Anda di halaman 1dari 61

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama Mahasiswa: Nuvita Hasrianti Pembimbing : dr. Raden Setyadi, Sp.A
NIM
I.

: 030.10.210

Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN

Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan

Pasien
An. A
5 tahun
Perempuan
Lebak sium
Islam
Jawa
TK
-

Ayah
Tn. T
26 tahun
Laki-laki

Ibu
Ny. I (alm.)
34 tahun
Perempuan

Islam
Jawa
SMP
Percetakan undangan
Rp. 2.500.000-

Islam
Jawa
S.I Ekonomi
-

5.000.000
Keterangan
Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi
Umum
No. RM
829637
Tanggal masuk 16 Mei 2016
RS
II.

ANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan dengan nenek pasien pada tanggal 18 Mei 2016

di Ruang PICU RSU Kardinah pukul 14.20 WIB


Keluhan utama: Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan Tambahan : Mual, batuk, pilek, lemas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar oleh neneknya ke IGD RSU Kardinah Tegal dengan
keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan tiba-tiba tinggi dan diukur
melalui perabaan tangan saja. Demam dirasakan sepanjang hari. Tidak ada periode

bebas demam selama lima hari ini. Sang nenek mengatakan bahwa selama
dirumah pasien diberikan obat penurun panas dan demam pasien turun hanya jika
pasien minum obat penurun panas. Selain demam, pasien juga mengeluh seluruh
badan terasa pegal-pegal, namun tidak ada nyeri pada persendian.
Selain itu pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri perut ulu hati dan kanan
atas. Nyeri dirasakan makin berat, disertai dengan mual namun pasien tidak
mengeluhkan muntah. Dikatakan oleh nenek pasien tidak ada masalah dalam
BAB. Sebelumnya pasien juga mengalami batuk berdahak dan pilek.
Sejak satu hari yang lalu, pasien mulai malas minum, tidak mau makan
dan tampak lemas. Oleh nenek pasien, pasien akhirnya dibawa ke IGD RSUK.
Keluhan mimisan, gusi berdarah, sesak napas, dan sakit kepala disangkal. Nenek
pasien juga menyangkal bepergian ke luar kota akhir-akhir ini.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak ada riwayat sakit yang serupa sebelumnya
Tidak ada riwayat operasi
Tidak ada riwayat trauma
Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, dingin dan debu
Tidak ada riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, dan penyakit jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
alergi dan asma di keluarga disangkal.
Riwayat Lingkungan Rumah
Kepemilikan

: Rumah nenek pasien.

Keadaan Rumah : Rumah berukuran 5 x 40 m 2, berada di wilayah padat


penduduk, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok. Dasar atap
terpasang plafon. Kamar tidur berjumlah 3, kamar mandi berjumlah 1, terdapat
dapur, ruang makan, ruang tamu, serta teras yang berjumlah 1, berada di depan
rumah. Sumber air dari PAM Penerangan rumah bersumber listrik. Jarak septic
tank dengan rumah sekitar 25 meter. Limbah rumah tangga tersalur di selokan.
Selokan mengalir dan tertutup. Cahaya matahari dapat akses masuk ke dalam
rumah. Ventilasi baik dan rumah tidak terasa lembab. Tempat bermain anak lebih
sering di dalam rumah atau di teras rumah. Lingkungan rumah ada beberapa pot
tanaman di teras rumah.

Kesan : Keadaan rumah cukup baik, dengan ventilasi dan sirkulasi yang
cukup baik, keadaan lingkungan baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswata percetakan frame. Sedangkan ibu
pasien seorang ibu rumahtangga. Penghasilan ayah pasien Rp 2.500.0005.000.000/ bulan. Ayah Pasien menanggung biaya 2 orang anak. Namun saat ini
pasien tinggal bersama sang nenek dan kebutuhannya ditanggung oleh sang
nenek. Nenek pasien bekerja sebagai wiraswasta penjual bakso dengan
penghasilan 8.000.000/bulan.
Kesan: riwayat sosial ekonomi baik.
Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu memeriksakan kehamilannya secara teratur di bidan sebulan sekali.
Mendapatkan suntikan TT 2x. Tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma
selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu
disangkal, riwayat demam selama kehamilan disangkal
Kesan: Riwayat pemeliharaan prenatal baik
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran

: klinik bersalin

Penolong persalinan

: dokter

Cara persalinan

: section sesarea

Masa gestasi

: 32 minggu G1P0A0

Keadaan bayi

Berat badan lahir

: 2.100 gram

Panjang badan lahir

: 40 cm

Lingkar kepala

: nenek lupa

Keadaan lahir

: langsung menangis, warna merah,

tidak pucat dan tidak biru

Nilai APGAR

: nenek tidak tahu

Kelainan bawaan

: tidak ada

Air ketuban

: nenek tidak tau

Kesan: Neonatus preterm, lahir sectio sesarea, bayi dalam keadaan sehat.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Corak Reproduksi Ibu
Ibu P1A0, anak pertama perempuan berusia 5 tahun, keadaan fisik sehat,
anak kedua perempuan berusia 5 tahun, keadaan fisik dalam keadaan sakit
(pasien).
Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan KB.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2100 gram. Panjang badan lahir 40 cm.
Berat badan sekarang 14,5 kg. Panjang badan 98 cm.
Perkembangan:
Psikomotor

Senyum
Tengkurap dan berbalik sendiri
Duduk
Merangkak
Berdiri
Berjalan
Memakai/membuka pakaian
Gangguan perkembangan

