Anda di halaman 1dari 8

Kritik Nalar Pembangunan pada Mega Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate

Dinamika Pembangunan Indonesia

Ledakan komoditas di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2014 tidak lepas dari kegagalan regulasi
pemerintah melalui undang-undang pembatasan investasi asing di sektor pertambangan,
sementara di sektor perkebunan hal serupa ternyata dinyatakan telah gagal. Misalnya pada kasus
yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit. Seperti yang dapat diketahui, produksi minyak sawit
di Indonesia telah menjadi sorotan nasional dan internasional. Mayoritas orang Indonesia
menganggap bahwa perkebunan kelapa sawit akan menjadi fokus dalam menerapkan perbaikan
proses bisnis di seluruh perkebunan (Warburton, 2017; Obidzinski et al., 2014). Menurut Cramb
dan Curry (2012) mengatakan bahwa industri kelapa sawit secara ekonomi, penting bagi banyak
negara berkembang (Gillespie, 2012; Tulloch et al., 2016), termasuk Indonesia.

Pertumbuhan subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menghasilkan manfaat


sosial-ekonomi yang signifikan untuk negara. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai ekspor kelapa
sawit yang terus meningkat dalam dekade terakhir. Menurut data dari Bank Indonesia (2013) ada
tahun 2008 menghasilkan 12,4 miliar dolar AS dan meningkat 17,7 miliar dolar pada tahun 2012;
pada tahun yang sama pemerintah memperoleh setidaknya 1 miliar dolar dalam pajak ekspor dan
meningkat menjadi 2,8 miliar dolar (Obidzinski et al., 2014). Dalam perkembangannya,
pemerintah sering dilihat sebagai sarana hemat biaya untuk memacu pembangunan infrastruktur
dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini berlaku khususnya dalam kasus di daerah
pedalaman pulau-pulau terluar, di mana infrastruktur publik seperti: jalan, listrik, telekomunikasi
sangat terbatas dan pengembangannya cukup terbilang mahal jika ditanggung oleh pemerintah
sendiri (World Growth, 2011 dalam Obidzinski et,al., 2014).

Terkait perkebunan berkelanjutan, Indonesia Timur yakni Papua menjadi salah satu tempat
tujuan pembangunan dan investasi negara. Dalih pembangunan berkelanjutan digaungkan
pemerintah justru menuai banyak permasalahan, seperti: masalah kepemilikan lahan,
keterbatasan infrastruktur, dan sarana penunjang dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
adat terkait investasi industri kelapa sawit (Greenpeace, 2021). Namun demikian, dalam
pembangunan industri kelapa sawit juga terdapat dampak ekologisnya. Pemahaman yang buruk
tentang keterkaitan darat-laut yang menyebabkan imbas-imbas dari pembangunan industri,
seperti terumbu karang menjadi rentan akan peningkatan limpasan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa karena dampak lintas sistem tidak secara eksplisit dipertimbangkan dengan baik dalam
kriteria penilaian keberlanjutan (Tulloch et al., 2016).

Dalam hal ini, pemerintah telah mencetuskan Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) sebagai mega proyek kerjasama antara pemerintah dan investor. Program tersebut
senyatanya justru merusak dan menghilangkan kawasan hutan dengan ekosistem penting, serta
menyingkirkan masyarakat dari sumber kehidupannya. Hak-hak atas tanah dan hutan diambil
dan dialihkan paksa oleh pemerintah dan perusahaan dengan cara yang terstruktur. Dengan
adanya program tersebut diharapkan dapat melestarikan ketahanan pangan nasional serta
menjadikan Papua sebagai lumbung pangan atau beras dan energi untuk kepentingan ekspor.
Namun dengan adanya program tersebut justru memperburuk keadaan yakni memunculkan krisis
pangan bagi masyarakat lokal sekitar hutan. Masyarakat setempat tertekan dengan kebijakan
pembangunan nasional MIFEE. Semua pembiayaan seperti pajak bumi bangunan yang
dibayarkan oleh perusahaan langsung ke kas negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara
finansial pemerintah pusat yang banyak meraup keuntungan. Kehidupan mereka berubah sangat
masif yang ditunjukkan dengan kehadiran investasi perkebunan sawit telah merampas tanah,
hutan, dan ruang hidup masyarakat (Bina Desa, 2014).

Denggan penggarapan 1,2 juta hektar lahan, pemerintah berupaya menjadikan Merauke sebagai
“Lumbung Pangan Nasional” yang memasok stok pangan yang ditujukan tidak hanya bagi
Indonesia, melainkan bagi dunia. Keberhasilan program MIFEE diukur dari kontribusinya bagi
PDB (Produk Domestik Bruto) Provinsi Papua, yang kemudian menjadikan lahan Papua
diekspektasikan dapat mewujudkan keamanan pangan nasional, serta menghemat devisa negara
karena jumlah impor yang berkurang. Secara spesifik, tujuan dari program MIFEE adalah untuk
mendorong pertumbuhan dan pembangunan nasional yang telah menjadi narasi ideal untuk
sebuah negara. Pada titik ini, keberhasilan MIFEE menunjukkan upaya dan kekuasaannya untuk
hadir dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di Merauke (Nurshafira, 2019).

Dari paparan di atas, penulis bertujuan menganalisis implikasi pembangunan perkebunan kelapa
sawit di daerah Papua dengan menerapkan pemikiran Karl Marx mengenai konflik yang terjadi
pada kelas borjuis dan kelas proletar. Dalam hal ini, negara dapat diasumsikan sebagai entitas
homogen, statis, dan hanya sebagai alat perpanjangan tangan kapital. Secara spesifik, negara
bukan lagi sebagai aktor otonom melainkan sebagai sebuah ruang kontestasi politik yang
memproduksi konflik dan relasi kuasa antara berbagai kelompok kepentingan (Nurshafira, 2019).
Hal tersebut secara signifikan menunjukan bahwa negara semakin memperlihatkan sistem
kapitalisme dengan upaya mengonsolidasikan kekuasaannya. Upaya untuk mendapatkan
keuntungan dari program MIFEE melalui eksploitasi sumber daya alam dan lahan masyarakat
Papua dijelaskan Marx melalui konsep kapitalisme dan perampokan nilai lebih, yang kemudian
memicu suatu konflik antar kelas sosial.

Pembangunan Berkelanjutan

Terkait pembangunan kelapa sawit, pemerintah menerapkan program MIFEE untuk memperkuat
cadangan pangan dan bioenergi. Namun pada kenyataannya, desain program cenderung
memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian berusaha. Menurut temuan,
mengatakan bahwa dalam pembangunan kelapa sawit di Papua ini telah mengalami proses sisi
gelap perizinan dan negosiasi yang tidak pernah disampaikan informasinya secara komprehensif
dan objektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampaknya. Selain itu juga, rencana investasi
dan negosiasi juga tidak melibatkan masyarakat adat secara keseluruhan, melainkan hanya
melibatkan banyak kepentingan bisnis, pejabat negara, anggota partai yang berpengaruh, serta
pensiunan jenderal polisi (Greenpeace, 2021).

Pembangunan kelapa sawit di Papua telah menyebabkan hutan dan tanah Papua terancam.
Melalui pengekspoitasian tanah milik masyarakat adat yang dilakukan oleh pemerintah, dengan
mengatasnamakan pembangunan berkelanjutan. Dalih pembangunan berkelanjutan menjadi salah
satu alasan dan menjadikan kehidupan masyarakat Papua saat ini ikut terancam akibat rusaknya
hutan (Greenpeace, 2021). Masyarakat justru mendapati imbas-imbas pembangunan seperti:
dampak ekologis pada hilangnya puluhan ribu hektar tanpa ganti rugi biaya atas tanah, serta
menurunnya kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Kejadian tersebut telah memicu
konflik antara masyarakat dengan pemerintah atas pengeksploitasian lahan dan sumber daya
alam. Fenomena tersebut berujung pada penolakan dari warga dan sejumlah LSM nasional
maupun internasional. Bahkan telah menyurati PBB agar menghentikan MIFEE karena dianggap
mengancam kelangsungan hidup warga masyarakat. Hadirnya perkebunan sawit di tanah Papua
telah membawa pembangunan berkedok investasi yang justru menurunkan kesejahteraan sosial
dan ekonomi masyarakat adat Papua (Mongabay, 2012).

Dari paparan diatas mengenai pembangunan berkelanjutan pada industri kelapa sawit di Papua,
menunjukkan konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah. Dalam hal ini penulis mencoba
membingkai menggunakan teori konflik oleh Karl Marx. Konseptualisasi negara sebagai aktor
otonom mengalami transisi pada ruang kontestasi politik yang memproduksi konflik dan relasi
kuasa. Fenomena tersebut dipicu dengan adanya kekuatan ekonomi yang semakin memperjelas
bahwa terdapat sisi tidak demokratis yang diabaikan oleh negara atau investor dalam
pengambilan keputusan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kejadian proses sisi gelap
perizinan dan negosiasi yang tidak pernah disampaikan informasinya secara komprehensif dan
objektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampaknya (Greenpeace, 2021).

Kritik radikal-demokratis terhadap pergeseran kebijakan pemerintah yang ditandai dengan


adanya dukungan pemerintah terhadap kapitalisme: investasi yang berkelanjutan, telah
menunjukkan bahwa negara telah mengorbankan asas-asas demokrasi. Sebuah pemahaman
Marxis yang menekankan sifat hubungan antara kekuatan politik dan ekonomi; serta antara
masyarakat dan negara akan memproduksi sejarah interpretasi dalam upaya demokratisasi
(Wood, 1995). Hal tersebut ditunjukkan pada konflik yang terjadi dalam MIFEE disebabkan oleh
upaya negara untuk merampas dan mengapropriasi lahan masyarakat Papua melalui produksi
perkebunan sawit. Secara empiris, proses pembangunan perkebunan sawit yang merujuk pada
diskursus “legal”.

Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap investasi dengan kebutuhan lahan yang
sangat besar dalam MIFEE, tentunya juga membawa dampak yang besar untuk masyarakat.
Dalam hal ini, negara berperan sebagai kapital yang menempatkan banyak kepentingan seperti
melibatkan pejabat negara, anggota partai yang berpengaruh, serta pensiunan jenderal polisi
sebagai aktor yang memutuskan secara rasional untuk merampas dan mengambil lahan
masyarakat. Perampasan lahan dilakukan negara melalui pemetaan formal yang mendukung
pengakuan legal atas lahan masyarakat untuk digunakan dalam proyek MIFEE (Nurshafira,
2019).
Dalam kacamata Marx, terma kelas yang ditandai oleh hubungan mereka yang memiliki alat-alat
produksi (kelas borjuis) dan mereka yang hanya bisa hidup dengan menjual tenaga kerjanya
(kelas proletar). Hubungan antar kelas menurut Marx yang kemudian melahirkan kapitalisme.
Dalam hubungan produksi ini, hubungan kelas bagi Marx adalah suatu kejadian yang
berlangsung secara eksploitatif, konfliktual, dan tak terdamaikan (Indoprogress, 2017). Hal itu
ditunjukkan pada konflik masyarakat adat dengan pemerintah, yang mana pemerintah
berkedudukan sebagai pemangku kekuasaan yang memiliki kepentingan dalam mengeksploitasi
dan merampas lahan milik masyarakat. Kemudian dalam hal ini Marx menegaskan bahwa
hubungan kelas sebagai konsep “perampasan nilai lebih”.

Perampasan nilai lebih yang dimaksudkan adalah perampasan lahan yang terjadi pada
masyarakat adat Papua, yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa yaitu negara dan para investor.
Dalam praktiknya pemerintah melakukan diskursus legal dan Papua justru menjadi target
defortasi terencana. Proses pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melupakan perizinan
telah menempatkan negara sebagai kontrol politik, yang ditunjukkan pada pengelolaan sumber
daya dan perampasan lahan menjadikan masyarakat Papua terpinggirkan. Oleh karena itu, negara
mereproduksi Papua menjadi penyokong terciptanya formasi masyarakat dan corak produksi
kapitalistik.Dalam formasi masyarakat kapitalistik dan Jawa-sentris, Merauke dan Papua
dianggap sebagai daerah yang bernilai karena dapat berkontribusi mengatasi krisis melalui upaya
kapitalisme (Nurshafira, 2019). Hal ini tentunya menyebabkan kapitalisme mereproduksi sebuah
profit. Pada akhirnya, proses ini bisa dikatakan sebagai sumber dari ketimpangan pembangunan.

Kesimpulan

Program MIFEE yang mulai pada tahun 2011 senyatanya sudah mulai memicu konflik
pembangunan perkebunan kelapa sawit sedari tahun 2011. Megaproyek yang dicanangkan seluas
2,5 juta hektare dengan kepemilikan 44 perusahan nasional hingga multinasional memicu konflik
akuisisi lahan adat. Hal ini terjadi karena Merauke telah dianggap sebagai daerah yang
berpotensi baik untuk pertanian perkebunan skala besar yang produktif. Di samping itu juga, hal
ini semakin memperluas peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Seiring berjalannya waktu, dalam temuan menunjukkan
bahwa pada tahun 2014 Departemen Pertanian telah memutuskan untuk mengalokasikan 1,6 juta
hektare lahan untuk MIFEE. Namun demikian, dalam perkembangannya justru tidak produktif.
Pada akhirnya, akuisisi lahan oleh pemerintah berimbas pada tegangan konfliktual antara
masyarakat adat yang kehilangan lahan dan hak hidupnya dengan negara. Pada tegangan
tersebutlah basis kelas menjadi titik tumpu dalam memahami konflik MIFEE karena masyarakat
adat bergeser menjadi kelas proletar dikarenakan tidak lagi memiliki akses kepada lahan sebagai
modal produksi akibat dari legalisasi tanah oleh negara.

Dalam hal ini, program MIFEE yang digaungkan pemerintah telah mengancam demokratisasi
masyarakat adat Papua, yang ditunjukkan pada proses sisi gelap perizinan pembangunan
perkebunan. Dukungan pemerintah yang cenderung mendukung kelompok kapitalis (kelas
borjuis) menunjukkan bahwa negara telah mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu alasan negara untuk mendongkrak investasi pada
pembangunan perkebunan kelapa sawit di Papua. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konflik
perampasan lahan adat justru mempertahankan ketimpangan kelas (inequality) sebagai fondasi
demokratisasi antara negara dengan masyarakat adat Papua. Ketimpangan kelas tersebutlah yang
dalam perspektif Marxis menjadi kritik fundamental dari pergeseran kebijakan pemerintah yakni
dukungannya terhadap kapitalisme yang ditandai dengan masuknya investasi dan modal asing.
Pada akhirnya, program MIFEE ini dapat dikatakan berhasil karena atas dukungan yang besar
dari pemerintah dan kontribusi MIFEE bagi PDB provinsi Papua.

Daftar Pustaka

Gillespie, P. (2012). The Challenges of Corporate Governance in Indonesian Oil Palm:


Opportunities to Move Beyond Legalism? Asian Studies Review, 36(2), 247–269.
https://doi.org/10.1080/10357823.2012.685447

Nurshafira, T. (2019). Ekonomi Politik Akses atas Lahan: Kontestasi atas “Negara” dalam Mega
Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Jurnal PolGov, 1(2), 263.
https://doi.org/10.22146/polgov.v1i2.60204

Obidzinski, K., Dermawan, A., & Hadianto, A. (2014). Oil palm plantation investments in
Indonesia’s forest frontiers: limited economic multipliers and uncertain benefits for local
communities. Environment, Development and Sustainability, 16(6), 1177–1196.
https://doi.org/10.1007/s10668-014-9519-8
Tulloch, V. J. D., Brown, C. J., Possingham, H. P., Jupiter, S. D., Maina, J. M., & Klein, C.
(2016). Improving conservation outcomes for coral reefs affected by future oil palm
development in Papua New Guinea. Biological Conservation, 203, 43–54.
https://doi.org/10.1016/j.biocon.2016.08.013

Warburton, E. (2017). Resource nationalism in Indonesia: Ownership structures and sectoral


variation in mining and palm oil. Journal of East Asian Studies, 17(3), 285–312.
https://doi.org/10.1017/jea.2017.13

Wood, E. M. (1995). Democracy against Capitalism. Democracy against Capitalism, 89–103.


https://doi.org/10.1017/cbo9780511558344

Sumber Internet

Bina Desa. (2014, Februari 20). MIFEE, siapa diuntungkan?: Redaksi. Diakses pada April 13,
2021 dari https://binadesa.org/mifee-siapa-diuntungkan/

Greenpeace Indonesia. (2021, April 8). Greenpeacce Mendesak Pemerintah Evaluasi Defortasi
Terencana di Tanah Papua: Siaran Pers. Diakses pada April 13, 2021 dari
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/44860/greenpeace-mendesak-pemerintah-
evaluasi-deforestasi-terencana-di-tanah-papua/

Indoprogress. (2017). Kapitalisasi Hak Atas Tanah. Diakses pada 29 April 2021 dari
https://indoprogress.com/2017/08/kapitalisasi-hak-atas-tanah/

Mongabay. (2012, Oktober 21). Kala MIFEE Hancurkan Hutan Merauke dan Singkirkan Suku
Malind: Hutan,Lingkungan Hidup, Pertanian. Diakses pada April 13, 2021 dari
https://www.mongabay.co.id/2012/10/21/kala-mifee-hancurkan-hutan-marauke-dan-singkirkan-
suku-malind/

Saya Ovy Novakarti, mahasiswi Pascasarjana di salah satu Universitas Negeri di Indonesia yang
sedang menggeluti kajian sosiologi.

Anda mungkin juga menyukai