Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA PADA CERGAM “REO MANUSIA SERIGALA

KONTRA SERIGALA HANTU” KARYA GANES TH

MAKALAH

Diajukan Sebagai Bagian dari Tugas Akhir Kajian Prosa Indonesia

Dosen Pengampu David Setiadi, M. Hum.

Oleh

Paisal Abdul Azis


1831311003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Korpus

Penulis memilih cergam yang berjudul Reo Manusia Serigala kontra Serigala
Hantu karya Ganes TH ini karena menurut penulis cergam ini masuk ke dalam
kriteria Pendekatan Sosiologi Sastra. Dengan sastra yang menyuguhkan sebuah
gambaran kehidupan dan juga dalam cergam ini pun sarat akan nilai-nilai
kehidupan. Dalam cergam Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu ini
menceritakan sifat manusia yang tamak akan menjerumuskannya kedalam lubang
penyesalan.
Hampir semua tema karya sastra dari Ganes TH banyak menceritakan tentang
dunia persilatan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan dibaliknya meskipun pada
awalnya ia membuat beberapa komik roman remaja. Ganes TH merupakan
komikus Indonesia yang terkenal dan beliau pun merupakan salah satu tonggak
kejayaan komik Indonesia. Cergam Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu
karya Ganes TH sangat menarik kita untuk merasakan kehidupan manusia pada
masa itu yang mungkin tidak pernah terbayangkan.

1.2 Pengarang dan Karyanya

Ganes TH mempunyai nama lengkap Ganes Thiar Santosa (Thio Thiauw San)
ia lahir di Tangerang, Jawa Barat, 10 Juli 1935, dan meninggal di Jakarta, 10
Desember 1995 (Usia 60 tahun), Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan
komik Indonesia dan juga merupakan salah satu dari “tiga dewa komik
Indonesia”

1
2

bersama dengan Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Kisah dalam komik-
komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun 70-an
sampai 80-an. Ia mulai menekuni dunia gambar sejak masa sekolah menengah
Tionghoa Hwee Koan, karena kemampuan gambarnya, saat remaja ia biasa
diminta menggambar logo untuk restoran, meski hanya diupah semangkuk
bubur. Pada 1953, ketika umurnya masih 18 tahun, ia sudah merasakan ikut
pameran di Jakarta dan Bandung. Ia juga sempat mengenyam pendidikan di
Akademi Seni Rupa Indoneisa (ASRI) meski tak sampai menamatkannya.
Masalah biaya jadi penyebabnya. Ia lalu memperdalam keahlian gambar dan
lukis dengan menjadi asisten pelukis sohor Lee Mang Fong. Selain itu, ia juga
mulai merintis karierprofesionalnya di awal 1960-an. “Kembali ke Jakarta, ia
meneruskan melukis dan memasok ilustrasi pesanan, khususnya karikatur,untuk
sebuah harian komunis Warta Bhakti” tulis peneliti komik Marcel Bonnef dalam
Komik Indonesia (1998:200). Meski tak terkait langsung dengan PKI dan ormas-
ormasnya, afiliasinya dengan Warta Bhakti sempat membuat Ganes ketar-ketir.
Ia sempat pula diintrogasi aparat dan masuk “daftar hitam”. Hidupnya sempat
tak menentu gara-gara itu. Untuk membersihkan namanya, Ganes TH ikur dalam
Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia (Ikasti). Tak hanya ikut membela
kepentingan para komikus, menurut Bonneff, Ganes juga membingbing
komikus-komikus yang lebih muda. Ontran-ontran 1965 juga mengubah arah
kreatif Ganes. Ia tak lagi melukis atau bikin ilustrasi. Ia kini mencurahkan
waktunya untuk bikin komik. Pada momen ini juga ia ganti haluan, dari semula
hanya membuat beberapa komik roman remaja menjadi komikus silat. Itu
terbukti jadi pilihan tepat dank arena itu juga namanya kian terkenal. “Si Buta
Dari Gua Hantu” merupakan salah satu komik yang meledak pada 1967 Ganes
TH memberikan latar Nusantara pada karakter itu, lebih tepatnya latar Banten
yang ia pahami. Ilmu silat yang digunakan Si Buta pun bukan lagi ilmu silat
Cina melainkan ilmu silat Betawi. Karya sastra karya Ganes TH sarat akan dunia
persilatan yang menjadi daya pikat dan saarat akan makna kehidupan di
dalamnya selain dari Si Buta Dari Gua Hantu adaa juga Serigala Hantu yang
sarat akan nilai-nilai kehidupan di dalamnya.
3

1.3 Landasan Teoretis


Dalam sebuah penelitian, landasan teori merupakan hal yang sangat penting,
seperti sebuah bangunan, maka hal tersebut merupakan dasar atau fondasi.
Dimana sebuah bangunan akan memiliki struktur kontruksi yang sangat kuat jika
didirikan dengan dasar-dasar fondasi yang kuat pula. Hal ini juga berlaku pada
sebuah penulisan karya ilmiah, berisi atau tidaknya ditentukan oleh unsur
kerangka yang merupakan unsur metodologis.

