Anda di halaman 1dari 20

TUGAS ESSAY

“Respon imunitas terkait inflamasi”

BLOK HEMATOLOGI DAN


IMUNOLOGI

Disusun Oleh:

Nama : Lalu muhammad farros fikri


NIM : 021.06.0051
Kelas : B
Dosen : I Gede Angga Adnyana, SST, M. Imun

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-


AZHAR MATARAM

TAHUN AJARAN 2022/2023


LATAR BELAKANG
Inflamasi merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi
akibat stimulus (rangsang) eksogen dan endogen. Dalam arti yang paling sederhana, Inflamasi
adalah suatu repons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal.

Inflamasi adalah respons protektif lokalisata yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung (sekuester) baik agen yang
meninmbulkan cedera maupun jaringan yang cedera tersebut. Pada bentuk akutnya ditandani
dengan tanda klasik : nyeri (dolor), panas (calor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor) dan
hilangnya fungsi (fungio lesa). Secara Histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit,
termasuk dilatasi arteriol, kapiler dan venula, disertai penignkatan permeabilitas dan aliran darah,
eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan migrasi leukosit menuju fokus peradangan.
PEMBAHASAN

Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya
organisme maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan suatu reaksi dari jaringan hidup guna
melawan berbagai macam rangsangan.

Fenomena yang terjadi dalam proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,


meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit menuju jaringan radang. Tanda-tanda
dari inflamasi yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor), bengkak (tumor), nyeri (dolor), dan
hilangnya fungsi (function laesa). Reaksi radang meskipun membantu menghilangkan infeksi dan
stimulus yang membahayakan serta memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dapat
pula mengakibatkan kerugian dikarenakan mengakibatkan jejas pada jaringan normal misalnya
pada inflamasi dengan reaksi berlebihan (infeksi berat), berkepanjangan, autoimun, atau kelainan
alergi.

Jenis – jenis inflamasi

Jenis inflamasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1 Inflamasi Akut
Pada inflamasi akut proses berlangsung singkat beberapa menit hingga beberapa
hari, dengan gambaran utama eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi sel leukosit
terutama neutrofil. Rubor, kalor, dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan
aliran darah dan edema. Inflamasi akut biasanya terjadi tiba-tiba, ditandai oleh tanda-tanda
klasik, dimana proses eksudatif dan vaskularnya dominan.

Gambar 1. ( A) Pada pembuluh darah yang normal. (B) Manifestasi utama pada
radang akut. (1) Dilatasi pembuluh darah menyebabkan eritema dan hangat, (2)
ekstravasasi cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi dan akumulasi leukosit
di tempat jejas.
2 Inflamasi Kronik

Gambar 2. Hasil dari peradangan akut


Inflamasi kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak sempurna, bila
penyebab jejas menetap atau bila penyebab ringan dan timbul berulang-ulang. Dapat pula
diakibatkan oleh reaksi immunologik. Radang berlangsung lama (berminggu-minggu,
berbulan- bulan). Radang kronik ditandai dengan lebih banyak ditemukan sel limfosit, sel
plasma, makrofag, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi yang
menghasilkan fibrosis.

1) Mekanisme inflamasi akut


Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti
infeksi. Inflamasi dimulai dengan inflamasi akut yang merupakan respon awal terhadap
kerusakan jaringan. Radang akut memiliki 2 komponen utama, yaitu perubahan vaskular
dan aktivitas sel. Pada vaskular terjadi vasokonstriksi dalam hitungan detik setelah jejas,
setelah itu terjadi vasodilatasi arteriol yang mengakibatkan peningkatan aliran darah,
sehingga menimbulkan gejala rubor dan kalor yang merupakan tanda khas peradangan.
Pembuluh darah kecil menjadi lebih permiabel dan cairan kaya protein akan mengalir
keluar ke jaringan ekstravaskular sehingga meningkatkan viskositas darah dan
memperlambat aliran darah. Setelah pembuluh darah statis, leukosit terutama neutrofil
mulai berkelompok pada permukaan vaskular endotel. Kontraksi sel endotel menyebabkan
terbentuknya celah antar sel pada venule post kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular. Kontraksi sel endotel terjadi segera setelah pengikatan dengan
histamin, bradikinin, leukotrien selama 15- 30 menit, yang diikuti oleh peningkatan TNF
dan IL-1. Meningkatnya permeabilitas vaskular menyebabkan aliran cairan kaya protein
dan juga sel darah ke jaringan ekstravaskular. Hal ini akan mengakibatkan tekanan osmotik
cairan interstitial meningkat, dan cairan masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi
penimbunan cairan kaya protein yang disebut dengan eksudat, dan menimbulkan edema
sebagai manifestasi radang (Sheerwood, 2020).

