AKUNTABILITAS,
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA
OLEH:
I.B. OKA ARIARTHA
NIM: 1491662048
ABSEN: 10
MAGISTER AKUNTANSI
PROGRAM STAR-BPKP ANGKATAN 4
2015
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................................i
BAB
I
...............................................................................................................................
PENDAHULUAN
1.1
1.2
Rumusan Masalah..........................................................................5
1.3
Tujuan Penulisan............................................................................6
1.4
Metode Penulisan...........................................................................6
BAB
II
...............................................................................................................................
PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3
2.4
2.3.1
Visi PPA.......................................................................9
2.3.2
Misi PPA......................................................................10
2.3.3
Tujuan PPA..................................................................11
2.3.4
Sasaran PPA.................................................................11
2.5
BAB III
3.1
Kesimpulan ..................................................................................17
3.2
Saran ...........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik
merupakan isu yang sangat mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar
pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah
sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini. Kata
governance dalam bahasa Inggris sering diartikan dengan tata kelola atau
pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah.
Memerintah diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus
daerah sebagai bagian dari negara.
Dari istilah tersebut di atas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak
hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan,
pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan
pemerintahan.
Kepemerintahan
yang
baik
(good
governance)
banyak
diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti
World Bank, Asian Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi
pinjaman lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance
dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman
maupun hibah.
Dalam pencapaian good governance, akuntabilitas publik merupakan
elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan
pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut
berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, administrasi, politik,
perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan
semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofi timbul
karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada
seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai
suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan
accountability yang diartikan sebagai yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau
dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Akuntabilitas sedikit berbeda
1
pegawai
penyimpangan
guna
sehingga
mencukupi
memicu
pegawai
kebutuhannya
dengan
untuk
melakukan
melanggar
asas
dengan
menggunakan
instrumen
bernuansa
moral-agama.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan
1.3
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
Metode Penulisan
Proses penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka. Metode
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
telah
memasuki
fenomena
baru
beyond
materiality
Lima
dimensi
ini
adalah
indikator
utama
dalam
proses
2.2
dini melalui pemberdayaan nilai-nilai agama guna mendorong terwujudnya selfcontrol dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi Tuhan, tidak
memiliki niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal. Kegiatan
pembudayaan pengawasan dilakukan dengan menyampaikan pesan moral yang
dilandasi nilai-nilai agama, sehingga bermanfaat dalam pengawasan fungsional,
pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat dalam rangka mencapai
keberhasilan dan ketepatan pembangunan nasional. Dari pengertian PPA tersebut
dapat dipahami bahwa:
1.
2.
secara terpadu.
Sebagai bentuk pengawasan, dalam PPA diberdayakan nilai-nilai agama
yang berfungsi sebagai petunjuk (guidance) dalam mengaktualisasikan
potensi fitrah dan kesadaran ketuhanan aparatur, agar tumbuh dan
3.
4.
5.
lebih maksimal.
PPA yang dilaksanakan melalui proses spiritualisasi nilai-nilai budaya kerja
akan memperoleh hasil kerja yang maksimal dengan indikator pelaksanaan
tugas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang jauh dari
tindak penyimpangan.
6.
2.3
Agama
2.3.1 Visi Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Visi PPA adalah nilai-nilai agama menjadi kekuatan moral dalam rangka
mewujudkan aparatur negara yang bersih dari KKN, bermoral dan berkinerja
secara maksimal melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama. Dalam
memahami visi PPA perlu dilihat kata kunci yang terkandung dalam rumusan visi
sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai agama: ukuran, norma, atau ajaran luhur tentang hidup dan
kehidupan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat absolut, abadi
2.
dan universal;
Kekuatan moral: kekuatan yang bersumber dan berbentuk moralkeagamaan yang mendorong setiap aparatur untuk melakukan suatu
tindakan sesuai dengan hati nuraninya yang bersih dan suci, yang
karenanya terdorong untuk melaksanakan perilaku yang baik dan benar
3.
yang
dapat
merugikan
kelangsungan
negara
atau
perekonomian negara;
b) Kolusi: permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara
sesama penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat dan/atau negara;
c) Nepotisme: setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
10
4.
Bermoral: berperilaku sesuai nilai, etika, sopan santun dan akhlak mulia
sehingga setiap tindak tanduknya diterima oleh komunitas di mana ia
5.
bekerja
Berkinerja
yang
maksimal,
bekerja
secara
profesional
dengan
kesimpulan bahwa dengan penetapan visi PPA diharapkan aparatur negara dapat
menemukan jati dirinya sebagai abdi negara yang tangguh secara personal, sosial,
profesional dan spiritual, memiliki kontrol diri yang kuat, inovatif, disiplin,
amanah dan akuntabel. Demikian juga, dalam kondisi mentalitas dan karakter
seperti ini, PPA diyakini akan mampu menghalau niat dan itikad buruk untuk
melakukan manipulasi dan penyelewengan, sehingga penyelenggaraan tata kelola
pemerintahan dapat dilaksanakan dengan baik.
