
Analisa data statistik menggunakan ANOVA dan DMRT. Hasil penelitian ini didapatkan satu perlakuan terbaik
yaitu pada perlakuan volume pelarut 450 ml dan daya ekstraksi 280 W yang memiliki rendemen sebesar
82.419%, dan total fenol sebesar 5721.139 (g/g), uji aktivitas antimikroba sebesar 7.33 (mm) dan KHM ekstrak
daun belimbing wuluh pada konsentrasi 80% dan 100%.
Kata Kunci: antimikroba, Averrhoa bilimbi linn, microwave
Abstract - Many synthetic ingredients are used in food products, which can damage the human body gradually.
In the other hand, Indonesia has many natural resources to solve this problem, such as the leaves star fruit
(Averrhoa bilimbi linn) that have high content of antimicrobial substances. It can be extracted by microwave
irradiation method. The advantages of this method are faster than conventional method and can extract the
content of star fruit leaves such as polyphenol compounds. The aim of this research is to study the influences of
microwave power and solvent volume on characteristic of leaves star fruit extraction. This alternative
preservative can be used for food preservatives and antimicrobials. The research method used a randomized
block design (RBD) with two factors ; ratio power of microwave and volume of solvent. Statistical analysis using
ANOVA and DMRT. The best treatment was solvent treatment volume of 450 ml and power of microwave of 280
W which average of yield value 82.419%, total phenols 5721.139 (g /g), the antimicrobial activity 7.33 (mm)
and Concentration of Minimum Block on extract of star fruit concentration 80% and 100%.
Keywords: antimicrobial, Averrhoa bilimbi linn, microwave
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan
sumberdaya alam, banyak tumbuhan mempunyai
khasiat sangat tinggi untuk kehidupan manusia.
Kandungan alam yang ada di Negara Indonesia
merupakan suatu keuntungan yang harus bisa
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa. Banyak
kandungan alam yang memiliki khasiat penting bagi
kehidupan, dan itu perlu adanya pemanfaatan yang
baik untuk menunjang dan meningkatkan suatu ilmu
sains untuk Indonesia.
Pada era ini banyak pemakaian bahan non-alami
pada produk pangan, dan bisa merusak organ-organ
tubuh manusia secara perlahan dalam jangka yang
panjang. Hal ini menjadi persoalan penting yang harus
dipecahkan dalam mengurangi pemakaian bahanbahan non-alami pada produk pangan. Pemakaian

bahan-bahan non-alami pada produk pangan memang


lebih mudah dan lebih murah untuk digunakan, tetapi
dengan memanfaatkan bahan-bahan alami di Negara
Indonesia ini yang kaya sumberdaya alam akan
meningkatkan produktivitas dan kreativitas anak
bangsa yang mampu memberikan suatu ilmu bidang
sains yang modern dan berteknologi.
Selama ini pembuatan alternatif pengawet pada
pangan tergolong masih bersifat konvensional, akan
tetapi dengan pemanfaatan Iradiasi Gel Mikro
(gelombang mikro) ini akan memudahkan dan lebih
menghemat waktu dibandingkan menggunakan
metode konvensional. Penggunaan bahan Averrhoa
Bilimbi Linn atau daun belimbing wuluh ini sangat
mudah didapatkan dan merupakan inovasi yang tepat
sebagai pengembangan ilmu sains dalam bidang
alternatif produk pengawet pangan.

266

Salah satu kandungan yang dapat membantu dalam


pengawetan makanan adalah tannin, tannin merupakan
komponen zat organik derivat polimer glikosida yang
terdapat
dalam
bermacam-macam
tumbuhan.
Monomer tannin adalah digallic acid dan D-glukosa.
Ekstrak tannin terdiri dari campuran senyawa
polifenol yang sangat kompleks dan biasanya
tergabung dengan karbohidrat rendah. Adanya gugus
fenol menyebabkan tannin dapat berkondensasi
dengan formal dehida. Tannin diharapkan mampu
mensubtitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehida
yang berguna untuk mengurangi pemakaian fenol
sebagai sumberdaya alam tak terbarukan [1].
Salah satu bahan alam yang mempunyai
kandungan tannin adalah Averrhoa Bilimbi Linn atau
belimbing wuluh yang berpotensi sebagai alternatif
pengawetan pada pangan. Pemakaian pengawet dari
bahan yang alami merupakan solusi yang tepat untuk
mengurangi pemakaian bahan pengawet yang bersifat
merugikan bagi tubuh manusia. Pada penelitian ini
bertujuan untuk memberikan uraian bahan pengawet
alternatif yang bisa dijadikan untuk pengawet
makanan. Pada penelitian ini menggunakan daun
belimbing wuluh sebagai bahan yang mempunyai
kandungan antimikroba yang mampu dijadikan
sebagai alternatif bahan pengawet yang bersifat alami
dan baik untuk makanan.

Tabel 1. Kombinasi Kedua Perlakuan

P1 (bahan : Pelarut
1:250 ml)
P2 (bahan : Pelarut
1:350 ml)
P3 (bahan : Pelarut
1:450 ml)

D1
(20%)

D2
(40%)

D3
(60%)

P1D1

P1D2

P1D3

P2D1

P2D2

P2D3

P3D1

P3D2

P3D3

Parameter yang Diamati


Dalam penelitian ini mengamati beberapa faktor
yaitu :
1.
2.
3.

Kadar air awal bahan [2]


Kadar total fenol dalam larutan [3]
Rendemen [4]
Mulai

2. BAHAN DAN METODE


Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn),
aquades, folin dan Na2CO3.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini
Disk Mill, microwave, pH meter, timbangan
ayakan 60 (mesh), plastik klip, gelas ukur,
erlenmeyer, oven, spatula, kertas saring,
evaporator, sentrifuse.

adalah
digital,
tabung
rotary

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk analisa
pengaruh Metode Microwave Assisted Extraction
(MAE) terhadap kadar fenol yang terekstrak dari daun
belimbing wuluh ini adalah dengan pengulangan
masing-masing sebanyak tiga kali. Metode rancangan
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 2 perlakuan yaitu Daya Microwave (D) yang
terdiri atas 3 level (20% (140 W), 40% (280 W),
60% (420 W)) dan rasio bahan : pelarut (P) yang
terdiri atas 3 level (250, 350, 450 ml). Kombinasi
rancangan penelitian dari kedua perlakuan tersebut
ditampilkan pada tabel 1. Diagram alir perlakuan
dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.

267

Daun Belimbing wuluh


(Averrhoa Bilimbi Linn)

Dicuci dan ditiriskan


Dioven 60oC selama 4 jam

Diblender menggunakan Diskmill

Diayak 60 mesh

Bubuk daun

Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Proses Persiapan Bahan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mulai

Suhu selama Proses Eksraksi


Bubuk daun 10 gram
Aquades
(250;
350; 450 ml)

Dimasukkan erlenmeyer

Dipenetrasi 5 menit
Daya
Microwave
(D) (20, 40,
60%)

Dimicrowave 6 menit

Pada penelitian telah dilakukan pengukuran suhu


terhadap bahan setelah proses ekstraksi bubuk daun.
Pengukuran ini dilakukan menggunakan termometer
raksa yang dicelupkan pada bahan hasil ekstraksi.
Pengukuran suhu penting untuk dilakukan, karena
pemanasan
dengan
microwave
menyebabkan
perubahan suhu dan suhu ini memberikan pengaruh
terhadap pemecahan dinding-dinding sel dari bahan,
Semakin besar daya ekstraksi mengakibatkan
terjadinya kenaikan suhu yang semakin tinggi. Data
suhu hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 3.
Adapun pengaruh waktu terhadap suhu pada setiap
perlakuan adalah sebagai berikut:

Didinginkan pada suhu ruang

Disentrifuse: 4000 rpm 25oC selama


10 menit

Supernatan

Ampas

Disaring dengan
kertas saring

Gambar 3. Pengaruh Intensitas Radiasi Terhadap Suhu


Ekstraksi

Filtrat

Dipekatkan dengan rotary


evaporator 400C, 200 mBar

Konsentrat
Pekat
Analisa

1. Kadar air awal


bahan
2. Kadar
total
Fenol (g/g)
3. Rendemen (%)

Selesai
Gambar 2. Proses Ekstraksi Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa Bilimbi Linn)

Pada grafik dapat dilihat bahwasannya semakin


besar intensitas radiasi yang diberikan pada proses
ekstraksi, maka suhu pada setiap perlakuan semakin
meningkat. Hal ini dikarenakan pemanasan
gelombang mikro meningkat untuk cairan ataupun
padatan yang dapat mengubah energi elektromagnetik
menjadi panas [5] dan pemanasan microwave
melibatkan tiga konversi energi, yaitu energi listrik
menjadi elektromagnetik, energi elektromagnetik
menjadi kinetik dan energi kinetik menjadi energi
termal atau panas [6]. Semakin besar intensitas radiasi
yang diberikan pada proses ekstraksi, maka semakin
banyak energi elektromagnetik yang dirubah menjadi
energi panas sehingga suhu semakin meningkat.
Pengaruh Intensitas Radiasi terhadap Rerata
Volume Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Pada penelitian ini, pada dasarnya jumlah akuades
yang masih terperangkap pada fase padat setiap
perlakuannya adalah sama, karena jumlah sampel
yang digunakan sama, yaitu 10 gram. Adanya
microwave heating dapat mengakibatkan peningkatan
suhu yang cepat dan akan terjadi penguapan air terikat
dalam biomasa [7]. Semakin banyak pelarut yang
diberikan maka akan menghasilkan volume ekstrak
yang semakin tinggi.

268

Gambar 4. Pengaruh Intensitas Radiasi Terhadap Volume


Hasil Ekstraksi (ml)

Pada penelitian ini, daya pada microwave yang


diberikan pada setiap perlakuan yaitu sebesar 140, 280
dan 420 watt. Efek suhu terhadap sampel akan
dipengaruhi oleh massa larutan yang diekstrak.
berdasarkan gambar 3 dapat diketahui bahwa hasil
volume ekstrak tertinggi pada perlakuan volume
pelarut 450 ml dengan daya 140 W, sedangkan hasil
volume ekstrak terendah terdapat pada perlakuan
volume pelarut 250 ml dengan daya 420 W. Terjadi
penurunan volume ekstrak, dengan semakin tingginya
daya yang digunakan karena semakin tingginya daya
akan terjadi peningkatan suhu di dalam microwave
sehingga terjadi penguapan pelarut (akuades).
Semakin banyak massa larutan yang digunakan, maka
akan terjadi penurunan suhunya. Volume ekstrak pada
perlakuan P3 (volume pelarut 450 ml) lebih besar dari
P2 (volume pelarut 350 ml) lebih besar dari P1
(volume pelarut 250 ml) karena jumlah pelarut yang
digunakan lebih banyak juga.
Pada perlakuan intensitas radiasi yang digunakan
juga memberikan pengaruh pada jumlah volume
ekstrak daun belimbing wuluh yang dihasilkan.
Berdasarkan gambar 4 menunjukkan bahwa semakin
kecil daya yang diberikan akan memberikan volume
hasil ekstraksi yang semakin tinggi. Semakin tinggi
suhu ekstraksi diduga akan terjadi penguapan pelarut
yang semakin tinggi pula. Semakin banyak kehilangan
pelarut, maka volume hasil ekstrak juga semakin
kecil, karena itu, perlakuan dari (140W) D1 lebih
besar dari pada perlakuan (280W) D2 dan lebih besar
dari pada perlakuan (420 W) D3.
Pengaruh Volume Pelarut dan Intensitas Radiasi
Terhadap Rerata rendemen Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh

Gambar 5. Pengaruh volume pelarut dan Intensitas Radiasi


pada rendemen (%)

Pada gambar 5 menunjukkan hasil rendemen yang


didapatkan. Rendemen pada penelitian ekstrak daun
belimbing wuluh ini yaitu massa ekstrak cair (g)
dibanding dengan massa sebelum proses ekstraksi
yaitu massa bubuk daun belimbing wuluh dan akuades
(g). kisaran nilai rendemen ekstrak ini ialah antara
61.386 % hingga 83.073 %, kombinasi perlakuan
volume pelarut dan intensitas radiasi telah
mempengaruhi rendemen ekstrak (%). Volume pelarut
dan intensitas radiasi gelombang mikro akan
menghasilkan panas yang terus meningkat seiring
dengan bertambahnya daya microwave yang diberikan
pada proses ekstraksi, semakin besar daya microwave
yang diberikan maka pemecahan atau pendegradasian
dinding-dinding sel akan semakin kuat, akan tetapi
bisa terjadi penguapan pelarut (akuades) akibatnya
volumenya berkurang.
Pengaruh Volume Pelarut dan Intensitas Radiasi
Terhadap Rerata Fenol (g/g) Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh

Gambar 6. Pengaruh volume pelarut dan Intensitas Radiasi


pada Kandungan Total Fenol (g/g).

