Anda di halaman 1dari 22

SEMINAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

AKUNTABILITAS,
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA

OLEH:
I.B. OKA ARIARTHA
NIM: 1491662048
ABSEN: 10

MAGISTER AKUNTANSI
PROGRAM STAR-BPKP ANGKATAN 4
2015

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................................i
BAB
I
...............................................................................................................................
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang ..............................................................................1

1.2

Rumusan Masalah..........................................................................5

1.3

Tujuan Penulisan............................................................................6

1.4

Metode Penulisan...........................................................................6

BAB
II
...............................................................................................................................
PEMBAHASAN
2.1

Fase Sosio-Spiritualitas Akuntansi ...............................................6

2.2

Pengertian Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA)..........8

2.3

Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran PPA..............................................9

2.4

2.3.1

Visi PPA.......................................................................9

2.3.2

Misi PPA......................................................................10

2.3.3

Tujuan PPA..................................................................11

2.3.4

Sasaran PPA.................................................................11

PPA sebagai Kekuatan Moral (Moral Force) untuk Meningkatkan


Akuntabilitas..................................................................................12

2.5
BAB III

Pola Pelaksanaan PPA...................................................................15


PENUTUP

3.1

Kesimpulan ..................................................................................17

3.2

Saran ...........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik

merupakan isu yang sangat mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar
pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah
sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini. Kata
governance dalam bahasa Inggris sering diartikan dengan tata kelola atau
pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah.
Memerintah diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus
daerah sebagai bagian dari negara.
Dari istilah tersebut di atas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak
hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan,
pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan
pemerintahan.

Kepemerintahan

yang

baik

(good

governance)

banyak

diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti
World Bank, Asian Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi
pinjaman lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance
dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman
maupun hibah.
Dalam pencapaian good governance, akuntabilitas publik merupakan
elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan
pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut
berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, administrasi, politik,
perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan
semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofi timbul
karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada
seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai
suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan
accountability yang diartikan sebagai yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau
dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Akuntabilitas sedikit berbeda
1

dengan responsibility yang juga diartikan sebagai tanggung jawab. Pengertian


accountability dan responsibility seringkali diartikan sama, padahal maknanya
jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk
melaksanakan suatu kebijakan sedangkan accountability merupakan kewajiban
untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang
baru. Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan
konsep akuntabilitas ini, khususnya dalam menjalankan fungsi administratif
kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang
mulai diperdengarkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan
masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak
mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan. Hal ini pada
akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu
munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
dan administrasi negara di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru
dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung
oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan
pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi untuk mewujudkan good
governance.
Namun demikian, implementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan
tanpa hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan
konsep akuntabilitas di Indonesia antara lain adalah rendahnya standar
kesejahteraan

pegawai

penyimpangan

guna

sehingga

mencukupi

memicu

pegawai

kebutuhannya

dengan

untuk

melakukan

melanggar

asas

akuntabilitas, faktor budaya seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan


keluarga dan kerabat dibanding pelayanan kepada masyarakat, dan lemahnya
sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap faktor
punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di bidang
keuangan dan administrasi. Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat
terpecahkan jika pemerintah dan seluruh komponennya memiliki pemahaman