Gambar 3. Kebocoran dan edema


Aktivitas selular dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang
mengalami cedera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah tersebut karena bahan kimia
yang dilepaskan oleh sel cedera, sel mast, melalui pengaktifan komplemen dan produksi
sitokin setelah antibodi berikatan dengan antigen. Trombosit yang masuk ke daerah cedera
merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan. Penarikan
leukosit yang meliputi neutrofil dan monosit ke daerah cedera disebut kemotaksis. Sel-sel
yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan penyembuhan. Urutan
kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen vaskular ke ekstravaskular: (1) marginasi dan
rolling, (2) adhesi dan transmigrasi antar sel endotel, dan (3) migrasi pada jaringan
intertitial terhadap suatu rangsang kemotaktik. Mediator kimiawi kemoatraktan dan sitokin
tertentu memengaruhi proses ini dengan mengatur ekspresi permukaan atau aviditas
molekul adhesi.

Gambar 4. Urutan kejadian emigrasi leukosit pada inflamasi


Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh terhadap selaput
membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim lisosomal terutama
metabolit asam arakidonat. Sebagian metabolit asam arakidonat dirubah oleh enzim COX
menjadi prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin. Sebagian lain hasil metabolit asam
arakidonat diubah oleh enzim lipoxygenase menjadi leukotrien. Leukotrien merupakan
produk akhir dari metabolisme asam arakidonat pada jalur lipoxygenase.
Saat ini dikenal dua isoenzim COX (cyclooxygenase), yaitu COX-1 dan COX-2.
Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim konstitutif yaitu mengubah PGH2 menjadi
berbagai jenis prostaglandin (PGE1, PGE2) dan tromboksan yang dibutuhkan dalam fungsi
homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (makrofag dan lainnya),
sel endotel pembuluh darah, dan fibroblast sinovial sangat mudah diinduksi oleh berbagai
mekanisme sehingga akan mengubah PGH2 menjadi PGE2. Prostaglandin E2 (PGE2) akan
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular, sehingga aliran darah
akan meningkat dan pori-pori kapiler juga membesar. Pori-pori kapiler yang membesar
akan menyebabkan protein plasma keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam
jaringan yang meradang. Akumulasi protein yang bocor pada jaringan interstitial akan
meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam jaringan interstitial dan akan meningkatkan
tekanan darah kapiler. Peningkatan tekanan osmotik koloid dan tekanan kapiler cenderung
akan memindahkan cairan keluar kapiler dan megurangi reabsorbsi cairan di kapiler.
Akhirnya terjadi penumpukan cairan di jaringan interstitial yang akan menyebabkan edema
local.
Enzim COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab
untuk menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis. Sebaliknya, enzim COX-2 tidak
ditemukan di jaringan pada kondisi normal, tetapi diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti
endotoksin, sitokin, mitogen, dan dihubungkan dengan produksi prostaglandin selama
proses inflamasi, nyeri, dan respon piretik. Enzim COX-2 dapat diinduksi apabila terdapat
stimuli radang, mitogenesis, atau onkogenesis

