Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS MASALAH

1. Mrs. Ani , 43 years old woman presents with a history of a insidious onset of joint
pain since three month ago. Affected are all small joints of the hands, wrists, knees,
and forefeet.
a. Mengapa yang terkena hanya sendi-sendi kecil (makna klinis)?
Rheumatoid arthritis biasanya terjadi di beberapa sendi dan mempengaruhi
kedua sisi tubuh, oleh karena itu, disebut sebagai polyarthritis simetris. Sendi
yang terlibat pada RA sebagian besar merupakan sendi-sendi kecil, misalnya
yang paling banyak ditemukan adalah pada sendi metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal, dan interfalanges proksimal. Makin besar pannus maka
tonjolan pada sendi-sendi tersebut makin terlihat nyata dan akan terjadi deviasi
ulnar (jari dan pergelangan tangan bengkok ke arah ulna). Rheumatoid
arthritis bahkan dapat mempengaruhi sendi yang bertanggung jawab untuk
pengetatan pita suara untuk mengubah nada suara yaitu sendi cricoarytenoid.
Ketika sendi ini meradang, hal ini dapat menyebabkan suara serak.
2. A steroid dose-pack and 400 mg dose of ibuprofen three times a day relieved all
symptoms for one month month, but was followed by a slow return of joint pain, now
with clearly swelling , and morning stiffness lasting two hours.
a. Bagaimana hubungan konsumsi obat dengan riwayat perjalanan
penyakit?
Pada kasus, Mrs. Ani hanya mengkonsumsi obat steroid dan ibuprofen.
Kortikosteroid dan NSAID dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan
dan nyeri pada RA. Kortikosteroid dan NSAID tidak memperlambat
terjadinya kerusakan sendi, sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi
tunggal untuk mengobati RA. Kortikosteroid dan NSAID digunakan sebagai
terapi penunjang DMARD. Sedangkan, DMARD dapat digunakan untuk
memperlambat reaksi autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan
memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Pengobatan dengan DMARD
sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis
ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat
diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini
dapat mengurangi mortalitas. NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi
pembengkakan dan nyeri pada RA.
b. Mengapa obat yang dikonsumsi berpengaruh selama satu bulan pertama
saja?
Karena pengunaan obat steroid dan ibuprofen tanpa kombinasi DMARD tidak
dapat memperlambat reaksi autoimun sehingga tidak memperbaiki kondisi
secara keseluruhan. Pemberian steroid memang efektif namun efeknya hanya
bersifat sementara, sehingga apabila pemberian steroid dihentikan maka gejala
bisa muncul kembali. Sedangkan, pada skenario belum diberikan DMARD
sehingga gejala-gejala rheumatoid artritis masih bermunculan, karena
DMARD berperan dalam menghambat perkembangan penyakit rheumatoid
artritis.

3. In the afternoon , she often felt low grade fever, fatique and less appetite. There is no
back pain. She works halftime in a flower shop, and is having diffuclty cutting
flowers and picking up anything over five pounds.
a. Bagaimana mekanisme demam yang tidak tinggi, kelelahan, dan kurang
nafsu makan?
Depresi dan kelelahan adalah salah satu gejala sistemik penderita RA. Hal
tersebut berkaitan dengan keberadaan TNF-, IL-1, dan IL-6. Ketiga sitokin
itu menyebabkan disregulasi hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA axis)
sehingga muncullah gejala depresi (kurang napsu makan) dan kelelahan.
Peradangan pada membran sinovial, mediator inflamasi Interleukin-1 dan
interleukin-1 memicu demam.

b. Apa makna klinis tidak ada nyeri punggung?


Rheumatoid Artritis biasanya menyebabkan masalah di beberapa sendi dalam
waktu yang sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil
seperti, pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki, dan kaki. Dalam
perjalanan penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi bahu, siku, lutut,
panggul, rahang dan leher. Adapun sendi-sendi yang sering terkena RA adalah:
1. Tulang tulang cervical
Sering terjadi
Gerakan leher terbatas
Instabilitas c1 - c2 karena adanya tenosynovitis ligamen tranversalis
2. Sendi bahu
Adanya pembengkakan sering tidak terdeteksi
Keterbatasan gerakan -- frosen shoulder syndrome
Gejala ini biasanya memburuk diwaktu malam hari
3. Sendi Siku
Sangat mudah untuk dideteksi

4.

5.

6.
7.

Deformitas fleksi sering terjadi pada umumnya


Neuropathy saraf ulnaris dapat terjadi
Tangan/ Pergelangan tangan
Hampir setiap pasien dengan RA terkena bagian tangan, pergelangan
tangan,
MCP (metacarpalphalangeal) dan
PIP (proximal
Interphalangeal) deviasi ke arah ulnar bagian MCP sedangkan untuk
pergelangan tangan ke arah deviasi radial,
Deformity swan neck, deformity boutonniere, "Z" deformity
Rheumatoid Nodules sepanjang lapisan tendon.
Penebalan "nodular" sepanjang tendon fleksor telapak tangan.
Putusnya tendon-- yang biasanya adalah otot Ektensor Pollicis Longus
Lutut
Terdapat efusi dan penebalan synovial
Baker's cyst
Fleksi dengan valgus dan rotasi external tibia, subluksasi posterior
dari tibia
Pangkal paha. Mula-mulanya terjadi gangguan fungsi biasanya saat
penderita melepas satu sepatu atau kaos kaki
Kaki dan pergelangan kaki
Anggota bagian bawah yang terkena mengakibatkan disfungsi lebih
besar dan nyeri, sebagai akibat tumpuan berat badan
"dropping metatarsal head"
" displacement metatarsal
deviasi ke arah lateral jari pertama
ibu jari "hammer"/palu atau "claw"/cakar
Pronasi dan eversi dari kaki
Dapat terjadi "tarsal tunnel" yang mengakibatkan "parasthesia"

4. Physical exam reveals boggy synovitis at the metacarpal phalangeal joints with
tenderness. There is tenderness but no synovitis at the knees and metatarsal
phalangeal joints. Her BMI is in the normal range.
a. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
b. Bagaimana cara pemeriksaan dari synovitis dan nyeri terkait kasus?
Menilai Lengan (ARMS)
Lakukan penekanan pada
masing-masing sendi dengan
jari-jari tangan, besar tekanan
4-5 kg/cm2.

Menilai Tungkai (LEGS)

Orang
normal
tidak
merasakan nyeri dengan
tekanan sebesar itu. Jika
terjadi keradangan
maka
pasien akan merasa nyeri.

Sendi lutut(art. Genu)

Rasakan krepitasi pada sendi


lutut.
Periksa adanya efusi, dengan
melakukan penekanan pada
kedua sisi sendi lutut dengan
tangan kanan,tangan kiri
mendorong cairan dari atas.
Balloon sign positif bila
terasa cairan mengisi celah
sendi
pada jempol dan
telunjuk tangan kanan.

medial condyle of the tibia

lateral condyle
tibial tuberosity

Sendi metatarsophalang
(MTP I)

I Pada penderita artritis gout,


biasanya terdapat tanda-tanda
keradangan
yang
hebat
seperti kemerahan, bengkak
dan nyeri yang hebat.

medial condyle of the tibia

lateral condyle

5. Laboratory evaluation reveled that her rheumatoid factor was positive, anticyclic
citrullinated peptide (CCP) negative, 60 mm/ hour of sedimentation rate and 35 mg/dl
of C reactive protein. All other routine laboratory finding were normal. X-rays of her
affected joint show minimal periarticular osteopenia and no erosions.
a. Bagaimana gambaran X-rays terkait kasus?

6. Aspek Klinis
a. DK
Rheumatoid arthritis
b. Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti
sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti
radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon et al., 2002). Menurut
American College of Rheumatology (2012), rheumatoid arthritis adalah
penyakit kronis (jangka panjang) yang menyebabkan nyeri, kekakuan,
pembengkakan serta keterbatasan gerak dan fungsi banyak sendi.
c. Etiologi
Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan
merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor
sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi
seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut Smith dan Haynes (2002),
ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita
rheumatoid arthritis yaitu :
1). Faktor genetik
Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya
rheumatoid arthritis sangat terkait dengan faktor genetik. Delapan puluh
persen orang kulit putih yang menderita rheumatoid arthritis
mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di
permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen HLA-DR4 3,5
kali lebih rentan terhadap rheumatoid arthritis.
2). Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada
laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena

pengaruh dari hormon namun data ini masih dalam penelitian. Wanita
memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset
rheumatoid arthritis terjadi pada orang- orang usia sekitar 50 tahun.
3). Infeksi
Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah
terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu
rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella, EBV, borellia
burgdorferi.
4). Lingkungan
Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid
arthritis seperti merokok.
Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain infeksi
streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin,
autoimun, metabolik dan faktor genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada
saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi
mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup
difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi
penderita (Alamanos dan Drosos, 2005; Rindfleisch dan Muller, 2005).
d. Manifestasi Kinis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung
pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang,
penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak
aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan
pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika
penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux &
Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan
energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi
dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari.
Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi
dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri,
pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran
klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah,
lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif
mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang
belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral
dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari

berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki


adalah hal yang umum.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang
kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada
penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat
reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang
teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung
menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi
deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh
ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap
lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius
terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku
pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku,
pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak
setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan
dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan
demam, dapat terjadi berulang.
e. Patogenesis
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat
membedakan komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem
imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan
sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan
manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi
terjadi karena adanya paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen,
seperti protein virus atau protein antigen endogen (Schuna, 2005).
Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada
pasien rheumatoid arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan

Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor mengaktifkan komplemen


kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh sel
mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+.
Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya
inflamasi pada rheumatoid arthritis seperti TNF-, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel
T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang mengalami
inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan
memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga
dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain
itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi
peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA.
Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan
membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan
pannus. Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang
menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna, 2005).
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi
sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial
dan terjadi peradangan yang berlangsung terus- menerus. Peradangan ini akan
menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen dan tendon.
Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan
parut sehingga membran sinovium menjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya
hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam
sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya
nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna, 2005).
f. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya)
terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan
enzim- enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen
sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut
otot
akan
mengalami
perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer &
Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai
dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang
lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat
ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis
yang difus (Long, 1996).

g. Pemeriksaan penunjang
1). Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan
adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah
untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan
responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).
2). Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin
mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu).
Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu).
RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF
jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan
tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009).
3). Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk
mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip
dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi
dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit
yang erosif (NHMRC, 2009).
4). Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan
informasi mengenai inflamasi dan anemia yang berguna sebagai
indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).
5). Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada rheumatoid
arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan
jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil
dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda
peradangannya (Shiel, 2011).
6). X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi
adanya erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk
membedakan dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel,
2011).
7). MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan
X-Ray (Shiel, 2011).
8). USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan
abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).
9). Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi
pada tulang (Shiel, 2011).
10). Densitometri dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang
mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel, 2011).
11). Tes Antinuklear Antibodi (ANA) (Shiel, 2011).
h. Tatalaksana, edukasi, pencegahan, follow up
1). Tujuan terapi rheumatoid arthritis
Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk :

a). Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal


maupun sistemik.
b). Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.
c). Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan
menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
d). Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang
mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi
normal kembali (Rizasyah, 1997).
2). Strategi terapi
Pengobatan rheumatoid arthritis memiliki dua komponen (Shiel, 2011):
a). Mengurangi inflamasi serta mencegah kerusakan dan kecacatan
sendi.
b). Menghilangkan gejala, terutama nyeri.
3). Tata laksana terapi
Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi peradangan pada sendi,
menghilangkan rasa sakit dan mencegah atau memperlambat terjadinya
kerusakan sendi. Terapi fisik dapat dilakukan untuk
melindungi sendi. Jika sendi sudah rusak parah, suatu tindakan pembedahan
mungkin diperlukan.
a). Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan,
istirahat, pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011).
(1). Latihan
Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu
mengurangi rasa sakit dan kelelahan pada pasien rheumatoid arthritis serta
meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga yang
disarankan adalah latihan rentang gerak, latihan penguatan dan latihan daya
tahan (aerobik). Aerobik air adalah pilihan yang sangat baik karena dapat
meningkatkan jangkauan gerak dan daya tahan, juga dapat menjaga berat
badan dari sendi-sendi tubuh bagian bawah (Shiel, 2011).
(2). Istirahat
Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi nonfarmakologi RA. Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang
mengalami peradangan dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah.
Tetapi terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkan
imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan menimbulkan

atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga gerakan dan tidak berdiam diri
terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan pasien duduk lama,
pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambil
meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna, 2008).
(3). Pengurangan berat badan
Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres pada
sendi dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap ideal juga
dapat mencegah kondisi medis lain yang serius seperti penyakit jantung dan
diabetes. Pasien hendaknya mengkonsumsi makanan yang bervariasi,
dengan memperbanyak buah dan sayuran, protein tanpa lemak dan produk
susu rendah lemak. Berhenti merokok akan mengurangi risiko komplikasi
rheumatoid arthritis (Shiel, 2011).
(4). Pembedahan
Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan
sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk
memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu
mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit dan
mengurangi kecacatan. Pembedahan yang dilakukan antara lain sebagai
berikut (Harms, 2009):
(a). Artoplasti (penggantian total sendi). Bagian sendi yang rusak akan
diganti dengan prostesis yang terbuat dari logam dan plastik.
(b). Perbaikan tendon. Peradangan dan kerusakan sendi dapat menyebabkan
tendon di sekitar sendi menjadi longgar atau pecah. Untuk itu, perlu
dilakukan perbaikan tendon di sekitar sendi.
(c). Sinovektomi (penghapusan lapisan sendi). Lapisan sendi yang
meradang dan menyebabkan nyeri dapat dihilangkan.
(d). Artrodesis (fusi sendi). Fusi sendi mungkin direkomendasikan untuk
menstabilkan atau menyetel kembali sendi dan dapat mengurangi nyeri
ketika penggantian sendi tidak menjadi suatu pilihan.
Pembedahan berisiko menyebabkan perdarahan, infeksi dan nyeri,
sehingga sebelum dilakukan tindakan, harus diperhitungkan dulu manfaat
dan risikonya.
b). Terapi farmakologi
Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu obat
fast acting (lini pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat- obat fast
acting digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan, seperti aspirin
dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow acting adalah obat antirematik
yang dapat memodifikasi penyakit (DMARD), seperti garam emas,
metotreksat dan hidroksiklorokuin yang digunakan untuk remisi penyakit
dan mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi tidak memberikan efek

anti-inflamasi.

