Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Autisme
1. Definisi autisme
Istilah autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme
yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik
pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo
Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism,
pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute
ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di
dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang
dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian
mereka atau mengajak mereka berkomunikasi (Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak
sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim
DTM&H, MPH (dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi
berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak
autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke dalam
golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan

Universitas Sumatera Utara

kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi kelainan
emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan
yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi,
bahasa dan motorik

2. Ciri-ciri autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IVTR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
A.

Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua
dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
(1)

Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan


dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:
(a)

Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa


perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah,
postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.

(b)

Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya


yang tepat menurut tahap perkembangan.

(c)

Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi


kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain
(seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek
ketertarikan).

(d)
(2)

Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.

Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada


setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a)

Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan


bahasa (tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya
melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau
mimik).

(b)

Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai


dengan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain.

(c)

Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap


atau bahasa yang aneh.

(d)

Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura


yang spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan
tahap perkembangan.

(3)

Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk


tetap, ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidaktidaknya satu dari hal berikut:
(a)

Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan


yang berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau
fokusnya abnormal.

(b)

Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual


yang spesifik.

(c)

Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan


atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang
kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d)
B.

Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek

Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area


berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2)
bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan
simbolik atau imajinatif.

C.

Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.

Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan
ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat
digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini
jarang dikemukakan pada orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap

dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara
autisme ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya
harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua
harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu
penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing
dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).

3. Tingkat kecerdasan anak autis


Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak
autis dibagi mejadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a.

Low Functioning (IQ rendah)


Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah),
maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan
untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang
lain.

b. Medium Functioning (IQ sedang)


Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),
maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini
masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita
autis.
c.

High Functioning (IQ tinggi)


Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ tinggi),
maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam
pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.

4. Perkembangan anak autisme


Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam
hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya
periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler
dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler

Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus
autisme sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya
dengan perkembangan anak normal.

Tabel 2. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis


pada masa infant dan toddler
No.
1.

Faktor Pembeda
Pola tatapan mata

2.

Affect

3.

Vokalisasi

4.

5.

6.

7.

Perkembangan Normal
Usia 6 bulan sudah mampu
melakukan kontak sosial
melalui tatapan
Toddler: menggunakan gaze
sebagai sinyal pemenuhan
vokalisasi
mereka
atau
mengundang partner untuk
bicara
Usia 2,5-3 bulan sudah
melakukan senyum sosial

Anak Autis
Pandangan
mereka
melewati orang dewasa
yang
mencegah
perkembangan
pola
interaksi melalui tatapan
Lebih
sering
melihat
kemana-mana daripada ke
orang dewasa
Tidak ada senyum sosial
Usia 30-70 bulan melihat
dan tersenyum terhadap
ibunya, tapi tidak disertai
dengan kontak mata dan
kurang
merespon
senyuman ibunya
Karakter mutism mereka
tampak dari kurangnya
babbling
yang
menghambat
jalan
interaksi sosial ini

Usia 2-4 bualn anak dan ibu


terlibat dalam pola yang
simultan dan berganti vokal
yang menjadi awal bagi
komunikasi
verbal
selanjutnya.
Imitasi
Sosial: Langsung muncul setelah Usia 8-26 bulan dapat
berkaitan dengan
lahir
meniru ekspresi wajah tapi
responsifitas sosial,
melalui
sejumlah
bermain bebas dan
keanehan
dan
respon
bahasa
mekanikal
yang
mengindikasikan sulitnya
perilaku ini bagi mereka
Inisiatif
dan Merespon stimulus yang ada Anak menjadi penerima
Reciprocity
sehingga timbul reciprocity
pasif dari permainan orang
dewasa
dan
tidak
berinteraksi secara ktif
dengan mereka
Attachment
Kelekatan pada anak autis
diselingi
dengan
karakteristik pengulangan
pergerakan
motorik
mereka seperti tepukan
tangan, goncangan dan
berputar-putar
Kepatuhan
dan
Anak autis patuh terhadap

Negativisme

permintaan.
Jika
permintaan tersebut sesuai
dengan
kapasitas
intelektual mereka, mereka
dapat merespon secara
pantas saat mereka dalam
lingkungan
yang
terstruktur
dan
dapat
diprediksi.
Anak autis memiliki sifat
negativistik
secara
berlebihan

2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah


a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah
pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak
autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara
afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama
dengan orang tersebut.
b.