Gambar 5. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi

Cara kerja obat-obatan NSAID untuk sebagian besar berdasarkan hambatan


sintesis prostaglandin, dimana kedua jenis cyclooxygenase diblokir. NSAID yang ideal,
diharapkan hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan
mukosa lambung), juga menghambat lipoxygenase (pembentukan leukotrien)
Tanda – tanda inflamasi

a. Kemerahan (rubor)
Gejala berikutnya terjadi adalah kemerahan (rubor) biasanya merupakan hal pertama yang
dilihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul
maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh- pembuluh darah yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah.
Keadaan ini dinamakan hiperemi atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena
peradangan akut.
b. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Rasa panas disebabkan karena
jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang.
Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di
dalam tubuh tidak dapat dilihat dan rasakan.
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan karena adanya peregangan jaringan akibat
adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa
nyeri, dan adanya pengeluaran zat–zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf perifer di sekitar radang sehingga
dirasakan nyeri
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan
ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh
darah ke ruang interstitial.
e. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan sebagai konsekuensi dari suatu
proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara
sadar atau secara refleks akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang
hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan.
Mediator inflamasi

Pada tahap awal terjadinya radang, jaringan mengeluarkan stimulus yang dapat memicu
pelepasan mediator kimia plasma atau jaringan ikat. Mediator tersebut berpengaruh terhadap
respon vaskular maupun selular berikutnya. Respon radang akan berakhir jika stimulus inflamasi
jaringan dan mediatornya hilang, dikatabolisme tubuh atau dihambat pengeluarannya.

Mediator kimiawi pada inflamasi dihasilkan oleh sel yang mengalami jejas atau dapat juga
berupa faktor plasma. Mediator yang dihasilkan oleh sel antara lain vasoactive amines (histamin,
serotonin), metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrien), faktor neutrophil (protease), dan
lymphokine. Faktor plasma terdiri dari komplemen, kinin (bradykinin), faktor koagulasi, dan
sistem fibrinolitik.

Berdasarkan jenisnya, mediator inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu mediator lokal yang
disintesis secara lokal oleh sel di tempat inflamasi dan mediator sistemik yang bisa sirkulasi di
dalam plasma dan disintesis oleh hati (Abdulkhaleq et al, 2018). Dua jenis mediator tersebut dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 6. Sumber-sumber mediator inflamasi lokal dan sistemik.

Peranan mediator kimia pada inflamasi akut meliputi beberapa fungsi dalam dilatasi
vaskular, peningkatan permeabilitas, dan kemotaksis. Fungsi dalam dilatasi vaskular diperankan
oleh histamin, serotonin, bradikinin, dan prostaglandin. Mediator kimia untuk peningkatan
permeabilitas adalah histamin, serotonin, bradikinin, komplemen 3a, komplemen 5a,
prostaglandin, leukotriene, protease lisosomal, dan oksigen radikal. Sementara itu, mediator yang
berperan dalam kemotaksis adalah komplemen 5a, prostaglandin, leukotrien, komplemen 3b
(opsonin), dan bradykinin.

Tabel 2.1 Kerja Utama Metabolit Asam Arakidonat (Eikosanoid)

Kerja Eikosanoid

Vasodilatasi PGI2 (prostasiklin), PGE1, PGE2

Vasokontriksi Tromboksan A2, leukotrien C4, D4,


E4

Peningkatan permeabilitas Leukotrien C4, D4, E4


vaskular

Kemotaksis, adhesi leukosit Leukotrien B4, HETE

Gambar 7. Peran sistem prostaglandin (PG) sebagai penguat sitokin


Karena COX-2 dapat diinduksi oleh lipopolisakarida (LPS) dan sitokin proinflamasi
seperti interleukin (IL)-1b dan IL-6, dan COX-1 secara konstitutif diekspresikan terlepas dari
rangsangan ini, PG terbentuk baik secara independen atau hilir sitokin dan kekebalan bawaan dan
untuk menimbulkan gejala inflamasi. Namun, penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa PG
sering bekerja dengan sitokin dan pola molekul terkait patogen atau kerusakan (PAMP dan
DAMP) dalam berbagai pengaturan inflamasi dan memperkuat pensinyalan sitokin dan PAMP /
DAMP dengan meningkatkan ekspresi gen terkait peradangan yang diinduksi oleh rangsangan ini.
Misalnya Hondaet al.[7] melaporkan interaksi PGI2– Pensinyalan IP dan IL-1bpada collagen-
induced arthritis (CIA) pada tikus, model rheumatoid arthritis manusia. Dalam model ini,
defisiensi IP tidak memengaruhi kejadian artritis tetapi secara signifikan mengurangi luasnya
artritis yang ditentukan oleh infiltrasi sel inflamasi, proliferasi sel sinovial, dan kerusakan tulang.
Analisis sitokin mengungkapkan penurunan yang nyata dalam kandungan IL-6 pada kaki rematik
tikus yang kekurangan IP tanpa mempengaruhi produksi antibodi antikolagen. Pengobatan
fibroblas sinovial berbudaya dengan indometasin in vitrosecara signifikan mengurangi jumlah IL-
6 yang diinduksi oleh IL-1b,dan pengurangan ini diselamatkan dengan penambahan anagonis IP
eksogen.

