Amilopektin Singkong Jadi Gelatin
Amilopektin Singkong Jadi Gelatin
Oleh
Oktaviani Eka Cahya Wulandari
09.025
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Gelatin adalah suatu senyawa protein turunan kolagen yang bersifat amfoter dengan titik isoionik
antara 5-9 tergantung pada bahan baku dan metode yang digunakan (Jannah, 2008). Penggunaan
gelatin sangat luas karena gelatin bersifat serba guna, bisa digunakan sebagai bahan pengisi, bahan
pengemulsi, pengikat, pengendap, pemerkaya gizi, dan daya cernanya tinggi (Fauzi, 2007).
Umumnya gelatin diproduksi dari bahan yang kaya akan kolagen baik tulang maupun kulit. Kulit
dan tulang dapat diperoleh dari hewan seperti babi atau sapi. Akan tetapi, apabila gelatin dibuat
dengan menggunakan kulit atau tulang sapi akan memerlukan proses lama dan butuh bahan kimia
untuk penetral lebih banyak sehingga memerlukan biaya yang sangat mahal. Babi merupakan salah
satu bahan baku yang sangat mudah dimanfaatkan untuk bahan baku gelatin. Mengingat babi mudah
dibudidayakan pada kondisi yang fleksibel dan kandungan kolagen dalam babi sangat besar, maka
banyak perusahaan atau masyarakat yang menggunakan babi sebagai bahan baku pembuatan gelatin
(Anonim, 2009).
Banyaknya pembuatan gelatin dari bahan baku babi membuat sebagian orang khususnya yang
beragama Islam menjadi khawatir akan kehalalan dari produk tersebut. Selain itu Negara Indonesia
sendiri tidak bisa memproduksi gelatin di dalam negeri, melainkan harus banyak mengimpor dari
Negara tetangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, jumlah impor gelatin
mencapai 2.715.782 kg senilai 9.535.128 dolar AS (BPS, 2009). Mengingat banyaknya produsen
luar negeri yang sering menggunakan bahan baku babi untuk memproduksi gelatin, maka kehalalan
dari produk tersebut diragukan. Oleh karena itu diperlukan berbagai solusi alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut.
Salah satu alternatif yang sekarang marak dikembangkan adalah membuat gelatin dengan bahan
baku tulang ikan. Pembuatan gelatin dari jenis ini sangat sulit dan susah untuk mencari bahan
bakunya.
Pada proses pembuatan kapsul obat, bahan baku yang harus ditambahkan sebagai bahan
pelembut dan penghalus adalah gelatin. Selama ini yang paling banyak digunakan adalah gelatin
yang kehalalanya masih diragukan ( Jannah, 2008). Gelatin dapat digantikan dengan menggunakan
amilopektin yang granulernya mengembang (Baily & Paul, 1998) ditinjau dari bentuk struktur,
gelatin dan glukosa yang dipanaskan memiliki bentuk yang hampir sama sehingga glukosa yang
dipanaskan memiliki sifat mirip dengan gelatin. Gelatin mempunyai bentuk ikatan dengan asam
amino essensial yang kental sehingga dapat menciptakan kekenyalan yang sangat sempurna.
Amilopektin bisa diperoleh dari pati ubi kayu.
Pati telah lama digunakan orang baik sebagai bahan makanan maupun bahan tambahan dalam
sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi terutama pada formula sediaan tablet, baik
sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat. Namun dalam pembuatan tablet
cetak langsung, pati tidak dapat dipakai karena pati berupa serbuk halus dan dalam keadaan aslinya
pati tidak mempunyai sifat alir dan daya kompresibilitas yang baik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh
komponen-komponen yang menyusun pati terutama pengaruh amilosa dan amilopektin. Kedua
komponen ini dapat dikatakan homogen secara kimia tetapi masih heterogen dalam ukuran molekul,
derajat percabangan, rantai, susunan dan keacakan rantai cabang (Winarno, 1986; Halim, 1990;
Ikhsan, 1996).
Ubi kayu merupakan salah satu hasil perkebunan yang menggandung pati sangat tinggi (Rama,
2008). Terobosan penggunaan ubi kayu sebagai bahan baku pengganti gelatin ini akan berdampak
positif bagi kehidupan petani ubi kayu, yakni menambah penghasilan dan lapangan pekerjaan.
Produksi ubi kayu di Indonesia sangat besar. Pada tahun 2005 produksi ubi kayu mencapai 19,5 juta
ton dengan areal 1,24 ha (Rama, 2008). Mengingat jumlahnya yang sangat tidak terbatas maka
potensi penggunaan bahan baku ubi kayu untuk dikembangkan sebagai bahan baku pengganti gelatin
sangat tinggi.
Ubi kayu segar memiliki kadar air (60,67%), berat jenis (1,15g/ml), kandungan kadar
patin(35,93%), rendemen pati (18,94%), kadar air pati (8,17%), kadar amilosa (18,03%) dan
amilopektin (81,97%) serta tingkat konversi pati menjadi glukosa secara enzimatis (64,92%).
Amilopektin merupakan komponen pati yang mempunyai rantai cabang, terdiri dari satuan
glukosa yang bergabung melalui ikatan -(1,4) D-glukosa dan -(1,6) D-glukosa. Amilopektin tidak
larut dalam air tetapi larut dalam butanol dan bersifat kohesif sehingga sifat alir dan daya
kompresibilitasnya kurang baik. Karena itu amilopektin tidak dapat dipakai dalam formulasi tablet
cetak langsung (Ikhsan, 1996; Schwartd and Zelinskie, 1978; Cowd, 1982).
Alternatif lain untuk menghasilkan gelatin dapat diperoleh dengan bahan baku tulang ikan dan
tulang sapi. Ditinjau dari segi ekonomis bahan baku sangat potensi karena tulang ikang dan tulang
sapi merupakan ampas yang mudah diperoleh. Akan tetapi pada proses pembuatan gelatin dari tulang
ikan memerlukan biaya yang sangat besar karena hasil gelatin yang dihasilkan perlu dimurnikan.
Pemurnian membutuhkan bahan pengencer kimia dalam jumlah banyak. Sedangkan, di dalam pati
ubi kayu memiliki kandungan amilopektin yang tinggi yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku pengganti gelatin yang halal pada pembuatan kapsul dengan proses yang tidak terlalu
rumit dan hanya memerlukan biaya yang minimum. Untuk itulah penulis menganggkat judul
Pemanfaatan dan Uji Mutu Amilopektin Pati Ubi Kayu sebagai pengganti Fungsi Gelatin dalam
Pembuatan Cangkang Kapsul.
1.2 Rumusan masalah
Apakah amilopektin pati ubi kayu dapat digunakan sebagai pengganti fungsi gelatin dalam
pembuatan cangkang kapsul yang baik menurut uji mutu standar gelatin ?
1.5.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi kayu
2.1.1 Klasifikasi ubi kayu
Kerajaan
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Suku
: Euphorbiaceae
Subsuku
: Crotonoideae
Tribe
: Manihoteae
Marga
: Mannihot
Spesies
: M. esculenta
2.1.2
Jumlah
146 kal
1,2 gram
0,3 gram
34,7 gram
33 mg
40 mg
0,7 mg
0,06 mg
30 mg
Jumlah
11000 SI
0,12 mg
275 mg
165 mg
73 kal
54 mg
6,8 gram
1,2 gram
13 gram
2 mg
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi
yang dapat dipisahkan dengan air dingin. Fraksi terlarut tersebut disebut amilopektin dan fraksi
tidak terlarut disebut amilosa (Jannah, 2008). Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa
dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera)
sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada
tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi. Penjelasan untuk gejala ini belum pernah bisa
tuntas dijelaskan.
Dalam bahasa sehari-hari (bahkan kadang-kadang di khazanah ilmiah), istilah pati kerap
dicampuradukkan dengan tepung serta kanji. Pati (bahasa Inggris starch) adalah penyusun
(utama) tepung. Tepung bisa jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena ter-/dicampur dengan
protein, pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin, dan
lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Orang bisa juga mendapatkan tepung yang
merupakan campuran dua atau lebih pati. Kata tepung lebih berkaitan dengan komoditas
ekonomis. Kerancuan penyebutan pati dengan kanji tampaknya terjadi karena penerjemahan. Kata
to starch dari bahasa Inggris memang berarti menganji (memberi kanji) dalam bahasa
Melayu/Indonesia, karena yang digunakan memang tepung kanji.
Umbi yang terdapat pada ubi jalar dan pada akar ubi kayu mengandung pati yang cukup banyak.
Sebab, ubi kayu tersebut selain dapat digunakan sebagai sumber makanan karbohidrat juga
digunakan sebagai bahan baku pengganti gelatin.
Pati ubi kayu berasal dari akar tanaman ubi kayu atau Manihot utilissima dalam famili
Euphorbiaceae. Pati singkong diperoleh dari penggilingan umbi ubi kayu yang telah dilakukan
pemisahan ampas dengan konsentrat, lalu dilakukan pengendapan dan pengeringan.
