Anda di halaman 1dari 34

Analisis Masalah

1. Mrs. Ani , 43 years old woman presents with a history of a insidious onset of joint
pain since three month ago. Affected are all small joints of the hands, wrists, knees,
and forefeet.
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
Jawab :
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada lakilaki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh
dari hormon namun data ini masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon
estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis
terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun.
b. Mengapa yang terkena hanya sendi-sendi kecil (makna klinis)?
Jawab :
Rheumatoid Artritis biasanya menyebabkan masalah di beberapa sendi dalam
waktu yang sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil
seperti, pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki, dan kaki. Dalam
perjalanan penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi bahu, siku, lutut,
panggul, rahang dan leher.

Beberapa

lokasi

sendi

yang

dapat

terserang

Rheumatoid

Artritis

Tanda dan gejala Rheumatoid Artritis dapat berupa :


Nyeri dan pembengkakan sendi.
Sendi yang membengkak akan terlihat kemerahan, hangat dan nyeri bila

disentuh atau di tekan.


Kekakuan sendi sering dirasakan pada pagi hari (saat bangun tidur) yang bisa

berlangsung selama sekitar 30 menit hingga beberapa jam.


Benjolan-benjolan keras pada jaringan di bawah kulit di lengan (nodul

reumatoid).
Kelelahan, demam, dan penurunan berat badan.
Alasan mengapa di sendi kecil masih belum tahu. Pada awal perjalanan
penyakit biasanya sendi kecil dahulu yang terkena. Sendi yang terkena
biasanya simetris (kiri dan kanan).
c. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme nyeri sendi pada kasus?
Jawab :

Organ indra untuk nyeri terdiri dari ujung-ujung saraf telanjang yang dapat
dijumpai pada hampir semua jaringan tubuh. Impuls nyeri nantinya akan
dihantarkan p susunan sistem saraf pusat oleh 2 sistem serabut. Yaitu:
1. Sistem nosiseptor yang terbentuk dari serabut-serabut A kecilbermielin
dengan diameter 2-5 m yang akan menghantar dengan kecepatan sebesar 1230 m/det.
2. Serabut C tak bermielin dengan diameter 0,4-1,2 m, serabut yang terakhir
akan bertemu di lateral radiks dorsalis sehingga serabut ini disebut juga
serabut C radiks dorsalis yang akan menghantar dengan kecepatan 0,5-2 m/det.
Kedua kelompok serabut ini berakhir di kornu dorsalis; serabut A berakhir
terutama di neuron-neuron lamina I dan V, sementara serabut C radiks dorsalis
berakhir di neuron di lamina I dan II. Transmitter sinaps yang disekresi oleh
serabut aferen primer yang menhantarkan nyeri ringan cepat adalah glutamate,
dan transmitter yang menghantarkan nyeri hebat lambat adalah substansi P.
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos sampai
terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan
kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu : transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi nociceptor oleh
stimulus noxiuos pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi
nosiseptor dimana disini stimulus noxiuos tersebut akan dirubah menjadi
potensial aksi. Proses ini disebut disebut transduksi atau aktivasi reseptor.

Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron


susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medula
spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron
susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas di
medula spinalis menuju batang otak dan thalamus. Selanjutnya terjadi
hubungan timbal balik antara thalamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di
otak yang mengurusi respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri
dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptif. Terdapat
proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut,
tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis
medula spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai
menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.

Nyeri Inflamasi
Pada proses inflamasi, misalnya pada arthritis, proses nyeri terjadi karena
stimulus nosiseptor akibat pembebasan berbagai mediator biokimiawi.
Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologi yang dimulai oleh adanya
antigen yang kemudian diproses oleh antigen presenting cels (APC) yang
kemudian diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA yang
sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan diikat oleh sel T melalui
reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk kompleks trimolekuler.
Kompleks trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi imunologi
dengan pelepasan berbagai sitokin sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan
proliferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan
berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja merangsang makrofak
untuk meningkatkan aktifitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan
aktifitas sel B untuk memproduksi antibody.
Setelah berikatan dengan antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan mengendap pada organ target dan mengaktifkan sel

