Pit Dan Fisssure Sealent Makalah Bab 1 42
Pit Dan Fisssure Sealent Makalah Bab 1 42
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu kedokteran gigi anak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu
metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan
pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum,
topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak
bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden
karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena
bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi pada karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura
merupakan daerah cekungan yang terlindung (Gambar 7). Kondisi ini mendukung
terjadinya proses karies. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk
mencegah karies. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu cara
preventif yang ditujukan khusus untuk mencegah karies pada daerah ini melalui
teknik fissure sealant (R.J Andlaw, 1992: 58).
Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi
yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk
pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan
tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan
alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan
penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri
sisa makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12).
Tujuan utama diberikannya sealant adalah agar terjadinya penetrasi bahan
ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari
bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal
mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut
rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan
(Donna Lesser, 2001).
Dua bahan sealant yang sering digunakan adalah sealant berbasis resin dan
sealant semen ionomer kaca (SIK). Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan
polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi. Sedangkan sealant SIK
yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi (Sari Kervanto, 2009: 20).
Sealant berbasis resin bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki
kemampuan penetrasi yang lebih bagus. Hal ini karena adanya proses etsa pada
enamel gigi yang menghasilkan kontak yang lebih baik antara bahan resin dengan
permukaan enamel (Mahadevan Ganesh, 2007).
Etsa menghilangkan mineral enamel gigi dan menghasilkan resin tag dan
secara klinis nampak lebih putih dan pudar. Bahan sealant yang diberikan pada
area yang dietsa akan berpenetrasi ke dalam resin tag. Hal ini dapat meningkatkan
retensi mekanis bahan sealant dengan permukaan enamel gigi (Carline Paarmann,
1991:13).
Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir
sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih
mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi
(Subramaniam, 2008).
Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca
melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium,
strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan
karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
perbandingan fissure sealant berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca
sebagai bahan penutup pit dan fisura pada permukaan gigi posterior.
1.2 Masalah
Bagaimanakah perbandingan kemampuan retensi sealant berbasis resin
dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan fisura?
1.3 Tujuan
Memberikan informasi tentang perbandingan kemampuan retensi sealant
berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan
fisura.
1.4 Manfaat
Seorang dokter gigi mampu menentukan pilihan aplikasi bahan sealant
baik berbasis resin maupun berbasis semen ionomer kaca sesuai indikasinya
sebagai bahan penutup pit dan fisura.
pori-porinya. Baik bercak putih maupun bercak coklat bisa bertahan tahunan
lamanya (Edwina A.M. Kidd, 1992:19).
Istilah karies fisura menggambarkan adanya karies pada pit dan fisura.
Karies berawal dari dinding-dinding fisura. Karies ini membesar ukurannya dan
menyatu pada dasar fisura. Karies enamel akan melebar kearah dentin dibawahnya
sesuai dengan arah prisma enamelnya. Arah perkembangan karies ke lateral
sehingga terbentuk karies yang menggaung (Edwina A.M. Kidd, 1992:25).
Awal pembentukan karies dimulai dari fisura, yaitu bagian terdalam dan
bagian paling dasar dari permukaan gigi. Kemudian karies berlanjut ke arah
lateral dinding fisura dan lereng cusp (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994:
454).
Enamel pada dasar fisura merupakan daerah yang terkena karies paling
awal, karies akan menyebar sepanjang enamel, kemudian karies berlanjut hingga
dentinoenamel junction. Bila dentin terkena karies, maka perkembangan karies
menjadi lebih cepat dibandingkan saat enamel terkena lesi. Pada kavitas fisura
terjadi kehilangan mineral dan struktur pendukung dari enamel dan dentin,
sehingga secara klinis nampak karies (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994:
455).
