Anda di halaman 1dari 21

ARTRITIS REUMATOID

Definisi
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinis klasik AR adalah
poliartritis simetris yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit,
jantung, paru-paru dan mata. (Suarjana, 2009)
Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,51%. Prevalensi yang tinggi didapat di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar
5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di india dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar
0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah
urban maupun rural. (Silman dan Pearson, 2012)

Gambar 1.Prevalence of rheumatoid arthritis in various populations. (Silman and Pearson, 2012)
Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di
daerah rural dan 0,3% di daerah urbam. Sedangkan penelitian yang dilakukan di malang pada
penduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan
pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua
kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.
(Suarjana, 2009)
Etiologi

Meskipun etiologi AR tidak diketahui, banyak penelitian menunjukkan bahwa gabungan


faktor lingkungan dan genetik memiliki kemungkinan. Bukti yang paling kuat untuk komponen
genetik dalam kembar monozigot, di antaranya tingkat kesesuaian adalah 12% sampai 15%
ketika salah satu kembar terpengaruh dibandingkan dengan 1% untuk masyarakat umum. Risiko
untuk kembar fraternal dari pasien dengan AR juga tinggi (sekitar 2% sampai 5. Meskipun
imunogenetik didapat paling kuat tapi masih sulit untuk dimengerti, dari salah satu studi didapat
faktor resiko genetik terbanyak dari halotyp kelas II MHC (major histocompatibility complex).
(Firestein, 2009)
AR adalah salah satu dari banyak penyakit autoimun yang dominan terkena pada
wanita. Rasio perempuan : laki-laki adalah 2:1 3:1. Kehamilan juga telah digambarkan
sebagai faktor risiko, tetapi tidak semua studi menyetujui ini. Kehamilan sering dikaitkan dengan
remisi penyakit pada trimester terakhir. Lebih dari tiga perempat pasien hamil dengan AR
membaik pada trimester pertama dan kedua. (Firestein, 2009)
Faktor lingkungan tentu berkontribusi terhadap kerentanan AR , meskipun tidak ada
paparan spesifik yang teridentifikasi . Merokok adalah faktor risiko lingkungan untuk seropositif
AR di populasi tertentu. (Firestein, 2009)
Agen infeksius dapat berkontribusi pada causa terjadinya AR melalui berbagai mekanisme.
Beberapa mikroorganisme arthrotropic berpotensi menginfeksi sinovium dan menyebabkan
respon inflamasi lokal. Hal ini meningkatkan kesadaran bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan
juga secara langsung dapat mempengaruhi onset dan perjalanan sinovitis. Patogen terkait pola
molekul reseptor, terutama Toll-like receptors (TLRs), yang diekspresikan oleh sel sentinel di
host yang menyediakan garis pertahanan. (Firestein, 2009)
Infectious Agent
Potential Pathogenic Mechanism
Mycoplasma
Direct synovial infection; superantigens
Parvovirus B19
Direct synovial infection
Retroviruses
Direct synovial infection
Enteric bacteria
Molecular mimicry
Mycobacterium
Molecular mimicry
Epstein-Barr virus
Molecular mimicry
Bacterial cell walls
Macrophage activation
Tabel 1. Tabel Penyebab Infeksi pada Rheumatoid Artritis (Firestein, 2009)
Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial setelah
adanya faktor pencetus, baerupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjasi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel
inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi
sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. (Suarjana, 2009)

Gambar 2. Patogenesis Artritis Reumatoid (Sumber: Costenbader et al, 2007)


Induksi respon sel T pada artritis reumatoid diawali oleh interaksi antara reseptor sel T
dengan share epitope dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida
pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau sistemik.
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun sejumlah
peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B. Keterlibatan sel B
dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut (Suarjana, 2009) :
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal konstimulator yang penting
untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti
TNF- dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor
reumatoid (RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ektraartikular yang
lebih tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa
mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivitas dan
presentasi antigen kepada sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan
memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga memperantai aktifitas
komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan inflamasi.
4. Aktifitas sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogesis AR. Bukti terbaru
menunjukan bahwa aktifitas ini sangat tergantung kepada adanya sel B. Berdasarkan

mekanisme di atas, mengindikasikan bahwa sel B berperan penting dalam penyakit


AR, sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.

