dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan
yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah
satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh
faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh
sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan
sekitar dari penyebaran infeksi.
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:[1]
Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan
karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:
pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi.
Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah
terutama pada pembuluh kecil.
aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.
kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan
sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal
sebagai ekstravasasi.
KLASIFIKASI RADANG
Menurut lamanya radang:
1. Radang akut: timbul tiba-tiba, lamanya 1-3 minggu. Kemudian pasien akan sembuh atau mati.
2. Radang sub-akut: biasanya berlangsung berangsur-angsur dan berbulan-bulan.
3. Radang kronis: dapat berlangsung sampai bertahun-tahun, misalnya TBC.
Definisi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih
luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki
atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono,
1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu
(panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zatzat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini
menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera
jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan,
pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan
dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang
disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses
fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa
macam
produk
reaksi
sistem
komplemen,
produk
reaksi
sistem
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang
lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup
pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang
utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda
radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu
functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran,
2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi
pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat
terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).
sebagian
disebabkan
hiperemi
dan
sebagian
besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringanjaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah
peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi
belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang
meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan
nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit.
Perubahan
penampang
pembuluh
darah
akan
mengakibatkan
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului
oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran
darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya
anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca
kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali
pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada
tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan
intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah
terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi
waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul
dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak
setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan
sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan
gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri
dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabangcabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis
yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak
cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal
ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan
tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada
pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit
cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui
saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah
putih
yang
melakukan
emigrasi.
Cairan
ini
tertimbun
sebagai
akibat
bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya
produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.
Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa
didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan
sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat
dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi
melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi
partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini
terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut
fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup
lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan
melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi.
Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme.
Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang
(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan
dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan
radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan
infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi
jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis
dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan
radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak
dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak
awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas
rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut.
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten
oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat
hancur
(misalnya
silika),
penyakit
autoimun.
Bila
suatu
radang
berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena
banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka
batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik
sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai
penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa
cedera
langsung
merusak
endotelium
pembuluh
darah
yang
menimbulkan
kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera
mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh.
Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang
dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai
macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis
jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator
kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja
bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator.
Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang
cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal
sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan.
Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator
yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin
dan
serotonin),
protease
plasma
(sistem kinin,
komplemen,
dan
koagulasi
leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal,
radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit)
(Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar
histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel
mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel
basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak
aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang
dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma
atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap
reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut
anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida
(misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran,
2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan
permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin
bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang
ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena vaskular,
histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh
histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek
mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat
menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas vaskular dan histamin tidak
berperan
pada
tahap
tertunda
yang
dipertahankan
pada
peningkatan
permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator
vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat
granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin
dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat
memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai
mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &
Kumar, 1995).
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga
faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan
komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor
Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII
adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk
inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di
lokasi
jejas
kininogen
mengalami
endotelium.
Dengan
(HMWK)/kininogen
perubahan
bantuan
berat
bentuk
kofaktor
molekul
menjadi
tinggi,
faktor
high-molecular-weight
faktor
XIIa.
XII
Faktor
kemudian
XIIa
dapat
membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein
(Mitchell & Cotran, 2003).
Aktivasi
sistem
kinin
pada
akhirnya
menyebabkan
pembentukan
diaktifkan
menyebabkan
oleh
dilatasi
faktor
XIIa.
arteriola,
Seperti
halnya
meningkatkan
histamin,
permeabilitas
bradikinin
venula
dan
penggumpalan
pada
keseluruhan
vaskular.
Plasminogen
activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein
adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin.
Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang
memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan
penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi
biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat
terjadi oleh apa yang disebut jalur klasik yang tercetus oleh pengikatan C1
pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks,
atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk
properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya
sistem
komplemen
akan
memakai
urutan
efektor
akhir
bersama
yang
vasodilatasi
dengan
cara
menginduksi
sel
mast
untuk
neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel
bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan
makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell &
Cotran, 2003).
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon
polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam
linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai
komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari
fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik,
kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a.
Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur
utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase
dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid)
dapat memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E 2 (PGE2),
PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk
tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH 2
sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur
siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu.
Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga
produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit
yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal
tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang
membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat
agregasi
trombosit.
PGD2
merupakan
metabolit
utama
dari
jalur
siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE 2 dan PGF2?, PGD2
menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat
dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran,
2003).
karakteristik
yang
hidroperoksieikosatetranoik)
terbaik.
merupakan
5-HPETE
derivat
(asam
5-hidroperoksi
5asam
arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah
menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE
adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan
agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC 4, LTD4,
dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis
menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk
lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari
intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik
pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan
antagonis
vasokonstriksi
yang
distimulasi
LTC 4.
Aktivitas
lainnya
lisosom
yang
terdapat
dalam
neutrofil
dan
monosit
oleh
fagositosis
yang
terhalang
karena
ukurannya
besar
dan
permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom
menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber
fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins &
Kumar, 1995).
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung
bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting pada radang
akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen
melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan
penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin
penting pada radang kronik (Robbins & Kumar).
c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat
fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa
radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas
vaskular
dengan
cara
merusak
endotel
kapiler.
Selain
itu,
ion-ion
akan