Karies secara histologi dibagi dalam zona-zona berdasarkan pemeriksaan
dengan mikroskop cahaya,
Zone 1: Zona Translusen
Zona ini tidak terlihat disemua lesi, tetapi jika ada akan terletak pada
bagian depan dan merupakan daerah perubahan awal dari gambaran normal. Zona
ini tampak tidak berstruktur, translusen berbatasan dengan zona gelap di daerah
permukaan dan enamel normal di bawahnya. Dibandingkan dengan enamel
normal, zone ini lebih porus dikarenakan proses demineralisasi.
Zona 2: Zona Gelap
Zona gelap merupakan daerah kedua dari perubahan email normal berada
tepat di atas zona translusen. Zona gelap lebih porus daripada zona translusen.
Pada zona gelap ini terdapat pori-pori kecil. Pori-pori ini merupakan daerah
penyembuhan temapat mineral telah didepositkan kembali.
tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu;
umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13
tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat
diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada
gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan
radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).
2.4 Etsa Asam
Sejak tahun 1950-an sejumlah laboratorium dan klinik mempelajari tipe
asam, konsentrasi asam, dan lama pengetsaan yang bisa memberikan perlekatan
optimal bahan bonding dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Asam fosfor dengan konsentrasi 35-40% dengan aplikasi selama 15-20 detik
untuk gigi permanen dan gigi sulung telah memberikan perlekatan yang bagus,
dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Etsa asam pada permukaan enamel menghasilkan sejumlah porositas.
Dengan adanya porositas ini, maka bahan sealant masuk ke dalam porositas yang
telah dibuat. Dengan demikian terjadi retensi mekanis antara enamel yang dietsa
dengan bahan sealant (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 470).
Aplikasi asam fosfor selama satu menit menghilangkan kira-kira 10
milimikron email permukaan dan etsa permukaan dibawahnya sampai kedalaman
20 milimikron. Etsa menghasilkan kedalaman 20 milimikron. Etsa menghasilkan
lapisan porus sehingga resin dapat mengalir masuk; porositas ini memberikan
permukaan retensi mekanis yang sangat baik (R.J Andlaw, 1992: 58).
Menurut Carline Paarmann (1991), pemberian etsa asam fosfor selama
satu menit dapat menghilangkan mineral permukaan gigi dengan kedalaman 15-25
milimikron. Dan secara klinis warna nampak pudar, putih seperti kapur atau
seperti warna es. Hasil etsa berupa resin tag yang berperan penting dalam retensi
dan keberhasilan aplikasi sealant.
Tahapan penting dalam aplikasi sealant adalah pada saat pengetsaan
dilakukan. Bila saliva dibiarkan kontak dengan bahan etsa, maka proses etsa akan
terhambat. Karena adanya kontak dengan saliva, proses remineralisasi gigi segera
terjadi. Bila kontak saliva terjadi, maka etsa ulang dilakukan selama 20-30 detik.
Bahan etsa yang digunakan adalah asam fosfor dengan konsentrasi 35-37% dan
dilakukan aplikasi selama 30-60 detik.
Dentin
kondisioner
merupakan
bahan
yang
digunakan
untuk
Sealant diaplikasikan pada pit dan fisura guna menutup dan melindungi
dari karies. Bahan sealant dibedakan menurut bahan dasar yang digunakan,
metode polimerisasi, dan ada tidaknya kandungan fluoride. Meskipun kebanyakan
sealant di pasaran, bahan sealant berbahan dasar dan memiliki komposisi kimia
sama, namun hal ini penting guna mengetahui keefektifan dan kemampuan retensi
masing-masing bahan tersebut.
Kemampuan sealant untuk melepaskan fluoride, pada permukaan pit dan
fisura akan memberikan keuntungan tersendiri pada bahan sealant semen ionomer.
Semen ionomer disarankan sebagai bahan ideal untuk menutup pit dan fisura
karena memiliki kemampuan melepas fluoride dan melekat pada enamel
(Subramaniam, 2008).
2.6 Bahan Sealant Berbasis Resin
a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA), suatu
resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari
metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan ganda adalah lebih rendah
dalam
monomer
bis-GMA,
suatu
faktor
yang
mengurangi
pengerutan
10
11
dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk, bahan penghambat akan
bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat perpanjangan rantai dengan
mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk mengawali proses polimerisasi.
