Anda di halaman 1dari 20

Malin Kundang

Dahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari seorang ibu
dan anaknya yang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah
meninggalkannya, sang ibu pun harus bekerja keras sendiri untuk bisa
menghidupi keluarganya.
Malin adalah anak yang pintar tapi sedikit nakal. Ketika dia beranjak dewasa,
Malin merasa kasihan pada ibunya yang sedari dulu bekerja keras
menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari
pekerjaan di kota besar.
Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini. pinta
Malin.
Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini. kata sang
ibu menolak.
Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.
kata Malin.
Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di
sana Ujar sang ibu berlinang ari mata.
Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal.
Setelah beberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin
sekarang menjadi orang kaya yang bahkan mempunyai banyak kapal dagang.
Dan Malin pun sudah menikah dengan wanita cantik di sana. Berita tentang
Malin yang menjadi orang kaya sampai lah ke ibunya. Sang ibu sangat senang
mendengarnya. Dia selalu menunggu di pantai setiap hari, berharap anak si mata
wayangnya kembali dan mengangkat drajat ibunya. Tetapi Malin tak pernah
datang.
Suatu hari istiri Malin bertanya mengenai ibu Malin dan ingin bertemu dengan
nya. Malin pun tidak bisa menolak keinginan istri yang sangat dicintainya itu.
Malin menyiapkan perjalanannya tersebut menuju desanya menggunakan
sebuah kapal pribadinya yang besar nan cantik. Akhirnya Malin pun datang ke
desanya beserta istri dan anak buahnya.
Mendengar kedatangan Malin, sang ibu merasa sangat gembira. Dia bahkan
berlari menuju pantai untuk segera melihat anak yang disayanginya pulang.
Apa itu kamu Malin, anak ku? Ini ibu mu, kamu ingat Tanya sang Ibu.
"Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirim
kabar?" Katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Sang istri yang terkejut melihat kenyataan bahwa wanita tua, bau, dekil yang
memeluk suaminya, berkata:
"Jadi wanita tua, bau, dekil ini adalah ibu kamu, Malin"

Karena rasa malu, Malin Kundang pun segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga jatuh.
Saya tidak kenal kamu wanita tua miskin kata Malin.
"Dasar wanita tua tak tahu diri, Sembarang saja mengaku sebagai ibuku." Lanjut
Malin membentak.
Mendengar perkataan anak kandungnya seperti itu, sang ibu merasa sedih dan
marah. Ia tidak menduga, anak yang sangat disayanginya berubah menjadi anak
durhaka.
"Oh Tuhan ku yang kuasa, jika dia adalah benar anak ku, Saya mohon berikan
azab padanya dan rubah lah dia jadi batu." doa sang ibu murka.
Tidak lama kemudian angin dan petir bergemuruh menghantam dan
menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu, Tubuh Malin Kundang kaku
dan kemudian menjadi batu yang menyatu dengan karang.
Amanat: Jadilah orang yang berbakti pada orang tua. Dan janganlah sekali-kali
durhaka padanya.

A About padusi

B Pituah Bundo kanduang

`Rumah Gadang`

D Kesenian Minangkabau

E Kamus Bahasa Minang

` A ` minang indonesia

` B ` minang indonesia

20
Agu
08

Cerita Perempuan (Bundo Kanduang), Dalam Kaba Cindua Mato


By ~padusi~ 2 Komentar
Categories: Uncategorized
Tags: bundokanduang, woman minangkabau people

2 Votes
1. Pendahuluan
Oleh : Edwar Jamaris (Pusat Bahasa Jakarta)

Kaba Cindua Mato (KCM) adalah karya sastra Minangkabau yang popular, terkenal dalam
masyarakat Minangkabau. Sebagai karya sastra yang popular, KCM ini terdapat dalam naskah
yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (van Ronkel, 1921) dan di Perpustakaan
Nasional, Jakarta (Juynboll, 1899 dan Sutaarga, 1972) dan diterbitkan dalam beberapa edisi, di
antaranya, edisi van der Toorn (1886), Gurun (1904), Saripado (1930), Madjoindo (1964), Endah
(1967), Singgih (1972), dan Penghulu (1980); serta pernah digubah dalam bentuk naskah
sandiwara oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam Esten, 1992).
KCM ini juga telah dibicarakan oleh para ahli, di antaranya oleh Abdullah (1970) berjudul,
Some Notes on the Kaba Cindua Mato: an Example of Minangkabau Traditional Literature;
Esten (1992) membicarakan KCM ini tentang tradisi dan modernitas dalam sandiwara Cindua
Mato dalam hubungannya dengan mitos Minangkabau, dan Djamaris (1995) melakukan
penelitian perbandingan kepahlawanan Hang Tuah dengan Cindua Mato.<a
Sesuai dengan judulnya, karya sastra ini tergolong kaba, cerita prosa berirama yang panjang.
KCM ini tergolong sastra pahlawan, sastra epos, atau wiracerita, cerita yang mengisahkan
perjuangan seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan yang terpuji, membela negeri atau
kerajaan Minangkabau.
Dalam KCM ini yang menjadi tokoh pahlawan adalah Cindua Mato, seorang hamba, pembantu
utama Kerajaan Pagaruyung, alam Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung yang diperintah oleh seorang ratu yang disebut Bundo Kanduang dan putra
mahkotanya, putra Bundo Kanduang, yaitu Dang Tuanku. Bundo Kanduang sebagai ratu, Dang
Tuanku sebagai putra mahkota, dan Cindua Mato sebagai pembantu utama adalah tokoh sentral
dalam KCM ini, tokoh yang banyak berperan dalam cerita.
KCM ini mengisahkan kebesaran da keagungan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Tema
pokok, tujuan perjuangan Cindua Mato adalah mengagungkan Ratu Kerajaan Pagaruyung. Tokoh
yang ditonjolkan adalah Bundo Kanduang sebagai ratu dan Dang Tuanku sebagai raja alam
Minangkabau, sedangkan Cindua Mato merupakan tokoh yang berfungsi mengukuhkan
kebesaran dan keagungan Ratu dan Raja Minangkabau dengan cara membasmi kezaliman dan
menegakkan kebenaran. Tema KCM ini adalah Ratu dan Raja Minangkabau adalah Ratu dan
Raja yang besar dan agung.
Kerajaan yang besar dan agung tidak mungkin dikalahkan dengan kebohongan dan tipu daya.
Raja yang zalim akan celaka, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, tipu daya dibalas dengan
tipu daya. Amanat cerita ini adalah, jangan suka menodai, membohongi, dan menipu raja yang
baik. Tokoh perempuan, Bundo Kanduang, sangat menonjol dalam KCM ini. Sebagaimana sudah
umum diketahui dalam masyarakat Minangkabau, perempuan sangat dihargai dan dimuliakan.
Perempuan disebut dengan istilah Bundo Kanduang dan laki-laki disebut niniak mamak. Garis

