Anda di halaman 1dari 15

MEKANISME PENYAKIT

ATOPIC DERMATITIS
Thomas Beiber, M.D., Ph.D
Dermatitis atopik atau eksim, merupakan penyakit kulit yang umum yang
sering dikaitkan dengan gangguan atopik lainnya, seperti rinitis alergi dan asthma. Manifestasi
klinis dermatitis atopik (Gbr. 1) bervariasi dengan usia; tiga tahap sering dapat diidentifikasi.
Pada bayi, lesi eczematous pertama biasanya muncul di pipi dan kulit kepala. Penggarukan,
yang sering dimulai beberapa minggu kemudian, menyebabkan erosi berkulit. Selama masa
kanak-kanak, lesi melibatkan lipatan-lipatan, tengkuk, dan bagian dorsal dari anggota badan.
Pada masa remaja dan dewasa, plak likenifikasi mempengaruhi lipatan, kepala, dan leher.
Dalam setiap tahap, gatal yang terus sepanjang hari dan memburuk pada malam hari
menyebabkan kurang tidur dan secara substansial merusak kualitas hidup pasien.
Kekhususan dari dermatitis atopik adalah bentuk kronis, bentuk kambuh dari
peradangan kulit, gangguan dari fungsi pertahanan epidermis yang berpuncak pada kulit kering,
dan sensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan dan allergen lingkungan. Gambaran
histologis patch eczematous akut dan plak adalah edema epidermis interseluler (spongiosis)
dan infiltrate perivaskular limfosit yang menonjol, makrofag monosit, sel dendritik, dan
sedikit eosinofil pada dermis. Dalam plak terlikenifikasi dan terekskoriasi yang subakut
dan kronis, epidermis menebal dan lapisan atasnya terjadi hipertrofi.
Dua hipotesis tentang mekanisme dermatitis atopik telah diusulkan. Satu memegang
bahwa cacat utama berada dalam gangguan imunologi yang menyebabkan sensitisasi yang
dimediasi IgE, dengan disfungsi pertahanan epitel dianggap sebagai akibat dari peradangan
lokal. Yang lain mengusulkan bahwa cacat intrinsik dalam sel epitel mengarah pada disfungsi
pertahanan; aspek imunologi dianggap epiphenomenon.
Dalam review ini, saya mengatur potongan-potongan yang berbeda dari teka-teki ke
dalam gambar yang koheren, pertanyaan hipotesis yang berlaku, dan mengintegrasikan hasil
penelitian terbaru dengan cara yang memiliki implikasi untuk manajemen klinis dari dermatitis
atopik.
EPIDEMIOLOGI DERMATITIS ATOPIK

Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri
selama tiga dekade terakhir; 15- 30% anak dan 2- 10% orang dewasa terlibat. Gangguan
iniseringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi
lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal
dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6
bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5
tahun. Lebih dari 50% anak yang terpengaruh dalam 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki
tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi peka selama terjadi dermatitis atopik. Sampai
dengan 70% dari anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini
juga dapat dimulai pada orang dewasa (yang disebut dermatitis atopik onset lambat), dan dalam
sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda sensitisasi
dermatitis atopik lebih rendah di

yang dimediasi IgE. Prevalensi

pedesaan dibandingkan

dengan daerah

perkotaan

menunjukkan hubungan ke "hipotesis kebersihan", yang mendalilkan bahwa tidak adanya


paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan terhadap penyakit
alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik.

Gambar 1. Aspek Klinis, Histologis, dan Imunohistokimia Dermatitis Atopik.


Panel A menunjukkan lesi awal-awal dermatitis atopik melibatkan pipi dan kulit kepala pada bayi pada 4
bulan. Panel B menunjukkan manifestasi klasik pada kepala dan leher dari dermatitis atopik pada
dewasa. Panel C menunjukkan khas kronis, lesi lentur likenifikasi pada orang dewasa. Panah di Panel D
(hematoxylin dan eosin), yang menunjukkan aspek histologis khas lesi akut, menunjukkan area
spongiotic dalam epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrasi perivaskular yang menonjol.
Panel E (hematoxylin dan Eosin) menunjukkan lesi kronis dengan penebalan epidermis. Tanda
bintang menunjukkan infiltrasi perivaskular yang menonjol.