Gambar 3 : Diagram patogenesis RA, (Shankar, 2004)


Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah
kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan
pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya
elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer dan Bare, 2002). Lamanya rheumatoid
arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya
serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak
terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan
kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).

Gambar 1.1
Gambar Sendi lutut normal dan reumatoid artritis

Gambar 1.2
Gambar sendi lutut Normal (kanan), Rheumatoid arthritis (kiri)

Manifestasi klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit
ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.
Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interphalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

Gambar 2. Rheumatoid Arthritis Versus Osteoarthritis.


4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi
yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere
dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang
dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian

nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini
biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar
sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Tabel 1. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi
1987. 5
Kriteria
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3
daerah

3. Artritis pada
persendian tangan
4. Artritis simetris

5. Nodul rheumatoid

6. Faktor rheumatoid
serum
7. Perubahan
gambaran

Definisi
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya,
sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurangkurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh
seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian
yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan
tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian
tangan seperti yang tertera diatas.
Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau
MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris.
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi
oleh seorang dokter.
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi
arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika


ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus
terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak
dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit,
probable atau possible tidak perlu dibuat.

Manifestasi Artikular
Pasien dengan AR biasanya hadir dengan nyeri dan kekakuan pada beberapa
sendi. Namun, sepertiga dari pasien memiliki gejala awal pada satu atau hanya beberapa
sendi saja. Presentasi yang paling umum dari RA adalah kekakuan pada sendi yang
dirasakan pagi hari atau nyeri difus yang berlangsung selama setidaknya 1 jam atau lebih,
diikuti dengan keterlibatan sendi perifer kecil seperti metacarpophalangeal (MCP),
metatarsophalangeal (MTP), dan interphalangeal proksimal (PIP). Hal ini tidak biasa
terkena pertama pada sendi yang besar. Gejala biasanya terjadi beberapa minggu atau
bulan, namun dalam 15 % dari pasien onset dapat terjadi lebih cepat selama beberapa hari
sampai minggu. Kebanyakan pasien telah menyertai gejala prodromal kelemahan ,
kelelahan , atau anoreksia. Pada 8 % sampai 15 % dari pasien, gejala dimulai segera
setelah peristiwa pemicu, seperti penyakit virus. Karakteristik rasa sakit sering membantu
membedakan AR dari bentuk-bentuk arthritis yang lain, seperti halnya riwayat keluarga
positif untuk AR. Penentuan kecacatan dan kemampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari memfasilitasi pemantauan efek pengobatan.
Sendi yang biasanya terkena adalah sendi dengan sinovium rasio tertinggi pada
tulang rawan artikular, seperti pergelangan tangan, PIP, dan sendi MCP. Sendi distal
interphalangeal dan sacroiliac biasanya tidak terkena. Sendi yang terkena biasanya hangat
dan lembut untuk palpasi. Mungkin ada peningkatan aliran darah ke daerah yang
meradang dengan gejala berikutnya tangan pasien bengkak. Pembengkakan sendi
biasanya simetris dan dengan kelembutan pada palpasi, merupakan salah satu tanda
utama dari AR . Di luar sendi , aksila , serviks , atau limfadenopati epitrochlear dapat
dicatat . Otot di dekat sendi yang meradang sering atrofi. Kelemahan umumnya tidak
sesuai dengan rasa sakit pada pemeriksaan . Sendi sering diposisikan fleksi untuk
meminimalkan sakit dari distensi kapsul sendi . Secara klinis , orang juga dapat
menghargai penurunan kekuatan pegangan dari kerusakan tendon , tendon pecah di
pergelangan tangan dan jari-jari , penurunan rentang gerak di bahu dari sinovitis dan
anterior efusi , dan nyeri tumit dengan antalgia dari keterlibatan talus . Pinggul biasanya
terpengaruh kemudian , dan keterlibatan pinggul biasanya jarang terjadi. (Rindfleisch
dan Muller, 2005)

