Anda di halaman 1dari 17

Definisi dan Pengertian Kedokteran Gigi Forensik

Kedokteran gigi forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran forensik. Dalam
perkembangannya ilmu kedokteran gigi forensik berkembang lebih jauh dan lebih spesifik,
sehingga dapat dianggap merupakan bidang ilmu tersendiri (Ardan, 1999).
Kedokteran forensik menurut Sir Sidney Smith adalah ilmu pengetahuan medis dan
paramedis yang mempelajari mengenai mayat, yang dapat berguna untuk memberikan
pelayanan secara administrasi hukum (Tjondroputranto, 1988). Definisi dari ilmu kedokteran
gigi forensik sendiri menurut Woolridge adalah aplikasi dari ilmu kedokteran gigi dalam
bidang hukum (Tedeschi, et al., 1977). Selain itu menurut Lukman (2006) kedokteran gigi
forensik adalah semua aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait dalam suatu
penyidikan dalam memperoleh data-data postmortem, berguna untuk menentukan otentitas
dan identitas korban maupun pelaku demi kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan
dan menegakkan kebenaran. Ilmu kedokteran gigi forensik ini memiliki berbagai nama lain
yaitu forensic odontology, forensic dentistry, ilmu kedokteran gigi kehakiman, dan dental
forensic (Ardan, 1999).
Kedokteran gigi forensik terdiri dari empat fase. Fase-fase tersebut adalah tuntutan
ganti rugi untuk kasus kedokteran gigi, malapraktek kedokteran gigi, penipuan dalam
kedokteran gigi, dan identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi (Luntz and Luntz, 1973).
Terdapat beberapa kasus yang mengaplikasikan ilmu kedokteran gigi forensik, yaitu (Eckert,
1966):
1)

Kasus kriminal

a)

Bekas gigitan pada benda mati

b)

Bekas gigitan pada kulit

c)

Luka gigitan

d)

Golongan darah dari gigi

e)

Kasus paternitas

f)

Masalah identifikasi

1) Pembunuhan massal
2) Bencana angin kencang dan letusan gunung berapi
3) Tubuh terbakar dan tenggelam
2)

Kasus kecelakaan

a)

Identifikasi potongan tubuh

b)

Identifikasi tubuh yang telah terbakar dan terdekomposisi

3)

Kematian alami

a)

Teknik

1)

Perbandingan rekam medik gigi

2)

Sidik bibir (Cheiloscopy, Quieloscopy)

3)

Restorasi wajah

4)

Fotografi montage

5)

Fotografi superimposisi (dibahas lebih lanjut dalam BAB III)

b)

Masalah khusus

1)

Perbedaan umur

2)

Perbedaan jenis kelamin

3)

Perbedaan ras

4)

Perbedaan pekerjaan

5)

Perbedaan manusia dan hewan

6)

Waktu kematian

7)

Aspek hereditas

8)

Aspek golongan darah

4)

Dental Jurispudence

a)

Malpractice

b)

Medication errors

c)

Latrogenic

d)

Perkosaan dan kasus seksual oleh dokter gigi

e)

Ketidaklayakan peralatan

5)

Luka pada gigi

6)

Gigi buatan

a)

Perawatan

b)

Kasus kompensasi

7)

Peninggalan purbakala dan masalah antropologi

a)

Aktifitas yang melibatkan gigi

b)

Pengaruh makanan pada gigi

c)

Kebudayaan :

1) Mutilasi
2) Tato
d)

Gigi hewan dalam budaya daerah terpenci

Definisi dan Pengertian Identifikasi


A.Identifikasi secara Umum
Pada dasarnya kata identifikasi berasal dari bahasa asing yang berarti usaha untuk mengenal
kembali suatu mahluk. Menurut Harmaini (2001) identifikasi diartikan sebagai usaha
mencari sejumlah persamaan antara objek pemeriksaan dengan data-data korban dengan
membandingkan satu sama lain berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Pada umumnya identifikasi terhadap seseorang (hidup atau sudah meninggal) dilakukan
untuk alasan (Cottone and Baker, 1982) :
1)
Membuat surat keterangan kematian yang menjelaskan bahwa seseorang benar-benar
sudah meninggal, surat tersebut biasanya diperlukan untuk masalah-masalah legal, seperti
untuk keperluan asuransi, pembagian warisan, urusan-urusan bisnis, dan surat keterangan
apabila si istri atau suami yang ditinggalkan ingin menikah kembali.
2) Alasan pribadi atau alasan keluarga, identifikasi dilakukan untuk mengetahui identitas
orang hilang atau meninggal secara mendadak yang mungkin saja meredakan ketegangan
emosi dari keluarga bersangkutan. Masalah dapat pula timbul dalam tata cara pemakaman
apabila dalam suatu kematian massal melibatkan orang-orang yang berbeda agama,
karenanya harus dilakukan identifikasi.
3)
Kasus-kasus kriminal, bukti dapat saja tergantung pada identifikasi positif dari korban
dan penentuan tentang hubungan antara korban dengan pelaku, terutama jika pembunuhan