: nenek lupa
: 4 bulan
: 7 bulan
: 8 bulan
: 10 bulan
: 1,5 tahun
: 3 tahun
:-

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak baik. Tidak ada


keterlambatan kemampuan psikomotor.
Riwayat Makan dan Minum Anak
Ibu memberikan anak ASI eksklusif sampai usia 3 bulan. Karena ibu
pasien meninggal saat usia pasien masih 3 bulan, pasien dilanjutkan dengan susu
formula. Mulai usai 4 bulan pasien sudah dikenalkan makanan pendamping lain
seperti bubur susu, biscuit, nasi tim dan buah-buahan. Usia 2 tahun, anak sudah

diberikan nasi, dan lauk pauk. Pasien rutin makan 3 x sehari. Variasi makanan
nasi, lauk pauk dan sayur
Kesan: Kualitas dan kuantitas makanan cukup baik
Riwayat Imunisasi
VAKSIN

DASAR (umur)

BCG
DPT/ DT
POLIO

0 bulan
2 bulan
4 bulan
0/2 bulan 4 bulan

6 bulan
6 bulan

ULANGAN
(umur)
-

CAMPAK

9 bulan

HEPATITIS B

0 bulan

1 bulan

6 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur


Riwayat Keluarga Berencana
Saat ini ibu pasien telah meninggal dunia.

Q. Silsilah/Ikhtisar Keturunan

Laki-laki :
Perempuan:
Pasien:
III.

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 18 Mei 2016, pukul 14.20 WIB, di bangsal PICU
RSUD KARDINAH.
A. Kesan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan umum : Tampak lemas, pucat, tidak terdapat ptekiae pada
kedua lengan dan tungkai, tidak tampak perdarahan aktif.
B. Tanda Vital
- Tekanan darah : 110/70 mmHg (lengan kanan)
- Nadi
: 108 kali/menit, reguler, teraba kuat
- Laju nafas
: 45 x/menit
- Suhu
: 36C (aksila)
C. Data Antropometri
Berat badan sekarang
: 14.5 kg
Panjang badan sekarang : 98 cm
D. Status Internus
Kepala

: Mesosefali (lingkar kepala 51 cm)

Rambut

: Hitam, lebat, tampak terdistribusi merata, tidak

mudah dicabut
Mata

: Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

oedem palpebra (+/+), mata cekung (-/-)


Hidung

: Bentuk normal, simetris, sekret (-/-)

Telinga

: Bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)

Mulut

: Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis (-)

Tenggorok

: Faring hiperemis (-). Tonsil T1-T1 hiperemis (-),

detritus (-), granulasi (-)


Leher

: Simetris, pembesaran KGB (-)

Axilla

: Pembesaran KGB (-)

Thorax

: Dinding thorax normothorax dan simetris

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris,


retraksi (-)

Palpasi

: Stem fremitus tidak dilakukan

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan

Auskultasi: Suara nafas vesikuler melemah pada paru kanan,


rhonki (+/-), wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V midklavikula sinistra

Perkusi

: Sulit dinilai

Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop


(-)

Abdomen

Inspeksi : Datar dan simetris.

Auskultasi: Bising usus (+) normal.

Palpasi

: Supel, turgor kembali > 2 detik, hepatomegali (+)

1/2-1/3 BH, Splenomegali (-). NT epigastrium(+)

Perkusi

: timpani di ke 4 kuadran abdomen. Shifting

dullness (-)
Inguinal

: Pembesaran KGB (-)

Genitalia

: tidak ada kelainan

Anorektal

: tidak dilakukan pemeriksaan.

Ekstremitas

:
Superior

Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Hematom
Kulit
: lembap,

Inferior

+/+
-/> 2
+/+
-/tidak terdapat ptekiae

+/+
-/> 2
+/+
-/di kedua

ekstremitas atas, dan bawah tapi ada hematom di ekstremitas


superior dextra.
Pemeriksaan uji Torniquet ( lengan kanan ) : (+)
IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium 17/05/2016 pukul 08.52 WIB-WKA


Pemeriksaan
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
RDW
MCV
MCH
MCHC