Gambar 4 : Sendi yang terlibat pada artritis reumatoid (Kountz dan Feldt, 2007)
Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan
penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ektraartikular.
(Suarjana, 2009)
Manifestasi ekstraartikular dari artritis reumatoid
Sistem organ
Manifestasi
Konstitusional
Demam,
anoreksia,
kelelahan,
kelemahan, limfadenopati
Kulit
Nodul rematoid, accelerated rheumatoid

nodulosis,
rheumatoid
vasculitis,
pyoderma
gangrenosum,
interstitial
granulomatous dermatitis with atritis,
palisaded
neutrophillic
dan
granulomatosis dermatitis, reumatoid
neutrophillic dermatitis, dan adult-onset
still disease
Mata
Sjogren syndrome (keratoconjunctivitis
sicca), scleritis, episclertis, scleromalacia
Kardiovaskular
Pericarditis,
efusi
perikardial,
endokarditis, valvulitis
Paru-paru
Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis,
nodul reumatoid pada paru, Calpans
syndrome (infiltrat nodular pada paru
dengan pneumoconiosis)
Hematologi
Anemia penyakit kronik, trombositosis,
eosinofilia, felty syndrome (AR dengan
neutropenia dan splenomegali)
Gastrointestinal
Sjogren
syndrome
(xerostomia),
amyloidosis, vaskulitis
Neurologi
Entrapment neuropathy, myelophaty/
myositis
Ginjal
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
interstitial nephritis
Metabolik
Osteoporosis
Tabel 2. Manifestasi ekstraartikular dari artritis reumatoid (Suarjana,2009)
Diagnosa
Pada tahun 1987 , American College of Rheumatology ( ACR ) , dalam hubungannya
dengan American Association Rematik , dibuat 7 kriteria diagnostik untuk membantu dalam
diagnosis klinis AR. Kriteria ini juga digunakan untuk mendefinisikan AR dalam studi
epidemiologi . Ada fokus yang cukup besar di daerah ini karena pengobatan dini telah
metunjukkan dampak positif pada perkembangan penyakit dan prognosis. (Arnett et all, 1998)
Kriteria
Definisi
1.
Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,
Kekakuan pagi
lamanya setidaknya 1 jam
hari
2.
Artrit Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
is pada tiga atau
peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
lebih area sendi
kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan

sendi metatarsofalangs (MTP)


3.

Artrit
is pada sendi
tangan
4.
Artrit
is simetris
5.
Nodu
l-nodul reumatoid
6.
Seru
m faktor
reumatoid

Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,


sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama


pada kedua bagian tubuh
Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal
Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
7.
Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan
ahan radiografik
posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien
memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
Tabel 3: Kriteria American College of Rheumatology (ACR) untuk AR
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium AR diduga penting untuk mengkonfirmasi diagnosis,
mengesampingkan diagnosa banding, memprediksi perkembangan penyakit dan memantau
aktivitas penyakit. Sebuah penyakit yang lebih menguntungkan tentu saja, ditandai dengan
remisi terkait dengan faktor-faktor seperti usia kurang dari 40 tahun, onset akut terutama sendisendi besar sedikit, durasi pendek penyakit ( kurang dari 1 tahun ), dan tidak ada rheumatoid
factor (RF) seropositivity. Sebuah prognosis penyakit yang lebih parah dikaitkan dengan onset
berbahaya dalam kombinasi dengan gejala seperti penurunan berat badan , kelelahan dan demam
ringan, penampilan cepat arthritis nodul , dan seropositif untuk RF (sering hadir pada titer
tinggi ), meskipun titer RF tinggi tahap awal penyakit sering menunjukkan prognisi lebih buruk.
RF terdeteksi dalam waktu kurang dari 50 % dari pasien selama 6 bulan pertama. Jika seropositif
berkembang, biasanya dalam tahun pertama, dan hanya 85 % dari pasien seropositif untuk RF
selama perjalanan penyakit mereka . Hal ini juga harus mencatat bahwa seropositif untuk RF
tidak spesifik untuk AR tetapi juga untuk lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjgren,
sarkoidosis, sirosis, gangguan liver lainnya, seperti hepatitis B dan C , dan keganasan tertentu
juga dapat seropositive. (Kountz dan Feldt, 2007)
Kimia darah diuji untuk mengevaluasi ginjal dan fungsi hati . Reaktan fase akut , seperti Creactive protein (CRP) atau Erythrocyte sedimentation rate (ESR) dievaluasi dan tes untuk
anemia dan trombositosis ( gangguan mieloproliferatif ) juga dilakukan . Tes-tes lain untuk
anticylic citrullinated peptide antibodies (anti - CCP antibodi), antinuclear antigen ( ANA ) , dan
Lyme serologi dapat dilakukan baik untuk membantu dalam mengkonfirmasikan atau