melibatkan anggota keluarga atau kenalan. Oleh karena identifikasi merupakan dasar
terhadap penyelidikan polisi, korban yang tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat
ditentukan apakah dibunuh atau bunuh diri, biasanya menyebabkan kasus tersebut tidak dapat
diselesaikan.
Dalam proses identifikasi dikenal sembilan metode identifikasi, yaitu (Idries, 1997) :
1)

Metode visual

Metode ini dilakukan dengan memperhatikan korban secara teliti, terutama wajahnya oleh
pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka identitas korban dapat diketahui. Walaupun metode
ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini
baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan
baik dan belum terjadi pembusukkan yang lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor
psikologis, emosi, dan latar belakang pendidikan karena faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan. Juga perlu diingat bahwa manusia itu mudah terpengaruh
dengan sugesti, khususnya sugesti dari pihak penyidik.
2)

Pakaian

Pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode, dan adanya tulisan-tulisan,
seperti merek pakaian, penjahit, laundry, dan inisial nama dapat memberikan informasi yang
berharga, milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan
pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm adalah
tindakan yang tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya sudah dikubur.
3)

Perhiasan

Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila
perhiasan itu terdapat inisial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam dari
gelang atau cincin, akan membantu dokter atau pihak penyidik dalam menentukan identitas
korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah
dilakukan dengan baik.
4)

Dokumen

Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, paspor, kartu golongan darah, tanda
pembayaran, dan lain sebagainya dapat menunjukkan identitas korban. Benda-benda tersebut
biasa ditemukan dalam dompet atau tas korban.
5)

Medis

Pemeriksaan fisik secara keseluruhan yang meliputi bentuk tubuh, tinggi, berat badan, warna
mata, adanya cacat tubuh, kelainan bawaan, jaringan parut bekas operasi, dan tato dapat turut
membantu menentukan identitas korban. Pada beberapa keadaan khusus, tidak jarang harus
dilakukan pemeriksaan radiologis, yaitu untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang
atau pen, serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.

6)

Gigi

Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang berbeda.
Hal ini menjadikan pemeriksaan gigi memiliki nilai yang tinggi dalam penentuan identitas
seseorang. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identifikasi adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (rekam medik gigi)
karena pemeriksaan gigi masih dianggap sebagai hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat
Indonesia.
7)

Sidik jari

Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama, walaupun
kedua orang tersebut kembar. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting
khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui identitas seseorang. Pemeriksaan sidik jari
ini mudah dilakukan dan murah pembiayaannya. Walaupun pemerikasaan sidik jari tidak
dilakukan oleh dokter, dokter masih mempunyai kewajiban untuk mengambilkan (mencetak)
sidik jari, khususnya sidik jari pada korban meninggal dan keadaan mayatnya telah
membusuk.
8)

Serologi

Sampel darah dapat diambil dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari
bercak-bercak pada pakaian. Hal-hal tersebut dapat menentukan golongan darah si korban.
9)

Eksklusi

Metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak terdapat korban (bencana
massal), seperti peristiwa kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, dan kecelakaan
angkutan lainnya yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang (passenger
list) pesawat terbang akan dapat diketahui siapa saja yang menjadi korban. Bila dari sekian
banyak korban tinggal satu yang belum dapat dikenali oleh karena keadaan mayatnya sudah
sedemikian rusak, maka atas bantuan daftar penumpang akan dapat diketahui siapa nama
korban tersebut, caranya yaitu dari daftar penumpang yang ada dikurangi korban lain yang
sudah diketahui identitasnya.
Dari sembilan metode tersebut hanya metode identifikasi dengan sidik jari yang tidak lazim
dikerjakan oleh dokter dan dokter gigi, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian (Idries,
1997). Walaupun ada sembilan metode identifikasi yang kita kenal, dalam prakteknya untuk
menentukan identitas seseorang tidak perlu semua metode dikerjakan. Dari sembilan metode
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat metode identifikasi yang dianggap
primer, yaitu identifikasi dengan sidik jari dan gigi. Hal tersebut dikarenakan jarang bahkan
hampir tidak ada sidik jari dan gigi yang identik antara dua orang berbeda, sehingga kedua
metode tersebut bersifat sangat individual dan memiliki validitas yang sangat tinggi. Apabila
dilakukan pemeriksaan DNA, hasil pemeriksaannya juga dapat dijadikan bahan identifikasi
primer, hanya saja metode identifikasi dengan DNA membutuhkan biaya yang mahal
(Depkes RI, 2006).