Tren data yang ditampilkan menunjukkan bahwa


dari daya 140 w (D1) sampai daya 280w (D2)
mengalami kenaikan total fenol, namun pada daya
420w (D3) mengalami penurunan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada proses pengekstrakan
dengan daya 140 w, senyawa dalam bahan belum
terekstrak secara sempurna. Diduga dengan daya
tersebut masih belum mampu memberikan panas yang
sesuai dan belum bisa merusak dinding-dinding sel
bahan secara optimal. Jumlah panas yang diradiasikan
dari alat ke bahan lebih kecil dari pada perlakuan daya
280 w. Kemudian pada daya 420 w, terjadi
penambahan jumlah panas yang diradiasikan terlalu
tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya degradasi
termal senyawa target dalam bahan selama proses
ekstraksi.
Pada perlakuan yang memiliki nilai total fenol
tertinggi ditunjukkan pada perlakuan volume pelarut
450 ml (P3), hal tersebut menunjukkan bahwasannya
volume pelarut 350 ml dan 250 ml belum bisa
memaksimalkan proses ekstraksi yang memiliki ratarata total fenol lebih rendah, hal itu menunjukkan
bahwa perlakuan jumlah pelarut yang diberikan

269

kurang, sehingga jumlah senyawa target yang


terekstrak oleh pelarut itu lebih sedikit.
Pada perlakuan volume pelarut 450 ml (P3)
memiliki nilai total fenol lebih tinggi dari pada
perlakuan volume pelarut 350 ml (P1) namun lebih
kecil dari pada perlakuan pelarut 250 ml (P2). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin bertambahnya jumlah
volume pelarut membantu penambahan jumlah
senyawa target yang terekstrak, pada perlakuan 250
ml (P2) menunjukkan penurunan senyawa target
akibat konsentrasi senyawa terekstrak lebih kecil
karena jumlah pelarut yang digunakan terlalu sedikit.
Selama proses pemecahan dinding sel, terjadi
sebuah eksudasi cepat zat kimia ke dalam sel menuju
pelarut sekitarnya. Mekanisme MAE (Microwave
Assisted Extraction) dalam mengekspos analit dalam
penelitian ini yaitu fenol ke pelarut (akuades) melalui
pemecahan sel berbeda dengan panas ekstraksi refluks
yang tergantung pada serangkaian perembesan dan
proses solubilisasi untuk membawa analit dari matriks
[8]. Selain itu, perbandingan bahan dan pelarut
mempengaruhi efisiensi ekstraksi dan mutu ekstrak
yang dihasilkan [9] dalam [10]. Semakin besar
perbandingan bahan dan pelarut maka proses
pelarutan akan semakin baik karena kontak antara
palarut dan bahan akan semakin sering, namun jumlah
pelarut yang berlebihan tidak dapat mengekstrak lebih
banyak.

No.

Perlakuan

Rerata
OD
Awal

Rerata
OD
Akhir

Selisih

1
2
3
4
5

20%
40%
60%
80%
100%

0.083
0.326
1.128
1.481
1.743

0.401
0.773
1.321
1.461
1.732

0.392
0.447
0.193
-0.02
-0.011

Tanin mempunyai daya antibakteri dengan cara


mempresipitasi protein, karena diduga tanin
mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik.
Efek antibakteri tannin antara lain melalui reaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi
atau inaktivasi fungsi materi genetik, penghambatan
pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium diduga
juga disebabkan oleh mekanisme ini [11] dalam [12].
Uji SEM (Scanning Electron Microscopy) (Pada
Perlakuan Terbaik)

Uji Aktivitas Antimikroba (Ekstrak Perlakuan


Terbaik)
Dari perhitungan pemilihan perlakuan terbaik
didapatkan pada perlakuan volume 450 ml dan daya
ekstraksi 280 W, selanjutanya perlakuan ini dilakukan
uji aktivitas antimikroba terhadap Salmonella
typhimurium. Salmonella typhimurium merupakan
bakteri gram negatif. Perlakuan daya microwave 280
w dan volume pelarut 450 ml memberikan hasil
sebagai berikut :
Tabel 2. Aktivitas Antimikroba

Ulangan
1
2
3

Diameter (mm)
8
7
7

Rerata (mm)

Gambar 7. Sebelum diekstrak (foto atas Perbesaran 1800x


dan foto bawah Perbesaran 4000x)

7.33

KHM Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Ekstrak


Perlakuan Terbaik)
Dari perhitungan pemilihan perlakuan terbaik
didapatkan pada perlakuan volume 450 ml dan daya
ekstraksi 280 W, selanjutnya perlakuan ini dilakukan
uji KHM Ekstrak daun belimbing wuluh terhadap
Salmonella typhimurium. Salmonella typhimurium
merupakan bakteri gram negatif. Perlakuan daya
microwave 280 w dan volume pelarut 450 ml
memberikan hasil sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil KHM Ekstrak Daun Belimbung Wuluh

270

[3]

Gambar 8. Setelah diekstrak (foto atas Perbesaran 1800x


dan foto bawah Perbesaran 4000x)

[4]

Pada gambar 7 merupakan sebelum proses


ekstraksi dilakukan dan masih terlihat kerapatan
dinding-dinding sel pada bahan, kemudian pada
gambar 8 merupakan gambar setelah proses ekstraksi
dilakukan masih telah terlihat pecahnya dindingdinding sel pada bahan. Microwave heating dapat
mengakibatkan meningkatnya tekanan partikel untuk
melonggarkan struktur dari biomasa [7]. Hal ini
membuktikan bahwa intensitas radiasi gelombang
mikro dapat membantu pemecahan dinding sel bahan.
Selain itu energi gelombang mikro menyebabkan
pergerakan molekuler dengan cara migrasi ion dan
rotasi dipol [13]. Pergerakan yang sangat cepat ini
menghasilkan friksi atau gesekan yang akhirnya
mengasilkan energi panas dalam bahan sehingga
dinding sel maupun jaringan bahan akan rusak, dan
solut akhirnya dapat keluar [13] dan medan
elektromegnetik diduga juga dapat mengakibatkan
efek non-termal yang dapat mempercepat destruksi
struktur kristal [14].
4. KESIMPULAN

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

Perlakuan Ekstraksi daun daun belimbing wuluh


yang terbaik adalah perlakuan P3D1 dengan volume
pelarut 450 ml dan daya microwave 280 W. Perlakuan
terbaik tersebut memiliki karakteristik dengan
rendemen sebesar 82.419 %, total fenol sebesar
5721.139(g/g), uji aktivitas antimikroba sebesar 7.33
(mm) dan KHM ekstrak daun belimbing wuluh pada
konsentrasi 80% dan 100%.

[10]

[11]

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang membantu, mulai dari Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) selaku pemberi dana
hibah penelitian, para dosen dan asisten dosen yang
telah memberi kritik dan saran, arahan para Laboran
Laboratorium baik di lingkungan Universitas
Brawijaya maupun di lingkungan UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, serta kerabat mahasiswa Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya khususnya angkatan
2010 dan 2011.

[12]

[13]

DAFTAR REFERENSI

[1]
[2]

Fauziah, laili. 2008. Studi Demiresasi.


Universitas Indonesia, Jakarta
Sunardi. 2005, Uji Mutu Teh Hijau
Perdagangan. Jurnal Kimia dan Teknologi.
ISSN 0216-163X.

[14]

271

Sharma, G. N, Phytochemical Screening and


Estimation of Total Phenolic Content In Aegle
Marmelos Seeds, International Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, 2 (3)
2011, 27-29.
Widyawati, S.P., Wijaya, C.H., Hardjosworo,
P.S., dan Sajuthi, D, Evaluasi Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea
Indica Less) Berdasarkan Perbedaan Ruas
Daun, 2009, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Elwin. 2014, Analisa Pengaruh Waktu
Pretreatment dan Konsentrasi NaOH Terhadap
Kandungan Selulosa, Lignin Dan Hemiselulosa
Eceng Gondok pada Proses Pretreatment
Pembuatan Bioetanol, Universitas Brawijaya,
Malang
Kurniasari, L., Hartati, I., Ratnani, R D., dan
Sumantri, I., Kajian Ekstraksi Minyak Jahe
Menggunakan Microwave Assisted Extraction
(MAE), Momentum, Vol. 4, No. 2, Oktober
2008 : 47 - 52.
Xue J, Chen HZ, Kadar Z, 2011, Optimization
of Microwave Pretreatment on Wheat Straw for
Ethanol Production. Biomass Bioenerg ;
35:3859e64.
Dhobi, Mahaveer, Mandal, Vivekananda dan
Siva Hemalatha, Optimization of Microwave
Assisted extraction of Bioactive Flavonolignan
Silybinin. J, Chem. Metrl. 3:1 (2009) 13-23.
Susanto, W. M. 1999. Teknologi Lemak dan
Minyak Makan. FTP UB: Malang
Setyawan, A. D, 2012, Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Kasar Daun Jati (Tectona Grandis)
Metode Microwave Assisted Extraction
Terhadap Escherichia Coli dan Staphylococcus
aureus (Kajian Rasio Sampel: Pelarut dan
jumal Proses Ekstraksi), Skripsi, Universitas
Brawijaya. Malang
Masduki, I, 1996, Efek Antibakteri Ekstrak Biji
Pinang (Areca catechu) Terhadap S.aureus
dan E.coli in vitro, Yogyakarta: Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedkteran, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta
Ajizah, A, 2004, Sensitivitas Salmonella
Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium
Guajava, Jurnal Bioscientiae Vol 1, Program
Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas
Lambung Mangkurat.
Delazar, Abbas, Lutfun Nahar, Sanaz
Hamedeyazdan,
Satyajit
D.
Sarker,
Microwave-Assisted Extraction in Natural
Products Isolation. Di dalam Satyajit D.
Sarker and Lutfun Nahar (eds.), Natural
Products Isolation, Methods in Molecular
Biology, vol, 864, (2012), Springer Science :
New York.
De la Hoz A, Diaz-Ortiz A & Moreno A,
Microwaves in Organic Synthesis. Thermal and
Non-Thermal Microwave Effects, Chem Soc
Rev 34 (2005):164-178.

