Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

DEFINISI
Anemia

defisiensi

besi

adalah

anemia

yang

timbul

akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi


kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Pada pertengahan abad XVI, kekurangan zat besi digambarkan sebagai
penyakit yang dikenal sebagai Klorosis.

(26,27)

Orang yang pertama sekali

memakai istilah Klorosis adalah Verandeus untuk menggantikan nama


de morbo vergineo yang dikemukan oleh Johannes Lange pada tahun
1554 untuk suatu penyakit dengan gejala-gejala muka pucat kehijauan,
palpitasi, edem, sakit sendi, dan gangguan gastrointestinal berupa obstipasi,
serta nyeri tekan pada epigastrium. Klorosis merupakan suatu

anemia

kekurangan zat besi yang dijumpai pada gadis-gadis berumur 14-17 tahun
dan ibu-ibu muda.

(26,27)

Gambaran klinis dari penyakit tersebut ialah muka

pucat warna kuning kehijauan sebagai akibat dari kadar zat besi dalam darah
yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat besi yang meningkat
untuk pertumbuhan dan karena haid.

( 11,27 )

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan


oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih

secara

Universitas Sumatera Utara

progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan


memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO).

(21,22)

Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas
normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya,
berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk
metabolisme tubuh yang optimal.

(28,29,30)

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat


kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan
hemoglobin (Hb) berkurang.

2.2.

(22,31,32)

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada

anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia
sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja
26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui
kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi.
sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat
pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit
putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak
kulit
hitam yang lebih rendah.

(22,28)

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi


ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens
ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.

(20,23)

Pada tahun 2002

prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah
10gr/dl sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%.

(21)

Pauline di Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003


tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak
menderita anemia.

(22)

Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu

anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat
menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang
tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi
pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat
memiliki

prevalensi

Indonnesia.

2.3.

terbesar

(82,6%)

dibandingkan

propinsi

lain

di

(22,23)

ETIOLOGI
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor

nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti
daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap.
Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung,
kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,

kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka,


salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan yang
menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai.

(33,34)

Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang


adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis
dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

(21,35)

Infestasi cacing

tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator


Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum duodenaltinale). Jumlah
kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih 2-3
ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100ml/hari.

(21,35)

Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit,


misalnya aspirin dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan
berakhir menjadi anemia defisiensi besi.

(21)

Penyebab lain perdarahan

gastrointestinal dan malaria terutama di daerah endemik. Pada masa


pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid

yang

(>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi.

berlebihan

( 21,,23)

Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun


perubahan anatomi saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi
seperti malnutrisi energi protein, infeksi usus, pasca bedah usus.

(21,35)

Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume


darah yang banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir
tahun pertama berat badan anak mencapai 3 kali berat badan

lahir.

Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada
masa pubertas.

(28,36)

Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat


disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

2.4.

(21,28)

PATOFISIOLOGI

2.4.1. Pembentukan Hemoglobin


Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam
keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum
tulang), sumsum tulang memproduksi

500x109

sel

Hb merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit.

dalam
(37,38)

24

jam.

Molekul Hb

terdiri dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar
ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat
dari transferin.

(37,39)

Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti
adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini
biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam
sinusoid.

(40,41)

Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor

transferin.

Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan

terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang


mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).

(21,37,42)

Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk


pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah.
Hal ini dapat disebabkan oleh 1. kurang gizi, 2. gangguan absorbsi Fe
(terutama dalam lambung), 3. kebutuhan besi yang meningkat akan besi
(kehamilan, perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga
menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dapat
dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya

memiliki

(37,38)

reseptor transferin bukan reseptor Fe.

2.4.2. etabolisme Besi


Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin
merupakan suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam
beberapa tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih
besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh
asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero
oleh pengaruh alkali.

(38)

Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel

mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan


sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang berikatan dengan protein,
disebut transferin. Selanjutnya transferin ini dipergunakan untuk sintesis
hemoglobin.

(38,43)

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai


labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan
membentuk suatu kompleks besi yang larut , sedangkan fosfat, oksalat dan
fitat menghambat absorpsi besi.