B.Identifikasi dalam Kedokteran Gigi Forensik


Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu (Lukman, 2006):
1)

Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan antropologi ragawi.

2)
Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang rahang, dan
antropologi ragawi.
3)

Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.

4)

Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui).

5)

Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.

6)

Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.

7)

Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.

8)

Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan gigi.

9)

Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.

10) Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.


11) Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan dari sel dalam rongga
mulut.
12) Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.
13) Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang facial.
14) Identifikasi melalui wajah korban.
15) Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.
16) Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana massal.
17) Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik.
18) Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya teknik fotografi
superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto wajah
antemortem, teknik ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik
gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem
yang fokus pada wajah (dibahas lebih lanjut dalam BAB III).
19) Identifikasi melalui formulir identifikasi korban.

Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak terbukti keakuratannya


namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus terdapat pada data-data untuk identifikasi
kedokteran gigi forensik agar data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang
merupakan syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher, 1976):
1)
Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur atau diteliti,
sehingga menjamin individualitas dari data yang tersedia.
2) Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu (data antemortem)
yang memungkinkan untuk dibandingkan dengan data postmortem.
3)
Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya destruktif,
sehingga dapat tetap menjadi jaminan untuk keindividualitasan data walaupun tidak tersedia
gambaran identifikasi lainnya.
Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat tinggi mengingat begitu tidak
terbatasnya kemungkinan kombinasi ciri-ciri khas pada gigi, baik ciri alami maupun akibat
tindakan perawatan terhadap gigi-geligi. Ciri-ciri khas tersebut antara lain (Ardan, 1999):
1)

Jumlah gigi

Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang. Hal ini karena jumlah gigi
pada seseorang dapat berbeda-beda. Satu atau beberapa gigi pada rahang dapat tidak ada,
baik secara klinis atau radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih banyak
dari normal. Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan gigi yang lepas alami, pencabutan,
trauma (benturan dengan benda tumpul), kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar
ketiga, premolar kedua, incisivus kedua), impaksi, dan pergeseran gigi.
2)

Restorasi mahkota dan protesa

Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena dibuat sesuai kebutuhan
masing-masing individu. Beberapa ciri khas dari protesa yang dapat diamati adalah bentuk
daerah relief dari langit-langit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial,
penutupan daerah retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial, serta
bentuk dan ukuran linggir alveolar.
3)

Karies Gigi

Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada kemungkinan gigi yang
karies sudah ditambal, maka harus dilakukan juga pemeriksaan catatan perawatan.
Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat, umumnya terjadi pada
gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan bekas rokok. Adanya dentin sekunder
menunjukkan bahwa fraktur sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang
baru terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan karies maka
permukaan frakturnya cenderung tajam.

4)

Gigi yang malposisi dan malrotasi

Malposisi dapat berupa gigi berjejal, gigi saling menutup (overlapping), miring, bergeser, dan
jarang-jarang. Malrotasi dapat berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi
seringkali tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari (antemortem), maka untuk
mengatasinya keadaan malposisi dan malrotasi dapat diperiksa data postmortem dari model
cetakan atau dari foto roentgen.
5)

Gigi berbentuk abnormal

Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau dapatan. Gigi abnormal yang
disebabkan faktor kongenital dapat berupa hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk
runcing (peg shaped). Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara lain
akibat pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk gigi.
6)

Perawatan endodontik

Perawatan endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga pulpa dan atau saluran
akar). Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan atau saluran akar sudah non-vital atau sudah
didevitalisasi, yang kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan
pengisi berisi obat, sehingga tidak akan jadi sumber infeksi.
Sebagai bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan kontras, sehingga dapat
terlihat jelas pada foto roentgen. Bentuk bahan pengisi, maupun kesempurnaan pengisian
pulpa dapat memberikan gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota gigi yang
sudah mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan mahkota tiruan dari bahan logam
atau bahan porselen.
7)

Pola trabekulasi tulang

Pola trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen antemortem maupun foto roentgen
postmortem. Dari foto roentgen tersebut dapat juga dilihat kemiringan gigi, ruang
interproksimal, resorpsi tulang akibat penyakit periodontal, perubahan pada ruangan pulpa,
dan bentuk saluran akar.
8)

Oklusi gigi

Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang atas terhadap gigi di rahang
bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan menurut klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II,
dan kelas III. Masing-masing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan gigi yang lain
(berjejal, gigitan bersilang, dll).
9)

Patologi oral

Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada individu. Macam-macam
kelainan struktur rongga mulut tersebut dapat berupa:

a)

Torus mandibularis dan torus palatinus

Torus mandibularis adalah protuberansia perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat


pada aspek lingual mandibula di daerah premolar. Torus palatinus adalah eminensia
perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat pada garis median palatum keras (Harty
dan Ogston, 1993).
b)

Kelainan lidah

Kelainan lidah yang khas pada individu dapat membantu proses identifikasi. Kelainan yang
biasa terjadi pada lidah dapat berupa pendeknya frenulum lingualis (ankyloglossia), lesi yang
berbentuk seperti peta (geographic tongue), fissure tongue, Fordices granules, dan Median
Rhomboid Glossitis (Sonis, et al., 1995).
c)

Hiperplasia gusi karena dilantin

Hiperplasia gusi adalah pembengkakkan gingiva akibat proliferasi sel. Hal tersebut bisa
timbul akibat pengobatan (Harty dan Ogston, 1993).
d)

Pigmentasi gusi

Pigmentasi merupakan pewarnaan yang dihasilkan oleh tubuh melalui deposisi pigmen
(Harty dan Ogston, 1993). Deposisi pigmen ini bisa berasal dari sumber eksogen dan
endogen. Sumber eksogen dapat dikarenakan dari deposit bahan asing pada jaringan, bakteri,
fungi, dan ingesti dari bahan logam yang terdeposit di jaringan. Sumber endogen disebabkan
oleh melanin, bilirubin, dan besi (Sonis, et al., 1995). Jadi dari pigmentasi gusi ini dapat
diperkirakan penyakit sistemis yang diderita korban dan pekerjaan korban.
e)

Adanya kista pada tulang rahang

Kista adalah kantung atau rongga abnormal pada jaringan yang dikelilingi epitel. Kista
memiliki batas jelas dan mengandung cairan atau bahan semi cair (Harty dan Ogston, 1993).
Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin korban, ras korban, dan
umur korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan
sebagai alat mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi.
1)

Penentuan jenis kelamin

Pada kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana massal dengan tubuh yang
sudah terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat dilakukan dengan mudah seperti
penentuan jenis kelamin pada orang hidup atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis
kelamin pada kasus-kasus tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan melihat bentuk lengkung
gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk
lengkung gigi pada pria cenderung tapered, sedangkan wanita cenderung oval, ukuran

diameter mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom X dan
Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai dengan lima bulan
setelah pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008).
2)

Penentuan ras korban

Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-geliginya. Secara antropologi, ras
dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras mongoloid. Masing-masing ras memiliki
bentuk rahang dan struktur gigi-geligi yang berbeda (Astuti, 2008) :
a)

Ras kaukasoid

1)

Permukaan lingual yang rata pada gigi incivus

2)

Gigi molar pertama bawah tampak lebih panjang dan bentuknya lebih tapered

3)
Ukuran buko-palatal gigi premolar kedua bawah sering ditemukan mengecil dan ukuran
mesio-distal melebar
4)

Lengkung rahang sempit

5)

Gigi berjejal

6)

Carabelli cusp pada molar pertama atas

b)

Ras negroid

1)

Akar premolar yang membelah atau tiga akar

2)

Pada premolar pertama bawah terdapat 2 atau 3 lingual cusp

3)

Gigi molar pertama bawah berbentuk segi empat dan kecil

4)

Bimaxillary protrution

5)

Kadang-kadang ditemui molar keempat

c)

Ras mongoloid

1)

Gigi incisivus pertama atas berbentuk sekop

2)