GENETIK DARI DERMATITIS ATOPIK


Tingkat kesesuaian untuk dermatitis atopik lebih tinggi pada kembar monozigot (77%)
dibandingkan kembar dizigotik (15%). Asma alergi atau rhinitis alergi pada orang tua tampaknya
menjadi faktor kecil dalam pengembangan dermatitis atopik pada keturunannya, menunjukkan
gen spesifik pada dermatitis atopik.

Genomewide Scans10 telah menyoroti beberapa kemungkinan dermatitis atopik terkait


lokus pada kromosom 3q21,1q21 16q, 17q25, 20p, dan 3p26. Wilayah tertinggi linkage
diidentifikasi pada kromosom 1q21, yang terdapat keluarga epitel yang berhubungan dengan
agen yang disebut diferensiasi epidermis kompleks. Sebagian besar daerah genetik yang terkait
dengan dermatitis atopik sesuai dengan lokus yang terkait dengan psoriasis, meskipun kedua
penyakit ini jarang terkait. Juga, hubungan genom diungkapkan oleh scan ini tidak tumpang
tindih dengan varian alel yang sering terjadi di asma alergi; temuan ini konsisten dengan data
epidemiologi.
Beberapa kandidat gen telah teridentifikasi pada dermatitis atopik, khususnya pada
kromosom 5q3133. Semua gen tersebut memberi kode pada sitokin yang terlibat pada regulasi
sintesis IgE, Interleukin-4, Interleukin-5, Interleukin-12, Interleukin-13, dan faktor koloni yang
distimulasi oleh granulosit makrofag (GM-CSF). Kesemuanya itu dan sitokin lainnya diproduksi
oleh 2 tipe utama dari T limfosit. Type 2 helper T cell (Th2) memproduksi interleukin-4
sebagaimana interleukin-5 dan interleukin-13, dua jenis sitokin yang meregulasi produksi
IgE.Type 1 helper T cell (Th1) memproduksi terutama interleukin-12 dan interferon-gamma,
yang menekan produksi IgE dan memproduksi antibodi IgG (Gambar 2A). Mutasi yang
mempengaruhi fungsi promoto regional dari limfosit yang menarik kemokin RANTES (regulated
on activation, normal T cell expressed and secreted) (17q11) dan menambah fungsi polimorfisme
pada subunit alfa dari reseptor interleukin-4 (16q12) telah teridentifikasi pada pasien dengan
dermatitis atopik. Polimorfisme gen yang memberi kode pada sitokin interleukin- 18, yang
berperan dalam perubahan Th1 menjadi regulasi silang Th2 terhadap Th1-mediated responses
(Th1 polarisasi), atau polimorfisme dari gen yang mengkode reseptor sistem imun inate, dapat
berperan terhadap ketidakseimbangan antara respon imun Th1 dan Th2 pada dermatitis atopik.
Pada seseorang dengan dermatitis atopik, kekuatan yang ditentukan secara genetik dari sitokin
Th2 mempengaruhi pematangan B cell dan penyusunan ulang genomik pada sel tersebut
menukar IgM menjadi IgE. Karena kulit kering dan bersisik adalah gejala dari dermatitis atopik
dan

ichthyosis vulgaris, gangguan autosomal dominan keratinisasi yang paling sering terjadi,

kedua penyakit tersebut dapat saling tumpang tindih secara genetik. Setelah gen filaggrin (FLG)
pada kromosom 1q21.3, yang memberi kode protein kunci pada diferensiasi epidermis, yang
telah teridentifikasi sebagai gen yang terlibat pada ichthyosis vulgaris, beberapa mutasi
hilangnya fungsi dari

