Uraian Kasus
Makalah ini akan membahas dua kasus yang mencakup tema efektivitas hukuman
mati yaitu kasus hukuman mati terhadap teroris dan gembong narkotika. Selain itu, akan
dilihat juga alasan apa yang mendasari hukuman mati masih tetap diberlakukan dalam
sistem perundang-undangan Republik Indonesia.
• Amrozi dijatuhi hukuman mati atas kasus pemboman di Bali
Pengadilan Indonesia di Bali telah mevonis bersalah seorang muslim
militan yang mengambil bagian dalam pengeboman klab malam di pulau
wisata itu dan menjatuhinya hukuman mati. Amrozi dinyatakan bersalah
membantu, mengorganisasi dan melaksanakan peledakan itu yang
menewaskan 202 orang, sebagian besar turis asing, tanggal 12 Oktober
2002. Amrozi telah menyatakan dia puas asta kematian banyak turis Barat
dalam apa yang ia sebut “sarang malaikat”. Dalam sidang dia mengaku
melakukan pengeboman tetapi tidak mengaku menjadi anggota Jemaah
Islamiyah yang dituduh berada di belakang pengeboman tersebut.
• Ayodya Prasad Chaubey telah dijatuhi hukuman mati karena terbukti
melakukan penyelundupan heroin ke Indonesia
Pelaksnaan eksekusi mati terhadap pria India berusia 67 tahun ini, sempat
menjadi perdebatan antara pemerintah India dan Kejaksaan Agung RI.
Pemerintah India berargumen bahwa menurut Undang-undang India, ada
batas usia tertentu untuk seseorang yang akan dieksekusi mati.
Tindakan yang dilakukan oleh Ayodya Prasad Chaubey sangat merugikan
dan membahayakan banyak orang. Tindakan tersebut telah melanggar
hukum yang berlaku di Indonesia. Para penyelundup, pemasok maupun
penjual narkoba merupakan pelaku-pelaku kriminal kelas berat. Tindakan
penyelundupan seperti ini menjadikan ribuan bahkan jutaan orang
Indonesia menjadi korban efek negatif dari narkoba.
Analisa
KUHP Indonesia dalam sejarahnya berasal dari Code Penal Perancis dan Wetboek
Van Strafrecht Belanda yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Dalam Code Penal dan Wetboek Van Strafrecht, masing-masing mencantumkan ancaman
hukuman mati untuk kasus-kasus menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala
negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Walaupun, banyak pihak yang
mempertanyakan kesesuaian isi dari KUHP dengan budaya hukum Indonesia, akan tetapi
pada kenyataannya, sampai saat ini hukuman mati masih tetap dipertahankan.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua
macam ancaman hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman
pokok terdiri dari: hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurangan dan hukuman
denda; sedangkan hukuman tambahan terdiri dari: pencabutan hak tertentu, perampasan
barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Pro-kontra hukuman mati terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi
salah satu sebab hukuman mati tidak lagi termasuk sebagai hukuman pokok dalam sistem
hukum Indonesia. Menurut Mardjono Reksodiputro, salah seorang anggota tim perumus
RUU KUHP, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya.
Hukuman mati harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif,
dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan secara bulat oleh majelis
hakim.
Menurut catatan berbagai lembaga HAM Internasional, jumlah terpidana yang
dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo,
Arab Saudi dan Iran. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan secara global,
kecenderungan untuk menghapuskan hukuman mati lebih besar daripada
mempertahankan hukuman tersebut. Total jumlah negara yang sudah menghapuskan
hukuman mati mencapai 129, sedangkan negara yang mempertahankannya hanya 68
negara. Dari 129 negara yang sudah menghapus, 88 negara menghapuskan hukuman itu
untuk semua jenis kejahatan, sedangkan 11 negara menghapuskan hukuman mati hanya
untuk kejahatan biasa, sementara 30 negara lainnya melakukan moratorium pelaksanaan
hukuman mati
Kelompok yang tidak setuju hukuman mati berpendapat bahwa hak hidup adalah
hal dasar yang melekat pada diri setiap manusia yang sifatnya kodrati dan universal
sebagai karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggu-gugat
oleh siapapun. Hal itu tercantum dalam TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan
pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi Manusia dan juga terangkat dalam
Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Menurut kelompok ini, tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan
berkurangnya tingkat kejahatan. Kelompok ini juga mengemukakan bahwa penolakan
grasi sebenarnya sudah merupakan “hukuman tambahan” bagi terpidana mati maupun
mereka yang masih dalam proses hukum, berupa: gangguan kejiwaan, stress, kekecewaan
karena telah sekian lama mendekam di penjara tetapi juga tetap menjalani hukuman mati,
histeris sebelum hukuman mati dilaksanakan dan beban psikologis berat bagi
keluarganya.
Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok yang setuju mengaitkannya
dengan tiga tujuan hukum, yaitu:
• Keadilan
Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan
tindak kejahatan yang dilakukannya
• Kepastian hukum
Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan
diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa
yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang
dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu
• Manfaat
Dari aspek manfaat, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang
lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat
memelihara wibawa pemerintah
Berkaitan dengan hak asasi manusia, kelompok ini mengemukakan bahwa hak
asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak
melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak. Hak seseorang dibatasi oleh
kewajiban menghargai dan menghormati hak orang lain. Apabila seseorang telah dengan
sengaja menghilangkan hak hidup orang lain, maka hak hidup dia bukan sesuatu yang
perlu dipertanyakan dan dibela.
Frans Hendra Winarta (2006) menjelaskan, Indonesia saat ini masih menerapkan
hukuman mati terhadap para pengedar narkoba dan tindak pidana terorisme. Kedua
kejahatan itu dianggap membahayakan masyarakat dan negara. Para pembuat hukum di
parlemen yang mewakili masyarakat mengklasifikasikan kejahatan-kejahatan itu sebagai
ancaman terhadap kehidupan di Indoensia.
Menurut estimasi Badan Dunia bidang Narkoba (UNODC) pada World Drug
Report (2006), angka prevalensi setahun terakhir penyalahgunaan narkoba di dunia
sebesar 5% dari populasi dunia (kurang lebih 200 juta jiwa). Menurut survei BNN dan
Puslitkes UI (2004), diketahui angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia
sebesar 1,5% dari total populasi (kurang lebih 3,2 juta jiawa)
Paul Bohannan mengemukakan teori Re-institutionalization of Norm. Teori ini
berpendapat bahwa hukum yang berlaku di suatu negara diambil dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakatnya, kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan diberlakukan
kepada masyarakat. Hampir semua etnis di Indonesia mengenal hukuman mati, maka
didalam berbagai ketentuan hukum dan perundang-undangan di Indonesia, tercantum
hukuman mati. Penetapan semua UU itu, telah melalui pembahasan di DPR-RI, maka
apabila hukuman mati tidak disetujui lagi, rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan
para ahli apalagi pihak lain.
Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati
adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu
yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal
untuk meniadakan orang-orang yang tak terperbaiki lagi dan dengan adanya pidana mati
ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang
sedemikian besar biayanya.
Pakar hukum pidana Indonesia, Achmad Ali melihat hasil amandemen UUD 1945
sama sekali tidak melarang hukuman mati, sebaliknya hukuman mati sangat dibutuhkan
khususnya di Indonesia tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik
artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius mencakup korupsi,
pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana.
Selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar
telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan bahwa memang dialah sebagai
pelakunya.
Kasus Amrozi merupakan salah satu kasus dari sekian banyak kasus terorisme
yang mengambil motif bom bunuh diri. Dengan maraknya gejala terorosme dalam bentuk
pemboman bunuh diri tersebut, konsep penggentarjeraan harus dievaluasi kembali. Dari
kasus-kasus bom bunuh diri seperti yang terjadi di Bali menunjukkan bahwa bagi pelaku
mati pun ia bersedia, sehingga ancaman hukuman yang paling keras yang dapat
dipikirkan oleh manusia tidak akan mengurungkan niat pelaku bom bunuh diri. Dalam
keadaan seperti itu, tindakan tersebut dapat dikaitkan sebagai penyerahan diri penuh
secara emosional terhadap kepercayaan yang diyakininya benar, yang oleh Weber (1978)
disebut sebagai bentuk rasionalitas nilai. Sementara itu Durkheim dalam penelitiannya
tentang bunuh diri, menemukan salah satu bentuk bunuh diri adalah bersifat altruistik
yaitu tindakan bunuh diri yang dilakukan sebagai bentuk pengorbanan diri untuk
kepentingan atau keyakinan yang lebih tinggi daripada kepentingan individu. Jika hal ini
benar, berarti dimana letak efektivitas hukuman mati?
Sebagai perbandingan, hukuman mati di Amerika pada awal tahun 1970an
sesungguhnya dilarang. Beberapa tren menunjukkan berkurangnya dukungan pada
hukuman mati di Amerika. Jumlah vonis hukuman mati turun lebih dari 50 persen dan
eksekusi turun 40 persen sejak tahun 1999. Pro death penalty activist Peggy Harris pada
tahun 1994 mengatakan bahwa 80 persen warga Amerika mendukung hukuman mati.
