Anda di halaman 1dari 9

TUGAS REKAYASA BIOKIMIA

Oleh :
Nama

: Maruto Aditya Tama

No.Mahasiswa

: 13521060

Kelas

:A

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
A. Media Padat

Solid State Fermentation (SSF) merupakan suatu proses di mana substrat yang tidak
larut (padat) difermentasikan dengan bantuan mikroorganisme dalam kondisi kekurangan air
bebas. Pada SSF kadar air yang digunakan rendah yaitu sekitar 50-60%. Mikroorganisme
yang digunakan pada umumnya adalah fungi yang menghasilkan enzim hidrolitik
ekstraseluler yang mempu mendegradasi materi terlarut. Proses ini berpotensi besar
memproduksi enzim, menawarkan keuntungan lebih dibandingkan kultur terendam seperti:
peralatan yang sederhana, hasil per volumetrik lebih banyak, konsentrasi produk yang lebih
tinggi, pemanfaatan bahan buangan serta represi yang lebih sedikit, dan tingkat kontaminasi
cukup rendah karena kadar air yang rendah pada substrat. Selain itu, produk kasar hasil
fermentasi dapat langsung digunakan sebagai sumber enzim sehingga cocok untuk industri
peternakan. Akan tetapi terdapat kekurangan pada SSF yakni sulit dilakukan agitasi dan
hilangnya bobot kering selama fermentasi. Di dalam bidang pangan SSF sering digunakan
dalam pembuatan tempe, miso, dan kecap.
Media padat merupakan media yang mengandung banyak agar atau zat pemadat
kurang lebih 15 % agar sehingga media menjadi padat. Media ini dapat dibedakan menjadi 3
jenis menurut bentuk dan wadahnya yaitu media tegak, media miring, dan media lempeng.
Media tegak menggunakan tabung reaksi yang ditegakkan sebagai wadahnya, media miring
menggunakan tabung reaksi yang dimiringkan, sedangkan media lempeng menggunakan
petridish (plate) sebagai wadahnya. Media ini umumnya digunakan untuk pertumbuhan
koloni bakteri atau kapang. Kalau kedalam media ditambahkan antara 10-15 tepung agar-agar
per 1.000 ml media. Jumlah tepung agar-agar yang ditambahkan tergantung kepada jenis atau
kelompok mikroba yang dipelihara. Kalau kedalam media tidak ditambahkan zat pemadat,
umumnya dipergunakan untuk pembiakan mikroalga tetapi juga mikroba lain, terutama
bakteri dan ragi. Ada yang memerlukan kadar air tinggi sehingga jumlah tepung agar-agar
rendah. Tetapi ada pula yang memerlukan kadar air rendah sehingga penambahan tepung
agar-agar baru sedikit. Media padat umumnya dipergunakan untuk bakteri, ragi, jamur, dan
kadang-kadang mikroalga.

Contoh :
Contoh 1. Fermentasi pada tempe
Contoh yang kami ambil pada fermentasi media padat adalah proses fermentasi pada
pembuatan tempe. Proses pembuatan tempe terdiri 3 tahap, yaitu menyiapkan kedelainya,
mencampurnya dengan ragi, dan mendiamkannya hingga tefermentasi. Tempe merupakan
makanan khas Indonesia dari hasil fermentasi dari kacang kedelai dengan ragi tempe.
Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe. Menurut
hasil penelitian pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan
senyawa-senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga
mudah dimanfaatkan tubuh. Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas
enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus Sp. Pada
proses pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat genus Rhizopus yang dapat digunakan.
Rhizopus oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus oryzae merupakan genus
lainnya yang digunakan pada pembuatan tempe di Indonesia. Produsen tempe di Indonesia
tidak menggunakan inokulum berupa biakan murni kapang Rhizopus Sp., namun
menggunakan inokulum dalam bentuk bubuk yang disebut laru atau inokulum biakan kapang
pada daun waru yang disebut usar. Pada penelitian ini dipelajarai aktivitas enzim-enzim aamilase, lipase dan protease pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan
biakan murni Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae dan laru. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aktivitas enzim a-amilase, lipase dan protease dari ketiga inokulum tersebut berbeda
secara sangat bermakna. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa aktivitas enzim
dipengaruhi oleh jenis inokulum dan waktu fermentasi. Juga terdapat interaksi antara waktu
fermentasi dan jenis inokulum terhadap aktivitas enzim-enzim amilolitik, lipolitik dan
proteolitik.
Pada prinsipnya, pembuatan tempe sama dengan penanaman mikroba berupa jamur
Rhizopus SP pada media kacang kedelai. Jamur Rhizopus SP lebih dikenal dengan nama ragi
tempe. Rendezvous antara kacang kedelai dengan ragi tersebut menimbulkan terjadinya
proses fermentasi.