Reciprocity

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam


interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup
mereka.

1) Kesulitan penerimaan
Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara,
mungkin karena kesulitan kognitif dalam memproses stimulus sosial yang
kompleks. Anak autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada levellevel sederhana. Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan
affect. Orang merasa senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.
2) Kesulitan ekspresif
Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul
pada anak normal usia 2-3 tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam
ekspresi wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi dalam
aspek ekspresif dari suara yang memberikan kesan kaku.

5. Orangtua yang memiliki anak autis


Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara
menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005), orangtua adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari definisi diatas, maka
dapat dismpulkan bahwa orang tua yang memiliki anak autis adalah ayah dan ibu
yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri autisme.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal
terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat,
mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya
dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini ditegaskan kembali oleh Williams dan
Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan melalui serangkaian emosi
saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap
keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga telah melalui
proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu konsultasi.
Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk
memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis
lebih mudah dibuat pada saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya
sulit karena masalahnya lebih ringan. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana
orangtua akan memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.
Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan
perasaan berbeda saat anak mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa
reaksinya adalah sebagai berikut:
a.

Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana


mencari bantuan ahli.

b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka


melakukan hal yang salah selama kehamilan atau pengasuhannya.
c.

Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat
mereka masih kecil tidak terpenuhi.

d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa
depan anak-anak mereka dan harus mengubah harapan akan masa depan
anaknya.

e.

Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak


mungkin dan mencari keluarga lain untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada
beberapa keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan mencoba
tidak memperdulikannya.

B. Perkawinan
1.

Definisi perkawinan
Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara

pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-Undang perkawinan No 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Sigelman (2003) mendefinisikan perkawina sebagai sebuah hubungan antara
dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam
hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang
didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.
Menurut Dariyo (2003) perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap
telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus
(holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan
bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan
kasih

sayang,

pemenuhan

seksual,

pertemanan

dan

kesempatan

untuk

pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang

melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih
sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan
emosional antara suami dan istri.

2.

Fase perkawinan
Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam perkawinan yang

tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:
a. Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama perkawinan masih dapat
dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih
dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan perkawinan, berarti
kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan
impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang
menjadi penghalang seperti ketika masih belum menikah. Fase ini merupakan
masa

yang

indah

karena

masing-masing

pihak

berupaya

untuk

membahagiakan pasangannya.
b. Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan perkawinan mau tidak mau harus
dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena
masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus
bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau
sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih banyak
di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih
mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya sang
suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak
sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut
mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan, apabila terjadi
antara apa yang dibayangkan dengan kenyataan yang dihadapi.

kesenjangan

c. Fase krisis perkawinan


Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan
satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri curiga yang
lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah
sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada
sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga apabila tidak ada
kesadaran dari masing-masing pihak bahwa perkawinan tidak hanya selalu
berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan
rumah tangga.
d. Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis perkawinan terlalui, maka masing-masing pihak sudah
menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan
pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak
dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang
ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat
dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun saling
mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi satu sama
lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang
dimilikinya.
e. Fase kebahagiaan sejati
Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah
perkawinan. Perkawinan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan.
perkawinan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada gelombanggelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada
perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan yang paling penting
menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang

tidak

mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan,


kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk diantaranya jika keduanya
mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu
bahagia karena bisa menerima kekurangan pendamping hidupnya sendiri.

Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama,
ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola pikir,
daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula
pasangan suami istri mewujudkan cita-cita perkawinannya, memperoleh
kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan perkawinan
dengan segala masalah-masalahnya.
Dalam suatu perkawinan, setiap individu akan dihadapkan pada kondisi
dimana mereka bersama dengan pasangannya akan membentuk suatu keluarga
baru yang akan dijalankan sepanjang kehidupan mereka. Duval (dalam Clayton,
1975) membagi siklus kehidupan keluarga menjadi 8 (delapan) tahap dengan ciri
tersendiri sebagai berikut:

Tabel 3. Siklus kehidupan keluarga


Tahap I
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII
Tahap VIII

Keluarga awal setelah menikah selama 0 -5 tahun,


tanpa anak
Keluarga dengan anak pertama anak pertama yang
baru lahir sampai anak berusia 2 tahun 11 bulan
Keluarga dengan anak prasekolah anak pertama
berusia 3 tahun sampai 5 tahun 11 bulan
Keluarga dengan anak usia sekolah anak pertama
berusia 6 tahun sampai anak berusia 12 tahun 11 bulan
Keluarga dengan anak remaja anak pertama berusia
13 tahun sampai 20 tahun 11 bulan
Keluarga sejak masa anak sulung sampai anak bungsu
meninggalkan rumah
Keluarga dimana semua anak telah meninggalkan rumah
sampai masa pensiun
Keluarga dari masa pensiun sampai kematian salah satu
pasangan

Pollins & Feldman (1978) yang meneliti hubungan siklus kehidupan keluarga
dengan kepuasan perkawinan menemukan bahwa pasangan merasa sangat puas
pada tahap I, tahap II dan tahap VIII. Kepuasan perkawinan ini kemudian
menurun pada tahap III dan berada pada titik terendah pada tahap VI. Data
tersebut menjadi landasan bagi Clayton (1975) untuk menyimpulkan

bahwa

kepuasan perkawinan berhubungan dengan kehadiran anak. Kepuasan perkawinan


berada pada tingkat yang tinggi terjadi sebelum hadirnya anak (tahap I dan tahap
II) dan setelah anak memisahkan diri dari orangtua (tahap VIII) karena suami istri
pada saat tersebut dapat merasakan kebersamaan dengan pasangannya.

C. Kepuasan Perkawinan
1. Definisi kepuasan perkawinan
Setelah menikah, individu mengalami banyak perubahan dan harus
melakukan banyak penyesuaian diri terhadap pasangan, keluarga pasangan dan
penyesuaian-penyesuaian lainnya. Penyesuaian ini kiranya perlu dilakukan agar
kedua

pasangan

dapat

merasa

bahagia

dan

puas

terhadap

hubungan

perkawinannya. Menurut Hughes & Noppe (1985), kepuasan perkawinan yang


dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan
perkawinannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya.
Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi suami istri terhadap hubungan
perkawinannya yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu
sendiri (Lemme, 1995). Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) berpendapat
bahwa kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan
pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu
perkawinan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual.
Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan
perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan
dalam jangka waktu tertentu (Roach dkk, 1983). Selain itu pula, kepuasan
perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi
hubungan perkawinan mereka, apakah baik, buruk atau memuaskan (Biod &
Meville, 1994).
Dari penjelasan di atas, maka konsep kepuasan perkawinan dapat
mengandung hal-hal berikut: Suatu penilaian seseorang terhadap perkawinannya,
bersifat subjektif, merupakan penilaian pada saat ini, berkaitan dengan aspek-

aspek dalam hubungan perkawinan, berupa suatu kontinum perasaan dari sangat
memuaskan sampai sangat tidak memuaskan.
Berdasarkan uraian di atas kepuasan perkawinan merupakan penilaian
pasangan suami istri dan perasaan subjektif yang dimiliki oleh individu yang
berkenaan dengan aspek-aspek dalam kehidupan perkawinannya.

2. Tingkat kepuasan perkawinan


Tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins & Feldman,
1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu indikasi kepuasan
pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat kepuasan
tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan
terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja, lalu
tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh
dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman
dalam Fuller & Fincham dalam LAbate, 1975).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari
perkawinan adalah puncak dari kepuasan perkawinan. Beragamnya pendapat yang
dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak adanya
tingkat kepuasan perkawinan absolut yang mengesankan pada beragam periode
perkawinan (Fuller & Fincham dalam LAbate, 1975).
Menurut Papalia, Sterns, Feldman dan Camp (2002) tanggung jawab sebagai
orangtua mempengaruhi hubungan suami-istri. Saat ini, dengan meningkatnya
harapan hidup dan perceraian, sekitar 1 dari 5 pernikahan bertahan hingga 50
tahun.
Secara umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point
yang tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat
lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Masa yang paling tidak membahagiakan
adalah periode dimana sebagian besar orangtua dilibatkan secara menyeluruh
dalam membesarkan anak dan karir. Aspek positif dari pernikahan (seperti
kerjasama, diskusi, dan berbagi tawa) mengikuti pola kurva U. Aspek negatif

(seperti sarkasme, kemarahan, dan ketidaksetujuan terhadap masalah-masalah


penting) berkurang dari dewasa muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin
karena banyak konflik pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, Sterns, Feldman
dan Camp 2002).
Dari sebuah penelitian 175 orang, yang mengkonfirmasi kurva bentuk U,
peneliti mengikuti 22 pasangan selama 30 tahun dan yang lainnya dalam jangka
waktu yang lebih pendek. Penemuan yang menarik adalah, semakin lama
pasangan menikah, semakin mirip mereka satu sama lain, dalam pandangan
mereka terhadap kehidupan, dan cara berpikir, bahkan kemampuan matematika.
Kecendrungan terhadap kemiripan ini terhenti sementara dengan menurunnya
kepuasan pernikahan di masa membesarkan anak. Dalam penelitian lain terhadap
17 pernikahan yang bertahan selama 50 hingga 69 tahun, hampir yang
digambarkan, berdasarkan observasi dan wawancara selama 50 tahun, mengikuti
salah satu dari 2 pola ini : mengikuti kurva U atau tingkat kebahagiaan yang
hampir konsisten. Tidak ada dari pernikahan yang diteliti menunjukkan kenaikan
atau penurunan yang berkelanjutan dalam kepuasan (Papalia, Sterns, Feldman dan
Camp 2002).

a. Awal perkawinan
Bagi sebagian besar pasangan, saat anak hadir, maka bulan madu pun
berakhir. Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan selama 10 tahun bagi
pasangan kulit putih yang menikah di usia akhir 20-an mereka, baik suami
maupun istri melaporkan penurunan kepuasan yang tajam selama 4 tahun pertama,
diikuti oleh masa stabil dan kemudian penurunan lainnya. Pasangan yang
memiliki anak, terutama mereka yang menjadi orangtua di awal penikahan mereka
dan mereka yang memiliki banyak anak menunjukkan penurunan yang lebih
curam.
Ada beberapa hal yang membedakan pernikahan yang memburuk atau
membaik setelah parenthood. Pada pernikahan yang memburuk, menurut salah
satu penelitian, pasangan lebih muda dan kurang terpelajar, memiliki pemasukan
yang lebih sedikit, dan telah menikah untuk waktu yang lebih singkat. Salah satu

atau kedua pasangan cenderung memiliki self esteem yang rendah, dan suami
biasanya kurang sensitif. Ibu yang memiliki waktu tersulit adalah mereka yang
memiliki bayi dengan temperamen sulit. Yang mengejutkan, pasangan yang
paling romantis sebelum memiliki bayi cenderung memiliki lebih banyak masalah
setelah memiliki bayi, mungkin karena mereka memiliki harapan yang tidak
realistik. Wanita yang merencanakan kehamilan mereka cenderung menjadi
kurang bahagia, mungkin karena mereka mengharapkan hidup dengan bayi lebih
baik dari apa yang sesungguhnya terjadi.
Seseorang biasanya melanggar pengharapan yang melibatkan pembagian
tugas. Jika pasangan membagi tugas sama rata sebelum bayi lahir dan kemudian,
setelah bayi lahir, beban dialihkan ke istri, kebahagiaan pernikahan cenderung
menurun terutama untuk istri nontradisional.

