Anda di halaman 1dari 11

BAGAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENYAKIT ISPA DI KLINIK SANITASI

LAPANGAN
Salin dari catatan medik/kartu wawancara di puskesmas dan Catat :

Nama
Jenis Kelamin
Umur
Pekerjaan
Alamat

: ..
: L/P
:tahun
: ..
: ..

GUNAKAN SEMUA PERTANYAAN UNTUK MENGKLARIFIKASIKAN MASALAH DAN


TINDAKAN/SARAN YANG DIBERIKAN.
UKUR DAN AMATI
Amati

:
Jumlah penghuni rumah
Perilaku bersin/batuk
Tanda-tanda tempat pengasuhan bayi di dapur
Letak kamar tidur dan dapur
dll.

(Gunakan PANDUAN KUNJUNGAN LAPANGAN PENDERITA ISPA dalam buku


PEDOMAN TEKNIS KLINIK SANITASI UNTUK PUSKESMAS dan PANDUAN
KONSELING BAGI PETUGAS KLINIK SANITASI DI PUSKESMAS)
Ukur
:
1. Kepadatan hunian rumah : m2/orang
2. Ventilasi alamiah permanen
:..m2/orang
3. Intensitas cahaya
:
a. Kamar .
b. Ruang Tamu ..
MASALAH DAN TINDAKAN/SARAN
1. TINGKAT HUNIAN RUMAH PADAT
Sarankan pasien/klien untuk :
Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaliknya luas kamar 8m2/jiwa
Lantai disemen
2. VENTILASI RUMAH/DAPUR TIDAK MEMENUHI SYARAT
Sarankan pasien/klien untuk :
Memperbaiki lubang penghawaan/ventilasi
Selalu membuka pintu/jendela terutama pada pagi hari
Menambah ventilasi buatan
3. PERILAKU
Sarankan pasien/klien untuk :

Tidak membawa anak bayi saat memasak didapur


Menutup mulut bila batuk
Membuang ludah/riak pada tempatnya
Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar

TINDAKAN/SARAN UMUM:
Mintakan kepada petugas kesehatan, ketua RT/RW, kepala desa atau kader
kesehatan lingkungan setempat untuk turut menindak lanjut.

PANDUAN WAWANCARA PENDERITA ISPA DI KLINIK SANITASI


I.

Data Umum
Nama Anak/Balita : ....
....
Umur
: ....
....
Nama Ayah
: ....
....
Nama Ibu
: ....
....
Pendidikan Ayah : ....
....
Pendidikan Ibu : ....
....
Pekerjaan Ayah : ....
....
Alamat RT/RW/RK
: ....
....
Kelurahan/Desa : ....
....

II.

IDENTIFIKASI MASALAH LINGKUNGAN DAN PERILAKU


1. Apakah terdapat batuk dan atau kesulitan bernafas?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah pasien/klien mengalami demam (suhu tubuh 37oC)?
a. Ya
b. Tidak
3. Telah berapa lama menderita batuk batuk seperti
ini? .................................................
4. Apakah yang dirasa pada saat bernafas?
a. Ringan
b. Berat
c. Sulit hingga mengeluarkan
5. Berapa orang yang sakit seperti ini dalam
keluarga? .....................................................
6. Apakah pada siang hari didalam rumah dalam keadaan gelap?
a. Ya
b. Sedang (antara terang dan gelap)
c. Tidak
7. Apakah dirumah terdapat atap tembus cahaya (kaca/fiber/atau plastic tembus
cahaya, dan lainnya) yang memungkinkan sinar matahari masuk kedalam rumah?
a. Ya, ada

b. Tidak ada
8. Apakah dirumah terdapat pintu atau jendela yang tembus cahaya
(kaca/fiber/pastik dan lainnya)?
a. Ya
b. Tidak ada
9. Apakah penderita berada didalam rumah dalam keadaaan panas (sumuk/gerah)
terutama pada siang hari?
a. Ya
b. Tidak
10. Apakah rumah penderita terdapat lubang hawa atau lubang angin?
a. Ya
b. Tidak ada
11. Luas rumah?
a. Kurang 8 m2 perorang
b. 8 m2 /orang
c. Lebih dari 8 m2 /orang
12. Bahan bakar apa yang digunakan untuk memasak?
a. Gas
b. Minyak tanah
c. Arang
d. Kayu bakar
13. Apakah didapur terdapat cerobong asap atau lubang tempat keluar asap?
a. Ya
b. Tidak
14. Apakah penderita tidur setempat tidur atau sekamar dengan orang lain
(istri/suami,anak, dan lainnya)?
a. Ya
b. Tidak
15. Jika batuk kemanakan ludah/riak batuk dibuang?
a. Sembarang tempat
b. Kamar mandi atau WC / jamban
c. Tempat khusus ludah/riak (Paidon)
16. Apakah setiap kali batuk penderita menutup mulut?
a. Ya
b. Tidak
17. Apakah anggota keluarga sering memasak sambil momong anak?
a. Ya
b. Tidak
18. Apakah pasien/klien menggunakan obat anti nyamuk bakar di dalam rumah?
a. Ya, sering
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
19. Apakah terdapat anggota keluarga atau penghuni rumah pasien/klien yang
memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah?
a. Ya
b. TIdak