Untuk mendapatkan sebuah karya ilmiah yang berbobot, maka seorang


penganalisis perlu memperdalam pemahaman mengenai landasan teori. Dengan
demikian karya ilmiah yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya
dengan teliti memperhatikan landasan teori di dalam penelitian yang akan
dilakukan.

1.3.1 Teori Struktur dalamPengkajian Prosa


Unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur
pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu
sendiri. Untuk karya sastra dalam bentuk prosa, seperti roman, novel, cerpen,dan
cergam terdapat tujuh unsur instrinsik, diantaranya:

1. Alur dan Pengaluran (Plot)


Alur cerita ialah peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan atau
hubungan tertentu. Sebuah rangkain peristiwa dapat terjalin berdasarkan atas
urutan waktu, urutan kejadian atau hubungan sebab-akibat, jalin-menjalinnya
berbagai peristiwa secara linear atau lurus maupun secara kausalitas,sehingga
membentuk satu kesatuan yang utuh, padu dan bulat dalam suatu prosa fiksi
(Wicaksono, 2014:370).

Bagian terpenting dalam plot ialah konfliks dan klimaks. Cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-
akibat peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
4

yang lain. Plot ialah peristiwa-peristiwa yang disampaikan dalam cerita yang
tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berkaitan dengan sebab akibat. Dengan demikian, alur cerita ialah jalinan
peristiwa yang melatari sebuah prosa fiksi yang dihubungkan secara sebab-
akibat (Staton dalam Wicaksono, 2014: 38) Penulis menggunakan skema
fungsi utama untuk memaparkan alur dan pengaluran cerita.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya


naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kasualitas moral dan
kecerdasan tertentu seperti yang diekspresikan dalam cerpen dan apa yang
dilakukan dalam tindakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165).

Menurut Sudjiman dalam Wicaksono tokoh adalah individu rekaan yang


mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa di dalam
sebuah cerita. Tokoh dalam sebuah cerita menempati posisi strategis sebagai
pembawa atau penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja
ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh sebagai pelaku cerita meliputi
tiga aspek yang meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosiologis (Sudjiman
dalam Wicaksono, 2014: 38).

3. Latar (setting)

Latar atau setting disebut juga landasan tumpu,menyaran pada pengertian


tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan Abrams (dalam Nurgiyanto, 2007: 216). Latar
memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-olah sungguh-sungguh ada yang terjadi (Nurgiyantoro,2010:
217).
5

Latar dan pelataran juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya sastra. Latar atau
setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah
lukisan latar belakang alam atau lingkungan dimana tokoh tersebut itu berada.
Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah laku, adat dan pandangan hidup
(Rahmawati, 2015: 7).

4. Tema

Tema merupakan ide, gagasan atau pikiran utama dalam sebuah karya
sastra yang terungkap atau tidak (Sudjiman dalam Wicaksono, 2014: 38).
Tema juga merupakan pikiran atau pendapat yang ada dalam sebuah karya
sastra yang berperan utuk melayani visi, yakni keseluruhan respon pengarang
terhadap pengalaman dan hubungannya dalam kehidupan. Tema tidak dapat
dipisahkan dengan masalah, yaitu sesuatu yang harus diselesaikan atau
dipecahkan. Menurut Djikosujatno dalam sebuah wacana sastra selalu
memunculkan tema besar dalam sebuah cerita, yang disebut dengan tematik.
Tematik merupakan sebuah tema yang besar yang mencakup banyak tema
lain terdapat dalam sebuah wacana sastra (Sudjiman dan Djikosujatno dalam
Wicaksono, 2014: 38).

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tema


merupakan ide, gagasan, pikiran, yang berisi muatan makna yang sarat
dengan berbagai filosofi pemikiran setiap pengarang dalam sebuah wacana
sastra.

5. Sudut Pandang (point of view)


Abrams dalam Nurgiyantoro berpendapat bahwa sudut pandang (point of
vie) menyarankan menyarankan dalam sebuah cerita dikisahkan cara dan
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
6

tokoh, tidakan latar dari berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyanto, 2000: 284).

Penyajian sebuah cerita dipengaruhi oleh pemilihan sudut pandang, selain


itu reaksi efektif pembaca terhadap sebuah karya fiksi banyak dipengaruhi
oleh bentuk sudut pandang (Wicaksono, 2014: 38).

Sudut pandang adalah cara bercerita atau cara pandang visi seorang
pengarang pada suatu peristiwa dalam cerpen. Ada dua macam sudut
pandang:
1) Intern (sudut pandang orang pertama)
Yaitu pengarang berada dalam cerita. Biasanya menggunakan tokoh
aku dalam ceritanya. Masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu ‘aku’
sebagai tokoh utama dan ‘aku’ sebagai tokoh tambahan (Nurgiyantoro,
2002: 284).
2) Ekstern (sudut pandang orang ketiga)
Dalam sudut pandang ini pengarang berada di luar cerita. Cara
menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dengan menggunakan kata dia
ataupun nama tokoh. Inipun masih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
‘dia’ serba tahu (mengetahui seluk beluk cerita serta tokohnya) dalam
‘dia’. terbatas (hanya menceritakan saja) (Nurgiyantoro, 2000: 284).

1.3.2 Pendekatan Sosiologi Sastra


Metode pendekatan sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian digunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial
di luar sastra. Dan pada akhirnya pendekatan ini lebih mempertimbangkan kepada
segi-segi kemasyarakatan (Damono, 2010: 2). Hal inilah yang menjadi pembeda
pendekatan sosiologi sastra dengan pendekatan lainnya.
Didalam berbagai buku sejarah sosiologi selalu dikatakan bahwa ilmu
tersebut ditemukan dan dibangun untuk pertama kalinnya oleh Auguste Comte
pada pertengahan abad XIX (Lihat antara lain Duverger, 1981).
7

Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra


yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:

1. Pemahan terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek


kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan
masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kuakitas interdependesi antara
sastra dengan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa


sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada
karya sastra sebagai objek yang diperbincangkan.
Dengan begitu, sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra
dengan memperhatikan aspek-aspek sosial masyarakat. Dalam pendekatan ini
membahas mengenai sosial pengarang, sastra sebagai cerminan zamannya, dan
funsi sosial sastra.
8

1.4 Rumusan Masalah

Berikut ini adalah rumusan masalah untuk menganalisis cergam “Reo


Manusia Serigala Kontra Serigala Hantu” karya Ganes TH, antara lain:

1. Bagaimanakah Struktur Teks Cergam “Reo Manusia Serigala kontra


Serigala Hantu” Karya Ganes TH
2. Bagaimanakah Konteks Sosial Pengarang yang Tercermin dalam Cergam
“Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” Karya Ganes TH
3. Bagaimanakah Gambaran Masyarakat yang Tercermin dalam Cergam
“Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” Karya Ganes TH
4. Bagaimankah Fungsi Sosial dalam Cergam “Reo Manusia Serigala kontra
Serigala Hantu” Karya GanesTH.
BAB II

ANALIS STRUKTUR CERGAM “REO MANUSIA SERIGALA KONTRA


SERIGALA HANTU” KARYA GANES TH

2.1 Analis Sintaksis

Analisis sintaksis merupakan analisis yang di dalamnya meliputi alur dan


pengaluran yang keberadaannya untuk memperjelas rangkaian cerita. Adapun
analisis sintaksis pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu”
karya Ganes TH dapat dilihat sebagai berikut:

2.1.1 Alur dan Pengaluran

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya sastra adalah
alur cerita. Alur adalah rangkaian peristiwa yang penting tersaji secara tersusun
sehingga membentuk cerita. (Nurgiyanto, 2010: 110). Menurut Ersen Musral
(1999: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam seperti berikut:

1) Alur maju (konvensional progresif) adalah teknik pengaluran yang


melukiskan keadaan hingga penyelsaian.
2) Alur mundur (flash back, sorot balik, regresif) adalah teknik pengaluran
dan penetapan peristiwa dimulai dari penyelsaian kemudian ke titik
puncak sampai melukiskan keadaan. Intinya alur ini melukiskan cerita
yang sepenuhnya adalah flash back.
3) Alur Tarik balik (back tracking) yaitu teknik pengaluran cerita tetap maju
hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Alur dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya
Ganes TH menggunakan alur maju, dengan menggunakan Analis Fungsi Utama,
sebagai berikut:

9
10

1) Reo manusia serigala dan munculnya Serigala Hantu


2) Pencurian dan pembantaian hewan ternak
3) Wali desa dan kepala keamanan
4) Warga meminta bantuan Dompu
5) Dompu bertumu keluarga Reo
6) Pertarungan Dompu dengan Manusia Serigala
7) Reo dan Bula membantu Dompu
8) Tubuh Bula Terbanting
9) Dompu menembak Serigala Hantu
10) Reo Bula dan Dompu dikeroyok
11) Serigala Hantu kabur ke arah bukit karang gantung
12) Penduduk desa Dorokore datang
13) Penduduk beramai-ramai menuju bukit karang gantung
14) Kepala keamanan desa menghentikan pedati
15) Penduduk mengepung pedati
16) Warga mendapati barang hasil curian
17) Warga hendak menghakimi si pembawa pedati
18) Wali desa datang dan melerai warga
19) Wali desa terjatuh bersama uang hasil penjualan barang curian
20) Pedati kabur kocar kacir
21) Reodan Bula datang
22) Reo dan Bula diserang warga
23) Reo dan Bula mengejar wakil wali desa
24) Reo, Bula, dan warga berhasil menangkap serigala hantu
25) Wali desa dan wakil wali desa terlibat dalam kasus serigala hantu
26) Dompu sebagai pahlawan
27) Reo dan Bula menyelinap kedalam hutan

