Anda di halaman 1dari 11

(http://m.kompasiana.

com/)

MASUK
(http://m.kompasiana.com/dashboa
(http://m.kompasiana.com/signin?

Daftarkan produk dalam 30 detik.


Download Shopee.

continue=http%3A%2F%2Fm.kompasiana.c
bbm-dan-gasbumi-

Adi Munandir

mekanismepasar-

(http://m.kompasiana.com/munandir)

ketahanan-

/munandir (http://m.kompasiana.com/munandir)

energi-dan-

Follow

konstitusi_54f366cc745513a22b6c73b2)

HIGHLIGHT

Harga BBM dan Gas Bumi: Mekanisme


Pasar, Ketahanan Energi dan
Konstitusi
TAP

Published : 27.01.15 16:12:06


Updated : 17.06.15 12:17:51
Hits
: 412

#Seri Membangun Ketahanan Energi Nasional

(http://d.ibtimes.co.uk/en/full/1416989/crude-oil-wti-prices-6-months-2-jan-2015.png
(http://d.ibtimes.co.uk/en/full/1416989/crude-oil-wti-prices-6-months-2-jan2015.png))

Fenomena menarik tentang harga minyak dunia yang turus menurun membuat semakin
yakin bahwa harga minyak dunia bukan sesuatu yang ditentukan secara murni oleh
mekanisme pasar. Dan terlalu naif bilamana mengatakan memang benar ada suatu pasar
dengan persaingan sempurna. Nuansa geopolitik begitu kental dan jangan pernah
berpikir semua hanya tentang supply demand. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
bahwa segala sesuatu itu berkaitan dan harga minyak bumi yang terus turun pasti
berdampak pada Indonesia.

Dampak secara global menunjukan pengaruh instan pada beberapa proyek migas dunia,
terutama pada proyek migas non konvensional dan membutuhkan teknologi lebih canggih
seperti ultra deep water, oil shale.

Sumber: AIE World energy outlook 2013 & Total

Itulah sebabnya dengan menggabungkan analisis geopolitic dan realitas biaya produksi ini
ada yang mengatakan bahwa fenomena ini adalah upaya dari negara Arab untuk
menghentikan kekuatan oil shale yang diproduksi mereka. Karena mereka tidak
menunjukan indikasi menurunkan tingkat produksi minyaknya walaupun harga terus
turun di bawah 50$/barel.

Melihat kondisi harga minyak yang terjun bebas ini, Indonesia mulai memberikan respon.
Kondisi kontras sebelumnya terlihat di tahun 2014 dengan banyak sekali narasi bahwa kita
mengalami defisit neraca Anggaran dan itu semua dikarenakan oleh import BBM yang
besar. Maka dorongan untuk melakukan penghematan, konversi ke bahan bakar lain atau
analisis perlunya segera mencabut subsidi BBM untuk memberi ruang gerak
pertumbuhan ekonomi dibahas dengan ramai. Sehingga dilakukan kenaikan BBM di bulan
November 2014 dari Rp 6.500,- menjadi Rp. 8.500,- per liter. Dan dengan fenomena terjun
bebas harga minyak, pemerintah memberikan respon dengan bentuk menurunkan harga
BBM menjadi Rp 7.600,- dan dievaluasi secara berkala tiap 2 minggu dengan
memperhatikan perkembangan pasar.

Dengan kondisi ini euphoria yang terbentuk adalah menurunkan seluruh harga terutama
yang terkait dengan harga minyak. Permintaan penurunan juga terjadi pada harga gas
bumi domestik. Industri domestik saat ini terhimpit oleh banyak tekanan. Tekanan
persaingan global dan kawasan yang sudah dimulai seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN
menjadi momok dan menuntut industri untuk memutar otak menghadapi persaingan.
Tekanan dari naiknya upah minimum regional, terdepresiasinya nilai rupiah terhadap
dollar dan rencana kenaikan tarif tenaga listrik semakin memperberat kondisi. Oleh sebab
itu industri yang menggunakan gas meminta untuk adanya penurunan harga gas
domestik.

Dalam euphoria turunnya harga minyak ini, memang semangat yang terbentuk adalah
segera mengambil langkah menurunkan harga energi lain dan yang sekarang terlihat
malah mendorong adanya penentuan harga yang terindeksasi dengan harga minyak
bumi. Misalkan saja beberapa rekan industri berpendapat bahwa menentukan harga
listrik dengan terindeksasi dengan harga minyak dunia dan variable lain seperti nilai tukar

adalah hal yang tepat dan menguntungkan. Kemudian pemerintah menentukan harga
BBM sesuai dengan dinamika pasar (mekanisme pasar) melalui evaluasi 2 mingguan
dianggap langkah yang tepat. Tapi apakah benar demikian?