radang untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit


asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim protease, yang akhirnya akan
menyebabkan kerusakan pada organ target tersebut.
Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin seperti PGE1, PGE2,
PGI2, PGD2 dan PGA2, dapat menimbulkan fasodilatasi dan demam. Diantara
berbagai jenis prostaglandin tersebut, PGI2, merupakan fasodilator terkuat.
Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada proses inflamasi
ternyata lebih kompleks. Pemberian PGE pada binatang percobaan tidak
terbukti dapat memprofokasi nyeri secara langsung, tetapi harus ada kerja
sama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain seperti histamine dan
bradikinin.
Selain itu, tidak dapat terbukti bahwa prostaglandin dapat menimbulkan
kerusakan jaringan secara langsung. Seagian kerusakan jaringan pada proses
inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang terbentuk selama
konfersi enzimatik dari PGG2 menjadi PGH2,atau pada proses fagositosis.
Pada proses inflamasi, terjadi interaksi empat sistim imun yaitu system
pembekuan darah, sistim kinin, sistim fibronolisis dan sistim komplemen,
yang akan membebaskan berbagai protein inflamatif baik amin faso aktif
maupun zat kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang kedaerah
inflamasi.
Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi peningkatan
konsumsi O2 dan produksi radikal ogsigen bebas seperti anion superoksida
(O2-) dan hydrogen peroksida

(H 2O2). Kedua radikal oksigen bebas akan

membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerisasi


hialuronat sehingga dapat merusak rawan sendi dan menurunkan viskositas
cairan sendi.

Nyeri Psikogenik
Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan pisikiatrik,
pisikosomatik dan depresi terselubung. Pasien nyeri kronik akibat trauma yang
berat, misalnya kecelakaan, peperangan dan sebagainya, sering kali
menunjukkan gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien selalu
merasa dirinya sakit walaupun secara medic kelainan fisiknya sudah sembuh.
Dalam hal ini, pasien harus diyakinkan bahwa keadaan psikologi ini sering

terjadi dan dia harus berusaha untuk mengatasinya dengan baik karena
keadaan fisiknya sebenarnya sudah sembuh.
Nyeri merupakan salah satu kelainan psikosomatik, dimana pasien
mengekspresikan konflik yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik.
Keluhan dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi aktifitas sehariharinya. Pasien dengan nyeri psikosomatik akan mengeluh nyeri pada satu
bagian tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga membutuhkan
perhatian dokter.
d. Bagaimana dampak penyakit yang bertahan selama 3 bulan pada kasus?
Jawab :
Dengan bertahan penyakit selama 3 bulan tanpa mendapatkan terapi yang
adekuat maka proses progresivitas penyakit dapat meningkat seiring
bertambahnya waktu.
2. A steroid dose-pack and 400 mg dose of ibuprofen three times a day relieved all
symptoms for one month month, but was followed by a slow return of joint pain, now
with clearly swelling , and morning stiffness lasting two hours.
a. Bagaimana hubungan konsumsi obat dengan riwayat perjalanan penyakit?
Jawab :
Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien. Banyak orang
dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan setidaknya sekali
dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis rheumatoid arthritis memulai
pengobatan dengan DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid. Obat ini tidak hanya
meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali
dokter meresepkan DMARD bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID
dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri
dan demam (Arthritis Foundation, 2008).
Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek terapi DMARD
muncul. Dosis rendah secara terus-menerus dapat diberikan sebagai tambahan

ketika pengobatan dengan DMARD tidak

dapat mengontrol penyakit.

Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam


sendi

dan

jaringan

Kortikosteroid

lokal

sebaiknya

untuk
tidak

mengendalikan

diberikan

sebagai

peradangan
monoterapi

lokal.
dan

penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari (Schuna, 2008).


NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri pada
RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan sendi, sehingga tidak
dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA. Seperti
kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi penunjang DMARD (Schuna,
2008).
b. Bagaimana interaksi steroid dengan obat NSAID?
Jawab :
Interaksi tipe moderate, yaitu penggunaan bersama obat ini biasanya dihindari
kecuali untuk terapi pada penyakit tertentu yang memiliki manfaat tinggi.
Dapat meningkatkan terjadinya perdarahan saluran cerna (GI tract bleeding)
dan ulkus peptikum. Selain itu juga obat ini dapat mengakibatkan insufisiensi
klirens dari fungsi ginjal.
c. Mengapa obat yang dikonsumsi berpengaruh selama satu bulan pertama saja?
Jawab :
Pemberian NSAID dan steroid dosis rendah berguna untuk mengontrol
gejala dan tanda proses peradangan local, dan digunakan sebagai lini pertama
untuk memperingan gejala. Penyakit ini bersifat kronik hilang timbul. NSAID
mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator
peradangan. Menghambat sintesa prostaglandin. Timbulnya erosi tulang atau
bukti radiologik hilangnya tulang rawan merupakan bukti nyata potensi
dektruktif proses peradangan dan dibutuhkan pengobatan lini kedua (obat anti
rematik: senyawa emas, anti malaria, D-penisilamin, sulfasalazin). Karena
NSAID tidak dapat melindungi sendi dan tulang dari proses dektruktif akibat
AR.
d. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme nyeri sendi yang timbul perlahan,
bengkak, dan kaku sendi di pagi hari?

Jawab :
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan
komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak
mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan sinovial serta
jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan manifestasi utama
yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya
paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus
atau protein antigen endogen (Schuna, 2005). Paparan antigen akan memicu
pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan
antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor
mengaktifkan
komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin
oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T
CD4+
. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya
inflamasi pada rheumatoid arthritis seperti TNF-a, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel
T CD4+

akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang mengalami

inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan


memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga
dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain
itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi
angiogenesis

(pembentukan

pembuluh

darah

baru)

sehingga

terjadi

peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA.


Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan
membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus.
Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang
menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna, 2005).
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi
akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan
terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma
sendi, ligamen dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan
pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi

hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan


aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri
hebat dan deformitas (Schuna, 2005).

e. Apa makna klinis dari kaku sendi di pagi hari selama 2 jam?
Jawab :
Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata
tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk
bahwa seseorang mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit
penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis
paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan
(American College of Rheumatology, 2012).
3. In the afternoon , she often felt low grade fever, fatique and less appetite. There is no
back pain. She works halftime in a flower shop, and is having diffuclty cutting
flowers and picking up anything over five pounds.
a. Bagaimana mekanisme demam yang tidak tinggi, kelelahan, dan kurang nafsu
makan?
Jawab :

Demam
Sebagai respon terhadap adanya inflamasi, sel-sel fagositik tertentu (makrofag)
mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen yang
selain efek-efeknya dalam melawan infeksi, bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus sekarang
mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak mempertahankannya di
suhu normal tubuh. Jika, sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik
patokan menjadi 102o F (38,9oC), maka hipotalamus mendeteksi bahwa suhu
normal pra demam terlalu dingin sehingga bagian otak ini memicu
mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu menjadi
102oF. Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas
segera meningkat dan mendorong vasokontriksi kulit untuk mengurangi
pengeluaran panas. Kedua tindakan ini mendorong suhu naik dan
menyebabkan demam. Namun pada kasus ini, pasien tidak menggigil karena
pirogen endogen yang dikeluarkan hanya sedikit sehingga menyebabkan
pengeluaran prostaglandin juga sedikit maka tidak menyebabkan demam
menggigil (mengalami demam subfebris).

Penurunan nafsu makan


Inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena
menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian
jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping
obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang
dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain
penurunan nafsu makan adalah adanya peradangan pada temporo mandibula.
Peradangan dapat menyebabkan nafsu makan berkurang serta penurunan berat
badan.
b. Apa makna klinis dari demam yang tidak tinggi, kelelahan, dan kurang nafsu
makan?
Jawab :