b. Pertengahan perkawinan
Kurva U mencapai dasar selama bagian awal dari tahun pertengahan, saat
banyak pasangan memiliki anak remaja. Masalah identitas dari tengah hidup
muncul untuk mempengaruhi perasaan istri tentang pernikahan mereka; wanita
menjadi kurang puas dengan pernikahan mereka. Wanita menjadi kurang puas
dengan pernikahan sebagaimana membesarkan anak membuat lebih sedikit
permintaan dan perasaan mereka tentang kekuatan personal dan autonomi
meningkat.
Komunikasi diantara pasangan seringnya dapat mengurangi stres yang
disebabkan oleh tanda-tanda fisik dari penuaan, hilangnya dorongan seksual,
perubahan dalam status atau kepuasan kerja, dan kematian orangtua, saudara, atau
teman dekat. Banyak pasangan melaporkan bahwa saat-saat sulit membuat mereka
lebih dekat satu sama lain.
Dalam pernikahan yang baik, keberangkatan dari anak yang telah dewasa
dapat menghantar kepada bulan madu kedua. Pada pernikahan yang goyah,
melalui empty nest dapat membuat krisis personal dan pernikahan. Dengan
perginya anak-anak, pasangan mungkin menyadari bahwa mereka tidak

lagi

memiliki banyak kesamaan dan mungkin bertanya pada diri mereka sendiri
apakah mereka mau menghabiskan sisa hidup mereka bersama.

c. Akhir perkawinan
Dibandingkan pasangan tengah tahun, pasangan berusia 60-an lebih sering
menyebutkan bahwa pernikahaan mereka memuaskan. Banyak yang berkata
bahwa pernikahan telah meningkat seiring dengan berlalunya tahun. Pasangan
yang tetap bersama di akhir hidup mereka biasanya telah mengatasi perbedaan
mereka dan tiba pada akomodasi yang sama-sama memuaskan.

3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan


Secara umum, kepuasan perkawinan ini dipengaruhi oleh dua hal, faktor
interpersonal dan faktor intrapersonal. Faktor interpersonal adalah faktor-faktor
yang berkaitan dengan interaksi perkawinan, sedangkan faktor intrapersonal
menunjuk pada karakteristik yang cenderung menetap pada individu seperti
kepribadian (Karney & Brabbury, dalam Biod & Meville, 1994).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa kepuasan perkawinan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu latar belakang (background characteristics) dan
keadaan sekarang (current characteristic). Faktor latar belakang meliputi
perkawinan orangtua, masa kecil, disiplin, pendidikan seks, pendidikan, dan
kedekatan. Sementara faktor keadaan sekarang meliputi ekspresi kasih
sayang/afeksi, tingkat kepercayaan, tingkat kesetaran, komunikasi, kehidupan
seksual, kehidupan sosial, tempat tinggal, dan pendapatan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa faktor masa lalu (background characteristics) juga menjadi faktor
pendukung tercapainya kepuasan dalam perkawinan, namun tidak ada yang bisa
dilakukan dengan apa yang telah terjadi selain menerima dan mencoba untuk
memahami hal tersebut.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) yang
menyatakan ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu:

a. Premarital factors
1) Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai
harapan dapat menimbulkan bahaya dalam perkawinan.
2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak
menghadapi stresor seperti penghasilan atau tingkat penghasilan yang rendah.
3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap
romantisme, perkawinan dan perceraian.
b. Postmarital factors
1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
perkawinan, terutama pada wanita.
2) Lama perkawinan, dimana dikemukakan oleh Duvall & Miller bahwa tingkat
kepuasan perkawinan tinggi di awal perkawinan, kemudian menurun setelah
kelahiran anak pertama, dan kemudian meningkat kembali setelah anak
mandiri.