Hematologi
Satuan
1000/ul
1000.000/ul
g/dl
%
1000/ul
%
U
Peg
g/dL

Hasil
8.2
6.0
14.8
44.0
87
15.1
73.0
24.5
33.6

Rujukan
5.0 12.0
3.8 5.8
10,7 14,7
35 40
150 400
11.5-14.5
63-93
22-34
22-35

Pemeriksaan Laboratorium 17/05/2016 pukul 11:20 WIB - PICU


Pemeriksaan

Hematologi
Satuan
CDC

Hasil

Rujukan

Hemoglobin

11.4

g/dL

11,2 15,7

Leukosit

5.0

103/uL

4,4 11,3

Hematokrit

34.2

35 40

Trombosit

49

103/uL

150 521

Eritrosit

4.6

106/uL

4,1 5,1

RDW

14.8

11,5 14,5

MCV

74,2

80 96

MCH

24,7

Pcg

28 33

MCHC

33.3

g/dl

33 36

mg/dL

70-140

Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu

90
Elektrolit

Natrium

130.9

mmol/L

136-145

Kaliaum

3.53

mmol/L

3.3-5.1

Klorida

105.8

mmol/L

98-106

Pemeriksaan Laboratorium 17/05/2016 pukul 19:12 WIB - PICU


Hematologi
CDC
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

Hemoglobin

14.5

g/dl

11,2 15,7

Lekosit

10.0

103/uL

4,4 11,3

Hematokrit

43.3

37 47

Trombosit

46

103/uL

150 521

Eritrosit

6,0

106/uL

4,1 5,1

RDW

15

11,5 14,5

MCV

72.5

80 96

MCH

24.3

Pcg

28 33

MCHC

33.5

g/dl

33-36

Pemeriksaan Laboratorium 18/05/2016 pukul 06:12 WIB - PICU


Pemeriksaan
Hemoglobin

Hasil

Hematologi
Satuan
7.9
g/dL

Rujukan
11,2 15,7

9.2

103/uL

4,4 11,3

Hematokrit

26.0

37 47

Trombosit

20

103/uL

150 521

Eritrosit

3.2

106/uL

4,1 5,1

RDW

14.3

11,5 14,5

MCV

81.0

80 - 96

MCH

24.6

Pcg

28 33

30.4

g/dl

33-36

Leukosit

MCHC

Pemeriksaan Laboratorium 18/05/2016 pukul 09.46 WIB - PICU


Pemeriksaan
Hemoglobin

Hematologi
Hasil
Satuan
12.4
g/dL

Rujukan
11,2 15,7

Leukosit

13.0

103/uL

4,4 11,3

Hematokrit

39.1

37 47

Trombosit

40

103/uL

150 521

Eritrosit

5.5

106/uL

4,1 5,1

RDW

14.8

11,5 14,5

MCV

71.1

80 - 96

MCH

24.4

Pcg

28 33

MCHC

34.3

g/dl

33-36

Pemeriksaan Laboratorium 20/06/2016 pukul 10:06 - PICU


Hasil
11.0

Hematologi
Satuan
g/dL

Rujukan
11,2 15,7

Leukosit

6.9

103/uL

4,4 11,3

Hematokrit

32.5

37 47

Trombosit

37

103/uL

150 521

Eritrosit

4.5

106/uL

4,1 5,1

RDW

14.4

11,5 14,5

MCV

72.1

80 - 96

MCH

24.4

Pcg

28 33

MCHC

33.8

g/dl

33 - 36

Pemeriksaan
Hemoglobin

V.

PEMERIKSAAN KHUSUS

Data
Antropometri

Pemeriksaan Status Gizi

Anak perempuan Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:


usia 5 tahun

1. BB/U= 14,5/25 x 100% = 58 % ( berat badan buruk


menurut umur )
Berat badan 14,5

kg

2. TB/U = 98/108 x 100% = 90,74 % ( Tinggi badan


buruk menurut umur )

Tinggi badan 98
cm
3. BB/TB = 14,5/18 x 100% = 80,55 % ( Gizi kurang
Lingkar
51 cm

kepala

Lingkar Kepala

Kesan: mesosefali

menurut berat badan pertinggi badan)


Kesan: Anak perempuan usia 5 tahun, status gizi buruk,.

Pemeriksaan Status Gizi

Kesan : Anak perempuan usia 5 tahun, status gizi buruk.

Radiologi

tanggal 17 Mei 2016

Interpretasi
Corakan vascular bluring
Laminar opacitas hemithorax kanan
Cor CTR < 0,5
Kesan : edema pulmo dan efusi pleura dextra
VI.

DAFTAR MASALAH

VII.

Demam

Akral dingin

Edema palpebral dan kedua ekstremitas

Hepatomegali

Edema pulmo dengan efusi pleura dextra

Trompositopenia

Status gizi kurang

DIAGNOSIS BANDING
1. Febris
a. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
b. Dengue Fever
c. Malaria
2. Observasi syok
a. Hipovolemik
Sindrom Syok Dengue
Perdarahan akut
Dehidrasi
b. Septik
c. Kardiogenik
3. Status gizi
a. Status gizi baik
b. Status gizi kurang
c. Status gizi buruk

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Dengue Syok Sindrom (DHF Derajat IV )

Status gizi kurang

IX.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tanggal 18 Mei 2016 di Bangsal PICU 1.


a. Medikamentosa
Pasang O2 2L/mnt
IVFD RD 22 cc/jam
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/jam
Inj. Dopamine 2.5 mg/kgBB/jam
b. Non-medikamentosa
-

Pengawasan keadaan umum dan tanda vital


Pasang kateter urin
Kebutuhan Cairan 1225 cc
Kebutuhan kalori 1225 kkal
Kebutuhan protein 30,625 kkal

Edukasi

: Perbanyak istirahat dan meningkatkan frekuensi

minum, pemantauan buang air dan kesadaran.

X.

XI.

SARAN PEMERIKSAAN
-

Pemeriksaan ns-1 ( demam hari 1-3)

Pemeriksaan darah rutin ulang

Pemeriksaan IgG IgM anti-dengue (demam >5 hari)

PROGNOSIS

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad santionam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: dubia ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal

17 Mei 2016 Rawat hari I Bangsal WKA

17 Mei 2016 Rawat hari I. Bangsal PICU

Pukul 08.00

Pukul 10.30

Demam hari ke 5, kejang (-), muntah (-) mual (+),


nyeri perut (+), batuk (+), sesak (-), nafsu makan
menurun, minum berkurang, mencret (-), BAB (+),
BAK (-) terakhir jam 4 pagi.

Demam (+) hari ke 5, kejang (-), muntah (-), mual


(+), nyeri perut (+), batuk (+), sesak (-), nafsu makan
menurun, minum berkurang, mencret (-), BAB (+),
BAK (+).

Nadi: 150x/m lemah dan cepat, RR: 40x/m, S: 36,2


o
C

Nadi: 109x/m, RR: 40x/m, S: 36,5oC SPO2: 98 %

17/05/16

KU: compos mentis, tampak lemas


KU: compos mentis, tampak lemas

Pukul 08.52

Kepala : mesosefali,
Kepala : mesosefali

Hb = 14,8
Mata : konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik

Mata : konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik.


Oedem palpebra (-/-)

T = 87

Paru : SN Vesikular kanan melemah, Rh(+/-),


wh(-/-)

Paru : SN Vesikular kanan melemah, Rh(+/-) halus,


wh(-/-)

E = 6,0

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)

Abdomen: datar, BU(+), hepar teraba 1/2-1/3 BH ,


lien tidak teraba, NT epigastrium (+), turgor baik

Abdomen: datar, BU(+), hepar teraba 1/2-1/3 BH,


lien tidak teraba, NT epigastrium (+), turgor baik

Ekstremitas: oedem (-), akral dingin (+) di keempat


ekstremitas.

