Anda di halaman 1dari 2

Dr.rer.nat R.M.

Rachmat Sule, ST, MT


Dari Geothermal hingga Carbon Capture Storage
Pak Deni, begitu beliau biasa dipanggil, merupakan salah satu dosen Program Studi
Teknik Geofisika, Institut Teknologi Bandung. Beliau mendapatkan gelar sarjana dari
Program Studi Geofisika, Institut Teknologi Bandung. Pak Deni melanjutkan
pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dan mendapatkan gelar master pada
tahun 1996 dalam bidang applied geophysics. Beliau kemudian mendapatkan gelar
doktor pada tahun 2004 di Geophysical Institute, Faculty Of Physics, Karlsrhe
University, Jerman. Selain aktif mengajar di ITB sejak tahun 1995, Pak Deni juga
aktif dalam berbagai proyek riset dan eksplorasi. Puluhan publikasi juga pernah
beliau tulis, dari yang bertaraf nasional hingga taraf internasional.
Salah satu cerita menarik beliau adalah beliau pernah mengerjakan sebuah proyek
geothermal yang merupakan kerjasama antara Indonesia dengan Jerman. Meskipun
pada awalnya terlihat menguntungkan, ternyata beliau tidak pernah mendapatkan
bayaran ataupun gaji dalam proyek ini. Bahkan, menurut beliau, seringkali proyek
yang dilakukan kekurangan investor sehingga biaya untuk keperluan teknis pun
sangat minim. Akhirnya, beliau bersama teman-teman yang lain berusaha mencari
tambahan dana, baik mencari sponsor dari industri, maupun mengajukan proposal
dana ke pemerintah Indonesia. Beliau pun menuturkan rasa prihatinnya pada
pemerintahan, karena seringkali pemerintah Indonesia tidak membantu dalam hal
biaya dan persiapan, padahal proyeknya dilakukan di Indonesia dan notabene dapat
bermanfaat bagi Indonesia sendiri.
Selain proyek kerjasama dengan Jerman, beliau juga pernah mengambil bagian
dalam proyek geothermal lainnya, yakni proyek kerjasama antara Indonesia dengan
Belanda. Beliau tidak menuturkan banyak hal dalam proyek ini, karena sebagian
besar sama dengan proyek kerjasama dengan Jerman tadi. Lagi-lagi beliau tidak
mendapatkan bayaran dalam proyek ini. Beliau tidak mendapatkan fee dalam
artian uang, namun fee tersebut berbentuk seperti akomodasi dan fasilitas-fasilitas.
Misalnya jika perlu ke lapangan, maka biaya perjalanan diberikan, hotel akan
disiapkan, juga berbagai fasilitas lainnya. Beliau menambahkan bahwa proyek yang
dijalaninya mungkin tidak menguntungkan secara materi, namun dapat
memberikan manfaat lain, seperti relasi dan bertambahnya pengalaman serta
pengetahuan. Ketika terjadi transfer ilmu dari mereka (orang luar negeri) tentu itu
akan menjadi keuntungan tersendiri bagi kita. Mahasiswa kita bisa mendapatkan
pengalaman lebih, bahkan dengan ikut bekerja di suatu proyek mungkin dapat
membantu untuk pengerjaan tugas akhir, tutur Pak Deni.

Proyek lainnya yang sampai sekarang masih dalam tahap pengerjaan adalah proyek
CCS (Carbon Capture and Storage) di lapangan Gundih. Proyek ini merupakan
kerjasama antara Indonesia dengan Jepang, dan beliau diberikan kepercayaan
sebagai project manager. Proyek ini merupakan proyek CCS pertama di Indonesia,
dan proyek ini didapatkan saat Pak Deni mengenyam pendidikan beasiswa di Kyoto
University. Selama menempuh pendidikan, beliau berbincang dengan dosen-dosen
disana dan brainstorm untuk suatu riset atau pengembangan. Setelah melalui
beberapa diskusi, akhirnya tercetuslah ide untuk mengadakan proyek CCS. Secara
kebetulan, pemerintah Jepang yang diwakilkan oleh Kyoto University sedang
mengadakan sebuah kompetisi sejenis PKM bertaraf internasional, dimana peserta
yang memenangkan kompetisi tersebut proyeknya akan dibiayai oleh pemerintah
Jepang selama 3-5 tahun, tergantung pada proposalnya. Dalam proposal yang
beliau ajukan bersama timnya, beliau beserta tim mengajukan pembiayaan selama
lima tahun.
Setelah perundingan panel juri selama kira-kira setahun, akhirnya proposal CCS
milik Pak Deni dan tim lah yang terpilih sebagai pemenang. Pemerintah Jepang pun
menyanggupi pembiayaan selama lima tahun, meski sebenarnya pembiayaan
tersebut masih belum dapat mencukupi biaya operasional yang dibutuhkan. Tanpa
diduga, belum genap setahun setelah proyek ini dmulai, sudah ada pihak yang
bersedia memberi bantuan dana yaitu Asian Development Bank (ADB). Selain ADB,
pihak Pertamina pun bersedia membantu (sebagai industri, bukan sebagai
pemerintah). Proyek CCS ini pun berhasil berjalan tanpa bantuan dana dari
pemerintah Indonesia.
Selain ketiga proyek yang telah disebutkan, beliau menuturkan masih ada proyek
lain yang akan beliau kerjakan, diantaranya proyek yang akan dilakukan di sekitar
Gunung Tangkuban Perahu, yang bekerjasama dengan pemerintah Norwegia.
Secara kebetulan, proyek ini akan menggunakan alat yang diberikan Jepang pada
proyek CCS. Pemerintah Jepang memperbolehkan penggunaan alat tersebut.
Berdasarkan pengalaman Pak Deni dan melihat dari alumni-alumni beberapa tahun
terakhir, dalam bidang akademik dapat dipastikan rata-rata mahasiswa memiliki
kapabilitas yang sama; yang membedakan adalah soft skill. Menurut beliau, yang
paling krusial bukanlah akademik, karena itu hanya requirement awal. Akan lebih
baik jika kita mempunyai soft skill yang berguna di dunia kerja seperti leadership,
kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerja sama, berorganisasi, dsb. Soft
skill yang seperti itu perlu diasah sejak dini untuk meningkatkan kualitas mahasiswa
menghadapi dunia nyata.

Anda mungkin juga menyukai