Gigi molar pertama bawah berbentuk bulat dan lebih besar

3) Adanya kelebihan akar distal dan accesory cusp pada permukaan mesio-bukal pada gigi
molar pertama bawah
4)

Permukaan email seperti butiran mutiara

3)

Penentuan umur korban

Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):
a)

Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi

Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu, yaitu umur empat
bulan dalam kandungan hingga mencapai saat sempurnanya gigi molar kedua tetap.
Pemanfaatan molar ketiga mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang
tidak tumbuh sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat dipantau
dengan baik, yaitu:
1)
Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan melihat tahap mineralisasi gigi dapat
diketahui usia kandungan.
2)
Postnatal tanpa gigi: berkisar antara umur 0 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya gigi susu
yang pertama. Penentuan umur secara tetap disini masih memerlukan sediaan mikroskopis
dengan melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap
perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan roentgen.
3)
Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan 3 tahun, saat
bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan memperhatikan gigi mana yang sudah
tumbuh dan belum tumbuh, umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.
4)
Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 6 tahun. Pada masa ini penentuan umur
melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat
tahap pertumbuhan gigi tetap.
5)
Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 12 tahun. Pada masa ini umur dapat
dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang tumbuh.
6)
Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu yang
tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.
b)

Metode Gustafson

Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi
tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk menentukan umur karena kondisinya dapat
dikatakan menetap. Untuk itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan
umur:
1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan gigi mengalami
keausan.
2)
Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan pertambahan umur, maka tepi
gusi (margin-gingival attachment) akan bergerak ke arah apikal.

3)
Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada dinding pulpa
gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang
melindungi pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya.
4)
Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka semen sekunder di
ujung akar pun bertambah ketebalannya.
5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral gigi, maka jaringan
dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi
meluas ke arah mahkota gigi.
6)
Penyempitan atau penutupan foramen apicalis: akan semakin menyempit dengan
bertambahnya umur dan bahkan akan menutup.
Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan umur dengan gigi setelah masa
pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut (Harmaini, 2001):
1)

Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.

2)

Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

3)

Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20 tahun.

Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek pemeriksaan, yaitu
(Lukman, 2006) :
1)
Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis, dan
morpologis mempunyai letak yang terlindung dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila
terjadi trauma, maka akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
2)
Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur kecuali gigi tersebut sudah
mengalami nekrotik atau gangren. Umumnya organ-organ lain bahkan tulang telah hancur
tetapi gigi tidak (masih utuh).
3)
Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut Sims dan Furnes, gigi manusia
kemungkinan sama adalah 1 : 2.000.000.000.
4)
Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau
berubah, maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
memiliki ciri yang berbeda.
5)
Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan
direndam di dalam drum berisi asam pekat, jaringan ikatnya hancur tetapi giginya masih
utuh.
6)
Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 C gigi tidak akan
hancur, terbukti pada peristiwa Parkman yang terbunuh dan dibakar tetapi giginya masih

utuh. Kemudian pada peristiwa aktor perang dunia kedua, yaitu Hitler, Eva Brown, dan
Arthur Boorman mereka membakar diri kedalam tungku yang besar di dalam bunker tahanan
tetapi giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan. Kecuali dikremasi karena
suhunya di atas 1000 C. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649 C. Apabila gigi
tersebut ditambal menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di
atas 871 C. Apabila gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas, maka bila
terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-1093 C.
7)
Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis, walaupun terdapat pecahanpecahan rahang pada roentgenogramnya dapat dilihat (interpretasi) kadang-kadang terdapat
anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas.
8) Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakai gigi tiruan
dengan berbagai macam model gigi tiruan dan gigi tiruan tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi. Menurut Scott, gigi tiruan akrilik akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 C
sampai 649 C. Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada suhu
1093 C.
9)
Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana-sarana lain
atau organ tubuh lain tidak ditemukan.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan gigi-geligi sebagai objek
pemeriksaan tersebut dapat diperoleh dari data gigi-geligi yang memenuhi berbagai syarat
validitas.
Data gigi antemortem atau disebut juga data-data prakematian gigi-geligi adalah keterangan
tertulis, catatan atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat (Depkes RI, 2006).
Keterangan data-data biasanya berisi (Depkes RI, 2006):
1)

Nama penderita

2)

Umur

3)

Jenis kelamin

4)

Pekerjaan

5)

Tanggal perawatan, penambalan , pencabutan, dan lain-lain

6)

Pembuatan gigi tiruan ,orthodonti, dan lain-lain

7)