Ekstremitas: oedem (-) keempat ekstremitas, akral


dingin (+) dikeempat ekstremitas.

Sindrom Syok Dengue

Sindrom Syok Dengue

Ht = 44,0

17/05/16
Pukul 11.20
Hb = 11,4
Ht = 34,2
T = 49
E = 4,6
Na+ = 130,9
K+ = 3,53
Cl- = 105,8
A
P

Pasang oksigen 2 L/mnt

IVFD RL guyur 280 ml dua jalur, Line


pertama 140 ml dan Line kedua 140 ml, setengah
jam kemudian dilanjutkan satu jalur HAES 280
ml, setengah jam kemudian RL 10 ml/kgBB/jam,
1 jam kemudian RL 7 ml/kgBB/jam, 1 jam
selanjutnya 5 ml/kgBB/jam, selanjutnya 3
ml/kgBB/jam.
Inj. Amoxsan 3x500 cc

cc

Inj. Vit C 1x100 mg


Pemasangan DC ( Doley Cateter), urin 50

Pasang oksigen 2 L/mnt

Ulang darah rutin

IVFD RL 10 cc/kgBB/jam, 1 jam


selanjutnya 7 cc/kgBB/jam, sudah dilakukan.
Dilanjutkan 5 cc/kgBB/jam, 1 jam kemudian 3
cc/kgBB/jam.
Observasi KU dan TV

Pemasangan monitor, SPO2 98%


Cek darah rutin , CITO
Monitor diuresis dan awasi tanda vital
Ro Thorax AP dan Lateral

EKG,
didapatkan
hasilnya
sinus
takikardia
Pasien di pindahkan ke PICU untuk
perawatan intensif

Tanggal

17 Mei 2016 Rawat hari I. PICU

17 Mei 2016 Rawat hari 1, PICU

Pukul 18.30

Pukul 20.00

Lemas (+), akral kedua tangan dingin

Keringat banyak

Nadi: 122x/m, TD: 93/60 mmHg, SPO2: 98%, S:

Nadi: 120x/m, SPO2 : 98%, RR: , S: ,

17/05/16

KU: compos mentis, tampak lemas

KU: compos mentis, tampak lemas,

Pukul 19.12

Kepala : mesosefali, UUB datar, mollase (-)

Kepala : mesosefali, , mollase (-)

Hb = 14,5

Mata : konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik

Mata : konjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik

Ht = 43,3

Paru : SN Vesikular kanan melemah, Rh(+/-) basah


halus, wh(-/-),

Paru : SN Vesikular kanan melemah, Rh(+/-) basah


halus, wh(-/-)

T = 46

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)

E = 6,0

Abdomen: BU(+), hepar teraba 1/2-1/3 BH, lien


tidak teraba, shifting dullness (-), distensi (-)

Abdomen: BU(+), hepar teraba 1/2-1/3BH, lien tidak


teraba, shifting dullness (-) distensi (-)

Ekstremitas: oedem (-), akral dingin dikeempat


ekstremitas. CRT > 2

Ekstremitas: oedem (-), akral dingin dikeempat


ekstremitas, CRT > 2

Sindrom Syok Dengue

Sindrom Syok Dengue

Konsul dr.R. Setyadi, Sp.A via telp:


- inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/mnt
- inj. Dopamine 2,5 mg/kgBB/mnt
- Ro Thorax AP dan RLD
- ulang darah rutin dan lapor via telp.
- observasi KU dan TV

Konsul dr. R. Setyadi, Sp.A via telp:


Infus HEAS 150 cc/jam

Tanggal

18 Mei 2016 Rawat hari II ( PICU)

19 Mei 2016 Rawat hari III, PICU

Demam (+) hari ke 6, kejang (-), muntah (-), mual


(+), nyeri perut (+), batuk (+), sesak (-), nafsu
makan menurun, minum berkurang, mencret (-),
BAB (+), BAK (+).

Demam (+) hari ke 7, kejang (-), muntah (-), mual


(+), nyeri perut (+), batuk (+), sesak (+), nafsu
makan menurun, minum berkurang, mencret (-),
BAB (+), BAK (+).

Nadi: 120 x/mnt, RR: 37x/m, S: 37,8 oC Spo2 :


96%

Nadi: 104 x/m, RR: 50 x/m, S: 36,5 oC SPO2: 93 %

A
P

18/05/16
Pukul 09.46
Hb = 12,4
Ht = 39,1
T = 40
E = 5,5

Cek lab darah rutin ulang.

KU: compos mentis, tampak lemas


KU: compos mentis, tampak lemas
Kepala : mesosefali,
Kepala : mesosefali,
Mata : CA(-/-), SI (-/-), oedema palpebra (+/+)

Mata : CA (-/-), SI (-/-) oedem palpebra (+/+)


Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,
Rh(+/-), wh(-/-)
Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)
Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/2 1/3
BH, lien tidak teraba, NT epigastrium (+), distensi
(+)

Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,


Rh(+/-), wh(-/-)
Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)
Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/2 1/3 BH,
lien tidak teraba, NT epigastrium (-), distensi (+),
ascites (+).
Ekstremitas: oedem (+), akral hangat, CRT < 2 mnt

Ekstremitas: oedem (+) dikeempat ekstremitas,


akral hangat, CRT < 2 mnt
A

Sindrom Syok Dengue

Sindrom Syok Dengue perbaikan

Edema paru

Edema paru

Pasang O2 2L/mnt
IVFD RD 22 cc/jam
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/jam
Inj. Dopamine 2.5 mg/kgBB/jam
Diet 3 kali lunak
Cek darah rutin ulang

Oksigen 2/mnt
IVFD RD 22 cc/jam
IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Inj. Dobutamin 10 mg/kgBB/jam, bila

habis stop
Inj. Dopamine 2.5 mg/kgBB/jam, bila
habis stop
Extra Lasix 5 mg

Diet 3 kali lunak

Tanggal

20 Mei 2016 Rawat hari III ( PICU)

21 Mei 2016 Rawat hari IV, Dewadaru

Demam (-), kejang (-), muntah (-), mual (+),


nyeri perut (+), batuk (+), sesak (+), nafsu
makan menurun, minum berkurang, mencret
(-), BAB (+), BAK (+).