Proses tersebut membuat tekstur kacang kedelai melunak dan mengurai protein nan
dikandungnya. Terurainya protein kedelai menjadi lebih sederhana, lebih mudah dicerna
sehingga khasiatnya bisa diserap lebih baik.
Secara umum, bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan tempe ialah kacang
kedelai sebagai bahan dasar, ragi tempe sebagai eksekutor, dan daun pisang/daun jati/plastik
sebagai pembungkus. Pemilihan kacang kedelai berukalitas unggul serta sanitasi dan prima
menjadi penunjuang primer terciptanya tempe berkualitas dan tahan lebih lama.
Pembuatan tempe nan berkualitas bagus diawali dengan pemilihan bahan standar nan
bagus pula. Kacang kedelai nan dijadikan bahan standar sebaiknya disortir terlebih dulu buat
memastikan kedelai nan bagus saja yang, diproses dan terhindar dari bahan-bahan lain nan
bisa mengganggu proses fermentasi.
Kedelai yang telah higienis kemudian direndam semalaman atau sekitar 12 jam dalam
air higienis dengan suhu normal. Perendaman ini dilakukan sebagai hidrasi, supaya kacang
kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Kacang kedelai nan terhidrasi cukup akan melunak
dan mengembang.
Manfaat lain dilakukan proses perendaman ialah terjadinya fermentasi asam laktat
secara alami. Keasaman ini diperlukan buat melancarkan pertumbuhan fungi saat proses
fermentasi menjadi tempe.
Terjadinya fermentasi asam laktat ditandai dengan munculnya buih dan bau asam
pada air rendaman dampak tumbuhnya bakteri lactobacillus. Pengasaman dan fermentasi
asam laktat ini juga bisa meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun.
Setelah direndam, cuci higienis kacang kedelai supaya tak terlalu asam dan buat
menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat. Adanya bakteri dan
kotoran nan menempel pada kacang kedelai bisa menghambat pertumbuhan fungi saat proses
fermentasi.
Setelah direndam dan dicuci bersih, langkah selanjutnya ialah melepaskan kulitnya.
Dikelupasnya kulit kacang kedelai ini berguna agar miselium fungi bisa menembus kacang
kedelai pada saat proses fermentasi.

Proses fermentasi dikatakan sudah sukses jika seluruh permukaan kedelai tertutupi
jamur. Singkatnya, pembuatan tempe selesai jika kacang kedelai sudah berubah wujud
menjadi tempe berwarna putih bersih.
Contoh 2. Fermentasi pada pembuatan roti
Pengertian roti adalah proses tepung terigu yang difermentasikan dengan ragi roti
(Saccharomyces cerevisiae), air dan atau tanpa penambahan makanan lain yang dipanggang
ke dalam adonan, Kemudian ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak,
pengemulsi dan bahan-bahan pelezat seperti coklat, keju, kismis, dan lain-lain.
Manfaat roti diperkaya dengan berbagai macam zat gizi, sebut saja beta karoten,
thiamin (Vit B1), riboflavin (Vit B2), niasin, serta sejumlah mineral berupa zat besi, iodium,
kalsium, dan sebagainya. Roti juga diperkaya dengan asam amino tertentu untuk
meningkatkan mutu protein bagi tubuh. Menurut Dr. Clara dan M Kusharto dari Departemen
gizi IPB, kemudian kandungan protein yang terkandung dalam roti mencapai 9,7 % lebih
tinggi daripada nasi yang hanya 7,8 %. Selain itu tidak hanya seperti nasi yang hanya
memiliki kadar pati sekita 4 - 8 %, didalam roti terdapat kadar pati sebanyak 13 %. Empat isi
roti akan menghasilkan kalori yang setara dengan sepiring nasi.
Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku
dan proses pembuatannya. Jika bahan baku yang digunakan mempunyai kualitas yang baik
dan proses pembuatannya benar, maka roti yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang
baik pula. Jenis dan mutu produk bakery sangat bervariasi tergantung pada jenis bahan-bahan
dan formulasi yang digunakan dalam pembuatannya. Variasi pada produk ini diperlukan
untuk memenuhi adanya variasi selera dan daya beli konsumen. Setiap bahan juga
mempunyai karakteristik fisik, kimia, dan mekanik yang berbeda, demikian juga perubahan
sifat-sifat tersebut akibat pengolahan mungkin berbeda. Oleh karena itu sebelum mengetahui
cara pembuatan roti, terlebih dahulu mengenal jenis bahan yang digunakan, fungsi dalam
pembuatan roti, serta sifat-sifat yang dibutuhkan. Hal ini perlu diketahui untuk bisa memilih
bahan secara ekonomis dan mengendalikan mutu produk sesuai dengan keinginan.