Beberapa tahun yang telah silam, Desa Dorokore pernah digemparkan oleh
munculnya manusia serigala, yang kemudian terkenal sebagai Reo kini desa
Dorokore yang tenang tentram itu kembali diguncangkan lagi oleh munculnya
11

segerombolan Serigala Hantu (F1) Ketika fajar menyingsing kegaduhan terjadi


diantara para penduduk desa, mayat hewan ternak berserakan dan lumbung hasil
panen dicuri (F2) Wali Desa datang bersama para pembantunya dengan tergopoh-
gopoh berusaha menenangkan warga dan berjanji untuk menyelsaikan kasus ini
( F3) Warga berbondong-bondong menuju tepi hutan untuk menemui Dompu sang
pemburu,

bermaksud ingin meminta bantuan kepada beliau untuk menyelsaikan kasus ini
(F4) Bertemulah ia dengan pak Bajo ayah bocah serigala ini, lalu pak Bajo segera
menceritakan maksud kedatangan dompu kepada Reo (F5) Sesaat kemudian,
Dompu mematung bagaikan kena sihir, jari-jarinya seakan kaku untuk menarik
picu senapannya (F6) Tiba-tiba Reo dan Bula (Induk Serigala) menerjang
kawanan serigala hantu dan berusaha menyelamatkan Dompu (F7) Tubuh Bula
jatuh terbanting kebatang pohon disusul oleh terkaman mahluk aneh ini, dan
koyaklah batang pohon tersebut (F8) Pada detik itu, Dompu sudah melocok
senapannya kembali dan langsung memuntahkan pelurunnya kearah mahluk
berkepala serigala itu, namun tembakannya luput dan Dompu malah balik
terancam (F9) Kawanan Serigala Hantu ini semakin menggila menyerang Reo,
Bula, dan Dompu (F10) Riuh dari kampong dan obor api yang menyala,
membuat kawanan Serigala Hantu angkat kaki dan kabur kea rah bukit karang
gantung (F11) Kami mendengar leturan-leturan senjata, serta rauman-rauman
serigala hantu lalu kami bergegas kesini (F12) Bagaikan pasukan laskar,
penduduk desa Dorokore segera bergerak menuju bukit karang gantung, yang
12

diperkirakan sebagai sarang kawanan serigala hantu itu (F13) Berhenti, pedati
berusaha kabur setelah kepala pengamanan desa menghentikannya (F14) Tetapi
pedati ini tidak bisa kabur setelah warga berhasil mengepungnya (F15) Tidak
salah lagi ini hasil curian milik para penduduk, benar kulit-kulit ini hasil dari
ternakku (F16) Rupanya kaulah setannya yang menggarong semua milik
penduduk, ya? (F17) Tenang-tenanglah saudara-saudara,menghadapi persoalan
seperti ini kita harus pakai otak dingin, selidikilah lebih dahulu masalahnya tanpa
diburu nafsu, apalagi main bunuh (F18) Tiba-tiba entah apa sebabnya,kuda wali
desa ini meringik dan melonjak-lonjak menjadi binal hingga sekantong uang
logam terjatuh dari pinggangnya, uang hasil penjualan barang curian (F19)
Disusul pula dengan kuda-kuda pedati yang meronta kabur dengan paniknya
(F20) Sekonyong-konyong, dengan gerengan mengerikan Reo dan Bula
menerjang kea rah Barja, wakil wali desa (F21) Reo dan Bula mundur ketika para
penduduk itu mulai menyerangnya dengan obor-obor serta serta senjata-senjata
panjang lainnya (F22) Reo dan Bula terus mengejar wakil wali desa itu kebalik
bukit, dan terdengarlah tembakan serta rauangan-raungan serigala (F23) Bagaikan
kesetanan mereka segera mencercah kawanan mahluk-mahluk aneh itu (F24)
Ternyata wali desa yang juga terlibat dalam kasus serigala hantu ini, ikut digiring
ramai-ramai (F25) Dompu sipemburu kawakan , digotong rakyat dan di eluh-
eluhkan sebagai pahlawan (F26) Sementara itu, Reo dan Bula diam-diam
menyelinap kedalam hutan (F27)

Adapun bagan fungsi utama pada cergam “Reo Manusia Serigala Kontra
Serigala Hantu” karya Ganes TH seperti pada bagan di bawah ini:
13

BAGAN FUNGSI UTAMA

F1 F2
F3
F4
F5

F6
F7
F8
F9
F10

F11

F12
F13
F14
F15

F16

F17
F18
F19
F20
F21

F22
F23
14

F24 F25
F26

F27

Berdasarkan bagan fungsi utama di atas dapat dilihat bahwa cergam ini beralur
maju. Dengan demikian alur yang terdapat pada cergam “Reo Manusia Serigala
kontra Serigala Hantu” Karya Ganes TH beralur maju.
Selanjutnya penulis akan membahas mengenai analisis semantik yang terdiri
dari tokoh dan penokohan, latar dan tema.

2.2 Analisis Semantik


Analisis semantik merupakan analisis yang di dalamnya meliputi analisis
tokoh dan penokohan, analisis tema. Adapun pembahasannya yaitu:

2.2.1 Tokoh dan Penokohan


Tokoh dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya
Ganes TH ini, yaitu:

1. Reo

Reo adalah tokoh utama dalam cergam ini, ia adalah seorang bocah
manusia serigala yang mahir dalam bertarung dan memiliki jiwa kesatria,
seperti pada kutipan dibawah ini:
15

(Ganes TH, 1970: 11)

Selain senang menolong dia juga tidak besar kepala padahal dia banyak
membantu warga Dorokore, seperti pada kutipan di bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 24)

Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa Reo merupakan seorang


manusia serigala yang memiliki jiwa kesatria

2. Bula

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu" Karya


Ganes TH Bula adalah induk serigala, dia selalu bersama Reo kemanapun
Reo pergi Bula selalu di samping Reo, seperti pada kutipan di bawah ini:
16

(Ganes TH, 1970: 22)

Berdasarkan kutipan di atas menunjukan kesetiaan induk serigala


terhadap Reo.

3. Wali Desa dan Wakil Wali Desa

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” wali desa
dan wakil wali desa merupakan seorang pemimpin yang selalu jadi penengah
dan bisanya hanya bicara saja, seperti kutipan dibawah ini :

(Ganes TH, 1970: 5)

Selain itu mereka juga memiliki sifat munafik dan licik mereka
bersekongkol, karena wali desa dan wakil wali desa terlibat dalam kasus
pencurian dan pembantaian hewan ternak milik warga Dorokore dan juga
wakil wali desa merupakan serigala hantu tersebut, seperti pada kutipan di
bawah ini:
17

(Ganes TH, 1970: 24)

Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas menunjukan bahwa kedua


pemimpin desa tersebut tidak amanah dan menyelewengkan kekuasaan
yang dimiliki

4. Pak Dompu

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” pak Dompu
merupakan seorang pemburu kawakan yang namanya terkenal di Sumbawa
dia memiliki jiwa pemberani meskipun sudah lanjut usia, seperti pada kutipan
di bawah ini :

(Ganes TH, 1970: 8)

Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa pak Dompu merupakan


seorang pemberani dan ingi menunjukan kepada warga Dekokore bahwa dia
mampu menangani kasus tersebut.

5. Penduduk Dekokore
18

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” penduduk


Dekokore adalah penduduk yang kompak, arogan, emosian dalam menumpas
kasus ini, seperti pada kutipan di bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 17)

Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa penduduk Dekokore


adalah penduduk yang kompak, arogan, dan emosian terutama dalam
mengukap kasus Hantu Serigala ini

6. Pak Bajo

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” pak Bajo
merupakan ayah dari Reo memiliki sifat baik hati, seperti pada kutipan di
bawah ini:

(GanesTH, 1970: 9)
19

Berdasarka kutipan di atas menunjukan bahwa ayah Reo merupakan


orang yang baik hati karena membantu pak Dompu yang ingin bertemu
Reo
7. Kepala Keamanan

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” kepala


keamanan merupakan seseorang yang bertanggung jawab dan berusaha
memecahkan masalah yang terjadi di kampong Dekokore, seperti pada
kutipan di bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 17)

Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa kepala keamanan


bertanggung jawab dan berusaha menjadi garis terdepan dalam
menyelsaikan kasus ini

8. Pembawa Pedati

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” pembawa


pedati merupakan seseorang pedagang yang menjadi sasaran amukan
penduduk Dekokore, seperti pada kutipan di bawah ini:
20

(Ganes TH, 1970: 18)

Berdasarkan kutipan diatas pembawa pedati merupakan seorang pedagang


yang nasibnya hancur setelah terbukti membeli barang hasil curian.

2.2.2 Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan


dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita.

1. Latar Tempat

Latar tempat yang digunakan di dalam cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini adalah di desa Dekokore, rumah
Pak Dompu, pelataran rumah Reo, Hutan, dan Bukit Karang Gantung, seperti
yang ada dalam kutipan tersebut :

1) Desa Dekokore
Latar tempat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Seriga Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya terdapat di desa Dekokere, seperti kutipan
di bawah ini :
21

(Ganes TH, 1970: 3)

Kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini diantaranya di desa Dekokore
yang menceritakan keadaan saat beberapa penduduk kehilangan hasil
taninya.

2) Rumah Pak Dompu

Latar tempat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Seriga Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya terdapat di rumah Pak Dompu, seperti kutipan di
bawah ini :

(Ganes TH, 1970: 7)


22

Kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini diantaranya di rumah pak Dompu yang
menceritakan keadaan saat para penduduk ingin menemui pak Dompu.

3) Pelataran Rumah Reo


Latar tempat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Seriga Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya terdapat di pelataran rumah Reo, seperti
kutipan di bawah ini :

(Ganes TH, 1970: 9)

Kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini diantaranya di rumah Reo yang
menceritakan keadaan saat pak Bajo, Reo, dan pak Dompu berbincang.

4) Hutan
Latar tempat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Seriga Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya terdapat di hutan, seperti kutipan di bawah
ini:
23

(Ganes TH, 1970: 15)

Kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini diantaranya di hutan saat pertarungan
Reo, pak Dompu, Bula melawan Serigala Hantu dan ketika itu warga datang
karena mendengar gesekan senjata dan rauman

5) Bukit Karang Gantung

Latar tempat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Seriga Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya terdapat di Bukit Karang Gantung, seperti kutipan
di bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 23)

Kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo Manusia Serigala


kontra Seriga Hantu” karya Ganes TH ini diantaranya di Bukit Karang Gantung
saat Reo, pak Dompu, Bula melngejar wakil wali desa dan warga pun mengikuti
dari belakang.

2. Latar Waktu

Latar waktu yang terdapat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra
Serigala Hantu” karya Ganes TH ini terjadi pada waktu pagi hari, siang hari
dan malam hari seperti pada kutipan di bawah ini:

1) Pagi Hari
24

Latar waktu pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya pada pagi hari, seperti pada akutipan di
bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 2)

Kutipan di atas menunjukan bahwa cergam “Reo Manusia Serigala kontra


Serigala Hantu” karya Ganes TH ini di pagi hari.

2) Siang Hari
Latar waktu pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya pada siang hari, seperti pada akutipan di
bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 9)

Kutipan di atas menunjukan bahwa cergam “Reo Manusia Serigala kontra


Serigala Hantu” karya Ganes TH ini di siang hari.
25

3) Malam Hari
Latar waktu pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu”
karya Ganes TH ini diantaranya pada malam hari, seperti pada akutipan di
bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 10)

Kutipan di atas menunjukan bahwa cergam “Reo Manusia Serigala kontra


Serigala Hantu” karya Ganes TH ini di malam hari.

2.2.3 Tema
Tema dalam cerita ini adalah permasalahan sosial. Yang dimaksud
dengan permasalahan sosial pada cergam ini ialah cerita yang
menggambarkan tentang ketamakan seorang pemimpin yang tega mendzolimi
rakyatnya sendiri, seperti pada kutipan di bawah ini :

(Ganes TH, 1970: 22)


26

Berdasarkan pada kutipan di atas menunjukan bahwa pada cergam “Reo


Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya Ganes TH ini terdapat fakta
bahwa permasalahan yang pelik yang selalu hadir dalam diri pemimpin
adalah keserakahan atau ketamakan.
2.3 Analisis Pragmatik
Analisis pragmatik dapat berupa analisis bahasa berdasarkan sudut
pandang pragmatik. Karena pragmatik mengungkapkan maksud tuturan di
dalam peritiwa komunikasi, analisis pragmatic berupaya menemukan maksud
penutur,baikl yang di ekspresikan secara tersurat maupunyang diungkapkan
secara tersirat dibalik tuturan,maksud atau tuturan yang implikatif hanya
dapat dikenali melalui penggunaan bahasa secara kongkret dengan
mempertimbangkan situasi tutur (Rustono, 1999: 18)

2.3.1 Sudut Pandang Penceritaan

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya


Ganes TH ini pengarang menceritakan apa saja yang terkait tentang tokoh
utama. Tahu benar tentang watak, pikiran, perasaan, kejadian, bahkan latar
belakang kejadian. Kata ganti yang digunakan dalam cergam ini adalah nama
tokoh, dalam artian pengarang memakai sudut pandang orang ketiga (serba
tahu), seperti pada kutipan di bawah ini :

(Ganes TH, 1970: 1)


27

(Ganes TH, 1970: 6)

(Ganes TH, 1970: 11)

(Ganes TH, 1970: 24)

Berdasarkan pada kutipan cerita di atas menjelaskan bahwa cergam


“Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya Ganes TH ini
menggunakan sudut pandang orang ketiga (serba tahu), karena tahu benar
tentang watak, pikiran, perasaan, kejadian, bahkan latar belakan kejadian.
28
BAB III

KONTEKS SOSIAL DAN FUNGSI SASTRA SEBAGAI CERMINAN


ZAMAN

3.1 Konteks Sosial Pengarang

Ganes TH mempunyai nama lengkap Ganes Thiar Santosa (Thio Thiauw San)
Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia dan juga merupakan
salah satu dari “tiga dewa komik Indonesia” bersama dengan Jan Mintaraga dan
Teguh Santosa. Kisah dalam komik-komiknya begitu memikat hati pembaca
komik Indonesia di era tahun 70-an sampai 80-an. Ia mulai menekuni dunia
gambar sejak masa sekolah menengah Tionghoa Hwee Koan, karena
kemampuan gambarnya, saat remaja ia biasa diminta menggambar logo untuk
restoran, meski hanya diupah semangkuk bubur. Pada 1953, ketika umurnya
masih 18 tahun, ia sudah merasakan ikut pameran di Jakarta dan Bandung. Ia
juga sempat mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indoneisa (ASRI)
meski tak sampai menamatkannya. Masalah biaya jadi penyebabnya. Ia lalu
memperdalam keahlian gambar dan lukis dengan menjadi asisten pelukis sohor
Lee Mang Fong. Selain itu, ia juga mulai merintis karierprofesionalnya di awal
1960-an. “Kembali ke Jakarta, ia meneruskan melukis dan memasok ilustrasi
pesanan, khususnya karikatur,untuk sebuah harian komunis Warta Bhakti” tulis
peneliti komik Marcel Bonnef dalam Komik Indonesia (1998:200). Meski tak
terkait langsung dengan PKI dan ormas-ormasnya, afiliasinya dengan Warta
Bhakti sempat membuat Ganes ketar-ketir. Ia sempat pula diintrogasi aparat dan
masuk “daftar hitam”. Hidupnya sempat tak menentu gara-gara itu. Untuk
membersihkan namanya, Ganes TH ikur dalam Ikatan Seniman Tjergamis
Indonesia (Ikasti). Tak hanya ikut membela kepentingan para komikus, menurut
Bonneff, Ganes juga membingbing komikus-komikus yang lebih muda. Ontran-
ontran 1965 juga mengubah arah kreatif Ganes. Ia tak lagi melukis atau bikin
ilustrasi. Ia kini mencurahkan waktunya untuk bikin komik. Pada momen ini
juga ia ganti haluan, dari semula hanya membuat beberapa komik roman remaja
menjadi komikus silat. Itu terbukti jadi pilihan tepat dan karena itu juga

29
30

namanya kian terkenal. “Si Buta Dari Gua Hantu” merupakan salah satu komik
yang meledak pada 1967 Ganes TH memberikan latar Nusantara pada karakter
itu, lebih tepatnya latar Banten yang ia pahami. Ilmu silat yang digunakan Si
Buta pun bukan lagi ilmu silat Cina melainkan ilmu silat Betawi. Karya sastra
karya Ganes TH sarat akan dunia persilatan yang menjadi daya pikat dan sarat
akan makna kehidupan di dalamnya selain dari Si Buta Dari Gua Hantu ada juga
Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu yang sarat akan nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.

Cergam yang berjudul “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu”


merupakan salah satu cergam yang ditulis oleh Ganes TH yang menceritakan
tentang peristiwa kemunculan serigala hantu yang berulah dan membuat kacau
desa Derokore, namun kondisi tersebut bisa segera teratasi dengan bantuan Reo,
Bula, Dompu, dan seluruh warga desa Derokore dan juga kepala keamanan desa
yang akhirnya kebenaran kasus itupun terungkap. Cerita tersebut menunjukan
karakter kuat penulis yang selalu mengangkat cerita tentang dunia persilatan
yang dikemas dengan menghadirkan tokoh Manusia Serigala sebagai tokoh
utama dalam cerita. Selain itu Ganes TH merupakan salah satu dari tiga dewa
komik di Indonesia yang terdiri atas Ganes TH, R A Kosasih, dan Tatang S.
Karya-karya Ganes TH sangat padu dan solid antara gambar dan tulisan karena
Ganes TH selain menjadi penulis dalam ceritanya ia juga menjadi ilustator untuk
ceritanya jadi sangat berimbang antara tulisan dan gambarnya terbukti dalam
karyanya yang berjudul “Si Buta dari Goa Hantu” yang melegenda dan hampir
seluruh masyarakat Indonesia kenal dengan cerita itu dan menjadi tonggak
kejayaan komik Indonesia.

Ciri khas pengarang yaitu karyanya yang selalu mengankat tentang dunia
persilatan yang sarat akan makna kehidupan, dan selalu menyisipkan unsur
tradisional sebagai rasa cinta pengarang terhadap tanah air Indonesia, tertuang
dalam kutipan dibawah ini:
31

(Ganes TH, 1970: 11)

Berdasarkan dari kutipan di atas bahwa cergam karya Ganes TH yang


berjudul “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” menunjukan bahwa
karya Ganes TH identik dengan dunia persilatan.

Dalam cergam ini menceritakan tentang seorang bocah manusia serigala yang
baik hati dan tidak sombong dan selalu bersama ditemani oleh induk serigala
kemanapun ia pergi, seperti pada kutipan di bawah ini:

(Ganes TH, 1970:24)


Berdasarkan kutipan di atas pengarang menyisipkan pesan bahwa membantu
tidak harus selalu terlihat ataupun terekspos dicontohkan dalam kutipan di atas.
32

Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya Ganes
TH ini juga menceritakan tentang orang yang tega menyalahgunakan
kekuasaannya demi kepentingan pribadi, seperti pada kutipan di bawah ini:

(Ganes TH, 1970: 22)

Berdasarkan dari kutipan di atas bahwa cergam karya Ganes TH yang


berjudul “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” ini menceritakan bahwa
di dunia ini masih banyak pemimpin yang tega mendzolimi rakyatnya hanya
demi kepentingan pribadi. Namun berkat Reo, Bula, Dompu, dan warga
semuanya dapat terungkap.

3.2 Sastra Sebagai Cerminan Zamannya

Sastra sebagai cerminan zamannya yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat Ganes TH menjadikan cergam “Reo
Manusia Serigala kontra Seriga Hantu” sebagai sebuah potret atau gambaran
Masyarakat tentang penyakit pemimpin yang bermuka dua, serakah dan
mengecewakan warganya.

Penulis tentu membenarkan cergam ini dibuat dengan latar belakang seorang
pemimpin yang bermuka dua dan licik yang menjadi konflik dalam cerita ini.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
33

(Ganes TH, 1970: 22)

Berdasarkan pada kutipan cerita di atas wajah bermuka dua dan ketamakan
pemimpin dapat terbongkar dengan disaksikan seluruh warganya, karena pada
zaman sekarang ini banyak pemimpin yang menghalalkan segala cara demi
kepentingan pribadi dan merugikan rakyatnya.

Selain itu, cergam ini juga menceritakan bahwa sehebat-hebatnya seseorang


pasti masih membutuhkan bantuan orang lain, seperti pada kutipan di bawah
ini :

(Ganes TH, 1970: 8)

Berdasarkan pada kutipan tersebut dijelaskan sehebat-hebatnya seseorang


tidak akan bisa jika sendirian bukti nyata bahwa manusia merupakan mahluk
sosial yang masih membutuhkan manusia lain.
34

Karya sastra di tangan Ganes TH menjadi sebuah karya yang padu antara
visual dan teks yang solid menyuguhkan sebuah karya yang sarat akan makna
dari sebuah kehidupan, dimana dalam karya tersebut menitipkan pesan sosial
sebagai wadah kritik agar apa yang terjadi tidak terulang kembali dan sebagai
wadah untuk memperbaiki diri dan meberikan pesan dalam hal ini adalah
pembaca sebagai penikmat dan juga sebagai Masyarakat.

3.3 Fungsi Sosial Sastra


Fungsi sosial sastra yaitu meneliti sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial. Dalam cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala
Hantu” karya Ganes TH, pengarang menyampaikan permasalahan sosialdan sisi
adab kemanusiaan pada Masyarakat di suatu desa di Sumbawa yang dituangkan
dalam bentuk karya sastra dan sebagai kritik untuk Masyarakat lainnya.
Fungsi sosial sastra yang terdapat pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra
Serigala Hantu” karya Ganes TH ini adalah kritik terhadap perbuatan seorang
pemimpin yang dzolim yang bermuka dua, dan mengecewakan rakyatnya, pada
cergam ini pengarang menyampaikan pesan kepada masyarakat mengenai
perilaku yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin. Seperti pada
kutipan berikut ini :

(Ganes TH, 1970: 5)


35

(Ganes TH, 1970: 22)

(Ganes TH, 1970: 24)

Berdasarkan pada kutipan di atas pengarang menceritakan permasalahan yang


ada pada manusia, ketamakan manusia yang tega mendzolimi rakyatnya hanya
demi kepentingan pribadi, namun dalam cerita ini pengarang menyampaikan
bahwa setiap masalah itu pasti ada hikmah yang terkandung dibaliknya itulah
yang disebut dengan cerita yang sarat akan makna kehidupan.
Pada cergam “Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu” karya Ganes TH
menceritakan perbedaan dua karakter serigala antara Reo Manusia Seriga, Bula,
dan Serigala Hantu yang sangat bertentangan antara keduanya Reo dan Bula
merupakan serigala yang baik dan penolong sedangkan Serigala Hantu
merupakan Serigala yang jahat, pencuri dan merupakan kelompok dari wali desa
yang tamak dan dzolim terhadap warganya. Cergam ini juga menceritakan
bahwa ketamakan dan keserakahan masih menjadi hal yang lumrah terjadi di diri
kebanyakan pemimpin.
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Simpulan
Setelah penulis membaca dan menganalisis cergam “Reo Manusia
Serigala kontra Serigala Hantu” karya Ganes TH ini ada struktur dalam
mengkaji cergam, yaitu alur dan pengaluran dengan menggunakan skema
fungsi utama, tokoh dan penokohan, latar (setting), tema dan sudut pandang
(point of view).

Konteks sosial pengarang yaitu yang menyangkut posisi sosial


Masyarakat dan kaitannya dengna masyarakat (pembaca) termasuk di
dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan di samping mempengaruhi karya sastranya. Ganes TH
mempunyai nama lengkap Ganes Thiar Santosa (Thio Thiauw San) Ia
merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia. Kisah dalam
komik-komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun
70-an sampai 80-an. Ganes juga membingbing komikus-komikus yang lebih
muda. Ontran-ontran 1965 juga mengubah arah kreatif Ganes. Ia tak lagi
melukis atau bikin ilustrasi. Ia kini mencurahkan waktunya untuk bikin
komik. “Si Buta Dari Gua Hantu” merupakan salah satu komik yang meledak
pada 1967 Ganes TH memberikan latar Nusantara pada karakter itu, lebih
tepatnya latar Banten yang ia pahami. Ilmu silat yang digunakan Si Buta pun
bukan lagi ilmu silat Cina melainkan ilmu silat Betawi. Karya sastra karya
Ganes TH sarat akan dunia persilatan yang menjadi daya pikat dan sarat akan
makna kehidupan di dalamnya selain dari Si Buta Dari Gua Hantu ada juga
Reo Manusia Serigala kontra Serigala Hantu yang sarat akan nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.

35
Daftar Pustaka

http://komiksibuta.blogspot.com \diakses pada 14 November 2019 19:57


Faruk. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar..
Nurgiyanto, B. (2012). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Wicaksono, A. (2014). Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawacana
Sukmawaty, Yusuf. (2005). Pengantar Pengkajian Sastra. Sukabumi: Sastra
Inggris UMMI.

Anda mungkin juga menyukai