I.
DEFINISI
Definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The Study of Pain) yang berbunyi
nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik actual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. (1)
1. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial on
line]. December 2007 [cited 2010 November 15] : Volume 20 Number 4. Available
from :
URL:http://www.dexamedica.com/images/publication_upload0712039377130011966
46105okt-nov2007%20new.pdf
Definisi nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada
nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk
mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk
mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor
nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat
mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius
ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura,
dan viscera. (2,3,4,5,6)
2. Heong, ST. Pain and Nociception. [online] 2004 [cited 2010 November 15] :
Available from : www.answers.com/topic/pain-and-nociception
3. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. [on line] 2006
[cited 2010 November 15] : Available from :
www.helpforpain.com/arch2000dec.htm
4. Chapman CR. Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies
Perspective in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor.
Pappagallo M. McGraw Hill. 2004 p156-9
5. Wikipedia. Pain and Nociception. [on line] 2008 February 6 [cited 2008 february
8] available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Pain_and_nociception
6. Kuntoro, HP.Patofisiologi Nyeri Dari Aspek Fisioterapi Dari Aspek Nyeri. [on
line] .2007 [cited 2008 february 6] : Available from :
http://www.fisiosby.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=8&Itemid=7
7. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. [on line] 2006
[cited 2008 february 8] : Available from :
www.helpforpain.com/arch2000dec.htm
II. EPIDEMIOLOGI
III. ETIOLOGI
IV. ANATOMI
V. PATOFISIOLOGI
Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu
a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya
stimulus mekanis terhadap nosiseptor
b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system
saraf.
c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan
d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari (10)
10.. Chapman CR. Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies
Perspective in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor. Pappagallo
M. McGraw Hill. 2004 p156-9
Tidak semua serabut-serabut tadi berfungsi sebagai nosiseptor, ada juga yang bereaksi
terhadap rangsang panas atau stimulasi mekanik. Sebaliknya nosiseptor tidak dijumpai pada
serabut-serabut sensory besar seperti A Alpha, A Beta atau group I, II. Serabut-serabut sensor
besar ini berfungsi pada propioception dan motor control.
Nociceptor sangat peka tehadap rangsang kimia ( chemical stimuli ). Pada tubuh kita terdapat
algesic chemical substance seperti : Bradykinine, potassium ion, sorotonin, prostaglandin
dan lain-lain.
Subtansi P, suatu neuropeptide yang dilepas dan ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C,
mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi local, ekstravasasi plasma. Phenomena ini disebut
sebagai neurogenic inflammation yang pada keadaan lajut menghasilkan noxious/chemical
stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit.
Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu, atau kumiawi di kulit atau
sebagian besar jaringan atau organ dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena
system persarafan nyeri yang ganda ini, maka cedera jaringan sering menimbulkan dua
sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-delta)
diikuti oleh nyeri tumpul, seperti terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan
oleh serat nyeri C). (6)
KOMPONEN NYERI NOSISEPTIF
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri nosiseptif, meskipun
tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut
ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri
nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu : (7,6)
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls berupa
suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf sensorik
Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri yang
masuk di kornu posterior medula spinalis
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang kemudian
membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.
Transduksi
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens
apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang ,
stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer
spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious
menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan
terminal perifer. (1)
Apabila serabut A-delta dan serabut C diaktivasi dengan stimulus kuat yang singkat yang
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan, maka nyeri sementara yang terasa berperan
sebagai peringatan fisiologis. Akan tetapi apabila nosiseptor diaktivasi dengan stimuli nyeri
akibat luka cedera jaringan atau infeksi, maka terjadi respon cedera regional di perifer. Zatzat kimia dan enzim akan dilepaskan dari jaringan yang rusak; meningkatkan transduksi
stimuli nyeri. Prostanoid (prostaglandin, leukotrin dan asam hidroksida) adalah produk jalur
reaksi asam arakidonat dan merupakan mediator-mediator utama hiperalgesia yang menyertai
peradangan. Prostaglandin (PG) dan leukotrin menyebabkan sensitisasi reseptor perifer,
menurunkan ambang rangsangnya, dan meningkatkan respon terhadap stimuli. Kinin,
misalnya bradikinin dan kailidin lainnya mempunyai banyak fungsi pro-inflamasi, seperti
pelepasan PG, sitokinin, dan radikal-radikal bebas dari berbagai sel; degranulasi sel mast dan
pelepasan histamin; dan stimulasi neuron simpatis untuk mengubah kaliber/ukuran pembuluh
darah. Kinin juga berkontribusi pada ekstravasasi plasma dengan cara menimbulkan
kontraksi sel endotel pembuluh darah. Bradikinin dan PG terutama PGE2 merangsang neuron
secara langsung, memulai hantaran impuls nyeri di sepanjang jalur nosiseptif. Dilatasi
pembuluh darah perifer dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah disebabkan oleh
pelepasan substansi P akibat refleks akson saraf yang cedera. Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah tersebut yang diikuti oleh pelepasan mediator-mediator vasoaktif dari sel
mast akan menimbulkan peradangan (udem neurogenik). Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah juga mengakibatkan ekstravasasi zat-zat algogenik (zat yang menimbulkan