B. Media Semi Padat


Media semi padat merupakan media yang mengandung agar kurang dari yang
seharusnya kurang lebih 0,3 - 0,4 %, sehingga media menjadi kenyal, tidak padat dan tidak
begitu cair. Umumnya digunakan untuk pertumbuhan mikroba yang banyak memerlukan air
dan hidup anerobik dan untuk melihat pergerakan mikroba. Kalau penambahan zat pemadat
hanya 50 % atau kurang dari seharusnya. Ini umumnya diperlukan untuk pertumbuhan
mikroba yang banyak memerlukan kandungan air dan hidup anaerobic atau fakultatif.
Media semi padat dibuat dengan tujuan supaya pertumbuhan mikroba dapat menyebar
ke seluruh media tetapi tidak mengalami pencampuran yang sempurna jika tergoyang.
Misalnya bakteri yang tumbuh pada media NFB (Nitrogen Free Bromthymol Blue). Media
semi padat akan membentuk cincin hijau kebiruan dibawah permukaan media, jika media ini
cair maka cincin ini dapat dengan mudah hancur. Media semi padat ini bertujuan untuk
mencegah/menekan difusi oksigen, misalnya pada media Nitrate Broth, kondisi anaerob atau
sedikit oksigen meningkatkan metabolisme nitrat tetapi bakteri ini juga diharuskan tumbuh
merata diseluruh media.
C. Media Cair
Media cair adalah salah satu cara membiakkan mikroba, medium ini berbentuk cair
yang dapat digunakan untuk tujuan menumbuhkan atau membiakan suatu mikroba, penelaah
fermentasi, uji-uji, dan mengidentifikasi jenis dari suatu mikroba. Media cair dapat bersifat
tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung pada kebutuhannya.
Media cair merupakan medi yang tidak ditambahkan bahan pemadat, umumnya
digunakan untuk pertumbuhan mikroalga. Kalau kedalam media tidak ditambahkan zat
pemadat, umumnya dipergunakan untuk pembiakkan mikroalge tetapi juga mikroba lain,
terutama bakteri dan ragi.
Fermentasi media cair secara aerobik merupakan metode fermentasi yang paling
banyak digunakan saat ini. Pada fermentasi media cair ini,

suhu yang melebihi suhu

optimum pertumbuhan mikroba dapat mengakibatkan rusaknya struktur protein dan DNA
yang berperan dalam metabolisme dan pertumbuhan sel. Pada suhu rendah aktivitas
metabolisme sel menurun dengan cepat sehingga metabolisme yang dihasilkan akan