Selanjutnya, analisis microarray mengungkapkan bahwa sekitar sepertiga dari 400 gen
diinduksi oleh IL-1bdalam kultur sinoviosit ditekan oleh penghambat sintesis PG indometasin, dan
ekspresi 100 gen di antaranya dipulihkan dengan pengobatan dengan agonis IP. Gen yang
ekspresinya diperkuat oleh pensinyalan IP meliputi, gen yang terlibat dalam peradangan seperti
IL-6, IL-11 dan CXCL7, gen yang terlibat dalam proliferasi sel seperti berbagai isoform faktor
pertumbuhan fibroblast (FGF), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF ) dan hypoxia
inducible factor 1 alpha (HIF1sebuah)dan mereka yang terlibat dalam remodeling jaringan seperti
aktivator reseptor ligan faktor kappa-B nuklir (RANKL) dan anggota keluarga a disintegrin dan
metalloproteinase dengan motif trombospondin (ADAMTS). Perlu disebutkan bahwa PGI2saja
tidak menginduksi ekspresi gen ini. Menariknya, peningkatan sekitar tiga kali lipat dalam ekspresi
reseptor IL-1 (IL1R1) diamati dengan pengobatan agonis IP, menunjukkan bahwa ini mungkin
menjadi dasar amplifikasi IL-1 yang dimediasi IP.bpensinyalan. Pentingnya PGI2dalam
pengembangan artritis dikonfirmasi pada model tikus lain, artritis transfer serum K/BxN yang
digerakkan autoantibodi[8]. Menariknya, PGI2dalam model ini hampir semata-mata berasal dari
reaksi yang dikatalisis oleh COX-1. Contoh amplifikasi pensinyalan PAMP/DAMP yang
dimediasi PG dilaporkan , yang meneliti interaksi PGE 2– Pensinyalan EP4 dan LPS. Mereka
merangsang garis sel makrofag RAW264.7 dengan LPS, dan meneliti efek penghambat COX-2,
celecoxib, dan Antagonis EP4, RQ-00015986/CJ-42794, pada ekspresi gen yang diinduksi LPS.
Mereka menemukan bahwa celecoxib atau RQ-00015986 secara signifikan menekan ekspresi gen
COX-2, IL-1b dan IL-6. Hasil ini mendukung peran PGE2Pensinyalan -EP4 sebagai 'penguat'
pensinyalan LPS. Sebagai catatan, pengobatan di atas tidak mempengaruhi induksi mikrosomal
prostaglandin E sintase-1 (mPGES-1) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-sebuah)oleh LPS,
menunjukkan modulasi selektif ekspresi gen. Seperti dijelaskan di bawah ini secara lebih rinci,
peran PG sebagai 'penguat sitokin' juga ditunjukkan dalam induksi subset T helper spesifik yang
terlibat dalam peradangan imun.[10]. Temuan ini menunjukkan bahwa, selain tindakan mereka
dalam peradangan akut, PG mampu mengubah respons inflamasi berumur pendek menjadi proses
yang bergantung pada ekspresi gen jangka panjang dengan memfasilitasi tindakan sitokin dan /
atau kekebalan bawaan. Pengakuan PG sebagai 'penguat sitokin' secara konseptual penting untuk
memahami peran mereka dalam peradangan kronis (Gambar 6).