Gambar 1. Algoritma Terapi Rheumatoid Arthritis (Schuna, 2008)


Pengobatan dengan DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan
pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi
dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi
gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini dapat mengurangi
mortalitas. DMARD yang paling sering digunakan adalah metotreksat,
hidroksiklorokuin, sulfasalazin dan leflunomid.
Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome yang
lebih baik jika dibandingkan dengan obat lain. Metotreksat juga lebih
ekonomis jika dibandingkan dengan agen biologik. Obat lain yang
efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid. Agen biologik yang
mempunyai efek DMARD juga dapat diberikan pada pasien yang gagal
dengan terapi DMARD. Agen ini dirancang untuk memblokir aksi zat alami
yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1.
Zat-zat yang terlibat dalam rheumatoid arthritis adalah reaksi kekebalan
tubuh abnormal sehinggga perlu dihambat untuk memperlambat reaksi
autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan memperbaiki kondisi
secara keseluruhan. Agen biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat
anti-TNF (etanercept, infliximab, adalimumab), antagonis reseptor IL-1
anakinra, modulator kostimulasi abatacept dan rituximab yang dapat
mendeplesi sel B periferal. Infliximab dapat diberikan secara kombinasi

bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antibodi yang dapat


mereduksi efek obat ataupun menginduksi reaksi alergi. Kombinasi dua
atau lebih DMARDs juga diketahui lebih efektif jika dibandingkan dengan
terapi tunggal.
Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek terapi
DMARD muncul. Dosis rendah secara terus-menerus dapat diberikan
sebagai tambahan ketika pengobatan dengan DMARD tidak dapat
mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam sendi dan
jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal. Kortikosteroid
sebaiknya tidak diberikan sebagai monoterapi dan penggunaannya secara
kronis sebaiknya dihindari.
NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan
nyeri pada RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan sendi,
sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA.
Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi penunjang
DMARD.
4). Monitoring terapi
Evaluasi terapi terutama didasarkan pada perbaikan tanda-tanda
klinis dan gejala RA. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah berkurangnya
pembengkakan sendi, berkurangnya panas pada sendi yang terlibat dan
berkurangnya nyeri saat sendi dipalpasi. Pengurangan gejala misalnya
adalah berkurangnya nyeri sendi yang dirasakan, perbaikan dan
kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi dan pemeriksaan
laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau hasil terapi.
i. Komplikasi
1). Anemia
2). Infeksi
Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat
imunosupresif akan lebih meningkatkan risiko.
3). Masalah gastrointestinal
Pasien dengan RA mungkin mengalami gangguan perut dan usus.
Kanker perut dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah dilaporkan
pada pasien RA.
4). Osteoporosis
Kondisi ini lebih umum daripada rata-rata pada wanita
postmenopause dengan RA, pinggul yang sangat terpengaruh. Risiko
osteoporosis tampaknya lebih tinggi daripada rata-rata pada pria dengan
RA yang lebih tua dari 60 tahun.
5). Penyakit paru-paru

Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan


fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat
dikaitkan dengan merokok.
6). Penyakit jantung
RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko
penyakit jantung iskemik koroner.
7). Sindrom Sjgren
8). Sindrom Felty
Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri
berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying
antirheumatic drugs (DMARDs).
9). Limfoma dan kanker lainnya
RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan
peran. Pengobatan yang agresif untuk RA dapat membantu mencegah
kanker tersebut.
j. Prognosis
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan
pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10
tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien
menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan sembuh
dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi
penyakit yang kronis.
Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan
adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang
kronis dan adanya antibodi anti-CCP. Rheumatoid arthritis yang aktif terusmenerus selama lebih dari satu tahun cenderung menyebabkan deformitas
sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah
kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara
keseluruhan, tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali
dari populasi umum.
k. SKDI
3A
Daftar Pustaka
Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.Simadibrata,
M. Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006:p. 1184-91.
Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds.Harrisons
Principals of Internal Medicine. 17th Ed. USA: McGraw-Hill. 2008:p. 2083-92.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Panduan Pelayanan


Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo.
Robbins, dkk. Buku Ajar Patologi. Volume-2 Edisi-7. Jakarta: EGC
W. Sudoyo, Aru.,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi-5. Jakarta:
Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai