Booklet Gambut Final
Booklet Gambut Final
Bogor 2008
Lahan Gambut:
Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan
Materi publikasi ini diproduksi dengan bantuan hibah dari Uni Eropa. Pendapat/pandangan
yang dinyatakan dalam materi publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Balai
Penelitian Tanah dan bukan mencerminkan pendapat/pandangan Uni Eropa.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sutono (Balai Penelitian Tanah), Ibu
Subekti Rahayu (ICRAF-Bogor) dan Ibu Anny Mulyani (Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian) serta beberapa orang lain yang namanya tidak mungkin disebut satu
persatu, yang sudah memberikan masukan untuk perbaikan buku ini.
ii
PENGANTAR
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap
produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat.
Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi
salah satu sasaran perluasan lahan pertanian.
Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi
masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena
simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Pembukaan lahan
gambut merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta
menghilangkan kemampuannya menyimpan air. Dengan pengorbanan yang besar
dari sisi kualitas lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan
keuntungan ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral.
Buku ini memberikan uraian ringkas tentang sifat lahan gambut, potensinya
untuk pertanian, risiko lingkungan dan beberapa pertimbangan tentang penggunaan
dan konservasi lahan gambut. Diharapkan buku ini dapat menjadi salah satu
pertimbangan dalam pengelolaan dan pengembangan lahan gambut ke depan.
Penyusunan dan pencetakan buku ini merupakan salah satu hasil kegiatan
proyek Trees, Resilience and Livelihood Recovery in the Tsunami-affected Coastal
Zone of Aceh and North Sumatra (Indonesia): Rebuilding Green Infrastructure with
Trees People Want atau disebut juga dengan Proyek ReGrIn yang sebagian besar
didanai oleh Uni Europa melalui Asia Pro-Eco IIB Program. Proyek ini merupakan
kemitraan antara Balai Penelitian Tanah (Balittanah), World Agroforestry Centre
(ICRAF), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dan University of Hohenheim
(Jerman).
iii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
PENGANTAR
I. PENDAHULUAN
12
12
15
17
17
17
5.3. Subsiden
23
26
27
28
28
28
29
29
DAFTAR PUSTAKA
32
iv
I. PENDAHULUAN
Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian
mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan
marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang
penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB
Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari
segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan
gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di
pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian
(Tabel 1).
Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi
habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan
gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya
menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal
sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem
lahan gambut tersebut.
Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat
(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di
atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm
gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2
ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka
karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas
rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan
permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan
kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan
gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai
karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi.
Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa
propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83
juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau.
Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk
lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008).
Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan
hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya.
Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang
sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.
6.244.101
2.253.733
4.043.600
774.946
716.839
333.936
1.483.662
1.144.851
5.072.249
1.530.256
Kalimantan Tengah
3.010.640
672.723
Kalimantan Barat
1.729.980
694.714
331.629
162.819
7.001.239
2.273.160
18.317.589
6.057.149
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kalimantan
Kalimantan Selatan
Papua dan Papua Barat
Total
Catatan: Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan
gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha.
yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya)
berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah
dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga
danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut
dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar,
terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 1c). Gambut yang
tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.
gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan
mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif
subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen
sungai atau laut.
gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut
Gambar 2. Contoh tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat
sampler). Gambar atas memperlihatkan contoh gambut fibrik (mentah)
dan gambar bawah contoh gambut hemik (setengah matang).
Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut
menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).
Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya
menahan beban tanah gambut.
10
11
12
Gambar 6. Lahan gambut di Kalimantar Timur digunakan untuk sawah (atas) dan
terong (bawah).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH
5 karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai
tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk
asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahanbahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah
mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al., 1997).
Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et
al., 1997).
13
Tabel 2. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada tanah gambut.
Jenis amelioran
Kapur
Dosis
(t ha-1 tahun-1)
12
Manfaat
Meningkatkan basa-basa dan pH tanah
Pupuk kandang
5 10
Terak baja
25
Tanah mineral
10 20
Abu
10 20
Lumpur sungai
10 20
14
amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun abu
hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan kesuburan
tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa
memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden,
meningkatkan emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan
serta mempengaruhi lalu lintas.
Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan
secara terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah
mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan
baik di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah
harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di
bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar.
Dalam jangka panjang pembakaran serasah dan gambut perlu dicegah untuk
menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan
bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk
bagi petani.
15
tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan
saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (<100 cm) dan subur
juga dapat ditanami dengan tanaman kopi dan kakao dengan saluran drainase
sedalam 30-50 cm.
Gambar 7.
16
Hutan gambut
150-200
300-6.000
17
antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007). Pada tahun-tahun di mana terjadi
kemarau panjang, misalnya tahun El-Nio, kemungkinan besar gambut tumbuh
negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak
jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari
penambatan.
Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2,
CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4
(walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2) (Tabel
4) dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat untuk
merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya
seperti CH4 dan N2O sulit dilakukan.
Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan
dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat
karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang kayunya
baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam,
bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan pertanian yang juga
didrainase (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang
mudah terdekomposisi pada hutan terganggu.
Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau
yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman muka
air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian relatif kecil
karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara
anaerob (Jauhiainen et al., 2004).
Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan
lahan gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan
drainase untuk berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan (hutan tanaman
industri), maupun untuk pemukiman.
Tabel 4. Emisi karbon dari permukaan hutan gambut terdegradasi dan dari lahan
pertanian gambut terlantar di Kalimantan Tengah (Jauhiainen et al., 2004
dalam Rieley et al., 2008).
Emisi CO2
Penggunaan lahan
Emisi CH4
t ha-1 tahun-1
Hutan gambut tidak didrainase
38,9+0,3
0,014+0,006
40,0
0,013
34,0
0,001
19,28
0,001
18
150-250 t C ha-1
(4) Penambatan C
~60 t C ha-1
60 cm
30-60 kg C m-3
(3) Dekomposisi gambut
dan sisa tanaman
19
rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Pada tahun ElNino seperti tahun 1997, muka air tanah menjadi lebih dalam karena penguapan
sehingga lapisan atas gambut menjadi sangat kering. Dalam keadaan demikian
kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm (Page et al., 2002). Dalam
keadaan ekstrim ini bara api pada tanah gambut dapat bertahan berminggu-minggu.
Untuk tahun normal Hatano (2004) memperkirakan kedalaman gambut yang
terbakar sewaktu pembukaan hutan sedalam 15 cm. Apabila kandungan karbon
gambut rata-rata adalah 50 kg m-3 (berkisar antara 30 sampai 60 kg m-3; Gambar 8)
maka dengan terbakarnya 15 cm lapisan gambut akan teremisi sebanyak 75 t C ha-1
atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1.
20
21
Lahan
Gambut
20065
155
60,420
6823
Catatan
50% biomassa dijadikan produk hasil hutan
(timber forest product) dan dianggap sebagai
bagian karbon tersimpan selama satu siklus
produksi kelapa sawit (25 tahun).
100% biomassa belukar terdekomposisi atau
terbakar segera sesudah pembukaan lahan
Rogi (2002)
5020
22
Tabel 6. Sumber dan perkiraan besaran emisi dan penambatan karbon dari konversi
hutan atau belukar lahan gambut menjadi perkebunan sawit atau karet.
Emisi dari penggunaan lahan awal
hutan atau belukar gambut menjadi
perkebunan sawit atau karet
Hutan gambut
Belukar gambut
Sawit
Karet
Sawit
Karet
367
275
1365
2.007
222
1.786
367
275
455
1.097
207
890
55
92
1365
1.512
222
1.290
55
92
455
602
207
394
14,7
11,0
54,6
80,3
8,9
71,4
14,7
11,0
18,2
43,9
8,3
35,6
2,2
3,7
54,6
60,5
8,9
51,6
2,2
3,7
18,2
24,1
8,3
15,8
Catatan: Error (galat) kurang lebih 30% dari nilai yang ada pada tabel ini.
5.3. Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah
lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak
dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama
masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan.
Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat
kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan
gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah
et al., 1994, Wsten et al., 1997).
Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:
1. Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan
menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan
gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di
bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat).