Toleransi imunologi

Toleransi imunologik adalah tidak adanya respons terhadap antigen yang dicetuskan oleh
terpaparnya limfosit pada antigen tersebut. Ketika limfosit dengan reseptor untuk antigen tertentu
bertemu dengan antigen ini, dapat terjadi beberapa kemungkinan. Limfosit dapat diaktifkan
sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan memori, menghasilkan respons
imun yang produktif; antigen yang dapat menimbulkan respons seperti itu disebut imunogenik.
Limfosit dapat secara fungsional tidak aktif atau dibunuh, sehingga timbul toleransi; antigen yang
menginduksi toleransi disebut tolerogenik. Dalam beberapa situasi, limfosit spesifik antigen
mungkin tidak bereaksi dengan cara apapun; fenomena ini disebut pengabaian imunologi
(immunological ignorance), menunjukkan bahwa limfosit mengabaikan kehadiran antigen begitu
saja.

Biasanya, mikroba bersifat imunogenik dan antigen diri bersifat tolerogenik. Pilihan antara
aktivasi limfosit dan toleransi ditentukan temtama oleh sifat antigen dan sinyal tambahan yang
timbul ketika antigen disajikan kepada sistem imun. Pada kenyataannya, antigen yang sama dapat
diberikan dengan cara yang berbeda untuk mencetuskan respons imun atau toleransi. Pengamatan
eksperimental ini telah dimanfaatkan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menentukan
apakah akan timbul aktivasi atau toleransi sebagai konsekuensi paparan antigen. Fenomena
toleransi imunologik penting karena beberapa alasan. Pertama, seperti yang kami sebutkan di awal,
antigen diri biasanya menginduksi toleransi, dan kegagalan toleransi-diri adalah penyebab yang
mendasari timbulnya penyakit autoimun. Kedua, jika kita mempelajari bagaimana cara
menginduksi toleransi pada limfosit yang spesifik untuk antigen tertentu, kita mungkin dapat
menggunakan pengetahuan ini untuk mencegah atau mengontrol reaksi imun yang tidak
diinginkan. Strategi untuk menimbulkan toleransi sedang diuji untuk mengobati penyakit alergi
dan autoimun serta untuk mencegah penolakan transplantasi organ. Strategi yang sama mungkin
sangat berguna dalam terapi gen untuk mencegah respons imun terhadap produk gen yang bam
diekspresikan atau vektor dan bahkan untuk transplantasi sel punca jika sel punca donor secara
genetik berbeda dengan penerima. Toleransi imunologik terhadap antigen diri yang berbeda dapat
dirangsang ketika limfosit yang sedang berkembang terpapar dengan antigen tersebut di dalam
organ limfoid generatif (sentral), sebuah proses yang dinamakan toleransi sentral, atau ketika
limfosit matur terpapar antigen diri di organ limfoid perifer (sekunder) atau jaringan perifer, yang
disebut toleransi perifer dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Toleransi sentral adalah mekanisme toleransi hanya pada antigen diri yang berada dalam
organ limfoid generatif yaitu, sumsum tulang dan timus. Toleransi terhadap antigen diri yang tidak
terdapat dalam organ-organ tersebut, hams dikembangkan dan dipelihara oleh mekanisme perifer.
Kami hanya mempunyai pengetahuan yang terbatas tentang berapa banyak antigen diri dan jenis
antigen diri apa yang menginduksi toleransi sentral atau perifer atau yang diabaikan oleh sistem
imun. Setelah latar belakang singkat di atas, kami akan melanjutkan ke pembahasan mekanisme
toleransi imunologik dan bagaimana kegagalan setiap mekanisme dapat menyebabkan
autoimunitas. Toleransi pada sel T, terutama limfosit T helper CD4+, dibahas pertama karena ban
yak mekanisme toleransidiri (self-tolerance) dijelaskan dari penelitian terhadap sel ini. Di samping
itu, sel T helper CD4+ mengatur hampir semua respons imun terhadap antigen protein, sehingga
toleransi pada sel ini mungkin cukup untuk mencegah baik respons imun seluler maupun humoral
terhadap protein diri. Sebaliknya kegagalan toleransi dalam sel T helper dapat mengakibatkan
autoimunitas yang ditunjukkan oleh serangan yang diperantarai sel T terhadap antigen diri atau
oleh produksi autoantibodi terhadap protein diri.