nyeri) misalnya histamin dan serotonin. Histamin juga dapat dilepaskan dari sel mast ketika
mengalami degranulasi, dimana degranulasi sel mast dipicu oleh substansi P, kinin,
interleukin 1 dan nerve growth factor (NGF). Histamin bekerja pada neuron sensoris untuk
menghasilkan nyeri dan rasa gatal. Stimulasi neuron sensoris oleh histamin dapat
menyebabkan pelepasan neuropeptida dan PG yang kemudian akan semakin memperberat
peradangan dan hiperalgesia. Mediator-mediator inflamasi ini akan meningkatkan sensitivitas
atau kepekaan nosiseptor, udem neurogenik dan hiperalgesia jaringan di sekitar cedera atau
luka.(7)
Transmisi
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di kornu dorsalis,
selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini
melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia P
yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaptic. Selanjutnya ini akan
memungkinkan transfer yang cepat dari input mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli
perifer yang berbeda lokasi.(8)
Ketika transduksi signal sudah terjadi maka impuls dihantarkan melalui serabut A-delta dan
serabut C kornu dorsal medulla spinal. Serabut saraf tersebut bersinap pada lapisan
superficial lamina Reksa : sinaps serabut A-delta pada lamina I,II, dan V; sinaps serabut C
pada lamina I dan II. Berbagai neurotransmitter dilepaskan oleh neuron co-nosiseptif tingkat
satu diantaranya adalah substansi P dan Peptida gen kalsitonin (GRT) ysng akan memperluas
zona pelepasan substansi P pada medulla spinal yang berkontribusi terhadap peningkatan
eksitabilitas. Kemudian substansi P memicu pelepasan asam amino eksitatoris misalnya
aspartat dan glutamat yang bekerja pada reseptor AMP (2amino-3-hidroksi-5-metilisoksazol propionat) dan reseptor-reseptor NMDA (N- metil-D-aspartat). Peningkatan
transmisi sinap yang disebabkan oleh asam amino eksitatoris setelah pelepasan substansi P
akan memicu peningkatan yang terus menerus pelepasan glutamat atau NMDA oleh neuron
kornu dorsal. Peningkatan depolarisasi ini akan menyebabkan peningkatan pelepasan
neurokin ke dalam postsinaptik yang akan memicu perubahan yang persisten pada
eksitabilitas sel/wind-up. Selain itu, stimulasi nyeri berulang pada kornu dorsal dapat
mengakibatkan peningkatan jumlah neuron yang mempunyai inti yang mengekspresikan
protein C-fos yaitu sebuah protein yang diduga terlibat pada ingatan tentang nyeri.(7)
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf pusat,
yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk nyeri cepat spontan dan traktus
paleospinothalamic untuk nyeri lambat. (8)
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A- dan
kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan
dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini
menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas
dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada
kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks
somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu
stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores. (8)
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III
dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh
serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron
yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura
alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam
batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada
medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon. (8)
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke
berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif
sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic,
Pendekatan farmakologik
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2
inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik
memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang
dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat
daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat.
Istilah pukul dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale =
VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal.
Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan
kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis
efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali.
Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal
dengan nama WHO analgesic ladder.(1)
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang,
menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS
sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik
seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan
bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam
arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme nosiseptor aferen primer
dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus
peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan
lumiracoxib) mengurangi resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif
karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi
produk-produk prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti
melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.(8)Contoh dari OAINS adalah :
1. Acetaminophen
Acetaminophen merupakan terapi yang efektif dalam manajemen nyeri nosiseptif. Pada nyeri
akut ataupun kronik, acetaminophen juga dapat dikombinasikan dengan opioid analgesics.
Dosis maksimal dari acetaminophen untuk penggunaan jangka pendek adalah 4.000 mg per
hari. Dosis maksimal harus diperhatikan dalam penggunaan obat ini untuk menghindari efek
sampingnya yaitu hepatotoksik.(9)
2. Asetosal (asam asetilsalisilat, Aspirin)
Obat ini memiliki aktivitas analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi dan juga memiliki efek
antiplatelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah. Sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan pembekuan darah (misalnya hemofili), sirosis hati, trombositopenia,
atau pada pasca operasi.Asetosal bersifat asam, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung.
Sebaiknya jangan diminum ketika lambung kosong dan tidak direkomendasikan bagi pasien
yang memiliki riwayat gangguan lambung. Dosis asetosal untuk dewasa ialah 325 mg-650
mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6
jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan
Reyes syndrome (suatu gangguan serius pada sistem hepatik dan susunan saraf pusat),
sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12 tahun. Beberapa referensi
menunjukkan bahwa 20% pasien asma memiliki sensitivitas/alergi terhadap aspirin.
