Anda di halaman 1dari 22

Sindrom Nefrotik

I. PENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan ekstrarenal yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun kerusakan primer pada ginjal, yang
meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema anasarka, serta hiperlipidemia dan lipiduria
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang
ditandai dengan proteinuria masif ( 3 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu
> 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia(total kolesterol > 10
mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang
dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang
dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.1,2
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai
kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi

yang

terjadi pada SN.Hipoalbuminemia,

hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan


metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada
SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal
tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2, 3

II.

ETIOLOGI
Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh penyakit ginjal
primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS) merupakan jenis
yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh kasus SN primer (idiopatik).3

Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui terjadi pada usia
remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada sekitar 25% kasus SN
idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS
tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab
terbanyak dari kasus SN sekunder yakni diabetes mellitus.3

Tabel1.Jenis tersering dari sindrom nefrotik idiopatik3

a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom nefrotik idiopatik (SNI) atau
yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat
terbagi menjadi1,3-5 :

1. GN lesi minimal (GNLM);


2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3. GN membranosa (GNMN);
4. GN Membranoproliferatif (GNMP);
5 GN proliferatif lain.1,3-5

b. Penyebab Sekunder
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma (paru, payudara, kolon), multiple
3.

myeloma, karsinoma ginjal


Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE), Reumatoid artritis, Mixed

Connective Tissue Disease (MCTD)


4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitif
terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsi), dan
resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5
III.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia
16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak
laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan
SNKM biasanya berumur < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata
2-5 tahun.2

IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan
muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya

sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana
basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein
plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.1
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan
peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.1,5
c.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang sering menyertai
SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai
sedikit meninggi. Kolesterol serum yang mengalami peningkatan yakni VLDL (very low density
lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan
HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5

d. Edema
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
dan bergesernya cairan plasma, terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler
tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu menjaga cairan
intravaskuler.1,5

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.Retensi
natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan terus mengaktivasi system retensi natrium dan
air oleh ginjal sehingga edema semakin berlanjut.1,5
V.

TANDA DAN GEJALA


Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria massif >3-3,5
gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni edema pada kedua tungkai,
berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat disertai edema periorbital dan edema
genital, asites, atau efusi pleura maupun efusi perikard.3

VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1

1.
2.
3.
4.

Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-350 mg/mmol.
Serum albumin <2,5 gr/dl.
Manifestasi klinis edema perifer.
Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai. 1

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang
berikut: 4
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+
pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
b) Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak
eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection.
Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga
waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya
proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin >
2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g.
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik
signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsi mungkin diperlukan untuk
diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease
pada dewasa dengan glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon
yang lebih baik terhadap steroid.
f)

Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

VIII.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada guideline dan penelitian terbaru tentang tata laksana sindrom nefrotik pada

remaja. 3

Nutrisi dan Cairan


Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari, dan mungkin butuh
restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3
Diuretik
Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti tentang rekomendasi
pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan pendapat yang disepakati saat ini, diuresis
ditargetkan pada penurunan berat badan 0,5-1 kg per hari untuk menghindari gagal ginjal akut
atau gangguan keseimbangan elektrolit. Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid (Lasix) atau
bumetanide saat ini paling banyak digunakan. Dosis besar (80-120 mg furosemid) seringkali
dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal harus diberikan secara intravena karena daya
absorpsi yang kurang secara oral terhadap obat-obatan tersebut dapat menyebabkan edema
intestinum. Kadar albumin serum yang rendah juga membatasi efektivitas obat-obat diuretic dan
membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Diuretik thiazid, potassium-sparing diuretic, atau
metolazone (Zaroxolyn) dapat berguna sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik. 3
ACE Inhibitors
Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui dapat menurunkan
proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang mengarah ke penyakit ginjal pada pasien
dengan sindrom nefrotik. Suatu penelitian menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon
ketika terapi kortikosteroid dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang
direkomendasikan pun masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec) 2,5-20 mg per hari
banyak digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom nefrotik sebaiknya diterapi dengan ACE
inhibitiors untuk mengurangi proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi tekanan darah.3
Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis yang terjadi karena edema
dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Namun, tidak ada bukti penelitian yang
mengindikasikan keuntungan dari terapi dengan albumin, dan pada keadaan yang tidak
diharapkan seperti hipertensi dan edema pulmonum, jelas membatasi terapi albumin.3

Kortikosteroid
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam manajemen sindrom nefrotik
pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki keuntungan, namun direkomendasikan pada
beberapa pasien yang tidak berespon terhadap terapi konservatif. Terapi pada anak dengan
sindrom nefrotik berbeda, dan hal tersebut lebih memperlihatkan bahwa anak berespon baik
terhadap terapi kortikosteroid. Secara klasik, penyakit kelainan minimal berespon lebih baik
terhadap kortikosteroid dibanding glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan hal ini
ditemukan pada anak dengan sindrom nefrotik primer.3
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan
respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara
pengobatan inisial dan pengobatan relaps.3,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang
dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 8 minggu
diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.
Sekitar 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien
akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial
dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin
serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial
jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis
kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak
memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.3,5
Lipid-lowering treatment
Beberapa bukti penelitian memperlihatkan peningkatan risiko aterosklerosis atau infark
miokard pada pasien SN, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar lipid serum.
Namun, peranan terapi pada peningkatan lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk
memulai terapi dengan penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika tidak menimbulkan
kerugian.3

IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan
peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah infeksi gram negatif. 5

2. Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai
akibat efek samping steroid.5
3. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak
terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda
hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea
dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia
diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau
albumin 1 g/kg berat badan. 5
4. Tromboemboli
Risiko

untuk

mengalami

tromboemboli

disebabkan

oleh

karena

keadaan

hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan


hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain
faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin
III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar
albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli,
dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5

5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam
lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak
selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum
dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan
onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid
dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada
SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga
pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap
morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau
inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan. 5
X.

PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara umum baik,
dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada anak dengan SN biasanya
memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun memiliki prognosis buruk dan pada
orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 2008;336:1185-9.
2. Handayani I., Rusli B., Hardjoeno, Profile of cholesterol and albumin concentration and urine
sediment based on nephritic syndrome children. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, 2007;13(2):49-52.
3.

Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. American Family
Physician, 2009;80(10):1129-1134.

4. Davin JC.,Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to treatment. International
Journal of Nephrology, 2011;1-6.
5. Prodjosudjadi W., SindromNefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed VI. 2006;999-100

Sindrom Nefrotik (SN)

A. DEFINISI

Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia.4
Dasar diagnosa sindroma Nefrotik ;
1. Edema
2. Proteinuria berat ( 0,05 0,1 gr/kgBB/hr)
3. Hipoalbuminemia berat (< 2,5 gr %)
4. Hiperkolesterolemia (> 220 mg %)1

B. ETIOLOGI
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, jadi merupakan reaksi antigen antibodi.4
Umunya pada ahli membagi etiologi SN menjadi :
1. SN Primer / idiopatik
Yaitu SN yang tidak diketahui sebabnya atau tidak disebabkan oleh penyakit sistemik. 6
2. SN Sekunder
Yaitu SN yang disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik, antara lain:
-

Malaria kuartana atau parasit lain

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus, purpura aniafilaktoid

Glamerulonefritris akut atau kronis, trombosit vena renalis

Bahkan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilimin, gram emas, sengatan lebah, air raksa.

Amiloidosis,

penyakit

hipokomplementemik.4

sel

sabit,

hiperprolinemia,

nefritis

membranoprolifaratif

3. SN Bawaan
Yaitu SN yang diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.4
Pada kasus ini, etiologinya digolongkan SN idiopatik. Hal ini berdasarkan alloanemnesa dengan
ibu penderita bahwa orang tua atau anggota keluarga penderita tidak ada yang sakit seperti ini
dan ibu penderita menyangkal bahwa penderita pernah menderita penyakit-penyakit lain atau
penyakit-penyakit atau mengkonsumsi zat-zat yang dapat menyebabkan SN sekunder seperti
yang disebutkan di atas.

C. EPIDEMIOLOGI
SN pada umumnya dapat muncul sejak pertama kehidupan, tetapi biasanya mulai dari umur 2
tahun, dan angka kejadian SN terbanyak pada anak berumur antara 3 4 tahun dengan rasio
lelaki dan perempuan 2 : 1.5
Hal tersebut juga sesuai dengan kasus ini, penderita adalah seorang anak laki-laki
berumur 3 tahun, anak tersebut juga pernah sakit seperti ini dan dirawat di RS saat berumur 2
tahun, kemudian sembuh dan sekarang kambuh lagi.

D. GEJALA KLINIS
SN ditandai dengan onset yang mendadak, dimana sembab / edema merupakan gejala yang
menonjol, yang akan mulai terlihat secara klinik bila retensi cairan melebihi 3 5 % berat badan.
Edema di pengaruhi oleh gravitasi, terkumpul pada ekstremitas bawah pada posisi berdiri dan
pada bagian dorsal tubuh pada posisi berbaring. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas akibat
tekanan baju atau tekanan jari tangan. Kadang-kadang edema dapat mencapai 40 % dari berat

badan dan didapatkan anasarka. Edema periorbital akan membatasi pembukaan mata dan dapat
dijumpai edema skrotum dan penis atau labia.3
Pada kasus ini didapatkan gejala yang menonjol yaitu edema / sembab. Dari anamnesa
didapatkan bahwa edema terjadi secara mendadak pada pagi hari. Edema dimulai dari kelopak
mata, kemudian menyebar ke tangan, kaki dan seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
edema pada palpebra, skrotum, ekstremitas dan seluruh tubuh. Edema bersifat pitting,
menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan.

E. PATOFISIOLOGI
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi Natrium dan Edema pada sindrom nefrotik
1. Hipotesis UNDERFILL
Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia dan tekanan
onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan interstisial sehingga
terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem saraf simpatis, sistem renninangiotensin-aldosteron (RAAS). Aldosteron akan mereabsorpsi garam dan air di tubulus ginjal,
dengan tujuan menambah volume cairan intravaskular, tetapi karena tekanan onkotik plasma
tetap rendah maka cairan di kapiler akan berpindah lagi ke interstisial sehingga edema makin
bertambah. Dalam proses ini akibat adanya hipovolemia juga terjadi perangsangan terhadap
hormon antidiuretik (ADH) dan peptida natriuretik atrial (ANP = Atrial Natriuretic peptide).
ADH meningkat hingga menambah retensi air, ANP menurun dengan akibat terjadi retensi
Natrium di tubulus. (lihat gambar 1).

2. Hipotesis OVERFILL
Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra renal). Di
tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema.
Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hipotesis overfill karena
terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar
ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung
dengan akibat terjadi edema (lihat gambar 2).
Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi SN
kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhadap hipovolemia
dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelompok kedua (overfill)

disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan kelainan (BKM) atau glomerulonefritis
kronik.
SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia
juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.5

F. LABORATORIUM
1. Urin
a.

Protein
Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein 0,05 0,1 gr/kgBB/hr.
Proteinuria bisa selektif, yang hanya terdiri dari albumin saja dengan berat molekul rendah atau

non selektif dimana proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang berberat molekul rendah
sampai yang berberat molekul tinggi yaitu IgG.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++ (positif 3).
b. Sedimen
Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk adanya kelainan
glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria mikroskopik di dapatkan pada 25 % kasus SN
sensitive-steroid tipe kelainan minimal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat sediment yaitu leukosit 2 4/ LPB, eritrosit 0 1/
LPB, dan epitel penuh/ LPK.
c.

Elektrolit
Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan dengan retensi natrium
dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi sesuai intake.

2. Darah
a.

Protein
Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya meningkat. Kadar albumin
biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan bahkan dapat < 1 gr / dl. Elektroforesis menunjukkan tidak
hanya terjadi penurunan kadar albumin saja, tetapi juga terjadi peningkatan 2-globulin dan
peningkatan ringan -globulin serta penurunan -globulin.IgG menurun bermakna, IgA menurun
sedikit, IgM meningkat, sementara IgE normal atau meningkat. Tidak selalu didapatkan kelainan
kadar komplemen C3 dan C4. Biasanya kadar komplemen C3 menurun pada tipe bukan kelainan
minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun oleh karena terbuang melalui urin, merupakan
salah satu penyebab hiperkoagulobilitas pada anak dengan sindrom nefrotik. Kadar beberapa
komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat, sehingga menimbulkan risiko trombosis.

Pada kasus ini didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan albumin 2,0 mg/100
mL.
b. Lemak
Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :
-

Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan lipoprotein.

Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan aktivitas lipase lipoprotein.

Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan lepasnya HDL melalui urin.

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total 361 mg/100 mL.
c.

Urea, Kreatinin, Elektrolit


Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal, tetapi pada beberapa
kasus dapat meningkat. Elektrolit serum biasanya tetap dalam batas normal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan creatinin 0,16 mg/100
mL.

d. Hematologi
Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat dalam korelasi
terbalik dengan volume plasma. Dapat terjadi anemia. Umumnya terjadi peningkatan jumlah
trombosit.3 Pada kasus ini didapatkan hasil laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit 591.000/mm 3, Ht
35%, leukosit 13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.

G. KOMPLIKASI
1. Gagal ginjal akut

Fungsi ginjal biasanya dalam batas normal. Penurunan laju filtrasi glomerulus yang tersering
adalah karena hipovolemia. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah trombosis vena renalis
bilateral dan nefritis interstisial yang dapat disebabkan oleh efek toksik furosemid.
2. Gagal ginjal kronik
Sindrom nefrotik resisten steroid lebih cenderung mengalami gagal ginjal terminal
dibandingkan sindrom nefrotik resisten steroid di mana lebih dari 50% anak dengan sindrom
nefrotik resisten steroid akan jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun,
sedangakan sindrom nefrotik sensitif steroid hanya 3%.
3. Gangguan pertumbuhan
Pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom nefrotik. Terbuangnya hormon
melalui urin menyebabkan terjadinya pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa
hipotiroid terjadi karena terbuangnya iodinated protein dalam urin. Kadar insulin-like growth
factor-I (IGFI) dan IGF-II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya protein pembawa (carrier
proteins) dalam urin.
4. Infeksi
Infeksi kuman sering menyerang anak anak sindrom nefrotik. Kuman penyebab infeksi yang
paling sering adalah Streptococcus pneumoniae. Kuman lain yang juga sering ditemukan adalah
Eschericia coli, Sterptococcus B hemolitikus, Haemophilus influenzae dan kuman gram negatif
lainnya. Beberapa faktor yang mempermudah anak sindrom nefrotik mengalami infeksi kuman
adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya factor B dalam urin,
dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B adalah cofactor dari C3b dalam jalur alternatif
dari komplemen, yang berperan penting dalam opsonisasi kuman.
5. Trombosis

Pasien sindrom nefrotik berisiko mengalami komplikasi tromboembolik. Faktor yang berperan
adalah keadaan hiperkoagulabilitas, hipovolemia, imobilisasi dan infeksi. Kelainan faal
hemostatik yang terjadi adalah a.) peningkatan agregasi trombosit, b.) peningkatan fibrinogen,
factor V, VII, VIII, X dan XIII, serta penurunan kadar antithrombin III, kofaktor heparin, protein
C, protein S dan factor XII dan XII, dan c.) peningkatan komponen sistem fibrinolitik.3

H. PENGOBATAN
1.

Istirahat cukup sampai edema tinggal sedikit.4

2. Dietetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena
dapat menambah beban ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal 2
g/kgBB. Bila diberikan diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam hanya diperlukan selama anak
menderita edema. Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat.5
3. Diuretik
Diuretik tiazid kurang memberi efek. Biasanya diberikan Loop diuretik seperti furosemid 1-2
mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3
mg/kgBB/hari.

Kadang-kadang

furosemid

dikombinasikan

dengan

metolazon

0,2-0,4

mg/kgBB/hari untuk menginduksi diuresis, tetapi perlu dipantau terhadap kelainan elektrolit
darah.5
4. Kortikosteroid

Sesuai dengan anjuran ISKDC diberikan predniso dengan dosis 60 mg/m 2/hari atau 2 mg/kgBB
(maksimal 80 mg/hari) untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan
selama 4 minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80 % dan pada 4
minggu 94 %. Kemudian dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 (2/3 dosis awal), 1
x sehari setelah sarapan pagi. Secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau selang sehari
(alternating). Bila remisi terjadi pada 4 minggu kedua pengobatan alternating dilanjutkan
menjadi 8 minggu kemudian dihentikan. Bila selama pemberian 8 minggu tidak terjadi remisi,
pasien dianggap sebagai resisten steroid.5
5. Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bila ada infeksi, sedangkan pemberian antibiotika profilaksis tidak
dianjurkan.

Anda mungkin juga menyukai