keturunan dalam masyarakat Minangkabau adalah garis keturunan matrilineal, garis keturunan
berdasarkan garis ibu. Harta pusaka, seperti rumah, sawah ladang diwariskan kepada kemenakan
perempuan.
Dalam KCM ini, kita akan mengetahui bagaimana citra perempuan, apakah sesuai dengan
kedudukannya dalam adat Minangkabau itu yang sangat dimuliakan. Berikut ini akan
dibicarakan citra perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM ini.2) Citra Perempuan (Bundo
Kanduang) dalam KCM
Bundo Kanduang diceritakan adalah ratu Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, ratu yang besar
dan agung. Keagungannya diketahui dari awal cerita. Ia menjadi raja dengan sendirinya sama
terjadinya dengan alam Minangkabau. Karena ia bukan manusia biasa, tidak diceritakan
bagaimana asal-usulnya, siapa ayahnya dan siapa ibunya.
Kebesarannya sama, bahkan lebih dari Raja Rum dan Raja Cina. Dia seketurunan dengan Raja
Rum dan Raja Cina itu. Raja Rum dan Raja Cina pernah melamarnya. Lamaran itu disetujui,
tetapi sebelum perkawinan dilaksanakan, raja-raja besar itu sudah meninggal karena tidak dapat
mengimbangi kesaktian dan kebesaran Bundo Kanduang (Panghulu, 1980:161). Keagungannya
juga terungkap melalui perlengkapan istana yang dimilikinya antara lain mahkota Kulah Kamar,
kain Sang Seto Sigundam-Gundam, keris Curik si Mundam Giri (Panghulu, 1980:129).
Ia orang yang sakti. Ia mengalami hal-hal yang bersifat supernatural. Ia tidak mempunyai suami,
tetapi ia hamil setelah diberi tahu oleh seorang Wali Allah melalui mimpi bahwa ia sedang
mengandung seorang anak yang kelak menjadi raja Minangkabau. Ia disuruh minum air kelapa
nyiur gading yang sakti. Setelah meminum air kelapa gading itu ia hamil dan kemudian lahirlah
anaknya Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku, yang kelak menjadi Raja Alam
Minangkabau, Daulat yang Dipertuan.
Bundo Kanduang diceritakan sebagai tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang
yang cerdas dan pintar, ia mengajar anaknya Dang Tuanku dan mengajari Cindua Mato dalam
segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan santun dalam masyarakat, dan cara-cara
memerintah (Panghulu, 1980: 131, 161-162).
Sebagai orang yang demokratis,, arif, dan bijaksana, ia tidak memutuskan sendiri segala
masalah. Ia mengatur dan memberi tugas orang sesuai dengan jabatan dan keahliannya. Dalam
pemerintahan ia dibantu oleh beberapa lembaga yang menjadi sarana kelengkapan pemerintahan
yaitu lembaga Rajo Duo Selo (Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat (agama) di Sumpu Kuduih) dan
Lembaga Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yaitu Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan
Kadi di Padang Gantiang, Makhudum di Sumanik, Indomo di Saruaso (Panghulu, 1980:131).
Pengambilan keputusan tidak dilakukannya sendiri, tetapi selalu dibawanya bermusyawarah. Ia
selalu berunding dengan pembantu-pembantunya. Keputusan yang telah diambil dalam
musyawarah diikutinya walaupun bertentangan dengan keinginannya. Kebijaksanaan Bundo
Kanduang terungkap ketika dalam sidang bersama dengan Basa Empek Balai, masalah Cindua
Mato yang membawa Puti Bungsu dari negeri Sikalawi ke Pagaruyung diserahkan keputusannya
kepada Bundo Kanduang, ia menolak secara bijaksana sebagai berikut.
Manjawab Dang Tuanku, Ampun sayo Bundo Kanduang-kicuah-kicang bunyi salahnyoputuihkan malah hukum nangko.
Manitah pulo Bundo Kanduang, Indak denai mamagang adat-indak denai mamagang limbagohukum syarak jauah sakali-adat pagangan Bandaharo-syarak pagangan Tuan Kadi-bicaro pulang
kepadonyo-ikolah samo bahadapan. (Panghulu, 1980:245).
Terjemahannya
Menjawab Dang Tuanku, Maafkan saya Bundo Kanduang-tipu muslihat macam salahnya-

putuskanlah hukuman ini.