Mekanisme Pasar dan Volatilitas Harga

Dengan menetapkan harga BBM dan gas bumi sesuai dengan perkembangan pasar,
dalam hal ini misalkan dinamika harga minyak dunia perlu kita cermati dengan seksama.
Dan dalam menentukan kebijakannya tidak boleh hanya mempertimbangkan kesempatan
gain yang terjadi saat ini. Pertimbangan harus dilakukan secara stratejik. Pertimbangan
stratejik berarti memperhatikan tujuan jangka panjang negeri, dampak terhadap
keputusan alokasi sumber daya yang besar dan penciptaan keunggulan daya saing negeri
di masa depan. Terlalu abstrak? Kita coba uraikan.

Saat harga gas di pasar spot begitu tinggi setahun yang lalu sampai dengan 17 $/MMBTU
dan di Indonesia harga domestik senilai sekitaran 9$/MMBTU, pasar gas Amerika mampu
menjual dengan harga hanya di sekitaran 3- 4 $/MMBTU dan tidak ada subsidi disana.
Semua melihat ini adalah bentuk keberhasilan dari mekanisme pasar. Beberapa
menyatakan ini bentuk manfaat yang diperoleh bilamana dilakukan liberalisasi. Namun
ada fakta lain yang luput dari analisis.

Amerika adalah salah satu negara yang begitu keras mengendalikan (bila tidak mau
disebut sebenarnya melarang) kegiatan ekspor gas. Pada saat terjadi produksi gas yang
begitu besar di Amerika di beberapa tahun terakhir, terutama dari booming produksi shale
gas, banyak yang sudah berpikir untuk melakukan ekspor gas karena tergiur dengan harga
pasar internasional yang begitu tinggi. Namun untuk ekspor tidak dapat dengan mudah
dilakukan di sana. Ada mekanisme export license, dan persetujuan ekspor gas hanya
diberikan oleh pemerintah federal. Kriterianya pun cukup ketat seperti hanya boleh
dilakukan ke negara yang memiliki FTA dengan Amerika. Pada periode tersebut banyak

sekali yang mengajukan ijin ekspor dan total jumlah gas dari seluruh daftar tunggu
permintaan ijin tersebut di tahun 2013 mencapai lebih dari 50% total produksi gas
Amerika (Moris, 2013).

Menariknya terdapat banyak sekali analisis yang menyatakan menolak ekspor gas dan
meminta untuk dilakukan pembatasan, antara lain yang disampaikan dalam Sierra Club
Recommendation dan Synapse (2013). Dalam sierra recommendation menyatakan bahwa
ekspor dapat menyebabkan kenaikan harga gas domestik dalam amerika, kompensasi
pekerja dan pendapatan dari investasi akan menurun, kekayaan pemilik sumber daya
akan melesat (sesuai hukum disana, kekayaan alam dibawah suatu tanah adalah milik
pemilik tanah) dan rusaknya lingkungan karena proses fracking yang besar-besaran.
Sedangkan menurut analisis Synapse (2013), ekspor akan menyebabkan GDP Amerka
turun, bila pendapatan ekspor LNG lebih besar dari 100% pertumbuhan GDP maka yang
terjadi perekonomian domestik menyusut, peningkatan ekspor akan menurunkan
perekonomian domestik, hilangnya pekerjaan dan bahaya perekonomian secara luas.

Pertanyaannya mengapa demikian? Lapangan pekerjaan hilang??

Ternyata bila dianalisis, pasar gas Amerika sebenarnya tidak terkoneksi dengan pasar gas
internasional. Atau dengan bahasa lain, pasar gas Amerika terisolasi. Adanya impor LNG
ke Amerika tidak menunjukan terkoneksi, karena harga LNG yang diimpor ditentukan oleh
pasar gas Amerika. Dan kondisi hari ini produksi mereka mencukupi sebenarnya untuk
kebutuhan mereka sendiri. Dengan kondisi ini maka dinamika harga gas disana benarbenar ditentukan oleh mekanisme supply dan demand di sana saja.

Strategi yang diterapkan dengan kondisi Amerika adalah mendukung pertumbuhan


ekonomi melalui penyediaan energi yang kompetitif (murah). Hal ini terbukti dengan
harga gas yang murah ini banyak investasi di Amerika dengan membangun pabrik kimia
dan ekspor produk kimia Amerika meningkat (Moris, 2013) dan bila kondisi ini berlanjut
akan menciptakan lapangan pekerjaan 2,2 3,6 juta pada tahun 2020 (Citigroup
Economist).

