Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efusi pleura


Efusi pleura adalah adanya cairan yang berlebih dalam rongga pleura baik
transudat maupun eksudat. (Smelter C Suzanne, 2001)
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi cairan yang
abnormal dalam rongga pleura. ( Brunner dan Suddarth, 2001)
Jadi kesimpulan efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau
penimbunan cairan yang berlebih dalam rongga pleura diantara permukaan viseral
dan parietal yang berupa transudat maupun eksudat.

Klasifikasi efusi pleura:


1. Efusi Pleura Transudat
Mekanisme terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan
hidrostatik (CHF), penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negatif
intra pleura yang meningkat (atelektasis akut).
Ciri-ciri cairan transudat:
Serosa jernih

Berat jenis rendah (<1,012)


Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
Protein <3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan
hydrothorak, biasanya disebabkan oleh:
Payah jantung
Penyakit ginjal (SN)
Penyakit hati (SH)
Hipoalbumin (malnutrisi, malabsorbsi)
2. Efusi Pleura Eksudat
Eksudat terbentuk akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang
berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (pneumonia) atau
drainase limfatik yang berkurang (obstruksi aliran limfa karena
karsinoma).
Ciri cairan eksudat:
Berat jenis >1,015%
Kadar protein >3% atau >30 g/dl
Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
LDH cairan pleura lebih besar 2/3 dari batas atas LDH serum
normal
Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
Kanker: karsinoma bronkogenik, mesotelioma, atau penyakit
metastatik ke paru atau permukaan pleura
Infark paru
Pneumonia
Pleuritis
Sifat Cairan Pleura Eksudat:
Apabila cairan eksudat berbau busuk kemungkinan
penyebabnya adalah infeksi kuman (mungkin anaerob).

Apabila

baunya seperti urine kemungkinan ada urinothorak. Eksudat yang


kemerahan

harus

diperiksa

hematokritnya

dan

bila

>50%

kesimpulannya adalah hematotorak. Apabila hematokrit kurang dari

1% arti klinisnya tak ada, sedangkan apabila > 1% kemungkinan


adalah keganasan, emboli paru atau efusi pleura oleh karena trauma.
Supernatan cairan pleura harus diperiksa apabila ada
kekeruhaan, cairaan seperti susu atau mengandung darah. Kekeruhan
yang hilaang setelah centrifuge disebabkan oleh adanya sel atau
jaringan rusak. Apabila dengan sentrifuge tetap keruh cairannya
adalah chylothorax atau pseudochylothorax. Cylothorax proses
penyakitnya akut, pleura tak menebal, tak didapat kristal kolesterol
serta kadar trigliserid nya melebihi 110 mg%. Pseudochylothorax
proses penyakitnya kronis, pleura menebal, didapaat kristal kolesterol
serta trigliseridn pleuranya tak meningkat.

Protein cairan pleura:


Peningkatan protein pada efusi pleura kadarnya sangat
bervariasi akan tetapi tak bisa dipakai sebagai pedoman diagnostik.
Akan tetapi apabila kadarnya melebihi 5g% kemungkinan tuberkulosa
lebih besar. Kadar protein yang kurang dari 0.5 g% kemungkinan
didapat pada urinothorak, peritoneal diaalysis, atau efusi pleura yang
timbul oleh karena kesalahan pemasangan intavascular catheter.
Lactate Dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura :
LDH menggambarkan permiabilitas membran yang bisa
dipakai pedoman untuk melihat tingkat inflamasi dari membran
tersebut. Dengan kata lain LDH bisa dipakai sebagai sarana evaluasi

aktifitaas penyakitnya. Meskipun demikian LDH tak bisa dipakai


sebagai pedoman untuk diagnostik penyebabnya.
Glukosa cairan pleura:
Kadar glukosa yang rendah disebabkan oleh karena adanya
penebalan pleura atau kenaikan metabolisme di caairan pleura. Kadar
gula < 60 mg% bisa didapatkan pada efusi parapnemoni, keganasan,
tuberkulosa, rheuma, hematothorak, paragonimiasis,atau Churg
Straauss syndrome. Pada penderita parapnemoni efusi pleura yang
kadar gulanya dibawah 40 mg% harus dipasang tube thoraaakostomi.
Akan tetapi pada penderita SLE kadar gula pleuraanya lebih besar dari
90 mg%. Pada penderita dengan efusi pleura ganas, kadar glukosa
cairan pleuranya rendah, biasanya sel ganas pada cairan pleura positip
dan atau hasil biopsi pleuranya didapat sel ganas. Pada penderita
tersebut biasanya mean survival nya dibawaah 2 bulan.
Amylase cairan pleura:
Pemeriksaan amylase sangat berguna untuk mengetaahui
penyebab efussi pleura eksudat. Peningkatan amylase didapat pada
perforasi

esophaguss,

penyakit

pankreas

dan

kegaanasan.

Peningkatan amylase terjadi 2 jam setelah adanya ruptur esophagus.


Didapat efusi pleura sampai 50% pada pankreatitis akut. Pada
umumnya gejala utama pankreatitis akut adalah sesak nafas dan nyeri
pleura. Pada beberapa kasus terjadi hubungan antara pseudo kista di
pankreas dengan rongga antarpleura sehingga menimbulkan efusi
pleura kronis tanpa gejala abdomen. Pada efusi pleura tersebut sering

dianggap oleh karena malignansi. Kadar amylasenya bisa sangat


tinggi yaaaitu > 4000 IU/ml.
Sel darah putih dan hitung jenisnya pada cairan pleura:
Jumlah sel darah putih pada cairan pleura mempunyai arti
diagnostik yang terbatas. Apabila jumlah sel darah putihnya kurang
dari 1000/l, cairannya adalah transudat dan bila lebih biasanya
cairannya eksudate. Apabila lebih dari 10000/ l, maka cairannya
empyema dan efusi para pnemoni akan tetaapi bisa juga didapat pada
pancreatitis, emboli paaru serta penyakit kolagen pembuluh darah dan
kadang bisa didaaapat pada keganasan serta tuberkulosa.
Hitung jenis sel darah putih lebih berarti dibanding dengan
jumlah sel darah putih cairan pleura. Kelainan akut yaitu pnemoni,
emboli paru, pancreatitis, abscess abdomen, dan tb paru tahap awal
akan menunjukkan PMN yang dominan, sedangkan pada kelainan
kronis misal tb paru akan menunjukkan mononuclear sel yang
dominan. Eosinofil 10 % lebih sering disebabkan oleh karena
radang akut tapi tidak bisa menyingkirkan adanya proses tb atau
keganasan. Sebagian besar cairan pleura dengan banyak eosinofil
biasanya juga didapat darah atau udara. Apabila pada pemeriksaan
awal tak didapat eosinofil tapi pada pemeriksaan berikutnya jadi
banyak, kemungkinan disebabkan oleh adanya minimal pnemotorak
pada waktu punksi.

Darah di cairan pleura biasanya dikaitkan dengan adanya


eosinofil pleura. Pada hemotorak oleh karena trauma eosinofil didapat
pada minggu ke 2. Keadaan tersebut disebabkan oleh karena produksi
IL-5 oleh CD4+ T sel di rongga pleura. Eosinofil di cairan pleura oleh
karena hematotorak ada hubungan dengan eosinofil di darah. Cairan
pleura mengandung darah yang timbul oleh karena emboli paru sangat
banyak mengandung eosinofil.
Penyebab lain dari eosinofil di pleura adalah asbestosis (52%),
reaksi obat nitrofurantoin atau dantrolene, paragonimiasis (khas
disertai glukosa rendah,pH rendah dan LDH tinggi),serta Churg
Strauss syndrome.
Mesothel jarang sekali didapat pada efusi pleura oleh karena tb
hanya 1 dari 65 penderita didapat 1 mesothel dalam 1000 sel.
Mesothel juga jarang didapat pada keadaan pleura ditutup oleh fibrin
misal pada prapnemoni.
Apabila lebih dari 50% sel darah putihnya adalah lymphocyt
penyebabnya adalah tb. Apabila didapat lymphocyte lebih dari 50 %
sel diagnosa tb bisa dipastikan dengan biopsi pleura. Membedakan T
dan B lymphocyte di pleura tak banyak mempunyai arti diagnostik
sebab biasanya cairan pleura sel lymphocyte nya 70 % T, 10% B dan
20% nul sel. Hanya pada chronic lymphocytic leukemia atau
lymphoma mempunyai arti diagnostik oleh karena pada keduanya
tipe selnya sama.

Sitologi pada cairan pleura:


Pemeriksaan sitologi dilakukan apabila dengan pemeriksaan
lain tetap tak bisa tegak diagnosanya. Sekali pemeriksaan pada
keganasan akan mendapatkan sel ganas pada 60% kasus sedang
apabila pemeriksaannya diulang beberapa kali bisa meningkat menjadi
90%. Pada malignant pleural efusion didapatkan 40-87% penyebabnya
adalah keganasan. Angka ini dipengaruhi oleh tipe sel. Hodgkins dis
hanya 25% positip.
Sel ganas tak hanya didapat pada efusi pleura, pada tumor paru
stadium 1 yang dilakukan lavage rongga pleura 14 % nya didapat sel
ganas. Hal ini memperjelas survival rate yang rendah pada operasi
tumor paru meskipun stadiumnya rendah.
2.2 Efusi Pleura Ganas
Efusi pleura ganas adalah masalah klinis yang sering terjadi pada kasus
kanker. Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang terjadi berhubungan
dengan keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan
sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Kenyataannya sel ganas tidak dapat
ditemukan pada sekitar 25% kasus efusi pleura yang berhubungan dengan
penyakit keganasan, sehingga jika hanya menggunakan definisi di atas dapat
terjadi kekeliruan pada kasus dengan sitologi / histologi negatif.
Pada kasus efusi pleura bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau
hasil biopsi pleura tetapi ditemukan kanker primer di paru atau organ lain,
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) memasukkannya sebagai efusi pleura ganas. Pada

beberapa kasus, diagnosis efusi pleura ganas didasarkan pada sifat keganasan
secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/ hemoragik, berulang,
masif, tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat produktif meskipun telah
dilakukan

torakosentesis

untuk

mengurangi

volume

cairan

intrapleura.

(Syahruddin E dkk; 2009)


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia mendefinisikan efusi pleura ganas yaitu :
(Subagyo; 1998)
a. Efusi pleura yang terbukti ganas secara sitologi (cairan pleura) atau
histologi (biopsi pleura)
b. Efusi pleura pada pasien dengan riwayat atau bukti yang jelas terdapat
keganasan organ intratoraks maupun ekstratoraks
Efusi pleura yang sifat keganasannya hanya dapat dibuktikan secara klinis,
yaitu hemoragis, masif, berulang dan tidak responsif terhadap pengobatan
antiinfeksi
Efusi pleura ganas merupakan masalah klinis di dunia, dimana diestimasi
ada sekitar 200.000 pasien di Amerika Serikat yang mengalami efusi pleura ganas.
Meskipun belum ada penelitian epidemiologi untuk efusi pleura ganas tetapi
insidensinya dapat diestimasi berdasarkan data-data yang ada yaitu sekitar 15%
dari seluruh penyakit keganasan. Efusi pleura ganas dapat disebabkan oleh hampir
semua jenis keganasan, hampir sepertiga kasus efusi pleura ganas disebabkan oleh
kanker paru. (Syahruddin E dkk; 2009)

Efusi pleura ganas sering ditemukan pada kanker paru jenis


adenosarkoma (40%), sel skuamosa (23%) dan karsinoma sel kecil (17,6%).
(Subagyo dkk; 1998)
2.3 Patofisiologi
Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan kadar
protein rendah (<1,5g/dl) yang dibentuk oleh pleura viseral dan parietal. Cairan
kemudian diserap oleh pleura parietal melalui pembuluh limfe dan pleura viseral
melalui pembuluh darah mikro. Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam hampir
sama dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura volume cairan
pleura lebih kurang 10 20 ml. Mekanisme ini mengikuti hukum Starling yaitu
jumlah pembentukan dan pengeluaran seimbang sehingga volume dalam rongga
pleura tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak
dengan leluasa saat bernapas. (De Camp MM dkk; 1997, Light, Broaddus; 2000,
Light; 2000)
Patofisiologi efusi pleura ganas belum jelas benar tetapi berkembang
beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme efusi pleura ganas itu.
Akumulasi efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel
kanker pada pleura parietal dan/ atau viseral. Mekanisme lain yang mungkin
adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi pada
kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer pleura (mesotelioma).
Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat
deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori
lain menyebutkan terjadi peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh

gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing factor- (TNF-),
tumor growth factor- (TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).
Penulis lain mengaitkan efusi pleura ganas dengan gangguan metabolisme,
menyebabkan

hipoproteinemia

dan

penurunan

tekanan

osmotik

yang

memudahkan perembesan cairan ke rongga pleura. (Syahruddin E dkk; 2009)

2.4 Epidemiologi
Efusi pleura ganas terjadi paling banyak disebabkan oleh metastase tumor
di pleura yang berasal dari kanker paru dan kanker payudara sekitar 50 65%.
Kanker lain adalah limfoma, kanker yang berasal dari sistem gastrointestinal dan
genitourinaria sebanyak 25% sedangkan 7 - 15% tidak diketahui asalnya.
(Antunes, Neville; 2000)
Jenis Keganasan
Kanker paru

Insidens (%)
35

Kanker payudara

23

Adenokarsinoma

12

Leukemia/ limfoma

10

Traktus reproduksi

Traktus gastrointestinal

Traktus genitourinari

Primer tidak diketahui

Lain-lain
2.5 Diagnosis

Diagnosis efusi pleura ganas dengan mudah dan cepat dapat ditegakkan
hanya dengan prosedur diagnosa dan alat bantu diagnostik yang sederhana,
misalnya berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis, foto toraks dan torakosentesis
saja.

Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia

dalam

alur

diagnosa

dan

penatalaksanaannya menuliskan langkah awal yang paling penting untuk


diagnosis efusi pleura ganas adalah memastikan apakah cairan bersifat eksudat
dan/atau menemukan tumor primer di paru atau organ lain. Selain itu disingkirkan
juga penyebab lain misalnya pleuritis akibat infeksi bakteri atau penyakit
nonkeganasan lain. (Syahrudin E dkk, 2001)
Kebanyakan kasus efusi pleura ganas simptomatis meskipun sekitar 15%
datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500ml.
Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus efusi pleura ganas terutama jika
volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru
dan dinding dada karena penurunan keteregangan (compliance) paru, penurunan
volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah kontralateral dan
penekanan diafragma ipsilateral. Estenne dkk menyimpulkan bahwa meskipun
terjadi perubahan fungsi paru pada penderita efusi pleura ganas misalnya
perubahan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja
belum memadai untuk dapat menjelaskan mekanisme sesak. Mereka membuat
hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena berkurangnya kemampuan
meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks oleh cairan. Gejala lain
adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal terutama
pada mesotelioma, batuk, batuk darah (pada karsinoma bronkogenik), anoreksia
dan berat badan turun. (Syahruddin E dkk; 2009)

Kelainan jasmani pada pemeriksaan jasmani timbul pada efusi pleura yang
mencapai volume 300 ml. Kelainan tersebut meliputi penurunan suara nafas yang
ditandai dengan perkusi redup, penurunan fremitus raba, pleural friction rub dan
pergeseran batas mediastinum kearah kontralateral efusi. (Rubins J, Colice G;
2001)
Foto toraks posteroanterior (PA) dibutuhkan untuk menyokong dugaan
efusi pleura pada pemeriksaan fisik dan jika volume cairan tidak terlalu banyak
dibutuhkan foto toraks lateral untuk menentukan lokasi cairan secara lebih tepat.
USG toraks sangat membantu untuk memastikan cairan dan sekaligus
memberikan penanda (marker) lokasi untuk torakosintesis dan biopsi pleura. Pada
efusi pleura ganas dengan volume cairan sedikit dan tidak terlihat pada foto toraks
dapat dideteksi dengan CT-scan toraks. Magnetic resonance imaging (MRI) tidak
terlalu dibutuhkan kecuali untuk evaluasi keterlibatan dinding dada atau ekstensi
transdiafragmatic pada kasus mesotelioma dan prediksi untuk pembedahan.
Diagnosa pasti efusi pleura ganas adalah dengan penemuan sel ganas pada cairan
pleura (sitologi) atau jaringan pleura (histologi patologi). Jika dengan pencitraan
tidak ditemukan tumor primer intratoraks maka perlu dilakukan bronkoskopi
untuk melihat tanda keganasan (mukosa infiltratif atau tumor primer) pada lumen
bronkus atau penekanan dinding bronkus oleh massa sentral di rongga toraks.
(Syahruddin E dkk; 2009)
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efusi pleura ganas harus segera dilakukan sebagai terapi
paliatif setelah diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera
ini adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan

kualitas hidup pasien. (Syahruddin E dkk; 2009) Menurut Perhimpuan Dokter


Paru Indonesia, efusi pleura ganas dengan cairan masif yang menimbulkan gejala
klinis sehingga mengganggu kualitas hidup penderita maka dapat dilakukan
torakosintesis berulang atau jika perlu dengan pemasangan water sealed drainage
(WSD). Pada kasus-kasus tertentu harus dilakukan pleurodesis yaitu dengan
memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura. Intervensi bedah dilakukan jika
semua usaha telah dilakukan dan gagal. (Syahruddin E dkk; 2009)
Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dan parietalis baik secara
kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Pleurodesis merupakan terapi
simptomatis jangka panjang serta diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup
dan aktivitas kehidupan sehari-hari, sehingga pleurodesis dapat dilakukan untuk
terapi paliatif penderita efusi pleura ganas. .(Amin Z, Masna IAK; 2007, Das dkk;
2008, Dikensoy, Light; 2005, Rodriguez - Panadero F and Antony VB; 1997)
Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah
berulangnya efusi pleura (terutama bila terjadi dengan cepat), torakosintesis, atau
pemasangan selang dada berikutnya serta menghindari morbiditas yang berkaitan
dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis,
pneumonia, insuffisiensi respirasi, tension pneumothorax). (Amin Z, Masna IAK;
2007)
Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis, kriteria pemilihan pasien
merupakan hal yang sering diperdebatkan serta menentukan keberhasilan tindakan
pleurodesis. (Amin Z, Masna IAK; 2007)

Teknik Pleurodesis
Teknik pleurodesis diklasifikasikan menjadi 2 aspek , yaitu :
1. Aspek Mekanis
Untuk menghasilkan perlekatan antara lapisan pleura parietal dengan
pleura viseralis diperlukan evakuasi udara dan cairan secara sempurna.
Obstruksi oleh bekuan dapat dicegah dengan penggunaan selang dada.
Penggunaan selang dada yang dipasang sebelum tindakan dilakukan, serta
meninggalkannya beberapa waktu (untuk monitoring paska tindakan)
dapat meningkatkan keberhasilan.
2. Aspek Biologis
Agar terjadi perlekatan yang sempurna, permukaan pleura harus teriritasi
baik secara mekanik maupun dengan pemberian agen sklerosis. Selain itu,
telah berkembang konsep baru yaitu peran fungsional respon mesothelium
terhadap stimulus sklerosis.
Agen Sklerosis
Agen sklerosis ideal yang dapat digunakan untuk pleurodesis harus efektif,
murah, aman dan mudah diperoleh. Namun tidak ada agen yang ideal, semuanya
berbeda tingkat keberhasilan dan efek samping yang timbul. Ada lebih dari 30
jenis agen sklerosis yang digunakan untuk prosedur pleurodesis, diantaranya
adalah povidon iodin dan bleomycin. (Amin Z, Masna IAK; 2007)
1. Povidon Iodin
Povidon iodin merupakan antiseptik topikal. Povidon iodin merupakan
bahan yang efektif, murah, aman dan mudah diperoleh. Povidon iodin
diabsobsi dengan baik pada permukaan mukosa yang mungkin berperan

sampai 104 meningkatnya konsentrasi serum iodin dibandingkan nilai


normal. Povidon iodin mungkin diabsorbsi oleh kelenjar tiroid dan
mungkin muncul pada saliva, keringat dan susu. Povidon iodin mengalami
paling

sedikit

Meknisme.dengan

metabolisme
menggunakan

dan

dieksresikan

povidon

iodin

melalui
dimana

urine.
aktivitas

pleurodesis tidak diketahui. Ini mungkin berhubungan dengan rendahnya


pH cairan sklerosing (pH 2,97). (Dikensoy,Light; 2005, Olivares-Torres
dkk; 2002)
2. Bleomycin
Agen lain yang sering direkomendasikan untuk pleurodesis adalah
bleomycin. Bleomycin adalah antibiotik-antineoplastik dari streptomyces
verticillus yang mengikat DNA menimbulkan kerusakan, hingga
menghambat sintesa DNA. Bleomycin digunakan secara luas karena ini
merupakan bahan sklerosis untuk pleurodesis, dan sukses dalam
mengontrol efusi pleura ganas pada beberapa percobaan yang telah
dipublikasikan. Ini dihubungkan dengan reaksi toksik yang minimal. Dosis
yang direkomendasikan 60 IU bleomycin dicampur dengan 50-100 ml
saline steril. Bleomycin relatif lebih mahal dibandingkan dengan agen
sklerosis lain. Mekanisme aksi bleomycin terutama sebagai sklerosis kimia
sama dengan talc dan tetrasiklin. Meskipun 45% pemberian bleomycin
diabsorbsi secara sistemik, ini ditunjukkan dengan menyebabkan minimal
atau tidak ada myelosupresi. Bleomycin merupakan agen sklerosis yang
efektif dengan angka kesuksesan setelah pemberian antara 58-85% dengan

rata-rata 61%. Efek samping yang terjadi adalah demam, sakit dada, dan
mual. (Antunes dkk; 2003)
Definisi Sukses atau Gagalnya pleurodesis pada Efusi Pleura Ganas
Rendahnya pH cairan pleura (nilai pada atau dibawah pH 7,28 )
merupakan tanda terjadinya peningkatan aktivitas metabolik dari kumpulan
tumor pleura, yang berhubungan dengan peningkatan bagian terbesar tumor,
rendahnya pH cairan pleura diperediksi pleurodesis gagal pada efusi pleura
ganas. (Venugopal; 2007)
Baru-baru ini, Joint Task Force dari American Thoracic Society and
European Respiratory Society membuat suatu penyataan tentang konsensus
pengelolaan efusi pleura ganas. Menurut pernyataan ini defenisi ini
diusulkan
a. Sukses Pleurodesis :
- Sukses komplit : Membaiknya gejala jangka panjang berhubungan
dengan efusi tersebut, dimana tidak adanya cairan terakumulasi kembali
terlihat dari foto toraks sampai pasien mati.
- Sukses partial : Berkurangnya sesak nafas berhubungan dengan efusi
tersebut, dimana cairan terakumulasi kembali kurang dari 50 % terlihat
secara foto toraks dan tidak lagi diperlukan tindakan torakosintesis pada
pasien selama hidup.
b. Gagal Pleurodesis : Tidak berhasil pleurodesis, tidak seperti yang
didefinisikan diatas.
Pleurodesis merupakan tindakan yang invasif sehingga tidak
dianjurkan untuk pasien dengan harapan hidup yang singkat. Parameter

klinis seperti indeks Karnofsky dapat membantu pengambilan keputusan.


Selain itu, berdasarkan penelitian, pemeriksaan pH dan kadar gula pada
cairan pleura juga dapat membantu pengambilan keputusan. Kadar pH <
7,20 dan kadar gula < 60 mg/dl telah dihubungkan dengan harapan hidup
yang singkat (rerata harapan hidup hanya 1,9 bulan). Pada kasus tersebut,
torakosintesis berulang dapat menjadi tindakan alternatif.
Kontra Indikasi Pleurodesis (Amin Z, Masna IAK; 2007)
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk pleurodesis. Meskipun
demikian, perlu dipertimbangkan kemungkinan tingkat keberhasilan
prosedur pada pasien serta risiko dilakukannya prosedur agar pasien
mendapat manfaat optimal dari tindakan yang dilakukan. Beberapa
keadaan yang dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif pleurodesis
meliputi :
1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan
2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura
3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan terapi
sistemik (kanker mammae, dll)
4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit atau keberatan
terhadap rasa tidak nyaman di dada karena selang torakostomi
5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah
pengeluaran semua cairan pleura (trapped lung)
Komplikasi yang mungkin timbul setelah pleurodesis (Amin Z, Masna
IAK; 2009)
1. Nyeri

2. Takikardia, takipnea, pneumonitis, atau gagal napas, edema paru


reekspansi. Umumnya keadaan ini bersifat reversibel.
3. Demam. Biasanya berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam <48 jam
4. Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung
5. Reaksi terhadap obat
6. Shock neurogenik

Anda mungkin juga menyukai