(43,44)

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali
ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin.
Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit.
Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan
karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang
berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.
(38,43)

Kebutuhan rata-rata zat besi per hari :

(45)

- 0-6 bulan 3 mg
- 7-12 bulan 5mg
- 1-3 tahun 8 mg
- 4-6 tahun 9 mg
- 7-9 tahun 10 mg
- 10-12 tahun pria : 14 mg wanita : 14 mg
- 13-15 tahun 17 mg 19 mg
- 16-19 tahun 23 mg 25 mg

- hamil : + 20 mg
- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg
Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut :

(38)

- massa eritrosit 60%


- feritin dan hemosiderin 30%
- mioglobin 5-10%
- hemenzim 1%
- besi plasma 0,1%
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah :
- bayi 0,3-0,4 mg/hari
- anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari
- wanita hamil 2,7 mg/hari
Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya,
karena besi dipergunakan untuk pertumbuhan.

2.5.

(38)

Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif

besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif
ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap
(37,46)

defisiensi besi, yaitu:

Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya

cadangan

besi

atau

tidak

adanya

cadangan

besi.

Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan
ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi
masih normal.

Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

diperoleh

nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan


total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin
(FEP) meningkat.

Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi

(28)

Tahap III
Tahap I

Tahap II

(Normal)

(sedikit menurun)

Hemoglobin

(menurun jelas)
Mikrositik hipokrom

Cadangan besi
<100

Fe serum (ug/dl)

Normal

<60

<40

TIBC (ug/dl)

360-390

>390

>410

20-30

<15

<10

<20

<12

<12

40-60

<10

<10

>30

>100

>200

Normal

Normal

Menurun

(mg)

Saturasi transferin
(%)
Feritin serum
(ug/dl)
Sideroblas (%)
FEP (ug/dl
eritrosit)
MCV

2.6.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu diperhatikan

oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya
dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada
ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif
sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat
terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik.

(21,28)

Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan
(21,47,48)

besi seperti:

Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk


kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid
oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus.

Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan


tubuh

Termogenesis

yang

tidak

normal:

terjadi

ketidakmampuan

untuk

mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin

Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli
dan S. aureus menurun. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu
makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar tapi gejala ini dapat
hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.

Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika


yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang
nyaman di mulut yang disebabkan enzim sitokrom oksidase yang
mengandung besi berkurang.

2.7.

(11,26 )

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium

yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit ditambah
pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total
(28,35)

iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin).

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan


hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam
menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan
MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya
normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat.
Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,
anisositosis dan

poikilositosis (dapat ditemukan sel

pensil, sel

target,

ovalosit,
mikrosit dan sel fragmen).

(21,49)

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infeksi cacing sering
ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif.

Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat.


Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan
anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia

28%.

(31,35)

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun


yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah
transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum
dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe
serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui
pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh.

(28,31)

SI (7%)

dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang
rendah atau pemeriksaan lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan
besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi

dan

keganasan.

Titik pemilah ( cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12
g/l,
tetapi ada juga yang memakai < 15 g/l. untuk daerah tropik dimana angka
infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat
tampaknya perlu dikoreksi.

(28,31)

Pada suatu penelitian pada pasien anemia

di rumah sakit di Bali pemakaian feritin seum <12 g/l dan < 20 g/l
memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta
68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian
feritin serum <40 g/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%).

(31)

Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum


<20 g/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi
yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60
g/l masih dapat menunjukan adanya defisiensi besi. Feritin serum
merupakan pemriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat
oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun dilapangan
cukup reliabel dan praktis. Angka feritin serum normal dapat

karena

menyingkirkan

adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 g/l dapat memastikan
tidak adanya defisiensi besi.

(28,31)

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum


tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin
(FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi
terikat

untuk

membentuk

heme.

Bila

penyediaan

menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel.

besi
(28,35)

tidak

adekuat

Nilai FEP > 100

ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda
ADB yang progresif.

Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan

memeriksa
kadar feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan
gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya
hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui
dengan pewarnaan Prussian blue.

(28,35)

2.8.

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan

anamnesis

dan

pemeriksaan

fisis

yang

teliti

disertai

pemeriksaan

laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama
adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
(33)

hematokrit.