Menitah pula Bundo Kanduang, Bukan saya ahli adat-bukan saya ahli lembaga-hukum agama
jauh sekali-adat dikuasai Bandaharo-syarak dikuasai Tuan Kadi-keputusan dikembalikan
kepadanya-sekarang sudah berhadapan.
Sebagai seorang ratu yang arif bijaksana, ia secara diplomatis memberi petunjuk kepada Basa
Ampek Balai bagaimana cara menyambut kedatangan Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, yang
sangat marah menuntut Cindua Mato yang telah melarikan Puti Bungsu, sebagaimana terungkap
pada kutipan berikut.
Baruari Bundo Kanduang-manitah ka Basa Ampek Balai, Jikok datang Imbang Jayo-jan
disonsong dengan karih-songsong jo siriah dangan pinang-sonsong jo jamba jo hidangan-lawan
jo adaik jo limbago-lawan jo sudi jo siasaik-apo dijapuik diantakan-ingek-ingek tantang itu.
(Panghulu, 1980:262)
Terjemahannya
Adapun Bundo Kanduang-menitah kepada Dewan Empat menteri, Jika datang Imbang Jayojangan disambut dengan keris-sambutlah dengan sirih dan pinang-sambut dengan makanan dan
minuman-ajak dengan adat istri-adat-ajak dengan siasat-apa dijemput diantarkan-ingat-ingat
tentang hal itu.
Demikianlah kebesaran dan keagungan Bundo Kanduang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
citra Bundo Kanduang sebagai pemimpin di Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Ia adalah Ratu
Agung yang memiliki sifat-sifat luar biasa; ia seketurunan dengan raja besar di dunia, yaitu Raja
Rum dan Raja Cina, ia memiliki benda-benda yang istimewa, seperti mahkota Kulak Kamar,
Kain Sang Seto, dan keris Curak si Pundan Giri; ia adalah seorang yang sakti setelah meminum
air kelapa gading yang sakti. Ia pintar, cerdas, arif bijaksana, dan demokratis.(Edwar Djamaris,
dari Pusat Bahasa, Jakarta)

MAHARAJA's Blog
Pusat informasi buku-buku tentang Adat dan Budaya Minangkabau, Tokoh adat dan
tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau, serta profil penulis/pengarang produktif
dan tokoh masyarakat Minangkabau yang sangat berjasa
Jumat, 21 November 2008
Kaba Cindua Mato
Sinopsis:
Kaba Klasik Minangkabau
CINDUA MATO
Judul buku: Cindua Mato
Logat Minang
192 halaman, kertas HVS, ukuran: 11x16 cm.
Penerbit: Penerbit Buku Alam Minangkabau Kristal Multimedia
Alamat penerbit: Jln. Mangga No.5 Tangah Jua, Bukittinggi Sumatera
Barat
Telp./Fax: 0752-33768
E-mail: indramaharaja@yahoo.com

Rajo Mudo, raja Sikalawi memutuskan pertunangan anaknya Puti Bungsu


dengan Dang Tuanku. Ia mendapat kabar bahwa Dang Tuanku telah
menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi dan telah diusir
dari istana Pagaruyuang.
Lalu Rajo Mudo berniat akan menjodohkan Puti Bungsu dengan Rajo
Imbang Jayo anak dari Rajo Tiang Bungkuak. Rencana Rajo Mudo ini
sampai juga kabarnya ke Pagaruyuang. Kalangan Ustano Pagaruyuang
mengutus Cindua Mato ke Sikalawi membawa kerbau Si Binuang sebagai
hantaran atas perkawinan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo.
Diceritakan oleh pengarangnya, dalam perjalanannya menuju nagari
Sikalawi itu Cindua Mato dihadang oleh gerombolan perampok di Bukit
Tambun Tulang. Bagaimana sikap Rajo Mudo mendengar kedatangan
Cindua Mato yang disangkanya Dang Tuanku, dan bagaimana marahnya
Rajo Mudo serta Rajo Imbang Jayo setelah mengetahui bahwa Cindua
Mato dan Puti Bungsu hilang setelah terjadi kekalutan di Sikalawi.
Kedatangan Cindua Mato bersama Puti Bungsu di Padang Gantiang
membuat gempar kalangan Ustano Pagaruyuang. Mereka tidak dapat
menerima keadaan ini. Cindua Mato didakwa telah melarikan Puti
Bungsu dan telah mempermalukan Pagaruyuang. Bundo Kanduang dan
Basa Ampek Balai sepakat akan memberikan hukuman kepada Cindua
Mato. Namun tidak ada kesepakatan apakah perbuatan Cindua Mato
tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum adat. Sehingga Dang
Tuanku memutuskan:
Utang ameh dibayia ameh
Utang nyawo dibayia nyawo
Utang malu dibayia jo malu
Mahimbau mangko manyahuik
Batanyo mangko dijawab.
Hilangnya Puti Bungsu dari Sikalawi membuat berang Rajo Imbang Jayo.
Bersama ribuan balatentaranya ia menuju Pagaruyuang. Dalam
perjalanannya itu ia dihadang oleh para penyamun di Bukit Tambun
Tulang. Akibatnya banyak rakyatnya yang mati. Sampai di Tabek Patah ia
pun dihadang oleh Cindua Mato. Dalam peperangan itu Cindua Mato,
kuda Si Gumarang dan kerbau Si Binuang mengamuk sejadi-jadinya
sehingga Rajo Imbang Jayo dengan rakyatnya mengambil langkah
seribu. Mereka lari terbirit-birit menyelamatkan diri dan akhirnya sampai
ke Padang Gantiang. Di Padang Gantiang ini Rajo Imbang Jayo dihukum
mati oleh Rajo Duo Selo karena kesalahannya menggaji para penyamun
di Bukit Tambun Tulang.
Berita kematian Rajo Imbang Jayo sampai pula ke telinga bapaknya Rajo
Tiang Bungkuak. Alangkah marahnya Tiang Bungkuak. Ia pun segera ke
Pagaruyuang untuk menuntut balas atas kematian anaknya Rajo Imbang
Jayo. Maka terjadilah peperangan. Dubalang lawan dubalang, pangulu
lawan pangulu, pegawai lawan pegawai, dan Tiang Bungkuak
berhadapan dengan Cindua Mato.
Dalam perkelahian itu tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama sakti
dan kebal terhadap senjata apapun. Akhirnya Cindua Mato menyerahkan
diri kepada Tiang Bungkuak atas pertimbangan untuk memperkecil
bencana yang mungkin akan menimpa rakyat Pagaruyuang. Ia pun
dibawa ke Sungai Ngiang menjadi budak Tiang Bungkuak. Dalam satu

kesempatan ia berhasil mengetahui di mana kelemahan Tiang


Bungkuak. Tiang Bungkuak hanya bisa terbunuh dengan sebilah keris
yang disimpannya di atas tonggak bungkuk. Dengan keris itulah Cindua
Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dalam suatu pertarungan
yang disaksikan oleh Rajo Mudo dan permaisurinya serta rakyat Tiang
Bungkuak.
Kematian Rajo Tiang Bungkuak membuat rakyatnya bergembira. Mereka
lalu mengangkat Cindua Mato sebagai raja Sungai Ngiang menggantikan
Rajo Tiang Bungkuak. Rakyat Sungai Ngiang merasa senang mendapat
seorang raja yang adil lagi bijaksana.
Beberapa lama kemudian Cindua Mato kembali ke Pagaruyuang. Ia
disambut Bundo Kanduang dan Dang Tuanku dengan penuh sukacita.
Semua bersyukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa karena sudah
terlepas dari marabahaya, sudah bebas dari sebuah bencana, dan sudah
berhasil terhindar dari rasa malu.
Lalu diadakan pesta besar di Pagaruyuang. Dang Tuanku dinikahkan
dengan Puti Bungsu. Cindua Mato dinikahkan dengan Puti Lenggogeni
sekaligus ia diangkat menjadi raja Pagaruyuang menggantikan Dang
Tuanku. Perhelatan ini dilaksanakan siang malam selama satu bulan.
Dihadiri oleh para pembesar dan orang yang patut. Rakyat pun
bersukaria. Bermacam-macam permainan anak-anak muda. Ada yang
menari tari piring, ada yang meniup salung dan memainkan talempong
serta rabab dan kucapi. Mana yang lapar makan juga, mana yang haus
minum pula.
Selanjutnya pengarang menceritakan kepergian Bundo Kanduang, Dang
Tuanku dan Puti Bungsu meninggalkan Ustano Pagaruyuang. Mereka
dijemput oleh perahu yang datang dari langit. Ketiganya hilang lenyap
dibawa perahu itu entah ke mana. Tinggallah Cindua Mato memerintah
Alam Minangkabau ini. Hidup damai bersama seluruh keluarga dan
keturunannya.
Diposkan oleh H. Arfizal Indramaharaja di 17.34
Sabai22222222222222222222222Cerita

Di suatu tempat di daerah Padang hiduplah sepasang suami istri dan kedua
anaknya. Sepasang suami istri itu adalah Rajo Babanding dan Sadun Saribai.
Mereka mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang bernama Mangkutak Alam
dan Sabai Nan Aluih. Kedua anak ini mempunyai sifat yang berbeda. Sabai
seringkali membantu ibunya di rumah, sedangkan Mangkutak seringkali bermain
layang-layang hingga kulitnya berwarna hitam karena sinar matahari. Berbeda
dengan penampilan adiknya, Sabai mempunyai paras yang cantik dan rupawan.
Bahkan kecantikannya diketahui oleh semua orang, termasuk Raja Nan Panjang.
Raja Nan Panjangan adalah seorang yang sangat disegani di kampung Situjuh. Raja
Nan Panjang mengirimkan pengawalnya ke rumah Raja Babanding untuk melamar
Sabai Nan Aluih. Namun, lamaran itu ditolak dan Raja Babanding bahkan
menantang Raja Nan Panjang untuk bertarung. Raja Nan Panjang pun menerima
tantangan itu. Ia pun datang dengan pengawalnya dan perkelahian pun berlangsung.
Perkelahian itu rupanya berlangsung lama, namun para pengawal telah tumbang
lebih dulu. Raja Babanding dan Raja Nan Panjang masih terus berkelahi sampai
akhirnya Raja Babanding terkena peluru oleh salah satu pengawal dari Raja Nan
Panjang yang muncul secara tiba-tiba dari semak-semak. Raja Babanding pun

tergeletak dan tak bergerak Kejadian ini dilihat oleh seorang gembala. Gembala ini
kemudian pergi ke rumah Raja Babanding untuk memberitahukan kejadian tersebut
kepada keluarga Raja Babanding. Sesampainya di rumah Raja Babanding, gembala
itu bertemu dengan Sabai dan memberitahu kejadian itu.Sabai pun berlari ke tempat
kejadian. Di tengah jalan, Sabai bertemu dengan Raja Nan Panjang dan
pengawalnya. Sabai bertanya tentang kecurangan Raja Nan Panjang, tetapi Raja
Nan Panjang hanya tertawa seakan-akan mengejek kematian Raja Babanding. Sabai
pun tidak bisa menahan amarahnya. Saat itu jua Sabai langsung menarik pelatuk
senapan yang ia bawa dari rumah. Peluru mengenai dada Raja Nan Panjang dan ia
langsung terjatuh dari kuda.Pengawal Raja Nan Panjang pun langsung berlari.Sabai
pun berlari menuju tempat ayahnya.Ia sangat sedih ketika mengetahui bahwa
ayahnya sudah tidak bernyawa lagi.
Pesan

Kisah Sabai Nan Aluih memiliki pesan penting bagi kehidupan manusia.[1] Ia adalah
perempuan yang cantik dan lemah lembut.[1] Akan tetapi, ia tidak takut untuk
membela kebenaran walaupun ia tahu bahwa nyawanya juga menjadi taruhan.[1]
Sabai juga adalah anak yang patuh kepada orangtuanya.[1] Ia membantu orang
tuanya dan menghormati ayah dan ibunya.[1] Sabai Nan Aluih menjadi teladan dapat
menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.[1]

Sabai Sastrawan.com

Home

Tentang Kami

Referensi

Buat Akun

Login

Kirim Puisi / Cerita


Sabai nan Aluih
Simpan ke Favorit

Di daerah Sumatra Barat, Indonesia, terkenal sebuah kaba (prosa Minangkabau)


yang sering dinyanyikan oleh para tukang kaba sejak dahulu kala. Dalam kaba
tersebut diceritakan bahwa Sabai nan Aluih adalah seorang gadis pembela
kebenaran dan penumpas kejahatan. Bagaimana Sabai nan Aluih membela
kebenaran dan menumpas kejahatan? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam
cerita Sabai nan Aluih berikut ini.

***

Alkisah, di Padang Tarok, Sumatra Barat, hiduplah sepasang suami istri, Rajo
Babanding dan Sadun Saribai. Mereka tinggal bersama kedua orang anaknya di
sebuah rumah bergojong (berujung) empat yang terletak di sekitar hilir Sungai
Batang Agam. Anaknya yang sulung adalah seorang gadis cantik bernama Sabai
nan Aluih, sedangkan anak bungsunya seorang pemuda tampan bernama
Mangkutak Alam. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sama,
kedua kakak beradik tersebut memiliki sifat yang berbeda.

Mangkutak adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya bermain layanglayang, sehingga kulitnya menjadi hitam karena terbakar sinar matahari. Sedangkan
Sabai nan Aluih adalah gadis cantik yang rajin membantu pekerjaan ibunya dan
senantiasa mengisi waktu luangnya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan
namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang halus atau lembut), ia berbudi pekerti luhur,
santun dalam berbicara, dan hormat kepada yang tua. Tak heran jika semua orang
menyukainya.

Perangai dan kecantikan Sabai nan Alui terkenal hingga ke kampung lain. Pada
suatu hari, berita tentang kencantikannya sampai ke telinga seorang teman baik
ayah Sabai yang bernama Rajo nan Panjang. Ia adalah saudagar kaya yang sudah
lama merantau ke Kampung Situjuh. Ia sangat disegani oleh masyarakat Kampung
Situjuh, karena mempunyai tiga orang pengawal yang hebat, yaitu Rajo nan
Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo Banda Dalam. Namun, Rajo nan Panjang
termasuk saudagar kaya yang sangat keras dan suka memeras warga di sekitarnya
dengan cara meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi.

Ketika mengetahui sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik jelita, Rajo nan
Panjang mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin
bahwa ayah Sabai pasti akan menerima pinangannya.

Wahai, Pengawal! Aku mengutus kalian pergi menemui Rajo Babanding untuk
menyampaikan pinanganku kepada anak gadisnya. Aku yakin Rajo Babanding
sahabatku itu pasti senang mendapatkan menantu kaya seperti aku! seru Rajo nan
Panjang kepada para pengawalnya dengan penuh percaya diri.

Mendapat perintah tersebut, para pengawal itu pun berangkat ke Padang Tarok.
Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan tuannya
kepada ayah Sabai nan Aluih.

Kami adalah utusan Rajo nan Panjang dari Kampung Situjuh. Kedatangan kami
kemari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Sabai nan Aluih, kata
seorang utusan.

Begini, Tuan-tuan! Saya tidak bermaksud mengecewakan hati sahabatku itu.


Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepadanya bahwa saya malu
bermenantukan orang kaya yang seumur dengan saya! pesan Rajo Babanding.

Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun
segera kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada
tuan mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rajo nan Panjang merasa sangat
terhina.

Ah, sombong sekali Pak Tua itu! Masa tidak mau bermenantukan orang kaya,
ketus Rajo nan Panjang.

Maaf, Tuan! Apa yang harus kita lakukan selanjutnya? tanya seorang
pengawalnya.

Apakah kita harus memaksanya, Tuan? tambah seorang pengawal lainnya.

Jangan dulu, Pengawal! Aku akan datang sendiri ke sana untuk melamar Sabai nan
Aluih. Aku yakin Rajo Babanding tidak akan menolak lagi pinanganku. Pak Tua itu
pasti tahu bahwa aku ini orang besar yang mempunyai anak buah yang hebat seperti
kalian, kata Raja nan Panjang.

Akhirnya, berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Rajo
Babanding pun menerima mereka dengan baik. Namun, hatinya berkata bahwa
sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena meminang anak gadisnya
secara langsung kepadanya. Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh
disampaikan langsung kepada ayah si Gadis, melainkan kepada mamak atau adik
kandung ibu gadis itu.

Sebenarnya, Rajo Babanding ingin langsung menolak pinangan tersebut. Namun, ia


khawatir jika pinangan itu langsung ditolak, Rajo nan Panjang akan marah dan
mengamuk. Rajo Babanding akan sangat malu jika pertengkaran terjadi di
rumahnya. Untuk itu, ia pun mengajak Rajo nan Panjang untuk berunding di luar
rumah.

Sahabatku! Sebaiknya kita berunding di luar rumah saja, ajak Rajo Babanding.

Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh
ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi.

Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan sahabatku. Tapi, di mana kita akan
berunding? tanya Rajo nan Panjang menerima tantangan Rajo Babanding.

Kita berunding di Padang Panahunan, jawab Rajo Babanding.

Kapan? tanya Rajo nan Panjang.

Bagaimana kalau hari Minggu? jawab Rajo Babanding.

Baik, aku setuju! kata Rajo nan Panjang seraya berpamitan.

Setelah Rajo nan Panjang bersama para pengawalnya pergi meninggalkan rumah
Rajo Babanding, tiba-tiba Sabai nan Aluih keluar dari kamarnya, lalu segera
menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di ruang tamu.

Maaf, Ayah! Sabai telah mendengar semua pembicaraan Ayah dengan Rajo nan
Panjang. Jika Ayah berunding dengan sahabat Ayah itu di tempat sepi, Sabai yakin
pasti akan terjadi perkelahian. Bukankah begitu, Ayah? tanya Sabai nan Aluih.

Benar, Anakku! Tapi, kamu jangan khawatir, Ayah pasti bisa jaga diri, jawab
Ayah Sabai.

Sejak itu, Hati Sabai nan Aluih selalu bimbang memikirkan keselamatan Ayahnya.
Pada malam harinya, Sabai bermimpi buruk, lumbung padi menjadi arang, kerbau
sekandang dicuri orang, dan ayam ternak disambar elang. Bagi Sabai, mimpinya itu
merupakan pertanda bahwa Ayahnya akan celaka. Keesokan harinya, ia pun
menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya untuk mencegah ayahnya berunding
dengan Rajo nan Panjang di Padang Panahunan.

Ayah! Semalam Sabai mimpi buruk. Sebaiknya Ayah mengurungkan niat untuk
bertemu dengan Rajo nan Panjang itu. Sabai khawatir terjadi sesuatu pada diri
Ayah, kata Sabai nan Aluih cemas.

Anakku, Sabai! Mimpimu pertanda baik. Lumbung padi terbakar berarti padi akan
dipanen. Kerbau hilang berarti ternak kita akan bertambah. Ayam disambar elang
berarti adikmu Mangkutak akan dilamar orang, bujuk Rajo Babanding
menenangkan hati Sabai.

Oh, Ayah! Kalau benar demikian, hati Sabai menjadi tenang. Akan tetapi, jika
malapetaka yang menimpa, ke mana lagi kami akan bergantung, kata Sabai dengan
sedih.

Tenanglah, Anakku! Ayah lakukan semua ini demi untuk mempertahankan harkat
dan martabat keluarga kita. Ayah tidak ingin kehormatan keluaga kita dicoreng oleh
Raja nan Panjang yang angkuh dan sombong itu, kata Raja Babanding.

