Anda di halaman 1dari 3

INFLAMASI

Inflamasi berasal dari kata inflammare yang berarti membakar, merupakan respon protektif yang sangat
diperlukan oleh tubuh dalam upaya mengembalikan ke keadaan sebelum cedera atau untuk memperbaiki
diri sendiri sesudah terkena cedera. Jaringan yang mengalami inflamasi mempertahankan vitalitasnya
dengan menunjukan hal-hal seperti peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, akumulasi sel, dan
eksudasi leukosit, nyeri, demam, dan gatal. Semua hal tadi terjadi bersamaan dalam rangkaian proses
yang rumit dan hasilnya terlihat sebagai tanda-tanda klasik inflamasi yaitu calor (panas), rubor (warna
merah), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri), dan functio laesa (gangguan fungsional) (Wilmana, 1986).

Segera setelah masuknya rangsang iritan terdapat konstriksi singkat arteriola diikuti dengan dilatasi
berkepanjangan. Ini akan mengakibatkan anyaman kapiler menjadi merah dengan darah dan
membukanya saluran kapiler yang tidak aktif. Aliran darah bertambah dan dapat tetap demikian atau
menjadi lamban (Spector & Spector, 1993).

Bila ruangannya sukar diperbesar, maka cairan eksudat dapat merangsang akhiran saraf sensorik. Akibat
rangsangan ini terjadilah rasa nyeri (Spector & Spector, 1993). Menurut Coyne (1970), respon inflamasi
terjadi dalam tiga fase, yaitu (1) peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan udema, (2)
infiltrasi leukosit dan fagositosis, dan (3) ploriferasi fibrolast, sintesis jaringan penghubung baru untuk
memperbaiki kerusakan. Inflamasi dapat berupa inflamasi akut atau inflamasi kronik tergantung pada sifat
cedera (Spector & Spector, 1993).

1. Inflamasi akut

Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel,
misalnya histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive amine yang dilepaskan
oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen – komponen komplemen,
sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan basofil. Mediatormediator ini akan merangsang
bergeraknya sel-sel polymorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta
meningkatkan permiabilitas dinding vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan
cairan. Gejala inilah yang disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991;
Kresno, 1991).
Inflamasi akut hanya terbatas pada tempat inflamasi dan menimbulkan tanda-tanda serta gejala lokal.
Inflamasi akut merupakan respon langsung dan dini terhadap agen inflamasi (Robbins & Kumar, 1995).
Perubahan permeabelitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel darah putih ke dalam
jaringan. Sel darah putih yang aktif adalah neutrofil dan leukosit. Tempat utama emigrasi sel darah putih
adalah pertemuan antar sel endotel. Biasanya inflamasi akut ditandai dengan penimbunan neutrofil dalam
jumlah banyak (Robbins & Kumar, 1995). Pembengkakan (udema) akibat luka (injury) terjadi karena
masuknya cairan ke dalam jaringan lunak. Neutrofil muncul dalam waktu 30–60 menit setelah terjadi
injury. Pada daerah injury neutrofil tampak mengelompok sepanjang sel-sel endotel pembuluh darah.
Sedangkan leukosit mulai meninggalkan pusat aliran dan bergerak ke perifer. Pengelompokan yang luar
biasa dari leukosit selama masih dalam pembuluh darah disebut marginasi (Ward, 1993).
Marginasi dari leukosit dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1
Marginasi leukosit pada inflamasi akut (Spector & Spector, 1993)
Leukosit mulai melekat pada endothelium yang merupakan awal dari emigrasi leukosit menuju daerah
target. Leukosit bergerak seperti amuba yaitu dapat mengulurkan pseudopodia ke dalam celah yang
mungkin ada di antara dua sel endotel, kemudian mendesak sedikit demi sedikit dan kejadian berlangsung
secara simultan sehingga leukosit yang dikeluarkan dari aliran darah akan masuk menuju daerah
peradangan dalam waktu singkat seperti terlihat pada gambar 3.

Gambar 2
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan emigrasi leukosit pada inflamasi akut (Spector & Spector, 1993).

Bila telah keluar dari pembuluh darah, leukosit merupakan garis pertahanan pertama terhadap agen
berbahaya yang masuk ke dalam tubuh 10 dengan cara memfagositosis agen berbahaya tersebut (Ward,
1993). Bertambahnya permeabilitas pembuluh sering disebabkan oleh kerusakan sel endotel yang terjadi
sebagai akibat gangguan struktural terhadap dinding pembuluh kapiler dan venula. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan emigrasi leukosit pada inflamasi akut (Spector & Spector, 1993).
Kerusakan langsung jenis ini menyebabkan pembuluh ini bocor oleh karena menjadi longgarnya
sambungan antar sel endotel. Ini terjadi pada berbagai cedera bakar dan cedera yang disebabkan oleh
toksin kimia dan radiasi (Williams, 1989).
2. Inflamasi kronik

Inflamasi kronik terjadi karena rangsang yang menetap, seringkali selama beberapa minggu atau bulan,
menyebabkan infiltrasi sel-sel mononuklear dan proliferasi fibroblast. Inflamasi kronik dapat timbul
melalui satu atau dua jalan, dapat juga timbul mengikuti proses inflamasi akut atau responnya sejak awal
bersifat kronis. Perubahan inflamasi akut 11 menjadi kronik berlangsung bila inflamasi akut tidak dapat
reda yang disebabkan oleh agen penyebab inflamasi yang menetap atau terdapat gangguan pada proses
penyembuhan normal (Robbins & Kumar, 1995). Inflamasi kronik ditandai dengan adanya sel-sel
mononuklear yaitu makrofag, limfosit dan sel plasma (Robbins & Kumar, 1995). Makrofag dalam lokasi
inflamasi kronik berasal dari monosit darah bermigrasi dari pembuluh darah. Makrofag tetap tertimbun
pada lokasi radang, sekali berada di jaringan mampu hidup lebih lama dan melewati neutrofil yang
merupakan sel radang yang muncul pertama kali. Limfosit juga tampak pada inflamasi kronik yang juga
ikut serta dalam respon imun seluler dan humoral (Robbins & Kumar, 1995).

Anda mungkin juga menyukai