Bahan penghambat yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluene
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan
resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik.
Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat
radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada
gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses
polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering menyebabkan
kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses polimerisasi dapat
menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus bagus karena kekasaran
pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat menempelnya plak (Kenneth J
Anusavice, 2004: 247).
f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
a. Digunakan pada geligi permanen
b. Kekuatan kunyah besar
c. Insidensi karies relatif rendah
d. Gigi sudah erupsi sempurna
e. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
f. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu
lebih lama.
2.7 Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah
pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah
12
sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang
365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru)
dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self
curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil
peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin
bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan
polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator
yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe
monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe
monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA
dilarutkan dengan monomer metal metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil
berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan
diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum
diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana
(Norman O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu
kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan
begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu
sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).
2.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan
activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua
komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang
gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan
amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.
13
14
15
16
17
2.10 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
2.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a.
b.
c.
d.
e.
Air bersih
b.
c.
b.
c.
d.
2.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi
pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan
semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan
perlekatan yang bagus (Gambar 3).
2.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
18
b.
2.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
2.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan
(Gambar 5).
2.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a.
b.
19
III. PEMBAHASAN
Sealant pada gigi telah terbukti memiliki keefektifan tinggi dalam
pencegahan karies oleh bahan sealant didasarkan penutupan pit dan fisura
sehingga mikroflora dalam pit dan fisura tdak dapat menjangkau nutrisi yang
dibutuhkan. Retensi adekuat sealant diperlukan untuk menutupi permukaan gigi
terutama pada area yang dalam, pit dan fisura yang tidak teratur, dan aplikasinya
dilakukan pada daerah yang bersih dan kering saat prosedur dilakukan.
Kebanyakan sealant yang tersedia di pasaran adalah berbasis resin.
Pemberian sealant berbasis resin memerlukan teknik khusus dan dipengaruhi
banyak faktor. Seperti kekooperatifan pasien, ketrampilan operator dan
kontaminasi area tindakan. Perlunya etsa pada prosedur sealant resin membuat
sulit dilakukannya etsa pada molar yang erupsinya sebagian (Subramaniam,
2008).
Menurut cara lama, etsa pada gigi sulung dilakukan selama 1 menit dan
1,5 menit pada gigi permanent. Pada studi klinis lain, diperoleh hasil bahwa lama
etsa dengan bahan etsa yang serupa selama 20 detik memiliki kemampuan yang
sama dengan etsa selam 1 dan 1,5 menit. selama 10 detik pada permukaan yang
dietsa. Pastikan aliran air benar-benar mengenai bahan etsa dan tidak teserap dulu
oleh cotton roll. Setelah dilakukan aliran air, dilakukan pengeringan dengan
semprot udara untuk menghilangkan air (Norman O. Harris, 1999: 247).
Menghindari kontaminasi saliva selama prosedur sealant sangat penting,
proteksi saliva saat melakukan etsa merupakan kunci sukses dalam perawatan.
Pada umumnya, isolasi dapat dilakukan melalui dua metode yaitu melalui
penggunaan rubber dam dan isolasi dengan cotton roll (M John Hick dalam J.R
Pinkham, 1994: 474).
Bentukan hasil etsa menghasilkan
struktur yang
memungkinkan
20
21
ionomer kaca sebagai fissure sealant sering tidak berhasil diletakkan pada fisura
yang tidak dalam. Bagaimanapun aplikasinya, dengan segera akan hilang oleh
abrasi atau erosi.
Efek pencegahan karies dari sealant semen ionomer kaca tergantung pada
retensi dan kemampuan melepaskan fluoridenya. Fluoride yang dilepaskan
mencegah perkembangan karies setelah bahan sealant nampak menghilang. Secara
mikroskopis, kemampuan ion fluoride yang menyebar pada enamel memberikan
daya tahan terhadap proses demineralisasi (Subramaniam, 2008).
22
b.
c.
4.2 Saran
a.
a.