3. Aspekaspek kepuasan perkawinan


Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area-area
dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan.
Area-area tersebut antara lain:
a. Communication
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu

dalam

berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang


yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka
saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya.
Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar,
yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan
(honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust),
sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi
pendengar yang baik (listening skill).

b. Leisure Activity
Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau
bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai
pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi
waktu luang bersama pasangan.
c. Religious Orientation
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya
dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama,
dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-hal keagamaan dan mau
beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan
kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai
agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang
baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama
yang mereka anut.
d. Conflict Resolution
Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah
serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan
untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang
digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai
bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah
bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk
pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak
realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan
untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan
(Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan
otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan
pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Sexual Orientation
Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah
seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian
seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila
tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus
meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua
pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain,
mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda
yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan
suami istri.
g. Family and Friends
Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap
hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan
dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan temanteman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan
menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga
mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan
tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999).
h. Children and Parenting
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak.
Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai
disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran
anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara pasangan
dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan.
Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat
menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
i. Personality Issue
Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan
serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha
menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan
dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian

yang

sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan


masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat
menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang
diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j. Egalitarian Role
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam
dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah
tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran
harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita
sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu
jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi.
Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki
untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

4. Kehidupan perkawinna di Nanggroe Aceh Darussalam


Perkawinan di Tanah Aceh dilakukan pria dan wanita setelah mereka dewasa
atau cukup umur. Pemuda yang sudah dianggap dewasa di Aceh adalah mereka
yang biasanya berumur 18-22 tahun.
Kaum pria hendaklah selalu menghormati kaum wanita. Berkelahi dengan
seorang wanita dilarang keras oleh adat Aceh dan orang sangat membenci pria
yang melanggarnya. Adat Aceh juga melarang pria bercakap lama dengan seorang
wanita, membawa anak gadis bepergian, mengunjungi anak gadis orang atau
wanita yang sudah menikah tanpa izin suaminya, begitu juga mengunjungi janda.
Apabila hal ini dilanggar, maka wajib dikenakan hukum adat misalnya dengan
disuruh untuk mengendarai kerbau betina dengan muka kea rah belakang dan
diarak keliling kampong untuk ditonton umum.
Permintaan kawin tidak dibenarkan berasal dari pihak wanita melainkan dari
pihak pria. Adat Aceh mewajibkan sebelum menikah hendaklah:
a. Sudah dapat membaca Al-quran dengan lancar

b. Dapat mengerjakan shalat lima waktu, shalat Jumat dan shalat idul fitri dan
idul adha. Selain itu ia harus mngetahui perintah-perintah agama Islam lanilla
dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut dengan perkawinan, seperti
menunjukkan muka Manis, lemah lembut dan memiliki sifat sabar.
c. Mengetahui adat sopan santn dalam pergaulan zaher-hari masyarakat,
seperti:
1) Menggunakan kata-kata yang wajar dan lemah lembut ketika berbicara dengan
orangtua atau orang terhormat.
2) Menghormati lawan bicara
3) Tidaklah memotong pembicaraan orang lain, menghina orang lain, dan
menentang dengan perkataan kasar ketika berbicara dalam rapat.
4) Berbicara ketika sudah diberikan kesempatan.
5) Berjalan dengan membungkuk sedikit ketika melewati orang yang telah duduk
terlebih dahulu sambil mengisyaratkannya dengan tangan kanan.
6) Berusaha mengambil tempat yang tidak mengganggu orang lain.
7) Memberikan salam kepada orang yang terlebih dahulu berada di suatu tempat
8) Tidak mengeluarkan angin dari mulut ataupun kentut ketika sedang berada di
dalam majelis.
9) Tidak bercakap-cakap pada saat kenduri keecuali ketika diperlukan.
Sebelum memutuskan untuk menikah, kedua belah pihak melakukan
perembukan terlebih dahulu, setelah itu baru kedua pihak secara resmi
mengadakan pembicaraan mengenai perkawinan. Perkawinan di awali dengan
masa peminangan, pembawaan hadiah pertunangan dan upacara perkawinan.