Label Cerdas Pendeteksi Cepat Staphlylococcus aureus


Endang Warsiki1*), M. Rahayuningsih1), N. Latifah1)
1) Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB
Gedung FATETA Lantai 2 Kampus IPB Darmaga Bogor 16580
Telpon/Fax.: +62-251-8621974 Email : endang.warsiki@gmail.com
Abstrak - Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan keracunan makanan karena
menghasilkan enterotoksin. Pada penelitian ini akan dibuat label yang dapat memberikan informasi kepada
konsumen tentang keberadaan S. aureus pada produk pangan terkemas. Label cerdas dibuat dari agar bubuk,
tapioka, gliserol, BPA (Baird Parker Agar) dan egg yolk tellurite. Penelitian terdiri dari pembuatan label dan
konfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label, uji kebenaran keberadaan S. Aureus dan uji sensitivitas label
dalam mendeteksi S. aureus pada berbagai suhu penyimpanan. Label yang dihasilkan adalah label basah,
karena S. aureus hanya dapat tumbuh pada media berkadar air tinggi. Rata-rata nilai aw label cerdas adalah
0,856. Sensitivitas label cerdas dalam mendeteksi keberadaan S. aureus tidak tergantung dengan jumlah S.
aureus, tetapi tergantung pada suhu penyimpanan. Label lebih cepat mendeteksi keberadaan S. aureus pada
saat penyimpanan dengan suhu (252)oC dan (372)oC dibandingkan saat penyimpanan pada suhu (4 2)oC.
Kata Kunci: label cerdas, Baird Parker Agar, Staphylococcus aureus.
Abstract - Staphylococcus aureus is a bacterium that cause food poisoning due to it produce enterotoxin. In this
research, a smart label was produced to provide consumer information about the presence of S. aureus in food
packaged.The best formulation the label was made from agar powder, tapioca, glycerol, and Baird Parker Agar
and egg yolk tellurite. The research consisted of label producing, S. aureus presence test and smart label
sensitivity assay in different temperature of storage. The characteristic of label was wet, due to it should be high
water content for the growth of S. aureus. The a w average of wet label was 0.856. The label sensitivity to detect
the presence of S. aureus did not depend on the number of S. aureus, but it depend on the temperature of storage.
The label could detect . aureus quickly in the temperature of (252)oC and (372)oC rather than the temperature
of (4 2)oC.
Keywords: smart label, Baird Parker Agar, Staphylococcus aureus.

1.

PENDAHULUAN

Salah satu teknologi baru yang dikembangkan di


bidang pengemasan adalah kemasan cerdas. Kemasan
cerdas merupakan suatu kemasan yang dapat
memberikan informasi kepada konsumen tentang
keadaan bahan yang dikemas melalui sensor kimia dan
biosensor. Kemasan ini diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis, yaitu active, intelligent, smart,
diagnostic, functional, dan enhanced packaging [1].
Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah
banyak dikembangkan, seperti active packaging yang
menggunakan sistem oxygen scavenger dan diterapkan
pada produk roti, kue, biskuit, pizza, pasta, keju, ikan,
kopi, makanan ringan, sayuran dan makanan kering.
Pira International Ltd memperkirakan pasar global
dari oxygen scavenger menjadi 14,4 milyar unit di
Jepang, 4,5 milyar di USA, dan 5,7 milyar di Eropa
Barat pada tahun 2007 [1]. Selain itu, contoh yang lain
dari kemasan cerdas adalah Modified Atmosphere
Packaging (MAP).
Sampai saat ini pengembangan kemasan cerdas
masih terus dilakukan untuk dapat diaplikasikan pada
berbagai produk yang mempunyai karakter dan
persyaratan mutu yang berbeda-beda. Saat ini telah
ada kemasan cerdas yang dibentuk menjadi label atau

stiker pada kemasan. Label atau stiker tersebut akan


memberikan informasi visual secara langsung pada
produsen, pengecer, dan konsumen mengenai kondisi
produk. Penelitian tetang kemasan cerdas sudah
dilakukan diantaranya tentang label cerdas indikator
warna dari daun erpa (Aerva sanguinolenta) [2], [3],
label indikator warna berbahan alami dan sintetik [4]
dan label indikator warna dari ekstrak buat bit [5] dan
label cerdas pendeteksi Eschericia coli [6].
Label cerdas pendeteksi bakteri patogen seperti
Staphylococcus aureus sangar menarik untuk
dilakukan. Keberadaan S. aureus pada makanan
sangat berbahaya merupakan salah satu bakteri yang
menyebabkan
keracunan
makanan
karena
menghasilkan Enterotoksin. Toksin yang dihasilkan
oleh S. aureus dapat menyebabkan gastroenteritis.
Bakteri ini banyak ditemukan pada daging dan produk
olahan daging, salad, produk panggang yang
mengandung krim, saus, dan keju. Pendeteksi
keberadaan S. aureus menggunakan label cerdas perlu
dilakukan untuk menghindari kontaminasi dari bakteri
tersebut dan penjaminan keamanan daging dalam
kemasan.

272

2. BAHAN DAN METODE


2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara
lain, agar bubuk, Baird Parker Agar + egg yolk
tellurite, gliserol, tapioka, akuades, biakan S. aureus,
alkohol, garam fisiologis, dan nutrient broth.
Sedangkan alat-alat yang digunakan pada penelitian
ini antara lain, gelas piala, coloni counter quebec,
magnetic stirer, hot stirer, batang penyebar,
termometer, neraca analitik, mikro pipet, cawan petri,
sudip alumunium, plat kaca berukuran 20 cm 30 cm
dan oven.
2.2. Metodologi
2.2.1. Pembuatan Label dan Deteksi Pertumbuhan
S. aureus pada Label
Diagram alir pembuatan label disajikan pada
Gambar 1. Label diuji terhadap pertumbuhan S.
Aureus untuk melihat fungsi label sebagai pendeteksi
bakteri tersebut. Uji ini dilakukan dengan cara
menumbuhkan S. aureus di atas label.
Akuades

Pemanasan
Tapioka
Homogenisasi
Agar dan
BPA

Homogenisasi
Gliserol
Pendinginan

Egg yolk
tellurite
Pencetakan
Pengeringan
Label cerdas

Gambar 1. Diagram alir pembuatan label cerdas pendeteksi


S. aureus

tellurite dan diinkubasikan selama 48 jam. Setiap


cawan petri yang menunjukkan adanya pertumbuhan
koloni abu-abu hingga hitam mengkilap dengan zona
bening di sekelilingnya, maka koloni tersebut adalah
S. aureus.
(i) Uji katalase [7]
Uji katalase dilakukan dengan meneteskan cairan
peroksida 3% ke atas koloni mikroba. Kemudian
diamati terjadinya reaksi setelah dilakukan penetesan,
apabila terbentuk gelembung-gelembung gas maka
mikroba tersebut merupakan katalase positif.
(ii) Pewarnaan gram
Pewarnaan gram dilakukan untuk membedakan
bakteri gram positif dan gram negatif. Hasil positif
untuk bakteri gram positif yaitu jika sel yang teramati
di bawah mikroskop berwarna biru dan untuk bakteri
gram negatif yaitu jika sel yang teramati berwarna
merah. Urutan pewarnaan gram adalah sebagai
berikut:
1. Kultur dioles di atas gelas objek, kemudian
difiksasi
2. Kultur ditetesi dengan violet kristal selama 1 menit
3. Dibilas dengan air
4. Kultur ditetesi dengan larutan iodium selama 1
menit
5. Kultur di atas gelas objek dicelupkan alkohol 96%
selama beberapa detik
6. Kultur ditetesi dengan safranin selama 20 detik
7. Kultur diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000 kali.
2.2.3. Uji Sensitivitas Label Cerdas Dalam
Mendeteksi S. aureus pada Suhu (42)oC,
(252)oC dan (372)oC
Uji sensitivitas label terhadap jumlah S. aureus
pada suhu (42)oC, (252)oC, dan suhu (372)oC
perlu dilakukan untuk mengetahui sensitivitas label
dalam mendeteksi S. aureus pada suhu-suhu tersebut.
Uji tersebut dilakukan dengan cara mengemas label
dalam plastik LDPE (Low Density Poliethylene)
kemudian menempelkannya ke dalam tutup jar dan
menumbuhkan S. aureus di dasar jar. Setelah itu
diinkubasi pada suhu (42)oC, (252)oC, dan suhu
(372)oC selama 7 hari dan dilakukan pengamatan
terhadap perubahan label setiap hari.
3.

2.2.2. Uji Konfirmasi S. aureus


Label yang telah mengalami perubahan secara
fisik harus diuji untuk membuktikan bahwa penyebab
perubahan pada label tersebut benar disebabkan
keberadaan S. Aureus. Label yang telah diinkubasi
selama 7 hari kemudian dihancurkan atau dipotong
beberapa bagian. Lalu beberapa bagian label tersebut
dibuat suspensi dengan ditambahkan ke dalam
nutrient broth steril sebanyak 9 mL, setelah itu
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah
diinkubasi, sebanyak 0,1 mL suspensi dipindahkan
kedalam masing-masing cawan petri yang telah
berisikan medium Baird Parker Agar + egg yolk

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Pertumbuhan S. aureus pada label


Label diuji dengan cara menumbuhkan S. aureus
di atas label. Pada pengujian dengan cara menginjeksi
S. aureus, diketahui bahwa tidak terjadi perubahan
warna pada label setelah diinkubasi pada suhu
(372)oC selama 7 hari.
Berdasarkan hasil uji sensitivitas, diketahui
bahwa S. aureus yang diinjeksi ke atas label dapat
mengkontaminasi label sehingga memproduksi koloni
abu-abu gelap hampir hitam karena mereduksi
tellurite [8], oleh karena itu label basah dengan ratarata nilai aw sebesar 0.856 merupakan pilihan label

273

terbaik. Label basah tersebut tidak mampu untuk


menyerap air pada produk sehingga fungsi dari label
tersebut hanya untuk mendeteksi keberadaan S.
aureus. Selanjutnya label dapat mendeteksi
keberadaan S. aureus dalam 2 hari (Gambar 1).

(a)

Gambar 3. Penampakan S. aureus menggunakan pewarnaan


gram (perbesaran 1000x)

(b)

Gambar 1.(a) Kontrol dan (b) label yang terkontaminasi S.


aureus

3.2. Uji Konfirmasi S. Aureus


Label yang telah terkontaminasi S. aureus akan
berubah warna menjadi abu-abu sampai hitam. Koloni
yang tumbuh di label harus dibuktikan kalau memang
benar S. Aureus. Label berubah warna dari abu-abu
hingga hitam sedikit demi sedikit hingga akhirnya
merata pada permukaan label. Koloni S. aureus yang
tumbuh di label tidak berbentuk bulat, cembung, dan
tidak terdapat zona bening maupun opak disekitar
koloni.
(i) Uji katalase
S. aureus menghasilkan enzim katalase. Enzim
katalase dapat memecah hidrogen peroksida (H2O2)
menjadi air dan oksigen. Apabila mencampur satu lup
Staphylococcus dengan 3% hidrogen peroksida
(H2O2), maka gelembung-gelembung oksigen akan
muncul [9]. Hasil uji menunjukkan bahwa memang
benar koloni yang tumbuh pada label adalah S. Aureus
(Gambar 2).

(a)

atau coccus dengan ukuran diameter 0,5-1,0 m [10].


Berdasarkan uji Staphylococcus aureus, katalase, dan
pewarnaan gram dibuktikan bahwa perubahan fisik
dari label disebabkan karena adanya pertumbuhan S.
aureus pada label (Gambar 3).