gen

teridentifikasi

pada pasien eropa dengan dermatitis atopik dan

mutasi FLG khusus lainnya pada pasien Jepang telah dilaporkan. Mutasi FLG terjadi terutama
pada onset awal dermatitis atopik dan mengindikasikan kecenderungan terhadap asma. Namun
demikian tidak ada hubungan antara FLG mutant dan penyakit alergi saluran nafas tanpa
dermatitis atopi.
Karena mutasi FLG teridentifikasi hanya pada 30% pasien Eropa dengan dermatitis atopik,
variasi genetik dari struktur epidermis lainnya mungkin sangat penting, seperti enzim tryptic
stratum korneum atau kolagen epidermis yang baru. Dermatitis atopik adalah penyakit genetik
komplek yang muncul dari interaksi gen dengan gen dan interaksi gen dengan lingkungan.
Penyakit ini muncul sebagai konteks 2 kelompok gen utama, yaitu gen yang memberi kode
protein epidermis atau protein penyusun epidermis lainnya, dan gen yang memberi kode elemen
mayor dari sistem imun.
FUNGSI BARIER KULIT
Barier Fisik
Kompartemen epidermis yang intak merupakan syarat fungsi kulit sebagai barier fisik
dan barier kimiawi. Barier itu sendiri merupakan stratum korneum, struktur seperti batu dan
semen dari lapisan epidermis atas. Perubahan pada barier yang menyebabkan meningkatnya
hilangnya cairan melalui epidermis, merupakan tanda khas dermatitis atopik. Lapisan lemak
interselular pada lapisan epidermis bertanduk diproduksi oleh badan lamellar, yang di produksi
oleh eksositosis dari keratinosit diatasnnya. Perubahan pada ceramides yang disebabkan oleh
adanya variasi pH pada stratum dapat mengganggu pematangan badan lamellar dan merusak
fungsi barier. Perubahan pada ekspresi enzim yang terlibat pada keseimbangan struktur
perlekatan epidermis juga kemungkinan berperan dalam kerusakan barier epidermis pada pasien
dengan dermatitis atopik.
Masih belum jelas, apakah perubahan pada epidermis tersebut terjadi secara primer atau
sekunder

akibat

inflamasi

yang

mendasari

sampai

dilakukannya

pemeriksaan

secaraimunohistokimia dan penelitian genetik menyoroti pentingnya mutasi FLG pada dermatitis
atopik. FLG berperan dalam sitoskeleton keratin melalui aksinya sebagai pola terhadap
berkumpulnya envelope yang terkornifikasi. Disamping itu pemecahan produk-produk FLG
mempengaruhi kapasitas mengikat air dari stratum korneum. Telah terbukti, variasi genetik FLG
pada dermatitis atopik yaitu kapasitasnya yang kurang untuk pemecah proteolitik. Namun,

perubahan yang terjadi secara genetik dari epidermis ( e.g., perubahan pada protein involucrin
dsn loricrin dari envelope terkornifikasi) atau komposisi lemak juga kemungkinan berperan
terhadap disfungsi barier.
Sistem Imun Innate
Sel epitel yang menghubungkan antara kulit dan

lingkungan adalah lini pertama

pertahanan dan sistem imun innate. Sistem ini dilengkapi dengan struktur sensoris yang
bervariasi,

termasuk

toll-like

receptors

(TLRs),

C-type

Lectins,

nucleotide-binding

oligomerization domainlike receptors, dan peptidoglycan-recognition protein. Sedikitnya 10


TLR yang telah ditemukan pada manusia, berikatan dengan bakteri, jamur (kedua dinding sel),
atau struktur virus (DNA atau RNA dengan motif cytosine phospate guanidine), dan terhadap
struktur mikobial lain yang memasukkan pola molekular yang berhubungan dengan patogen. Sel
epitel yang dimediasi oleh aktivasi TLR merangsang produksi defensin dan cathelicidin yang
merupakan famili peptida antimikroba.
Kulit menghasilkan cathelicidine LL-37, HBD-1 (human beta defensins), HBD-2, HBD3, dermcidin. Mkromilieu inflamasi yang diprakarsai oleh interleukin-4, interleukin-13, dan
interleukin-10 meregulasi peptida antimikrobial pada kulit pasien dengan dermatitis atopik.
Dengan alasan tersebut, sulit untuk mengatur infeksi mikroba pada kulit pasien dengan
dermatitis atopik. Kulit yang terlihat normal dan berlesi mengandung kolonisasi bakteri yang
luas seperti Staphylococcus aureus atau jamur seperti malassezia. Pasien dengan dermatitis
atopik memiliki predisposisi terhadap eczema herpeticum dan eczema vaccinatum dikarenakan
menurunnya produksi cathelicidin, yang memiliki aktivitas antivirus yang potensial.
MEKANISME IMUNOPATOLOGIS PADA DERMATITIS ATOPIK
Mekanisme awal inflamasi kulit
Dermatitis atopik onset awal biasanya timbul akibat tidak adanya IgE-mediated allergic
sensitization yang terdeteksi, dan pada beberapa anak (kebanyakan perempuan) sensitisasi
tersebut tidak pernah terjadi. Mekanisme awal yang merangsang inflamasi kulit pada pasien
dengan atopik dermatitis tidak diketahui. Mekanisme tersebut dapat diinduksi oleh
neuropeptida, iritasi, atau pruritus yang menginduksi luka garukan, yang dapat mengeluarkan
sitokin proinflamasi dari keratinosit, atau dapat berupa mediasi terhadap T-cell tetapi reaksi IgE

yang tergantung pada allergen muncul pada barier epidermis yang terganggu atau pada makanan
(disebut dermatitis atopik sensitif terhadap makanan). IgE yang spesific terhadap alergen bukan
merupakan syarat, namun karena test patch atopik dapat menunjukkan aeroalergen tersebut yang
terjadi pada kulit yang mengalami oklusi menginduksi reaksi positif saat tidak adanya IgE yang
spesific terhadap alergen.
Inisiasi tempat sensitisasi
Pada pasien dengan dermatitis atopik onset awal, IgE yang dimediasi oleh sensitisasi
sering terjadi beberapa minggu atau bulan setelah lesi muncul, memberi kesan bahwa kulit
adalah tempat sensitisasi. Pada penelitian terhadap binatang, dilakukan ulang tantangan
epidermis yang dengan kadar albumin berlebih yang menginduksi IgE spesifik terhadap kadar
albumin berlebih, alergi respirasi, dan lesi eczema pada kulit yang diteliti. Proses yang sama
mungkin terjadi pada manusia (Gambar 2B).
Disfungsi barier epidermis adalah prasyarat terjadinya penetrasi serbuk alergen dengan
berat molekul tinggi, debu yang diproduksi tungau rumah, microba, dan makanan. Molekul
-molekul tersebut dalam bentuk serbuk, dan beberapa alergen makanan membawa sel dendritik
untuk meningkatkan polarisasi Th2. Ada banyak T cell pada kulit (106 T cell memori / cm2 dari
area tubuh), hampir 2 kali lipat jumlah T cell di sirkulasi. Terlebih lagi, keratinosit pada kulit
atopik menyebabkan tingginya level interleukin-7-like thymic stromal lymphopoietin yang
memerintah sel dendritik untuk meningkatkan polarisasi Th2. Dengan menginduksi produksi
dalam jumlah besar sitokin seperti GM-CSF atau kemokin, radang kulit yang luas dapat
mempengaruhi kekebalan adaptif, mengubah fenotip beredar monosit dan meningkatkan
produksi prostaglandin E258 di dermatitis atopik. Semua faktor ini memberikan sinyal yang kuat
diperlukan untuk berbasis kulit Th2 polarisasi, dan untuk alasan ini, kulit bertindak

sebagai

titik masuk untuk sensitisasi atopik dan mungkin bahkan memberikan sinyal yang diperlukan
untuk sensitisasi alergis di paru-paru atau usus. Pengembangan sensitisasi dan dermatitis atopik
dalam sumsum tulang penerima setelah engraftment hematopoietic stem cells dari donor atopik
menyediakan dukungan untuk peran sistem hematopoietic sebagai faktor selain untuk disfungsi
epidermal-penghalang ditentukan secara genetis dalam dermatitis atopik.
Antigen IgE spesifik adalah struktur utama pengakuan untuk alergen mastosit dan basofil.
Ini mungkin berperan untuk induksi toleransi alergi-spesifik atau di mekanisme antiinflammatori,

tetapi apakah peristiwa tersebut mendasari remisi spontan dari atopik dermatitis tetap untuk
dijelajahi.
GAMBAR 2. PARADIGMA TH1-TH2 DAN PERANNYA PADA ALERGI DAN KULIT SEBAGAI TEMPAT
INISIASI UNTUK SENSITISASI.
Panel A menunjukkan bahwa hasil diferensiasi sel T helper (Th) diperintahkan oleh jenis sel dendritik, lingkungan
mikro, atau keduanya. Pada presentasi antigen, sel T naif dikenakan baik pada interleukin-12 dan interleukin-18
atau interleukin-4, yang mempolarisasi mereka masing-masing ke dalam sel helper Th1 atau Th2. Sel Th1
memproduksi interferon-, dimana sel Th2 memproduksi interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-13. Sel Th0
memproduksi kedua sitokin Th1 dan Th2, kemungkinan dalam respon untuk mengurangi sinyal polarisasi.
Kedua jenis sel T helper mempunyai fungsi fisiologi yang berbeda, dan diasumsikan bahwa keseimbangan
halus antara sel Th1 dan Th2 disediakan dalam kondisi normal. Namun, dominasi Th2 yang kuat menyebabkan
kondisi patologis seperti penyakit overproduksi IgE dan alergi. Panel B menunjukkan inflamasi yang dimediasi

nonIgE. Disfungsi penghalang epidermal, sinyal iritatif mekanis, atau kejadian yang dimediasi sel T yang tidak
terlibat dengan IgE menyebabkan reaksi inflamasi inisial disertai dengan perubahan fungsi sel dendritic
residen. Sel ini juga ditempatkan untuk memproduksi secara lokal cytokine thymic stromal lymphopoietin (TSLP)
dan mediator yang berasal dari serbuk sari. Sebagai hasil, sel dendritik bermigrasi ke nodus limfatikus
regional dan merangsang polarisasi Th2 spesifik alergen. Reaksi inflamatoris mungkin juga mempunyai efek
sistemik yang besar dalam sistem imun adaptif, mendukung perkembangan sensitisasi yang dimediasi IgE.

Sel dendritik
Sel dendritik epidermal pada dermatitis atopik berulang IgE dan mengungkapkan yang

tinggi affinitas reseptor (FcRI). Dalam lesi kulit, sel dendritik keturunan plasmacytoid,
yang ampuh kegiatan antivirus oleh berdasarkan interferon- produksi, hampir absent.
Sebaliknya, dua populasi myeloid sel dendritik sekarang: sel-sel Langerhans' dan sel inflamasi
epidermal dendritik. Dalam dermatitis atopik, tetapi tidak dalam kondisi lain, ada tampilan
densitas tinggi FcRI oleh kedua jenis sel. Sel-sel Langerhans terjadi di kulit normal, tapi
peradangan sel dendritik epidermal muncul hanya dalam kulit

yang meradang. Mereka

mengambil dan menkaji alergen untuk sel-sel Th1 dan Th2, dan mungkin juga untuk peraturan T
cells. Pada

ligasi FcRI

oleh IgE, menghasilkan sel-sel Langerhans interleukin-16, yang

direkrut sel kulit CD4 T. Selain interleukin-16, menghasilkan sel-sel Langerhans hanya terbatas
chemokines dan hampir tidak ada sitokin proinflamasi. Pada alergi, sel-sel Langerhans'
berkontribusi dengan polarisasi Th2 oleh mekanisme yang tidak diketahui, dan peradangan sel
dendritik epidermal menyebabkan polarisasi Th1 dengan menghasilkan interleukin-12 dan
interleukin-18 dan melepaskan sitokin pro inflamasi. Dalam tes patch Atopi, jumlah tinggi
peradangan sel dendritik epidermal menyerang epidermis 72 jam setelah alergi tantangan, dan
sel-sel Langerhans' mengatur layar mereka dari FcRI.
Penyakit Biphasic T-CellMediated
Alergi-spesifik sel-sel CD4 dan CD8 T dapat terisolasi dari lesi kulit pasien dengan
dermatitis atopik. Peradangan dalam dermatitis atopik adalah biphasik: tahap Th2 awal
mendahului tahap kronis dalam sel-sel Th0 yang (sel yang berbagi beberapa kegiatan sel-sel
Th1 dan Th2) dan Th1 sel dominan (Fig. 3). Sitokin Th2 interleukin-4, interleukin-5 dan
interleukin-13 mendominasi dalam lesi fase akut, dan dalam lesi kronis ada peningkatan
interferon , interleukin-12, interleukin-5 dan GM-CSF72; perubahan ini merupakan
karakteristik dari dominasi Th1 dan Th0. Sel-sel Th0 dapat membedakan ke sel Th1 atau Th2,
tergantung pada lingkungan sitokin dominan. Ekspresi peningkatan interferon- mRNA oleh sel
Th1 mengikuti puncak ekspresi interleukin-12, yang bertepatan dengan munculnya peradangan
sel dendritik epidermal di kulit. Kulit tampak normal pada pasien dengan dermatitis atopik
pelabuhan menyusup ringan, sangat menyarankan kehadiran sisa peradangan antara flares.
Perekrutan sel T ke dalam kulit diikuti oleh jaringan kompleks mediator yang
berkontribusi
diproduksi oleh

terhadap
sel-sel

peradangan

kronis.

Hemostatik

kulit

terlibat

dalam

yang

kemokin

proses

sel

dan

peradangan

inflamasi. Keratinosit

dalam lesi kulit mengungkapkan tingkat tinggi penatikan kemo, dan diturunkan keratinocyte
timat jaringan stroma lymphopoietin menginduksi sel dendritik untuk menghasilkan Timus Th2cellattracting dan diatur aktivasi chemokine, TARC/CCL17. Dengan cara ini, mereka dapat
memperkuat dan mempertahankan respons alergi dan generasi interferon-producing t
sitotoksik, seperti yang disarankan oleh in vitro studi. interferon diproduksi oleh sel-sel Th1
telah terlibat dalam apoptosis keratinocytes disebabkan oleh kematian sel reseptor Fas. Peran
regulasi sel t di dermatitis atopik juga diperiksa. Tingkat tinggi ekspresi dari rantai alpha
reseptor interleukin-2 (CD25) dan faktor transkripsi FOXP3 merupakan karakteristik dari sel-sel

ini. Ada di berkerut kolam beredar regulasi sel t di dermatitis atopik, tetapi lesi kulit tanpa dari
fungsional peraturan t cells. kompleksitas kompartemen sel t regulatory tidak belum sepenuhnya
dipahami, dan peran regulasi sel t dalam peraturan penyakit kronis radang kulit sukar dipahami.
Gambar 3. Fase Akut dan kronik Dermatitis Atopi yang dimediasi oleh IgE dan Sel T.
Pada dermatitis atopi fase akut, sel Langerhans diaktivasi pada ikatan alergen dengan bantuan IgE spesifik dan
FRI. Mereka memproduksi monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) dan interleukin-16. Alergen yang berasal
dari peptida disajikan ke sel T oleh sel Langerhans yang merangsang profil Th2. Setelah migrasi ke kulit, monosit
yang diambil berdiferensiasi menjadi inflammatory dendritic epidermal cell (IDEC) dan memproduksi sitokin
proinflamatoris interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor (TNF-). Sekresi interleukin-12 dan
interleukin-18 berperan untuk merubah dari Th2 menjadi Th1/0 dan demikian mengarah pada fase kronis penyakit
ini.

Staphylococcus aureus

Penindasan

sistem

imun

bawaan

kulit

oleh

peradangan

micromilieu

dari

dermatitis atopik menjelaskan kolonisasi kulit dengan S. aureus di lebih dari 90% dari pasien
dengan atopik dermatitis. Fitur ini memberikan kontribusi untuk alergi sensitisasi dan
peradangan (Fig.4). Menggaruk meningkat mengikat S. aureus kulit, dan peningkatan jumlah S.
aureusderivedceramidase dapat memperburuk cacat pada penghalang kulit. S. aureus
enterotoxins meningkatkan peradangan dalam dermatitis atopik dan memprovokasi generasi IgE
enterotoxin khusus,

yang

berkorelasi

dengan

tingkat

keparahan

suatu

penyakit.

Enterotoxins ini berinteraksi secara langsung dengan kelas II molekul histocompatibility mayor
kompleks dan rantai beta reseptor sel t untuk merangsang antigen-independen proliferasi sel T.
Mereka juga mengatur ekspresi kulit-merpati reseptor Cornu terkait limfosit antigen pada sel t
dan produksi derivasi keratinocyte chemokines yang merekrut sel T. Oleh merangsang bersaing
-isoform dari glucocorticoid reseptor pada sel mononuklear, enterotoxins berkontribusi
terhadap munculnya resistensi terhadap pengobatan lokal corticosteroid. S. aureus enterotoxins
juga menyebabkan ekspresi ligan glucocorticoid-induced protein yang berkaitan dengan
reseptor factor nekrosis tumor pada antigen menyajikan, menghasilkan sel-sel inhibisi
aktivitas penekanan peraturan t cells.

Gambar 4. Multiple Pathway Staphylococcus aureus-Driven Sensitization and


Inflammation.
Berdasarkan beberapa mekanisme, S. aureus dan produk-produknya memberikan sinyal yang mendukung
sensitisasi dan peradangan. S. aureus derivate ceramidase meningkatkan permeabilitas dari stratum
korneum, dan kapasitas superantigenic dari enterotoksin S. aureus mengaktifkan sel-sel T secara alergenindependen. S. aureus menginduksi ekspresi dari reseptor Skin-homing cutaneous lymphocyte-associated
antigen (CLA) pada sel T. Keratinosit yang diturunkan kemokin, thymic stromal lymphopoietin
berkonstribusi terhadap resistensi kortikosteroid dalam sel T dan mengubah aktivitas dari regulatory sel T
S. aureus-IgE spesifik yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh dapat mengikat reseptor pada sel
dendritik FcRI dan memulai reaksi IgE-mediated untuk mikroba ini.

Mekanisme Pruritus
Gejala yang paling penting dalam dermatitis atopik adalah pruritus yang menetap, yang
dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Kurangnya efek antihistamin dapat memperdebatkan
peran histamin dalam menyebabkan dermatitis atopik terkait pruritus. Neuropeptida, protease,
kinins, dan sitokin menyebabkan gatal-gatal. Interleukin-31 merupakan sitokin yang diproduksi
oleh sel T yang meningkatkan kelangsungan hidup sel hematopoietik dan merangsang produksi

sitokin inflamasi oleh sel epitel. Hal ini sangat pruritogenik, dan interleukin-31 serta receptor
diekspresikan dalam kulit yang mengalami lesi. Selain itu, interleukin-31 dapat distimulasi oleh

paparan exotoxins staphylococcal dalam penelitian in vitro. Temuan ini dapat membuktikan
bahwa interleukin-31 sebagai faktor utama dalam timbulnya pruritus pada dermatitis
atopik.
Gambar 5. Interaksi Gen-gen dan Gen-Lingkungan dalam Proses awal terjadinya
Dermatitis Atopik.
Sebagai hasil dari kelainan genetic berupa disfungsi barier epidermal dan pengaruh faktor lingkungan, nonatopic
Dermatitis adalah manifestasi pertama dari dermatitis atopik. Selanjutnya, karena kecenderungan genetik mereka
untuk IgE dimediasi proses sensitisasi, pasien menjadi peka. Fenomena ini disukai oleh enterotoksin
Staphylococcus aureus. Akhirnya, menggaruk menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan protein struktural,
memicu sebuah respon IgE pada pasien dengan dermatitis atopik. sensitisasi Ini terhadap protein tubuh dapat
disebabkan oleh homologi alergen yang diturunkan epitop dan protein manusia dalam konteks mimikri molekuler.

AUTOIMUN PADA DERMATITIS ATOPIK


Selain antibodi IgE bereaksi terhadap makanan dan aeroalergen, spesimen serum dari
pasien

dengan dermatitis atopik parah mengandung antibodi IgE terhadap protein dari

keratinosit dan

endotel sel-sel seperti superoksida dismutase mangan dan calcium binding

Proteins. Tingkat serum autoantibodies IgE ini berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Menggaruk mungkin

melepaskan intraseluler protein dari keratinosit. protein ini bisa

meniru molekul dari struktur mikroba dan dengan demikian dapat menginduksi IgE

autoantibodies. Sekitar 25% orang dewasa dengan dermatitis atopik memiliki antibodi IgE
terhadap protein dalam tubuh. Pada pasien ini, onset awal atopik dermatitis, pruritus yang sering
dan menetap, infeksi

bakteri

kulit

berulang dan tingkat serum IgE yang tinggi merupakan

tanda dari penyakit. Selain itu, antibodi IgE terhadap protein tubuh dapat terdeteksi pada pasien
dengan dermatitis atopik pada 1 tahun sejak onset awal. Beberapa autoallergens di kulit juga
induser kuat dalam menstimulasi Th1. antibodi IgE pada dermatitis atopik dapat disebabkan oleh
alergen yang ada di lingkungan,

tetapi antibodi IgE terhadap autoantigen di kulit dapat

mengakibatkan peradangan akibat alergi.

Dengan demikian, dermatitis atopik tampaknya

berada pada perbatasan antara alergi dan autoimun.


HIPOTESIS PEMERSATU
Salah satu klasifikasi telah membedakan antara IgE terkait bentuk dermatitis atopik
(yaitu, true dermatitis atopik , sebelumnya disebut dermatitis atopik ekstrinsik) dari IgE tidak
terkait bentuk ("nonatopic" dermatitis, sebelumnya disebut dermatitis atopik intrinsik).
Pembagian

ini menyiratkan bahwa dermatitis nonatopik dan dermatitis atopik dua penyakit

yang berbeda. Namun, karena kulit kering tanda penting pada kedua kondisi, dan tidak adanya
IgE yang dimediasi proses sensitisasi mungkin hanya faktor sementara, ada kebutuhan untuk
menyatukan hipotesis yang berbeda tersebut. Sebuah gambaran baru muncul dari temuan
terakhir, di mana prose salami terjadinya atopic dermatitis memiliki tiga fase (Gambar 5). Awal
fase adalah bentuk nonatopic dermatitis pada awal masa bayi, ketika sensitisasi belum terjadi.
Selanjutnya, dalam 60 sampai 80% pasien,

faktor genetik mempengaruhi induksi IgE yang

dimediasi proses sensitisasi untuk makanan, alergen di lingkungan, atau keduanya - ini adalah
transisi ke true dermatitis atopik. Ketiga, kerusakan sel-sel kulit akibat garukan, yang
melepaskan autoantigens yang menginduksi autoantibodi IgE dalam proporsi yang cukup besar
pada pasien dengan dermatitis atopik.
IMPLIKASI KLINIS
Karena disfungsi pelindung (Barrier) pada kulit dan peradangan kronis merupakan ciri
khas dari dermatitis atopik, pengelolaan klinis jangka panjang harus menekankan
pada pencegahan, dilakukan secara intensif dan perawatan kulit yang disesuaikan dengan
individual, mengurangi kolonisasi bakteri melalui aplikasi lotion lokal yang mengandung

antiseptik seperti triclosan dan klorheksidin, dan - paling penting kontrol peradangan dengan
penggunaan rutin topical kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin. Pada anak-anak,
sebelum dan setelah diagnosis IgE yang dimediasi proses sensitisasi, langkah-langkah
yang dapat

mencegah paparan alergen seharusnya bermanfaat. terapi dermatitis atopik

saat ini adalah reaktif - Mengobati flare - tetapi manajemen harus termasuk intervensi dini
dan proaktif dengan efektif dan terus menerus mengendalikan peradangan kulit dan kolonisasi S.
aureus. strategi ini telah terbukti efektif dalam mengurangi jumlah dari flare.96 Ketika
diterapkan pada awal masa bayi, bias berpotensi membantu untuk mengurangi sensitisasi
dari antigen di lingkungan dan autoallergen.
KESIMPULAN
Pandanagan Terakhir mekanisme genetik dan imunologi yang mendorong peradangan kulit pada
dermatitis atopik telah menyebabkan pemahaman yang lebih baik dari proses alami dari penyakit
ini dan telah menyoroti peran penting dari fungsi barier pada epidermal dan sistem kekebalan
tubuh. keduanya berkontribusi kepekaan IgE-yang dimediasi proses sensitisasi dan seharusnya
dipertimbangkan sebagai target utama untuk terapi. Perkembangan baru ditujukan khususnya
defek molekul dalam stratum korneum dapat menyediakan cara untuk meningkatkan fungsi dari
barier. Manajemen Dini dan proaktif dapat meningkatkan hasil dan kualitas hidup untuk pasien
dengan dermatitis atopik.

Anda mungkin juga menyukai