Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

RHINITIS ATROFI

PEMBIMBING :
DR. A. M. SEBAYANG, Sp.THT

DISUSUN OLEH :
ARLYN DIAN YUNI (06-049)
NELLA CHRISTIA EZRAWATI (06-050)
KEPANITERAAN KLINIK I.P.THT
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2010
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
berkat rahmat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
Rhinitis Atrofi pada waktu yang telah ditentukan.
Penulis sebagai mahasiswa kepaniteraan bagian THT FK-UKI telah diberi
kesempatan oleh Dr. Amir M. Sebayang, Sp.THT untuk membuat sebuah referat
dimana pembahasan yang ditulis adalah mengenai etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
pemeriksaan, penatalaksanaan, komplikasi, hingga prognosis dari penyakit ini.
Selama menyusun referat ini, penulis mendapat banyak bimbingan, arahan,
kontribusi serta motivasi untuk menyelesaikan tugas ini. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Amir M. Sebayang, Sp.THT sebagai pembimbing dalam penulisan
referat ini.
2. Seluruh staf pengajar THT yang telah memberikan banyak ilmu sehingga
referat ini dapat diselesaikan.
3. Rekan-rekan angkatan 2006 yang telah membantu dan mendukung
tersusunnya referat ini.
Dalam penyusunan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan dan penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca, dan
memberikan jendela pengetahuan baru bagi semuanya. Atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.
Jakarta, April 2010
Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN.
SARAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA.

PENDAHULUAN
Rhinitis atrofi atau ozaena adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Salah satu gejala yang
timbul adalah mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang di sekitar
penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri
tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada
usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah, di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Ozaena
lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak

perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam


dalam insidens ozaena.
Etiologi dan patogenesisnya hingga saat ini masih belum dapat diterangkan
dengan pasti. Oleh karena itu pengobatannya pun dilakukan untuk mengatasi
etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat
konservatif, atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.
Maksud dan tujuan pembuatan referat rhinitis atrofi ini supaya dokter dapat
melakukan deteksi dini dari penyakit yang mengenai mukosa hidung ini. Selain
itu penulis juga berharap referat ini dapat memberikan wawasan ilmu
pengetahuan baru bagi para pembacanya.

TINJAUAN PUSTAKA
Secara anatomis, dari luar hidung berbentuk piramida dengan puncak
hidung sebagai apeks. Sepertiga bagian kerangka hidung terdiri dari tulang dan
duapertiga bagian terdiri dari tulang rawan. Di bagian dalam, hidung dibagi
menjadi dua rongga (kavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya terdiri dari lamina
perpendikularis ethmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Maksila, palatum, dan premaksila merupakan dasar dari pyramid
hidung. Atapnya terdiri dari tulang hidung, lamina kribriformis tulang ethmoid
dan tulang sphenoid.
Pada dinding bagian lateral rongga hidung terdapat empat buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan

yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terbagi tiga sesuai letaknya yaitu meatus inferior, media, dan
superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.ethmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.opthalmica dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya

ialah ujung a.palatina mayor

dan

a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina


dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.ethmoidalis anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor
yang disebut Pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.

Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat


penghidu dan rongga-suara untuk berbicara. Fungsi pernapasan adalah mengatur
kondisi udara yang dihirup dan mengatur tahanan pernapasan. Fungsi mengatur
kondisi udara meliputi pemanasan, kelembaban dan pembersihan. Selain itu,
hidung sebagai alat penghidu merupakan perlindungan terhadap pengaruh yang
merusak dan berbahaya (misalnya, mencium bau pembakaran) dan untuk
hubungan dengan lingkungan. Pada waktu berbicara, hidung juga berperan
sebagai rongga-suara, yaitu rongga-resonansi, apabila nasofaring tidak tertutup
dan sebagian dikeluarkan melalui hidung. Dengan resonansi ini, dapat dihasilkan
suara hidung (m,n,ng).
Hidung merupakan alat reflex yang penting dan kebanyakan terlibat dalam
pengaturan dalamnya pernapasan, lama bernapas dan tahanan hidung. Hidung
juga mempunyai fungsi estetis dan emotif. Bentuk hidung yang menyimpang
sering merupakan beban psikis dan social.
Pada hidung juga banyak ditemukan beberapa kelainan. Seperti infeksi
ataupun peradangan pada hidung bagian dalam yang akan dibahas kemudian.
Salah satu contohnya adalah rhinitis atrofi.
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel
torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,
lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau
atrofi.
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5
pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4
penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies, frekwensi penderita rhinitis atrofi

wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan
hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk
berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Di RS H.
Adam Malik bagian THT melaporkan dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 1037 tahun.
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat social
ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaenae.

FREKUENSIOZAENAEBERDASARKANUMURDAN
JENISKELAMIN
R.S.DR.KARIADISEMARANG, 19751976
Jumlah kasus
1975

1976

Total

Wanita :
8 tahun

13-20 tahun

11

11

22

20 tahun ke atas

Laki-laki :
15-20 tahun

20 tahun ke atas

Jumlah wanita : laki-laki = 32 : 11, atau kurang lebih 3 : 1


Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai etiologi dari
rhinitis atrofi ini, di antaranya : Infeksi oleh mikroorganisme spesifik. Yang
tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang
sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas
Aeruginosa, Trauma, Radiasi, Efek lanjut dari tindakan bedah, Sinusitis kronik,
Defisiensi vitamin A, Defisiensi Fe dan juga Faktor Genetik.
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak
dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit
ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri
bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal
yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala
dan epistaksis.
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :
Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat.
Patofisiologi dari rhinitis atrofi dimulai dari berbagai etiologi seperti
Klebsiella ozaena, trauma, penyebaran infeksi lokal setempat (contoh: sinusitis
maxillaris), efek lanjut dari tindakan bedah, radiasi, dan kemudian akan

menyebabkan terjadinya suatu peradangan pada hidung. Jika peradangan ini


berlangsung lama dan tidak kunjung sembuh, maka disebut inflamasi kronik.
Inflamasi kronik ini akan menyebabkan banyak perubahan anatomi dan fungsi
hidung, seperti : Lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan
silianya. Hal ini akan membuat hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris, kelenjar mukosa mengalami atrofi dan
bahkan bisa menghilang, terbentuknya fibrosis jaringan subepitel yang luas,
fungsi surfaktan akan menjadi abnormal dimana hal ini akan menyebabkan
pengurangan efisiensi klirens mucus, dan mempunyai pengaruh yang kurang
baik terhadap frekuensi gerakan silia sehingga akan membuat bertumpuknya
lender, semakin tipisnya epitel (atrofi konkha) akan membuat rongga hidung
semakin membesar, karena itulah terjadi kekeringan, pembentukan krusta, dan
iritasi mukosa semakin meluas. Lalu jika bloodsupply juga tidak adekuat, maka
akan terjadi nekrosis sel dan jaringan yang bila nanti mengalami proses
pembusukan dan bercampur dengan toxin dari mikroorganisme akan
menghasilkan pus kehijauan yang berbau busuk. Jika krusta terlepas akan
membuat epistaksis. Selain atrofi dari mukosa, juga bisa terjadi atrofi dari
mukosa olfaktoria yang bisa menyebabkan penderita mengalami hiposmia atau
bahkan anosmia.
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan Anamnesis, lalu pada
Pemeriksaan Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior
dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau,
Pemeriksaan

histopatologik

yang

berasal dari biopsy konkha media,

Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, Pemeriksaan


Radiologi sinus paranasalis. Dan juga CT-Scan, dimana pada pemeriksaan ini
ditemukan : Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman
dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses
uncinate, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi
dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa
pada konkha media dan inferior.

Diagnosis banding untuk rhinitis atrofi adalah sebagai berikut : Rhinitis


Kronik Tuberkulosa dan Rhinitis Kronik Sifilis. Rhinitis Kronik Tuberkulosa
merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Tuberkulosis pada
hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum
dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat secret
mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada secret
hidung. Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
Sedangkan Rhinitis Kronik Sifilis penyebabnya ialah kuman Treponema
pallidum. Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Pada rhinitis sifilis yang primer
dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya mungkin
dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rhinitis sifilis tersier
dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan
sapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan
secret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Sebagai pengobatan diberikan penisilin
dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.
Komplikasi dari rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa : Perforasi Septum,
Faringitis, Sinusitis, Hidung Pelana dan Miasis Hidung.
Hingga kini pengobatan medis terbaik rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi
sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik; vasodilator;
pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas.
Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung
mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai
darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/
penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.

Yang termasuk pengobatan konservatif seperti: Antibiotik spektrum luas


sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. Selain itu, dapat
digunakan juga obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari
krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : Betadin solution dalam
100 ml air hangat atau campuran: NaCl, NH4Cl , NaHCO3 aaa 9, Aqua ad 300
cc. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan
larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga
hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk
ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian
obat simptomatik pada rhinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian
preparat Fe. Setelah krusta diangkat, diberi antara lain: glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. Dapat juga diberikan Vitamin A 3 x
10.000 U selama 2 minggu dan Preparat Fe.
Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas . Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80%
perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal
memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu
regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan :
trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung
dengan NaCl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali
untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu
sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil
yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
Disamping itu pengobatan operatif pada rhinitis atrofi (ozaena) bertujuan
untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan

dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan


terjadinya regenerasi.2 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama
yaitu Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan Operasi, seperti
penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :
Youngs Operation (Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha
melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau
seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama
periode tiga tahun); Modified Youngs Operation (Penutupan lubang hidung
dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka); Lautenschlager operation (Dengan
memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung); Implantasi submukosa dengan tulang rawan,
tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin
Glue; Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang melaporkan
operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak
berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana
sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan
implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.
Untuk prognosis pasien dalam kasus ini, dengan operasi diharapkan
perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40
tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

PEMBAHASAN
Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya
belum jelas. Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella Ozaena, penjalaran
dari infeksi lokal setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek
radiasi, trauma, defisiensi vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang
mengatakan karena pengaruh genetik. Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada
wanita usia pubertas dibanding pada pria.
Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah
disebutkan di atas. Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh)
maka akan menimbulkan peradangan kronis yang membuat perubahan pada
struktur anatomi dan fungsi dari hidung. Di antaranya epitel menjadi menipis
dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa mengalami atrofi.
Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya
foetor ex nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang
sekitar penderita, tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga
didapatkan gejala hidung tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan
cefalgia,
Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling
pertama kita lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan
anamnesis, kita masuk ke pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung
ditemukan adanya rongga hidung yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika

krusta tersebut diangkat maka akan ada perdarahan (epistaksis), konkha media
dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat gangguan penghidu. Selain
pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan penunjang lain seperti CT-Scan.
Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa
dan rhinitis kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari
rhinitis atrofi. Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum,
Faringitis, Sinusitis, Hidung Pelana dan Miasis Hidung.
Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara
teratur dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika
agak lama dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong
secara tuntas, barulah diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga
hidung. Dan untuk prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat
terhadap pasien.

KESIMPULAN
Rhinitis atrofi merupakan penyakit kronik di hidung yang ditandai oleh
adanya foetor ex nasi, krusta, obstruksi hidung, epistakis, dan cefalgia. Gejala
foetor ex nasi yang tidak dirasakan oleh penderita membuat penderita dijauhi
oleh orang-orang disekitarnya sehingga hal ini membuat pasien mengalami
gangguan dalam bersosialisasi. Rhinitis atrofi lebih banyak pada wanita
dibanding pria. Dan biasanya menyerang pada usia pubertas.
SARAN

PENUTUP
Demikian refarat ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004.

3. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id.


Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.
4. Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S. 2007. Rinorea, Infeksi Hidung dan
Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
& Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Van den Broek, P. & Feenstra, L. 2009. Buku Saku Ilmu Kesehatan
Tenggorok, Hidung&Telinga. Ed. Ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
6. Mansjoer, A., et al. 2005. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III. Media
Aesculapius. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai