: 030.10.210
Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Pasien
An. A
5 tahun
Perempuan
Lebak sium
Islam
Jawa
TK
-
Ayah
Tn. T
26 tahun
Laki-laki
Ibu
Ny. I (alm.)
34 tahun
Perempuan
Islam
Jawa
SMP
Percetakan undangan
Rp. 2.500.000-
Islam
Jawa
S.I Ekonomi
-
5.000.000
Keterangan
Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi
Umum
No. RM
829637
Tanggal masuk 16 Mei 2016
RS
II.
ANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan dengan nenek pasien pada tanggal 18 Mei 2016
bebas demam selama lima hari ini. Sang nenek mengatakan bahwa selama
dirumah pasien diberikan obat penurun panas dan demam pasien turun hanya jika
pasien minum obat penurun panas. Selain demam, pasien juga mengeluh seluruh
badan terasa pegal-pegal, namun tidak ada nyeri pada persendian.
Selain itu pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri perut ulu hati dan kanan
atas. Nyeri dirasakan makin berat, disertai dengan mual namun pasien tidak
mengeluhkan muntah. Dikatakan oleh nenek pasien tidak ada masalah dalam
BAB. Sebelumnya pasien juga mengalami batuk berdahak dan pilek.
Sejak satu hari yang lalu, pasien mulai malas minum, tidak mau makan
dan tampak lemas. Oleh nenek pasien, pasien akhirnya dibawa ke IGD RSUK.
Keluhan mimisan, gusi berdarah, sesak napas, dan sakit kepala disangkal. Nenek
pasien juga menyangkal bepergian ke luar kota akhir-akhir ini.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak ada riwayat sakit yang serupa sebelumnya
Tidak ada riwayat operasi
Tidak ada riwayat trauma
Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, dingin dan debu
Tidak ada riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, dan penyakit jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
alergi dan asma di keluarga disangkal.
Riwayat Lingkungan Rumah
Kepemilikan
Kesan : Keadaan rumah cukup baik, dengan ventilasi dan sirkulasi yang
cukup baik, keadaan lingkungan baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswata percetakan frame. Sedangkan ibu
pasien seorang ibu rumahtangga. Penghasilan ayah pasien Rp 2.500.0005.000.000/ bulan. Ayah Pasien menanggung biaya 2 orang anak. Namun saat ini
pasien tinggal bersama sang nenek dan kebutuhannya ditanggung oleh sang
nenek. Nenek pasien bekerja sebagai wiraswasta penjual bakso dengan
penghasilan 8.000.000/bulan.
Kesan: riwayat sosial ekonomi baik.
Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu memeriksakan kehamilannya secara teratur di bidan sebulan sekali.
Mendapatkan suntikan TT 2x. Tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma
selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu
disangkal, riwayat demam selama kehamilan disangkal
Kesan: Riwayat pemeliharaan prenatal baik
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran
: klinik bersalin
Penolong persalinan
: dokter
Cara persalinan
: section sesarea
Masa gestasi
: 32 minggu G1P0A0
Keadaan bayi
: 2.100 gram
: 40 cm
Lingkar kepala
: nenek lupa
Keadaan lahir
Nilai APGAR
Kelainan bawaan
: tidak ada
Air ketuban
Kesan: Neonatus preterm, lahir sectio sesarea, bayi dalam keadaan sehat.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Corak Reproduksi Ibu
Ibu P1A0, anak pertama perempuan berusia 5 tahun, keadaan fisik sehat,
anak kedua perempuan berusia 5 tahun, keadaan fisik dalam keadaan sakit
(pasien).
Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan KB.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2100 gram. Panjang badan lahir 40 cm.
Berat badan sekarang 14,5 kg. Panjang badan 98 cm.
Perkembangan:
Psikomotor
Senyum
Tengkurap dan berbalik sendiri
Duduk
Merangkak
Berdiri
Berjalan
Memakai/membuka pakaian
Gangguan perkembangan
: nenek lupa
: 4 bulan
: 7 bulan
: 8 bulan
: 10 bulan
: 1,5 tahun
: 3 tahun
:-
diberikan nasi, dan lauk pauk. Pasien rutin makan 3 x sehari. Variasi makanan
nasi, lauk pauk dan sayur
Kesan: Kualitas dan kuantitas makanan cukup baik
Riwayat Imunisasi
VAKSIN
DASAR (umur)
BCG
DPT/ DT
POLIO
0 bulan
2 bulan
4 bulan
0/2 bulan 4 bulan
6 bulan
6 bulan
ULANGAN
(umur)
-
CAMPAK
9 bulan
HEPATITIS B
0 bulan
1 bulan
6 bulan
Q. Silsilah/Ikhtisar Keturunan
Laki-laki :
Perempuan:
Pasien:
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 18 Mei 2016, pukul 14.20 WIB, di bangsal PICU
RSUD KARDINAH.
A. Kesan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan umum : Tampak lemas, pucat, tidak terdapat ptekiae pada
kedua lengan dan tungkai, tidak tampak perdarahan aktif.
B. Tanda Vital
- Tekanan darah : 110/70 mmHg (lengan kanan)
- Nadi
: 108 kali/menit, reguler, teraba kuat
- Laju nafas
: 45 x/menit
- Suhu
: 36C (aksila)
C. Data Antropometri
Berat badan sekarang
: 14.5 kg
Panjang badan sekarang : 98 cm
D. Status Internus
Kepala
Rambut
mudah dicabut
Mata
Telinga
Mulut
Tenggorok
Axilla
Thorax
Pulmo
Palpasi
Perkusi
Cor
Palpasi
Perkusi
: Sulit dinilai
Abdomen
Palpasi
Perkusi
dullness (-)
Inguinal
Genitalia
Anorektal
Ekstremitas
:
Superior
Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Hematom
Kulit
: lembap,
Inferior
+/+
-/> 2
+/+
-/tidak terdapat ptekiae
+/+
-/> 2
+/+
-/di kedua
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Satuan
1000/ul
1000.000/ul
g/dl
%
1000/ul
%
U
Peg
g/dL
Hasil
8.2
6.0
14.8
44.0
87
15.1
73.0
24.5
33.6
Rujukan
5.0 12.0
3.8 5.8
10,7 14,7
35 40
150 400
11.5-14.5
63-93
22-34
22-35
Hematologi
Satuan
CDC
Hasil
Rujukan
Hemoglobin
11.4
g/dL
11,2 15,7
Leukosit
5.0
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
34.2
35 40
Trombosit
49
103/uL
150 521
Eritrosit
4.6
106/uL
4,1 5,1
RDW
14.8
11,5 14,5
MCV
74,2
80 96
MCH
24,7
Pcg
28 33
MCHC
33.3
g/dl
33 36
mg/dL
70-140
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu
90
Elektrolit
Natrium
130.9
mmol/L
136-145
Kaliaum
3.53
mmol/L
3.3-5.1
Klorida
105.8
mmol/L
98-106
Hasil
Satuan
Rujukan
Hemoglobin
14.5
g/dl
11,2 15,7
Lekosit
10.0
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
43.3
37 47
Trombosit
46
103/uL
150 521
Eritrosit
6,0
106/uL
4,1 5,1
RDW
15
11,5 14,5
MCV
72.5
80 96
MCH
24.3
Pcg
28 33
MCHC
33.5
g/dl
33-36
Hasil
Hematologi
Satuan
7.9
g/dL
Rujukan
11,2 15,7
9.2
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
26.0
37 47
Trombosit
20
103/uL
150 521
Eritrosit
3.2
106/uL
4,1 5,1
RDW
14.3
11,5 14,5
MCV
81.0
80 - 96
MCH
24.6
Pcg
28 33
30.4
g/dl
33-36
Leukosit
MCHC
Hematologi
Hasil
Satuan
12.4
g/dL
Rujukan
11,2 15,7
Leukosit
13.0
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
39.1
37 47
Trombosit
40
103/uL
150 521
Eritrosit
5.5
106/uL
4,1 5,1
RDW
14.8
11,5 14,5
MCV
71.1
80 - 96
MCH
24.4
Pcg
28 33
MCHC
34.3
g/dl
33-36
Hematologi
Satuan
g/dL
Rujukan
11,2 15,7
Leukosit
6.9
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
32.5
37 47
Trombosit
37
103/uL
150 521
Eritrosit
4.5
106/uL
4,1 5,1
RDW
14.4
11,5 14,5
MCV
72.1
80 - 96
MCH
24.4
Pcg
28 33
MCHC
33.8
g/dl
33 - 36
Pemeriksaan
Hemoglobin
V.
PEMERIKSAAN KHUSUS
Data
Antropometri
kg
Tinggi badan 98
cm
3. BB/TB = 14,5/18 x 100% = 80,55 % ( Gizi kurang
Lingkar
51 cm
kepala
Lingkar Kepala
Kesan: mesosefali
Radiologi
Interpretasi
Corakan vascular bluring
Laminar opacitas hemithorax kanan
Cor CTR < 0,5
Kesan : edema pulmo dan efusi pleura dextra
VI.
DAFTAR MASALAH
VII.
Demam
Akral dingin
Hepatomegali
Trompositopenia
DIAGNOSIS BANDING
1. Febris
a. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
b. Dengue Fever
c. Malaria
2. Observasi syok
a. Hipovolemik
Sindrom Syok Dengue
Perdarahan akut
Dehidrasi
b. Septik
c. Kardiogenik
3. Status gizi
a. Status gizi baik
b. Status gizi kurang
c. Status gizi buruk
IX.
PENATALAKSANAAN
Edukasi
X.
XI.
SARAN PEMERIKSAAN
-
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad santionam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal
Pukul 08.00
Pukul 10.30
17/05/16
Pukul 08.52
Kepala : mesosefali,
Kepala : mesosefali
Hb = 14,8
Mata : konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik
T = 87
E = 6,0
Ht = 44,0
17/05/16
Pukul 11.20
Hb = 11,4
Ht = 34,2
T = 49
E = 4,6
Na+ = 130,9
K+ = 3,53
Cl- = 105,8
A
P
cc
EKG,
didapatkan
hasilnya
sinus
takikardia
Pasien di pindahkan ke PICU untuk
perawatan intensif
Tanggal
Pukul 18.30
Pukul 20.00
Keringat banyak
17/05/16
Pukul 19.12
Hb = 14,5
Ht = 43,3
T = 46
E = 6,0
Tanggal
A
P
18/05/16
Pukul 09.46
Hb = 12,4
Ht = 39,1
T = 40
E = 5,5
Edema paru
Edema paru
Pasang O2 2L/mnt
IVFD RD 22 cc/jam
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/jam
Inj. Dopamine 2.5 mg/kgBB/jam
Diet 3 kali lunak
Cek darah rutin ulang
Oksigen 2/mnt
IVFD RD 22 cc/jam
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/jam, bila
habis stop
Inj. Dopamine 2.5 mg/kgBB/jam, bila
habis stop
Extra Lasix 5 mg
Tanggal
20/05/16
Pukul 10.06
Hb = 11
Ht = 32,5
T = 37
E = 4,5
Kepala : mesosefali,
Kepala : mesosefali,
Edema paru
Edema paru
Klinis membaik
Oksigen stop
IVFD
RD
22
cc/jam
diberikan
tetes/mnt
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Lasal syrup 3 x 1 cth
Diet 3 kali lunak
Tanggal
Kepala : mesosefali,
Kepala : mesosefali,
Edema paru
Edema paru
Klinis membaik
IVFD
RD
22
cc/jam
diberikan
tetes/mnt
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Pasien
ANALISA KASUS
Diagnosis Dengue Shock Syndrome, efusi pleura, dan status gizi diambil
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan.
1. Dengue Shock Syndrome
Masalah
Interpretasi
Anamnesis
o Demam tinggi
sebab
hari ini.
Selama sakit, nenek pasien mengatakan
yang
mendadak, tanpa
jelas,
berlangsung
Klinis
aktif.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut sejak
perdarahan
dan / melena.
petekie,
makin
ekimosis,
gusi,
epistaksis,
hematemesis,
o Hepatomegali.
o Hemokonsentrasi,
Laboratorium
< 100.000/ml).
dilihat
dari
peningkatan
kelamin.
hematokrit
>20%
ada perdarahan
Tanda Vital
TD
110/70
mmHg
kanan)
Nadi
ketegangan cukup
- Laju nafas : 45 x/menit
- Suhu
: 360 C (aksila)
Thorax
Inspeksi
Pergerakan
dinding
Perkusi
Sonor
pada
seluruh
Auskultasi
: timpani di ke 4 kuadran
abdomen.
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin :
Hematokrit : 39,1
paru kanan
Trombosit : 40.000
Interpretasi
Anamnesis
Pertumbuhan persentil anak menurut CDC Pada pemeriksaan fisik status gizi didapatkan gizi
buruk menurut berat badan perumur, tinggi badan
sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE
I.
DEFINISI
Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated
febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam
berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran
manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung
es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di RS sebagai puncak gunung
II. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence
rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama
di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.
III. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal
empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue
ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.
IV. PATOGENESIS
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai
peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini
membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis yang
dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori
enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting
untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe
berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil
laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan
uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer.
Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini,
diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting
dalam patofisiologi DBD.
V. PERJALANAN PENYAKIT
Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik.