23
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, RJ and Rock. 1992. Perawatan Gigi Anak. Alih bahasa: Agus Djaya dari
A Manual of Pedodontics. Jakarta: EGC
Anusavice, Kenneth J. 1994. Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Baum, Lloyd. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Alih bahasa oleh Prof. Dr.
drg Rasinta Tarigan. Jakarta: EGC
Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Diterjemahkan drg. Slamet Tarigan, MS,
PhD. Jakarta: Balai Pustaka
Craig, Robert G. 1979. Dental Materials. London: Mosby Company
Departement of Health North Sidney. 2008. Pit and Fissure Sealants: Use of in
Oral Health Service NSW. Diakses dari
http://www.health.nsw.gov.au/policies/pd/2008/pdf/PD2008_028.pdf
pada 8 Juni 2009
Ganesh, Mahadevan MDS, et al. 2007. Comparative Evaluation of The Marginal
Sealing Ability of Fuji VII and Concise as Pit and Fissure Sealants. The
Journal
Contemporary
Dental
Practice,
diakses
dari
http://www.thejcdp.com/issue033/ganesh/ganesh.pdf pada 8 Juni 2009.
Harris, O Norman. 1999. Primary Preventive Dentistry Fifth Edition. USA:
Appleton & Lange
Kervanto, Sari. 2009. Arresting Occlusal Enamel Caries Lesions with Pit and
Fisura Sealants. Academic Dissertation Faculty of Medicine, University of
Helsinki. Diakses dari
https://oa.doria.fi/bitstream/handle/10024/43707/arrestin.pdf?sequence=1
pada 8 Juni 2009
Kidd, Edwina A. M dan Bechal, Sally Joyston.1992. Dasar-Dasar Karies
Penyakit dan Penanggulangannya. Terjemahan Narlan Sumawinata dan
Safrida Faruk dari Essential of Dental Caries (1992). Jakarta: EGC
Lesser, Donna, RDH, BS. 2001. An Overview of Dental Sealants. Diakses dari
http://www.adha.org/downloads/sup_sealant.pdf pada 8 Juni 2009
Lucas, J, Dr . 2008. Fuji VII Pink or White. Diakses dari
http://www.gcasia.info/australia/brochures/pdfs/7704_FUJI%20VII_NEW
%20FORMAT.pdf pada 8 Juni 2009
Nunn, J.H. 2000. British Society of Paediatric Dentistry: A Policy Document on
Fissure Sealants in Paediatric Dentistry. International Journal of Paediatric
Dentistry diakses dari http://www.bspd.co.uk/publication-19.pdf pada 8 Juni
2009
Paarmann, Carline, RDH, MEd. 1991. Application of Pit and Fissure Sealants.
Diakses dari
http://www.pte.idaho.gov/Forms_Publications/Health/Curriculum/DentalAp
plicationOfPitAndFissureSealants.pdf pada 6 juni 2009.
Pinkham, J.R. 1994. Pediatryc Dentistry, Infancy Trough Adolescence second
edition. Philadelphia: W.B Saunders Co
24
Subramaniam P. 2008. Retention of Resin Based Sealant and Glass Ionomer used
as a Fissure Sealant: a Comparative Study. Jurnal Indian Soc. Pedodontics
Prevent Departemen diakses dari
http://www.jisppd.com/temp/JIndianSocPedodPrevDent2631143280171_090641.pdf pada 8 Juni 2009
Walsh, Laurence J, Prof. 2006. Pit and Fissure Sealant: Current Evidence and
Concepts. Dental Practice Journal. Diakses dari
https://espace.library.uq.edu.au/eserv/UQ:13804/Sealants_2006.pdf pada
8 Juni 2009
Wheeler, Russel C, DDS, FACD. 1974. Dental Anatomy, Physiology and
Occlusion. Philadelphia : W.B Saunders Company
25
dilakukan
penyikatan
guna
26
10.
Aplikasi
sinar
tampak
untuk
berbasis
polimerisasi.
27
resin
sewarna
gigi
setelah