Foto Roentgen

Sumber data-data antemortem tentang kesehatan dan gigi diperoleh dari (Depkes RI, 2006) :

1)

Klinik gigi rumah sakit pemerintah, TNI / Polri, dan swasta

2)

Lembaga-lembaga pendidikan

3)

Praktek pribadi dokter gigi

Data-data postmortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan
ditemukan pada jenazah korban (Depkes RI, 2006). Pemeriksaan gigi postmortem dilakukan
oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
melakukan pencatatan kelainan-kelainan sesuai formulir yang ada, roentgen gigi, roentgen
kepala jenazah, dan bila perlu cetakan gigi jenazah untuk dianalisa (Depkes RI, 2006).
Pemeriksaan gigi postmortem ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa ciri-ciri
khas pada gigi, yaitu jenis kelamin, umur, kebiasaan, pekerjaan, status sosial, golongan darah,
ras, dan DNA (Ardan, 1999).
Definisi dan Pengertian Korban Tidak Dikenal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), korban adalah manusia yang menjadi
menderita (mati, dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
Sedangkan kata tidak dikenal (unidentified) menujukkan keadaan dimana belum diketahui
jati diri seseorang. Korban tidak dikenal dapat diartikan sebagai manusia yang menjadi
menderita atau mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya, dimana jati diri
manusia tersebut belum diketahui.
Korban tidak dikenal tersebut bisa dalam keadaan masih hidup atau meninggal. Korban tidak
dikenal yang masih hidup dapat disebabkan oleh keadaan korban yang koma, amnesia,
gangguan mental, dan keterbatasan bahasa yang menghalangi korban untuk memberi
informasi tentang jati dirinya. Korban tidak dikenal yang meninggal dapat disebabkan oleh
sulit dikenalinya jenazah korban karena keadaannya sudah rusak atau anggota tubuhnya
sudah terpisah-pisah (Knight, 1991).
Prosedur Identifikasi Korban Tidak Dikenal dalam Bidang Kedokteran Gigi.
Tim kedokteran gigi forensik terdiri dari tiga bagian dan seorang komandan. Ketiga bagian
tersebut adalah bagian postmortem, bagian antemortem, dan bagian perbandingan. Bagian
postmortem bertugas untuk mengumpulkan data-data gigi postmortem ditempat kejadian.
Bagian antemortem bertugas untuk mengkondisikan rekam medik gigi agar dapat
diinterpretasikan. Bagian perbandingan bertugas untuk membandingkan dan menyesuaikan
data, serta menyelesaikan proses identifikasi. Komandan harus selalu siap dan dapat
mengatur pergerakan tim dengan cepat (Eckert, 1992).
Tindakan pertama yang dilakukan oleh dokter gigi forensik saat tiba di Tempat Kejadian
Peristiwa (TKP) adalah menyelamatkan bahan bukti penting yang dibutuhkan untuk analisa
kedokteran gigi forensik (misalnya gigi-geligi yang berserakan). Tindakan yang perlu
dilakukan langsung di TKP misalnya adalah pengambilan sampel liur pada bite mark,
pemotretan keadaan korban, dan sebagainya (Lukman, 2006).

Tindakan pertama yang bersifat umum di TKP, yaitu pada awalnya menutup TKP sebatas
areal yang aman agar bukti-bukti tidak hilang atau rusak. Selanjutnya jika ada korban periksa
tanda-tanda kehidupannya. Apabila korban masih hidup, segera selamatkan dengan mengirim
ke rumah sakit terdekat. Jika sempat buat foto posisi atau kondisi korban saat ditemukan,
kemudian buat foto dan sketsa TKP seteliti mungkin. Koordinasikan dengan unsur lain
(Dokter umum, Labkrim, dsb) agar tidak saling menghambat pekerjaan masing-masing.
Terakhir lakukan tindakan yang spesifik sesuai dengan kasusnya (Lukman, 2006).
Tindakan selanjutnya setelah tindakan pertama yang bersifat umum adalah identifikasi
jenazah. Tujuan identifikasi jenazah adalah untuk mengumpulkan bukti atau petunjuk
mengenai identifikasi korban atau jenazah. Tindakan ini dilakukan dengan mencatat secara
teliti keadaan korban khususnya keadaan kepala, mulut, dan gigi-geligi. Perhatian khusus
diberikan terhadap hal-hal yang mungkin berubah pada saat transportasi korban ke ruang
otopsi. Apabila kerangka yang ditemukan telah rusak atau dalam keadaan membusuk karena
terendam air, cari gigi dengan teliti karena gigi cenderung lepas dari tempatnya. Apabila gigigeligi yang lepas telah ditemukan, masukkan dalam kantong plastik khusus terpisah, jangan
dibersihkan atau direkonstruksi di TKP, rekonstruksi dilakukan di ruang otopsi. Pada kasus
terbakar parah, jenazah atau gigi menjadi sangat rapuh, transportasi harus dilakukan dengan
hati-hati. Bagian gigi yang rapuh dan mudah rusak akibat transportasi dapat direkatkan dulu
dengan lem cair misalnya power glue, alteco, dan super glue agar tetap utuh saat transportasi.
Jika terpaksa, pemeriksaan dapat langsung dilakukan di TKP. Pada kasus mutilasi buat foto
dari sisa jenazah, catat dengan teliti, dan buat sketsa yang rinci tentang posisi tiap bagian
tubuh yang terpisah (Lukman, 2006).
Setelah jenazah berada di ruang otopsi pemeriksaan intraoral mulai dilakukan, berikan
kesempatan pada dokter forensik untuk mengambil sampel cairan atau bahan dalam mulut
jika diperlukan untuk pemeriksaan lab. Setelah bersih, periksa adanya kemungkinan luka atau
tanda-tanda yang tidak wajar dalam rongga mulut. Jika ada gigi-geligi yang lepas, masukkan
kembali gigi-geligi ke dalam soketnya. Buat pemeriksaan postmortem kedokteran gigi
forensik sesuai juknis atau formulir standar. Setelah itu, buat foto-foto detail wajah dan
keadaan mulut dalam keadaan selengkap mungkin. Jika dirasakan perlu dapat dibuat cetakan
gigi dan panoramic x-ray. Setelah pembuatan x-ray, dapat dilakukan penentuan golongan
darah dengan sampel sepertiga apikal salah satu gigi. Jika diperlukan dapat dilakukan isolasi
DNA, untuk ini harus dikorbankan satu gigi yang utuh agar dapat memperoleh jaringan pulpa
yang cukup (Lukman, 2006). Pada waktu proses perbandingan, kasus-kasus yang banyak
masalah sebaiknya dikerjakan terakhir (Ardan, 1999).
Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi dituangkan dalam formulir baku mutu
nasional, yaitu ke dalam formulir korban tindak pidana yang berwarna merah atau disebut
dengan data postmortem, pada korban hidup tetap pula ditulis ke dalam formulir yang sama,
sedangkan data-data semasa hidup ditulis ke dalam formulir antemortem yang berwarna
kuning. Hal ini berlaku pula pada pelaku, ia mempunyai kedua penulisan data pula,
antemortem dan postmortem pada kertas yang berwarna kuning dan merah (Lukman, 2006).
Setelah jenazah teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah, antara lain
perbaikan tubuh jenazah, pengawetan jenazah, perawatan sesuai agama korban, dan
memasukkan korban dalam peti jenazah. Kemudian jenazah diserahkan pada keluarga oleh

petugas khusus dari tim identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan. Perawatan jenazah
setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas terkait
dibantu oleh keluarga korban (Depkes RI, 2006).

IDENTIFIKASI DAN ODONTOLOGI FORENSIK


Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik hidup ataupun
mati, yang dilakukan melalui pembandingan berbagai data dari individu yang diperiksa
dengan data dari orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip umum dapat
dikatakan bahwa :
1. Pada identifikasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin
metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut
dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.
Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode pemeriksaan
perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi.
Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode
identifikasi. Kita mengenal ada 9 macam metode identifikasi yaitu :
1. Visual:
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya
muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut
masih utuh.
2. Perhiasan :
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb
dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang
lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau
bahan yang khas dsb.
3. Pakaian:
Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk
menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label
tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat
mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen :
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa
dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan
tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis :
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari
data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada
keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna kulit, rambut, dsb. Data
khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak
dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto ronsen, data lab, adanya
tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah,

dsb.
6. Odontologi forensik:
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat
perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik :
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein
serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas
dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit
serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih
luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh
kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah
hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari :
Telah lama diketahui bahwa sidikjari setiap orang didunia tidak ada yang sama sehingga
pemeriksaan sidikjari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi :
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang namanamanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dsb), maka jika (n-1)
individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per
ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.

Anda mungkin juga menyukai