Pati yang juga merupakan simpanan energi di dalam sel-sel tumbuhan ini berbentuk butiranbutiran kecil mikroskopik dengan berdiameter berkisar antara 5-50 nm. Dan di alam, pati akan
banyak terkandung dalam beras, gandum, jagung, biji-bijian seperti kacang merah atau kacang
hijau dan banyak juga terkandung di dalam berbagai jenis umbi-umbian seperti singkong, kentang
atau ubi. Di dalam berbagai produk pangan, pati umumnya akan terbentuk dari dua polimer
molekul glukosa yaitu amilosa (amylose) dan amilopektin (amylopectin). Amilosa merupakan
polimer glukosa rantai panjang yang tidak bercabang sedangkan amilopektin merupakan polimer
glukosa dengan susunan yang bercabangcabang. Komposisi kandungan amilosa dan amilopektin
ini akan bervariasi dalam produk pangan dimana produk pangan yang memiliki kandungan
amilopektin tinggi akan semakin mudah untuk dicerna.
Pati digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan
sebagainya. Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil,
dan pada industri kosmetika.
2.2.2
Suhu peubah
700
2,968
1,5035
47,455
7,8
0,48
800
7,865
0,8425
26,430
0,80
0,830
Sumber : Lidia Sari E, Indriyani M, Friska S. Pengaruh Perbedaan Suhu Tepung Tapai Ubi Kayu
Terhadap Mutu Fisik dan Kimia yang Dihasilkan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume
8, No. 2, 2006Hlm. 141-146. ISSN 1411-0067.
Tabel di atas menjelaskan bahwa hasil pengolahan ubi kayu dapat dihasilkan unsur pati paling
besar. Jumlah pati yang bisa diambil setiap kilonya adalah 47,455 (Lidia dkk, 2006). Banyaknya
pati yang bisa dihasilkan daripada unsur lain dapat dijadikan sebagai upaya bahwa ubi kayu sangat
potensi untuk diambil zat patinya.
2.2.3
Amilopektin
Amilopektin merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer -glukosa. Amilopektin
merupakan molekul raksasa dan mudah ditemukan karena menjadi satu dari dua senyawa
penyusun pati, bersama-sama dengan amilosa. Amilopektin tidak larut dalam air.
Amilopektin merupakan komponen pati yang mempunyai rantai cabang, terdiri dari satuan
glukosa yang bergabung melalui ikatan -(1,4) D-glukosa dan -(1,6) D-glukosa. Amilopektin
tidak larut dalam air tetapi larut dalam butanol dan bersifat kohesif sehingga sifat alir dan daya
kompresibilitasnya kurang baik (Ikhsan, 1996; Schwartd and Zelinskie, 1978; Cowd, 1982).
Walaupun tersusun dari monomer yang sama, amilopektin berbeda dengan amilosa, yang terlihat
dari karakteristik fisiknya. Secara struktural, amilopektin terbentuk dari rantai glukosa yang terikat
dengan ikatan 1,6-glikosidik, sama dengan amilosa. Namun demikian, pada amilopektin terbentuk
cabang-cabang (sekitar tiap 20 mata rantai glukosa) dengan ikatan 1,4-glikosidik.
Amilopektin merupakan suatu biomassa yang bisa mempunyai bentuk granula. Amilopektin bisa
diperoleh dengan cara memanaskan ubi kayu yang berbentuk serbuk dan dimasukkan enzim amilase. Enzim akan bekerja memisahkan zat pati yang ada pada ubi kayu yang nantinya
dilakukan proses lebih lanjut. Zat pati bisa diperoleh pada semua tumbuhan. Kadar amilopektin
tertinggi terdapat pada ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji sorgum, gandum, kentang,
ganyong, garut, dan umbi dahlia. Untuk mengeluarkan amilopektin ubi kayu dilakukan perlakuan
awal (pretreatment) yakni melakukan penggilingan pada ubi kayu sehingga struktur menjadi
seperti serbuk.
Untuk menggantikan fungsi gelatin, digunakan pati yang mempunyai fraksi tidak terlarut, yaitu
amilopektin. Amilopektin dalam ubi kayu mempunyai bentuk granula. Granula amilopektin akan
membengkak apabila ditambah volumenya dengan air. Peningkatan volume dengan air pada suhu
antara 550C dan 650C merupakan pembengkakan yang disebut dengan keadaan gelatinasi.
Penambahan air dapat dilakukan di luar seperti halnya pada pembuatan kanji atau puding. Setelah
penambahan air maka terbentuklah suatu suspensi yang apabila dipanaskan akan terjadi perubahan
berupa pembentukan struktur gelatinasi. Mula-mula suspensi amilopektin akan terlihat keruh,
tetapi lama-kelamaan akan berubah menjadi jernih pada suhu tertentu. Terjadinya translusi larutan
amilopektin tersebut akan diikuti pembengkakan granula. Energi kinetik molekul pada molekul air
berubah menjadi lebih kuat sehingga timbul gaya tarik menarik antar molekul amilopektin di
dalam granula yang menyebabkan air masuk di dalam granula. Untuk lebih jernih dilakukan
penyaringan dengan karbon aktif sehingga dapat diperoleh suspensi amilopektin yang jernih.
2.2.3.1 Struktur amilopektin
Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1000
unit glukosa. Butir butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila suspense air dipanaskan,
akan terjadi suatu larutan koloid yang kental. Larutan koloid ini apabila diberi iodium akan
berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa.
Amilopektin dengan iodine akan memberikan warna ungu atau merah lembayung (Ana pujiadi,
1994).
Struktur gelatin
Ditinjau dari bentuk struktur, gelatin dan glukosa yang dipanaskan memiliki bentuk yang hampir
sama sehingga glukosa yang dipanaskan memiliki sifat mirip dengan gelatin. Gelatin mempunyai bentuk
ikatan dengan asam amino essensial yang kental sehingga dapat menciptakan kekenyalan yang sangat
sempurna. Glukosa ketika dipanaskan membentuk struktur amilopektin yang mana antar glukosa
berkumpul membentuk ikatan hidrogen yang sangat kuat, sehingga mempunyai bentuk kental seperti
gelatin. Keduanya membentuk struktur siklo seperti cincin. Bedanya struktur gelatin siklo diputus oleh
ikatan asam amino. Keduanya memiliki struktur yang mirip.
sudah tua atau masak ditandai dengan daun yang telah menguning dan banyak yang rontok, ini
dialami ubi kayu sekitar umur 10 bulan karena pada saat tersebut kadar pati yang terkandung
telah optimal. Namun, jika ubi kayu akan diolah menjadi pati maka ubi kayu yang dapat dipakai
adalah ubi kayu yang umbinya hanya berumur 1-3 hari setelah pemanenan.hal ini untuk
menghindari jika lebih dari 3 hari,umbi akan mengalami banyak perombakan kalori. Bahkan,
kadang umbi berwarna kebiruan apabila kandungan HCNnya tinggi. Dan munculnya warna ini
sangat mempengaruhi kualitas tepung (Anonim,2009).
2.4 Evaluasi gelatin dari amilopektin pati ubi kayu
2.4.1 Uji organoleptis
Penilaian organoleptis adalah aspek yang dinilai dengan mengungkapakan, mengukur,
menganalisa, dan menafsirkan indra penglihatan,penciuman, peraba, dan perasa ketika
mengungkapkan karakteristik suatu produk ( kartika, 1988:2).
2.4.1.1 Warna
Perasaan yang timbul ketika indra penglihatan mengamati corak rupa barang. Efek gabungan
dari berbagai senyawa menciptakan kesan homogenitas barang sehingga didapat efek warna
yang kontras (deMan, 1997:290). Adapun warna gelatin yang diinginkan dalam penelitian ini
adalah putih, cerah dan transparan.
2.4.1.2 Bau
Perasaan yang dihasilkan oleh indra pembau ketika barang didekatkan pada hidung. Bau tidak
memiliki arti fisika yang objektif dan tidak dapat dinyatakan dalam suatu pengukuran yang dapat
dipakai secara semesta (deMan, 1997:301). Adapun bau gelatin yang diinginkan dalam penelitian
ini adalah tidak berbau.
2.4.1.3 Penampakan
hasil yang diperoleh indra penglihatan setelah mengamati bentuk gelatin. Adapun penampakan
gelatin yang diinginkan dalam penelitian ini adalah serbuk halus.
2.4.2
Uji proksimat
Penilaian proksimat adalah aspek yang dinilai dengan mengungkapkan, mengukur, dan
menganalisa kualitas kimia untuk mengidentifikasi kandungan zat aktif dalam suatu bahan
pangan.
Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap mutu atau kualitasnya. Air yang terkandung
dalam bahan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa, dan masa simpannya. Air
dalam bahan terdapat dalam tiga bentuk yaitu air yang ada dalam bentuk terikat secara kimia dan
fisik serta air yang terdapat dalam bentuk bebas.
Nilai kadar air tersebut masih berada yang dalam kisaran kadar air yang diperkenankan oleh
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3735 tahun 1995 untuk produk gelatin yaitu maksimum
16. Selain itu, kadar air gelatin yang dihasilkan dapat juga memenuhi standar gelatin untuk bahan
pangan (14 %) maupun standar untuk bahan farmasi (14%).
2.4.2.2 Uji kadar abu
Kadar abu suatu bahan menunjukkan kuantitas keberadaan mineral dalam bahan tersebut.
Kalsium merupakan mineral yang jumlahnya paling banyak sehingga menyebabkan larutan
gelatinnya berwana kuning keruh (Jones, 1977).
Menurut Standar Nasional Indonesia (1995), semua nilai kadar abu gelatin yang diperoleh dari
penelitian ini memenuhi standar mutu yang diharapkan. Standar Nasional Indonesia
mensyaratkan untuk kadar abu gelatin maksimum 3,25%.
2.4.2.3 Uji kadar protein
Protein merupakan polimer dari sekitar 21 asam amino yang berlainan dan dihubungkan dengan
ikatan peptida. Protein di dalam gelatin termasuk protein sederhana dalam kelompok
skleroprotein dan mempunyai kadar protein yang tinggi.
Nilai kadar protein pada gelatin komersial (85,99%) dan gelatin standar (87,26%) (Sopian,
2002).
2.4.2.4 Uji kadar asam amino
asam amino di dalam gelatin sangat berpengaruh terhadap mutu atau kualitasnya. Kandungan
asam amino glisin dari gelatin tulang ikan lebih kecil jika dibandingkan dengan gelatin komersial
yang terbuat dari tulang sapi akan tetapi kandungan asam glutamatnya lebih besar jika
dibandingkan dengan gelatin komersial. Pengujian kadar asam amino ini dilakukan dengan
metode HPLC.
Kandungan rata-rata asam amino glisin (15,80%) dari gelatin tulang ikan lebih kecil jika
dibandingkan dengan gelatin komersial yang terbuat dari tulang sapi (23,01%) akan tetapi
kandungan asam glutamatnya (7,35%) lebih besar jira dibandingkan dengan gelatin komersial
(4,93%) (Peranginangin, 2005).
2.4.3
Uji fisiko-kimia
Penilaian fisiko-kimia adalah aspek yang dinilai dengan mengungkapakan, mengukur, dan
menganalisa kualitas sifat fisika dan sifat kimia suatu zat dalam bahan pangan dan farmasi.
2.4.3.1 Uji pH
Salah satu parameter yang ditetapkan dalam penentuan standar mutu gelatin adalah pH atau
derajat keasamannya. Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena pH larutan
gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin lainnya seperti viskositas, kekuatan gel, dan berpengaruh
juga terhadap aplikasi gelatin dalam produk.
Kisaran pH berada pada suasana asam yang memenuhi standar gelatin sebagai bahan farmasi
(Tabel ).
2.4.3.2 Uji Viskositas
Viskositas merupakan pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Makin kental suatu
cairan maka besar pula kekuatan yang diperlukan untuk digunakan supaya cairan tersebut dapat
mengalir dengan laju tertentu. Pengentalan cairan terjadi akibat absorbsi dan pengembangan
koloid. Menurut de Man (1989), Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik
dalam air, an organik sederhana dan suspensi serta emulsi encer. Antar molekol dalam larutan
tersebut terjadi interaksi hidrodinamik. Pengukuran viskositas terhadap larutan gelatin sangat
penting artinya untuk menentukan mutu dan penggunaan gelatin tersebut.
2.4.3.3 Uji Kekuatan gel
Untuk keperluan industri, kekuatan gel menjadi pertimbangan dalam menentukan kelayakan
penggunaan gelatin. Kekuatan gel adalah salah satu parameter dari tekstur suatu bahan dan
merupakan gaya untuk menghasilkan deformasi tertentu (deMan, 1989). Kekuatan gel diukur
sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sampai pada kedalam
4 mm dengan kecepatan 0,5 mm/detik.
2.4.4
Analisis mikroba
Analisa mikroba adalah aspek yang dinilai dengan mengungkapkan, mengukur, dan menganalisa
kualitas dan kuantitas mikroba dalam suatu bahan pangan.
Untuk melaporkan suatu hasil analisis mikrobiologi digunakan suatu standar yang disebut
standard plate count (SPC), yang menjelaskan mengenai cara menghitung koloni pada cawan
serta cara memilih data yang ada ubtuk menghitung jumlah koloni di dalam suatu sample. Nilai
total mikroba gelatin memenuhi syarat yang ditetapkan JECFA (2003) yaitu kurang dari 1 x 10 4
koloni/g.
2.4.4.2 Uji E.colli
Uji kualitatif E. coli dilakukan melalui uji penduga dan uji penguat. Uji penduga dilakukan
dengan cara menginokulasikan sampel ke dalam tabung reaksi yang berisi Lauryl Sulfate
Triptose Broth (LST) dan tabung durham, kemudian diinkubasikan pada suhu 37C selama 24
48 jam. Uji penduga positif jika terbentuk gas sebanyak 10% atau lebih dari volume di dalam
tabung durham.
Uji penguat dilakukan dengan cara menggoreskan suspensi dari tabung durham positif pada
cawan Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dan diinkubasikan pada suhu 37C selama 24 jam.
Pertumbuhan koloni E. coli ditandai dengan warna hijau metalik pada EMBA.
2.4.4.3 Uji salmonella
Setiap koloni tersangka Salmonella dipindahkan ke agar miring Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
dengan cara menggoreskannya, lalu diinkubasikan pada suhu 35 0C selama 24 jam. TSIA yang
tersangka ditumbuhi Salmonella akan menunjukan terbentuknya warna merah dengan atau tidak
disertai timbulnya H2S yang warnanya hitam.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen, yaitu
dengan membuat gelatin dari amilopektin pati ubi kayu, kemudian dari gelatin yang dihasilkan
tersebut selanjutnya akan dilakukan uji organoleptis, uji proksimat, uji fisiko-kimia dan analisa
mikroba untuk diambil kesimpulan. Rancangan penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu persiapan,
pelaksanaan dan tahap akhir.
Tahap persiapan dilakukan yaitu menentukan populasi dan sample penelitian, menentukan lokasi
dan waktu penelitian, serta menghitung kebutuhan bahan dan menimbangnya, kemudian
mempersiapkan peralatan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan. Tahap ini meliputi pengumpulan data dan pembuatan gelatin
dari amilopektin pati ubi kayu. Metode yang digunakan yaitu metode pencampuran yang caranya
dengan mencampurkan semua bahan pembuatan gelatin dari amilopektin pati ubi kayu. Kemudian
gelatin yang dihasilkan diuji mutunya dengan cara uji organoleptis, uji proksimat, uji fisiko-kimia,
dan analisa mikroba.
Tahap ketiga yaitu tahap akhir, pada tahap akhir ini dilakukan pengolahan data, analisis data, dan
membuat kesimpulan tentang cara pembuatan gelatin dari amilopektin pati ubi kayu dan evaluasi
mutu dengan uji organoleptis, uji proksimat, uji fisiko-kimia, dan analisa mikroba.
3.2.1
3.2.2
Sample
Sample penelitian adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti (sugiono,
2004:91). Sample dalam penelitian ini adalah sebagian gelatin dari amilopektin pati ubi kayu
yang diambil secara acak sederhana yang digunakan untuk pengujian.
No
Variable
Definisi Operasional
Uji organoleptis
Hasil Ukur
Skala
3=putih
2=kuning lemah
1= coklat terang
3= tidak berbau
2= bau lemah
1=bau menyengat
3= serbuk
2= kepingan
1=lembaran
Uji proksimat
Ordinal
Sub variable :
-Uji kadar air: Kadar air suatu bahan sangat
berpengaruh terhadap mutu atau kualitasnya. Air
dalam bahan terdapat dalam tiga bentuk yaitu air
yang ada dalam bentuk terikat secara kimia dan fisik
2= < 16%
1= > 16%
2= < 3,25%
1= > 3,25 %
2= > 80,50%
1= < 80,50%
Uji fisiko-kimia
4,7-3,2
240-140g/bloom
Analisis mikroba
Sebanyak 2 gram sampel dimasukkan dalam Kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan 2 gram
K2SO4 dan CuSO4 (1:1) dan 2,5 ml H2SO4 pekat kemudian dididihkan sampai cairan
berwarna hijau jernih. Setelah itu didinginkan kemudian sampel dipindahkan ke alat
destilasi dan ditambahkan sedikit aquades dan 10 ml NaOH pekat lalu didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 5 ml H3BO3 dan indikator metil merah dan
metil biru kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Kadar protein ditentukan dengan
rumus :
% N = (ml HCl ml blanko) x N x 14,007 x 100/ berat contoh (mg)
% Protein = % N x faktor konversi
Faktor konversi untuk gelatin = 6,25
3.6.2.4 Uji kadar asam amino (AOAC, 1995)
Tahap preparasi sampel yaitu ditentukan kadar proten dari sampel dengan metode
Kjeldahl. Kemudian pada tahap hidrolisis, dimasukkan sampel yang mengandung 3 mg
protein ke dalam ampul dan ditambahkan 1 ml HCl 6N. Selanjutnya campuran tersebut
dibekukan dalam es kering-aseton dan dikeringbekukan menggunakan freeze dryer yang
dihubungkan dengan pompa vakum. Selanjutnya udara yang ada di dalam sampel
dikeluarkan dan ampul divakum kembali selama 20 menit, kemudia bagian tengah tabung
ditutup dengan cara memanaskannya di atas api. Ampul yang telah ditutup dimasukkan
ke dalam oven pada suhu 1100C selama 24 jam.
Selanjutnya sampel yang telah dihidrolisis didinginkan pada suhu kamar, kemudian
isinya dipindahkan ke dalam labu evaporator 50 ml, ampul dibilas 2 3 kali
menggunakan 2 ml HCl 0,01N dan cairan bilasannya dimasukkan ke dalam labu
evaporator. Sampel kemudia dikeringkan menggunakan freeze dyer dalam keadaan
vakum. Selanjutnya sampel yang telah kering ditambah 5 ml HCl 0,01 N dan larutan ini
siap untuk dianalisis.
Larutan sampel yang telah dihidrolisis kemudian disaring menggunakan kertas milipore,
kemudia ditambahkan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1 : 1. Ke dalam
vial kosong yang masih bersih dimasukan 10 l sampel dan ditambahkan 25l pereaksi
OPA (larutkan 50 mg OPA dalam 4 ml metanol dan tambahkan 0,025 ml merkaptoetanol,
kocok hati-hati campuran tersebut, tambahkan larutan brij-30 30% dan 1 ml buffer borat
1 M, pH 10,4), kemudian dibiarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung
sempurna. Selanjutnya sebanyak 5 l larutan tersebut diinjeksikan ke dalam kolom HPLC
dan pemisahan asam amino terjadi sekitar 25 menit. Kondisi HPLC pada saat dilakukan
analisis adalah sebagai berikut :
- Kolom : Ultra techspere
- Laju aliran fase mobil : 1 ml/menit
- Detector : Fluorosensi
- Fase Mobil : - Buffer A (Na- asetat 0,025 M; Na-EDTA 0,05%; Metanol 9%; THF 1%
dilarutkan dalam 1 lt air)
- Buffer B (Metanol 95% dan air)
Persentase asam amino dapat ditentukan dengan rumus berikut :
mol AA = (L1/L2) x 0,5 mol/ml x 5 ml
% AA = mol AA x BM x 100% / g sampel
Keterangan :
mol AA
L1
L2
BM
% AA
Larutan gelatine dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan aquades (7,5 gr
gelatine ditambah aquadest 105 ml). Larutan diaduk dengan menggunakan magnetic
stirrer sampai homogen kemudia dipanaskan sampai suhu 60oC selama 15 menit. Tuang
larutan dalam Standard Bloom Jars (botol dengan diameter 58 60 mm, tinggi 85 mm),
tutup dan diamkan selama 2 menit. Inkubasi pada suhu 10oC selama 16 18 jam.
Selanjutnya diukur menggunakan alat TA-XT plus texture analyzer pada kecepatan probe
0,5 mm/detik dengan kedalam 4 mm. Kekuatan gel dinyatakandalam satuan gram bloom.
3.6.4 analisis mikroba
3.6.4.1 perhitungan angka lempeng total (Total aerobic plate count) (SNI 012339, 1991)
Sebanyak 10 g sampel disuspensikan ke dalam 90 mL larutan 0,85% NaCl. Untuk
menghitung jumlah mikroba yang ada pada sampel tersebut, dilakukan penumpukan
dengan metode agar tuang. Sebanyak 1 mL sampel yang telah diencerkan dimasukan ke
dalam cawan petri steril dan dituang media agar PCA + 15 mL (suhu 44 45 0C),
kemudian digoyang mendatar supaya sampel menyebar rata. Setelah agar membeku,
dilakukan inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 0C selama 48 jam, koloni yang
tumbuh dihitung dan dilaporkan sebagai jumlah koloni per gram menurut Standarad
Plate Count.
3.6.4.2 Uji E.colli (SNI 012332, 1991)
Uji kualitatif E. coli dilakukan melalui uji penduga dan uji penguat. Uji penduga
dilakukan dengan cara menginokulasi sampel ke dalam tabung reaksi yang berisi LST
(Lauryl Sulfate Triptose Broth) dan tabung durham, kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C
selama 24 jam. Uji penduga positif jika terbentuk gas sebanyak 10% atau lebih dari
volume didalam tabung durham. Uji penguat dilakukan dengan cara menggoreskan
suspensi dari tabung positif pada cawan dengan warna hijau metalik diatas EMBA.
ditumbuhkan pada tiga macam media yaitu Bismuth Sulphite gar (BSA), Salmonella
Shiggella Agar, dan Brilliant Green Agar(BGA), dengan cara goresan. Kemudian
diinkubasikan pada suhu 35 0C selama 24 jam. Setelah inkubasi, diamati adanya koloni
Salmonella dengan ciri-ciri sebagai berikut pada media BGA, tidak berwarna, merah
muda, tidak jelas atau kabur dengan media sekeliling berwarna merah muda sampai
merah, pada SSA, tidak berwarna, merah muda yang pucat, bening, kabur, ada titik hitam
pada bagian tengah sel, pada BSA, berwarna coklat, hitam kadang kadang memberi
cahaya metalik, sekeliling media berwarna coklat pada mulanya berubah menjadi hitam
dengan makin lamanya inkubasi, koloni berwarna hijau dengan sedikit atau tanpa
terjadinya warna gelap disekeliling media. Apabila pada agar-agar tersebut tidak
ditemukan koloni tersangka maka diinkubasikan kembali selama 24 jam.
Setiap koloni tersangka Salmonella dipindahkan ke agar miring Triple Sugar Iron Agar
(TSIA) dengan cara menggoreskannya, lalu diinkubasikan pada suhu 35 0C selama 24
jam. TSIA yang tersangka ditumbuhi Salmonella akan menunjukan terbentuknya warna
merah dengan atau tidak disertai timbulnya H2S yang warnanya hitam.
HARGA SATUAN
JUMLAH
1.
Rp.3000,-/Kg
10 kg
Rp.30.000,-
Rp. 20.000,-/galon
Rp. 150.000,-
10 galon
Rp. 10.000,-
6 buah
Rp. 60.000,-
Rp. 20.000,-
10
Rp. 200.000,-
Rp.150.000,Rp.20.000,Rp.600.000,-
4
3
1
Rp.600.000,Rp.60.000,Rp.600.000,Rp. 1.520.000,-
Rp. 20.000
Rp. 20.000
Rp. 15.000,Rp.250.000,Rp. 250.000,Rp.500.000,Rp. 250.000,-
5
5
4
1 sampel
1 sampel
1sampel
4 sampel
Rp. 100.000
Rp. 100.000
Rp. 60.000,Rp.250.000,Rp.250.000,Rp.500.000,Rp. 1.000.000,-
Ubi singkong
2.
aquadest
3.
Enzim amilase
Jumlah
Perlengkapan Praktikum
1.
Sendok tanduk
Kom (tempat pencucian
3.
dan perendaman)
4.
Panci stainless stell
5.
Saringan
7.
Kompor Gas
Jumlah
Teknis
1.
Komunikasi
2.
Transportasi
3.
LPG
4.
Uji kadar air
5.
Uji kadar abu
6.
Uji kadar Protein
7.
Uji kadar asam amino
TOTAL
8.
9.
10.
Uji pH
Uji viskositas
Uji kekuatan gel
Perhitungan angka
11.
lempeng total
12.
Uji E.colli
13.
Uji Salmonella
14.
Pembuatan kapsul
15.
Uji organoleptis
15.
Jasa Penggilingan
Administrasi
1.
Penulisan laporan
2.
Fotocopy dan penjilidan
3.
Kertas A4
4.
Tinta print
5.
ATK
6.
Dokumentasi
Jumlah
Total
1 sampel
1 sampel
1 sampel
Rp.500.000,-
1 sampel
Rp. 500.000,-
1 sampel
1 sampel
1 sampel
20 panelis
10 kg
Rp. 100.000
Rp. 175.000
Rp. 50.000
Rp. 25.000
Rp. 50.000
Rp. 50.000
1
1
2
4
1
2
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 100.000
Rp. 100.000
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 6.170.000
Rp. 8.070.000
DAFTAR PUSTAKA
Baily, A. J., & Paul. (1998). Journal of The Society of Leather Technologysts And
Chemists. pp.104 - 110 , 6.
Jannah, A. (2008). Gelatin. Malang: UIN.
Lidia Sari E, Indriyani M, Friska S. Pengaruh Perbedaan Suhu Tepung Tapai Ubi
Kayu Terhadap Mutu Fisik dan Kimia yang Dihasilkan. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia. Volume 8, No. 2, 2006 Hlm. 141-146. ISSN 1411-0067.
Peranginangin R, Mulyasari, A. Sari, dan Tazwir. 2005. Karakterisasi Mutu
Gelatin Yang Diproduksi dari Tulang Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Secara
Ekstraksi Asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4.
Elfi Sahlan Ben, Zulianis dan Auzal Halim. 2007. Studi Awal Pemisahan Amilosa
dan Amilopektin Pati Singkong Dengan Fraksinasi Butanol Air. Jurnal Sains
dan Teknologi Farmasi, Vol. 12, No.1, 2007 Hlm. 1-11. ISSN 1410-0177
Fauzi, R. (2007, Oktober 30). Gelatin. Dipetik Mei 14, 2009, dari www.chemistry.com
http://lutfiasyairi.wordpress.com . Cangkang Kapsul. Diakses tanggal 8 April
2009 pukul 20.00
http://one.indoskripsi.com/content/gelatin . Gelatin. Diakses tanggal 8 April
2009 pukul 20.00
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/gelatin/ . Gelatin. Diakses tanggal 8
April 2009 pukul 20.00
SNI 06-3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional.
Yakarta
Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM-MUI
No.36
AOAC. 1995
SNI. 1991
British Standard 757, 1975