Regulasi responimun oleh sel T

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa aktivitas limfosit Th1 saling bertolak belakang
dengan limfosit Th2, misalnya IFN-γ yang secara selektif menghambat proliferasi limfosit Th2,
dan IL-10 yang menghambat sekresi sitokin limfosit Th1. Hubungan antagonis antar kedua
subpopulasi limfosit Th ini dapat menjelaskan adanya bias pada respons imun terhadap berbagai
jenis infeksi. Limfosit Th1 berperan dalam respons imun terhadap bakteri intraselular, sedangkan
respons imun terhadap bakteri ekstraselular merupakan perpaduan antara kedua subset limfosit Th
tersebut. Pada beberapa kasus infeksi tertentu, IFN-γ dapat memberikan sinyal kepada limfosit B
agar tidak memproduksi antibodi. Hal itu dapat menjelaskan mengapa peran limfosit Th1 kurang
baik dibandingkan dengan limfosit Th2 dalam hal pembentukan antibodi. Meskipun demikian,
sitokin yang disekresikan limfosit Th1 memiliki peran yang berkaitan dengan sitotoksisitas atas
respons imun selular.

Limfosit Th naïf dapat berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2, bergantung kepada jenis
antigen yang mengaktivasinya, faktor transkripsi yang diaktivasi, maupun karakter sitokin di
lingkungan mikronya. Keseimbangan kedua subset limfosit Th ini dapat menentukan arah respons
imun terhadap antigen tersebut. Faktor transkripsi T-bet diperlukan untuk diferensiasi limfosit Th1
yang aktivitasnya akan menghambat sintesis GATA-3 yang diperlukan untuk diferensiasi limfosit
Th2. Begitu juga dengan sekresi sitokin IFN-γ yang secara selektif akan mempertahankan reseptor
IL-12, sedangkan IL-4 yang disekresikan limfosit Th2 dapat menghambat reseptor IL-12. Dengan
demikian, pada kondisi normal, limfosit Th1 dan Th2 berada dalam keseimbangan dan akan
bergeser jika ada infeksi. Paradigma Th1/Th2 ternyata belum dapat dengan tepat menjelaskan
beberapa penyakit, misalnya granuloma akibat implan silikon di payudara. Kemudian ditemukan
subset limfosit Th lain, yaitu Th17 dan Treg.

Toleransi sel imun

1. Toleransi sel T
Sel T, yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus dan berkembang
dalam timus melalui berbagai fase, yaitu double negative, double positive, seleksi positif
dan negatif, serta toleransi.
a. Toleransi sentral limfosit T
Prinsip mekanisme toleransi sentral pada sel T adalah kematian sel T dan
berkembangnya sel T regulator. Limfosit berkembang di timus akan menerima
sinyal untuk apoptosis menyebabkan sel mati sebelum terjadi maturasi. Beberapa
sel T CD4+ imatur tidak mati tetapi berkembang menjadi sel T regulator dan masuk
ke jaringan perifer.33 Sel T prekursor yang berasal dari sumsum tulang memiliki
gen TCR, namun tidak mengekspresikan CD4+ dan CD8+ . Sel ini kemudian
bermigrasi ke bagian korteks timus. Saat sel T berada di bagian luar korteks, gen
TCR mulai disusun, dan CD3, CD4, dan CD8 mulai diekspresikan. Sel T kemudian
bergerak ke arah medula yang kemudian diikuti dengan pembentukan TCRα atau
TCRβ. 32 Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan timosit yang self-reaktif.
Proses tersebut disebut seleksi positif. Sel hidup melalui ikatan kompleks MHC.
Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati
melalui apoptosis. Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan
tetap hidup dan memiliki potensi proteksi dikemudian hari. Namun sel T yang
mengikat kompleks peptida-MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan
memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas.
Oleh karena itu sel-sel tersebut harus disingkirkan melalui seleksi negatif. 32 Pada
beberapa hal, sel sel T yang bersifat autoreaktif lolos dari toleransi sentral dan
bermigrasi ke perifer. Toleransi perifer akan menghentikan aktivitas sel T yang
bersifat autoreaktif tersebut.
b. Toleransi limfosit T perifer
Toleransi perifer diinduksi oleh sel T matur yang mengenal self antigen pada
jaringan perifer, dengan cara inaktivasi (anergi), kematian sel (apoptosis/delesi)
dan supresi imun.