Demam dan kurangnya nafsu makan disebabkan oleh adanya interleukin


karena respon inflamasi sendi yang berperan sebagai pirogen endogen yang
mengubah set point suhu di hipothalamus dan menurunkan nafsu makan.
Sedangkan kelelahan, merupakan salah satu gejala sistemik dari rheumatoid
arthritis yaitu fatigue dan gangguan mood (depresi) akibat adanya sitokin
inflamasi yang mempengaruhi sistem neurologis melalui HPA axis.
c. Apa hubungan sulit memotong bunga dan mengangkat barang lebih dari 5
pons terhadap kasus?
Jawab :
Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan sendi yang diawali dari proliferasi
makrofag dan fibroblast synovial yang biasanya diawali oleh factor pencetus
berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivascular dan
terjaid proliferasi sel-sel endotel, dan selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang irregular pada
jaringan synovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan
panus. Jaringan panus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang,
berbagai macam sitokin, interleukin , proteinase dan factor pertumbuhan
dilepaskan sehingga menyebabkan destruksi sendi dan berbagai komplikasi
sistemik.
d. Apa makna klinis tidak ada nyeri punggung?
Jawab :
Tidak ada nyeri punggung berarti belum ada inflamasi RA pada sendi-sendi
tulang belakang. Juga dapat menyingkirkan DD osteoarthritis karena arthritis
yang banyak mengenai punggung adalah osteoarthritis.
4. Physical exam reveals boggy synovitis at the metacarpal phalangeal joints with
tenderness. There is tenderness but no synovitis at the knees and metatarsal
phalangeal joints. Her BMI is in the normal range.
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik?
Jawab :

Kasus

Normal

Boggy synovitis di sendi

Tidak ditemukan sinovitis

metacarpal phalangeal

dan nyeri pada sendi

disertai dengan nyeri

metacarpal phalangeal

Nyeri tanpa disertai

Tidak ditemukan sinovitis

sinovitis pada lutut dan

dan nyeri pada lutut dan

sendi metatarsal

sendi metatarsal

phalangeal

phalangeal
Underweight = <18.5

Interpretasi

Abnormal

Abnormal

Normal weight = 18.5


BMI

24.9
Overweight = 2529.9

Normal

Obesity = BMI of 30 or
greater
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
Jawab :
Struktur yang terganggu pada kasus ini adalah pada bagian persendian
terutama pada cairan sinovial. Dalam keadaan normal , setiap ujung dari tulang
dilapisi oleh lapisan kartilago yang sangat halus dengan permukaan yang licin.
Lapisan ini memperbolehkan setiap gerakan yang terjadi antara ujung-ujung
tulang tidak terjadi gesekan. Sendi dikelilingi oleh sebuah membran sinovium
yang memproduksi sejumlah kecil cairan yang disebut dengan cairan sinovial.
Cairan ini berfungsi untuk memberi nutrisi pada kartilago dan lubrikasi dari
sendi. Membran sinovium memiliki lapisan terluar yang disebut kapsul yang
bersamaan dengan ligamen mempertahankan sendi dan tulang pada tempatnya.
Tendon (keras, pita fibrosa dan cord) menghubungkan otot dengan tulang.
Perubahan yang terjadi pada sendi di kasus ini adalah terdapat pada
struktur sinovium, dimana terjadi proses inflamasi. Sehingga dapat muncul
tanda-tanda peradangan seperti merah, bengkak, dan nyeri. Kemerahan terjadi
karena peningkatan aliran darah, yang juga akan menyebabkan sendi yang
mengalami inflamasi terasa lebih hangat dibandingkan normal. Fungsi yang
terganggu adalah dalam sistem motorik, dimana seseorang yang mengalami
peradangan pada sendi akan mengalami kesulitan dalam beraktivitas terutama

dalam aktivitas yang memerlukan gerakan sendi yang banyak. Hal ini
dikarenakan setiap gerakan yang terjadi akan menimbulkan rasa nyeri nyeri
bergantung pada letak terjadinya peradangan pada sendi.
c. Mengapa synovitis ada di sendi metacarpal phalang tetapi tidak ada di lutut
dan metatarsal phalang?
Jawab :
Frekuensi keterlibatan sendi metacarpophalangeal pada penyakit RA lebih
besar yaitu dengan persentase 85%, sedangkan keterlibatan sendi lutut dan
metatarsophalangeal yaitu tidak sebesar sendi metacarpophalangeal yaitu
masing-masing hanya sebesar 75%. ? (PAPDI)
d. Mengapa ada nyeri tetapi tidak ada bengkak pada sendi lutut dan sendi
metatarsal phalang?
Jawab :
Umumnya nyeri disebabkan oleh sinovitis yang bisa mengenai sendi mana
saja. namun terjadi bengkak atau ditemukannya nodul itu tidak memerlukan
interversi khusus. Biasanya nodul ditemukan di daerah ulna, olecranon, jari
tangan, tendon Achilles atau bursa olecranon. Dan biasanya ditemukan pada
pasien yang memiliki kadar factor rheumatoid yang positif(titernya tinggi).
e. Bagaimana cara pemeriksaan dari synovitis dan nyeri terkait kasus?
Jawab :
Menilai Lengan (ARMS)
Lakukan penekanan pada Orang
masing-masingsendi dengan merasakan
jari-jari