mengesampingkan AR . Namun, hasil uji laboratorium negatif tapi adanya kriteria klinis yang
mendukung tidak meniadakan diagnosis . (Kountz dan Feldt, 2007)
Kehadiran antibodi anti - CCP memiliki spesifisitas yang lebih tinggi untuk AR daripada
RF , mereka ditemukan di hingga 40 % dari pasien AR yang negatif untuk RF pada awal
penyakit. Antibodi anti - CCP mungkin diamati sebelumnya dalam perjalanan penyakit dari RF
dan dapat lebih akurat memprediksi tingkat erosif penyakit dan dampaknya. Bersama antibodi
Anti CCP testing juga memiliki keterbatasan karena tidak semua pasien AR adalah anti - CCP
antibodi positif . Selain itu , pasien dengan arthritis inflamasi lainnya , seperti psoriatic arthritis ,
dapat anti - PKC positive. (Kountz dan Feldt, 2007)
Jika seorang pasien homozigot dengan histocompatibilty complex (MHC ) alel terkait
untuk AR , hasil penyakit yang lebih parah dengan manifestasi ekstra - artikular mungkin didapat
. Namun, tes ini jarang digunakan. Hasil lain yang dapat menunjukkan lebih prognosis penyakit
yang berat meliputi peningkatan ESR dan bukti radiografi kerusakan sendi yang
memanifestasikan awal dalam proses penyakit. Foto polos dapat menunjukkan erosi marginal
awal , tetapi ini jarang diagnostik. Seiring waktu , radiografi dapat menggambarkan pola
karakteristik kelainan sendi dan tingkat kerusakan sendi yang disebabkan oleh erosi tulang dan
hilangnya tulang rawan sehingga membantu untuk menentukan efektivitas pengobatan . (Kountz
dan Feldt, 2007)
Pemeriksaan Radiologi
Tanda-tanda radiografi AR seperti penyempitan ruang sendi, erosi dan subluksasi
berkembang pada tahap berikutnya dari proses AR. Foto polos radiografi adalah metode standar
dalam menyelidiki sejauh mana perubahan anatomi pada pasien AR . Namun, ada sedikit data
mengenai nilai pemeriksaan radiografi konvensional arthritis onset baru. Sinovitis adalah temuan
awal AR dan prediktor kuat dari erosi tulang . Pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis
juxtaarticular ringan mungkin fitur radiografi awal sendi tangan pada awal - AR. (Heidari, 2011)
Temuan ini adalah wakil dari sinovitis tetapi tidak dapat ditampilkan pada radiogaraphs
konvensional pada semua pasien dan tidak cukup tepat sehingga tidak dapat diandalkan dalam
penilaian reguler sinovitis. Secara khusus, karena terjadinya kemudian perubahan radiografi ,
radiografi polos tidak peka untuk mendeteksi erosi tulang yang merupakan karakteristik untuk
diagnosis AR. Dalam sebuah studi dari arthritis yang baru - onset dengan durasi gejala < 3
bulan , erosi tulang radiogtaphic diamati pada 12,8 % dari radiografi awal dibandingkan dengan
27,6 % setelah satu tahun .( Heidari, 2011)