Gambar toleransi sentral dan perifer terhadap antigen


Toleransi sentral : limfosit imatur terhadap self antigen dapat dihilangkan
secara apoptosis pada jaringan limfoid. Limfosit sel B mengubah reseptornya dan
sebagian limfosit sel T berkembang menjadi sel T regulator. Sebagian dari limfosit
yang self reaktif dapat menyelesaikan maturasinya dan memasuki jaringan perifer.
Toleransi perifer: Limfosit matang dengan sel reaktif dapat menjadi tidak reaktif
melalui beberapa cara seperti anergi, apoptosis dan supresi oleh sel T regulator.
Anergi adalah fungsi limfosit T yang tidak aktif ketika sel ini mengenali
antigen dengan tanpa kostimulator yang kuat, yaitu famili B7 (CD80, CD86).22,57
Kostimulator diperlukan agar sel T dapat aktif sepenuhnya. Limfosit T naif
memerlukan paling sedikit 2 sinyal untuk berproliferasi dan diferensiasi ke
berbagai sel efektor. Sinyal pertama selalu berupa antigen dan sinyal kedua
diperlukan sebagai kostimulator yang akan terekspresi pada sel APC dalam
merespons mikroba.34 Pada kondisi tertentu, reseptor-reseptor antigen sel T
(TCRS) akan kehilangan kemampuannya dalam mentransmisi sinyal yang aktif.
Sel-sel T akan mengaktifkan reseptor inhibitor dari keluarga CD28, yaitu CTLA-4
(Cytotoxic T Limphocyte Associated Antigen4 atau CD152) atau PD-1
(Programmed cell death protein-1). CTLA-4 diketahui menghambat respons Sel T,
mengenali kostimulator yang sama, yaitu protein B7 yang akan berikatan dengan
CD28. CTLA-4 akan bersaing dengan B7 yang diekspresikan oleh APC.
Bagaimana sel memilih, apakah memilih CD28 atau CLTA-4 masih belum
diketahui.
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan
tubuh terhadap masuknya organisme maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan suatu reaksi
dari jaringan hidup guna melawan berbagai macam rangsangan. Inflamasi dibagi menjadi dua yaitu
akut dan kronik, Adapun tanda dari terkena inflamasi yaitu kemerahan, rasa panas, rasa sakit,
pembekakan, fungsiolaesa.

Mediator kimiawi pada inflamasi dihasilkan oleh sel yang mengalami jejas atau dapat juga
berupa faktor plasma. Mediator yang dihasilkan oleh sel antara lain vasoactive amines (histamin,
serotonin), metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrien), faktor neutrophil (protease), dan
lymphokine. Faktor plasma terdiri dari komplemen, kinin (bradykinin), faktor koagulasi, dan
sistem fibrinolitik.

Berdasarkan jenisnya, mediator inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu mediator lokal yang
disintesis secara lokal oleh sel di tempat inflamasi dan mediator sistemik yang bisa sirkulasi di
dalam plasma dan disintesis oleh hati.

Toleransi imunologik adalah tidak adanya respons terhadap antigen yang dicetuskan oleh
terpaparnya limfosit pada antigen tersebut. Ketika limfosit dengan reseptor untuk antigen tertentu
bertemu dengan antigen ini, dapat terjadi beberapa kemungkinan. Limfosit dapat diaktifkan
sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan memori, menghasilkan respons
imun yang produktif; antigen yang dapat menimbulkan respons seperti itu disebut imunogenik.
Limfosit dapat secara fungsional tidak aktif atau dibunuh, sehingga timbul toleransi; antigen yang
menginduksi toleransi disebut tolerogenik. Dalam beberapa situasi, limfosit spesifik antigen
mungkin tidak bereaksi dengan cara apapun.
REFERENSI :

Kuliah I Gede Angga Adnyana, SST, M. Imun. Respon Imunitas terkait inflamasi. Universitas
Islam Al-Azhar, Mataram.2022.

Harlim, A. (2018). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Imunologi Inflamasi.

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura:
Elsevier Saunders.
Huether, Sue E & Kathryn L. McCance. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam.
Volume 1. Elsevier. Singapore.

Sherwood, L. (2021). Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai