Referat Rhinitis Atrofi
Referat Rhinitis Atrofi
RHINITIS ATROFI
PEMBIMBING :
DR. A. M. SEBAYANG, Sp.THT
DISUSUN OLEH :
ARLYN DIAN YUNI (06-049)
NELLA CHRISTIA EZRAWATI (06-050)
KEPANITERAAN KLINIK I.P.THT
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
berkat rahmat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
Rhinitis Atrofi pada waktu yang telah ditentukan.
Penulis sebagai mahasiswa kepaniteraan bagian THT FK-UKI telah diberi
kesempatan oleh Dr. Amir M. Sebayang, Sp.THT untuk membuat sebuah referat
dimana pembahasan yang ditulis adalah mengenai etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
pemeriksaan, penatalaksanaan, komplikasi, hingga prognosis dari penyakit ini.
Selama menyusun referat ini, penulis mendapat banyak bimbingan, arahan,
kontribusi serta motivasi untuk menyelesaikan tugas ini. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Amir M. Sebayang, Sp.THT sebagai pembimbing dalam penulisan
referat ini.
2. Seluruh staf pengajar THT yang telah memberikan banyak ilmu sehingga
referat ini dapat diselesaikan.
3. Rekan-rekan angkatan 2006 yang telah membantu dan mendukung
tersusunnya referat ini.
Dalam penyusunan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan dan penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca, dan
memberikan jendela pengetahuan baru bagi semuanya. Atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.
Jakarta, April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN.
SARAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA.
PENDAHULUAN
Rhinitis atrofi atau ozaena adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Salah satu gejala yang
timbul adalah mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang di sekitar
penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri
tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada
usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah, di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Ozaena
lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
TINJAUAN PUSTAKA
Secara anatomis, dari luar hidung berbentuk piramida dengan puncak
hidung sebagai apeks. Sepertiga bagian kerangka hidung terdiri dari tulang dan
duapertiga bagian terdiri dari tulang rawan. Di bagian dalam, hidung dibagi
menjadi dua rongga (kavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya terdiri dari lamina
perpendikularis ethmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Maksila, palatum, dan premaksila merupakan dasar dari pyramid
hidung. Atapnya terdiri dari tulang hidung, lamina kribriformis tulang ethmoid
dan tulang sphenoid.
Pada dinding bagian lateral rongga hidung terdapat empat buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terbagi tiga sesuai letaknya yaitu meatus inferior, media, dan
superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.ethmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.opthalmica dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya
dan
wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan
hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk
berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Di RS H.
Adam Malik bagian THT melaporkan dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 1037 tahun.
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat social
ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaenae.
FREKUENSIOZAENAEBERDASARKANUMURDAN
JENISKELAMIN
R.S.DR.KARIADISEMARANG, 19751976
Jumlah kasus
1975
1976
Total
Wanita :
8 tahun
13-20 tahun
11
11
22
20 tahun ke atas
Laki-laki :
15-20 tahun
20 tahun ke atas
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai etiologi dari
rhinitis atrofi ini, di antaranya : Infeksi oleh mikroorganisme spesifik. Yang
tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang
sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas
Aeruginosa, Trauma, Radiasi, Efek lanjut dari tindakan bedah, Sinusitis kronik,
Defisiensi vitamin A, Defisiensi Fe dan juga Faktor Genetik.
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak
dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit
ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri
bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal
yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala
dan epistaksis.
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :
Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat.
Patofisiologi dari rhinitis atrofi dimulai dari berbagai etiologi seperti
Klebsiella ozaena, trauma, penyebaran infeksi lokal setempat (contoh: sinusitis
maxillaris), efek lanjut dari tindakan bedah, radiasi, dan kemudian akan
histopatologik
yang
PEMBAHASAN
Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya
belum jelas. Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella Ozaena, penjalaran
dari infeksi lokal setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek
radiasi, trauma, defisiensi vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang
mengatakan karena pengaruh genetik. Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada
wanita usia pubertas dibanding pada pria.
Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah
disebutkan di atas. Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh)
maka akan menimbulkan peradangan kronis yang membuat perubahan pada
struktur anatomi dan fungsi dari hidung. Di antaranya epitel menjadi menipis
dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa mengalami atrofi.
Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya
foetor ex nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang
sekitar penderita, tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga
didapatkan gejala hidung tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan
cefalgia,
Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling
pertama kita lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan
anamnesis, kita masuk ke pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung
ditemukan adanya rongga hidung yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika
krusta tersebut diangkat maka akan ada perdarahan (epistaksis), konkha media
dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat gangguan penghidu. Selain
pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan penunjang lain seperti CT-Scan.
Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa
dan rhinitis kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari
rhinitis atrofi. Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum,
Faringitis, Sinusitis, Hidung Pelana dan Miasis Hidung.
Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara
teratur dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika
agak lama dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong
secara tuntas, barulah diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga
hidung. Dan untuk prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat
terhadap pasien.
KESIMPULAN
Rhinitis atrofi merupakan penyakit kronik di hidung yang ditandai oleh
adanya foetor ex nasi, krusta, obstruksi hidung, epistakis, dan cefalgia. Gejala
foetor ex nasi yang tidak dirasakan oleh penderita membuat penderita dijauhi
oleh orang-orang disekitarnya sehingga hal ini membuat pasien mengalami
gangguan dalam bersosialisasi. Rhinitis atrofi lebih banyak pada wanita
dibanding pria. Dan biasanya menyerang pada usia pubertas.
SARAN
PENUTUP
Demikian refarat ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004.