Anda di halaman 1dari 13

INFLAMASI

Posted by Materi Seputar Kedokteran on Saturday, June 18, 2011

Inflamasi / Radang

Definisi

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan
atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
radang (Rukmono, 1973).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah
kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar
(sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan
oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi
cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran
kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel
darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan
fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono,
1973).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan
dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler
dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan
pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah
histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen,
produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin
yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).

Tanda-tanda radang (makroskopis)

Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda radang
ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah
dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga
saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan
tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio
laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).

Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke
daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler
meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula
oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke
permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel
yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa
merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam
mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi
dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses
radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah
dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein
plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan
melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi
singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi
meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman
venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular
pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan,
bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran
darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah
terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak
tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas.
Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke
dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-
mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang
bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang
berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang
jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein
plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan
pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding
kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar,
1995).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali
mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini
tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai
akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang
menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek
terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing,
termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya
membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti
(Robbins & Kumar, 1995).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah
menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut
hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan
sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian
sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah.
Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins &
Kumar, 1995).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas.
Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat
berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor
kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa
jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau
eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit
dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas,
tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat
dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada
permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada
pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat
pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup
lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke
dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah
mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian
mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Robbins & Kumar, 1995).

2. Radang kronis

Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga
bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan
penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan
vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan
perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran,
2003).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau
responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung
bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau
terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal
merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan
penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya,
yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya
silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut
kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka
batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya
berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).

Mediator kimia peradangan

Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya
jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium
pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak
kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh.
Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat
menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena
pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada
hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh.
Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang
memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia
lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari
respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang
diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi
golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan
koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit
(enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang
berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins & Kumar,
1995).

1. Amina vasoaktif

Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam
granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh.
Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan
histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang
dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi
imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment
komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin,
neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran,
2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan
pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-
reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam
fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase.
Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu
diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas
vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada peningkatan
permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin


ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin
difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang
pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada
manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

2. Protease plasma

Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling
berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi
awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII
adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga bertemu
kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan
kofaktor high-molecular-weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII
kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat
serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003).

Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan
polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein
ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu
prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan
dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin
tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke
dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel.
Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan
perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran,
2003; Robbins & Kumar, 1995).

Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang
kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin memperkuat
perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan
fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell &
Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme
ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan
gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem pembekuan dan
mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh
endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam
perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease
multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).

Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas
maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen
ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang tercetus oleh
pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA
teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D).
Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir
bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang
secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &
Kumar, 1995).

Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada
fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin)
meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel
mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan
kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila
melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis
neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran,
2003).

a. Metabolit asam arakidonat


Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang
utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi
sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid melalui
fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator
inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari
dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan
lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap
langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?, PGI2


(prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh
kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif
jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit
mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2
merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium
kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang
membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2
merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan
PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam
patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang
kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk
dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik)
merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE
(asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi
golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4),
LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi
dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan
meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler.
Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat
membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi
baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis vasokonstriksi
yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika
menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).

b. Produk leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator
inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan
vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan permukaan yang
tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan pembentukan bradikinin.
Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat
(Robbins & Kumar, 1995).

Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk proses
radang. Pelepasannya penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka
terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan penimbunan
dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang kronik (Robbins &
Kumar).

c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki
lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan
permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion superoksida dan
hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan
dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).

Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena menyebabkan
agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga
dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular, adhesi leukosit
dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).

Daftar Pustaka

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C.,
Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan
2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I., Tengadi,
K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P., penerjemah).
Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V.
Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium
patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987).

Inflamasi didefinisikan sebagai respon fisiologis dari jaringan hidup terhadap infeksi atau iritasi untuk
melindungi kerusakan dan perbaikan jaringan. Inflamasi melibatkan aktivasi enzim, pelepasan mediator,
migrasi sel, kerusakan dan perbaikan jaringan.48 Inflamasi umumnya dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
inflamasi akut, respon imun, dan inflamasi kronis. Reaksi inflamasi akut biasanya berlangsung cepat
dengan membersihkan agen merugikan dan sedikit kerusakan jaringan. Reaksi inflamasi kronis terjadi
apabila proses inflamasi akut gagal dan bertahan selama durasi yang lebih lama dengan berbagai tingkat
kerusakan jaringan dan melibatkan pelepasan sejumlah mediator. Keadaan inflamasi kronis terjadi di
lokasi metabolik bersangkutan, seperti hati, otot dan yang paling menonjol, jaringan adiposa. Inflamasi
juga mungkin memiliki sifat sistemik. Tidak terbatas hanya untuk jaringan tertentu tetapi melibatkan
endotelium (lapisan pembuluh darah) dan banyak sistem organ lain.49

usia 2,5 tahun.20 2.1.4 Patofisiologi Alergi 2.1.4.1 Mediator alergi Reaksi alergi terjadi akibat peran
mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast
dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator
tersebut adalah histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.15 Mekanisme alergi
terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator
alergi yaitu sel mast.2,3,11 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat
pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel.
Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.15,21,22 Mediator histamin dapat
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan 15
konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan
venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis)
dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila penglepasan histamin terjadi
sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.15
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan tromboksan. Leukotrien dapat
menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus. Prostaglandin A
dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan
prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl
chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil
ke daerah tempat reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi aksi newly
synthesized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi
dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan
menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular
secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam
trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan kontraksi otot
bronkus tapi hanya sebentar. 15,21,22 16 Gambar 1. Jalur reaksi alergi21 2.1.4.2 Fase sensitisasi Alergen
memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran
pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells (APCs) di
dalam endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas
II kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4
(IL-4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk
memproduksi 17 Imunoglobulin (Ig).15,21 Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat menghasilkan
interferon gamma (IFN-ɤ) untuk mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi
IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada
reseptor IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.23 2.1.4.3 Fase reaksi Beberapa
menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami degranulasi yaitu suatu proses
pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin-sitokin
yang menimbulkan gejala klinis.15, 24 2.1.4.4 Fase reaksi lambat Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah
paparan alergen dan puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti
basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Selsel tersebut
akan mengeluarkan substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun berkepanjangan serta
kerusakan jaringan. 15,22 18 2.1.4.5 Mekanisme Transfer Alergi Ibu yang memiliki riwayat alergi
berpotensi mempengaruhi respon imun bayi melalui plasenta dan air susu ibu (ASI). Transfer alergen
makanan atau inhalan melalui plasenta atau ASI juga diketahui bisa terjadi. Antibodi yang bisa
diturunkan ke anak melalui plasenta adalah IgG, IgA. Sedangkan antibodi yang bisa diturunkan melalui
ASI yaitu IgA, IgG, IgM, IgE. Transfer sitokin dan kemokin juga dapat terjadi. Misalnya, interferon-ɤ (IFN-
ɤ) dan interleukin-6 (IL6) terdeteksi dalam kolustrum wanita normal dan ini dapat diturunkan melalui
ASI. Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa transfer tersebut dapat menyebabkan
penurunan imunitas neonatus. Kemokin, misalnya IL-8 (sitokin yang diregulasi pada aktivasi sel T
normal), IFN-ɤ-inducible protein dan monokin yang diinduksi oleh IFN-ɤ juga terdeteksi dalam ASI ibu.
Sitokin dan marker inflamasi lainnya ditemukan dalam ASI ibu dengan riwayat atopi maupun tanpa
riwayat atopi. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kandungan asam lemak pada ASI, yang juga
mempengaruhi respon imun bayi. Selain faktor-faktor tersebut, sel juga ditransfer dalam rahim,
misalnya sel leukosit yang dapat diturunkan dari ibu kepada bayi. Hal ini penting karena pada suatu
penelitian menunjukkan bahwa sel T spesifik alergen diturunkan dari satu induk tikus yang dapat
mentransmisikan risiko asma kepada anaknya. Transfer sel bertanggung jawab atas pewarisan risiko
alergi dari ibu kepada fetus. 25

2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target. Mediator
tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (performed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly fored mediator). Menurut asalnya mediator
ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan
mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).19 Mekanisme alergi
terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu
sel mast.4,19 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast
atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem 12 nukleotida
siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini
akan menyebabkan pelepasan mediator lain. 19 Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast
diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic
factor (NCF). Histamin memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak dengan alergen
(terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak
napas, dan kulit gatal. 22,23 Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh
darah yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meninggikan permeabilitas
kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular menyebabkan respons wheal-flare (triple respons
dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioderma.
Pada traktus gastrointestinal, histamin menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan
histamin terjadi secara sistemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare dan
hipermotilitas. 19 Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrein, prostagladin, dan
tromboksan. Leukotrein dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, dan
sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot
polos bronkus. Kalikrein menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas 13 pembuluh darah dan
tekanan darah. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi dan memecah kompleks antigen-
antibodi dan menghalangi newly synthetized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF)
menyebabkan bronkokonstriksi dan menaikkan permeabilitas pembuluh darah, mengaktifkan faktor XII
yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot bronkus dan
vaskular secara lambat, lama, dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus dalam traktus
respiratorius dan lambung. Serotonin dalam trombosit yang dilepaskan waktu agregasi trombosit
melalui mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus yang pengaruhnya sebentar.19

Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2008.
. PATOFISIOLOGI INFEKSI
1. Infeksi Penyakit menular ok. Interaksi hospes & mikroba yg tjd secara kebetulan a. Faktor hospes
pd Infeksi
2. Syarat infeksi. organisme menular mampu : - melekat - menduduki - memasuki hospes -
berkembang biak
a. Infeksi. Pd Kulit & Mukosa Orofaring
b. Kulit à pertahanan tubuh - Kulit utuh punya lapisan keratin/ lap tanduk Luka pada kulit infeksi -
Dekontaminasi - Flora normal
3. Pada lapisan Mulut dan faring ~ kulit
a. Saluran Pencernaan- Keasaman lambung àtdk sesuai utk mikroorganisme- Lambung cepat
memindahkan isinya ke usus.- Antibodi pada usus halus àbakteri sulit melekat pd mukosa- Flora
normal
b. Saluran Pernafasan Epitel saluran pernafasan: - Mengeluarkan mukosa - Mgd silia à mengeluarkan
benda asing - Sawar Pertahanan lain - Saluran kemih Epitel berlapis Desakan utuk mengeluarkan
kemih - Konjungtiva Mekanis Lap. Air mata
4. Radang Sebagai Pertahanan
a. Faktor Jasad Renik Pada Infeksi
b. Daya Transmisi - Pemindahan secara langsung Misal : batuk, bersin, berciuman
- Secara tidak langsung mll udara, tanah Transfusi darah, jarum suntik mll serangga Daya invasi
Utk menimbulkan inf, jasad renik hrs mampu bertahan pd hospes o Kemampuan menimbulkan
penyakit
- Eksotoksin yg larut à sirkulasi à perubahan fisiologis - Bakteri gram (-) mgd endotoksin à ??? à
demam
5. Cara Interaksi Hospes & Jasad Renik
a. Komensalisme Hospes & agen menular tidak saling menyerang
b. Mutualisme Interaksi tsb menguntungkan keduanya
6. Infeksi Oportunistik Organisme yg tidak berpengaruh pd individu sehat àlingk. Salah àpenyakit
Contoh:
a. Pd RS à pend. Ggn gizi à inf.
b. Lekemi
c. Kortikosteroid. dl

Anda mungkin juga menyukai