Masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia mayoritas belum memiliki akses
terhadap rumah layak huni. Hal tersebut disebabkan lahan kosong yang masih ada dikuasai oleh investor swasta dan spekulan dan dibangun menjadi perumahan untuk tujuan investasi bukan pemenuhan kebutuhan perumahan. Sehingga perumahanperumahan tersebut dihargai mahal dan menjadi tidak terjangkau bagi kaum MBR. Ditambah, pemerintah belum member intervensi terhadap hal tersebut sehingga hak MBR semakin tidak terlindungi. Pemerintah belum dapat memberi intervensi karena keterbatasan anggaran untuk membeli lahan, mengalokasikan khusus untuk MBR, dan mengadakan pembangunan untuk perumahan dan permukiman MBR. Hal-hal tersebutlah yang menjadi tantangan bagi pemerintah. Strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah antara lain : 1. Penerapan pajak progresif untuk lahan kosong, yaitu pemberian pajak yang terus bertambah jumlahnya jika lahan yang dimiliki masih merupakan lahan kosong. Sehingga bagi pemilik akan merasa cukup rugi sehingga harapannya segera menjual atau membangun lahan tersebut menjadi bangunan yang lebih bermanfaat. Karena lahan kosong merupakan hak bagi masyarakat yang belum memiliki hunian sendiri. 2. Program bank lahan, yaitu program menyimpan lahan oleh pemerintah untuk kebutuhan di masa depan. Pemerintah sengaja tidak menjual lahan tersebut untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat seperti lahan untuk fasilitas public maupun perumahan dan permukiman bagi masyarakat. Dengan adanya bank lahan ini, spekulan tanah tidak dapat membeli tanah dan menaikkan harga lahan yang kemudian akan mempersulit pemerintah dalam menyediakan lahan bagi masyarakat. 3. Pengembangan kasiba (kawasan siap bangun) dan lisiba (lingkungan siap bangun), yaitu pengelolaan suatu lahan secara tegas oleh pemerintah. Pada hal ini, pemerintah membeli atau mengadakan lahan di suatu lokasi, kemudian membangun jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan. Pada praktiknya, pelaksanaan pengembangan ini dapat dilakukan bersama dengan swasta, namun pemerintah memiliki kontrol yang tegas, lugas dan menyeluruh, termasuk pada penetapan harga.
Laras Kun Rahmanti Putri
21040113130114
Sehingga pihak swasta tidak menjalankannya sebagai business as usual.
Pengembangan kasiba dan lisiba ini dinilai sangat membantu target pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan permukiman. 4. Rumah sewa yang aksesibel, yaitu penyediaan perumahan bagi kaum MBR di lokasi yang dekat dengan fasilitas kota untuk disewakan. Lokasi yang dekat dengan fasilitas kota cenderung memiliki harga yang lebih tinggi, sehingga agar kaum MBR dapat mengaksesnya, perumahan tersebut disewakan. Salah satu contohnya ada di Jogja, dimana biaya sewa per tahun ialah sekitar Rp1.500.000,00. Meski terlihat tepat sasaran, tetapi nyatanya terdapat pegawai pajak yang bergaji tinggi menempati perumahan sewa tersebut. Hal ini menjadi masalah karena perumahan tersebut diperuntukkan bagi MBR bukan pegawai pajak. 5. Tanah kas desa, yaitu semacam bank lahan tetapi kepemilikannya berada pada masyarakat dan pengelolaanya berada pada aparat desa. Tanah kas tersebut tidak boleh diperjualbelikan, namun khusus untuk masyarakat setempat. Namun dalam pengelolaannya, tanah tersebut belum diberi infrastruktur dasar sehingga jika nanti dibangun perumahan, belum dapa tdipastikan akses menuju dan keluar rumah. Begitu pula dengan akses air bersih dan sanitasi. Tanah kas desa sedikit sama analoginya dengan kepemilikan lahan di provinsi DIY. Yaitu kepemilikannya berada pada Sultan sebagaipenguasa. Posisi rakyat hanya memanfaatkan. Di Desa Shenzhen, disediakan permukiman bagi pekerja industry sebesar kira-kira 26 juta hektar bagi kira-kira 6000 orang pekerja. Permukiman ini sengaja diletakkan di sekitar pabrik untuk memudahkan pekerja karena pekerja akan bergerak ulang-alik setiap hari. Luas lahan untuk pedestrian diperkirakan seluas 5 hektar untuk memudahkan akses pekerja yang berjalan kaki.