TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
DEFINISI
Anemia
defisiensi
besi
adalah
anemia
yang
timbul
akibat
(26,27)
anemia
kekurangan zat besi yang dijumpai pada gadis-gadis berumur 14-17 tahun
dan ibu-ibu muda.
(26,27)
pucat warna kuning kehijauan sebagai akibat dari kadar zat besi dalam darah
yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat besi yang meningkat
untuk pertumbuhan dan karena haid.
( 11,27 )
secara
(21,22)
Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas
normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya,
berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk
metabolisme tubuh yang optimal.
(28,29,30)
2.2.
(22,31,32)
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada
anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia
sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja
26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui
kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi.
sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat
pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit
putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak
kulit
hitam yang lebih rendah.
(22,28)
(20,23)
prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah
10gr/dl sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%.
(21)
(22)
anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat
menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang
tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi
pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat
memiliki
prevalensi
Indonnesia.
2.3.
terbesar
(82,6%)
dibandingkan
propinsi
lain
di
(22,23)
ETIOLOGI
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor
nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti
daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap.
Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung,
kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,
(33,34)
(21,35)
Infestasi cacing
(21,35)
(21)
yang
berlebihan
( 21,,23)
(21,35)
lahir.
Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada
masa pubertas.
(28,36)
2.4.
(21,28)
PATOFISIOLOGI
500x109
sel
dalam
(37,38)
24
jam.
Molekul Hb
terdiri dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar
ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat
dari transferin.
(37,39)
Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti
adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini
biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam
sinusoid.
(40,41)
transferin.
(21,37,42)
memiliki
(37,38)
(38)
(38,43)
(43,44)
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali
ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin.
Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit.
Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan
karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang
berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.
(38,43)
(45)
- 0-6 bulan 3 mg
- 7-12 bulan 5mg
- 1-3 tahun 8 mg
- 4-6 tahun 9 mg
- 7-9 tahun 10 mg
- 10-12 tahun pria : 14 mg wanita : 14 mg
- 13-15 tahun 17 mg 19 mg
- 16-19 tahun 23 mg 25 mg
- hamil : + 20 mg
- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg
Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut :
(38)
2.5.
(38)
besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif
ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap
(37,46)
Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya
cadangan
besi
atau
tidak
adanya
cadangan
besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan
ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi
masih normal.
Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
diperoleh
Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.
(28)
Tahap III
Tahap I
Tahap II
(Normal)
(sedikit menurun)
Hemoglobin
(menurun jelas)
Mikrositik hipokrom
Cadangan besi
<100
Fe serum (ug/dl)
Normal
<60
<40
TIBC (ug/dl)
360-390
>390
>410
20-30
<15
<10
<20
<12
<12
40-60
<10
<10
>30
>100
>200
Normal
Normal
Menurun
(mg)
Saturasi transferin
(%)
Feritin serum
(ug/dl)
Sideroblas (%)
FEP (ug/dl
eritrosit)
MCV
2.6.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu diperhatikan
oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya
dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada
ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif
sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat
terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik.
(21,28)
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan
(21,47,48)
besi seperti:
Termogenesis
yang
tidak
normal:
terjadi
ketidakmampuan
untuk
Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli
dan S. aureus menurun. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu
makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar tapi gejala ini dapat
hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.
2.7.
(11,26 )
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium
yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit ditambah
pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total
(28,35)
pensil, sel
target,
ovalosit,
mikrosit dan sel fragmen).
(21,49)
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infeksi cacing sering
ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif.
28%.
(31,35)
(28,31)
SI (7%)
dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang
rendah atau pemeriksaan lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan
besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi
dan
keganasan.
Titik pemilah ( cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12
g/l,
tetapi ada juga yang memakai < 15 g/l. untuk daerah tropik dimana angka
infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat
tampaknya perlu dikoreksi.
(28,31)
di rumah sakit di Bali pemakaian feritin seum <12 g/l dan < 20 g/l
memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta
68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian
feritin serum <40 g/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%).
(31)
karena
menyingkirkan
adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 g/l dapat memastikan
tidak adanya defisiensi besi.
(28,31)
untuk
membentuk
heme.
Bila
penyediaan
besi
(28,35)
tidak
adekuat
ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda
ADB yang progresif.
memeriksa
kadar feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan
gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya
hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui
dengan pewarnaan Prussian blue.
(28,35)
2.8.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis
dan
pemeriksaan
fisis
yang
teliti
disertai
pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama
adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
(33)
hematokrit.
(33)
(33,34)
WHO merekomendasikan
(33,34)
(21,28,35)
(2)
Laki-laki dewasa
Perempuan hamil
(28,50)
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu
cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan
melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan
mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan cara
membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < menunjukkan
talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia
minor
(21,36)
reseptor
transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal
karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB
kadarnya
(31,36)
(31)
Pemeriksaan
Anemia
Thalasemia
Anemia
Laboratorium
defisiensi Besi
Minor
Penyakit Kronis
MCV
Menurun
Menurun
N/Menurun
Fe serum
Menurun
Normal
Menurun
TIBC
Naik
Normal
Menurun
Saturasi transferin
Menurun
Normal
Menurun
FEP
Naik
Normal
Naik
Feritin serum
Menurun
Normal
Menurun
2.10. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.
Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya
dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita yang tidak dapat
memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan.
(21,28)
murah.
Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya.
(21,28)
Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua
waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna.
Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan
atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar
40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih
penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan
penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi
dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak
pada tabel di bawah ini.
(35,36)
(21)
(24,35)
Respons
Penggantian enzim besi intraselular,
12-24 jam
36-48 jam
hiperplasia eritroid
Retikulosis, puncaknya pada hari ke
48-72 jam
5-7
Hemoglobin A2
Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A dan dua
hemoglobin kecil, yaitu; hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada orang dewasa,
Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5- 3,5% hemoglobin total. Persentase
tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%, dengan kenaikan tingkat
dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi ada kenaikan yang lambat
pada umur tiga tahun. Pada dewasa normal HbA2 menunjukan distribusi yang
normal. Pengurangan sintesis HbA2 dianggap sebagai gangguan yang
diperoleh, yaitu sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau terganggunya
pengiriman
zat
besi
untuk
mengembangkan
(5,6)
sel-sel eritroid.