23
24
2,0 cm/tahun
4,6 cm/tahun
Gambar 9. Subsiden gambut yang didrainase dari studi kasus di Sarawak, Malaysia.
Tahun 1960 adalah tahun dimulainya drainase (Wsten et al., 1997).
25
26
Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah
gambut (peat dome) sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut
berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air bagi wilayah di
sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha
tani. Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang
berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah di sekitarnya. Hal ini
dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar yaitu
sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan
akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.
Dengan mempertahankan kawasan lindung gambut petani mampu bertahan
hidup dari usahatani di lahan gambut sejak puluhan tahun yang lalu. Namun
kecenderungan membuka lahan gambut secara berlebihan sangat mengancam
kehidupan tidak saja masyarakat yang hidup di lahan gambut tersebut, tetapi juga
masyarakat di lingkungan yang lebih luas.
Apabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan
keuntungan ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta
memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah
ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali
mendatangkan kerugian bagi masyarakat, seperti yang terjadi pada lahan bekas
PLG di Kalimantan Selatan. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan
lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara
pemanfaatan dan perlindungan.
Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi
lahan gambut: (i) menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (ii)
penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohonpohonan), (iii) pengaturan tinggi muka air tanah, (iv) memanfaatkan lahan semak
belukar yang terlantar, (v) penguatan peraturan perundang-undangan dan
pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan (vi) pemberian
insentif dalam konservasi gambut.
27
Gambar 10. Pintu air tradisional untuk mengatur tinggi muka air.
28
29
kisaran harga minyak sawit mentah (CPO = crude palm oil) antara Rp. 6.000 Rp.
10.000 kg-1. Bila lahan dipertahankan sebagai hutan gambut sehingga karbon yang
disimpannya dapat dipertahankan, berarti pemilik lahan kehilangan peluang untuk
mendapatkan keuntungan (opportunity cost) senilai Rp. 216.000 Rp. 2.076.000
ha-1 tahun-1 (Herman dan Agus, 2008).
Dari Tabel 6 terlihat bahwa perkebunan sawit pada lahan gambut
berpotensi mengeluarkan emisi CO2 rata-rata sebanyak 71,4 t ha-1 tahun-1. Jika
hutan gambut dipertahankan (tidak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit)
maka emisi dari hutan gambut sebanyak sebanyak 71,4 t ha-1 tahun-1 tersebut dapat
dihindari.
Forum Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Penanggulangan Perubahan
Iklim (UNFCCC = United Nations Framework Convention on Climate Change) tengah
merumuskan mekanisme imbalan untuk jasa konservasi karbon melalui mekanisme
yang disebut dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Degradation = pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Apabila
tercapai kesempatan di kalangan negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) maka REDD akan diberlakukan pada tahun 2012. Selain REDD, kelihatannya
mekanisme yang sudah dianut sekarang, yaitu AR-CDM (Afforestation Reforetation
Clean Development Mechanism = Penghijauan dan penghutanan kembali sebagai
Mekanisme Pembangunan Bersih) akan tetap dipertahankan sehingga mekanisme
pembayaran jasa karbon akan merupakan gabungan dari mekanisme REDD dan
AR-CDM.
Nilai jasa pengurangan emisi atau penambatan (sequestration) gas rumah
kaca yang berlaku sekarang di pasar karbon di negara maju mencapai lebih dari
US$ 20 untuk setiap ton pengurangan emisi CO2. Untuk bidang pertanian dan
bidang-bidang lain dengan tingkat ketidakyakinannya (uncertainty) cukup tinggi,
kemauan membayar (willingness to pay) jasa karbon dari negara maju bisa jauh
lebih rendah dari harga resmi yang diberlakukan di pasar internasional. Jika
seandainya negara maju berkemauan membayar pada tingkat US$ 10 t-1 CO2, maka
penyedia jasa karbon serta perangkat kelembagaan pendukungnya berpotensi
menerima US$10 t-1 CO2 x 71.4 t CO2 ha-1 tahun-1 = US$ 714 ha-1 tahun-1 selama
masa perjanjian (25 tahun atau lebih). Artinya, dengan mempertahankan hutan
gambut tetap sebagai hutan, pemilik lahan berpotensi mendapatkan bayaran setara
dengan tingkat keuntungan perkebunan kebun sawit. Uang pembayaran tersebut
merupakan hak bagi pemilik lahan dan lembaga yang memfasilitasi serta memonitor
penerapan perjanjian perdagangan karbon serta dapat dijadikan modal untuk bidang
usaha lain oleh petani/pemilik lahan.
