Anda di halaman 1dari 3

Ekonomi Ekstraktif

Manfaat SDA (sumber daya alam) akan berakhir bila kerakusan yang tak berujung mengalahkan
akal sehat. Itulah yang saat ini terjadi di Indonesia sehingga hamparan SDA tidak pernah
menjadi berkah, melainkan kutukan (terma ini diperkenalkan pertama kali oleh Sachs dan
Warner, 1995). Dalam konteks ekonomi, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan SDA suatu
negara malah menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam, sehingga
muncul istilah resource curse hypothesis. Sangat jarang ada teladan yang bisa dirujuk negara
yang kaya SDA bisa menjadi bangsa yang makmur. Belanda merupakan kasus yang sering
disebut, di mana kekayaan SDA migas yang dimilikinya justru memerangkap negara tersebut
dalam situasi stagnasi. Fenomena Belanda inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan dutch
disease (Penyakit Belanda). Indonesia, dengan pola yang sama, telah dan terus
melanggengkan cerita klise itu: nyaris dengan cara yang sempurna.
Negara-negara yang diberi anugerah kekayaan SDA, termasuk Indonesia, terperangkap dalam
model pengelolaan SDA yang ekstraktif, distortif, dan berdimensi jangka pendek. Data
menunjukkan, sampai saat ini 6 dari 10 komoditas dengan nilai ekspor terbesar bertumpu dari
SDA, seperti bahan bakar mineral, bijih besi, karet, kayu, dan lain sebagainya (BPS, 2013).
Posisi itu hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam kurun 30 tahun terakhir. SDA
dieksploitasi habis-habisan sampai nyaris tak tersisa, seperti yang terlihat dari kasus sektor
kehutanan. Demikian pula, pengelolaan SDA juga distortif karena hanya pelaku ekonomi tertentu
yang memeroleh izin mengeksploitasi sehingga amanah konstitusi bahwa SDA digunakan bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat jauh panggang dari api. Lebih parah lagi, pengelolaan SDA
itu amat primitif dengan menjual dalam bentuk bahan mentah, sehingga cuma berdimensi jangka
pandek dan tak bernilai tambah.
Di luar persoalan-persoalan di muka, literatur juga memberikan penjelasan yang beragam
tentang penyebab berbagai masalah SDA dan lingkungan, seperti yang disampaikan oleh
Alisjahbana (2006). Pertama, masalah eksternalitas, yaitu kegagalan pasar untuk memberikan
gambaran biaya atau harga yang sesungguhnya dari suatu sumber daya kepada pelaku
ekonomi atau pengambil kebijakan. Tidak adanya pasar untuk berbagai SDA dan lingkungan
menjadikan pelaku ekonomi menganggap ongkos penggunaan sumber daya tersebut rendah
atau bahkan sama sekali tidak ada. Kedua, kegagalan institusional, di mana terjadi
ketidakjelasan terhadap hak kepemilikan (property rights) dari berbagai SDA dan lingkungan.
Ketiga, kegagalan pemerintah atau kebijakan (policy failure), yakni kebijakan yang diambil
pemerintah justru menimbulkan distorsi dan memberikan sinyal yang salah kepada pelaku
ekonomi terhadap nilai yang sesungguhnya dari SDA dan lingkungan.

Penguasaan Negara
Jika dikuliti lebih dalam orientasi pengelolaan SDA di Indonesia sampai saat ini sebagian besar
masih dijual (ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Biji tembaga, misalnya, menyumbang ekspor
pertambangan sekitar 9,3; biji nikel 3,1; batu bara 34,2; bauksit 2,5; minyak mentah 19; gas alam
24; gas alam cair 6,8, dan pertambangan lain 1,1 (semuanya dalam US$ miliar) {BI, 2013}. Dari
data tersebut sebetulnya banyak hal miris yang bisa disampaikan. Pertama, seandainya hari ini
sebagian besar komoditas pertambangan itu bisa diolah di dalam negeri, maka tentu besar
sekali nilai tambah yang dihasilkan, baik dari segi pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja.
Bauksit, misalnya, seharusnya bisa diolah menjadi alumina dan diproses kembali menjadi
aluminium. Kedua, tanpa disadari ekspor energi (seperti gas dan batu bara) menjadi amunisi