Namun, pada tahun 2004, jumlahnya turun menjadi 67 persen. Jika responden diberi opsi
vonis hukuman penjara seumur hidup, maka dukungan untuk hukuman mati hanya 50
persen. Salah satu alasan yang mungkin mempengaruhi pendapat warga Amerika
mengenai hukuman mati adalah: sejak digunakannya DNA 25 tahun yang lalu, 117
narapidana yang divonis mati telah dibebaskan karena bukti DNA menunjukkan bahwa
mereka tidak bersalah.
Argumen lama bahwa hukuman mati menjadi penangkal, yang membuat orang
berpikir dua kali sebelum membunuh orang lain, dipertanyakan dengan serius. Angket
Gallup menunjukkan bahwa 60 persen warga Amerika tidak berpendapat bahwa
hukuman mati dapat menjadi penangkal. 85 persen dari semua hukuman mati di Amerika
dilaksanakan di negara-negara bagian di Selatan. Namun, tingkat pembunuhan di negara-
negara bagian itu paling tinggi di Amerika. Jadi bisa diartikan bahwa hukuman mati di
Amerika tidak terbukti efektif dalam menekan angka kejahatan.
Kesimpulan
Sosiologi selalu melihat sesuatu tampil secara alami, tanpa intervensi pendapat.
Cara seperti ini lazim disebut sebagai empirik. Sumbangan yang diberikan oleh sosiologi
adalah dengan memberikan penjelasan terhadap subyek yang diamati. Demikian pula
pada waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Sosiologi ingin melihat dulu
bagaimana pidana mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebab-sebabnya, sehingga
diperoleh pemahaman sebaik-baiknya.
Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati sebagai salah satu
bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya. Oleh sebab itu maka hukuman mati
merupakan satu bentuk hukuman yang secara perundang-undangan masih sah dilakukan
di negeri ini.
Apabila menggunakan sosiologi, maka akan tergoda untuk mempertanyakan
kemungkinan-kemungkinan adanya kematian yang tidak hanya fisik, melainkan juga
sosial. Seseorang dapat disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami
kematian sosial. Hal itu terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian
rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktivitas sosial dirampasi habis. Dalam
kasus di atas, Amrozi sepertinya sesuai dengan deskprisi tersebut.
Apakah penjatuhan hukuman mati melalui peradilan menjamin kebersihan dalam
menjatuhkan pidana itu? Jawaban dari sosiologi adalah, tidak juga. Jika dikatakan bahwa
melalui perundang-undangan segalanya sudah diselesaikan dan dikendalikan, maka itu
adalah baru sebagian dari potret sesungguhnya. Potret penerapan perundang-undangan di
masyarakat tidak hitam-putih, melainkan berwarna-warni, tergantung dari politik
penegakan hukum dan ideologi di belakangnya. Tidak hanya itu, melainkan juga
ditentukan oleh sosiologi penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Statistik pidana mati di Amerika Serikat memberi tahu bahwa penggunaan pidana
mati itu tidak berjalan secara linier dan matematis, melainkan penuh dengan intervensi
ideologis. Penelitian hukum Donald Black (1989) ingin mengatakan bahwa penegakan
hukum di Amerika Serikat didasari oleh ideologi keunggulan ras kulit putih. Sebagai
contoh, apabila terjadi pembunuhan oleh warga kulit putih terhadap kulit hitam, maka
resiko dijatuhkannya pidana mati mendekati nol.
Sosiologi hukum bukan suatu ilmu yang menghukumi sesuatu. Berdasarkan hal-
hal yang dapat diamati, sosiologi hukum berusaha untuk mencari dan membuat
penjelasannya. Dengan situasi yang demikian itu, maka sosiologi hukum menyediakan
bahan bagi pembuat hukum pada waktu akan memutuskan tentang pidana mati tersebut.
Para pengambil keputusan boleh mengambilnya atau tidak sebagai bahan untuk
menentukan apakah yang akan dilakukan oleh hukum Indonesia mengenai pidana mati.
Sebagai saran, ada baiknya melihat alternatif pemidanaan di masa depan dalam
penanggulangan kejahatan seperti terorisme dan narkoba misalnya pidana ganti rugi.
Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari
kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi,
dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi
harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan
kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
(Durkheim, 1971:6)
Sanksi ganti kerugian merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang
yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun
barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak
pernah terjadi. Saat ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum
perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum pidana. Perkembangan ini terjadi karena
semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.
Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang tengah
mempersiapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (baru) untuk menggantikan KUHP
yang diambil oper dari wetboek van strafrecht Belanda, sudah sepantasnya
mempertimbangkan keberadaan sanksi ganti kerugian dalam hukum pidana mendatang.
Apalagi jika terbukti bahwa hukuman mati sudah tidak efektif lagi untuk menekan angka
kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA