Anda di halaman 1dari 3

By kedaikebun • Jul 17th, 2008 • Category: Artikel

TULISAN versus GAMBAR


Oleh: Yustina W. Neni
Catatan untuk Pameran Sigit K. Pius, 12 Desember s.d 10 Januari 2001
Foto: Karya Sigit Pius

Keadaan memaksa saya untuk menulis tentang karya Sigit. Pertama, gambarnya realis, kedua ada
tulisannya, banyak lagi. Jadi kalau saya tidak “dong” sama gambarnya, saya bisa baca
tulisannya, mungkin bisa membantu menjelaskan.
Ada dua bagian besar yang menarik perhatian saya pada karya Sigit, yaitu gambar (tubuh)
manusia dan gambar peta. Seperti umumnya sebuah peta, ada gambar jalan berkelok-kelok dan
bercabang-cabang, jalan-jalan menuju kota-kota utama tercetak tebal, jalan-jalan ke kota-kota
kecil tercetak lebih tipis. Ada nama-nama kota, propinsi, sungai, gunung, danau, dll untuk peta
besar, dan untuk peta kecil seperti peta kota, tertera kantor pos, stasiun, terminal bis, rumah sakit,
sekolah-sekolah terkenal, kantor telpon, pasar, rumah makan, dsb. Tujuannya untuk membantu
menentukan arah dan mencari lokasi, supaya tidak tersesat.
Wah asyik nih, seperti main “ular tangga”. Tapi lama-lama mata saya lelah karena harus baca
sambil mengurut jalan, tulisannya kecil-kecil lagi. (pokoknya seperti baca peta betulan). Karena
capek, saya ambil bolpoin lalu tulisan-tulisan itu saya copoti satu-satu, lalu bedasarkan jalur-jalur
utama yang dicetak tebal, yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain, saya
urutkan, sehingga bisa dibaca seperti membaca cerpen, berita atau lainnya: Abang ini lhir di
Medan 1957; nama Tua Sagala; Keahlian abang memancing;Profesi pertama guru SMP di Deli
Tua (abang ini cukup disegani di kampung; menjadi Penasihat Muda di kampung); Mengajar
Sejarah dan PMP (kasus ada main dengan orang tua murid; abang mau dibunuh suaminya); Gaji
tak banyak ilmu tak tambah; Abang lari ke Jakarta; Penampilan baru jual buku porno di Tanah
Abang; Bulan puasa ada operasi buku porno habislah abang; Abang buka kursus privat
matematika dan inggris; Abang merayu-rayu murid abang; Bah sial lagi 1 orang dapat 2 lagi
bikin abang malu; dst. (“Tua Sagala” dalam karya, “Aneka Ria dari Masa ke Masa”).
Setelah selesai dengan “Tua Sagala” saya mulai lagi dengan “Budi Aryanto”, dengan cara yang
sama. Dan begitu seterusnya dengan tokoh-tokoh lain dan cerita-cerita yang lain. Ternyata peta-
peta itu menjelaskan latar belakang si tokoh. Ada identitas pribadi, seperti nama, tanggal
kelahiran, pekerjaan, nama ayah, dan sejarah lain seperti, pernah serong dengan siapa, pernah
berkelahi dengan siapa, dipecat dan pindah kerja, dll.
Yang menjadi pertanyaan saya kemudian, kalau tulisan dalam peta itu sudah cukup bercerita,
lalu gambar tokoh itu fungsinya apa? Jangan-jangan hanya ilustrasi atau mengapa perlu ada
gambar peta, kalau ternyata setelah disusun seperti cerpen ternya lebih mudah dibaca dan
dimengerti. Karena saya orangnya suka yang praktis-praktis, saya protes ini gambar sama tulisan
tumpang tindih. Pilih saja salah satu, gambarnya atau tulisannya saja.
Tapi mumpung sya punya waktu, saya iseng-iseng berpikir, jangna-jangan maunya Sigit, ia bikin
komik. Ada gambar dan sekaligus ada tulisan.