Bentuk infeksi yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang
parah atau tidak parah. Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan
mulai dengan mendadak, diikuti dengan tiga fase berikut demam (febrile), kritis,
dan penyembuhan (recovery). Meskipun perkembangan penyakit ini sangat
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa
adanya peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami
fase kritis ini. Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan
peningkatan permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan
tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase
kritis. Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan temperatur turun
menjadi 37.5 38 C atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada
hari 3 8. Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan trombosit
biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit diatas
nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode kebocoran plasma
secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam. Tingkat kebocoran sangat
bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada tekanan
darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan
kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi
cairan intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis
dapat dideteksi setelah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran
plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang
memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema
pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping
kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan
hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran,
maka sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi
subnormal ketika syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan
(prolonged shock), hipoperfusi akan mengakibatkan asidosis metabolik,
kegagalan
fungsi
organ,
dan
DIC
(disseminated
Intravascular
Fase febris
Fase kritis
Fase penyembuhan
4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1)
kebocoran plasma yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau
Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue
kompensasi
yang
yang
berkepanjangan
(prolonged) dan
hipoksia
dapat
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam
lambat dari antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang
muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80%
pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kirakira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi
pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu
pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum
beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup.
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah
terinfeksi sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau
infeksi flavivirus non-dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi
secara luas terhadap berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang
dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut,
dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada tahap penyembuhan
dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan mungkin
tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder
dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji
hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).
Gambar - Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang
digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi
Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan
dengan munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada
beberapa pasien selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue
lebih banyak tersedia di negara-negara endemis, daripada uji virologi.
Transportasi spesimen bukanlah masalah karena imunoglobulin stabil pada suhu
tropis.
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi
virus atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan
membandingkan sampel yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang
dikumpul saat berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang
rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi atau sama sekali tidak ada pada
beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM ELISA. Peningkatan
empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA atau dari
di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai untuk
mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat.
RNAbersifat
heat-labile,
maka
untuk
penyimpanannya harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptasepolymerase Chain Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80
100%. Positif palsu dapat terjadi jika kontaminasi saat proses
amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum
fase akut jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah
memiliki antibodi IgG-virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA
dan dot blot assays yang fokus pada antigen bagian membran atau envelop
(E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa
konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan kompleks
imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder
dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1
dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1
menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian yang
telah fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus
dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked
immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh
antibodi spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen
spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang
terperangkap tadi.
Kemudian,
terdeteksi
oleh
antibodi
dengue
baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum
pada pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau
plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi
primer atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat
menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur
lewat uji HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk
menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan
sel darah merah golongan 0
: 1280. Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum
pada masa penyembuhan dari pasien dengan respon primer.
5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur
selama fase akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah
dibawah 100.000 per uL per hari dapat dijumpai pada demam dengue,
namun hal ini merupakan tanda yang tetap pada demam berdarah dengue
(DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada periode antara hari-3 dan
8 menjelang onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20%
yang dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda
hipovolemia karena peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran
plasma.
VIII. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum
infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD
adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi.
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda
laboratoris,
yaitu
trombositopenia
dan
hemokonsentrasi
(kedua
hasil
tapi lemah, tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal,
kulit lembab, dan gelisah
- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.
DD/DBD
Derajat*
DD
Gejala
Laboratorium
Leukopenia
Trombositopenia,
tidak
ditemukan bukti kebocoran
plasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD
DBD
II
DBD
III
DBD
IV
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
IX. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak
lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan
para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan Tirah baring, selama masih demam.
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).
Tabel Dosis Parasetamol menurut Umur
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat
pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus
adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung
dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46%
1-2
ml/kgBB
intravena
bolus
perlahan-lahan. Apabila
terdapat
hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan
harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel lKebutuhan cairan pada dehidrasi sedang
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
danberat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel Kebutuhan Cairan Rumatan
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah
1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh
karena perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat
pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan
kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar
hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma
terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki
fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam
intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan
edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila
dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir
sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang)
atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis
Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.
Dkstran 40
Plasma
Albumin
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan
ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30
menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal
danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri
cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop
pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap
sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang
sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat,
saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg
BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma
ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia dan asidosis
metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar
elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi,
akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah
apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan
pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan
yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin,
dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis,
kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik,
maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
Ruang Rawat Khusus Untuk DBD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di
ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk
mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat
dibagi dalam 3 bagan yaitu
Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue
Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,
penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health.
KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329- 333
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I,
Kurniati N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI.
Jakarta 5-6 September 2004.h. 633. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press
1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody
dependent enhancement, a brief history and personal memoir . Rev
Cubana Med Trop 2002; 54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan
pada Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII.
Surabaya 12-13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia.
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever :
Comprehensive Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue:
Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 3031 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135