Sebaiknya obat ini tidak digunakan pada pasien dengan riwayat alergi (rinitis, urtikaria, asma,
anafilaksis, dll). Aspirin sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil karena dapat
memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan pasca kelahiran (postpartum).(10)
3. Asam Mefenamat
Obat ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan anti-inflamasi yang cukup, tapi tidak lebih
kuat daripada asetosal. Asam mefenamat bersifat asam sehingga dapat menyebabkan
gangguan lambung. Obat ini sebaiknya jangan diminum pada saat perut kosong, atau pada
pasien dengan riwayat gangguan saluran cerna/lambung. Efek sampingnya adalah diare,
trombositopenia, anemia hemolitik, dan ruam kulit. Penggunaan obat ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan pada anak-anak dan wanita hamil serta tidak digunakan
dalam jangka waktu lebih dari seminggu, dan pada pemakaian lama perlu dilakukan
pemeriksaan darah.(10)
COX-2 inhibitors
Dalam perbandingannya dengan OAINS konvensional, muncul suatu hipotesis yang disebut
sebagai hipotesis COX-2 (the COX-2 hypothesis). Hipotesis ini mengatakan bahwa pada
dosis efektif yang sama, coxib akan menyebabkan efek samping gastrointestinal berat yang
lebih sedikit dibandingkan dengan OAINS nonselektif konvensional. Hipotesis ini didasarkan
pada asumsi bahwa: a) penghambatan terhadap COX-2 hanya sedikit dan seperlunya untuk
efek analgesik/antiinflamasinya, dan b) penghambatan terhadap COX-1 sebagian besar akan
menimbulkan terjadinya toksisitas gastrointestinal yang serius. Sampai saat ini masih banyak
pertanyaan tentang pasien manakah yang diperbolehkan mendapat penghambat Cox-2
selektif sebagai pilihan pertama dibanding dengan OAINS non- selektif. Konsensus yang ada
menyatakan bahwa penghambat Cox-2 selektif dapat diberikan pada pasien dengan risiko
tinggi terjadi komplikasi gastrointestinal tetapi tidak pada pasien dengan risiko rendah.(12)
Coxibs adalah salah satu contoh COX-2 inhibitor dan merupakan terapi yang efektifdalam
manajemen nyeri nosiseptif. Coxibs dapat digunakan sebagai monoterapi pada nyeri akut dan
juga dapat dikombinasikan dengan analgesic opioid pada nyeri kronik. Penggunaan rofecoxib
memperkecil resiko terjadinya komplikasi pada lambung. Efek samping dari obat ini adalah
dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi, CHF, dan gagal ginjal.(9)
Analgesik Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat.(11) Analgesik opioid efektif dalam
penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik.(9) Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang
paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding
untuk menilai obat analgesik lain.(9)
Reseptor opiat ada 3 yaitu(10)
Reseptor (mu) : Berperan dalam Analgesia supraspinal, depresi, respirasi, Euforia,
Ketergantungan
Reseptor (kappa) : Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi
Reseptor (delta) : disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor.
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada
reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama
paa tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor dan , namun belum diketahui
besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Opiod
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama
didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor ini didapatkan di kordu dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan
baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada afferent primer
yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui ketiga reseptor ini pada ujung prasinaps aferen
primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki
efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis.(10)
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi
pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi
menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi). (9)
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. p. 1063 101.
5. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. [on line] 2006 [cited 2010
November 15] : Available from : www.helpforpain.com/arch2000dec.htm
6. Anonymous.Nyeri. [online]2008[cited 2010 November 15]: available from :
http://www.scribd.com/doc/42481183/NYERI.
7. Akram, La Ode Muh.Awaluddin. [on line].2009 [cited 2010 November 15] : available
from : http://asramamedicafkunhas.blogspot.com.
8. Mubarak,Husnul.[on line] 2008 [ cited 2010 November 15] : available from :
http://cetrione.blogspot.com/2008/05/nyeri-nosiseptif.html
9. Goldmann B. Easing the Ouch: Relieving Short-Term Pain. [on line]. 2003 [cited 2010
November 15] : available from : URL: http://www.stacommunications.com/journals/
diagnosis/2003/10_October/drgoldmanpain.pdf
10. Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik Opioid dan Antagonis. In : Ganiswarna SG,
Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi, eds. Farmakologi dan Terapi. 5th ed.
Jakarta: FKUI; 2004. p.210-229
11. Campbell W. Current Options in The Drug Management of Nociceptive Pain. [on line]
2007 [cited 2010 November 15]: [9 screens]. Available from :
URL:http://www.escriber.com/.../Images/Current%20options%20in%20the%20drug
%20management%20of%20nociceptive%20pain.pdf
12. Biantoro,Imam Kris. Obat Anti-Inflamasi Non-steroid yang Menghambat Aktivitas
Enzim Siklooksigenase-2 secara Selektif (COX-2 Selective Inhibitor).[on line].2008.[cited
2010 November 15]. Available from : http://www.scribd.com/doc/42481180/ Obat AntiInflamasi Non-steroid yang Menghambat Aktivitas Enzim Siklooksigenase-2 secara Selektif
(COX-2 Selective Inhibitor).