yang sama akan pentingnya implementasi akuntabilitas di samping faktor moral


hazard individu pelaksana untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah.
Akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia
yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Akuntabilitas
eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya
baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Dari
sisi internal, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada
Tuhan-nya (Sirajudin dan Aslam, 1995). Sejalan dengan hal tersebut, Randa
(2011, 2013) menggarisbawahi bahwa akuntabilitas mempunyai aspek sosial yang
menjadi instrumen dari nilai moral. Dengan demikian akuntabilitas memiliki
hubungan dengan konsep kejujuran dan etika. Refleksi ini melukiskan bahwa
akuntabilitas juga telah menjalar pada setiap sendi-sendi nurani individu yang
tidak hanya melakukan ritual-ritual belaka, tetapi timbul ke permukaan sebagai
hasil dari proses perenungan. Dengan sentuhan hati nurani yang mendalam, maka
setiap individu atau organisasi akan mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etika
untuk senantiasa diperjuangkan serta digunakan dalam setiap aktivitasnya
(Wirajaya, 2012).
Selain itu, dalam Moeljono (2004) disebutkan bahwa akuntabilitas
tertinggi adalah kepada Tuhan, dengan demikian pada akhirnya akuntabilitas
dibawa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, untuk menghadapi
tuntutan global terhadap transparansi dan kejujuran organisasi pemerintah, maka
dikembangkan konsep pertanggungjawaban akuntabilitas yang tidak hanya dari
bawah ke atas, tetapi juga bersifat ke dalam (internal/ perorangan) dan ke luar
(eksternal/ masyarakat) (Modul AIP, 2011).
Dalam Wirajaya (2012), akuntabilitas semacam ini disebut akuntabilitas
vertikal (akuntabilitas parahyangan) sebagai salah satu bagian dari soul
accountability, yaitu suatu ungkapan bentuk pertanggungjawaban antara individu
atau organisasi dengan Tuhannya. Pada aspek spiritual, akuntabilitas memiliki
makna bahwa individu atau organisasi mempunyai kesadaran untuk menyatakan
akuntabilitas kepada yang sifatnya transenden yaitu Tuhan (Jacob dan Walker,
2004). Akuntabilitas spiritual ini menjiwai setiap individu untuk bertindak dalam

penghayatan nilai-nilai spiritual yang diyakini dan diwujudkan dalam perilaku


setiap individu sebagai anggota maupun sebagai pemimpin organisasi.
Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol dan
pengawasan terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam
hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai
semua itu. Pengendalian (pengawasan) sebagai bagian penting dalam manajemen
yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata
lain pengendalian dan pengawasan tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila
tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga
sebaliknya.
Terkait dengan hal tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama telah
mengembangkan suatu pendekatan dalam rangka menjamin terselenggaranya
akuntabilitas

dengan

menggunakan

instrumen

bernuansa

moral-agama.

Pendekatan ini dinamakan pengawasan dengan pendekatan agama (PPA). PPA


merupakan pengembangan peran konsultan di bidang pengawasan, yang
ditetapkan dalam program capacity building, dalam rangka menanamkan nilainilai agama yang menjadi kekuatan moral untuk membangun kinerja aparatur
Kementerian Agama.
PPA merupakan alternatif model pengawasan dini yang pendekatannya
lebih menekankan pada pemberdayaan nilai-nilai agama. Dalam PPA terjalin
hubungan antara manajemen pemerintahan dengan nilai-nilai Ketuhanan yang
disuarakan dari dalam hati nurani. PPA dikembangkan untuk mendorong
terbentuknya karakter dan jati diri aparatur negara melalui pemahaman dan
internalisasi nilai-nilai agama, agar mampu menjalankan fungsi kontrol diri (selfcontrol) atau pengawasan diri dalam rangka membangun pemerintahan dengan
budaya kerja yang baik dan bersih.
Dari pengalaman empiris, para praktisi mengemukakan bahwa terjadinya
penyelewengan dan manipulasi disebabkan oleh kepaduan antara tiga unsur
utama, yaitu niat atau itikad tidak baik, kesempatan yang memungkinkan dan
kemampuan untuk bertindak buruk, baik pada level individu atau kelompok.
Mereka menggunakan kesempatan dan peluang kelemahan sistem, ketentuan,

prosedur dan kelemahan pelaksanaan pengawasan untuk melaksanakan niat dan


ditopang oleh kemampuan yang memadai dalam melakukan tindak menyimpang.
Meskipun terdapat berbagai faktor kelemahan tersebut, apabila tidak didorong niat
buruk yang menjadi faktor internal aparatur, maka tidak akan timbul kerugian
akibat manipulasi tersebut. Semua faktor-faktor kelemahan tersebut sesungguhnya
bersifat pasif, sedangkan yang aktif adalah individu atau kelompok manusianya.
Pergeseran perilaku yang berkembang dalam tata kelola pemerintahan,
seperti berkembangnya opini masyarakat yang memberikan predikat dan citra
buruk terkait dengan penyelewengan, penyimpangan dan penyalahgunaan
keuangan negara (korupsi, kolusi, nepotisme), di setiap lini organisasi
pemerintahan perlu mendapat perhatian serius. Fenomena tersebut perlu
diselesaikan dengan segera melalui berbagai pendekatan, sebab jika tidak maka
kerugian negara dalam penyelenggaraan pemerintahan akan semakin meluas dan
memburuk. Salah satu pendekatan pengawasan yang dilakukan adalah
pengawasan dengan pendekatan agama.
PPA merupakan sarana membangun individu agar memiliki budaya kerja
yang baik. Internalisasi dan aktualisasi nilai agama dalam membentuk akhlak
aparatur yang bersih dari praktik KKN menjadi bagian dari proses penciptaan
budaya kerja yang baik, sebab hal itu sesuai dengan fitrah manusia. Melalui
kontrol diri (self-control) yang menjadi bagian dari pengawasan akan terwujud
aparatur pemerintah yang bersih dan terhindar dari penyimpangan. Program ini
diperlukan karena selain dapat mencegah timbulnya niat dan perilaku
penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara, juga dapat membentuk akhlak
mulia dalam rangka mendayagunakan kemampuannya untuk lebih produktif dan
kreatif dalam mencapai profesionalisme aparatur.
1.2

Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah konsep pengawasan dengan


pendekatan agama yang dikembangkan di Kementerian Agama?

1.3

Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam makalah ini adalah untuk mengetahui konsep pengawasan dengan


pendekatan agama yang dikembangkan di Kementerian Agama?
1.4

Metode Penulisan
Proses penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka. Metode

ini dilaksanakan dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan


pengumpulan dokumen yang terkait materi yang dibahas dengan menggunakan
media baca sebagai sumber data dan informasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Fase Sosio-Spiritualitas Akuntansi


Akuntansi

telah

memasuki

fenomena

baru

beyond

materiality

(Sukoharsono, 2008). Akhir tahun 2000, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi


Universitas Brawijaya memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak hanya
terbatas pada angka moneter dan tabel jurnal transaksi ekonomi, tetapi juga
memperkenalkan relasi spiritualitas dan metafisika (Sukoharsono, 2009).
Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi (kelompok orang)
mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam organisasinya yang direlasikan dengan holy spirit
Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada
pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang
dapat dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful
love), kesadaran transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan
kejujuran.

Lima

dimensi

ini

adalah

indikator

utama

dalam

proses

pertanggungjawaban individu dan organisasi disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas


Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy spirit dalam
mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa-peristiwa
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.
Walaupun konvensi akuntansi menggunakan monetary unit dalam
pengukuran dan diskursus kebijakannya, sosio-spiritual akuntansi dibangun
dengan memanfaatkan multiple units of measurements untuk menilai kinerja
individu dan organisasi. Multiple units of measurements ini pada dasarnya untuk
memberikan assessment terhadap 5 (lima) unsur holy spirit: kasih yang tulus
(merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transcendental, mampu
melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran.
Fase ini mengajak dunia Akuntansi sadar akan nilai-nilai di atas
materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk
mengkodifikasi kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit
tersebut yang dilaporkan secara periodik kepada stakeholders.
7

2.2

Pengertian Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA)


Pengawasan dengan pendekatan agama (PPA) adalah bentuk pengawasan

dini melalui pemberdayaan nilai-nilai agama guna mendorong terwujudnya selfcontrol dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi Tuhan, tidak
memiliki niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal. Kegiatan
pembudayaan pengawasan dilakukan dengan menyampaikan pesan moral yang
dilandasi nilai-nilai agama, sehingga bermanfaat dalam pengawasan fungsional,
pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat dalam rangka mencapai
keberhasilan dan ketepatan pembangunan nasional. Dari pengertian PPA tersebut
dapat dipahami bahwa:
1.

PPA merupakan pengawasan dini yang bersifat preventif, sebagai alternatif


model pengembangan pengawasan fungsional, yang memadukan antara
manajemen pemerintahan dengan nilai spiritual-keagamaan dan dapat
diaplikasikan pada manajemen diri, keluarga, masyarakat dan pemerintahan

2.

secara terpadu.
Sebagai bentuk pengawasan, dalam PPA diberdayakan nilai-nilai agama
yang berfungsi sebagai petunjuk (guidance) dalam mengaktualisasikan
potensi fitrah dan kesadaran ketuhanan aparatur, agar tumbuh dan

3.

berkembang menjadi perilaku yang bersih, baik dan benar.


PPA memandu self control aparatur dalam menginternalisasi kode etik
pegawai negeri sipil, yang kemudian terefleksi dalam aksi yang patut (amal
saleh, tri kaya parisudha), sehingga terwujud budaya kerja yang bercirikan

4.

profesional, inovatif, disiplin, amanah dan akuntabel.


Dalam PPA, pengawasan memancar dari kejernihan hati nurani aparatur
dalam rangka mewujudkan jati diri (identitas diri)-nya yang suci dan bersih
sesuai dengan nilai-nilai agama, sehingga malu berbuat dosa, adanya
perasaan bersalah ketika melakukan kesalahan (guilty feeling), menghindari
dari segala bentuk penyimpangan dan senang berusaha dan berkinerja secara

5.

lebih maksimal.
PPA yang dilaksanakan melalui proses spiritualisasi nilai-nilai budaya kerja
akan memperoleh hasil kerja yang maksimal dengan indikator pelaksanaan
tugas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang jauh dari
tindak penyimpangan.

6.

Pola pelaksanaan yang diterapkan dalam PPA lebih mengedepankan


pendekatan preventif daripada represif melalui sentuhan nilai spiritualkeagamaan dalam upaya mencegah terjadinya penyimpangan, pemborosan,
penyalahgunaan wewenang, manipulasi, kolusi, korupsi, dan nepotisme
yang mengikis sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.3

Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pengawasan dengan Pendekatan

Agama
2.3.1 Visi Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Visi PPA adalah nilai-nilai agama menjadi kekuatan moral dalam rangka
mewujudkan aparatur negara yang bersih dari KKN, bermoral dan berkinerja
secara maksimal melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama. Dalam
memahami visi PPA perlu dilihat kata kunci yang terkandung dalam rumusan visi
sebagai berikut:
1.

Nilai-nilai agama: ukuran, norma, atau ajaran luhur tentang hidup dan
kehidupan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat absolut, abadi

2.

dan universal;
Kekuatan moral: kekuatan yang bersumber dan berbentuk moralkeagamaan yang mendorong setiap aparatur untuk melakukan suatu
tindakan sesuai dengan hati nuraninya yang bersih dan suci, yang
karenanya terdorong untuk melaksanakan perilaku yang baik dan benar

3.

serta menghindari perilaku yang buruk;


Bersih dari KKN: terhindar, tidak kotor, tidak melakukan bahkan tidak
terselip niat sedikit pun dalam hatinya berbuat tindak penyelewengan
seperti:
a) Korupsi: perbuatan setiap orang atau badan yang dengan sengaja
melawan hukum untuk memperkaya diri, orang lain, atau suatu
korporasi

yang

dapat

merugikan

kelangsungan

negara

atau

perekonomian negara;
b) Kolusi: permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara
sesama penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat dan/atau negara;
c) Nepotisme: setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

10

4.

Bermoral: berperilaku sesuai nilai, etika, sopan santun dan akhlak mulia
sehingga setiap tindak tanduknya diterima oleh komunitas di mana ia

5.

bekerja
Berkinerja

yang

maksimal,

bekerja

secara

profesional

dengan

mengerahkan dan mendayagunakan seluruh kemampuan yang didorong


kemauan keras dan memanfaatkan peluang dan amanah yang diterima,
6.

sehingga mencapai hasil yang lebih maksimal.


Pengawasan dengan pendekatan agama: upaya pengendalian dan
mengontrol diri untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kaidah, norma
dan nilai agama.
Dengan pemahaman terhadap beberapa kata kunci tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa dengan penetapan visi PPA diharapkan aparatur negara dapat
menemukan jati dirinya sebagai abdi negara yang tangguh secara personal, sosial,
profesional dan spiritual, memiliki kontrol diri yang kuat, inovatif, disiplin,
amanah dan akuntabel. Demikian juga, dalam kondisi mentalitas dan karakter
seperti ini, PPA diyakini akan mampu menghalau niat dan itikad buruk untuk
melakukan manipulasi dan penyelewengan, sehingga penyelenggaraan tata kelola
pemerintahan dapat dilaksanakan dengan baik.
2.3.2

Misi Pengawasan dengan Pendekatan Agama


Langkah untuk mencapai visi PPA dapat dijabarkan dalam misi PPA

sebagai berikut:
1.

Menumbuh

2.

pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama.