III.
IV.
V.

DUGAAN PENYEBAB :
Hasil wawancara penyebab penyakit ISPA diduga :
.................................................
SARAN :
Diarahkan kepada pesan penyukuhan yang berkaitan dengan perilaku
RENCANA TINDAK LANJUT :
Perjanjian untuk kunjungan lapangan awal.
Diisi dengan kesepakatan yang diamil antara petugas dan pasien untuk tindakan lebih
lanjut

PANDUAN KUNJUNGAN LAPANGAN PENDERITA ISPA

I.

II.

III.

IV.
V.

PERSIAPAN :
1. Mempeelajari hasil wawancara/konseling di Puskesmas
2. Formulir kunjungan lapangan
3. Menyiapkan peralatan pengukuran intensitas cahaya (lux meter)
4. Menyiapkan alat ukur panjang (Meteran)
5. Menyiapkan peralatan pengambilan sampel lapangan (bila perlu)
6. Bahan penyuluhan
7. Bahan pendukung lainnya
OBSERVASI LAPANGAN :
1. Mengukur besaran intensitas cahaya didalam kamar tidur pasien/klien, ruang
utama, dan ruang lainnya dalam rumah
2. Mengukur besaran luas lubang ventilasi terhadap seluruh luas lantai
3. Menghitung kepadatan rumah
4. Pengamatan perilaku
a. Tidak menutup mulut
b. Menutup mulut dengan saputangan atau kain
5. Apakah terdapat tanda tanda tempat asuhan anak di dapur seperti ayunana,
box bayi, tikar bayi, dan lainnya yang menunjukan bahwa ibu memasak
sambil mengasuh bayi?
a. Ya
b. Tidak
KESIMPULAN HASIL KUNJUNGAN
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, disimpulkan penyebab kasus adalah :
a. Lingkungan..................................................................................................
b. Perilaku.......................................................................................................
PENGAMBILAN SAMPEL :
Bila diperlukan, ambil sampel udara dapur dan ruangan dalam rumah
SARAN DAN TINDAK LANJUT :
- Saran kepada pasien (klien), keluarga :
......................................................................................................................
- Tundak lanjut program yang bias dilakukan petugas :
................................................
...........................................................

Sekilas Tentang Penyakit ISPA


Menurut DepKes RI (1998) Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan
adalah organ yang dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai
dengan 14 hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi salluran pernafasan yang dapat
berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang
terjadi di setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran
pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
berlansungya proses akut. Menurut Corwin (2001), infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi
yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang tenggorokan,
dan laringitis.
Klasifikasi ISPA (Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi )
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
adalah infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis
media (infeksi pada telinga tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran
pernafasan atas digolongkan ke dalam penyakit bukan pneumonia.
Infeksi Saluran pernafasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut
(ISPaA) adalah infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sanpai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis,
ryngotrachetis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.
Faktor faktor Penyebab Penyakit ISPA
a. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu
kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik
yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita
umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal
proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi
kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi
sebelumnya. Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan
prevalensi ISPA untuk bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case
Spesific Death Rate (CSDR) karena ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun
35%.19
b. Jenis Kelamin
Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai
publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA
adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian Ruli Handayani
Kota Palembang Tahun 2004, dengan desain Prospectice Cohort Study berdasarkan hasil
uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gangguan
saluran pernafasan diperoleh p value = 0,089 dan diperoleh nilai Relative Risk (RR) 1,77
(CI 95% : 1,162-2,716) artinya risiko anak laki-laki terkena gangguan saluran pernafasan
sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan.
c. Status Gizi