Gambar 5. Erosi. (Telsa) T1-tertimbang gambar coronal


menunjukkan perubahan erosif dari navicular, bersudut, dan metakarpal pertama (panah)
(Sumber : Zeman dan Scott, 2012)

Gambar 6 :Sinovitis / hipertrofi sinovial. (A) gambar aksial lemak ditekan T1-tertimbang
menunjukkan intermediatesignal dari sinovium sekitar metacarpalbases. (B) T1-tertimbang
axialimage lemak ditekan setelah Gadolinium kontras administrationshows sinyal tinggi
meningkatkan sinovium (panah) sekitar dasar metakarpal jari keempat. (Sumber : Zeman dan
Scott, 2012)
Sonografi kontras dan magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif dan tampak
menjanjikan tetapi dapat digunakan di pusat-pusat yang terbatas, Sonografi adalah teknik yang
handal yang mendeteksi erosi lebih dari radiografi terutama pada awal AR. Sensitivitas
radiografi konvensional dalam mendeteksi erosi tulang dalam sebuah studi adalah 13 % ,
sedangkan, sensitivitas MRI dan ultrasonography (US) di deteksi erosi tulang adalah 98 % dan
63 % masing-masing. Untuk alasan ini, ada kecenderungan deteksi dini AR tulang erosi oleh

MRI terutama pada pasien dengan tanda-tanda awal arthritis . Kehadiran erosi sendi pada pasien
undifferentiated inflammatory arthritis (UA) mungkin menunjukkan perkembangan ke AR .
Dalam sebuah studi oleh Tami et al . pasien dengan setidaknya 2 MRI terbukti simetris sinovitis
atau tulang edema dan / atau erosi tulang berkembang ke AR pada 1 tahun dengan nilai 79,7 %
positif prediktif dan 75,9 % spesifisitas , sensitivitas 68 % .( Heidari, 2011)
Sonografi juga merupakan teknik yang handal yang dapat mendeteksi erosi terutama pada
awal AR dari pada radigrafi. Pada awal AR, sonografi dapat mendeteksi lebih banyak erosi dan
dalam sejumlah besar pasien dari radiografi. Pengenalan MRI memberikan fasilitas yang lebih
diagnostik dalam diagnosis awal AR dan membedakan AR dari penyakit non - AR . Temuan MRI
dapat mendeteksi pasien tambahan AR benar dibandingkan dengan American College of
Rheumatology (ACR) kriteria diagnostik. Selain itu, MRI lebih sensitif dibandingkan
pemeriksaan klinis untuk mendeteksi sinovitis tangan dan pergelangan tangan di AR.( Heidari,
2011)

Gambar 7 : (A) tangan kanan dengan PIP sendi bengkak jari keempat dan kapsul menggembung.
(B) Hand scintigraphy scan, menunjukkan peningkatan penyerapan 99mTc-anti-TNF-a pada jari
keempat kanan (PIP) (panah), PIP kiri jari ketiga dan keempat dan pergelangan tangan. (C dan
D) MRI kanan tangan coronal (C) dan aksial (D) iris menunjukkan sinovitis PIP jari keempat.
(Sumber : Zeman dan Scott, 2012)
Pemeriksaan Penunjang
C-reactive protein (CRP)*