Bila dilakukan ekspor gas besar-besar, maka yang terjadi adalah mulai terkoneksinya
pasar gas di Amerika serikat dengan pasar gas internasional. Sehingga variabel penentu
harga gas menjadi lebih luas dan berskala dunia. Artinya ada banyak sekali variable yang
tidak dapat dikendalikan oleh amerika. Disparitas antara harga domestik dan ekspor yang
menggiur akan mendorong harga pasar gas domestik amerika untuk naik dan menjadi
mahal. Bila demikian maka bukankah harga gas menjadi tidak lebih atraktif lagi untuk
investasi industri petrokimia yang sekarang ini menggeliat maju dengan harga yang
kompetitif. Ini akan menciptakan banyak pabrik yang tutup, investasi yang gagal dan
hilangnya lapangan pekerjaan.

Namun hal lain yang dikhawatirkan adalah VOLATILITAS HARGA. Harga menjadi sangat
mudah berubah dengan ketidakpastian karena besar dan banyaknya variabel yang
menentukan harga. Pasar gas terkoneksi membuat volatilitas ditentukan oleh geopolitik
negara produsen, dinamika negera konsumen terbesar, kebijakan energi dunia dan lain
sebagainya. Volatitilitas menciptakan ketidakpastian investasi karena harga dapat sangat
murah disuatu waktu dan menjadi sangat mahal dalam sesaat. Volatilitas ini pun
menciptakan tumbuhnya spekulan yang akan menimbun diwaktu murah dan berharap
akan untung besar (gain) diwaktu lain. Volatilitas ini pun membuat tidak semua orang
mampu bertahan saat harga benar benar naik tinggi sehingga beberapa atau banyak
pihak harus menutup usahanya. Sehingga dalam lingkungan seperti ini (mekanisme pasar)
hanya yang kuat yang akan bertahan. Kondisi dengan bentuk Survival of the Fittest, hanya
yang kuat yang bertahan.

Indonesia, Harga BBM, Gas dan Konstitusi

Dengan realitas tersebut, Indonesia perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga
BBM dan Gas. Kehati-hatian ini tidak hanya datang dari analisis industri yang mungkin
terjadi seperti kasus Amerika, tapi juga kehati-hatian untuk tidak mengambil keputusan
yang tidak sesuai dengan kondisi spesifik Indonesia. Kondisi spesifik Indonesia adalah

kondisi real industri, perekonomian dalam negeri dan yang terutama adalah Koridor
Konstitusi mengenai pengelolaan minyak dan gas yang termasuk bagian dari aset dalam
Pasal 33 UUD 1945.

Kehati-hatian pertama adalah bila kita lihat tuntutan penurunan harga saat ini sepertinya
memang benar merupakan euphoria situasi potensi gain saja. Bila kita lihat
perkembangan harga minyak dan gas Indonesia maka akan didapatkan kondisi sebagai
berikut:

Sumber: PGN dalam paparannya.

Kondisi harga gas di Indonesia saat ini ditentukan oleh negara. Harga beli di hulu
ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi dari SKK Migas, kemudian penentuan harga di
hilir dilakukan dengan mekanisme cost of services (IGU) yang berarti ditambahkan biaya
layanan seperti biaya pengangkutan gas (toll fee) untuk pipa transmisi yang ditetapkan
oleh BPH Migas dan biaya penyediaan gas di distibusi yang dilaporkan dan dievaluasi oleh
Ditjen Migas. Sehingga bila terjadi kenaikan harga gas domestik indonesia (warna biru)
semua disebabkan oleh kenaikan harga gas di hulu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Kondisi saat ini di Januari 2015, harga minyak turun dan meminta gas untuk diturunkan
juga dan meminta untuk ditetapkan indeksasi dengan harga minyak dunia. Dan dalam
kasus BBM diminta untuk dilakukan perubahan 2 mingguan sesuai dengan dinamika
pasar. Bila kita perhatikan, dengan harga gas yang ditentukan oleh pemerintah dan tidak
mengikuti dinamika pasar, maka kita menghadapi banyak hal.

Bila kita lihat di titik A, saat harga minyak begitu tinggi, harga gas domestik tetap di tingkat
harga yang rendah sehingga kita memiliki nilai kompetitif dari gas bumi begitu tinggi.
Industri dan pengguna gas domestik merasakan banyak manfaat dari kondisi ini. Dan
dalam waktu yang lain di titik B, harga minyak turun sehingga tidak terlalu jauh dari harga
gas. Kita merasakan turunnya kompetitif dari gas. Kondisi perubahan dari kondisi Gain
dan lost ini terjadi dan menuntut kita untuk dapat meresponnya dengan tepat. Namun
satu hal yang pasti yang terlihat begitu melihat grafik tersebut adalah bahwa harga
minyak begitu volatile atau mudah sekali berubah dan harga gas yang ditetapkan oleh
pemerintah cenderung stabil. Begitu volatile harga minyak sempat naik dari 50$/ barel
sampai menyentuh 140$/barel dan kemudian jatuh sampai di bawah 40$/barel. Dalam
kondisi kenaikan yang besar lebih dari 100% tersebut tidak semua industri mampu
bertahan. Kepastian harga gas menciptakan kenyamanan berinvestasi dan memberikan
kesempatan pada semua orang untuk dapat mengakses energi tersebut.

