Anda di halaman 1dari 9

Kajian Semiotik Karya Seni Rupa

Semiotik Sebagai Jembatan Kritik


Untuk menerjemahkan pemikiran yang cukup cerdas dan lumayan edan ini,
barangkali pendekatan semiotik akan banyak membantu penulisan kritik seni
(karya) agar bernuansa lebih demokratis, plural, dan transdisipliner. Dan kita
sepakati terlebih dahulu bahwa karya sebentuk pamplet ini adalah bagian dari
aktifitas seni manusia yang menyimpan banyak pesan dan arti.
Sebab pada dasarnya, penjelajahan semiotik sebagai metode kajian ke dalam
berbagai cabang keilmuan – dalam hal ini kritik seni rupa – dimungkinkan karena
ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai
fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana
sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika seluruh praktik sosial
dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka semuanya termasuk seni rupa
dan kritik seni (seperti pamplet misalnya) dapat juga dipandang sebagai tanda-
tanda. Hal itu dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa,
kemudian berkembang juga dalam bidang seni (rupa). Semiotika adalah ilmu
tentang tanda (sign) dan simbol dalam kehidupan manusia. Erat kaitannya
dengan masalah karya seni, seniman dan publik seni. Semiotika berasal dari
kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda dalam kehidupan manusia bisa
berupa tanda gerak atau isyarat. Seperti lambaian tangan yang bisa diartikan
memanggil atau anggukan kepala yang dapat diartikan setuju; tanda bunyi
seperti peluit, suara manusia, atau dering telepon; tanda tulisan (huruf, angka),
tanda gambar seperti rambu-rambu lalu lintas, pamplet rupa; dan lainnya yang
sangat banyak jumlahnya.
Coba lihat, “tanda-tanda” atau “bahasa” yang tertera di dinding-dinding kota, di
jalanan, di televisi, bahkan di kamar mandi dan WC, itu menyimpan banyak
pesan. Dan di gedung-gedung pendidikan, sekolahan mulai dari TK sampai
perguruan tinggi akan Selalu kita temui “tanda-tanda” yang kadang tidak pernah
dipedulikan. Padahal, tanda merupakan satu-satunya alat transportasi pesan
dari diri individu ataupun kelompok dalam diri manusia. Dengan ini, tanda
sangatlah penting untuk lebih kita perhatikan walaupun berada di tempat yang
kotor sekalipun.
Charles Sanders Pierce, ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika
modern Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana
tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Sedangkan
Rita Widagdo, dosen semiotika Pascasarjana Seni dan Desain ITB mengatakan,
“manusia yang tidak mampu mengenal tanda tak akan bertahan hidup”.
Tanda-tanda yang dimanfaatkan dalam seni rupa berupa tanda visual yang
bersifat nonverbal, terdiri dari unsur rupa seperti garis, warna, bentuk, tekstur,
komposisi dan sebagainya. Sedangkan tanda-tanda yang bersifat verbal adalah
objek-objek yang dilukiskan, seperti objek manusia, binatang, alam, imajinasi,
atau hal-hal yang abstrak sifatnya.
Pembahasan karya seni rupa (seperti pamplet misalnya) dalam konteks kritik
seni akan lebih fleksibel, lugas dan komunikatif bila menggunakan pendekatan
teori Pierce untuk melihat tanda pada karya seni rupa (ikon, indeks, simbol,
qualisign, sinsign, legisign), teori Barthes untuk mengupas kode: kode
hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi dan kode kebudayaan,
serta teori Saussure untuk menyorot makna denotatif dan makna konotatif.
Di samping itu, tentunya penggunaan semiotika struktural dan semiotika pasca
struktural menjadi pertimbangan khusus dalam pembahasan ini. Hal itu menjadi
penting karena untuk kasus tertentu, semiotika struktural tidak bisa untuk
menganalisa teks (karya seni rupa), ketika teks tersebut keluar dari kode yang
berlaku. Dengan demikian, semiotika struktural yang stabil tidak bisa
menjelaskan teks yang labil, untuk itu diperlukan semiotika pasca struktural.
Pendekatan modernisme terhadap seni, lebih memusatkan perhatian pada
aspek formal dan fungsional. Sedangkan pendekatan postmodern lebih
menekankan pada aspek permainan tanda dan kode-kode. Artinya, memandang
objek sebagai sebuah mosaik tanda-tanda.
Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function,
dengan mengikuti model semiotik penanda atau fungsi (Yasraf A. Piliang,
298:l998). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan
signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara
penanda dan petanda relatif stabil, dan bersifat abadi.
Pasca strukturalis mengacu pada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan
konsep dekonstruksi dari Jacques Derrida. Julia Kristeva misalnya, ia tergabung
dalam Tel Quel Perancis menggunakan istilah intertekstualitas untuk
menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks
(karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam
konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan
kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih
semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya
masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya
beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-
beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva,
sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan
yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu
dengan lainnya.
Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertektualitas
sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia
menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang
pasca sejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan
untuk menginterogasi satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya.
Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang
sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa
peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan
makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekadar lelucon (parodi), pengelabuhan
identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis (kitch).
Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang
seniman; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya,
kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan
kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme adalah menerima
segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya, disebabkan
bercampuraduknya berbagai bahasa. Teks posmodernisme, tidak bermakna
tunggal, akan tetapi adalah aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada,
dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka macam tulisan,
tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah
sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan
yang tak terhitung jumlahnya (Yasraf A. Piliang, 110-111:l994).
Analisi Pamplet Dengan Pendekatan Semiotika
Pamplet merupakan salah satu teks yang menyimpan pesan. tentu tujuannya
kepada siapa saja yang mau membaca. Seperti halnya pamplet (rupa) di atas, ini
adalah ekspresi nakal jari-jari kreatif yang ingin menyampaikan suatu pesan
kepada para pembaca. Untuk mengetahui pesan apa yang ingin disampaikan
oleh pamplet ini tidak perlu kita mengetahui siapa yang membuat. Ada
pernyataan, “seorang pengarang, penulis, akan mati ketika karyanya tertuang
dalam suatu wadah, telah jadi suatu bentuk tersendiri”. Oleh karena itu,
mengacu pada Saussure dan Barthes, dengan signifier-nya (penanda, bentuk)
dan signified-nya (petanda, makna), yaitu dengan mengumpulkan perangkat
yang ada pada pamplet ini. Karena teori Saussure dan Barthes lebih gampang
dari pada yang lain. Semiotik yang ditawarkanya adalah semiotik struktural, yaitu
kestabilan antara penanda dan petanda.
Pertama, perangkat-perangkat pamplet. Dalam pamplet ini terdapat beberapa
penanda dan petanda, yaitu diantaranya; ada tulisan “Smoking Kills! warna hitam,
Lengan yang tinggal tulang dan Tangan yang lagi memegang Rokok layaknya
orang merokok, Tengkorak Kepala manusia ditusuk oleh Pisau pas di otak, dan
tulisan Crewd yang menunjukkan nama suatu group atau kelompok. Lalu apa
yang kita pikirkan ketika melihat atau menemukan pamplet seperti ini di dinding
jalan atau di mading sekolah kita?
Awalnya, kita akan menilai pamplet ini adalah biasa-biasa saja. Tidak ada pesan
yang penting dari pamplet ini. Kecuali hanya sebentuk ekspresi kosong dari
tangan-tangan kreatif. Atau ini hanya produk pikiran-pikiran nakal saja. Atau kita
hanya menilai dan berkata, “oh… dilarang merokok”, dan tidak kita menanggapi
dengan serius. Padahal kalau kita amati dan cermati secara seksama, pamplet
ini tidak seperti anggapan sementara kita. Pamplet menyimpan makna yang
lebih. Bukan hanya sekedar slogan tanpa makna. Ini merupakan kenakalan yang
barangkali perlu mendapatkan penghargaan. Karena dalam pamplet ini ada
makna moral, budaya atau suatu peradaban. Dan bagaimana juga kaitannya
hubungan antar-teks (antara tanda-tanda) yang terdapat dalam pamplet ini. Hal-
hal seperti ini sangat penting untuk mendapatkan makna yang lebih.
Terkadang, seringkali kita acuh tak acuh terhadap apa yang terdapat di dinding-
dinding jalan, di mading sekolah, coretan-coretan di kamar mandi, di WC dan
atau ekspresi-ekspresi yang dianggap nakal sama kita. Tidak tahukah bahwa itu
merupakan salah satu bentuk pemberontakan (misalnya) terhadap suatu
peradaban. Tidak tahukah bahwa itu merupakan kritik terhadap gaya hidup kita.
Atau barangkali itu ekspresi yang ingin menyampaikan pesan terhadap
kehidupan masa kini. Kita selalu lalai untuk membaca realitas. Padahal,
berdasar pada semiotik, semua tanda terdapat makna.
Selama ini kita kira proses sosial (suatu interaksi antar anggota masyarakat)
hanya terbatas pada aktivitas verbal saja sebagai rutinitas masyarakat (manusia).
Dan ini merupakan hal yang paling tampak di mata kita karena mengggunakan
bahasa. Padahal nilai-nilai dan moral-moral sosial berada pada aktivitas verbal
dan non-verbal (Drs. Riyadi Santoso, 10-11: 2003). Jadi, non-verbal selama ini
yang kurang diperhatikan oleh kita adalah juga merupakan proses sosial yang
mendukung terbentuknya nilai-nilai dan moral-moral kultural. Seperti halnya
bentuk bangunan rumah, cara berpakaian, dan sebagainya.
Maka, tidak pantas kita jika masih tidak acuh terhadap proses sosial yang
bentuknya no-verbal. Karena itu, pamplet yang kita akan kaji ini adalah termasuk
proses sosial yang juga ikut serta pembentukan nilai-nilai dan moral-moral
kultural.
Kedua, hubungan antar-teks (antara tanda-tanda). Melihat perangkat pamplet ini,
hubungan antara tulisan smoking kills dengan lengan yang tinggal tulang dan
tangan yang memegang rokok, dan dengan tengkorak kepala yang ditusuk pisau
adalah, dengan rincian seperti di bawah ini;
Smoking kills adalah memiliki arti merokok dapat membunuh (arti jamak). Warna
tulisan ini yang dipilih adalah hitam. Sedangkan hitam identik dengan warna
“kegelapan” atau sesuatu yang tidak memiliki titik terang. Dan hitam ini
merupakan lambang kegelapan yang juga identik dengan sesuatu yang
menyeramkan dan menakutkan. Barangkali, warna hitam, mungkin, diartikan
seperti itu. Selanjutnya tulisan smoking kills dilanjutkan dengan tanda seru (!).
Tanda seru merupakan tanda yang memiliki arti penekanan. Artinya sungguh-
sungguh, atau serius. Selanjutnya, ada gambar topi warna hita tepat diantara
huruf g pada kata smoking. Kalau tidak salah, makna topi ini adalah
menandakan betapa rokok itu membuat manusia nyerah pada dirinya. kata-kata
angkat topi biasanya diartikan menyerah. Maksudnya kalau seseorang telah
cinta (kecanduan) pada rokok ia akan rela menyerahkan hidupnya hanya demi
rokok. Tanda ini menunjukkan betapa kejamnya rokok itu sehingga mampu
menundukkan manusia ketika ia masuk dalam kehidupan rokok. di sini, rokok
adalah perangkap maut untuk siapa pun yang bergaul dengannya.
Atau, barangkali bagi orang perokok, ini profokatif agar rokok itu tidak laku. Agar
perusahaan rokok di tutup. “Mana ada rokok dapat membunuh jiwa manusia.
Banyak orang mati bukan karena rokok, minum teh, misalnya, ada yang mati.
Apa teh itu dapat membunuh?” Pernyataan ini hanya dari sudut yang berbeda,
dengan menyatakan bahwa pamplet ini adalah hanya sekedar profokatif.
Atau barangkali, mungkin, ini hanya sekedar menggambarkan kondisi sosial
semakin “mendewakan” rokok. Kalau ia tidak merokok sehari jadi malas kerja,
misalnya. Kata Kills di sini, bisa jadi memiliki arti bukan kematian raga (fisik).
Tapi kematian spirit. Atau barangkali karena perokok itu boros. Jadi membunuh
perekonomiannya.
Begitu banyak sudut untuk memandang kata smoking kills ini. Apalagi ada masa
pasca struktural yang semakin memperluas pembahasan semiotik. Apa yang kita
tafsir tentang sebuah tanda itu bisa benar dan juga bisa salah, kata Derrida. Dan
ini menarik sebagai jalan kita agar bisa menghargai yang lain.
Lengan yang tinggal tulang dan tangan yang sedang memegang rokok yang
sedang nyala adalah sebagai penjelasan dari smoking kills, yaitu merokok itu
akan membunuh dengan menfirusi tubuh hingga kurus kerompong. Mencekik
tubuh dengan menfirusi (dan membuat orang kecanduan). Dan rokok merupakan
pembunuh berdarah dingin karena ia akan memfirusi tubuh dengan pelan-pelan
hingga tidak berdaya, hingga tinggal tulang benulang. Seperti yang kita tahu,
kata dokter, rokok itu mengandung racun (yaitu nekotin), yang mematikan
barangkali walaupun tidak membunuh dengan cara langsung. Apa sebenarnya
yang membahayakan dari rokok itu sendiri adalah Racun itu (nekotinnya).
Seperti yang kita lihat pada pamplet ini, tangan memegangi rokok yang
menyala dan mengeluarkan asap. Berarti racun itu masuk ke dalam tubuh
manusia melalui asapnya. Maka rokok yang membahayakan adalah asapnya
karena mengandung nekotin. Karena itu, tentu bukan hanya bembahayakan si
perokok tapi juga siapa saja yang terkena asap rokok (perokok pasif). Di sini
rokok digambarkan suatu munster pembunuh bagi diri manusia. Kalau kita ingin
memiliki tubuh seperti lengan yang tinggal tulang ini maka merokoklah.
Kenapa harus mengambil gambar tangan dan lengan yang tinggal tulang?
Kenapa tidak menggunakan gambar tubuh manusia? Hal ini, kita kaitkan dengan
fakta bagaimana orang yang sedang merokok. Tentu, orang yang merokok pasti
menggunakan tangan (jari telunjuk dan jari tengah untuk melakukan aktifitas
merokok). Maka dari itu, dengan gambar tangan dan rokok di antara jari telunjuk
dan jari tengah saja telah mendeskripsikan bahwa ini adalah orang yang sedang
merokok. Dan kiranya, tidak perlu susah-susah menggambar gambar manusia
dari ujung kaki sampai ujung rambut sambil memegangi rokok atau menghisap
rokok untuk menggambarkan orang yang sedang merokok. Kare akan
membuang-buang energi saja dan kurang efisien.
Kalau hanya tanda lengan dan tangan yang memegangi rokok ini tidak begitu
nigatif untuk memaknainya. Tapi ketika dikaitkan dengan kata Smoking Kills,
apalagi ada tanda seru, ini sangat meyakinkan bahwa merokok itu merupakan
aktifitas yang sangat nigatif. Atau seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
bahwa pamplet ini merupakan gambaran kondisi sosial yang semakin tak acuh
pada kesehatan. Yaitu sudah tahu bahwa rokok itu mengandung penyakit tapi
tetap saja dilakukan. maka ini merupakan pemberontakan terhadak kondisi
sosial.
Atau hal ini menyimpan pesan moral, yaitu merokok merupakan aktifitas tidak
baik. Bisa mengurangi perekonomian, mengurangi kesehatan dan sebagainya.
Misalnya, Dengan kecanduan rokok, perekonomian semakin memburuk, pada
akhirnya bisa melakukan kriminal. Pamplet ini mengatakan “hindarilah rokok”.
Dalam pamplet ini selain ada tulisan smoking kills dan lengan yang tinggal
tulang serta tangan yang memegangi rokok menyala, ada gambar tengkorak
kepala yang di tusuk pisau tepat di otak. Gambar tengkorak kepala ini bisa
diartika adalah orang yang menghisap rokok tanpa merokok sendiri (perokok
pasif). Ini memperkuat pernyataan tadi bahwa rokok tidak hanya merugikan si
perokok saja, akan tetapi juga manusia disampingnya atau disekitarnya. Dengan
gambar tengkorak kepala manusia dan tepat di otaknya ditusuk pisau ini kita
dapat menilai bahwa perokok pasif itu lebih menderita dari pada si perokok itu
sendiri (perokok aktif).
Kalau gambar tengkorak kepala dan ditusuk pisau di otaknya di pisah dengan
tanda yang lain, tentu sudah menakutkan. Tengkorak adalah hal yang begitu
mengerikan. Apalagi ditambah dengan pisau yang ditusukkan tepat di otaknya.
Apa kita tidak pernah melihat lambang perompak? Lambang perompak adalah
tengkorang kepala. sedangkan perompak kehidupannya terkenal mengerikan
dan menakutkan. Maka kalau tujuan gambar ini untuk membuat orang takut
tentu memilih gambar tengkorak sangat tepat.
Pamplet ini memang sedikit kurang ajar dan nakal. Kalau ini di lihat oleh orang
yang buta huruf, tentu ia akan menilai pamplet ini hanya hasil kenakalan remaja.
Karena tampilan pamplet ini sedikit kelihatan meremaja. Apalagi kalau hanya
melihat gambar tengkorak kepalanya saja.
Kalau gambar tengkorak ini dihubungkan dengan tanda yang lain (Yang sudah
dikemukakan sebelumnya), barangkali ini menandakan bahwa merokok itu akan
berakhir seperti tengkorak ini. Artinya merokok akan membuat kita sengsara dan
menderita hingga tubuh kita menjadi tengkorak. Begitu sangat mengerikan.
Apalagi melihat pisau yang sedang menusuk otak. Pisau adalah senjata tajam
yang bisa melukai bahkan membunuh dengan ketajamannya. Pisau merupakan
alat yang tidak begitu menyeramkan tapi juga menyeramkan. Tergantung pisau
itu ada di posisi mana. Barangkali, pisau di sini mengibaratkan sebuah rokok.
Dengan kata lain, rokok itu seperti pisau yang langsung menyerang otak
manusia. Dengan melihat tanda-tanda yang lain tentu pisau di sini memiliki
makna negatif. Misalnya dengan adanya tulisan Smoking Kills atau dengan
adanya gambar tangan dengan lengan yang tinggal tulang yang sambil
memegangi rokok, maka pisau ini sangat erat diartikan pendeskripsian tentang
rokok itu sendirir.
Terakhir, dalam pamplet ini ada tulisan Crewd di paling atas halaman pamplet.
Tulisan ini barangkali, mungkin, sebuah nama, bisa nama geng, nama kelompok
tertentu, nama golongan, atau nama group. Kalau benar ini sebuah nama, maka
nama ini memiliki arti yang mempromosikan tentang pamplet ini. Berarti, crewd
yang tertulis di paling atas halaman pamplet adalah suatu golongan atau group.
Gruop Crewd ini menunjukan pada setiap mata, dengan melihat pamplet yang
dibuatnya, bahwa dirinya anti rokok. Atau bisa jadi ia memberanikan diri
memasuki proses sosial yang akan ikut serta dalam menentukan nilai-nilai dan
moral-moral kultural. Barangkali ia menganggap bahwa sosial sekarang lagi
mengalami keterpurukan, yaitu kriminalitas di mana-mana, kemiskinan semakin
merata, orang-orang banyak mengalami penyakit jantung dan tidak jernihnya
cara berfikir, yang dianggapnya ini faktor utamanya adalah sosial sudah tidak
acuh terhadap kondisi dirinya sendiri dengan jalan menjadi pecandu rokok.
Penafsiran semacam ini bisa salah, dan juga bisa benar, Seperti yang telah
dibahas tadi.
Bisa juga, gruop Crewd ini memiliki kepentingan tertentu tehadap masyarakat,
atau ada dendam terhadap rokok, atau terhadap perusahaan rokok itu sendiri.
Kemungkinan seperti ini adalah emungkinan fiktif, maksudnya terlalu fiktif. Tapi
bisa jadi karena ia sempat merokok atau jadi pecandu rokok sehingga ia
mengalami derita yang hampir menemui maut. Atau ia pernah melihat orang
yang sedang merokok kemudian orang itu mengalami penderitaan karena rokok
dan kemudian mati. Yang pasti, mungkin, Group Crewd ini telah
mengekspresikan kenakalannya dengan baik, yaitu dengan pernyataan akhir
“merokok itu dapat membunuh” (smoking kills), menfirusi kehidupan manusia,
membuat diri menderita dan sebagainya.
Sekarang, setelah sekilas pembahasan atau penafsiran terhadap pamplet ini,
bagaimana membaca pamplet secara keseluruhan. Maksudnya, mengkaji
pamplet ini lebih luas lagi. Baik dari sisi sosio-kulturalnya, sisi politiknya, atapun
bentuk penyusunan tanda-tanda pada halaman pamplet ini dan sebagainya.
Kalau Saussure hanya sebatas memisahkan antara penanda dan petanda, dan
kita mencoba masuk pada Charles (pasca struktural) yang lebih menekankan
tidak adanya kestabilan dalam suatu tanda.
Dalam sebuah penafsiran bukan memperebutkan kebenaran, atau kesalahan.
Tapi mana yang lebih mengantarkan kita pada keyakinan bahwa apa yang kita
dapat merupakan baik untuk kita, belum tentu baik untuk yang lainnya. Dengan
semiotika, paling tidak ada sandaran untuk kita lebih nyaman memandang
sesuatu tanpa harus menyalahkan yang lain. Semiotika akan mengantarkan kita
pada kehidupan yang lebih dewasa. Karena dalam dunia ini tidak akan
mendapatkan kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang mutlak akan selalu nisbi.
Begitu juga dengan pamplet ini yang selalu terbuka bagi siapa pun untuk
memaknainya atau mencari makna dari pesan yang terdapat dalam pamplet ini.
Di dalam pamplet ini ada beberapa tanda, diantaranya; tengkorak kepala, tangan
dan lengan tinggal tulang, rokok yang menyala (mengeluarkan asap), tulisan
Smoking Kills, tanda seru dan pisau. Berhubungankah tanda-tanda yang
disebutkan ini?
Pisau, misalnya, tidak ada kaitan sama sekali dengan rokok, dengan tangan,
dengan lengan tulang, dan dengan tengkorak kepala. tapi karena dalam satu
situasi, dalam satu bentuk (pamplet), pisau bisa terkait dengan rokok, dan lainya.
Dan tengkorak kepala, juga tidak ada kaitannya dengan rokok dan seterusnya.
Maka kita dapat tegaskan, bahwa sesuatu yang tidak ada hubungan sama sekali
kalau dalam satu kondisi dan situasi akan menjadi keberhubungan dan saling
keterkaitan.
Kita akan temukan tanda-tanda dalam kehidupan ini di mana-mana. Tanda akan
menjadi jalan bagi kita untuk memahami realitas, dan hingga mengatarkan kita
pada keyakinan kita. Seperti pamplet ini misalnya, ini merupakan tanda yang
harus kita perhatikan barangkali ini menyimpan pesan untuk kita. Dan kita akan
menemukan pesan atau makna dari tanda kalau kita peduli terhadap tanda yang
kita temui.
Semakin meluasnya pemaknaan terhadap tanda yang kita tangkap adalah
semakin sempurnanya dalam memahami tanda. Dalam pemaknaan atau
penafsiran tidak ada satu sudut pandang menjadi satu-satunya kebenaran.