Pada hari yang telah ditentukan pun tiba. Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang
Panahunan. Padang Panahunan adalah tempat yang sepi dan sejak dulu digunakan
untuk berkelahi. Rajo Babanding membawa seorang pembantunya yang bernama
Palimo Parang Tagok. Ia mengajak pembantunya itu untuk berjaga-jaga jika Rajo
nan Panjang berbuat curang. Seandainya pun ia terbunuh dalam pertarungan
tersebut, setidaknya Palimo Parang Tagok dapat memberi kabar kepada keluarganya
yang ada di rumah.

Saat mereka tiba di Padang Panahunan, tampak Rajo nan Panjang bersama seorang
pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah menunggu. Rupanya Rajo nan
Panjang sengaja datang lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. Ia telah
memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan
Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. Salah seorang di
antaranya membawa senapan. Senapan itu akan digunakan pada saat diperlukan.

Melihat kedatangan Rajo Babanding bersama seorang pembantunya dari kejauhan,


Rajo nan Panjang berpesan kepada para pengawalnya.

Pengawal, aku peringatkan kalian! Jangan memandang remeh Rajo Babanding!


Kalian bukanlah lawannya yang sebanding. Berhati-hatilah! seru Rajo nan
Panjang.

Baik, Tuan! jawab para pengawalnya.

Rajo Babanding dan pembantunya semakin mendekat ke arah Raja nan Panjang.
Ketika saling berhadapan, mereka pun saling menggertak.

Hai, Rajo Babanding! Rupanya kamu berani juga mengantarkan nyawamu


kemari! seru Rajo nan Panjang.

Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang akan mati terlebih dahulu, kata Rajo
Babanding dengan tenang.

Ha... ha... ha... !!! Tentu saja kamulah yang akan mati, Babanding, kata Rajo nan
Panjang sambil tertawa terbahak-bahak.

Majulah kalau berani! tantang Rajo Babanding.

Mendengar tantangan itu, Palimo Banda Dalam tiba-tiba menyerang Rajo


Babanding dengan sebuah pukulan keras. Rajo Babanding pun segera berkelik
menghindari pukulan itu dengan gesitnya. Berkali-kali Palimo Banda Dalam
menyerang, namun tak satu pun pukulannya yang menyentuh tubuh Rajo
Babanding. Melihat pengawalnya yang mulai kelelahan, Rajo nan Panjang segera
membantu. Rajo Banbanding pun menjadi marah karena dikeroyok. Jika semula
hanya bertahan, kini ia berbalik menyerang. Dengan sebuah pukulan keras, ia
menghantam lambung kanan Palimo Banda Dalam dan seketika itu pula Palimo
Banda Dalam jatuh tersungkur di tanah. Namun tanpa diduganya, tiba-tiba
Lampong Bertuah menyerangnya dari belakang.

Awas, Tuan! Musuh datang dari belakang! teriak Palimo Parang Tagok yang
melihat Lampong Bertuah muncul dari balik semak-semak.

Rajo Babanding pun segera menghindar. Selamatlah ia dari serangan itu.

Hai, Rajo nan Panjang! Rupanya kamu telah berbuat curang! seru Rajo
Babanding.

Ha... ha... ha... !!! Kini saatnya kamu akan mati Babanding, kata Rajo nan
Panjang

Melihat tuannya dicurangi, Palimo Parang Tagok segera membantu tuannya.


Pertarungan itu pun semakin seru. Kini, satu lawan satu. Rajo Babanding
menghadapi Rajo nan Panjang, sedangkan Palimo Parang Tagok menghadapi
Lampong Bertuah. Namun, pertarungan antara kedua orang pengawal tersebut tidak
berlangsung lama. Keduanya jatuh terkapar di tanah dengan keris menancap di
tubuh mereka karena mereka saling menikam.

Sementara itu, pertarungan antara Rajo Babanding dengan Rajo nan Panjang masih
berlangsung seru. Keduanya silih berganti menyerang. Mulanya, Rajo Babanding
hanya bertahan dan menghidar dari serangan-serangan Rajo nan Panjang. Pada saat
yang tepat, ia berbalik menyerang dengan menyabetkan kerisnya ke ke arah Rajo
nan Panjang. Rajo nan Panjang pun terluka dan terjatuh. Dengan sekuat tenaga, ia
berteriak memberikan aba-aba kepada Rajo nan Kongkong yang masih bersembuyi
di balik semak-semak.

Hai, Nan Konkong! Tunggu apa lagi!

Rajo Babanding pun sadar jika Rajo nan Panjang masih mempunyai seorang
pengawal lagi. Namun, baru saja ia bersiap-siap memasang kuda-kuda, tiba-tiba
sebuah peluru bersarang di dadanya. Ia pun jatuh tersungkur di tanah tak sadarkan
diri. Rajo nan Kongkong pun segera keluar dari balik semak-semak setelah melihat
Rajo Babanding tidak berdaya lagi terkena tembakannya.

Pada saat itu, kebetulan ada seorang gembala yang menyaksikan peristiwa itu. Ia
pun segera memberitahukan peristiwa itu kepada Sabai nan Aluih. Betapa
terkejutnya Sabai mendengar berita itu. Pesan dalam mimpinya benar-benar
menjadi kenyataan. Ia pun segera mengajak adiknya yang baru saja datang dari
bermain layang-layang untuk melihat keadaan ayah mereka.

Hai, Mangkutak! Ayo kita ke Padang Panahunan. Ayah telah meninggal terkena
tembakan di dadanya! seru Sabai nan Aluih.

Tidak, Kak! Kakak saja yang ke sana. Aku belum mau mati. Bukankah aku akan
bertunangan? kata Mangkutak tidak menghiraukan ajakan Sabai.

Dasar, laki-laki pengecut! seru Sabai.

Dengan perasaan kesal, Sabai nan Aluih segera naik rumah dan langsung masuk ke
dalam kamar ayahnya untuk mengambil senapan. Kemudian ia berlari menuju ke
Padang Panahunan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Rajo nan Panjang
bersama pengawalnya, Rajo nan Kongkong.

Haaaiiii, mau ke mana kamu gadis cantik?

Hai, tua bangka yang tidak tahu malu! Apa yang telah kau lakukan terhadap
ayahku? tanya Sabai dengan muka memerah.

Kau cantik sekali jika sedang marah, goda Raja nan Panjang.

Hai, tua bangka! Jawab pertanyaanku? Kau apakan ayahku? Sabai kembali
bertanya.

Ha... ha... ha....!!! Tidak usah lagi kamu mencari ayahmu. Pak Tua itu telah pergi
meninggalkanmu, jawab Rajo nan Panjang.

Apa maskudmu, tua bangka? tanya Sabai.

Ayahmu mati tertembak senapan itu, jawab Rajo nan Panjang sambil menunjuk
senapan yang dibawa Rajo nan Kongkong.

Jadi, kau telah menembak ayahku. Bukankah ayahku tidak bersenjata? Dasar tua
bangka curang! hardik Sabai nan Aluih sambil mengarahkan senapannya ke dada
saudagar kaya yang sombong itu.

Rajo nan Panjang dan pengawalnya itu kembali terbahak-bahak sambil mengejek
Sabai nan Aluih.

Ha... ha... ha... !!! Hai, gadis cantik! Senapan itu bukan mainan anak perempuan!

Sabai nan Aluih yang tidak tahan lagi melihat perilaku Rajo nan Panjang itu
langsung menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentaman yang sangat
keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, karena sebuah peluru
menembus dadanya. Melihat tuannya tidak sadarkan diri, Rajo nan Kongkong pun
langsung lari tunggang-langgang. Sementara Sabai nan Aluih segera menuju ke
Padang Panahunan untuk melihat keadaan ayahnya. Sesampainya di tempat itu, ia
mendapati ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. Hatinya sangat sedih karena sang
Ayah yang merupakan tumpuan hidup keluarganya telah pergi untuk selamanya.
Tak berapa lama kemudian, ibu Sabai bersama beberapa orang warga lainnya tiba di
tempat itu. Mereka pun segera membawa pulang jenazah ayah Sabai untuk
dikuburkan.

***

Demikianlah cerita Sabai nan Aluih dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat,
Indonesia. Untuk mengenang keberanian Sabai nan Aluih dalam membela
kebenaran dan menumpas kejahatan, masyarakat setempat juga mengabadikan
nama Sabai nan Aluih dalam sebuah kaba yang bunyinya seperti berikut:

...Sabai nan Aluih, gadis cantik yang berhati lembut dan rajin bekerja. Ia berani
membela yang benar dan melawan kejahatan, meskipun jiwanya terancam bahaya.
Ia kemudian menangisi ayahnya yang tewas di Padang Panahunan. Tewas ditembak
dari belakang oleh Rajo nan Kongkong...

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya, ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat pemberani dalam
membela kebenaran, dan akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat
Tuhan.

Pertama, keutamaan sifat pemberani dalam membela kebenaran. Sifat ini


ditunjukkan oleh keberanian Sabai nan Alui menumpas kejahatan, meskipun
nyawanya terancam bahaya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda dengarlah peri,


di atas yang benar hendaklah berani
menghadapi lawan berpantang lari
supaya hidupmu tidak merugi

wahai ananda dengarlah pesan,


gagah berani sifat yang jantan
berlemah lembut sifat perempuan
di atas yang hak engkau berjalan

Kedua, akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Rajo nan Panjang suka berbuat semena-mena terhadap
orang lain dengan harta dan pangkat yang dimilikinya. Dari sini dapat dipetik
sebuah pelajaran bahwa jabatan, kedudukan, dan kekayaan bukanlah sebuah
jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan segala yang diinginkannya. Jika

seseorang tidak pandai menjaga semua nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya,
maka bukanlah kenikmatan yang dirasakan melainkan malapetaka yang akan
menimpanya. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:

rizki jangan mematikan,


harta jangan membutaka,,
nikmat jangan menyesatkan

(Samsuni/sas/132/03-09)

Sumber:

Isi cerita diadaptasi dari A. A. Navis. 1999. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat.
Jakarta: Grasindo.
Anonim. Sumatra Barat, http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat, diakses
tanggal 24 Maret 2009.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan
Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Dikirim Oleh:
Diceritakan kembali oleh Samsuni
0
Komentar

Tuliskan kata

Reset
Siapa Online

Kami memiliki 83 tamu dan tidak ada anggota online


Anda disini: Home Cerita Pendek Cerita Dongeng (Cerita Rakyat)
Sabai nan Aluih

Top

Anda mungkin juga menyukai