Penemuan yang berhubungan


Umumnya meningkat sampai > 0,7
picogram/mL, bisa digunakan untuk
monitor perjalanan penyakit
Erythrocyte sedimentation rate (ESR) / Sering meningkat >30 mm/jam, bisa
Laju endap darah (LED)*
digunakan untuk monitor perjalanan
penyakit
Hemoglobin/hematokrit*
Sedikit menurun, Hb rata-rata 10g/dL,

anemia normokromik, mungkin juga


normositik atau mikrositik
Jumlah leukosit*
Mungkin meningkat
Jumlah trombosit*
Biasanya meningkat
Fungsi hati*
Normal atau fosfatase alkali sedikit
meningkat
Faktor reumatoid (RF)*
Hasilnya negative pada 30% penderita
AR stadium dini. Jika pemeriksaan
awal negatif dapat diulang selama 612 bulan dari onset penyakit. Bisa
memberikan hasil positif pada
beberapa penyakit seperti SLE
(sistemik
eritematosus
lupus),
skleroderma,
sindrom
sjogrens,
penyakit
keganasan,
sarkoidosis,
infeksi (virus, parasit atau bakteri).
Tidak akurat untuk menilai perburukan
penyakit.
Foto polos sendi*
Mungkin normal atau tampak adanya
osteopenia atau erosi dekat celah sendi
pada stadium dini penyakit. Foto
pergelangan tangan dan pergelangan
kaki penting untuk data dasr, sebagai
pembanding
dalam
penelitian
selanjutnya.
MRI
Mampu medeteksi adanya erosi sendi
lebih awal dibandingkan dengan foto
polos, tampilan struktur sendi lebih
rinci
Anticyclic citrullinated peptide antibodi Berkolerasi
dengan
perburukan
(anti-CCP)
penyaki, sensitivitasnya meningkat
bila dikombinasi dengan pemeriksaan
RF, lebih spesifik dibandingkan
dengan RF, tidak semua laboraturium
mempunyai pemeriksaan anti- CCP
Anti-RA33
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila
RF dan anti-CCP negativ
Antinuclear antiboby (ANA)
Tidak terlalu bermakna untuk AR
Konsentrasi komplemen
Normal atau meningkat
Imunoglobin (Ig)
Ig -1 dan -2 mungkin meningkat
Pemeriksaan cairan sendi
Diperlukan bila diagnosis meragukan.
Pada AR tidak ditemukan kristal,

kultur negatif dan kadar glukosa


rendah
Fungsi Ginjal
Tidak ada hubungan langsung dengan
AR, diperlukan untuk memonitor efek
samping terapi
Urinalisis
Hematuria
mikroskopik
atau
proteinuria bisa ditemukan pada
kebanyakan penyakit jaringan ikat.
*direkomendasikan untuk evaluasi awal RA
Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik untuk Arthritis Reumatoid (Suarjana,2009)
Differential Diagnosa
1. Crystalline arthropathy (gout, pseudogout or chronic pyrophosphate arthropathy)
2. Spondyloarthropathy
3. Polymyalgia rheumatica
4. Osteoarthritis
5. Remitting seronegative symmetrical synovitis with pitting oedema syndrome
6. Arthritis related to connective tissue disease or systemic vasculitis
7. Malignancy-related arthritis
8. Hypertrophic osteoarthropathy
9. Sarcoidosis
10. Infectious arthritis (hepatitis B and C, HIV and others)
AR pada pasien usia lanjut harus dibedakan dari sejumlah subakut umum lainnya atau
kondisi rematik kronis, seperti osteoarthritis (OA), spondyloarthritides, kristal-terkait arthritis,
arthritis menular, remitting seronegative symmetrical synovitis with pitting oedema (RS3PE
syndrome), penyakit jaringan ikat dan lain-lain. Proses diagnostik meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisik teliti, dan studi pemeriksaan laboratorium. Sejauh ini yang paling penting dari
ini diagnostik prosedur adalah riwayat klinis. Penting dalam hal ini adalah penilaian yang jelas
dari distribusi keterlibatan sendi, apakah rasa sakit adalah artikular atau ekstra-artikular, apakah
rasa sakit berikut trauma atau infeksi, durasi proses dan adanya temuan ekstra-artikular. ( Blanco
and Jaime, 2009)

Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi
sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting
untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. The American College of
Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan bahwa
penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk
konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifiying antirheumatic drugs).
Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologi dan farmakologi. (Rindfleisch dan
Muller, 2005)
Tujuan terapi pada penderita AR adalah:
a. Mengurangi nyeri
b. Mempertahankan status fungsional

c.
d.
e.
f.
g.