Seperti kita, misalnya, memilih berrambut panjang. Rambut panjang itu dulu
identik dengan orang berandalan, preman, perampok, dan sebagainya. Lambat
laun anggapan itu berubah setelah melihat kondisi sosial yang banyak berubah
sesuai dengan bergulirnya waktunya. Orang yang berambut panjang belum tentu
jahat, atau negatif dalam pikiran masyarakat. Karena banyak sekarang yang
melakukan tindakan kejahatan bukan berambut panjang. Nah.. dengan
sendirinya, tentunya membaca tanda-tanda, nilai-nilai dan moral-moral kultural
semakin berkembang.
Setiap tindakan yang bersentuhan dengan lainnya adalah proses sosial. Seperti
pamplet ini, merupakan proses sosial yang berbentuk non-verbal. Semakin
orang tertarik memahami tanda-tanda seperti pamplet ini akan mengantarkan
kita pada kondisi yang menuntut tindakan-tindakan baru di tengah-tengah sosial.
Barangkali, pamplet ini terlalu radik. Terlihat menakutkan dan kemustahilan.
Paling tidak tindakan seperti pamplet ini sudah menunjukkan suatu keadaan
yang belum tentu orang tahu. Kita bisa katakan pamplet ini adalah semacam
pengumuman yang berbentuk beda. Dan inilah sabda yang tersembunya dibalik
tanda.
Kebali pada pamplet ini, sebenarnya sepintas kita bisa membaca tanda utama
yang terdapat dalam pamplet ini, yaitu rokok dan kematian. Tulisan yang kita
ketahui, Smoking Kills, adalah bahasa inggris yang memiliki arti aktif (imbuhan
me dalam bahasa indonesia). Ini jelas bahwa masalahnya pada pada rokok.
Lalu, ketika melihat tanda yang lain akan menambah keyakinan kita tentang
kalau aktifitas merokok itu bisa membunuh diri kita. Dan ketika melihat ada
tangan dengan lengan tulang dan tengkorak, bisa diartikan rokok itu akan
membunuh kita dari sisi fisik. Maka ini adalah pesan tentang kesehatan.
Sebenarnya sederhana untuk membaca pamplet ini kalau hanya secara sepintas.
Rokok itu memang tidak bisa membunuh kita dengan cara yang dilakukan oleh
pembunuh yang menggunakan pisau. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kata
kills ini adalah rokok itu akan membunuh dengan cara menyerang kesehatan kita
dan membunuh diri kita dengan cara membuat kita kecanduan. Hal seperti ini
resikonya lebih mengenaskan dari pada kita dibunuh secara tiba-tiba.
Bagaimana kalau kita membayangkan tentang kematian. Kematian yang wajar
dan tanpa menderita apa pun apakah lebih baik dari pada kematian secara
pelan-pelan dan menderita dengan jangka panjang? Hal ini terserah kita mau
memilih mati harus bagaimana. Yang jelas, pamplet ini memberitahukan,
barangkali, kira-kira seperti itu.
Dan deskriptif pamplet ini berangkat dari satu anggapan serta diperkuat
pernyataan dokter bahwa rokok itu mengandung penyaki, merugikan kesehatan
yang menyerang paru-paru atau akan membuat orang sesak nafas. Setelah
ditelisik lebih jauh ternyata dokter itu ada benarnya. Bahkan kalau mau diperluas
rokok itu bisa juga memotong anggaran rumah tangga (perekonomian). Hal itu
juga penyakit. Maka, dengan pandangan seperti ini tangan-tangan ‘nakal’ dan
otak ‘brilian’ berinisiatif nelakukan penyadaran kepada setiap manusia tentang
bahayanya rokok dengan melalu media yang dianggap gampang ditangkap,
salah satunya seperti pamplet ini dan lainnya.
Ternyata ada benarnya bahwa manusia tidak mampu menjalani hidup tanpa
adanya tanda-tanda. Dan kita selalu tak pernah berhenti membaca dan mencipta
tanda. Karena kita hanya bisa menangkap sesuatu melalui tanda. Kita masuki
carut-marut dan kekonyulan tanda-tanda.

Salamet,
Pengajar di STKIP PGRI Sumenep dan Penggiat kajian filsafat dan sastra

http://www.stkippgrismp.ac.id/aktivitas-karya-seni-dalam-kajian-semiotik/

Anda mungkin juga menyukai