5. Kepuasan perkawinan pada orangtua yang memiliki anak autis di


Nanggroe Aceh Darussalam
Penelitian menyatakan bahwa semua orangtua memiliki respon dan perasaan
berbeda pada saat menghadapi masalah yang sulit, semisal memiliki anak dengan
gangguan autisme. Biasanya pula, stres dan penanggulangan terhadap stres itupun
berbeda pada tiap orang. Ada yang mampu menanggulanginya dan adapula yang
gagal melakukannya (Williams & Wright, 2004).

Saat anak didiagnosa menderita autisme, maka keluarga (orangtua) harus


melakukan beberapa penyesuaian (Williams & Wright, 2004). Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Sari (2007), bahwa coping adalah cara yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan
yang akan dicapai, dan respon terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri
individu. Proses coping ini dilakukan sebagai salah satu langkah dalam
menanggulangi stres yang dialami oleh orangtua ketika anak divonis menderita
autisme. Hal ini dikarenakan bahwa vonis autisme pada anak merupakan salah
satu stresor bagi orangtua (Jhonson, dkk dalam Sarafino, 2006).
Pada orangtua yang memiliki anak autis di Nanggroe Aceh Darussalam, ketka
vonis autis diberikan kepada anak mereka, maka mereka pun mengalami stres
yang luar biasa. Perasaan-perasaan negatif pun bermunculan. Rumitnya masalah
yang harus mereka hadapi berkenaan dengan kondisi anak mereka yang autis,
membuat mereka harus memikirkan beribu cara untuk

mengatasinya.

Keterbatasan informasi dan sarana penunjang yang tersedia di Nanggroe Aceh


Darussalam untuk menangani masalah autisme, turut andil besar dalam
mempengaruhi solusi apa yang akan mereka pilih. Kondisi ini, tak dapat dielakkan
lagi akan mempengaruhi kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Hal ini
dikarenakan kedua pihak harus saling bahu membahu dalam menghadapi dan
menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi kondisi anak mereka yang
menderita autisme.
Kejadian-kejadian dalam kehidupan yang dapat menimbulkan stres menjadi
salah satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan perkawinan, baik pada suami
maupun istri (Belsky, 1997). Setelah menikah individu mengalami banyak
perubahan dan harus melakukan banyak penyesuaian diri terhadap pasangan,
keluarga pasangan dan penyesuaian-penyesuaian lain-lain. Penyesuaian

ini

kiranya perlu dilakukan agar kedua pasangan dapat merasa bahagia dan merasa
puas terhadap hubungan perkawinannya. Hal inilah yang nantinya akan
mempengaruhi intervensi yang dilakukan agar penanganan terhadap anak dengan
gangguan autisme tidak mengalami hambatan untuk dilakukan (Pusponegoro
dalam Marijani, 2003).

Memperhatikan kepada gender, perkawinan kelihatannya memberikan


keuntungan lebih besar kepada pria daripada wanita. Disemua usia, pria lebih puas
dengan perkawinannya daripada wanita (Holahan dan Levenson et., al dalam
Lemme, 1995). Lemme (1995) menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan biasanya
suami melindungi diri mereka dengan menarik diri dari berbagai masalah atau
konflik, menempatkan sejauh-jauhnya stres yang dialami pada istrinya.
Kebanyakan istri menyatakan bahwa suami kurang memberikan dukungan
emosional, kurang sabar dan kurang pengertian, sedangkan suami kebanyakan
menganggap bahwa istri tidak memperdulikan dirinya lagi tetapi tetap
mengharuskan istri yang memegang kendali terhadap penanganan anak. Tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika yang terjadi di dalam keluarga dengan
kehadiran anak autis cukup bervariasi, ada yang mampu melakukan penyesuaian,
ada yang tetap berjalan dengan baik namun terdapat konflik-konflik di dalamnya
dan adapula yang tidak berhasil melakukan penyesuaian yang berujung pada
perpisahan. Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa anak dengan kondisi
autis membutuhkan peran dan kehadiran kedua orangtuanya, karena keberadaan
dan peran keduanya memegang arti yang sangat penting bagi kehidupan mereka
(Hamidah dalam Suryana, 2004).

Anda mungkin juga menyukai