Mengurangi inflamasi
Mengendalikan keterlibatan sistemik
Proteksi sendi dan struktur ektraartikular
Mengendalikan progresivitas penyakit
Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

1.

Farmakologi
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
NSAID, salisilat, atau siklooksigenase-2 inhibitor yang digunakan untuk
pengobatan awal arthritis reumatoid untuk mengurangi nyeri sendi dan pembengkakan.
Namun, karena tidak mengubah perjalanan penyakit, maka tidak boleh digunakan secara
tunggal. Pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki resiko dua kali lebih sering
mengalami komplikasi serius dari penggunaan NSAID dibandingkan pasien dengan
osteoarthritis, dan mereka harus diperhatikan dengan seksama untuk efek samping
gastrointestinal. (Rindfleisch dan Muller, 2005)
b. Glukokorticoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg per hari
cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat keruksakan sendi. Dosis
steroid harus diberikan dengan dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek
samping seperti osteoporosis , katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula
darah. The American College of Rheumatology ( ACR ) guidelines merekomendasikan
bahwa pasien yang diobati dengan glukokortikoid harus disertai dengan pemberian 1.500
mg kalsium dan 400-800 IU vitamin D per hari.
Bila artritis hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas maka injeksi
glukokortikoid aman dan efektif , namun efek bersifat sementara .Infectious arthritis
harus disingkirkan sebelum injeksi. Gejala mungkin akan kambuh dengan penghentian
steroid , terutama ketika dosis tinggi digunakan penggunaan. Sehingga kebanyakan
Rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih untuk
menghindari rebound effect. Steroid sering digunakan sebagai brigdging therapy selama
periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi
DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat. (Rindfleisch dan Muller,
2005)
c. DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR.
Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum
digunakan adalah methotrexate (MTX), hidroksiklorokuin, sulfasalazin, leflunomide,
infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin sering digunakan sebagai
terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat MTX atau kombinasi terapi mungkin
digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukan bahwa kombinasi

DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia
subur harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi
MNARD karena DMARD membahayakan fetus.
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang
diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga
mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis
tumor necrosis factor (TNF) menurunkan konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya
ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble
TNF-receptor fusion protein, dmn efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX,
tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis
TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric IgGI anti-TNF- antibody.
Penderia AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih baik
dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumab merupakan
rekombinan human IgG1 antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan
MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
infeksi khususnya reaktivasi tuberkulosis.
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa uji klinis
tersamar ganda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo,
baik diberikan secara tunggal maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya
antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan resikoinfeksi dan leukopenia.
Rituximab merupakan antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam
evaluasi. (Rindfleisch dan Muller, 2005)
2. Non Farmakologi
Beberapa terapi non farmakologi telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa,
suplementasi asam lemak essensial, terapi spa dan latihan, menunjukan hasil yang
baik. Pemberian suplemen minyak (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAIDsparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin
dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan
terapi herbal, acupunture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.
(Rindfleisch dan Muller, 2005)
3. Pembedahan
Pembedahan harus dipertimbangkan bila :
1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif
2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat
3. Ada ruptur tendon
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis reumatoid
dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan penggantian total sendi
dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi
pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi

nyeri dan mengurangi disabilitas.