(b)

Gambar 2. (a) Kontrol dan (b) sampel

(iii) Pewarnaan gram


Staphylococcus aureus merupakan salah satu
contoh bakteri gram positif sehingga sel akan
berwarna ungu kristal-yodium kompleks ketika
dilakukan uji pewarnaan gram. Selain itu, melalui
pewarnaan gram juga dapat diketahui bentuk
morfologi dari S. aureus. S. aureus berbentuk bulat

3.3. Uji Sensitivitas Label Dalam Mendeteksi S.


aureus pada Suhu (42)oC, (252)oC, dan
(372)oC
Uji sensitivitas label terhadap jumlah S. aureus
pada suhu (42)oC, (252)oC, dan suhu (372)oC
perlu dilakukan untuk mengetahui suhu optimum label
dalam mendeteksi S. aureus. Pengamatan pada suhu
(42)oC dan (252)oC perlu dilakukan karena
umumnya masyarakat terbiasa untuk menyimpan
makanan pada suhu tersebut. Pengamatan pada suhu
(42)oC dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan S.
aureus dan mengetahui respon label dalam mendeteksi
S. aureus di luar suhu pertumbuhannya. Suhu
(372)oC merupakan suhu optimum pertumbuhan S.
aureus sehingga menjadi kontrol pembanding dengan
respon yang dihasilkan pada label yang diinkubasi
pada suhu (42)oC, (252)oC. Hasil pengujian
sensitivitas label pada suhu-suhu tersebut dapat dilihat
di Tabel 1.
Tabel 1Hasil pengujian sensitivitas label pada suhu (42)oC,
(252)oC,dan (372)oC
Hari
Suhu
(42) oC
(252) oC
(372) oC
S1 S2 S3 S1
S2 S3 S1
S2 S3
1
2
+
3
+
+
4
+
+
5
+
+
+
+
6
+
+
+
+
7
+
+
+
+

Berdasarkan hasil pengamatan selama 7 hari,


diketahui bahwa pada suhu (4 2)oC label belum bisa
mendeteksi keberadaan S. aureus. Pada suhu
(252)oC, dua sampel dari tiga sampel label dapat
mendeteksi keberadaan S. aureus dengan waktu
mendeteksi 5 hari dan 3 hari, sedangkan pada suhu
(372)oC terdapat dua sampel dari tiga sampel yang
dapat mendeteksi keberadaan S. aureus dengan waktu
mendeteksi 2 hari dan 5 hari.

274

Hal tersebut mungkin dikarenakan aktivitas


enzim S. aureus pada suhu (42)oC berhenti. Menurut
Fardiaz (1992), keadaan di bawah suhu minimum dan
di atas suhu maksimum akan menyebabkan aktivitas
enzim berhenti, bahkan pada suhu yang terlalu tinggi
akan terjadi denaturasi enzim. Suhu minimum
pertumbuhan S. aureus adalah (10-20)oC, optimum
(20-40)oC, dan maksimum (40-45)oC. Suhu (252)oC
dan (37 2)oC merupakan suhu optimum bagi
pertumbuhan S. aureus, sehingga waktu yang
dibutuhkan label untuk mendeteksi S. aureus hanya
mempunyai selisih waktu satu hari.
4. KESIMPULAN
Label indikator pendeteksi S. aureus dapat dibuat
menggunakan dari agar bubuk, tapioka, gliserol, dan
media pertumbuhan S. aureus (Baird Parker Agar +
egg yolk tellurite). Label cerdas pendeteksi S. aureus
bersifat basah dengan besar nilai aw (activity water)
minimal 0,856. Respon label cerdas dalam mendeteksi
S. aureus ditandai dengan perubahan fisik label. Label
berubah warna menjadi abu-abu hingga hitam.
Sensitivitas label cerdas dalam mendeteksi S. aureus
sangat tergantung terhadap suhu karena label lebih
cepat mendeteksi keberadaan S. aureus pada saat
penyimpanan dengan suhu (252)oC dan (372)oC
dibandingkan saat penyimpanan pada suhu (4 2) oC.

diunduh
pada
08
Agustus
2014,
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/
LaboratoryMethods/ucm071429.htm
[8] Acumedia, Baird Parker Agar 7112, Neogen
Corporation, 2012.
[9] Beishir L, Microbiology In Practice: A SelfInstructional Laboratory Course, Fifth Edition.
New York, Harper Collins Publisher Inc., 1991.
[10] Ray B, Fundamental Food Microbiology, Third
Edition, USA: CRC Press LLC, 2004.
Notulensi Diskusi:
PGO-308, Endang Warsiki dkk, Label Cerdas
Pendeteksi Cepat Staphlylococcus aureus

Tanya: Apakah perubahan dari warna daging


menujukkan
indikator
peningkatan
Staphylococcus dalam daging ? Supaya lebih jelas
apakah bisa menggunakan pewarna? (Sri Kanoni,
UGM).
Jawab: Perubahan warna daging merupakan
salah satu indikator adanya peningkatan S. aureus
yang ada dalam daging. Untuk penelitian lebih
lanjut mungkin dapat ditambahkan warna untuk
memperjelas warna yang terbentuk.

Tanya: Pada label pendeteksi S. aureus ditujukan


untuk kosumen, bagaimana aplikasinya? (Abu
Bakar, BPPLPP Bogor).
Jawab: Aplikasi label cerdas ditujukan untuk
konsumen untuk memberikan informasi tentang
daging yang akan di beli oleh konsumen. Label
warna putih artinya daging masih dalam kondisi
segar. Kemudian warna abu-abu atau hitam
artinya daging sudah kurang layak/atau tidak
layak untuk dikonsumsi, jangan di beli. Respon
label cerdas dalam mendeteksi S. aureus ditandai
dengan perubahan fisik label. Label berubah
warna menjadi abu-abu hingga hitam Sensitivitas
label cerdas dalam mendeteksi S. aureus sangat
tergantung terhadap suhu.

DAFTAR REFERENSI
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

Kerry J, Buttler P (Editor), Smart Packaging


Technologies for Fast Moving Consumer Goods,
J Wiley, 2008.
Warsiki E, Rini N, Yuliasih I, Pemanfaatan
Ekstrak Daun Erpa (Aerva sanguilenta) untuk
Label Cerdas Indikator Warna, Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia, vol. 18, no 1, 2013, hal.1619.
Rini N, Warsiki E, Yuliasih I, Pengaruh Suhu
Penyimpanan Terhadap Perubahan Warna Label
Cerdas Indikator Warna Daun Erpa (Aerva
sanguinolenta), Jurnal Teknologi Industri
Pertanian, vol. 23,no. 3, 2013, hal. 232-241.
Warsik E dan Putri CDW, Colored Label
Indicator Using Natural And Synthetic Dye,
ISSN 2252 3324,vol. 1, no. 2, 2012,pp. 82-87,
http://tin.fateta.ipb.ac.id/index.php/en/news/tinnews/156-e-jaii.
Warsiki E, Utami AS, Color Stability of Beat
Dyes Label During Heating, Proceeding The 2nd
International on Adaptive and Intelligent
Agroindustry, ISSN : 2354-9041, September
2013, Bogor, Indonesia, pp. 213219.
Lestari IA, Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi
Escherichia coli [Skripsi], Institut Pertanian
Bogor,Bogor, 2013
Anonim, Bacteriological Analytical Manual
(BAM), Staphylococcus aureus, Internet-.

275

Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Substrat untuk


Menghasilkan Enzim Selulase menggunakan Jamur Trichoderma reesei
dengan Variasi Suhu dan Waktu Inkubasi
Ngatirah1), Maria Ulfah1), Selvi Anggraeni2)
1
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Stiper Yogyakarta,
Jl. Nangka II Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282 Telp. 0274-885478, Fax. : 0274-885479
Contact email: thp_instiper_jogja@yahoo.co.id
2
Alumni Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Stiper Yogyakarta

Abstrak_ Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu inkubasi dalam
proses fermentasi TKKS oleh T. reesei. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) yang terdiri
dari petak utuh dan petak bagian diulang dua kali. Petak utuh adalah variasi suhu inkubasi (S) terdiri dari 28
0
C (S1), 30 0C (S2) dan 32 0C (S3). Petak bagian adalah variasi waktu inkubasi (L) terdiri dari 2 hari (L 1), 4 hari
(L2), 6 hari (L3), 8 hari (L4) dan 10 hari (L5)..Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu inkubasi berpengaruh
terhadap kadar gula reduksi, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah jamur Trichoderma reesei, aktivitas
enzim endo-glukanase,dan aktivitas enzim ekso-glukanase. Waktu inkubasi berpengaruh terhadap jumlah jamur
Trichoderma reesei dan aktivitas enzim endo-glukanase, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar gula reduksi
dan aktivitas enzim ekso-glukanase. Pengaruh suhu dan waktu inkubasi terbaik berdasarkan aktivitas enzim
endo-glukanase tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu inkubasi 28 0C dengan waktu inkubasi selama
4 hari yaitu dengan jumlah jamur Trichoderma reesei sebanyak 1,30 x 10 6 CFU/gram, aktivitas enzim endoglukanase sebesar 0,0182 mol glukosa dilepas/menit/ml, aktivitas enzim ekso-glukanase 0,3002 U/ml dan
kadar gula reduksi sebesar 0,0187 %.
Kata kunci: Trichoderma reesei, enzim selulase, suhu fermentasi, waktu inkubasi

Abstract -_The purpose of this study was to determine the effect of temperature and time of incubation in the
fermentation process of TKKS by T. reesei. Experiments was conducted using Split Plot Design (RPT) consisting
of whole plots and section plots and was repeated twice. Whole plot was a variation of the temperature of
incubation (S) consists of 28 0C (S1), 30 0C (S2) and 32 0C (S3). Section plots was a variation of incubation
time (L) consists of 2 days (L1), 4 days (L2), 6 days (L3), 8 days (L4) and 10 days (L5) . The result showed that
incubation temperatures affect the reducing sugar, but did not affect the amount of the Trichoderma reesei fungi,
and the activity of the enzyme endo-glucanase and exo-glucanase enzyme. The incubation time affected the
amount of Trichoderma reesei and endo-glucanase enzyme activity, but had no effect on reducing sugar levels
and exo-glucanase enzyme activity. The best effect of temperature and incubation time by endo-glucanase
enzyme activity was obtained in the treatment with incubation temperature of 28 0C and time of incubation for 4
days which resulted in the number of Trichoderma reesei about 1.30 x 106 CFU / g, the activity of the enzyme
endo-glucanase of 0 , 0182 mole of glucose released / min / ml, exo-glucanase enzyme activity of 0.3002 U /
ml, and reducing sugar levels at 0.0187%.
Keywords: Trichoderma reesei, cellulase enzymes, fermentation temperature, incubation time

perkebunan kelapa sawit yang sudah dimanfaatkan


selama ini antara lain adalah tandan kosong kelapa
sawit (TKKS) untuk pupuk organik (pupuk kompos
dan pupuk kalium), tempurung inti sawit untuk
arang aktif, batang dan tandan sawit untuk pulp
kertas, batang kelapa sawit untuk perabotan dan
papan partikel serta batang dan pelepah sawit untuk
pakan ternak. TKKS merupakan limbah terbesar
yaitu sekitar 23%. Potensi limbah TKKS pada
tahun 2010 diperkirakan sebanyak 4,8 juta ton [2].

1. PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit telah menyebar di 22
propinsi yang pada tahun 2010 luasnya mencapai
8,3 juta Ha dengan produksi TBS sebesar 21 juta
ton yang sekitar 41% merupakan perkebunan rakyat
[1].
Perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah
padat yang cukup berlimpah sepanjang tahun dan
pemanfaatannya
masih
terbatas.
Limbah

276

Limbah TKKS mengandung lignosesulosa


yang cukup tinggi sehingga sukar didekomposisi
(Loebis dkk, 1994). Komponen utama limbah padat
kelapa sawit adalah selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Kandungan holoselulosa (selulosa dan
hemiselulosa) dan lignin pada lignoselulosa
masing-masing berkisar antara 62 64 % dan 2123 % [3]. Selulosa merupakan polimer dari 1-4beta-D glukosa, sehingga jika rantai polimer
tersebut dipotong-potong maka akan menghasilkan
glukosa. Sehingga limbah berserat ini berpotensi
untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol.
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
merupakan salah satu jenis limbah kelapa sawit
paling potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan baku bioetanol, karena setelah didelignifikasi
dengan metode basa (NaOH 1%) menghasilkan
selulosa yang paling tinggi [4,6]
Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku
bioetanol, selulosa TKKS memerlukan proses
hidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Proses
hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan
menggunakan enzim selulase. Enzim selulase
merupakan enzim yang memegang peranan penting
dalam proses biokonversi limbah-limbah organik
berselulosa menjadi glukosa [5].
Selulosa didegradasi oleh enzim selulase
menjadi glukosa. Proses hidrolisis selulosa oleh
bakteri yang dilakukan dengan bantuan enzim
selulase Enzim selulase merupakan enzim
kompleks yang terdiri atas endo-glukanase, eksoglukanase dan -glukosidase. Enzim endo -1,4glukanase menghidrolisis polimer secara acak dan
menghasilkan
molekul
selulosa
sederhana.
Sedangkan ekso -1,4-glukanase menghidrolisis
dua submit glukosa pada bagian ujung sehingga
menghasilkan selobiosa disakarida. Enzim glukanase menghidrolisis selobiosa menjadi
glukosa [7].
Enzim selulase dapat diproduksi dari bakteri
maupun jamur yang bersifat selulolitik, salah
satunya adalah Trichoderma. Trichoderma adalah
salah satu jamur tanah yang tersebar luas
(kosmopolitan), dapat ditemui di lahan-lahan
pertanian dan perkebunan. Keuntungan dari
penggunaan T. reesei adalah mudah dan murah
kultivasinya, tergolong mikroorganisme yang aman
karena tidak bersifat pathogen dan tidak
menghasilkan mycotoksin atau antibiotik dalam
kondisi produksi enzim. T. reesei merupakan jamur
yang potensial memproduksi enzim endo-glukanase
dengan aktivitas tinggi [8].
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan T. reesei dalam menghasilkan enzim
selulase antara lain suhu dan waktu inkubasi. Suhu
inkubasi dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Dibawah suhu minimum,
pertumbuhan mikroorganisme akan berjalan

lambat. Sedangkan diatas suhu maksimum,


mikroorganisme akan mati. Produksi enzim akan
optimum pada suhu optimum. Proses pertumbuhan
tersebut akan mempengaruhi enzim yang
dihasilkan.
Waktu
inkubasi
akan
mempengaruhi
pertumbuhan
mikroorganisme.
Pada
awal
fermentasi,
mikroorganisme
melakukan
penyesuaian dengan lingkungan pertumbuhan
sekitar 2-3 hari waktu inkubasi. Kemudian
mikroorganisme melakukan pembelahan sehingga
mikroorganisme masuk pada fase perbanyakan sel
yang sangat banyak sekitar 4-10 hari waktu
inkubasi. Setelah mengalami pembelahan sel,
mikroorganisme mulai kurang aktif membelah,
sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi
menurun, hal ini terjadi sekitar lama inkubasi lebih
dari 10 hari. Dari beberapa permasalahan yang
disebutkan diatas, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh suhu dan waktu inkubasi pada
fermentasi selulosa TKKS menggunakan T. Reesei.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh suhu dan waktu inkubasi dalam proses
fermentasi TKKS oleh T. reesei untuk
menghasilkan enzim selulase kasar dengan aktivitas
tinggi. Serta mendapatkan suhu dan waktu inkubasi
terbaik yang mampu menghasilkan enzim selulase
kasar dengan aktivitas tinggi.
2. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam produksi
ekstrak enzim selulase adalah tandan kosong
kelapa sawit dari kebun sawit daerah Maragondang,
Simpang Kauman Pasar Pasaman Timur, Medan
dan jamur Trichoderma reesei FNCC 0013 dari
gedung PAU UGM Jln. Teknika Utara, Barek,
Yogyakarta. Untuk bahan pembantu yang
digunakan adalah tepung gandum, aquadest, larutan
NaOH 1 %, larutan mineral mandel yang terdiri
dari {(NH4)SO4, KH2PO4, CaCl2, MgSO4.7H2O,
MnSO4.7H2O, CoCl2.6H2O} dan media PDA.
Sedangkan bahan untuk analisis yaitu larutan 0,1 %
Tween 80, asam DNS, larutan CMC, larutan fenol,
larutan H2SO4 pekat, larutan buffer sitrat 0,05 M pH
4,8 yang diperoleh dari Laboratorium Pusat
INSTIPER dan dari Chemix Pratama di Gg. Genja,
Ngentak Sapen, Yogyakarta.
Alat yang digunakan dalam pembuatan produksi
enzim selulase meliputi autoklaf dengan model HL36Ae, pompa vacuum, laminair dengan merk ESCO
type-36/MIC/CLQA/SH-1,
bunsen,
oven,
timbangan analitik dengan merk Sartorius TE 214S,
incubator dengan merk WTC binder 7200
Tuttlingen/Germany Type: KB 53 No. 900772,
sentrifuge dengan merk Hettich EBA 20,
homogenizer dengan merk IKA RW 20 digital, blue

277

dalam oven selama 24-48 jam pada suhu 60 0C


sampai kering yang ditandai dengan apabila
dipegang langsung remah (hancur).

tip, mikro pipet, kompor listrik, petridish, kertas


saring, kertas pH, kertas saring Whatman No. 1
dan spatula. Sedangkan alat yang digunakan untuk
analisis meliputi waterbath dengan merk Memmert
type: WB 14, 230 V Schutzart DIN 40050-IP 20,
stopwatch,
spektofotometer
dengan
merk
Spectronic 20 Genesis, vortex dan alat-alat gelas
yang membantu analisis.

Persiapan larutan mineral Mandel


Komposisi larutan mineral Mandel dapat dilihat
pada Tabel 1. Pembuatan larutan mineral Mandel
dilakukan sebagai berikut: masing-masing bahan
ditimbang. Selanjutnya masing-masing dimasukkan
kedalam labu takar berukuran 1000 ml. Kemudian
ditambah dengan aquadest sampai garis tanda.
Diaduk sampai larut dengan menggunakan
magnetik stirer.

B. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Petak Terbagi (RPT) yang terdiri dari
petak utuh dan petak bagian, sebagai berikut : Petak
utuh yaitu variasi suhu inkubasi (S) terdiri dari 3
taraf, yaitu : S1 = 28 0C, S2 = 30 0C, S3 = 32
0
C. Petak bagian yaitu variasi waktu inkubasi (L)
terdiri dari 5 taraf, yaitu :L1 2 hari, L2 4 hari, L3
6 hari, L4 8 hari, dan L5 10 hari. Percobaan ini
mengkombinasikan petak utuh dan petak bagian
sehingga diperoleh 3 x 5 = 15 kombinasi perlakuan
masing-masing perlakuan diulang 2 kali sehingga
diperoleh 3 x 5 x 2 = 30 satuan eksperimental. Data
yang diperoleh dikomputasi dan dianalisis
keragamannya, jika terdapat beda nyata dilanjutkan
dengan uji Jarak Berganda duncan jenjang 5%.

Tabel 1. Komposisi larutan mineral Mandel

Bahan Kimia
KH2PO4
(NH4)2SO4
MgSO4.7H2O
CoCl2
FeSO4.7H2O
MnSO4.H2O
ZnSO4.7H2O
CaCl2.2H2O

Komposisi
2 gram
1,4 gram
0,3 gram
4,2 gram
0,005 gram
0,0016 gram
0,0014 gram
0,3 mg

Persiapan larutan spora jamur T. reesei


Pertama-tama dilakukan perbanyakan kultur
T.reesei dari kultur stock pada media PDA agar
miring, dengan cara sebagai berikut: diambil 1 ose
spora dalam kultur stock dan kemudian diinokulasi
pada media agar miring PDA (cara pembuatan PDA
pada lampiran II). Selanjutnya di inkubasi pada
inkubator dengan suhu 30 0C selama 1 minggu.
T.reesei dalam agar miring yang telah berumur 1
minggu, ditambahkan aquadest steril sebanyak 5
ml. Selanjutnya spora T. reesei yang berada
dipermukaan dikumpulkan dengan menggesekgesekkan ose pada kultur dipermukaan media.
Setelah spora yang terdapat pada media agar miring
terangkat (larut dalam aquadest), larutan spora
ditambahkan ke dalam media fermentasi yaitu pada
TKKS yang sudah ditambahkan dengan nutrisi dan
sudah disterilisasi. Proses persiapan larutan spora
ini dilakukan secara aseptis, sehingga tidak terjadi
kontaminasi dengan mikroorganisme lain.
b.
Produksi enzim selulase kasar
Proses produki enzim selulase kasar dikerjakan
berurutan mengacu pada TLUE, urutan pertama
yaitu suhu inkubasi 28 0C (S1). Dikerjakan dengan
menyiapkan medium fermentasi yang mengandung
28 gram TKKS yang sudah diberi perlakuan
pendahuluan (pretreatment) dimasukkan ke dalam
gelas piala, dengan ditambahkan nutrisi yang
teridiri dari : 2% w/w tepung gandum (2 gram), 35
% v/w aquadest (35 gram) dan 30 % v/w larutan
Mandel (30 ml). Selanjutnya media fermentasi
selanjutnya diaduk sampai homogen dan

C. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, tahap pertama
yaitu persiapan bahan baku, produksi enzim
selulase dan pemanenan enzim selulase kasar. Pada
persiapan bahan baku, terdapat tiga persiapan bahan
baku yaitu persiapan bahan baku TKKS dengan
proses delignifikasi menggunakan metode basa,
persiapan larutan mineral Mandel dan persiapan
larutan spora jamur T.reesei.
a.
Persiapan bahan baku
Persiapan bahan baku TKKS dengan proses
delignifikasi
Limbah padat kelapa sawit berupa tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) diperkecil ukurannya
sepanjang 4 cm yang selanjutnya dikeringkan
menggunakan sinar matahari. Setelah itu diperkecil
ukurannya menggunakan alat pencacah kompos
(MPO 500 HD Yanmar Engine). Diperkecil
ukurannya kembali dengan menggunakan grinder
selanjutnya diayak sehingga diperoleh bubuk
TKKS dengan ukuran 30 mesh mengacu pada
PDII-LIPI (1996). Selanjutnya dilakukan proses
delignifikasi sebagai berikut sebanyak 12,5 gram
bubuk TKKS, ditambahkan 1 % NaOH sebanyak
100 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer.
Selanjutnya di masukkan ke dalam autoklaf dan
dipanaskan pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm
selama 1 jam. Selanjutnya langsung disaring pada
kondisi panas dan dicuci dengan air mineral 70 0C
sampai pH air cucian netral. Kemudian dikeringkan

278

disterilisasi pada suhu 121 0C 1 atm selama 15


menit. Setelah dingin, diinokulasi dengan 5 ml
larutan spora jamur T. reesei yang sudah
dipersiapkan secara aseptis. Kemudian diinkubasi
pada waktu yang berbeda selama 2 hari (L1), 4 hari
(L2), 6 hari (L3), 8 hari (L4) dan 10 hari (L5).
Setelah semua perlakuan pada ulangan I selesai,
dilanjutkan dengan ulangan II dan dilakukan seperti
diatas.
c.
Pemanenan enzim selulase kasar
Setelah waktu inkubasi yang ditentukan
tercapai, selanjutnya dilakukan ekstraksi selulase
kasar pada masing-masing perlakuan dengan
menambahkan 100 ml larutan tween 80 konsentrasi
0,1 %. Setelah ditambah larutan tween, larutan
diaduk dengan kecepatan 150 rpm selama 120
menit pada suhu ruang, kemudian dilakukan
penyaringan dengan menggunakan kertas saring
sehingga diperoleh filtrat yang mengandung enzim
selulase kasar. Filtrat tersebut kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama
10 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan
sebagai ekstrak enzim kasar. Setelah diperoleh
supernatan, dilakukan analisis aktivitas enzim
selulase yang meliputi aktivitas endo-glukanase
[12] dan ekso-glukanase dengan metode fenolslufat [9], kadar gula reduksi, serta kadar total
nitrogen dengan metode semi kjeldahl [10].

