Anda di halaman 1dari 9

DESAIN KARAKTER KOMIK DAN ANIMASI DI INDONESIA

DALAM PERGULATAN WACANA


Ardiyansah
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Komunikasi dan Multimedia
Universitas Bina Nusantara
Jl. KH. Syahdan 9, Kemanggisan, Jakarta Barat
sah@binus.ac.id

ABSTRAK
Komik dan animasi populer merupakan media yang relatif baru di Indonesia. Meskipun
demikian, tradisi literasi visual kebudayaan Indonesia dapat dilacak dari keberadaan reliefrelief pada candi, artefak-artefak kuno, serta pada seni pertunjukan. Desain karakter
merupakan bagian penting dalam komik, animasi, film, dan game. Karakter bukan sekedar
aktor tetapi sekaligus juga merupakan representasi ideologis dari pembuat komik dan
animasi yang dirancang sedemikian rupa agar mampu berkomunikasi secara lebih intim dan
intensif melalui bahasa visual tertentu. Karakter, disadari atau tidak, memiliki peran begitu
mendasar sebagai duta besar atas pesan dan gagasan yang sedang dibangun oleh pembuat
komik dan animasi. Keberhasilan suatu komik dan animasi seringkali ditentukan oleh
karakternya. Sayangnya, perhatian kepada desain karakter dalam komik dan animasi
Indonesia masih terbatas pada eksplorasi visual yang seringkali dangkal dan mudah
dilupakan karena tidak hidup. Untuk itu kajian mendalam mengenai desain karakter
dengan pengkayaan pada aspek non visual seperti psikologis dan semiotika sangat penting
untuk menemukan formula dalam rangka menghidupkan karakter tersebut. Desain
karakter di Indonesia belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang tren dan hegemoni
gaya visual asing. Desain karakter di Indonesia masih berkutat pada terjemah visual yang
literal (baca: terburu-buru dan dangkal) dari apa yang disebut sebagai local content.
Karakter-karakter Indonesia muncul dalam aneka bungkus visual mengikuti tren industri
yang mendominasi dan sedikit sekali karakter yang lahir bersama ciri Indonesia yang khas
dalam arti sebenarnya.
Kata Kunci: Desain Karakter, Komik, Animasi, Hegemoni.
PENDAHULUAN
Karakter bukan sekedar aktor dalam komik dan animasi. Karakter merupakan
representasi ideologis dari pembuat komik dan animasi yang dirancang sedemikian rupa agar
mampu berkomunikasi dengan audience secara lebih intim dan intensif melalui bahasa visual
tertentu. Karakter, disadari atau tidak, memiliki peran begitu mendasar sebagai duta besar
atas pesan dan gagasan yang sedang dibangun oleh pembuat komik dan animasi untuk
dikonsumsi audience-nya. Keberhasilan suatu komik dan animasi seringkali ditentukan oleh
karakternya.
Sayangnya, perhatian kepada desain karakter dalam komik dan animasi Indonesia masih
terbatas pada eksplorasi visual yang seringkali kurang sesuai dengan isi cerita dan tujuan
produksi. Hal ini diperburuk stigma bahwa desain karakter di Indonesia belum bisa
melepaskan diri dari bayang-bayang tren dan hegemoni gaya visual asing. Desain karakter di
Indonesia masih berkutat pada terjemah visual yang literal (baca: terburu-buru dan dangkal)

dari apa yang disebut sebagai local content. Karakter-karakter Indonesia muncul dalam aneka
bungkus visual mengikuti tren industri yang mendominasi dan sedikit sekali karakter yang
lahir bersama ciri Indonesia yang khas dalam arti sebenarnya.

Gb.01 Karakter asli Indonesia yang dipengaruhi gaya visual asing. Kanan: Caroq, karakter superhero
Indonesia dari Madura yang visualisasinya mengadopsi gaya komik Amerika. Kiri: Garudayana, karakter
pewayangan yang diterjemahkan dalam visualisasi bergaya manga.

Komik dan animasi adalah gejala budaya populer yang kehadirannya hampir selalu
paradoks. Disatu sisi, komik dan animasi dimanfaatkan sebagai komoditas yang
mendatangkan keuntungan, tetapi disisi lain, keduanya dikorbankan dengan selalu dikaitkan
pada perilaku malas, fantasi berlebihan, dan serangkaian perilaku negatif pada masyarakat.
Komik dan animasi memang efektif dalam menggambarkan imajinasi secara eksplisit,
keduanya mampu menampilkan sosok, figur, suasana, dan dunia imajinasi yang sebelumnya
hanya bisa dijangkau melalui angan-angan ke dalam bahasa visual yang kasat mata.
Komik dan animasi adalah dua media yang berbeda. Tetapi memperbincangkan salah
satunya tidak bisa lepas dari yang lain, karena keduanya saling melengkapi sebagai bagian
dari strategi industri kreatif. Bersama film dan game, komik dan animasi sering dikemas
sebagai satu paket dagangan yang menjual karakter dalam berbagai produk turunannya.
Dalam penelitian ini, desain karakter dikaji secara umum sebagai landasan penelitian
mengenai komik, animasi, dan game secara lebih spesifik di masa mendatang. Hasil
penelitian ini bukan berupa blueprint desain karakter Indonesia, tetapi lebih pada memberikan
pemahaman secara komprehensif mengenai tradisi desain karakter dalam komik dan animasi
Indonesia serta memperkaya aspek pembahasan desain karakter dari yang sebelumnya hanya
berkutat mengenai visual tetapai juga pada aspek psikologis, komunikasi dan semiotika.
Meskipun dalam kajian ini kita tidak akan mempertentangkan atau membandingkan komik
dan animasi (komik dan animasi dianggap sebagai gejala budaya visual dengan fokus kajian
pada desain karakter), tetapi ada baiknya mengetahui jejak perkembangan keduanya di
Indonesia untuk memperkaya wacana dan pemahaman atas kedua media ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus deskriptif komparatif, dengan
fokus penelitian adalah desain karakter komik dan animasi kontemporer Indonesia dan
kemudian diperbandingkan dengan desain karakter komik asing, dalam penelitian ini
terutama adalah komik dan animasi Jepang dan Amerika sebagai kekuatan dominan dalam
kedua bidang tersebut. Dengan melakukan studi kasus, penelitian ini diarahkan untuk
mengembangkan analisis mendalam dengan pokok masalah tentang desain karakter ditinjau
dari aspek visual dan yang memperkaya dalam pendekatan kualitatif.

PEMBAHASAN
Desain Karakter dalam Komik Indonesia
Sejarah komik di Indonesia berawal dari bungkus makanan, tepatnya ikan asin. Hal ini
diungkapkan Atmowiloto dalam Seno Gumira Ajidarma (2011) sebagai berikut:
Di Indonesia, komik lahir dari bungkus ikan asin. Kho Wan Gie, pencipta Put On, tergiur
oleh seri Bringing Up Father, Zam Nuldyn tergiur karya Harold Foster, Abdulsalam oleh
Alex Raymond, Taguan Hardjo oleh serial Lil Abner dan Walt Disney, yang kesemuanya
muncul sebagai kertas bungkus.
Menurut Marcel Boneff
yang melakukan penelitian mengenai perkembangan komik
Indonesia pada tahun 70-an, komik Indonesia dibagi kedalam dua kategori besar yaitu:
komik strip, dan buku komik. Perkembangan komik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan komik di berbagai belahan dunia. Terjadi proses saling mempengaruhi dan
adaptasi terhadap bermacam-macam gagasan, teknik bertutur, gaya visual dan desain karakter
dalam komik yang masuk ke Indonesia dengan budaya yang lebih dulu ada bahkan sebelum
wilayah ini bernama Indonesia.

Gb.02. Komik pertama Indonesia Put On karya Kho Wan Gie yang ditayangkan pada koran Sin Po (tahun
30-an).

Kebudayaan Indonesia lekat dengan cara bertutur menggunakan gambar. Narasi visual
berupa relief pada dinding candi yang tersebar di Indonesia merupakan format storytelling
yang memiliki kemiripan dengan narasi komik di masa kini. Pada relief, karakter
digambarkan secara realis dan merefleksikan kondisi sosial masyarakat ketika itu. Beberapa
relief juga menggambarkan pemujaan kepada Raja dan Tuhan dengan berbagai gaya dan
simbolisasi. Hal ini membuktikan bahwa narasi visual seperti komik sebenarnya bukan hal
baru dalam khasanah kebudayaan Indonesia.

Gb.03. Relief pada Candi Borobudur. Narasi visual berupa pahatan batu yang menggambarkan budaya baca
masyarakat nusantara di masa lampau.

Pada masa awal pertumbuhan komik modern di Indonesia, kita bisa menemukan berbagai
karakter yang merupakan hasil adaptasi tren visual pada masa tersebut dengan ragam budaya

lokal. Sebut saja karakter Gundala yang (dianggap) identik dengan Flash, atau Sri Asih
karya R.A Kosasih yang secara konseptual merupakan adaptasi karakter Wonder Woman
dengan penambahan berbagai atribut lokal sehingga mewakili sosok superhero wanita
Indonesia. Pola adaptasi semacam ini masih bisa ditemukan hingga saat ini. Jika sebelumnya
desain karakter mengikuti gaya komik Amerika, kini komik populer Indonesia lebih banyak
mengadaptasi gaya Manga khas Jepang. Sehingga sudah lazim kita menemukan sosok
Gatotkaca dalam gaya Manga yang bisa jadi sangat berbeda dengan interpretasi karakter ini
di masa lalu. Gaya visual mengandung konsekuensi perbedaan interpretasi.

Gb.04. Karakter Sri Asih yang mengingatkan pada Wonder Woman, dan Gundala yang identik dengan
karakter Flash.

Komik adaptasi bukan tidak mendapatkan resistensi dari kritikus budaya dan kalangan
pembuat komik sendiri. Perkembangan komik Indonesia berikutnya berorientasi pada
khazanah budaya yang dapat dilihat dengan munculnya berbagai komik yang mengeksplorasi
cerita rakyat dan kemudian melahirkan cerita-cerita silat yang populer dan memunculkan
ikon-ikon yang dianggap representasi karakter (asli) Indonesia seperti Si Buta dari Gua Hantu
karya Ganesh, atau Pandji Tengkorak gubahan Hans Jaladara. Yang disebut terakhir bahkan
digubah hingga tiga kali yaitu pada tahun 1968, 1985, dan 1996.

Gb.05. Komik berorientasi khasanah budaya Indonesia seperti komik epik MahaBharata karya RA. Kosasih.
Komik hasil eksplorasi cerita rakyat Sumatera karya Taguan Hardjo. Komik silat Si Buta dari Gua Hantu dan
Panji Tengkorak.

Di masa berikutnya, pamor komik Indonesia yang meredup, harus menghadapi dominasi
komik Jepang yang mendunia. Pola adaptasi karakter dan budaya lokal dalam gaya visual
dominan kembali berulang. Berbagai karakter dan ciri khas budaya Indonesia diterjemahkan
ke dalam gaya Manga Jepang yang populer. Terjadi pergumulan antara kepentingan industri
dan idealisme untuk lepas dari hegemoni tertentu, fenomena ini sekaligus membuktikan
bahwa komik merupakan situs perjuangan ideologi.
Selama rentang perjalanan komik Indonesia seringkali terdengar nada mencemooh dari para
kritikus dan komikus sendiri terkait nasib komik Indonesia. Disatu sisi mereka mengeluhkan
keterpurukan komik Indonesia masa kini yang tak berdaya diserbu popularitas komik impor

dan terjemahan, sambil bernostalgia pada masa keemasan komik Indonesia di masa lalu. Hal
ini oleh Seno Gumira Ajidarma disebut sangat klise dan dapat dianggap sebagai penanda
kebuntuan.
Meskipun dianggap buntu, tetapi eksplorasi dan formulasi untuk menemukan karakter khas
Indonesia pada komik terus dilakukan. Disebut eksplorasi karena pada dasarnya karakter
Indonesia itu sangat sulit didefinisikan mengingat keanekaragaman budaya, - sehingga
karakteristik Indonesia tidak bisa didefinisikan dalam tafsir tunggal. Disebut formulasi
karena desain karakter sebagai wajah komik dan animasi, selalu merupakan hasil
kombinasi dan kompromi dari kekuatan asing yang dominan berpadu (dan beradu) dengan
potensi desain karakter asli Indonesia.

Gb.06. Berbagai macam komik dengan wajah Indonesia.

Pada karakter-karakter yang dibahas terakhir inilah penelitian ini akan mengambil porsi
lebih banyak. Dengan harapan bahwa sebuah kajian mendalam dan komprehensif diharapkan
mampu membuka pikiran mengenai apa dan bagaimana karakter (yang) Indonesia dalam
komik.
Desain Karakter dalam Animasi Indonesia
Berbagai sumber menyatakan bahwa animasi pertama Indonesia diproduksi pada tahun 50an. Menurut Amoroso Katamsi (Direktur PFN periode 1988-2002), film animasi mulai
diproduksi tahun 1955. Saat seniman Dukut Hendrotomo yang sering dipanggil Pak Ooq
kembali dari belajar dari Studio Walt Disney di Burbank, California, Amerika. Film animasi
awal tersebut bercorak propaganda, dengan teknik drawing 2D, menggunakan cel transparan,
hitam-putih. Hal ini diungkapkan animator senior Gotot Prakosa (2010:70). Film animasi
pertama di Indonesia tersebut berjudul: Si Doel Memilih. Sayangnya, sangat sulit
menemukan dokumentasi dari film animasi bertema politik ini sehingga tidak diketahui
bagaimana desain karakter yang digunakan dalam animasi tersebut.

Setelah Si Doel Memilih, animasi di Indonesia lebih banyak dimanfaatkan untuk produksi
iklan, credit title, atau keperluan pelengkap grafis pada film dokumenter. Tetapi meskipun
tidak banyak animasi dalam format serial yang dilahirkan di Indonesia, tetapi di bidang
periklanan animasi menunjukkan kemajuan yang signifikan. Studio yang cukup banyak
mengerjakan iklan berupa animasi salah satunya adalah Anima Indah, pendirinya adalah
orang Amerika dan banyak memberikan kesempatan kepada para kru-nya menimba ilmu
animasi di berbagai negara seperti: Inggris, Amerika, dan Jepang.
Animator profesional seperti (alm) Denny A. Djoenaid merupakan salah satu yang
berkesempatan belajar di studio Richard William, salah satu animator terkemuka Inggris.
Sekembalinya ke Indonesia, beliau dan rekan-rekan segenerasinya berhasil melahirkan
banyak karya animasi untuk kepentingan iklan komersial. Desain karakter yang digunakan
juga beragam dan bisa dibilang cukup eksploratif meskipun tak bisa lepas dari pengaruh yang
diterima masing-masing seniman. Denny A. Djoenaid misalnya, karena pernah bekerja
bersama Art Babbitt yang merupakan animator senior di Disney, desain karakter dan
animasinya sangat kental dipengaruhi oleh gaya Disney. Salah satu desain karakter hasil
karya Denny A. Djoenaid yang paling terkenal adalah karakter singa Paddle Pop yang masih
digunakan hingga kini dan telah di-remake kedalam format 3D.
Periode 80-an bisa dikatakan sebagai tahun keemasan animasi Indonesia. Pada masa ini
banyak berdiri studio animasi di berbagai daerah di Indonesia dan bermunculan film animasi
yang masih sering dibicarakan hingga kini, seperti: Rimba si Anak Angkasa karya Wagiono
Sunarto, atau Si Huma yang diprakarsai oleh PPFN. Ketika itu, desain karakter pada animasi
mengikuti teknologi yang terbatas sehingga wujudnya masih sederhana, mengandalkan
outline (garis) dan warna dengan hampir tanpa shading.
Dekade berikutnya, animasi Indonesia berkembang seiring menjamurnya televisi swasta.
Film animasi muncul sangat beragam dengan teknik yang lebih baik seperti: Legenda
Burisrawa karya Nariswandi Pilliang, Hela-Heli-Helo yang merupakan animasi 3D pertama
di Indonesia, serta muncul berbagai animasi pendek yang mengangkat cerita daerah seperti:
Timun Mas, Bawang Merah dan Bawang Putih, atau Petualangan si Kancil. Pada masa ini
pula, animator-animator Indonesia banyak mengerjakan proyek animasi dari luar negeri,
terutama Jepang. Desain karakter yang muncul pada masa ini juga cukup beragam, tampak
sekali latar belakang dan pengalaman animator mempengaruhi desain karakter yang
ditampilkan.

Gb 07. Animasi si Huma dan Hela Heli Helo

Pada tahun 2000-an, masih belum muncul animasi yang mampu menjadi ikon animasi
nasional. Tetapi sesungguhnya pada masa ini terdapat beberapa pencapaian penting seperti:
animasi dongeng cerita rakyat Indonesia yang dikemas sebagai suplemen (hadiah) produk
susu (Dancow) yang cukup berhasil mendapat perhatian dari khalayak dan sempat

ditayangkan di televisi. Karakternya mengikuti gaya visual yang sedang tren ketika itu yaitu
mulai masuknya pengaruh animasi Jepang dengan beberapa modifikasi dan pengembangan.
Juga pada masa inilah, Indonesia memiliki animasi layar lebar pertamanya melalui Janus
Prajurit Terakhir (2003) dan Homeland (2004) yang diproduksi oleh Studio Kasatmata dari
Jogja.

Gb 08. Janus Prajurit Terakhir dan Homeland

Saat ini, animasi Indonesia masih terus berjuang mendapatkan tempat di hati
masyarakatnya. Berbagai karakter bermunculan dengan berbagai gaya, teknik, dan konsep
yang sebagian besar gagal menjelma sebagai industri dan berakhir terabaikan. Diantara
beberapa karakter tersebut masih ada yang berusaha bertahan diantaranya: Kabayan dan
Liplap produksi Castle Production, Hebring produksi Main Studio, Jambul Petualang
Nusantara karya Animaraya, Dufan Defender produksi Dreamlight dan Hiro-Hiro milik Kasat
Mata.

Gb 09. Animasi Indonesia kontemporer yang sebagian besar diproduksi mengandalkan teknologi CGI.

Dari rentang perjalanan animasi Indonesia, kita bisa menemukan berbagai macam gaya,
teknis, pendekatan dan konsep yang mempengaruhi desain karakter. Hal ini membuktikan
bahwa kita sebenarnya cukup kaya dan berani dalam mengeksplorasi desain karakter. Tetapi
seperti halnya yang terjadi di komik, desain karakter pada animasi Indonesia belum bisa lepas
dari hegemoni asing. Hanya sedikit saja desain karakter yang meyakinkan sebagai desain
karakter (asli) Indonesia.

PENUTUP
Dalam perkembangannya, komik dan animasi Indonesia kurang memberikan perhatian
memadai pada desain karakter. Karakter hanya identik dengan artefak visual tanpa diperkaya
kajian mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan karakter diluar
aspek visual. Padahal proses menghidupkan suatu karakter harus mencakup berbagai aspek
secara menyeluruh seperti visual, psikologis, simbol, ideologi, dan sebagainya.
Minimnya perhatian terhadap desain karakter pada komik dan animasi lokal diperparah
dengan hegemoni produk-produk impor yang memberikan pengaruh luar biasa tidak saja
kepada para pembaca dan pemirsa, tetapi juga kepada para kreator komik dan animasi di
Indonesia. Terutama komik, saat ini banyak sekali kita temukan tema-tema lokal yang
dikemas dalam balutan gaya desain karakter hasil impor. Tidak salah memang, tetapi
fenomena tersebut sangat layak untuk dikaji sehingga di masa mendatang kita tidak sekedar
mengadaptasi (memperhalus istilah meniru) gaya desain karakter impor, tetapi bisa
menemukan suatu gaya tersendiri yang bisa dibanggakan. Penelitian ini diharapkan bisa
memberikan kontribusi dalam pengembangan desain karakter di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
D. Mattesi, Michael, Force Character Design from Life Drawing, Burlington, Focal Press,
2008, ISBN 978-0-240-80993-9
Isbister, Katherine, Better Game Characters by Design: A Psychological Approach, San
Fransico, Morgan Kauffmann Publisher, 2006, ISBN 978-1-55860-921-1
Kusano, You, Super Character Design & Poses, Tokyo, MPC Publishing, 2003, ISBN 488996-122-4
Tillman, Bryan, Creative Character Design, Kidlington, Focal Press, 2011, ISBN 978-0240-81495-7
Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa
Prakosa, Gotot. 2010. Animasi: Dasar Pengetahuan Film Animasi Indonesia. Jakarta:
Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta & Yayasan Seni Visual
Indonesia.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Nugroho, Garin. 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Anda mungkin juga menyukai