Mekanisme REDD ataupun AR-CDM merupakan perjanjian jangka panjang
dengan banyak persyaratan. Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat
pada saat ini harus dipatuhi oleh pemerintah dan masyarakat yang akan datang
selama masa berlakunya perjanjian tersebut. Selain itu, dengan pembatasan
konversi hutan pada suatu tempat, di tempat lain tidak boleh terjadi peningkatan
(leakage) konversi hutan dan perluasan perkebunan. Jika perjanjian dilakukan pada
30
suatu kabupaten, harus ada jaminan bahwa pada kabupaten lain tidak terjadi
peningkatan konversi lahan di atas tingkat yang ada sekarang (baseline). Apabila
ada pelanggaran terhadap isi perjanjian, maka pelanggar dikenakan sanksi sesuai
dengan yang ditetapkan dalam perjanjian. Dengan demikian diperlukan kehati-hatian
sebelum pemerintah dan masyarakat mengikat diri dalam perjanjian karbon. Jika
pemerintah dan masyarakat yang ada sekarang tidak yakin bahwa pemerintah dan
masyarakat yang akan datang bisa mentaati perjanjian, sebaiknya tidak terburu-buru
mengikat diri dalam perjanjian ini. Negara mempunyai kedaulatan penuh untuk tidak
mengikat diri dalam perjanjian, jika memang belum/tidak siap.
6.6.2. Mekanisme insentif lokal
Kerusakan hutan dan lahan gambut sebenarnya bukan semata-mata
masalah internasional, akan tetapi merupakan masalah yang juga sangat
berpengaruh kepada penduduk lokal. Pembukaan hutan gambut seperti diterangkan
pada Bab 5 buku ini menyebabkan subsiden yang berpotensi menyebabkan daerah
sekelilingnya rentan akan kebanjiran dan kebakaran. Dengan demikian perlu
dihindari penggunaan lahan gambut melalui cara-cara yang dapat mempercepat
emisi GRK, misalnya penanaman tanaman yang memerlukan drainase dalam atau
pembakaran seresah di atas lahan gambut.
Perubahan cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan kemungkinan
memerlukan tambahan biaya atau menurunkan tingkat keuntungan finansial. Untuk
itu diperlukan insentif di tingkat lokal untuk merubah sistem pertanian tersebut.
Pada Bagian 4.1.4 buku ini diterangkan bagaimana petani tradisional
menggunakan abu hasil pembakaran gambut untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Untuk mengendalikan cara yang merusak gambut dan lingkungan ini, dapat
diberikan insentif, misalnya dalam bentuk subsidi pupuk yang disertai dengan
teknologi pengelolaan kesuburan tanah.
Insentif agar petani lebih memilih bertanam karet yang lebih rendah tingkat
emisinya dibandingkan dengan bertanam kelapa sawit dapat diberikan, misalnya
dalam bentuk penyediaan bibit karet clone unggul dan penyederhanaan sistem
pemasaran sehingga harga jual di tingkat petani lebih tinggi.
31
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., T. June, H. Komara, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu, dan E. Susanti. 2008.
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dari Lahan Perkebunan. Laporan
Tahunan 2008, Konsorsium Litbang Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai
Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor.
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan
gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31
Januari 2009, Malang.
Andriesse, J.P. 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use options of
tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical Peat; Proceedings of
International Symposium on Tropical Peatland, 6-10 May 1991, Kuching,
Sarawak, Malaysia.
BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. 2008. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Diemont, W.H. and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and
gleying in Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. Proc.
International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching,
Serawak, Malaysia.
Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and Rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.
Driessen, P.M., dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 44.
Germer, J., dan J. Sauaerborn. 2008. Estimation of the impact of oil palm plantation
establishment on greenhouse gas balance. Environ. Development
Sustainability 10:697-716.
Hadi, A., Haridi, M., Inubushi, K., Purnomo, E., Razie, F. and Tsuruta, H. 2001.