Artroplasti (penggantian sendi): Penggantian sendi dengan cara membuang sebagian
atau seluruh sendi yang rusak dan diganti dengan komponen sintesis.
Arthrodesis: Arthrodesis adalah prosedur dengan cara membuang sendi dan
menyatukan dua tulang menjadi satu kesatuan yang immobil, sering menggunakan
cangkok tulang dari pelvis pasien. Meskipun prosedur ini menyebabkan keterbatasan
gerakan, hal ini berguna untuk meningkatkan stabilitas dan meredakan nyeri di sendi
yang terkena. Sendi yang sering disatukan adalah pergelangan tangan dan
pergelangan kaki serta sendi di jari-jari atau ibu jari.
Sinovektomi: pengangkatan jaringan sinovial yang terinflamasi untuk mencegah
destruksi tulang rawan dan tulang.
Osteotomy: pengangkatan tulang. ini mungkin menjadi pilihan jika deformitas
tulang berdekatan dengan sendi menjadi masalah.
Eksisi: meliputi pengangkatan semua atau bagian dari jaringan atau organ yang sakit.
(Australian Institute of Health and Welfare, 2009)
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien AR (Suarjana, 2009) :
1. Anemia
2. Kanker
3. Komplikasi kardiak
4. Penyakit tulang belakang leher
5. Gangguang mata
6. Pembentukan fistula
7. Peningkatan infeksi
8. Deformitas sendi tangan
9. Deformitas sendi lainnya
10. Komplikasi pernapasan
11. Nodul reumatoid
12. Vaskulitis
Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain: skor fungsional yang rendah,
status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita
AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau ERS tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti
CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi
ektraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak
berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi.
Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon baik dengan terapi.
Penelitian yang dilakukan Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an,
memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13
tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan

dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan
jangka panjang DMARD terbaru. (Suarjana, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Australian Institute of Health and Welfare 2009. A picture of rheumatoid arthritis in Australia.
Arthritis series no. 9. Cat. no. PHE 110. Canberra: AIHW.
Arnett F.C., Edworthy S.M., Bloch D.A., et al. 1998. The American Rheumatism Association
1987 revised criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 31. (3):
315-324.
Costenbader K.H., Kountz D.S. 2007 Treatment and management of early RA: a primary care
primer. J Fam Pract 56. (7 Suppl): S1-S7.
Firestein, Gary S. 2009. Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Kelley's Textbook
of Rheumatology, 9th ed. Philadelphia.
Heidari, Behzad. 2011. Rheumatoid Arthritis: Early diagnosis and treatment outcomes. Caspian
J Intern Med. Department of Internal Medicine, Division of Rheumatology, Rouhani
Hospital, Babol University of Medical Sciences, Babol, Iran. 2(1): 161-170
Kountz, David S; Feldt, Joan. 2007. Management of rheumatoid arthritis: A primary care
perspective. Downden Health Media.
Rindfleisch J.A., Muller D. 2005. Diagnosis and management of rheumatoid arthritis. Am Fam
Physician 72. (6): 1037-1047.
Shankar, S; handa, R. 2004. Biological Agents in Rheumatoid Arthritis, Journal of Postgraduate
medicine. Department of Medecine, Rheumatology Service institute of Medical Science,
New Dehli-India. Vol 50(4): 293-99.
Silam, Alan J., Pearson, Jacqueline E. 2012. Supplement Review Epidemiology and genetics of
rheumatoid arthritis. Arthritis Research. ARC Epidemiology Unit, School of Epidemiology
& Health Sciences, University of Manchester, Manchester, UK. Vol 4 Suppl 3
Suarjana, I Wayan. 2009. Artritis Reumatoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid III.
Interna Publishing. Jakarta. Hal: 2495-2503
Suresh, E. 2004. Diagnosis of early rheumatoid arthritis: what the non-specialist needs to know.
Journal of the Rotal Society of Medicine. Volume 97:421424
Villa,Blanco Juan Ignacio and Jaime Calvo-Alen, 2009. Elderly Onset Rheumatoid Arthritis
Differential Diagnosis and Choice of First-Line and Subsequent Therapy. Drugs Aging.

Division of Rheumatology, Hospital Sierrallana, Torrelavega, Universidad de Cantabria,


Cantabria, Spain . 2009; 26 (9): 739-750
Zeman, Merissa N; Scott, Peter JH. 2012. Review Article Current imaging strategies in
rheumatoid arthritis. Am J Nucl Med Mol Imaging. Department of Radiology, University of
Michigan Medical School, Ann Arbor, MI, USA. 2012;2(2):174-220

Anda mungkin juga menyukai