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit
infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi
sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga
sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah
dan akhirnya mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis
dan berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Keadaan
gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya penyakit
infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri
terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi
sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari
terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Hasil penelitian Calvin S di
wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional,
berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara status gizi anak
balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,001 dan Ratio Prevalens 5,980 (CI
95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik merupakan
faktor resiko untuk terjadinya ISPA.
d. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari
2500 gram.24 BBLR membawa akibat bagi bayi berupa : daya tahan terhadap penyakit
infeksi rendah, pertumbuhan dan perkembangan tubuh lebih lamban, tingkat kematian
lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan berat badan cukup. Bayi dengan BBLR
sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan
dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.
e. Status ASI Eksklusif
ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat
serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi
bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif
adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan
makanan/cairan lain. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun
untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan system
pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau
makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah
diserap usus bayi sehinnga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses
pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini
akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi. Berdasarkan hasil penelitian Agustama (2008) di
Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (2005) dengan desain cross sectional,
berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI eksklusif dengan penyakit ISPA
diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens 0,2 (di Kota Medan) sedangkan di Kabupaten
deli Serdang RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan merupakan faktor resiko untuk
terjadinya ISPA.
f. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman
atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi merupakan upaya
pemberian ketahanan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi. Imunisasi bermamfaat
untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti, Polio, TBC, difteri, pertusis,
tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan
imunisasi adalah difteri, dan batuk rejan. Anak balita yang telah memperoleh imunisasi
yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap
penyakit tertentu maka jika ada kuman yang masuk ketubuhnya secara langsung tubuh
akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut. Berdasarkan penelitian Munjiah di
Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (2002) dengan
desain case control, berdasarkan analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara
status imunisasi dengan penyakit ISPA diperoleh p = 0,047 dan OR 3,67 (CI 95%; 0,59614,070) yang berarti bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi tidak lengkap
kemungkinan untuk mendapatkan penyakit gangguan saluran pernafasan 3,67 kali
dibandingkan dengan bayi dan balita dengan status imunisasi lengkap.
g. Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumaha menetapkan
bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Bangunan yang
sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya
oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat
timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Kepadatan di dalam kamar terutama
kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang
disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat
uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni
ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau
bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan. CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah
penurunan kualitas udara dalam ruangan. Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas
Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil
analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur anak
balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,004 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI
95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah dengan padat penghuni
merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA.
h. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak
sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan. Hasil
penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan

desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan
antara Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh
nilai p = 0,000 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang
tinggal dalam rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar merupakan faktor resiko
untuk terjadinya ISPA.
i. Bahan Bakar Untuk Memasak
ISPA merupakan penyakit yang paling banyak di derita anak-anak. Salah satu penyebab
ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan
bakar yang digunakan untuk memasak dan asap rokok. Berdasarkan penelitian Safwan di
puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan menggunakan desain case
control, berdasarkan analisis bivariat hubungan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar
dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,012 dan Odds Ratio 2,24 (CI 95%;
1,221-4,089). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian ruang
tidur dengan kejadian ISPA pada balita. Niali OR sebesar 2,24 artinya balita yang
dirumahnya menggunakan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar berpeluang menderita
ISPA sebesar 2,24 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang dirumahnya
menggunakan bahan bakar gas.
j. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri
dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida
(CO), Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil
penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif
pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.
Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada
perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan perokok aktif pada laki-laki
umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok
pasif pada balita sebesar 69,5 %, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan
kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif
pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan
orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah. Berdasarkan penelitian
Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan menggunakan
desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan kebiasaan perokok dengan
kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,031 dan OR 1,81 (CI 95%; 1,085-2,996).
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur dengan
kejadian ISPA pada balita. OR 1,81 artinya balita yang tinggal dirumah yang anggota
keluarganya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA
sebesar 1,81 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang anggota keluarganya tidak
merokok didalam rumah.
Pencegahan Penyakit ISPA
a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health
promotion) dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit
tertentu.Termasuk disini adalah :
1. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan
faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan
penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi
seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya
rokok.
2. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan
ISPA
3. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
4. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
5. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi
di dalam maupun di luar rumah.
b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini
mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya
termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek,
panas atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi
pengobatan. Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau bukan
pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diiberikan perawatan di rumah.
Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita
ISPA adalah :
a) Mengatasi panas (demam)
Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b) Pemberian makanan dan minuman
Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering memberi ASI
lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air buah) lebih banyak dari
biasanya.
c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak
menjadi lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan
berakhir dengan kematian. Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan
pneumonia pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala pneumonia seperti
nafas menjadi sesak, anak tidak mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar
tidak bertambah parah bawalah anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian
perawatan yang spesifik di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering
memberikan ASI.

Anda mungkin juga menyukai