Menyampaikan pesan moral agama kepada aparatur negara dan
masyarakat

kembangkan

melalui

budaya

pengawasan

pelaksanaan

diri

berdasarkan

pengawasan

dengan

3.

mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama.


Menjadikan PPA sebagai landasan pengawasan fungsional, pengawasan

4.

melekat dan pengawasan masyarakat.


Melaksanakan pengawasan dengan

5.

kebenaran dan kepatutan dan mencegah segala tindak kemungkaran.


Membangun kinerja aparatur negara melalui penanaman nilai-nilai

memotivasi

agama sebagai kekuatan moral.


2.3.3 Tujuan Pengawasan dengan Pendekatan Agama

ajakan

kepada

11

PPA dimaksudkan menjadi sarana kontrol diri (self-control) dan menjadi


perilaku yang melekat, membudaya serta menjadi kebutuhan dalam kehidupan
bangsa. Hal itu bertujuan:
1.

Terwujudnya kesadaran internal aparatur pemerintah tentang arti


pentingnya pengawasan diri dalam rangka mewujudkan aparatur negara

2.

yang bersih, bermoral dan profesional berbasis spiritual-keagamaan.


Terwujudnya aparatur yang memiliki kekuatan moral berlandaskan
nilai-nilai agama untuk menggerakkan dan mengarahkan pikiran,
perasaan dan perilakunya ke arah terbentuknya prinsip kerja

3.

profesional.
Terhapusnya niat berbuat menyimpang, agar terbebas dari perilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme serta berusaha mengubah sikap dari

4.

perbuatan tidak terpuji menjadi perilaku yang berakhlak mulia;


Terwujudnya semangat aparatur negara untuk menyosialisasikan PPA
agar dapat dilaksanakan pada unit kerja/ satker di lingkungan instansi
pemerintah dan membangun pola aksi total (action plan).

2.3.4

Sasaran Pengawasan dengan Pendekatan Agama


Program PPA ditujukan pada objek (1) Aparatur di lingkungan

Kementerian Agama; (2) Aparatur pemerintah; (3) Aparatur negara; (4) Pemuka
agama dan tokoh masyarakat; dan (5) Pemuda, pelajar dan mahasiswa, baik di
instansi pemerintahan maupun swasta. Sasaran diselenggarakan program PPA
sebagai berikut:
1.

Membangun budaya pengawasan diri (self-control) aparatur negara


sebagai upaya preventif untuk mengajak kebenaran dan mencegah
kemungkaran melalui pendekatan agama dalam rangka menciptakan

2.

lingkungan kerja yang kondusif, disiplin, akuntabel dan profesional;


Mengembangkan instansi yang memiliki jati diri dan citra yang baik
dalam

memerankan

fungsinya

pada

pengawasan

fungsional,

pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat sesuai dengan nilai


3.

agama.
Meningkatkan koordinasi dengan unit atau instansi pemerintahan
lainnya dalam rangka mengenalkan PPA yang lebih luas, menjadi model
pengawasan aparatur negara.

12

Ditinjau dari pendekatan program, sasaran PPA ditujukan pada empat


pendekatan sebagai berikut:
1.

Pendekatan Simptomatis; membebaskan aparatur negara dari gejala dan


tindak penyelewengan seperti perilaku korupsi, kolusi, nepotisme, dan
segala bentuk perilaku menyimpang lainnya, sehingga keberadaan

2.

dirinya tidak merugikan instansi di mana ia bekerja;


Pendekatan Penyesuaian Diri; menciptakan aparatur negara yang dapat
menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan hukum dan prosedur yang
telah ditetapkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparatur
negara, sehingga ia meletakkan kepentingan bangsa dan negara lebih

3.

segala-galanya daripada kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.


Pendekatan Pengembangan Diri; mengaktualisasikan segenap
kemampuan yang ditopang kemauan yang keras untuk mampu
memanfaatkan segala kesempatan yang ada, sehingga tercipta rasa
tanggungjawab dan perilaku kinerja yang mengarah pada produktivitas

4.

dan kreativitas.
Pendekatan Religius; merealisasikan nilai-nilai agama sebagai sumber
kekuatan moral dalam mengawal perilaku aparatur untuk mengemban
amanah yang telah diterima menuju profesionalisme kerja.

2.4

PPA sebagai Kekuatan Moral (Moral Force) untuk Meningkatkan


Akuntabilitas
Sebagai pendekatan yang berbasis agama, PPA memiliki kekuatan moral

(moral force). Maksudnya, pengawasan yang dilakukan dengan pendekatan agama


memiliki kekuatan secara moral yang menjadi daya dorong hati nurani aparatur
untuk menegakkan kebenaran, keadilan serta mengontrol diri (self control), agar
terbebas dari upaya melakukan tindak penyimpangan. Definisi ini mengandung
tiga unsur utama, yaitu:
1. Nilai inti PPA adalah pengawasan bertumpu pada kekuatan moral agama.
Sebagai kekuatan moral, PPA dapat melandasi seluruh perilaku kerja
aparatur dengan berpijak pada prinsip moral agama. Perilaku apapun yang
dilakukan aparatur harus dipertimbangkan terlebih dahulu apakah
memiliki dampak moral atau tidak, sehingga kebutuhan akan moral-agama

13

bukan hanya ketika di tempat ibadah melainkan di seluruh tempat di mana


aparatur berpijak, termasuk dalam institusi kerja.
2. PPA sebagai kekuatan moral dapat menjadi daya dorong ketika
eksekutornya adalah hati nurani aparatur, sebab sifat dasar hati nurani
selalu cenderung pada kebenaran dan menghindari segala penyimpangan.
Tindakan benar dapat menenangkan hati, sedang tindakan salah dapat
menggelisahkannya.
3. Tujuan PPA sebagai kekuatan moral adalah (1) menegakkan kebenaran dan
keadilan, sehingga dapat menarik kemaslahatan dan kebaikan bersama; (2)
mengontrol diri agar terbebas dari upaya melakukan tindak penyimpangan,
sehingga dapat menghindari kemudaratan dan keburukan.
PPA sebagai moral force menjadi sebuah identitas bagi aparatur
Kementerian Agama dalam proses pengawasan. Keberadaannya harus kembali
pada khitah-nya, yaitu sebagai moral force yang senantiasa muncul dalam
berbagai momentum (1) pendekatan positif, dengan unjuk kerja yang dapat
meningkatkan citra institusi yang bersih, berwibawa dan profesional; dan (2)
pendekatan negatif, dengan menghilangkan atau paling tidak mengurangi niat
untuk melakukan penyimpangan (anomaly) institusional. Pada konteks ini,
aparatur Kementerian Agama yang memiliki label moral-keagamaan seharusnya
berperan sebagai narasumber moral force di masyarakat, bahkan menjadi suri
teladan bagi aparatur instansi yang lain.
PPA dianggap sebagai moral force yang tinggi, karena didalamnya memuat
nilai-nilai dasar yang mengatur pengawasan aparatur lebih baik. Kekuatan moral
yang diturunkan dari agama relevan dengan kebutuhan pembangunan yang
menekankan faktor manusia dan nilai-nilai agama sebagai faktor pendorong
tercapainya spiritualisasi pembangunan. Nilai moral-agama terefleksi dalam tata
kelola pemerintahan yang baik, yang sejalan dengan prinsip intinya, yaitu menarik
kemaslahatan dan menolak kemudaratan serta menyerukan kebaikan dan
menghentikan kemungkaran. Hal itu mengandung arti bahwa bekerja tanpa nilai
nilai agama akan berdampak pada ketidakbermaknaan (meaningless) secara
spiritual, sehingga bekerja hanya semata-mata untuk motif-motif kenikmatan
sementara tanpa memperhitungkan kebaikan mendatang dan lebih luas.

14

Pelaksanaan PPA sebagai moral force tentu saja tidak menjadi kewajiban
aparatur Kementerian Agama semata, melainkan melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dari berbagai lembaga di Indonesia. Aparatur yang baik tidak akan
berarti jika masyarakat masih menginginkan berbuat menyimpang. Sinergi semua
pihak untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan sebagai moral force dalam
upaya pemberantasan KKN akan mempercepat keinginan untuk penciptaan
aparatur yang bersih dan berwibawa.
Dapat dipahami bahwa moral force dapat diturunkan dari semua norma
budaya sekuler, karena untuk menjadikan aparatur yang bermoral dapat berpijak
pada berbagai sumber. Namun kekuatan budaya hanya bersifat temporer dan nisbi.
Hal itu tentunya berbeda dengan PPA yang mempunyai kekuatan moral sangat
kuat. Selain asasnya kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, PPA dapat
menyentuh kejiwaan aparatur yang paling dalam. Ia sadar bahwa dirinya adalah
hamba Tuhan dan menikmati berbagai nikmat yang diberikan oleh-Nya, yang
karenanya mendorong untuk selalu berbuat baik sebagai rasa syukur kepada-Nya.
Semua perlakuan dan tindakan aparatur tidak terlepas daripada pengawasan Tuhan
dan selanjutnya juga tidak akan terlepas dari balasan surga dan neraka. Dalam
konteks inilah PPA yang berbasis pada nilai agama yang mutlak dan universal
akan lebih langgeng. Asas nilai agama yang bersumber dari wahyu begitu kuat
dan tidak akan berubah dan jauh dari sifat-sifat relatif dan subjektif.
Dalam pola dimensi religiusitas (Glock dan Stark, 1965), PPA akan
menjadi moral force apabila aparatur memiliki dan melaksanakan lima hal, yaitu:
1.

Keyakinan (ideological involvement), mencakup pandangan teologis


dan mengakui kebenaran akan doktrin agama sebagai salah satu
pedoman dalam bekerja. Tuhan adalah Maha Pengawas yang selalu

2.

menilai kinerja aparatur;


Pengetahuan agama (intellectual involvement) tentang bagaimana
agama memandang kerja, jenis-jenis pekerjaan yang seharusnya
dikerjakan (halal) dan yang ditinggalkan (haram), dan termasuk

3.

hukum, aturan, dan tata cara dalam bekerja;


Praktik keagamaan (ritual involvement) melalui pelaksanaan kerja
dengan niatan beribadah. Karena kerja bagian dari ibadah, maka kerja
harus dilakukan sebaik mungkin;

15

4.

Pengamalan (consequential involvement ) berupa konsekuensi akibat


keyakinan, praktik ritual, pengalaman dan pengetahuannya yang

5.

berkaitan dengan perilaku kerja.


Pengalaman (experiential involvement),

mencakup

pengalaman,

perasaan, persepsi dan sensasi yang berkaitan dengan perilaku kerja


sebagai bentuk dari ibadah. Dengan pengalaman ini tentunya orang
yang beragama secara benar akan lebih baik kinerjanya dibanding
dengan orang yang tidak beragama;
2.5

Pola Pelaksanaan PPA


Pola pelaksanaan program PPA menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1.

Pendekatan rasional-kognitif, yaitu upaya menanamkan nilai-nilai


agama yang berkaitan dengan pengertian dan hakikat pengawasan
dengan menggunakan pemikiran logis dan argumentatif yang dapat
diterima akal sehat, sehingga upaya memberikan pemahaman nilai-

2.

nilai agama menjadi lebih diterima.


Pendekatan emosional-afektif, yaitu upaya penanaman nilai-nilai
agama yang berkaitan dengan pengawasan dan menyentuh hati nurani
umat beragama. Pendekatan ini dikembangkan agar perilaku
masyarakat selalu dalam keseimbangan antara pertimbangan akal
sehat dengan penghayatan hati nurani yang mendalam sesuai dengan

3.

fitrah manusia;
Pendekatan pembiasaan-psikomotorik, yaitu upaya penanaman nilainilai agama dalam pengawasan melalui pengamalan dan penanaman

4.

akhlak mulia dan tata nilai positif yang berkembang di masyarakat;


Pendekatan keteladanan, yaitu penanaman nilai-nilai agama dalam
pengawasan melalui contoh atau teladan yang baik dari aparatur

5.

negara dan para tokoh terhadap masyarakat pada umumnya.


Pendekatan pembalasan/ keseimbangan, yaitu setiap perbuatan sekecil
apapun akan dibalas yang setimpal/ seimbang dengan perbuatannya.

Adapun metode yang digunakan dalam pelaksanaan program PPA, yaitu:


1.