ada beda nyata berdasarkan uji jarak


berganda duncan pada jenjang nyata 5%

Lama waktu inkubasi berpengaruh terhadap


T.reesei. Makin lama waktu inkubasi jumlah jamur
akan makin meningkat. Pada waktu inkubasi 2 hari
merupakan fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel
dengan lingkungan. Sedangkan pada waktu
inkubasi 4 sampai 10 hari merupakan fase
eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah
sel yang sangat banyak. Hingga 10 hari jumlah
jamur masih meningkat. Masih perlu waktu
inkubasi yang lama lagi untuk mengetahui fase
stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan
jumlah sel yang mati relatif seimbang dan fase
kematian, dimana jumlah sel-sel yang mati lebih
banyak daripada yang masih hidup.
Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih
sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan
menurun pada hari ke-10. Hal ini mengikuti pola
pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami
beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase
eksponensial, fase stasioner dan fase kematian.
Organisme
pembentuk
spora
biasanya
memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial.
Jadi dapat diduga bahwa pada saat aktivitas enzim
yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada
pada fase tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas enzim endo-glukanase


Suhu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap
aktivitas enzim endo-glukanase, karena jumlah
jamur yang merombak atau mendegradasi selulosa
menjadi enzim selulase jumlahnya relatif sama. Hal
ini didukung oleh data jumlah jamur pada Tabel 2.
yang menunjukkan bahwa suhu inkubasi tidak
berbeda nyata. Pengaruh suhu terhadap enzim
ternyata sangat kompleks, misalnya suhu yang
terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau
perusakan enzim. Sebaliknya semakin tinggi suhu
(dalam batas tertentu) semakin aktif enzim tersebut.
Bila suhu dinaikkan terus, laju kerusakan enzim
akan melampaui reaksi katalis enzim [13].

Jumlah jamur Trichoderma reesei


Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa suhu
inkubasi tidak berpengaruh terhadap jumlah jamur
Trichoderma reesei. Hal ini disebabkan karena
kisaran suhu yang digunakan termasuk suhu
optimal pertumbuhan jamur T. reesei. Menurut
Enari, suhu optimal untuk pertumbuhan kapang ini
adalah 32-35 0C dan pH optimal sekitar 4,0 [11].
Penelitian ini dilakukan pada suhu 28-32 0C,
sehingga suhu inkubasi masih merupakan suhu
optimal pertumbuhan jamur T. Reesei sehingga
tidak berpengaruh.
Tabel 1. Jumlah jamur Trichoderma reesei
( x 10 7 CFU/gram)

Waktu
Inkubasi
L1 (2)
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)
L5 (10)
Rerata
Keterangan :

Suhu Inkubasi (oC)


S1
S2
S3
(28 0C)
(30 0C)
(32 0C)
0,0022
0,0083
0,0046
0,1300
0,0222
0,0036
0,3450
0,1840
0,0717
0,3010
2,0600
0,0837
6,9600
9,5200
3,4000
7,6000
12,0000 3,5700

Tabel 2. Aktivitas enzim endo-glukanase ( mol glukosa


dilepas/menit/ml larutan kultur)
Rerata
Waktu
Inkubasi
L1 (2)

0,0044b
0,0794b
0,2000b
0,8170b
6,6300a

Suhu Inkubasi (oC)


S1
S2
S3
(28 0C)
(30 0C)
(32 0C)
0,0080
0,0010 e 0,0100
bcde

Rerata

0,0063 b

bcd

L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)

0,0182 a
0,0137 ab
0,0136 ab

0,0012 e
0,0012 e
0,0012 e

0,0115 bc
0,0041 de
0,0057 cde

L5 (10)

0,0021 e

0,0013 e

0,0016 e

0,0103 a
0,0063 b
0,0068
ab

Rerata yang diikuti huruf yang berbeda


pada kolom maupun lajur menunjukkan

279

0,0016 c

Rerata
Keterangan :

0,0556

0,0058

0,0329

Rerata yang diikuti huruf yang berbeda


pada kolom maupun lajur menunjukkan
ada beda nyata berdasarkan uji jarak
berganda duncan pada jenjang nyata 5%

Mikrobia
selulotik
umumnya
akan
mensekresikan tiga jenis enzim selulase, yaitu
endoglukanase atau carboxymethycelullase (CMCase), eksoglukanase dan -glukosidase. Secara
sinergis ketiga enzim ini mendegradasi selulosa
menjadi glukosa. CMC-ase memecah ikatan
hidrogen yang didalam struktur kristalin selulosa.
Eksoglukanase memotong ujung-ujung rantai
individu selulosa sehingga menghasilkan disakarida
dan tersakarida misalnya selobiosa dan -glukanase
menghidrolisis disakarida dan tersakarida menjadi
glukosa [13].
Waktu inkubasi tidak berpengaruh terhadap
aktivitas enzim eksoglukanase, namun pada 4 hari
inkubasi
menghasilkan
aktivitas
enzim
eksoglukanase yang paling tinggi meskipun tidak
signifikan. Diduga hal ini karena waktu inkubasi
pada 4 hari mikroorganisme sedang memasuki fase
eksponensial dimana pertumbuhan jamur sangat
pesat. Sehingga enzim yang dihasilkan juga paling
tinggi.

Lama inkubasi berpengaruh terhadap aktivitas


endo-glukanase. Pada lama waktu inkubasi selama
4 hari menghasilkan enzim endoglukanase dengan
aktivitas paling tinggi. Adanya interaksi antara suhu
dan lama inkubasi terhadap aktivitas enzim
endoglukanase tertinggi terdapat pada suhu
inkubasi 28 0C dengan lama inkubasi selama 4 hari
yaitu
sebesar
0,0182

mol
glukosa
dilepas/menit/ml larutan kultur. Diduga pada hari
ke 4, inkubasi pada suhu 28-32 0C pertumbuhan
jamur sudah memasuki fase eksponensial. Dimana
pertumbuhan jamur sangat pesat, sehingga enzim
yang dihidrolisis juga paling tinggi.
Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih
sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan
menurun pada hari ke-10. Hal ini mengikuti pola
pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami
beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase
eksponensial, fase stasioner dan fase kematian.
Organisme
pembentuk
spora
biasanya
memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial.
Jadi dapat diduga bahwa pada saat aktivitas enzim
yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada
pada fase tersebut [14]

Kadar gula reduksi


Pada Tabel 4. menunjukkan bahwa suhu inkubasi
berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi.
Gula reduksi tertinggi terdapat pada suhu inkubasi
30 0C. Hal ini dikarenakan pertumbuhan jamur T.
Reesei paling baik untuk pertumbuhannya yaitu
pada suhu 30 0C, dengan jumlah jamur 1,20 x 10 9,
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.

Aktivitas enzim ekso-glukanase


Dari Tabel 3. terlihat bahwa suhu inkubasi
tidak berpengaruh terhadap aktivitas enzim eksoglukanase dalam enzim selulase kasar. Hal ini
terjadi karena jamur yang digunakan dominan
menghasilkan enzim endoglukanase dibanding
eksoglukanase sehingga selisih aktivitas enzim
dengan berbagai suhu inkubasi relative kecil,
sehingga tidak berbeda nyata.

Tabel 4. Kadar gula reduksi ekstrak enzim selulase kasar


(%)
Suhu Inkubasi (oC)
Rerata
Waktu
S1
S2
S3
Inkubasi
(28 0C)
(30 0C)
(32 0C)
L1 (2)
0,0054
0,0199
0,0131
0,0128
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)

Tabel 3. Aktivitas enzim ekso-glukanase (U/ml)

Waktu
Inkubasi
L1 (2)
L2 (4)
L3 (6)
L4 (8)
L5 (10)
Rerata
Keterangan :

Suhu Inkubasi
S1
S2
(28 0C)
(30 0C)

0,1156
0,3002
0,1704
0,1627
0,1006
0,8495

0,1621
0,2500
0,2215
0,1527
0,1727
0,9589

(oC)

L5 (10)
Rerata

Rerata

S3
(32 0C)

0,3142
0,2071
0,1185
0,1621
0,1408
0,9427

0,0187
0,0171
0,0167
0,0053
0,0631 b

Keterangan :

0,1973
0,2524
0,1701
0,1592
0,1380

0,0189
0,0153
0,0136
0,0144
0,0823 a

0,0158
0,0092
0,0133
0,0065
0,0578 b

0,0178
0,0138
0,0145
0,0087

Rerata yang diikuti huruf yang berbeda


pada kolom maupun lajur menunjukkan
ada beda nyata berdasarkan uji jarak
berganda duncan pada jenjang nyata 5%

Pada perhitungan jumlah jamur Trichoderma


reesei, didapat hasil bahwa pada suhu 30 0C
menunjukkan pertumbuhan jamur yang paling
banyak. Sehingga kandungan gula reduksi yang
dihasilkan oleh mikrobia akan semakin banyak.
Jamur yang dihasilkan menghidrolisis selulosa
menjadi enzim selulase, dimana enzim selulase
terdiri dari tiga enzim penyusunnya, salah satunya

Rerata yang diikuti huruf yang berbeda


pada kolom maupun lajur menunjukkan
ada beda nyata berdasarkan uji jarak
berganda duncan pada jenjang nyata 5%

280

adalah enzim -glukosidase. Enzim -glukosidase


mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa
[13].
Jumlah jamur pada suhu 30 0C menghasilkan
jumlah jamur yang tinggi dan dapat menghasilkan
enzim -glukosidase juga tinggi. Sehingga dapat
menghasilkan glukosa yang tinggi pula. Hal ini
dapat dilihat bahwa pada suhu 30 0C menghasilkan
gula reduksi paling tinggi.
Dari Tabel 4. dapat dilihat bahwa waktu
inkubasi 4 hari dihasilkan gula reduksi tertinggi
sebesar 0,0178 %, meskipun tidak signifikan karena
waktu inkubasi pada 4 hari mikroorganisme sedang
memasuki fase eksponensial dimana pertumbuhan
jamur sangat pesat. Sehingga enzim -glukosidase
yang dihasilkan paling tinggi dan menghasilkan
kadar gula reduksi paling tinggi.

Dengan Berbagai Metode Delignifikasi.


Prosiding seminar nasinal PATPI, 2013.
[5] Muchtadi D., S.R Palupi dan M. Astawan,
Enzim dalam Industri Pangan, PAU Pangan
dan Gizi IPB, Bogor, 1992.
[6] Gunam I. B. W. dan Antara N. S. Study on
Sodium Hydroxide Treatment of Corn Stalk to
Increase
Its
Cellulose
Saccharification
Enzymatically by Using Culture Filtrate of
Trichoderma reesei. Gitayana, Agric. Technol.
J, No. 5 (1), 1999, hal 34-38
[7] Adney B. and Baker J. Measurement of
Cellulose Activities, CO: National Renewable
Energy Laboratory report. NREL/TP-5142628, 1996.
[8] Miettinen A, Trichoderma reesei Strains for
Production of Cellulase for the Textile
Industry. Anal. Chem. No. 31, 2004, hal 425
430
[9] Kamila L. Pencirian Selulotik Isolat Khamir
Rhodotorula sp. dari Tanah Hutan Taman
Nasional Gunung Halimun. Skripsi. Jurusan
Kimia. IPB, Bogor, 2003.
[10] Sudarmadji S., B. Haryono. Dan Suhardi,
Prosedur Analisa Bahan Makanan. Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1984.
[11] Enari, TM. Microbial Cellulose. Di dalam
W.M. Fogarty (ed.) Microbial Enzyme and
Biotechnology Applied Science Published, New
York, 1983.
[12] Sadler J.N. Screening of Highly Cellulolytic
Fungi and The Action of Their Cellulase
Enzyme System. Enzyme Microbiology
Technology No. 4, 1982 hal 414 418
[13] Winarno, F.G.,Enzim Pangan. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995
[14] Anwar N. A. Widjaja., dan S. Winardi.
Peningkatan Unjuk Kerja Hidrolisis Enzimatik
Jerami Padi Menggunakan Campuran Selulase
Kasar dari Trichoderma reesei dan Aspergillus
niger, Institut Teknologi Sepuluh November.
Makara. Sains, No. 14(2), 2010, hal 113-116.

4. KESIMPULAN
Suhu inkubasi yang diberikan berpengaruh
terhadap kadar gula reduksi, tetapi tidak
berpengaruh terhadap jumlah jamur Trichoderma
reesei, aktivitas enzim endo-glukanase, aktivitas
enzim ekso-glukanase dan kadar total nitrogen.
Waktu inkubasi yang diberikan berpengaruh
terhadap jumlah jamur Trichoderma reesei dan
aktivitas enzim endo-glukanase, tetapi tidak
berpengaruh terhadap kadar gula reduksi, aktivitas
enzim ekso-glukanase dan kadar total nitrogen.
Pengaruh suhu dan waktu inkubasi terbaik
berdasarkan aktivitas enzim endo-glukanase
tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu
inkubasi 28 0C dengan waktu inkubasi selama 4
hari yaitu dengan jumlah jamur Trichoderma reesei
sebanyak 1,30 x 106 CFU/gram, aktivitas enzim
endo-glukanase sebesar 0,0182 mol glukosa
dilepas/menit/ml, aktivitas enzim ekso-glukanase
0,3002 U/ml, kadar gula reduksi sebesar 0,0187 %
dan kadar total nitrogen sebesar 0,6829 %.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Deptan, Pedoman Pengelolaan Limbah Industri
Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan Lingkungan,
Ditjen
PPHP,
Deptan.
2006
http://www.agribisnis.deptan.go.id.
[25
November 2012].
[2] Loebis B. dan Tobing P.L. Potensi
pemanfaatan limbah kelapa sawit Buletin
Perkebunan, No. 20, 1989, hal 49-56.
[3] Tun Tedja Irawadi. Produksi Enzim
ekstraselular (Selulase dan Xylanase) dari
Neurospora sitophilada Substrat Limbah
Kelapa Sawit. Disertasi. Fakultas Pascasarjana
IPB, Bogor, 1991.
[4] Ngatirah, Maria Ulfah, Mustofa AR dan selvi A.
Pretreatment Limbah Biomassa Kelapa Sawit

281

Potensi Isolat Usar sebagai Kandidat Kapang


untuk Proses Pembuatan Inokulum Tempe Kaya Isoflavon
Sri Pudjiraharti1, T. A. Budiwati1, I. Sofyan2
1

Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl.Sangkuriang Bandung, 40135
Telpon/Faks (022)-2503051/2503240.
2
Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan
Jl. Dr. Setiabudi, Bandung No.93
Telpon/Faks (022)-2019433/2009267
Contact email: praharti@yahoo.com

Abstrak. Pada penelitian ini, isolat-isolat kapang amilolitik dan proteolitik Usar yang diperoleh dari daerah
Yogyakarta yaitu Pi1, Pi5, Pi10, Pi 11, Pl7, Pl9, Pl 13 dan Pl19 diuji potensinya dalam memproduksi Glukosidase pada substrat kedele. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 oC selama 48 jam. Analisa aktifitas Glukosidase dan kadar protein enzim dilakukan setiap 24 jam. Isolat Pl 19 dengan aktifitas enzim tertinggi
dipilih untuk proses pembuatan inokulum tempe dengan substrat beras dengan variasi konsentrasi starter isolat
Pl 19 yaitu 1, 2, dan 3 % b/b. Fermentasi inokulum dilakukan pada suhu dan waktu yang sama. Hasil analisis
inokulum memperlihatkan adanya kenaikan aktifitas unit -Glukosidase dari konsentrasi starter 1 sampai 2%,
kemudian aktifitas hampir konstan pada konsentrasi starter 3 %. Nilai aktifitas spesifik enzim teramati rendah
dan relatif tidak jauh berbeda pada semua konsentrasi starter. Aktifitas -Glukosidase tertinggi 11 U/g
diperoleh pada inokulum dengan konsentrasi starter 2 %, sementara aktifitas unit terendah 7,2 U/g teramati
pada inokulum dengan konsentrasi starter 1 %. Teramati pula adanya kenaikan aktifitas protease yang disertai
dengan kenaikan kadar protein dan penurunan aktifitas spesifik enzim pada setiap kenaikan konsentrasi starter.
Isolat Pl 19 dengan konsentrasi starter 2 % dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengembangan inokulum tinggi Glukosidase.
Kata kunci: Isolat usar, inokulum tempe, -Glukosidase, protease
Abstract. In this study, amylolytic and proteolytic fungi isolates of Usar obtained from Yogyakarta namely Pi1,
Pi5, Pi10, Pi 11, PL7, PL9, PL19 Pl 13 were tested its potential in producing -glucosidase on soybean
substrate. Fermentation was carried out at 30 C for 48 hours. Analysis of -glucosidase activity and enzyme
protein level were conducted every 24 hours. Pl 19 isolate with the highest enzyme activity was chosen for the
process of tempe inoculums making with rice substrate and variation of Pl 19 isolate starter concentration of 1,
2, and 3% w/w. The fermentation was carried out at the same temperature and time. The results of inoculums
analysis showed an increase in unit activity of -glucosidase from starter concentration of 1 to 2%, and the
activity was almost constant at starter concentration of 3%. The -glucosidase specific activity was observed
relatively low and not much different at all concentrations of starter. The highest -glucosidase activity of 11 U /
g was obtained at a concentration of 2%, while the lowest of 7.2 U /g was observed in inoculums with starter
concentration of 1%. It was also observed an increase of protease activity followed by the increase of protein
content and a decrease of protease specific activity at every increase of starter concentration. Pl 19 isolate with
starter concentration of 2% was further used for the development of rich -glucosidase inoculums.
Keywords: Usar, Tempe inoculums, -Glukosidase, protease
1.

PENDAHULUAN

Usar telah diketahui semenjak dahulu sebagai


sumber kapang untuk proses pembuatan tempe secara
tradisional. Usar berasal dari daun pembungkus
tempe, biasanya dari daun waru, pisang ataupun jati,
dimana kapang tempe melekat pada lembaran daundaun tersebut dan kemudian dikeringkan dan
dihaluskan secara sederhana menggunakan tangan.
Saat ini, Usar sudah jarang digunakan untuk
pembuatan tempe. Proses pembuatan tempe telah
berkembang maju menggunakan peralatan yang lebih
higienis dan tidak lagi menggunakan usar, tetapi
menggunakan konsentrat inokulum bubuk/ragi dengan
kualitas yang lebih baik sehingga
tempe yang
dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik pula dan

stabil. Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan


isolasi kapang Rhizopus tinggi amilolitik dan
proteolitik dari usar yang berasal dari daerah Piyungan
(Pi) dan Playen (Pl), Yogyakarta. Pada penelitian ini,
ingin diketahui potensi dari solat-isolat tersebut dalam
memproduksi enzim -Glukosidase, yaitu suatu enzim
yang dapat mengkonversi isoflavon (kedele) dari
bentuk glikosida (terikat dengan gula) menjadi bentuk
aglikonnya yang bebas (Gambar 1). Isolat terpilih
produser -Glukosidase akan digunakan untuk
pengembangan inokulum tempe tinggi -Glukosidase
untuk pengembangan tempe kaya isoflavon. Isoflavon
bentuk aglikon dilaporkan memiliki sifat antimikroba
[1], antioksidan [2],
dan antikanker [3]. Bila
dikonsumsi saat remaja dapat menurunkan resiko
kanker payudara di kemudian hari [4].

282

aktifitas -Glukosidase mengacu pada metoda yang


telah dilaporkan sebelumnya [8].
3.

BAHAN DAN METODA

Bahan dan Mikroorganisme


Kedele dan beras diperoleh dari sebuah pasar di
kota Bandung. Isolat kapang diperoleh dari usar daun
waru yang dibeli dari sebuah pasar di daerah Playen
dan Piyungan Yogyakarta.

Aktifitas B-glukosidase (U/g)

Seleksi Isolat Usar Produser -glukosidase


-glukosidase pada umumnya dihasilkan oleh
berbagai jenis kapang seperti Rhizopus oryzae [9],
Aspergillus oryzae [10], Aspergillus niger dan
Trichoderma reseei [8] dengan karakteristik dan level
aktifitas yang berbeda-beda. Isolat kapang usar yang
digunakan pada penelitian ini, dan telah diidentifikasi
merupakan genus Rhizopus, menunjuk kan tingkat
aktifitas -glukosidase yang beragam ( Gambar 2.).
Hal ini disebabkan
karena setiap isolat diduga
memiliki spesies yang berbeda sehinga apapun enzim
yang dihasilkan dapat diekpresikan oleh gen yang
berbeda pula. Aktifitas -glukosidase tertinggi (9,0
U/g kedele) dicapai setelah 48 jam fermentasi,
dihasilkan oleh isolat Pl19.

Gambar 1. Struktur Molekul Isoflavon Kedele [5]

2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fermentasi Kedele
Isolat kapang yang dipelihara pada media Potato
Dektrosa Agar (PDA), suhu 30 oC, selama seminggu
disuspensikan dalam larutan tween steril. Suspensi
isolat kapang diinokulasikan 0.2 %, b/v pada kedele
steril dan diaduk merata. Kedele yang telah
diinokulasi ditempatkan pada plastik yang diberi
lubang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam.
Pengambilan sampel dilakukan setiap 24 jam.
Pembuatan Starter
Beras dan air dengan perbandingan 1: 1
disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Beras
steril diinokulasi dengan suspensi spora isolat kapang
2 %, b/v, diaduk merata dan ditempatkan dalam baki
alumininium berlubang dengan tutup . Inkubasi adalah
pada suhu 30 oC dilakukan selama dua hari. Beras
terfermentasi selanjutnya dikeringkan pada suhu 50 oC
selama 12 sampai 18 jam dan kemudian diblender
menjadi bubuk halus.

10,0
8,0
6,0
24 Jam
4,0

48 Jam

2,0
0,0
Pi 1 Pi 5 Pi 10Pi 11 Pl7 Pl9 Pl13 Pl19
Isolat Usar

Gambar 2. Aktifitas unit -glukosidase pada fermentasi


kedele menggunakan berbagai isolat usar pada waktu
fermentasi 24 dan 48 jam.

Nampak pula bahwa aktifitas enzim semakin


meningkat dari 24 sampai 48 jam fermentasi. Kadar
protein enzim pada beberapa isolat mengalami
kenaikan dari 24 sampai 48 jam fermentasi dan
sebaliknya menurun pada isolat-isolat lainnya (Tabel
1.).

Pembuatan Inokulum
Beras dan air dengan perbandingan 1: 1
disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Beras
steril diinokulasi dengan starter isolat kapang 1 %, 2
% dan 3 %, b/b, diaduk merata dan ditempatkan dalam
baki alumininium berlubang dengan tutup. Inkubasi
adalah pada suhu 30 oC dilakukan selama dua hari.
Beras terfermentasi selanjutnya dikeringkan pada suhu
50 oC selama 12 sampai 18 jam dan kemudian
diblender menjadi bubuk halus.
Analisa Kimia
Kadar protein terlarut enzim ditentukan dengan
metoda Lowry [6], penentuan aktifitas protease
dilakukan menurut metoda Kunitz [7] dan pengukuran

Tabel 1. Kadar protein terlarut pada fermentasi kedele


menggunakan berbagai isolat usar.

Isolat

Waktu Inkubasi
(Jam)

Protein
(mg/g Kedele)

Pi1

24

0.58

48

0.96

24

0.84

48

1.61

24

0.98

48

0.59

24

0.83

48

0.46

24

0.36

48

0.70

24

0.45

Pi5
Pi10
Pi11
Pl7
Pl9

283

Pl13
Pl19

48

0.57

24

0.75

48

0.86

24

1.22

48

0.74

Aktifitas Spesifik (U/mg P)

Kandungan protein ini erat kaitannya dengan


aktifitas protease kapang selama fermentasi.
Kemungkinan keragaman spesies isolat-isolat kapang
usar disamping memperlihatkan keragaman nilai
aktifitas unit -glukosidase dan kandungan protein
enzim, juga menyebabkan keragaman tingkat aktifitas
spesifik -glukosidase (Gambar 3.).
16,0
12,0
8,0

24 Jam
48 Jam

4,0
0,0
Pi 1 Pi 5 Pi 10Pi 11 Pl7 Pl9 Pl13 Pl19
Isolat Usar

Gambar 3. Aktifitas spesifik -glukosidase pada fermentasi


kedele menggunakan berbagai isolat usar.

Nilai aktifitas spesifik sesungguhnya lebih


menggambarkan keberadaan protein enzim-enzim lain
selain -glukosidase yang disekresikan oleh isolatisolat tersebut selama fermentasi kedele. Pl 19
menghasilkan protein termasuk enzim-enzim lain
dalam jumlah yang lebih tinggi dari Pi 11 sehingga

nilai aktifitas spesifiknya lebih rendah. Namun untuk


potensi aktifitas yang dilihat adalah kemampuan
enzim dalam mengubah substrat menjadi produk,
dalam hal ini Pl 19 memiliki kemampuan tertinggi
dalam
mengubah
substrat
p-nitrifenil--Dglukopiranosida menjadi p-nitrofenol dan glukosa
pada uji aktifitas enzim, jadi sesuai dengan nilai
aktifitas unit. Dalam kesempatan ini, satu unit aktifitas
enzim ini didefinisikan sebagai jumlah mg pnitrofenol yang dihasilkan oleh sejumlah enzim pada
kondisi reaksi yang diterapkan.
Isolat-isolat
usar
juga
memperlihatkan
karakteristik fisik hasil fermentasi kedele yang
berbeda-beda untuk setiap isolat. Beberapa isolat
menghasilkan kedele terfermentasi yang berwarna
putih dan kompak karena jalinan miselia yang
membungkus kedele sejak waktu fermentasi 24 jam
sampai 48 jam, namun beberapa isolat pada waktu
fermentasi 48 jam membentuk spora pada bagian tepi
sehingga kedele terfermentasi nampak berwarna hitam
pada bagian tepinya. Spora pada umumnya muncul
pada fermentasi dengan Rhizopus terutama pada
daerah-daerah di mana tingkat aerasinya tinggi seperti
pada bagian tepi atau ujung (Tabel 2.).
Bila dicermati, isolat yang memiliki aktifitas glukosidase tinggi umumnya menunjukkan adanya
pembentukan spora pada waktu fermentasi 48 jam, hal
ini mengindikasikan bahwa pada isolat tertentu
biosintesa -glukosidase adalah maksimum pada saat
terjadinya proses sporulasi, di mana pada saat ini
sebagian asam-asam amino hasil hidrolisis protease
digunakan untuk pembentukan material-material
penyusun spora sehingga kandungan protein terlarut
dapat menurun.

Tabel 2. Pengamatan fisik hasil fermentasi kedele oleh berbagai isolate usar
Isolat
WaktuInkubasi
Tekstur
Warna
Aroma
(Jam)
Pi1
Pi5
Pi10
Pi11
Pl7

Pl9

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Putih (Miselia)

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Putih (Miselia)

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Putih (Miselia)

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Hitam di tepian

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Hitam di tepian
(Spora)

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Hitam di tepian
(Spora)

Khas tempe

284

Pl19

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Putih (Miselia)

Khas tempe

24

Kurang padat

Putih (Miselia)

Bau kedele

48

Padat

Hitam di tepian
(Spora)

Khas tempe

Aplikasi Isolat Pl 19 untuk Inokulum Tempe


Isolat Pl 19 selanjutnya dipilih untuk proses
pengembangan inokulum tempe kaya isoflavon.
Terlebih dahulu isolate PL 19 disiapkan dalam bentuk
starter bubuk. Hal ini untuk mempermudah penggunan
terutama bila akan dilakukan pembuatan inokulum
dalam skala yang lebih besar sehingga tidak perlu
menggunakan biakan murni isolat dalam jumlah
banyak. Untuk melihat pengaruh jumlah sel isolat
terhadap kualitas inokulum terutama kandungan
protein (enzim), aktifitas -glukosidase dan aktifitas
protease, starter Pl 19 ditambahkan bervariasi 1, 2,
dan 3 % b/b. Seperti disarikan pada Tabel 3, terlihat
adanya kenaikan kandungan protein terlarut yang
semaikn meningkat secara signifikan dengan naiknya
konsentrasi isolat Pl 19 dari 1 % sampai 3 % . Analisis
Tabel 3. Kadar protein terlarut inokulum dengan variasi
konsentrasi starter isolat PL 19

Konsentrasi Starter
(%, b/b)

Protein
(mg/g Inokulum)

15.1

23.8

28.4

statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata


pada konsentrasi protein pada setiap konsentrasi
starter menurut uji Duncan dengan taraf nyata 5 %.
Kenaikan kandungan protein ini berkorelasi dengan
kenaikan aktifitas protease ( Gambar 4), di mana
kenaikan konsentrasi starter menyebabkan kenaikan
aktifitas enzim protease. Hal ini dapat dimengerti,
semakin tinggi jumlah sel produser enzim akan
semakin tinggi jumlah enzim yang diproduksi
sepanjang nutrisi masih mencukupi. Namun aktifitas
protease pada konsentrasi starter 1 sampai 2 %, hasil
analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji Duncan dengan taraf nyata 5 %. Aktifitas
protease maksimum terukur cukup tinggi 28.4 mg/g
inokulum. Aktifitas spesifik protease inokulum
teramati sangat rendah, hal ini menunjukkan tingginya
kandungan protein terlarut dalam inokulum.
sampai 2 %, namun pada konsetrasi 2 sampai 3 %
terjadi penurunan meskipun tidak signifikan (Gambar
5.).

12,0

Aktifitas B-Glukosidase

Pl13

Dalam inokulum, diperkirakan selain protease dan glukosiadase diproduksi pula enzim-enzim lain seperti
-amilase, glukoamialse, enzim selulase yang lain dan
sebagainya.

11,0

9,0
7,2
6,0

U/g Inok.
U/mg P

3,0
0,0
1

Aktifitas Protease

10,4

50

Konsentrasi Starter Pl 19 (%)

40

Gambar 5. Aktifitas -glukosidase pada inoukulum dengan


variasi konsentrasi starter isolat PL 19.

30
U/g Inok.
20

U/mg P

10
0

1
2
3
Konsentrasi Starter Pl 19 (%)
Gambar 4. Aktifitas protease pada inoukulum
variasi konsentrasi starter isolat PL 19.

dengan

Aktifitas -glukosiadase terlihat


meningkat
secara signifikan pada konsentrasi starter isolat Pl 19 1

Konsentrasi starter isolat Pl 19 2 %, b/b dianggap


sudah cukup optimum untuk preparasi inokulum
dengan aktifitas -glukosiadase maksimum, 11 U/g
inokulum. Konsentrasi starter isolat Pl 19 lebih besar
dari 3 %, b/b diperkirakan sudah tidak efektip lagi
untuk preparasi enzim dengan fokus kajian aktifitas glukosiadase. Aktifitas protease yang cukup tinggi
pada inokulum menyebabkan kandungan protein
terlarut
enzim yang tinggi pula dan hal ini
mengakibatkan rendahnya aktifitas spesifik enzim
baik -glukosiadase maupun protease. Rendahnya
aktifitas spesifik enzim tidak berpengaruh pada
kualitas inokulum karena aktifitas unit lebih

285

mencerminkan
sesungguhnya.

potensi/kemampuan

enzim

yang

4. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan analisis disimpulkan
bahwa isolat Pl19 memperlihatkan potensi aktifitas glukosidase tertinggi dibandingkan isolat usar yang
lain yang diuji. Pada pembuatan inokulum tempe
dengan substrat beras, dalam
bentuk starter
konsentrasi 2 %, isolat Pl19 mampu menunjukkan
aktifitas enzim -Glukosidase tertinggi 11 U/g
inokulum. Oleh karena itu, Pl19 dapat dimanfaatkan
lebih lanjut untuk pengembangan inokulum tinggi glukosidase untuk pengembangan tempe kaya
isoflavon.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibantu oleh anggaran pemerintah
melalui kegiatan tematik DIPA Pusat Penelitian Kimia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terima kasih
diucapkan pada Rina Dhammayanti yang telah
membantu penelitian ini.

1.

2.

DAFTAR REFERENSI
K. Ulanowska, A. Traczyk,G. Konopa and G.
Wegrzym. Differential antibacterial activity of
genistein arising from global inhibition of DNA,
RNA and protein synthesis in some bacterial
strains. Arch. Microbiol., vol. 184, no. 5, 2006,
hal. 271-278
M.B. Ruiz-Larrea, A.R. Mohan, G. Paganga, N.J.
Miller, G.P. Bolwell, C.A. Rice-Evans.
Antioxidant
activity
of
phytoestrogenic
isoflavones. Free Radic. Res. vol. 26, no. 1, 1997,
hal.63-70.

3.

A.
Rusin
and
Z.Krawczyk.
Genistein
Derivatization From a Dietary Supplement to
aPharmaceutical Agent, Soybean and Health,
Prof. Hany El-Shemy (Ed.), ISBN: 978-953-307535-8,
InTech,
2011.
Available
from:
http://www.intechopen.com/books/soybean-andhealth/genistein-derivatization-from-adietarysupp-lement -to-a-pharmaceutical-agent.
4. X.O. Shu, F. Jin, and Q. Dai Q. Soyfood intake
during adolescence and subsequent risk of breast
cancer among Chinese women. Cancer
Epidemiol. Biomarkers Prev. vol.10, no. 5, 2001,
hal. 483-488.
5. http://afrodita.rcub.bg.ac.rs/~todorom/tutorials/ra
d12.html
6. Lowry, O.H., Rosebrough, N.J., Farr, A.L., and
Randall, R.J. J.Biol.Chem. vol. 193. no. 265,
1951.
7. M. Kunitz. Crystalline soybean trypsin inhibitor.
II. General properties. J.Gen Physiol., vol. no. 30,
1947, hal.291310.
8. Y. Takii et.al. Production and characterization of
-glucosidase from Rhizopus oryzae MIBA348. J.
Biol. Macromol., vol. 5, no. 1, 2005, hal. 11-16.
9. Chauve et al . Comparative kinetic analysis of
two fungal -glucosidases. Biotechnology for
Biofuels, vol.3, no. 3, 2010.
10. J. Langston, N. Sheehy, and F. Xu. Substrate
specificity of Aspergillus oryzae family 3 glucosidase. Biochimica et Biophysica Acta
(BBA) - Proteins and Proteomics, vol. 1764, no.5,
2006, hal. 972978.

286

Anda mungkin juga menyukai