Secara fisik karya Sigit Pius, tersusun atas tulisan atau kode-kode lingual dan gambar atau kode-
kode visual yang masing-masing memiliki realitas yang berbeda. Realitas tulisan adalah linera
sedangkan realitas gambar muncul secara imperatif, (Roland Barthes, Mythologies, Granada
Publishing Limited, 1983, hlm. 110), sehingga karya Sigit Pius merupakan karya yang kompleks,
yang mana tidak hanya merupakan seni gambar atau rupa yang menciptakan makna atau
konotasinya dari perintah simbolis yang bersifat universal, seperti warna, garis, ekspresi, dan
lain-lain, tetapi juga mengandung tulisan yang menciptakan obyek-obyek linguistik bermakna.

Secara tradisional fungsi gambar adalah menjelaskan suatu artikel (Roland Barthes, Images,
Music and Text, New York: Hill and Wang, 1984, hlm.156). sehingga gambar berfungsi sebagai
alat untuk mempermudah pembaca dalam mengapreasi artikel. Dalam konteks ini gambar yang
menyertai artikel dianggap membawa pesan dari artikelnya, gambar adalah bentuk pengalaman
dari teks yang diminimalkan. Sehingga memungkinkan terjadi reduksi makna yang cukup
berarti. Makna visual yang timbul kemudian adalah dapat sangat jauh dari makna tekstualnya
karena makna visual menjadi imajinatif dan referensial dan sangat bergantung pada latar
belakang pengalaman apresiator yang membaca bentuk visualnya.
Pertama-tama, untuk memudahkan diri saya sendiri, saya harus menentukan kedudukan gambar
dan tulisan dalam karya Sigit. Ada dua istilah di dalam lingkup pesan linguistik yang harus
diperhatikan: fungsi anchorage (anchor: jangkar) sering dijumpai dalam fotografi jurnalistik; teks
(caption) yang menjalani fungsi anchorage seolah-olah teks itu telah menambatkan maknanya ke
dalam gambar, teks dianggap mempunyai nilai pengganti. Fungsi relay (estafet) khususnya di
dalam kartun dan komik, di sini gambar berdiri sama rata dengan kata-kata, makna tidak
ditemukan di dalam gambar semata-mata. (Barthes, Images,…,hlm 39).

Ketika sebuah teks menjalani fungsi relay, informasinya lebih diperhitungkan, gambar menjadi
bersifat analogis, yang menyusun informasinya secara paragdigmatik atributif.

Menengok kembali teks pada karya Sigit, apakah makna teks itu (1) tertambat ke dalam gambar,
mempunyai nilai pengganti (gambar), berfungsi “duplikatif”, gambar dianggap mempunyai
kesamaan ide dengan teks atau (2) gambar berdiri sama rata (gambar tidak bermakna tanpa teks).
Untuk mengetahui secara pasti kedudukan gambar dan teks dalam karya itu, kita perlu membaca
teksnya secara teliti dan melakukan pengujian-pengujian.

Ada dua bagian terpenting dalam karya Sigit, yaitu gambar (tubuh) manusia dan gambar peta.
Sehingga saya juga harus membaca dua bagian itu satu persatu. Pertama yang sudah sya lakukan
adalah membaca petanya, seperti yang saya tulis di atas. Saya buang gambar (peta)-nya, setelah
saya menemukan narasinya. Lalu saya membandingkan gambar peta (lama) dan bentuk baru
susunan saya itu. Hasilnya, bentuknya lain tapi ide peta itu sama dengan ide bentuk baru, yang
melulu susunan kalimat itu. Secara artistik mungkin bentuk baru itu tidak pas jika di letakkan di
tubuh si tokoh, tetapi bentuk baru lebih praktis dan taktis untuk menerangkan identitas dan
sejarah si tokoh. Seperti foto diri dan lampiran daftar riwayat hidup. Jadi tulisan menyertai
gambar atau sebaliknya, gambar menyertai tulisan. (contoh kongkrit: kirim daftar riwayat hidup
dilampiri selembar foto atau kirim foto disertai daftar riwayat hidup).

Begitu juga dengan karya Sigit, dengan membaca petanya, ada indikasi gambar berfungsi
ilustratif dan pemanis tulisan. Dengan demikian teks/tulisan dalam karya Sigit sangat
berkedudukan sebagai “jangkar” gambar.

Bagaimana dengan fungsi relay. Ketika sebuah teks menjalani fungsi relay, informasinya lebih
diperhitungkan, gambar menjadi lebih bersifat analogis, yang menyusun informasinya secara
paradigmatik atributif. Di dalam komik, gambar dan tulisan saling mengisi, bergantian, susul
menyusul, baca tulisan lihat gambar, informasinya samapai, makna (cerita) terbaca. Karena teks
dan gambar diyakini duduk berseberangan, dalam hal ini, frekuensi kemunculan teks dan gambar
tidak perlu sama, sehingga kita sering menjumpai komik-komik dengan teks minimal seperti
“GONG” misalnya. Gambar telah mampu merelay dirinya sendiri, teks tidak diperlukan lagi.
Kekuatan komik ada pada kemampuan gambar becerita dan kalau tidak mampu baru ada teks,
begitu juga sebaliknya kalau teks sendiri tidak bisa “jalan” perlu ada gambar. Makna cerita ada
pada kedua-duanya. Bagaimana dengan karya Sigit, teks/tulisan dan gambar saling me-relay atau
tidak.

Gambar adalah pesan tak beraturan, campur aduk. Semua bentuk reproduksi dari realitas, seperti
gambar, film, drama, lukisan, dll membangun pesan secara bertingkat-tingkat yang biasanya
disebut makna kedua disamping kandungan lain di dalamnya yang sifatnya analogis seperti
adegan, obyek, pemandangan, dll. Materinya adalah gambar itu sendiri sebagai hasil kreasi dari
penciptanya dan pemaknaannya menunjuk pada budaya tertentu dari suatu komunitas penerima
pesan, baik dari segi estetis maupun segi idiologis. Pendeknya, semua bentuk seni imitatif
tersebut terdiri dari dua pesan, yaitu gambar itu sendiri sebagai gambar dan sikap atau cara dari
suatu komunitas dalam berkomunikasi dengan pesan-pesan tersebut, yang perlu diantisipasi
bahwa untuk semua bentuk seni imitatif ini, biasanya sistem pemaknaannya kemungkinan
diperoleh dari perintah simbolis yang sifatnya universifal dan stereotip. (Roland Barthes, S/Z,
hlm.17).

Pemaknaan seperti ini berlaku pada komik “GONG”, keberhasilan komunikasi antara pembaca
dengan “GONG” terjalin karena perintah-perintah simbolis yang universal dan stereotip itu.
Adegan, obyek, pemandangan, besar kecilnya kotak gambar, dll, dalam “GONG” dikonsumsi
secara mudah, sehingga para pengguna bahasa yang berlainan, bisa tertawa bersama-sama.
Gambar-gambar itu sendiri telah bercerita, sehingga tidak dibutuhkan kata-kata lagi untuk
berkomunikasi. Narasi dalam komik-komik terkenal, seperti :tintin”, muncul secara estafet antara
gambar dan tulisan. Sangat teliti dan tidak mubasir, bahkan sering kita temui satu gambar
pemandangan terpotong tiga. Ada persoalan waktu, jarak dan peristiwa yang sedang
dikomunikasikan tanpa kata-kata, cukup memenggal satu gambar menjadi tiga bagian. Teks dan
gambar benar-benar berkedudukan sama rata, saling mendukung demi mencapai tujuan
keberhasilan komunikasi.

Di dalam karya Sigit, teks/tulisan dirancang untuk mengkonotasi gambar dan menempel seperti
benalu. Teks/tulisan yang ada justru telah membebani gambar bersama budaya, moral dan
imajinasi. Gambar tidak mampu mengembangkan narasinya karena telah diperangkap oleh teks.
Gambar dan teks/tulisan tidak saling me-relay, karena ada konflik kepentingan.
Kesimpulannya, gambar dan teks dalam karya Sigit tidak berdiri sama rata, sehingga gagal untuk
bisa disebut sebagai komik. Teks dan gambar tidak secara bersama-sama membangun narasi
untuk tujuan keberhasilan komunikasi.Teks/tulisan dan gambar berjalan sendiri-sendiri dalam
ladang yang sama. Hanya…seolah-olah pesan verbalnya berbagi obyektifitas dengan pesan
iconografiknya, dalam menemukan konotasi.

Anda mungkin juga menyukai