Persuasif, yaitu dengan cara menarik simpati orang lain dalam bentuk
ajakan dan tutur kata yang santun. Semua proses diarahkan untuk

16

menumbuhkan kesadaran seseorang untuk melakukan perbuatan baik


2.

dan bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan ajaran agama;


Edukatif, yaitu dengan cara mendidik atau usaha secara sadar dan
sengaja

untuk

membina,

mengarahkan,

dan

membentuk

perkembangan kepribadian seseorang dalam rangka memberikan


pengertian dan pemahaman arti penting PPA dalam kehidupan
3.

manusia;
Komunikatif, yaitu menyampaikan pesan atau informasi kepada pihak
lain

dengan

memperhatikan

syarat-syarat

keberhasilan

suatu

komunikasi, seperti visualisasi dan penggunaan bahasa yang jelas


4.

dalam penyampaian PPA;


Akomodatif, yaitu cara menempatkan permasalahan sesuai dengan
porsinya mempertimbangkan aspek substansi permasalahan dan

5.

memperhatikan kepentingan yang lebih besar dalam transformasi PPA.


Dialogis, yaitu menyampaikan pesan moral atau informasi dengan
saling tukar menukar ide dan pengalaman.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengawasan dengan pendekatan agama adalah bentuk


pengawasan dini melalui pemberdayaan nilai-nilai agama guna mendorong
terwujudnya self-control dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi
Tuhan, tidak memiliki niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal.
Sebagai pendekatan yang berbasis agama, PPA memiliki kekuatan moral (moral
force) yang menjadi daya dorong hati nurani aparatur untuk menegakkan
kebenaran, keadilan serta mengontrol diri (self-control), agar terbebas dari upaya
melakukan tindak penyimpangan. PPA merupakan pendekatan pengawasan yang
mengedepankan kekuatan moral (moral force) dalam upaya meningkatkan
akuntabilitas.
3.2

Saran
Konsep PPA ini sesuai untuk diterapkan dalam menghadapi dinamika

perubahan perilaku dan penyimpangan dalam birokrasi pemerintahan. Namun


demikian perlu dilakukan sosialisasi yang lebih banyak dan masif sehingga
konsep yang sudah terbangun ini dapat dipahami dan dijadikan pedoman oleh
aparatur untuk menjalankan aktivitasnya dengan jiwa yang bersih dan beretika
sehingga mampu meningkatkan akuntabilitas.

17

18

DAFTAR PUSTAKA
Glock dan Stark. 1965. Religion and Society in Tension. Chicago: Rand McNally
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Pengawasan dengan Pendekatan
Agama, 2005.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Pengembangan Budaya Kerja
Kementerian Agama, 2009.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, PPA (Membangun Jati Diri Aparatur
Negara melalui Internalisasi Nilai-nilai Agama). 2008.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, Rencana Aksi
Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Agama. 2006.

Nasional

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia. Pedoman


Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. 2002.
Modul Akuntabilitas Instansi Pemerintah. 2011. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. Ciawi, Bogor.
Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Edisi Kedua. 2004.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Moeljono, Djokosantoso. 2004. 8 Langkah Strategis Mendaki Karier Puncak. PT.
Gramedia: Jakarta
Sirajudin H Saleh & Aslam Iqbal. 1995. Accountability, Chapter I in a Book
Accountability The Endless Prophecy. Asian and Pacific Development Centre.
Randa, Fransiskus. 2013. Memahami Dimensi Akuntabilitas Pada Organisasi
Pemerintah Daerah (Studi Etnografi Pada Pemerintah Daerah Tingkat II Tana
Toraja). Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX, Manado, 25-28 September.
Randa, Fransiskus. 2011. Akuntabilitas Keuangan Dalam Organisasi Keagamaan
(Studi etnografi pada Sebuah Gereja Katolik di Tana Toraja). Jurnal Sistem
Informasi Manajemen dan Akuntansi Vol 9 No 2 Oktober 2011. Fakultas Ekonomi
UAJ Makassar
Sukoharsono Eko Ganis. 2010. Metamorfosis Akuntansi Sosial dan Lingkungan:
Mengkonstruksi Akuntansi Sustainabilitas Berdimensi Spiritualitas. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Senin 13 Desember 2010. Universitas Brawijaya.
Wirajaya, I Made Ary. Studi Etnografi Tentang Akuntabilitas Organisasi Desa
Adat Kuta Bali. Disertasi, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Program Pascasarjana
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

19

Jacobs, K dan S. Walker. 2004. Accounting and Accountability in the INOA


Community. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 17, No. 3,
hlm 361-381.

Anda mungkin juga menyukai