2.3.2
sebagai berikut:
1.
Menumbuh
2.
kembangkan
melalui
budaya
pengawasan
pelaksanaan
diri
berdasarkan
pengawasan
dengan
3.
4.
5.
memotivasi
ajakan
kepada
11
2.
3.
profesional.
Terhapusnya niat berbuat menyimpang, agar terbebas dari perilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme serta berusaha mengubah sikap dari
4.
2.3.4
Kementerian Agama; (2) Aparatur pemerintah; (3) Aparatur negara; (4) Pemuka
agama dan tokoh masyarakat; dan (5) Pemuda, pelajar dan mahasiswa, baik di
instansi pemerintahan maupun swasta. Sasaran diselenggarakan program PPA
sebagai berikut:
1.
2.
memerankan
fungsinya
pada
pengawasan
fungsional,
agama.
Meningkatkan koordinasi dengan unit atau instansi pemerintahan
lainnya dalam rangka mengenalkan PPA yang lebih luas, menjadi model
pengawasan aparatur negara.
12
2.
3.
4.
dan kreativitas.
Pendekatan Religius; merealisasikan nilai-nilai agama sebagai sumber
kekuatan moral dalam mengawal perilaku aparatur untuk mengemban
amanah yang telah diterima menuju profesionalisme kerja.
2.4
13
14
Pelaksanaan PPA sebagai moral force tentu saja tidak menjadi kewajiban
aparatur Kementerian Agama semata, melainkan melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dari berbagai lembaga di Indonesia. Aparatur yang baik tidak akan
berarti jika masyarakat masih menginginkan berbuat menyimpang. Sinergi semua
pihak untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan sebagai moral force dalam
upaya pemberantasan KKN akan mempercepat keinginan untuk penciptaan
aparatur yang bersih dan berwibawa.
Dapat dipahami bahwa moral force dapat diturunkan dari semua norma
budaya sekuler, karena untuk menjadikan aparatur yang bermoral dapat berpijak
pada berbagai sumber. Namun kekuatan budaya hanya bersifat temporer dan nisbi.
Hal itu tentunya berbeda dengan PPA yang mempunyai kekuatan moral sangat
kuat. Selain asasnya kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, PPA dapat
menyentuh kejiwaan aparatur yang paling dalam. Ia sadar bahwa dirinya adalah
hamba Tuhan dan menikmati berbagai nikmat yang diberikan oleh-Nya, yang
karenanya mendorong untuk selalu berbuat baik sebagai rasa syukur kepada-Nya.
Semua perlakuan dan tindakan aparatur tidak terlepas daripada pengawasan Tuhan
dan selanjutnya juga tidak akan terlepas dari balasan surga dan neraka. Dalam
konteks inilah PPA yang berbasis pada nilai agama yang mutlak dan universal
akan lebih langgeng. Asas nilai agama yang bersumber dari wahyu begitu kuat
dan tidak akan berubah dan jauh dari sifat-sifat relatif dan subjektif.
Dalam pola dimensi religiusitas (Glock dan Stark, 1965), PPA akan
menjadi moral force apabila aparatur memiliki dan melaksanakan lima hal, yaitu:
1.
2.
3.
15
4.
5.
mencakup
pengalaman,
2.
3.
fitrah manusia;
Pendekatan pembiasaan-psikomotorik, yaitu upaya penanaman nilainilai agama dalam pengawasan melalui pengamalan dan penanaman
4.
5.
Persuasif, yaitu dengan cara menarik simpati orang lain dalam bentuk
ajakan dan tutur kata yang santun. Semua proses diarahkan untuk
16
untuk
membina,
mengarahkan,
dan
membentuk
manusia;
Komunikatif, yaitu menyampaikan pesan atau informasi kepada pihak
lain
dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keberhasilan
suatu
5.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat ditarik
Saran
Konsep PPA ini sesuai untuk diterapkan dalam menghadapi dinamika
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Glock dan Stark. 1965. Religion and Society in Tension. Chicago: Rand McNally
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Pengawasan dengan Pendekatan
Agama, 2005.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Pengembangan Budaya Kerja
Kementerian Agama, 2009.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, PPA (Membangun Jati Diri Aparatur
Negara melalui Internalisasi Nilai-nilai Agama). 2008.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Rencana Aksi
Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Agama. 2006.
Nasional
19