Pada kematian yang terjadi segera, efek dekstruktif yang sebenarnya, asfiksia, syok yang
disebabkan nyeri, inhalasi udara panas yang membakar saluran respirasi, keracunan
karbonmonoksida, dan efek dari gas mematikan lain, semuanya dapat menjadi penyebab atau
berkontribusi pada kematian.
Pada kematian yang tertunda, dehidrasi dan gangguan elektrolit yang disebabkan kehilangan
plasma pada daerah yang terbakar merupakan penyebab awal. Selanjutnya, kegagalan ginjal,
toksemia yang disebabkan oleh zat yang terserap pada daerah yang terbakar, dan infeksi dari luka
bakar yang luas dapat menjadi penyebab. Luka bakar yang mematikan jarang digunakan
sebagai diagnosis pasti pada korban kebakaran rumah. Penyebab kematian utama yang paling
sering adalah inhalasi asap, termasuk keracunan karbonmonoksida dan banyak zat beracun lain,
seperti sianida, nitrogen oksida, fosgen, dan lain-lain. Kebanyakan zat racun ini terbentuk dari
pembakaran perabot dan kain, plastik tertentu, seperti polipropilen, polivinyl, dan lain-lain, yang
melepaskan spektrum gas racun yang luas saat terbakar. Hipoksia adalah faktor lain yang
berperan pada kematian akibat kebakaran, sebagaimana karbonmonoksida terbentuk akibat
insufisiensi oksigen yang tersedia untuk oksidasi lengkap menjadi karbondioksida pada material
yang mudah terbakar. Meskipun, hampir tidak mungkin untuk mengidentifikasi elemen hipoksik
didasarkan pada banyaknya gas beracun.
Mekanisme
yang menyebabkan kematian pada luka bakar, bila akut, kematian biasanya
merupakan akibat dari syok terbakar. Bila terjadi hari dan minggu berikutnya, penyebab utama
kematian adalah infeksi. Kematian yang tertunda sesekali dapat terjadi dari bekas luka yang
kemudian menjadi ganas. Beberapa mekanisme pada luka bakar yang menyebabkan
kematian,yaitu: Syok akibat terbakar, infeksi (pneumonia, septikemia, sindrom syok toksik),
emboli paru-paru, ulserasi lambung, gagal ginjal akut, luka terkait keganasan
Syok akibat terbakar
Syok akibat terbakar ini menggambarkan kegagalan sirkulasi hipovolemik yang terjadi dengan
cepat yang terlihat dalam 72 jam pertama setelah luka bakar. Perubahan fisiologis yang
menyebabkan syok ini terjadi secara kompleks. Pembakaran kulit diikuti oleh hipovolemia,
curah jantung rendah, hipoproteinemia, hiponatremia, dan peningkatan hematokrit. Syok akibat
terbakar adalah akibat dari hipovolemia dan efek dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya.
Hipovolemia sendiri merupakan hasil dari kombinasi antara edema interstisial masif, edema
intraseluler akibat penurunan umum dari fungsi sel, dan penguapan dari bagian yang terbakar.
Kulit dewasa normal kehilangan kurang dari 40 ml air setiap jam, tetapi dengan luka bakar yang
luas kehilangan dapat meningkat menjadi 300 ml/jam. Edema interstisial merupakan hasil dari
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas mikrovaskuler dan peningkatan aktivitas osmotik
ekstravaskuler di sekitar jaringan terbakar. Puncak edema biasanya terjadi dalam 1 sampai 3 jam.
Terjadi penurunan jumlah yang besar pada curah jantung yang terjadi beberapa menit setelah
cedera, sebagian besar diakibatkan hipovolemia, namun curah jantung ini tidak kembali normal
hingga 12 sampai 24 jam setelah luka bakar, bahkan dengan resusitasi cairan yang cepat dan
efektif. Situasi ini tidak hanya disebabkan oleh hilangnya cairan, tetapi juga diakibatkan efek
dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Penyebab langsung kematian pada kasus-kasus
tersebut sering diakibatkan kegagalan multi organ.
rendah dari pada individu yang sehat. Bila CO merupakan penyebab mati yang utama
maka saturasi dalam darah paling sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang
tua, anak-anak dan debilitas dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %.
Sebenarnya kadar COHB pada korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup
tinggi untuk menyebabkan kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan 50- 60 %
saturasi, walaupun kadarnya secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam darah
pada keracunan CO murni, seperti pembunuhan dengan gas mobil atau industrial
exposure, dimana konsentrasinya dapat mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik
dan pengurangan oksigen dalam atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar
CO yang rendah.10,13
i. Mekanisme kematian akibat keracunan gas karbonmonoksida
Karbonmonoksida (CO) merupakan gas non iritan, yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan memiliki densitas yang lebih kecil dari udara. Sumber penghasil
utama gas karbonmonoksida ini adalah hasil pembakaran (kebakaran), gas buang
kendaraan bermotor, sisa pembakaran yang tidak sempurna misalnya dari pembakaran
batu bara.
Gas karbonmonoksida mengakibatkan hipoksia jaringan sebab berkompetisi
dengan oksigen pada binding site hemeprotein ( haemoglobin, myogloblin, sitokrom c
oksidase dan sitokrom P-450). Afinitas dari karbonmonoksida bervariasi antara 30 hingga
500 kali terhadap hemeprotein dan 250-300 kali lebih besar dari pengikatan oksigen pada
haemoglobin. Keberadaan karbosihemoglobin ini mempengaruhi kurva disosiasi yakni
terjadi pergeseran ke kiri yang mengakibatkan kurangnya pelepasan oksigen ke jaringan.
Karbonmonoksikda memiliki efek toksik langsung pada tingkat selular yang
mengakibatkan gangguan respirasi pada mitokondria.14
ii. Pemeriksaan laboratorium keracunan CO
Untuk penetuan COHB secara kualitatif dapat dikerjakan uji dilusi alkali dan uji
formalin (Eachlolz Liebmann).
Uji dilusi alkali dilakukan dengan cara menggunakan 2 tabung reaksi. Tabung
pertama di masukan 1 2 tetes darah korban dan tabung kedua dimasukan 1 2 tetes
darah normal sebagai kontrol. Encerkan masing masing darah dengan menambahkan 10
ml air sehingga warna merah pada kedua tabung kurang lebih sama. Tambahkan pada
masing masing tabung 5 tetes larutan NaCl 10 20 %, lalu dikocok. Darah normal
segera berubah warna menjadi merah hijau kecoklatan karena segera terbentuk hematin
alkali, sedangkan darah yang mengandung COHB tidak berubah warnanya untuk
beberapa waktu, tergantung pada kosentrasi COHB, karena COHB bersifat lebih resisten
terhadap pengaruh alkali. COHB dengan kadar saturasi 20 % memberi warna merah
muda (pink) yang bertahan selama beberapa detik, dan setelah 1 menit baru berubah
warna menjadi coklat kehijauan. Perlu diperhatikan bahwa darah yang dapat digunakan
sebagai control dalam uji dilusi alkali ini haruslah darah dengan Hb yang normal. Jangan
gunakan darah foetus karena dikatakan bahwa darah foetus juga bersifat resisten terhadap
alkali.
Uji Formalin (Eachlolz Liebmann) dilakukan dengan cara darah yang akan
diperiksa ditambahkan larutan formalin 40% sama banyaknya. Bila darah mengandung
COHB 25% saturasi maka akan terbentuk koagulat berwarna merah yang mengendap
pada dasar tabung reaksi. Semakin tinggi kadar COHB, semakin merah warna
koagulatnya. Sedangkan pada darah normal akan terbentuk koagulat yang berwarna
coklat.
Sedangkan penentuan kadar COHB dengan cara semi kuantitatif digunakan uji
Gettler Freimuth. Uji ini menggunakan prinsip sebagai berikut :
Darah + Kalium ferisianida CO dibebaskan dari COHB
CO + pdCl2 + H20 pd + CO2 +HCl
Paladium (Pd) ion akan diendapkan pada kertas saring berupa endapan berwarna
hitam. Dengan membandingkan intensitas warba hitam tersebut dengan warna hitam
yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap darah dengan kadar COHB yang diketahui,
maka dapat ditentukan konsentrasi COHB secara semi kuantitatif.15
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai
dengan penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation.
Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti furniture, cat ,
kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara struktural terdiri polystyrene,