Titik pemilah anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah

kriteria WHO atau kriteria klinik.

(33)

Tahap kedua adalah memastikan adanya

defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari


defisiensi besi yang terjadi. Feritin serum merupakan indikator yang terbaik
untuk menilai interfensi besi dan deplesi besi.

(33,34)

WHO merekomendasikan

konsentrasi konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan


besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi
cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase
akut sehingga nilainya meningkat pada keadaan inflamasi. Pengukuran
protein fase akut yang berbeda dapat membantu menginterpretasi nilai serum
feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini meningkat menandakan dijumpai
inflamasi.

(33,34)

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa


hemoglobin yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.

(21,28,35)

Menurut WHO, dikatakan anemia bila:

(2)

Laki-laki dewasa

hemoglobin < 13 g/dl

Perempuan dewasa tidak hamil

hemoglobin < 12 g/dl

Perempuan hamil

hemoglobin < 11 g/dl

Anak umur 6-12 tahun

hemoglobin < 12 g/dl

Anak umur 6 bulan-6 tahun

hemoglobin < 11 g/dl

2.9 . DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran
anemia hipokrom mikrositik lain (Tabel 3). Keadaan yang sering memberi gambaran
klinis dan laboratorium hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan
anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya adalah lead poisoning/
keracunan
timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.

(28,50)

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu
cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan
melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan
mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan cara
membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < menunjukkan
talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia
minor

terutama thalassemia didapatkan basophilic stippling, dapat diseratai


peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2.

(21,36)

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya


normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya
anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan
makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun
cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral
atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar

reseptor

transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal
karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB
kadarnya
(31,36)

menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.


Table 2 : Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB

(31)

Pemeriksaan

Anemia

Thalasemia

Anemia

Laboratorium

defisiensi Besi

Minor

Penyakit Kronis

MCV

Menurun

Menurun

N/Menurun

Fe serum

Menurun

Normal

Menurun

TIBC

Naik

Normal

Menurun

Saturasi transferin

Menurun

Normal

Menurun

FEP

Naik

Normal

Naik

Feritin serum

Menurun

Normal

Menurun

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan


ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada
keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar
lead dalam darah. Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan
(22)

oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau herediter.

Pada keadaan ini

didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW


yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan
ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan
sel darah merah berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam
mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada
dewasa.(21,36)

2.10. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.
Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya
dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita yang tidak dapat
memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan.

(21,28)

Pemberian preparat besi


Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam
feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang
sering dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih

murah.

Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya.
(21,28)

Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg


besi/ kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada
dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%.
Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran
(28)

pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.

Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua
waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna.
Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan
atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar
40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih
penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan

kepatuhan

penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi
dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak
pada tabel di bawah ini.

(35,36)

Preparat terapi besi per oral :

(21)

- Fe sulfat (20 % Fe)


- Fe fumarat (33 % Fe)
- Fe succinate (12 % Fe)
- Fe gluconate (12 % Fe)
Respons terhadap pemberian besi pada ADB
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi
pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang
bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut
ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.

(24,35)

Tabel 3 : Respons pemberian besi


Waktu setelah Pemberian besi

Respons
Penggantian enzim besi intraselular,

12-24 jam

keluhan subjektif berkurang, nafsu


makan bertambah
Respons awal dari sumsum tulang

36-48 jam
hiperplasia eritroid
Retikulosis, puncaknya pada hari ke
48-72 jam
5-7

Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi
alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding
peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini
(24,35)

mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:

Dosis besi (mg) BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,

Hemoglobin A2
Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A dan dua
hemoglobin kecil, yaitu; hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada orang dewasa,
Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5- 3,5% hemoglobin total. Persentase
tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%, dengan kenaikan tingkat
dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi ada kenaikan yang lambat
pada umur tiga tahun. Pada dewasa normal HbA2 menunjukan distribusi yang
normal. Pengurangan sintesis HbA2 dianggap sebagai gangguan yang
diperoleh, yaitu sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau terganggunya
pengiriman

zat

besi

untuk

mengembangkan

(5,6)

sel-sel eritroid.

Anda mungkin juga menyukai