tangan,

normal

tidak

nyeri

dengan

besar tekanan sebesar itu. Jika

tekanan 4-5 kg/cm2.

terjadi

keradangan

maka

pasien akan merasa nyeri.


Menilai Tungkai (LEGS)

Sendi lutut(art. Genu)

Rasakan krepitasi pada sendi


lutut.
Periksa adanya efusi, dengan
melakukanpenekanan

pada

kedua sisi sendi lutut dengan


tangan

kanan,tangan

kiri

mendorong cairan dari atas.


Balloon sign

positif

bila

terasa cairan mengisi celah


sendi

pada jempol dan

telunjuk tangan kanan.

medial condyle of the tibia


lateral condyle

tibial tuberosity

medial condyle of the tibia

Sendi metatarsophalang I Pada penderita artritis gout,


(MTP I)

biasanya

terdapat

tanda-

lateral condyle

tandakeradangan yang hebat


seperti kemerahan, bengkak
dan nyeri yang hebat.
5. Laboratory evaluation reveled that her rheumatoid factor was positive, anticyclic
citrullinated peptide (CCP) negative, 60 mm/ hour of sedimentation rate and 35 mg/dl
of C reactive protein. All other routine laboratory finding were normal. X-rays of her
affected joint show minimal periarticular osteopenia and no erosions.
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab :
1. Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya
proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes

ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap


pengobatan (NHMRC, 2009).
2. Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin
mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada
beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini
terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF jika
dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat
keparahan penyakit (NHMRC, 2009).
3. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk
mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan
tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi dan merupakan prediktor yang kuat
terhadap perkembangan penyakit yang erosif (NHMRC, 2009).
4. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya
erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan
dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel, 2011).
peradangan yang ditimbulkan dari penyakit RA ini bersifat sistemik tidak
hanya mempengaruhi sendi tapi juga seluruh tubuh ,zat yang menimbulkan
peradangan (IL-6) ternyata mampu menyebabkan erosi tulang, (IL-6) ini
bersifat menghambat zat pembentukan tulang dan mengaktifkan zat yang
menyebabkan kerusakan tidak hanya di tulang rawan tapi juga tulang di
seluruh tubuh sehingga RA ini juga mampu menyebabkan Osteoporosis.
Namun pada kasus belum sampai osteoporosis, yang terjadi adalah osteopenia
periartikular yaitu penurunan massa tulang atau penipisan tulang ringan
disekitar sendi. Osteopenia merupakan awal dari osteoporosis.
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab :

Rheumatoid factor positif


Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang
bereaksi dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam
serum, maka RF termasuk autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini
belum diketahui pasti, walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi
RF dengan IgG memegang peranan yang penting pada rematik artritis
(rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF positif.

Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA. Kadar
RF yang sangat tinggi menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan
sendi yang berat dan kemungkinan komplikasi sistemik.
RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma,
dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF
pada rematik arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit

non-imunologis dan orang tua (di atas 65 tahun).


Anti-CCP negative
Ketika hasilnya negatif untuk tes antibodi CCP tetapi memiliki RF positif,
maka tanda-tanda klinis dan gejala lebih penting dalam menentukan apakah

mereka memiliki RA atau beberapa kondisi inflamasi lainnya.