Demam (-), kejang (-), muntah (-), mual (-),


nyeri perut (-), batuk (-), sesak (-), nafsu makan
menurun, minum berkurang, mencret (-), BAB
(+), BAK (+).

Nadi: 119 x/mnt, RR: 45x/m, S: 36 oC Spo2 : 87%

Nadi: 100 x/m, RR: 50 x/m, S: 37 oC

20/05/16
Pukul 10.06
Hb = 11
Ht = 32,5
T = 37
E = 4,5

KU: compos mentis, tampak lemah

KU: compos mentis, mulai aktif

Kepala : mesosefali,

Kepala : mesosefali,

Mata : CA (-/-), SI (-/-) oedem palpebra (-/-)

Mata : CA(-/-), SI (-/-), oedema palpebra (-/-)

Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,


Rh(+/-), wh(-/-)

Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,


Rh(+/-), wh(-/-)

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)


Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/2
1/3BH, lien tidak teraba, NT epigastrium (+),
distensi (-)

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)


Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/2
1/3 BH, lien tidak teraba, NT epigastrium (-),

Ekstremitas: oedem (-) dikeempat ekstremitas,


akral hangat, CRT < 2 mnt

distensi (+), ascites (+).


Ekstremitas: oedem (-), akral hangat

Sindrom Syok Dengue

Sindrom Syok Dengue perbaikan

Edema paru

Edema paru

Klinis membaik

Oksigen stop
IVFD

RD

22

cc/jam

diberikan

tetes/mnt
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV

Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV


Psidii syrup 3 x 1 cth

IVFD RL 22 cc/jam
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV
Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV
Psidii syrup 3 x 1 cth
Lasal syrup 3 x 1 cth
Diet 3 kali lunak

Lasal syrup 3 x 1 cth


Diet 3 kali lunak
Cek darah rutin ulang
Acc pindah ruang rawat dewadaru

Tanggal

22 Mei 2016 Rawat hari V, Dewadaru

23 Mei 2016 Rawat hari IV, Dewadaru

Demam (-), kejang (-), muntah (-), mual (-),


nyeri perut (-), batuk (-), sesak (-), nafsu
makan membaik, intake adekuat, mencret (-),
BAB (+), BAK (+).

Demam (-), kejang (-), muntah (-), mual (-),


nyeri perut (-), batuk (-), sesak (-), nafsu makan
membaik, intake adekuat, mencret (-), BAB (+),
BAK (+).

Nadi: 100 x/mnt, RR: 28x/m, S: 36 oC

Nadi: 100 x/m, RR: 28 x/m, S:36,5 oC

KU: compos mentis, mulai aktif

KU: compos mentis, tampak aktif

Kepala : mesosefali,

Kepala : mesosefali,

Mata : CA (-/-), SI (-/-) oedem palpebra (-/-)

Mata : CA(-/-), SI (-/-), oedema palpebra (-/-)

Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,


Rh(+/-), wh(-/-)

Paru : SN Vesikular melemah pada paru kanan,


Rh(+/-), wh(-/-)

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)


Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/4 BH, lien
tidak teraba, NT epigastrium (-), distensi (-)
Ekstremitas: oedem (-) dikeempat ekstremitas,
akral hangat, CRT < 2 mnt

Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)


Abdomen: buncit, BU(+), hepar teraba 1/4 BH,
lien tidak teraba, NT epigastrium (-), distensi
(-), ascites (-).
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat, CRT <2
mnt

Sindrom Syok Dengue perbaikan

Sindrom Syok Dengue perbaikan

Edema paru

Edema paru

Klinis membaik

IVFD

RD

22

cc/jam

diberikan

tetes/mnt
Inj. Amoxsan 3 x 500 mg IV

Inj. Vit. C 1 x 100 mg IV


Psidii syrup 3 x 1 cth
Lasal syrup 3 x 1 cth
Diet 3 kali lunak

Pasien

ANALISA KASUS
Diagnosis Dengue Shock Syndrome, efusi pleura, dan status gizi diambil
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan.
1. Dengue Shock Syndrome
Masalah

Interpretasi

Anamnesis

Demam dirasakan sejak 5 hari yang lalu.


Demam dirasakan tiba-tiba tinggi dan

Kriteria DBD menurut WHO :


-

diukur melalui perabaan tangan saja. Tidak

o Demam tinggi

ada periode bebas demam selama empat

sebab

hari ini.
Selama sakit, nenek pasien mengatakan

yang

mendadak, tanpa
jelas,

berlangsung

terus-menerus selama 2-7 hari,


biasanya bifasik.

pasien tidak nafsu makan dan malas minum.

Klinis

Pasien jadi sering tidur-tiduran dan kurang

o Terdapat manifestasi perdarahan,

aktif.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut sejak

termasuk *uji bendung positif,

5 hari SMRS. Nyeri perut dirasaan di bagian

perdarahan

ulu hati dan kanan atas, yang dirasakan

dan / melena.

terus menerus. Nyeri dirasakan

petekie,

makin

ekimosis,
gusi,

epistaksis,
hematemesis,

o Hepatomegali.

berat. Disertai mual, namun tidak muntah.


BAK lancar, tidak nyeri saat berkemih, dan

o Trombositopenia (jumlah trombosit

berwarna kuning jernih.


Pada saat dibangsal WKA tanggal 17 Mei
2016 pukul 08.30, pasien tampak sangat

o Hemokonsentrasi,

Laboratorium

< 100.000/ml).
dilihat

dari

lemas, gelisah, tampak mengantuk dan ingin

peningkatan

tidur terus, pada kedua tangan dan kaki

menurut standar umur dan jenis

pasien teraba dingin dan pasien sudah tidak

kelamin.

buang air kecil sejak 5 jam yang lalu.


Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: compos mentis, tampak lemas, tidak

hematokrit

>20%

ada perdarahan

Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda syok


pada tanggal 17 Mei 2016, seperti frekuensi

Tanda Vital

nadi yang meningkat dan teraba lemah, akral

TD

110/70

mmHg

(lengan dingin pada keempat ekstremitas disertai kulit

kanan)
Nadi

: 108 kali, reguler, isi dan

ketegangan cukup
- Laju nafas : 45 x/menit
- Suhu
: 360 C (aksila)
Thorax

Inspeksi

paru kanan yang disertai ronki basah pada

Pergerakan

dinding

Palpasi : Stem fremitus tidak dilakukan

Perkusi

Sonor

pada

seluruh

lapang paru kiri-kanan

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler

melemah pada paru kanan, rhonki (+/-),


wheezing (-/-).
Abdomen
o Inspeksi : datar dan simetris.
o Auskultasi: Bising usus (+) normal.
o Palpasi

: Supel, turgor kembali < 2 detik,

nyeri tekan epigastrium (+). Hepar


teraba 1/2 1/3 jari dibawah arcus
costae,

tepi tajam, permukaan rata,

konsistensi kenyal, lien tidak teraba.


o Perkusi

: timpani di ke 4 kuadran

abdomen.
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin :

Hematokrit : 39,1

air kecil yang berkurang. Selain itu ditemukan


juga suara nafas vesikuler yang melemah para

thorax kiri-kanan simetris, retraksi (-)

yang lembab, dan frekuensi dan volume buang

paru kanan

Trombosit : 40.000

Rontgen : Udema Paru dengan Efusi Pleura


Dextra

2. Status Gizi Kurang


Masalah

Interpretasi

Anamnesis

Ibu memberikan anak ASI eksklusif

sampai usia kurang lebih 3 bulan.


Usia 3 bulan seterusnya pasien

Pada pasien ini kualitas dan kuantitas


makan pasien baik

diberikan susu formula, bubur susu

dan nasi tim serta buah-buahan.


Usia 2 tahun, anak sudah diberikan
nasi, sayur, dan lauk pauk.
Pemeriksaan Fisik

Pertumbuhan persentil anak menurut CDC Pada pemeriksaan fisik status gizi didapatkan gizi
buruk menurut berat badan perumur, tinggi badan
sebagai berikut:

BB/U= 14,5/25 x 100% = 58 %


buruk berdasarkan tinggi badan perumur, dan gizi
TB/U = 98/108 x 100% = 90,74 %
kurang berdasarkan berat badan pertinggi badan,
BB/TB = 14,5/18 x 100% = 80,55 %
makan pasien masuk dalam kategori gizi kurang.
Kesan: Anak perempuan usia 5 tahun,
status gizi buruk,.

TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE
I.

DEFINISI
Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi

klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated
febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam
berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran
manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung
es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di RS sebagai puncak gunung
II. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.

Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence
rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama
di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.
III. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal
empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue
ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

IV. PATOGENESIS
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai
peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini
membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis yang
dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody

5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori
enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting
untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe
berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil
laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan
uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer.
Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini,
diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting
dalam patofisiologi DBD.

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory


Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik
selama perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel
mononuklear yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan
studi in vitro, teori ini saat ini dikenal sebagai antibody dependent enhancement
(ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga
mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus
dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN
akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
-

Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui

reseptor Fc dan masuk dalam monosit


Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan

sumsum tulang (terjadi viremia).


Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan
berbagai sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi
(sistem komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:


-

Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)


Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection
enhancing antibody).
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan

menyebabkan kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus.


Teori ini pula yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan
akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks
antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi
opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup
dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit
terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup


respon imun meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999)
menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder
dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-, TNF- dan protein kompleman
teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus
membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor
Fc monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini
melalui antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi
pelepasan sitokin (IFN-) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga
terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini
memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi
platelet, produksi sitokin (TNF, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi
kaskade inflamasi.

V. PERJALANAN PENYAKIT
Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik.
Bentuk infeksi yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang
parah atau tidak parah. Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan
mulai dengan mendadak, diikuti dengan tiga fase berikut demam (febrile), kritis,
dan penyembuhan (recovery). Meskipun perkembangan penyakit ini sangat

kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya, penatalaksanaannya relatif sederhana,


tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan hidup, selama intervensi
yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik ialah
pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang
berbeda. Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan
dapat menurunkan angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat
menyelamatkan hidup pasien dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan
fase infeksi virus dengue:
1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak
selama 2 7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah,
eritema kulit, nyeri pada badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia,
nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang mirip dengan rubella, serta
nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi berupa nyeri
tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual,
dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis
penyakit dengue dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil
tes torniquet yang positif lebih mengindikasikan ke arah dengue.
Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang ditunjukkan tidak
menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat penting
untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain
dalam rangka memahami proses ke arah fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi
(spontan) pada lokasi injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus.
Perdarahan gastrointestinal juga terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim.
Hepar dapat membesar dan kenyal setelah beberapa hari demam. Prediksi
yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu menurunnya
kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan
kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk
sekolah, belajar, bermain, maupun berinteraksi sosial.

2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa
adanya peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami
fase kritis ini. Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan
peningkatan permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan
tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase
kritis. Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan temperatur turun
menjadi 37.5 38 C atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada
hari 3 8. Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan trombosit
biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit diatas
nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode kebocoran plasma
secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam. Tingkat kebocoran sangat
bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada tekanan
darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan
kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi
cairan intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis
dapat dideteksi setelah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran
plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang
memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema
pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping
kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan
hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran,
maka sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi
subnormal ketika syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan
(prolonged shock), hipoperfusi akan mengakibatkan asidosis metabolik,
kegagalan

fungsi

organ,

dan

DIC

(disseminated

Intravascular

Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat,


yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit
dapat meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.

Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul


setelah fase demam, biasanya pada hari 3 7. Muntah persisten dan nyeri
perut berat adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus
memburuk ketika memasuki keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi,
lemah, pusing, dan mengalami hipotensi postural selama keadaan syok.
Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada daerah suntikan
menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal biasanya
dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan
plasma signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena.
Penurunan yang cepat dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000
sel/mm kubik dan peningkatan hematokrit diatas normal mungkin menjadi
tanda paling awal dari kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului
kejadian leukopenia (5000 sel/mm kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi
lambat dari cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 72 jam
berikutnya. Keadaan umum membaik, nafsu makan meningkat, status
hemodinamik dan diuresis menjadi stabil. Beberapa pasen dapat memiliki
ruam yang disebut Pulau Putih diatas Laut Merah. Beberapa pasien juga
akan mengalami pruritus. Hitung hematokrit akan normal atau rendah
karena efek dilusional dari cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih
biasanya mulai meningkat. Hitung trombosit biasanya secara khas lebih
akhir daripada sel darah putih. Distres respirasi dari efusi pleura masif dan
asites akan terjadi kapan pun jika terapi intravena diberikan secara
berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan, terapi cairan yang
berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal jantung
kongestif.
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat
disimpulkan ke dalam tabel berikut.
Tabel Fase Infeksi Dengue

Fase febris

Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan

gangguan neurologis dan kejang demam pada


2

Fase kritis

anak-anak yang lebih muda


Syok karena kebocoran plasma; perdarahan

Fase penyembuhan

yang berat; kegagalan fungsi organ


Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV
berlebihan)

4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1)
kebocoran plasma yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau
Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue

akumulasi cairan, dengan atau tanpa distres respirasi, dan atau 2)


perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme

kompensasi

yang

mempertahankan tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan


takikardia dan vasokonstriksi perifer disertai perfusi kulit yang menurun,
yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang menurun. Uniknya,

tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan nadi


menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok
hipotensif

yang

berkepanjangan

(prolonged) dan

hipoksia

dapat

megakibatkan kegagalan multi-organ.


Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara
tekanan sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau
memiliki tanda dari perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang
menurun, atau frekuensi nadi yang meningkat). Hipotensi berhubungan
dengan syok berkepanjangan yang sering berkomplikasi pada perdarahan
besar.
Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi
koagulasi, namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan
besar. Ketika perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan
syok berat, dengan kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis,
menyebabkan kegagalan organ multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif
dapat terjadi tanpa harus syok berkepanjangan pada pemberian aspirin
(asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang
beresiko infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 7 hari ditambah
berapapun dari tanda-tanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai
hematokrit yang tinggi atau secara progresif meningkat, asites atau
efusi pleura, syok atau gangguan sirkulasi (takikardia, akral
dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut nadi lemah atau tak terukur,
tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut, tekanan darah
yang tak terukur).
- Ada perdarahan yang bermakna
- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma,
konvulsi)
- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut
bertambah hebat, ikterik)
- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak
lazim, kardiomiopati)

VI. MANIFESTASI KLINIS


Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
1. Silent dengue atau undifferentiated fever
2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut
selama 2 7 hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri
retro-orbita, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia.
Trias demam dengue meliputi demam tinggi, nyeri anggota badan, dan
ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 40 C, dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung 5 7 hari, tetapi pada penelitian selanjutnya
bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak
dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan
dan ercak merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama
separuh pertama periode demam dan kemungkinan makulopapular atau
menyerupai demam skarlatina yang muncul pada hari ke-3 atau ke-4.
Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke
-3 5) dan berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan obstipasi sering
dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,
epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada
67 77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang bersifat
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit biasanya normal saat
awal demam kemudian leukopenia hingga akhir periode demam; hitung
trombosit masih normal, demikian komponen faktor pembekuan. Ada
beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum biokimia
(enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4
manifestasi berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit,
3) hepatomegali 4) kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan
kulit, uji torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat injeksi vena.
Petekie halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila pada masa-masa

awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran mukosa, misalnya gusi,


jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih
jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba
pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 4 cm dibawa arkus
costae kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya
penyakit tapi sering ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada
daerah hepar terasa tetapi biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia
sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis
utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan
peningkatan kadar hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis
demam dengue dan DBD.
Tabel . Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase


kritis dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang
ditandai dengan frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi
menyempit (<20 mmHg), hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

Gambar 8 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam

pelayanan klinis. Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus


dengue meliputi deteksi adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi,
atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi
di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang berirkulasi, serta pada jaringan
lain, selama 4 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit, isolasi virus, asam
nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir
fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk diagnosis.
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun
pejamu. Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi
sebelumnya dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh
pasien akan mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan

lambat dari antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang
muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80%
pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kirakira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi
pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu
pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum
beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup.
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah
terinfeksi sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau
infeksi flavivirus non-dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi
secara luas terhadap berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang
dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut,
dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada tahap penyembuhan
dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan mungkin
tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder
dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji
hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).

Gambar - Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang
digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan


teknologi kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat
kurang senstif mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam
nukleat lebih rumit dan mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi
menggunakan metode serologi.
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya
adalah tidak spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat
dipercaya. Sebelum hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat
didiagnosis oleh isolasi virus pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic
acid amplification test (NAAT), atau oleh deteksi antigen virus menggunakan
ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan kultur sel membutuhkan infrastruktur
lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat mendeteksi RNA virus dalam
24 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang mahal,
prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi
antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan
yang terbatas dan mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi
antigen dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil
kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang
dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya. Tabel berikut ini
memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi dengue.