Effects of land-use change on tropical peat soil on the microbial population
and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79-86.
Halim, A. 1987. Pengaruh Pencampuran Tanah Mineral dan Basa dengan Tanah
Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah dalam Budidaya Tanaman Kedelai.
Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
32
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh
pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan
amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P.
Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.
Hatano, R., Tomoaki, M., Untung, D., Limin, S.H., Syaiful, A. 2004. Impact of
agriculture and wild fire on CO2, CH4 and N2O emissions from tropical peat
soil in Central Kalimantan, Indonesia, Necessity of Establishment of Inventory
on Carbon Cycling in Tropical Peatland Ecosystems for Sustainable
Agroproduction and Environmental Conservation, Report number 13574012,
Field Science Center for Northern Biosphere, Hokkaido University, Sapporo,
pp. 11-14.
Herman dan F. Agus 2008. Analisis finansial dan opportunity cost emisi CO2 dari
perkebunan kelapa sawit. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Litbang
Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Sumber Daya Lahan
Pertanian, Bogor.
Hooijer, A., Silvius, M., Wsten, H., Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.
Jauhiainen, J., Vasander, H., Jaya, A., Takashi, I., Heikkinen, J., Martikinen, P. 2004.
Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan, Indonesia. In
Wise Use of Peatlands - Proceedings of the 12th International Peat Congress,
06.-11.06.2004, Tampere, volume 1, Pivnen, J. (ed.), International Peat
Society, Jyvskyl, pp. 653-659.
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In. Parish, F., Siri, A., Chapman,
D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M (eds.) Assessment on Peatland,
Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala Lumpur
and Wetland International, Wageningen.
Kononova, M.M. 1968. Transformation of organic matter and their relation to soil
fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan
Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Murayama, S. and Bakar, Z.A. 1996a. Decomposition of tropical peat soils 1.
Decomposition kinetics of organic matter of peat soils. Japan Agricultural
Research Quaterly 30: 145-151.
Murayama, S. and Bakar, Z.A. 1996b. Decomposition of tropical peat soils 2.
Estimation of in situ decomposition by measurement of CO2 flux. Japan
Agricultural Research Quaterly 30: 153-158.
Mutalib, A.Aa, J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International Symposium
on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius.
Jakarta.
33
Nugroho, K., G. Gianinazzi and IPG. Widjaja-Adhi. 1997. Soil hidraulic properties of
Indonesian peat. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 147-156 In Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd.
Cardigan. UK.
Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H-D.V. Boehm, A. Jaya, and S.H. Limin. 2002.
The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during
1997. Nature 420: 61-65.
Parish, F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, and L. Stringer
(Eds.). 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change:
Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands
International, Wageningen.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah
Gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and problems
for sustainability. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd.
Cardigan. UK.
Rahayu, S., B. Lusiana, dan M. van Noordwijk. 2005. Above ground carbon stock
assessment for various land use systems in Nunukan, East Kalimantan. pp.
21-34. In: Lusiana, B., van Noordwijk, M., and Rahayu, S. (eds.) Carbon
Stock Monitoring in Nunukan, East Kalimantan: A Spatial and Modelling
Approach. World Agroforestry Centre, SE Asia, Bogor, Indonesia.
Rieley, J.O., R.A.J. Wst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wsten, A. Hooijer, F.
Siegert, S.H. Limin, H. Vasander and M. Stahlhut. 2008. Tropical peatlands:
carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change
Processes. pp. 148-182 In M. Strack (Ed.) Peatlands and Climate Change.
International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyvskyl, Finland.
Rogi, J. E. X. 2002. Penyusunan Model Simulasi Dinamika Nitrogen Pertanaman
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis, Jacq.) di Unit Usaha Bekri Propinsi
Lampung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sabiham, S., TB, Prasetyo and S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian peat.
In: Rieley and Page (Eds.). pp. 289-292. Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salmah, Z., G. Spoor, A.B. Zahari, and D.N. Welch. 1994. Importance of water
management in peat soil at farm level. In: B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical
Peat; Proceedings of International Symposium on Tropical Peatland, 6-10
May 1991, Kuching, Sarawak, Malaysia.
34
35
36