LED 60 mm/dL
Laju endap darah tinggi merupakan indikasi adanya peradangan/infeksi. LED
eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pasien
dengan arthritis rheumatoid nilainya dapat tinggi (100mm/jam) atau lebih
tinggi. Hal ini dapat berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau

aktivitas penyakit.
C reactive protein 35mg/dL
CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama dipengaruhi
oleh Interleukin 6 (IL-6). CRP merupakan marker inflamasi yang diproduksi
dan dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL6,Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor Necroting Factor _(TNF-). Laju endap
darah (LED) dan C-Reactive Protein(CRP) menunjukkan adanya proses
inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini
berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap
pengobatan (NHMRC, 2009).

c. Bagaimana gambaran X-rays terkait kasus?


Jawab :

Gambar 1. Erosi dini dan pembengkanan pada PIP

Gambar 7 : (A) tangan kanan dengan PIP sendi bengkak jari keempat dan
kapsul menggembung. (B) Hand scintigraphy scan, menunjukkan peningkatan
penyerapan 99mTc-anti-TNF-a pada jari keempat kanan (PIP) (panah), PIP kiri
jari ketiga dan keempat dan pergelangan tangan. (C dan D) MRI kanan tangan
coronal (C) dan aksial (D) iris menunjukkan sinovitis PIP jari keempat.
(Sumber : Zeman dan Scott, 2012)
6. Aspek Klinis
a. DD

Jawab :

b. DK
Jawab :
Artritis reumatoid
c. Definisi
Jawab :
Rheumatoid Arthritis adalah penyakit inflamasi kronis yang menyerang
membran sinovium, tulang rawan dan tulang.
d. Algoritme Penegakkan diagnosis
Jawab :
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
- Keluhan pasien ?
- Sudah berapa lama ?
- Bagaimana sifat nyerinya ?
- Apakah nyerinya bertambah saat beraktivitas ? Apakah berkurang setelah
beristirahat ?
- Apakah nyerinya disertai kekakuan sendi di pagi hari? dan berapa lama
durasinya?
- Apakah disertai demam ?

- Apakah ada bengkak dan kemerahan ?


- Apakah nyerinya dirasakan terus - menerus atau hilang timbul ?
b. Riwayat penyakit dahulu
- Apakah sebelumnya pernah mengalami trauma ?
- Apakah sebelumnya pernah menjalanin operasi ?
- Apakah sebelumnya pernah memiliki riwayat tumor ?
- Apakah ada riwayat penyakit lain ( misalnya diabetes, gagal ginjal kronik,
hiperparatiroid, dll ) ?
c. Riwayat penyakit keluarga
- Adakah keluarga yang menderita suatu penyakit tertentu misalnya
rheumatoid
arthritis ?
2. Pemeriksaan Fisik
- Nodul nodul
- Hiperemis
3. Pemeriksaan Penunjang
- C - reactive protein ( CRP )
Umunya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL,

bisa digunakan untuk

monitor perjalanan penyakit.


- Laju endap darah ( LED )
Sering meningkat . 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan
penyakit.
- Hemoglobin / hematokrit
Sedikit menurun, Hb rata - rata 10 g/dL, anemia normokromik, mungkin juga
mikrositik.
- Jumlah lekosit
Mungkin meningkat.
- Jumlah trombosit
Biasanya meningkat.
- Faktor reumatoid (RF)
Hasilnya negatif pada 30%, penderita reumatoid artritis dini.
- Fungsi hati
Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat
- Antinuclear antibody (ANA)

Tidak terlalu bermakna untuk penilaian reumatoid artritis.


- Foto polos sendi
Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi
pada stadium dini penyakit.
- MRI
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto
polos, tampilan struktur lebih rinci. Gambaran : erosi tulang, edema tulang,
sinovitis.
e. Epidemiologi
Jawab :
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar
luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara
0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita,
dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai
5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan
wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih
sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid
yang dibandingkan dengan 600.000 pria.
f. Etiologi
Jawab :
- Autoimun
- Faktor genetik
- Hormon sex
Perempuan dengan hormon estrogennya lebih berpeluang terserang RA
dibandingkan pria. Hormon estrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan
tulang.