Tabel - Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan
dengan munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada
beberapa pasien selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue
lebih banyak tersedia di negara-negara endemis, daripada uji virologi.
Transportasi spesimen bukanlah masalah karena imunoglobulin stabil pada suhu
tropis.
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi
virus atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan
membandingkan sampel yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang
dikumpul saat berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang
rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi atau sama sekali tidak ada pada
beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM ELISA. Peningkatan
empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA atau dari

uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum


saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk
diagnosis dan penatalaksanaan.
Tabel Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi


infeksi, selaa periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di
serum, plasma, dan sel-sel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru,
kelenjar getah bening, timus, dan sumsum tulang). Karena dengue
merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus dengan referigerator atau

di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai untuk
mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat.

RNAbersifat

heat-labile,

maka

untuk

penyimpanannya harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptasepolymerase Chain Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80
100%. Positif palsu dapat terjadi jika kontaminasi saat proses
amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum
fase akut jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah
memiliki antibodi IgG-virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA
dan dot blot assays yang fokus pada antigen bagian membran atau envelop
(E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa
konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan kompleks
imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder
dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1
dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1
menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian yang
telah fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus
dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked
immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh
antibodi spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen
spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang
terperangkap tadi.

Kemudian,

terdeteksi

oleh

antibodi

dengue

monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang


akan mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang
diukur melalui spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan
sampel yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun hanya jika
digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah onset demam.
Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya lebih

baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum
pada pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau
plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi
primer atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat
menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur
lewat uji HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk
menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan
sel darah merah golongan 0

Gambar Uji Hemaagutinasi-inhibisi

untuk menghilangkan aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI


membutuhkan serum yang diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah
sakit (sudah sembuh), atau dengan serum yang berbeda selama lebih atau
sama dengan tujuh hari. Respon terhadap infeksi primer ditandai oleh
kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum hari-5) dan
peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi
dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1

: 1280. Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum
pada masa penyembuhan dari pasien dengan respon primer.
5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur
selama fase akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah
dibawah 100.000 per uL per hari dapat dijumpai pada demam dengue,
namun hal ini merupakan tanda yang tetap pada demam berdarah dengue
(DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada periode antara hari-3 dan
8 menjelang onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20%
yang dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda
hipovolemia karena peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran
plasma.
VIII. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum
infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD
adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi.
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda
laboratoris,

yaitu

trombositopenia

dan

hemokonsentrasi

(kedua

hasil

laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan


serologi. Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:
Kriteria Klinis
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2 7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi
cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi.
Kriteria laboratoris
trombositopenia (100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit >20%).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:

- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji torniket positif atau mudah memar


- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan.

Perdarahan dapat terjadi di kulit atau pada tempat lain.


- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat

tapi lemah, tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal,
kulit lembab, dan gelisah
- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

DD/DBD

Derajat*

DD

Gejala

Laboratorium

Demam disertai 2 atau


lebih tanda: sakit kepala,
Nyeri
retro-orbital,
Mialgia, Atralgia.

Leukopenia
Trombositopenia,
tidak
ditemukan bukti kebocoran
plasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.

DBD

Gejala di atas ditambah uji


bendung positif.

DBD

II

Gejala di atas ditambah


perdarahan spontan.

DBD

III

Gejala di atas ditambah


kegagalan sirkulasi (kulit
dingin dan lembab serta
gelisah).

DBD

IV

Syok berat disertai dengan


tekanan darah dan nadi
tidak terukur.

Trombositopenia
(<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.

IX. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.

Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak
lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan
para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan Tirah baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.


Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh

karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.


Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.


Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda

penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap


komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak

mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).
Tabel Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat
pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus
adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena

diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung
dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46%

1-2

ml/kgBB

intravena

bolus

perlahan-lahan. Apabila

terdapat

hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan
harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel lKebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
danberat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah
1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh
karena perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat

pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan
kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar
hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma
terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki
fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam
intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan
edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila
dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir
sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang)
atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis
Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL)


Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh


larutan yang mengandung dekstran)
Koloid.

Dkstran 40
Plasma
Albumin

Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak akan cepat mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48
jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg

segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan
ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30
menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal
danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri
cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop
pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap
sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang
sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat,
saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg
BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma
ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.

Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia dan asidosis
metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar
elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi,
akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah
apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan
pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan
yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin,
dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk

mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis


tersebut juga menentukan prognosis.
Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan
pada monitoring adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30

menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.


Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan

klinis pasien stabil.


setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang

diberikan sudah mencukupi.


Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis,
kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik,
maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
Ruang Rawat Khusus Untuk DBD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di
ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk
mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau

asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik

TATALAKSANA ENSEFALOPATI DENGUE


Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan alkalosis, maka bila
syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera
ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi
udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3
hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan
diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian
oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan
dapat diberikan asam amino rantai pendek.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat
dibagi dalam 3 bagan yaitu

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan

DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)


Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan

peningkatan kadar hematokrit (Bagan 4)


Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV
(Bagan 5)

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue
Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,
penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health.
KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329- 333
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I,
Kurniati N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI.
Jakarta 5-6 September 2004.h. 633. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press
1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody
dependent enhancement, a brief history and personal memoir . Rev
Cubana Med Trop 2002; 54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan
pada Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII.
Surabaya 12-13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia.
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever :
Comprehensive Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue:
Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 3031 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135

12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,


Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber
Waras. Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/
modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada
tanggal 27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit
DBD. Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002

Anda mungkin juga menyukai