menurun. Selama proses fermentasi pertumbuhan mikroba dapat menghasilkan produk yang
mengubah pH.
Contoh :
Contoh 1. Fermentasi pada Alkohol
Setelah air, alkohol merupakan zat pelarut dan bahan dasar paling umumyang
digunakan di laboratorium dan di dalam industri kimia.
Fermentasi alkohol etanol dilakukan baik oleh eukariota maupun prokariota.
Eukatiota yang paling sering dipakai sebagai fermentor etanol adalah khamir (Saccharomyces
spp). Prokariota yang sering digunakan dalam fermentasi etanol adalah Pseudomonas dan
Zymomonas mobilis.
Galur-galur terpilih Saccharomyces cerevisae (biasanya digunakan untuk fermentasi
lain). Kultur yang dipilih harus dapat tumbuh dengan baik dan mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap alkohol serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah banyak. Telah
dicurahkan perhatian terhadap seleksi dan pengembangan galur-galur khamir yang unggul
dalam ciri-ciri tersebut :
Reaksi :
C6H12O6 + Khamir 2 C5H5OH + 2 CO2
Khamir Saccharomyces cerevisae menggunakan jalur EMP dalam memfermentasikan
glukosa menjadi etanol pada kondisi netral atau sedikit asam dan anaerob. Pada kondisi
mikroaerofil S.cerevisae melakukan respirasi. Pada kondisi tersebut 10 % glukosa biasanya
direspirasi menjadi CO2. Fermentasi etanol oleh S.cerevisae menghasilkan etanol kurang dari
50 %. Pada kondisi aerob khamir melakukan respirasi. (Purwoko, 2007)
Terdapat perubahan produk pada fermentasi etanol akibat perubahan kondisi media.
Jika pada media terkandung natrium sulfid, maka akan menghasilkan gliserol sebagai produk
yang dominan. Hal itu karena asetaldehid terjerat oleh sulfid, sehingga menjadi bisulfid.
(Purwoko, 2007)

Pada kondisi itu asetaldehid tidak dapat menjadi akseptor elektron bagi NADH,
sehingga gliserol fosfat berperan sebagai akseptor elektron bagi NADH dan gliserol fosfat
diubah menjadi gliserol. Reaksi secara keseluruhan sebagai berikut :
C6H12O6

(glukosa)

HSO3-

(sulfid)

C3H8O3

CO2

C2H4O-.HSO3-

(gliserol)

(asetaldehidbisulfid)

Produk Fermentasi Alkohol


Bir, rum, wiski, anggur, dan minuman beralkohol lainnya merupakan produk
fermentasi khamir. Produk tersebut berbeda antara satu sama lain karena bahan mentah dan
galur khamir yang digunakan juga berbeda. Misalnya, rum adalah produk fermentasi jagung
dan/atau gandum hitam (rye), sedangkan anggur adalah produk fermentasi sari buah anggur.
Pada setiap contoh tersebut, digunakan khamir dari genus Saccharomycess untuk fermentasi
substratnya.

Perusahaan-perusahaan

amat

berhati-hati

didalam

usahanya

untuk

mengembangkan galur-galur khamir khusus yang dapat menghasilkan produk bermutu tinggi.
(Pelczar, 1988)
Hampir semua minuman keras beralkohol, pada kenyataannya merupakan produk
fermentasi khamir dari ekstrak air serealia. Bir dan minuman-minuman keras dibuat dari jelai
(barley) yang bertunas dan air serta diberi flavor dengan bunga betina dan tanaman hop.
Tahapan pertama dalam produksi bir adalah membuat jelai bertunas. Hal ini dilakukan
dengan cara merendam biji jelai dalam air 2 sampai 4 kali dengan penirisan setiap kali.
Pengelolaan ini dikenal sebagai perendaman (steeping) jelai dan bila dilakukan pada suhu 10
sampai 15 0C memakan waktu sekitar 2 sampai 3 hari. Selama perendaman biji-biji menyerap
air dan apabila kadar airnya mencapai 40 50 %, kemudian biji ini ditebarkan dilantai
dengan ketebalan sekitar 10 cm sampai 20 cm. Penyerapan air menyebabkan pertumbuhan
biji yang dapat dipercepat dengan penambahan hormon perangsang pertumbuhan pada
tanaman, gibberellins dengan kadar 1 ppm. Setelah kurang lebih 4 hari kecambah mulai
nampak dari biji-biji jelai dan sebelum sempat untuk tumbuh selanjutnya, biji-biji jelai ini
yang sekarang disebut malt dikeringkan dengan pemanasan. Selanjutnya malt tersebut
dipecah secara hati-hati dengan mesin (brewing) yang selanjutnya dikenal sebagai
pencampuran (mashing). Malt yang pecah disebut jelai giling. (Buckle, 2013)

Anda mungkin juga menyukai