negara lain untuk menggerakkan ekonominya. Malaysia, misalnya, 60% sektor industrinya
tergantung dari (energi) batu bara Indonesia (Indef, 2013). Sebaliknya, industri domestik
kesulitan mendapatkan pasokan gas dan batu bara.
Berikutnya, dari sisi investasi porsi sektor pertambangan sebetulnya tidaklah kecil terhadap total
investasi. Sampai 2013, penanaman modal asing (PMA) di sektor pertambangan menyumbang
sekitar 16,8% dari total PMA (US$ 4,8 miliar), sedangkan PMDN pertambangan mendonasikan
sebesar 14,6% dari total PMDN (Rp 18,8 triliun) [BKPM, 2014}. Ini berarti investasi sektor
pertambangan di Indonesia masih sangat besar dan menarik. Ketertarikan investasi itu bisa
disebabkan oleh cadangan SDA yang masih tersedia, insentif kebijakan yang memadai, atau
faktor lain terkait iklim investasi. Beberapa komoditas tertentu memang menunjukkan penurunan
cadangan yang serius, seperti minyak mentah, namun sebagian besar lainnya masih memiliki
cadangan yang banyak. Tentu cadangan yang besar bukan berarti harus dikuras secepatnya,
namun pada saat seperti inilah diperlukan arah pengelolaan dan investasi pertambangan yang
berkelanjutan dan lestari dalam jangka panjang.
Satu lagi yang perlu diperhatikan secara saksama adalah pelaku ekonomi di pertambangan. Jika
merujuk kepada konstitusi, maka pertambangan seharusnya dikuasai oleh negara. Makna
dikuasai bukan hanya dimiliki, tapi juga melakukan eksplorasi dan pengawasan. Namun, realitas
menunjukkan dominannya peran swasta (asing) di sektor pertambangan, baik pada sisi hulu
maupun hilir. Minyak dan gas, misalnya, pelaku ekonomi asing sedemikian besar perannya
sehingga penguasaan negara (dalam pengertian luas) nyaris lenyap. Hal yang sama berlaku
untuk komoditas lain, seperti emas dan tembaga. Pada sisi hilir juga sama saja, pabrik
pengolahan tambang banyak dikuasai oleh asing, seperti PT Sebuku Iron Lateritic Ore, PT
Agincourt Resources, dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery. Praktik ini sudah berjalan
puluhan tahun, sehingga sulit dipahami jika pelaku ekonomi domestik, khususnya BUMN, tidak
memiliki peran yang makin besar dari waktu ke waktu.

Ekonomi Rente
Pemerintah sebetulnya telah menyadari jalan sesat di atas dengan menerbitkan UU No. 4/2009
yang berisi tentang Minerba, pemegang izin usaha pertambangan/izin usaha pertambangan
khusus, dan kontrak karya. Di dalam UU tersebut perusahaan pertambangan diwajibkan
melakukan pengolahan dan pemurnian (smelting) hasil tambangnya di dalam negeri selambatlambatnya 5 tahun sejak UU Minerba ini dikeluarkan. Kelembagaan ini memang masih jauh dari
sempurna, tapi ketegasan menegakkan regulasi bahwa perusahaan tambang harus melakukan
pengolahan merupakan langkah maju untuk menutup kekhilafan di masa lampau. Dengan
kebijakan ini dua hal sekaligus akan dicapai. Pertama, ekonomi akan memiliki nilai tambah yang
lebih besar sehingga kesejahteraan bangsa lebih mudah dicapai. Kedua, proses pengolahan
bahan mentah mengurangi tensi eksploitasi karena fase ini mempersempit pasar output
dibandingkan dengan jualan bahan mentah (persaingan lebih sengit).
Tapi, UU yang bagus itu mendapatkan tantangan yang berat dari kelompok kepentingan tertentu
sehingga pemerintah hampir goyah dan mengubah aturan tersebut. Jika ini terjadi, tentu
merupakan petaka dalam jangka panjang. Pemerintah harus kukuh dengan aturan itu, sebab
hanya inilah jalan untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Tidak boleh kebijakan ekonomi
dijebak oleh kepentingan jangka pendek dan agenda sempit sebab pertaruhannya adalah
kedaulatan ekonomi dan kepentingan generasi mendatang. Dalam jangka pendek memang
perekonomian sedikit melambat (misalnya ekspor bahan mentah), tetapi hal itu akan segera

dikompensasi oleh laba yang berlipat dalam jangka panjang, terlebih dari sumber daya alam
yang bisa diperbarui. Seperti yang disampaikan di muka, agenda Indonesia saat ini adalah
segera memperbesar modal ciptaan (produced capital), yang itu hanya bisa diperoleh dari
proses ekonomi yang lebih modern (bernilai tambah).
Di samping itu, pekerjaan rumah lain yang penting saat ini adalah menghentikan praktik rente
ekonomi. Wujud dari rente ekonomi itu adalah korupsi, konflik politik dan ketimpangan,
kelembagaan ekonomi yang rapuh, aktivitas inovasi dan kewirausahaan macet, serta pengambil
kebijakan lebih memilih transfer SDA ketimbang memodernisasi ekonomi negara (Neumayer,
2004). Tentu saja tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi soal kronis ini. Tapi setidaknya tiga
jalan berikut harus segera dimulai: (i) menghentikan penjualan bahan mentah SDA/tambang
serta memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi BUMN untuk menjalankan amanah
konstitusi; (ii) melembagakan strategi ekonomi yang tidak menempatkan SDA tak terbarukan
sebagai lokomotif perekonomian; dan (iii) memutus rente ekonomi dan perilaku korup sebagian
pengurus negara yang masih tega menguras SDA untuk memenuhi syahwat material/kekuasaan
yang tidak ada batasnya. Semoga negara ini masih dapat berkelit dari kutukan ekonomi akibat
kelimpahan SDA.

Anda mungkin juga menyukai