Kehati-hatian untuk merespon kondisi ini jangan sampai kita kehilangan hal lain yang lebih
besar. Beberapa negara menerapkan konsep-konsep yang berbeda untuk menghadapi
volatilitas ini. Dengan adanya potensi gain dan lost tersebut, Thailand menerapkan konsep
Oil Stabilization Fund (1978) yang digunakan untuk menyimpan atau menyisihkan Windfall
Profit yang diterima para trader. Dan uang ini digunakan untuk menstabilkan harga

minyak domestik saat terjadi fluktuasi dan digunakan untuk membantuk konversi ke gas
atau gasohol. Sedangkan di Ghana mereka menerapkan skema Gas Rent Fund yang
digunakan untuk menyisihkan gain harga gas domestik dari perbedaan harga beli dihulu
dengan harga di hilir berdasarkan Netback Pricing yang lebih tinggi. Uang ini kemudian
digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kehandalannya.

Kita perlu merespon kondisi ini dengan cara stratejik. Menghubungkan dengan
mekanisme pasar tidak selalu baik dan permasalahan utamanya adalah bertentangan
dengan konstitusi.

Dalam konstitusi yang menetapkan Penguasaan Negara untuk pengelolaan minyak dan
gas, hasil judicial review atas UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan diakomodasi dalam PP No.
30 Tahun 2009 dinyatakan bahwa harga BBM dan gas diatur/ditetapkan oleh pemerintah.
Bila kita cermati, dalam mekanisme pasar seperti dijelaskan sebelumnya, konsep yang
berlaku adalah Survival of the Fittest. Bung Hatta menyampaikan penjelasan tentang
konsep Penguasaan Negara dengan menyatakan bahwa dengan penguasaan negara ini
sehingga yang memiliki kapital tidak menindas yang miskin. Indonesia memilih untuk
menggunakan konsep Penguasaan Negara untuk menciptakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat, adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap kita
memiliki hak untuk mengakses dan menerima manfaat dari sumber daya alam Indonesia
yang dimiliki rakyat. Maka tidak boleh hanya ada kumpulan orang yang menikmati dan
yang lain dirugikan. Negara mengambil peran untuk menjaga hak setiap rakyat dengan
melakukan konsep Penguasaan Negara.

Analisis secara industri menunjukan volatilitas harga adalah suatu masalah tersendiri dan
konstitusi kita sudah menetapkan cara untuk melakukannya. Kita harus berhati-hati dalam
merespon kondisi ini.

Kita perlu mengevaluasi dan sepertinya sudah saatnya Indonesia memiliki Oil and Gas
Fund untuk kepentingan ketahanan energi dan generasi masa depan kita. Dan saatnya kita
kembali pada konstitusi dalam pengelolaan Minyak dan gas bumi Indonesia. Saatnya kita

menjadi diri kita sendiri.

Share

Share

Share

Share

KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.

TAG

#bisnis (http://m.kompasiana.com/tag/bisnis)

#ekonomi (http://m.kompasiana.com/tag/ekonomi)

BBM FOR ANDROID


MOBILE
indostores.net/masalah+bbm

Free 100%. Down BBM Android


2015. Free SMS & Call with BBM
Android

Siapa Yang Menilai Tulisan Ini ? 1

BERI NILAI
Axtea 99
MENARIK

TOTAL KOMENTAR : 2

H Surtiwa (http://m.kompasiana.com/amadoleng) - 2015-01-27 16:39:59

Brekeven dari Shale oil adlah sekitar $ 70/bbl....Akibat gerakan Arab


ini...diharapkan eksploitasi shale oil akan terpengaruh menjadi slowdown
karena harga jualnya dibawah harga perolehan......Arab menghaapakan haga
minyak bounce back kelevel yang lebih tinggi,...yang jelas harus diatas $
70/bbl....dimana Shale Oil project kan tetap berporoduksi dengan magin yang
oaky tetapi tidak berlebihan...........misalnya level $ 80/bbl..artinya AS tidak akan
terlalu mengobral Shale Oilnya........

Balas
Axtea 99 (http://m.kompasiana.com/axtea99) - 2015-01-27 23:43:59

Informatif dan menarik mas Munandir. :D

Balas

Tulis Tanggapan Anda

SUBMIT

List of Categories

Info dan Pengumuman

About Kompasiana

(http://www.kompasiana.com/syarat-ketentuan)

Tutorial

Terms & Conditions

Help Center

Contact Us

Anda mungkin juga menyukai