Kekurangan

hormon

estrogen

mengakibatkan

lebih

banyak

penghancuran tulang dari pada pembentukan tulang. Keadaan ini mempercepat


dan memperberat penyakit RA.
- Faktor infeksi
Infeksi dibagian persendian akibat infeksi bakteri, mikoplasma atau koloni
jamur dan virus bisa menimbulkan sakit yang secara mendadak. Biasanya
disertai juga dengan tanda-tanda peradangan, seperti : panas, nyeri, bengkak,
dan gangguan fungsi. Infeksi dan peradangan merupakan gejala yang khas
sebagai tanda timbulnya RA
g. Faktor Risiko
Jawab :
- Jenis kelamin (perempuan)
- Riwayat keluarga yang menderita RA
- Usia (usia lebih tua)
- Paparan salisilat dan merokok
h. Manifestasi Kinis
Jawab :
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata
tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat
dilihat pada radiogram.

5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan


perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa
deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal.

Sendi-sendi

besar

juga

dapat

terserang

dan

mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.


6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodulanodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodulanodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan
lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organorgan lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan
pembuluh darah dapat rusak.
i. Patogenesis
Jawab :

Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan


komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak
mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan sinovial serta
jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan manifestasi utama
yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya
paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus
atau protein antigen endogen.
Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien
rheumatoid arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid
Factor (RF). Rheumatoid Factor mengaktifkan komplemen kemudian memicu
kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga
dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan
merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada
rheumatoid arthritis seperti TNF-, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan
memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag
akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan memperparah
inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga dilepaskan yang

menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain itu, aktivasi
makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasiangiogenesis
(pembentukan

pembuluh

darah

baru)

sehingga

terjadi

peningkatan

vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis


yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial
mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan
menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang
dan akhirnya kerusakan sendi.
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi
akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan
terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus. Peradangan ini akan
menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen dan tendon.
Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan
parut sehingga membran sinoviummenjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya
hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam
sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya
nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas.
j. Patofisiologi
Jawab :
Dari penelitian mutakhir (menurut Harris E D 1993 dan Dessureault
1989 ) diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut.
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis
sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah
diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan
HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang

diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan
proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama
antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD 4+ yang telah
teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon,
tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam
ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem
komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponenkomplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR
adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi
sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin
dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan
erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan
terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga
merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2( PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur
persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak

terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh


terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi
terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor
reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,
sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun
juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan
terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi
jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan
granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan
sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan. ( Daud R, 1996 )
k. Pemeriksaan penunjang
Jawab :
Pemeriksaan cairan synovial
1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
Pemeriksaan darah tepi
1. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Feltys Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.

Pemeriksaan kadar sero-imunologi


1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul
subkutan.
2. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
Foto Rontgen, biasanya ditemukan deformitas dan diarsitektur tulang.
Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra,
tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis

bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.


Protein C-reaktif biasanya positif.
LED meningkat.
Leukosit normal atau meningkat sedikit.
Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
Trombosit meningkat.
Kadar albumin serum turun dan globulin naik.

l. Tatalaksana, edukasi, pencegahan, follow up


Jawab :
Penderita RA memulai pengobatan mereka dengan DMARDs (Disease
Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan
leflunomid (American College of Rheumatology Subcommittee, 2012).

Selain itu, penderita RA dapat diberikan terapi lainnya seperti,


NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa nyeri
dan kekakuan sendi.
Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan
Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok
obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit
Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis
dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang
yang serius. Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup
efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi.
Pemberiannya harus diimbangi dengan pemberian kalsium dan vitamin D.
Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk
pasien dengan penyakit sistemik.
m. Komplikasi
Jawab :
- Anemia

- Kanker
- Komplikasi kardiak
- Pembentukan fistula
- Peningkatan infeksi dan deformitas sendi lainnya
n. Prognosis
Jawab :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor funsional yang
rendah dan status sosial ekonomi.
Gangguan yang terjadi pada pasien

rheumatoid arthritis lebih besar

kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien.
Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan
kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi
secara menetap.
o. SKDI
Jawab :
Indikasi Merujuk
Sebagai dokter umum kita memiliki SKDI 3A :
Mampu menegakkan diagnosa, pemeriksaan tambahan, dan terapi awal.
Selanjutnya pasien dapat kita rujuk.

Anda mungkin juga menyukai