Anda di halaman 1dari 36

TINJAUAN PUSTAKA

EFUSI PLEURA

A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml.
B. ETIOLOGI
Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya
untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya
pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah
pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura
eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif
dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase
(LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi
paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura
transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

Efusi pleura berupa:


a) Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan
protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena
adanya peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah
bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 1006000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise,
mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan
dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-

lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan


metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis

karena

fungi

penyebabnya:

Aktinomikosis,

Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat


terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat
juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya
cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis
perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga
pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang
yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris,
penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan
ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah sesak dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali
dengan cepat walaupun dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup

tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura


dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,
abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini
dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada
empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi
untuk

dilakukannya

tube

thoracostomy

pada

pasien

dengan

efusi

parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura


Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik


yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis

Rheumatoid,

Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.
b). Transudat,
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik
dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu
sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi
pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan
kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura, (4)
Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik
dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada

pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan


menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura
dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh
rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang
agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi
pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan
jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga
segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila
penderita amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan
diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah
dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang
kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi
kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila
penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada
alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah
pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)
dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa
dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4. Meigs Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul
karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya

terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal
ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan
samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisa.
Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak
yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena
faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan
pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal
dari trauma dinding dada.
C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan
proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara
patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura yaitu;
1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura


Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis
peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium

tuberculosis

dan

dikenal

sebagai

pleuritis

eksudativa

tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau


eksudatif.
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejalagejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada
neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat
yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan
b. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal
atau taktil pada sisi yang sakit
Perkusi. Pekak pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus. Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit
yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk.
Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang
inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya

dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke


daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.
Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan
akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat
dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak
sudut kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.
2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya
tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan
pleura dilakukan pemeriksaan:

10

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (seroussantrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark
paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig
kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat
menunjukkan abses karena amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya
dapat dilihat pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel
patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme
5.

berupa

kuman

aerob

atau

anaerob. Paling

sering

Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.


Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

E. DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.

11

F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.

Gambar 2. Metode torakosentesis

12

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada


setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada
satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock
(hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paruparu mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui
betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi
dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler
yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi
yang

berat,

dan

hipotensi..

Komplikasi

torakosintesis

adalah:

pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura viseralis.


4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9
linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea
medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal
selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi
selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.

13

Gambar 3. Pemasangan jarum WSD


h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah
sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin,
dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya,
obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 7-10 hari;
pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan
terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang
dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050
ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui
selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal
untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri

14

yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum
pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks
diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin
merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam
cairan tidak keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis
adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.

TINJAUAN PUSTAKA
ASITES
I. Definisi
Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam rongga
peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit
kronis yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis.
II. Pengelompokan
Berdasarkan jumlahnya ada tingkatan:
Grade 1: Sedang, hanya tampak pada pemeriksaan USG
Grade 2: dapat terdeteksi dengan pemeriksaan puddle sign dan shifting
dullness
Grade 3: tampak dari pemeriksaan inspeksi, dapat dikonfirmasi dengan tes
undulasi
Secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat dan transudat:
Asites eksudatif:

15

Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya


pada tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi
protein, tinggi LDH, ph rendah (<7,3), rendah kadar gula, disertai
peningkatan sel darah putih.
Beberapa penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun
metastasis), infeksi (tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan),
pankretitis, serositis, dan sindroma nefrotik.
Asites transudatif:
Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natrium ginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium
dan sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein
rendah (<30g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah
putih kurang dari 1 sel per 1000 mm.
Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal
jantung, penyakit vena oklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.
III.

Patofisiologi
Ada 3 kondisi yang memungkinkan terjadinya asites, yaitu:
Hipoalbumin
Retensi natrium dan air
ada tiga teori yang menyebabkan, yaitu underfill, overflow, dan vasodilatasi
perifer
Sintesis dan aliran limfe yang meningkat

IV.Gambaran Klinis
Pada asites derajat sedang sulit untuk dideteksi, tapi pada derajat yang
lebih berat bisa menimbulkan distensi abdomen. Pasien dengan asites biasanya
akan mengeluh perutnya yang bertambah berat dan tekanan yang meningkat,
yang berakibat terjadinya napas pendek (shortness of breath) karena
keterbatasan gerak dari diafragma.
Dari pemeriksaan fisik, ada tiga pemeriksaan yang dapat dilakukan
berdasar jumlah cairan asites. Pada asites yang minimal dapat dilakukan
pemeriksaan puddle sign, untuk derajat yang lebih berat dapat dilakukan
pemeriksaan shifting dullness dan tes undulasi (pada asites yang berjumlah 1,5
sampai 2 liter).

16

V. Pemeriksaan Penunjang
Analisa cairan asites
Untuk memeriksa warna, kadar protein, hitung sel bakteri, dan
keganasan. Asites biasanya berwarna kekuningan pada sirosis, kemerahan
pada keganasan, dan keruh pada infeksi. Hitung leukosit adalah >250
PMN/mL pada peritonitis bakterialis. Pemeriksaan sitologi bisa menegakkan
diagnosis keganasan. Pada pankreatitis juga bisa terjadi asites, jadi amilase
harus diukur.
USG abdomen
Digunakan untuk mengukur ukuran hati (kecil pada sirosis), tandatanda hipertensi portal (splenomegali), dan lebamya vena portal dan vena
hepatika (untuk menyingkirkan dugaan trombosis vena hepatika dan
sindrom Budd-Chiari). Juga bermanfaat untuk menemukan kelainan fokal
(mengarahkan dugaan ke keganasan diseminata) dan untuk diagnosis tumor
intraabdomen (misalnya tumor ovarium).
Tes darah
Tes biokimia dan tes fungsi hati untuk mencari penanda sirosis hepatis
(kadar

albumin

rendah,

hiperbilirubinemia,

kenaikan

enzim

hati,

trombositopenia, dan lain-lain). Pemeriksaan penanda tumor jika ada


dugaan keganasan (terutama -fetoprotein untuk hepatoma, CA 125 untuk
kanker ovarium)
VI.
Tatalaksana
Asites eksudatif: obati penyakit yang mendasari
Peritonitis bakterialis:
diberikan antibiotik. Pada asites dengan
kadar protein rendah bisa diberikan antibiotik
Pada keganasan:

profilaksis.
obati keganasan yang menjadi penyebab (paling

sering kanker ovarium). Umumnya harus dilakukan


parasentesis terapeutik untuk mengurangi gejala. Pintasan
peritovena dengan pembedahan (shunt LeVeen) jarang
dilakukan.
Asites transudatif
Diberikan pengobatan untuk penyakit dasar, dan dapat dipertimbangkan
untuk melakukan:

17

restriksi cairan dan garam,biasanya cukup dengan restriksi cairan sampai

l-I,5/hari dan diet tanpa tambahan garam


pemberian diuretik, umumnya digunakan spironolakton dengan atau

tanpa furosemid
parasentesis terapeutik untuk asites refrakter (yaitu asites yang tidak
merespons terhadap terapi diuretik atau mengalami efek samping yang
tak bisa dihindari, hiponatremia, ensefalopati, dan lain-lain). Indikasi
parasentesis: asites permagna, ada edema tungkai, derajat Child B (pada
sirosis hepatis), protombin >40%, bilirubin serum <10, trombosit
>40.000, serum kreatinin <3.

VII. Komplikasi
Peritonitis bakterial spontan:
Adalah suatu bentuk peritonitis yang timbul pada pasien dengan sirosis
dan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik. Sering terjadi pada 10-30%
penderita asites yang dirawat di rumah sakit. Gejala yang dikeluhkan pasien
meliputi demam, menggigil, mual, muntah, kaku pada dinding perut, dan
lemah badan. Pada pemeriksaan fisik bisa didapat nyeri tekan dan nyeri tekan
lepas, redup hepar yang menghilang, dan penurunan status mental. Gejala
lanjutan dapat berupa nyeri perut dan asites yang membesar. Seluruh
penderita peritonitis bakterial spontan harus menjalani parasentesis untuk
menegakkan diagnosisnya. Secara epidemiologi, 70% dari analisis cairan
asites penderita peritonitis bakterial spontan merupakan gram negatif,
sedangkan 30% merupakan golongan kokus gram positif. Dari analisis cairan
asites, dikatakan terjadi peritonitis bakterial spontan apabila jumlah PMN
>250

mm2.

Tatalaksana

pada

peritonitis

bakterial

spontan

yang

monomikrobial dapat diberikan cefalosforin generasi III, dan apabila


polimikrobial dapat diberikan cefalosforin generasi III yang dikombinasi
dengan metronidazol.

18

TINJAUAN PUSTAKA
SIROSIS HEPATIS

DEFINISI
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini
terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai
deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskuler, dan regenerasi nodularis parenkim
hati.
ETIOLOGI
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolik
4. Kolestasis
5. Sumbatan saluran vena hepatica
6. Payah jantung
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lainlain)
8. Kryptogenik/tidak diketahui
PATOFISIOLOGI
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab, kejadian tersebut dapat
terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan
hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alkohol aktif. Hati kemudian
merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang
mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam
membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata
membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan

19

pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata
menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh
hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera
berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth
facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan
pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi
kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut.
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya
ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti
endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen
mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal
Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan
penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke
sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang
besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga
menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat
menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab
terjadinya manifestasi klinis.
MANIFESTASI KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan
penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah
dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung , mual, berat badan
menurun, pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejalagejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam
tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah,
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena.

20

Temuan klinis
Spider angioma-spiderangiomata: lesi vascular yang dikelilingi beberapa venavena kecil. Tanda ini seringditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Tanda ini
juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat bahkan ditemukan pula pada
orang sehat, walau umumnya ukurannya kecil.
Eritema Palmaris: warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan.
Berkaitan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini tidak
spesifik pada sirosis.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula
mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstedion.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Menonjol
pada sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali pada awal sirosis, bila hepar sudah mengkerut maka prognosisnya
buruk.
Splenomegali , Asites, serta Ikterus
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah (DL, SGOT, SGPT, bilirubin direk, indirek,
seromarker : hepatitis/HBsAg), Rasio globulin dan albumin yang terbalik.
2. USG abdomen dapat menilai hepar, asites, splenomegali, thrombosis vena
porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien
sirosis. Biopsi hati, analisis cairan asites
KOMPLIKASI
Hipertensi portal, hematemesis melena, sindroma hepatorenal, gangguan
hemostasis, ensefalopati hepatikum.

21

TERAPI
Non Farmakologis
1). Bed rest
2). Diet rendah protein (1 g/kg/hari)
3). Tinggi kalori (2000 kalori)
4). Diet rendah garam (200-500 mg/hari)
5). Pembatasan aktivitas
6). Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial
berantai cabang dan glukosa.
Farmakologis (mengatasi penyulit/komplikasi):
Asites

: obat-obat diuretik (spironolakton, furosemid)


Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran
asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin.

Ensefalopati hepatik : laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.


Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus
penghasil amonia.
Varises esofagus

: sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan


obat penyekat beta propanolol.

PEMANTAUAN
Penilaian kesadaran, pernafasan, suhu badan, derajat ikterus, besar liver,

lien

Gejala perdarahan terutama dari saluran cerna.

Laboratorium

PROGNOSIS
Dubia ad malam

22

BAB III
PEMBAHASAN PENYAKIT
3.1 Definisi
Gagal Jantung Kongestif (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
3.2 Etiologi

3.3 Kriteria

23

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, EKG/foto


thorax, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif

Major atau Minor


Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor
3.4 Klasifikasi
1. Klasifikasi Gagal jantung sistolik dan diastolic
a. gagal jantung sistolik
gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung untuk
mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya
penekanan kontraktilitas darah keseluruh miokard. Gagal jantung sistolik
akut terlihat pada miokarditis akibat virus, keracunan alcohol, dan anemia,
sedangkan gagal jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati
atau infark miokard.
b. gagal jantung diastolik
gagal jantung diastolic terjadi akibat dari pengisian jantung yang terganggu.
Hal ini biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat mekanisme patologi
yang dihasilkan pada gagal jantung jenis ii telah diketahui.

24

- Penyakit struktural
Kerusakan katup jantung
Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik
Efusi pericardial
- Abnormal fisiologis
Peningkatan volume sistolik akhir
Pengurangan waktu pengisisan sebagaimana tampak pada takikardia
- Abnormalitas non-miosit
Peningkatan jaringan ikat
Perikarditis kontriktif
- Abnormalitas miosit
1.

Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan New York Association


(NYHA) :

2.

Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan American Heart


AAssociation (AHA)

25

3.5 Gejala Klinik


Pada tahap simtomatik di mana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas
seperti cepat capek (fatik), sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea),
kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali dan edema
sudah jelas maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom
tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV
dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang
hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen,
ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

26

Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan


untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1.

Elektro kardiogram (EKG)


Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial.

2.

Scan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .

3.

Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram


dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.

4.

Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.

5.

Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.

6.

enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.

7.

Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretik.

8.

Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif
akut menjadi kronis.

9.

Analisa gas darah (AGD)


Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).

10.

Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin


Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik
BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.

27

11.

Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongestif.

3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum, tanpa obat obatan :

Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta


upaya bila timbul keluhan, dasar pengobatan

Istirahat, olahraga, aktivitas sehari hari, edukasi aktivitas seksual, serta


rehabilitasi

Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol

Monitor BB, hati hati dengan kenaikan berat badan yang tiba tiba

< BB pada pasien dengan obesitas

Hentikan kebiasaan merokok

Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan


humiditas memerlukan perhatian khusus

Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat


obatan tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem,
dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

Pemakaian Obat - obatan


Diuretic oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak
pengobatan gagal jantung sampai dengan edema atau asites hilang (tercapai
euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil
dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil
sampai optimal dapat dimulai setelah diuretic dan ACE-inhibitor tersebut
diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia-supraventrikuler (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang memuaskan.
Intoksikasi

digitalis

sangat

mudah

terjadi

bila

fungsi

ginjal

28

menurun(ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3,5


m3q/L)
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada
pasien dengan hipokalemia dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
angka mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat obatan dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti Brain
Natriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat bantu
seperti Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) maupun pembedahan,
pemasangan ICD sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat
iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas
hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard masih
terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan
dengan mengganti miokard yang rusak dan masih penelitian lanjut.

29

DAFTAR PUSTAKA

1.

Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS.


Jakarta : 2008.

2.

Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.


EMS. Jakarta : 2008.

3.

Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.

4.

Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

5.

Maryani.

2008.

Efusi

Pleura.

Diakses

dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 03


Mei 2011
6.

Ewingsa.

2009.

Efusi

Pleura.

Diakses

dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal


03 Mei 2011
7. Nurdjanah S. Sirosis hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 2007.
Balai Penerbit FK UI Jakarta.
8. Mansjoer, Arif, Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis.
Jakarta.
9. Guyton & Hall. 1999. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC.
Jakarta.
10. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung dalam : Ilmu Penyakit Dalam.
Balai penerbit FKUI. Jakarta. Hal 193 204
11. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York.
2008
12. Hanoko

S.

2010.

Gagal

Jantung.

http://annsilva.wordpress.com/2010/03/27/gagal-jantung/

30

31

Summary on database
Anamnesa

Laki-laki

Laki-laki usia 56 tahun


Sesak nafas 7 hari
Batuk

Clue and Cue

Problem list

usia

56

tahun

Pleura

Sesak nafas 7 hari

berdahak/darah 7

Dada kanan terasa sakit

hari

kaki

sakit

Riwayat

penyakit Pem fisik Thorak


Pulmo

yang lalu.

Inspeksi

Sering minum jamu

:
:

dada

Thorak

tertinggal.

Papilla
hitam (+)

Pulmo

mammae

Hepatis

Ro Thorak

Oksigen

Planning

Monitoring
4 TTV

lit/mnt

Keluhan sesak

Infus RL 10 Ro Thorak

EKG
Torakosintesis

tts/mnt

Laboratorium

Torakosintesis

DL,

Planning

Kimia

Oxtercid

3x750 mg

darah

Pemeriksaan fisik

Failure

USG Abdomen

Planning Therapy

dada

kanan tertinggal,
Palpasi

Merokok

Hearth

Planing diagnosis

cairan Efusi

Riwayat bengkak pada Dada kanan terasa

jantung dan paru 5 th

1) Congestive

2) Sirosis

berdahak/darah Batuk

7 hari

Efusi

Initial diagnosis

gerakan
kanan

Stemfremitus kanan
menurun
Perkusi : dada kanan

32

Edukasi
Tirah
baring
Diet
rendah
garam
Posisi
semi
fowler
Berhenti
merokok
Olahraga
ringan
bilaa
kondisi
klinis
sudah
membaik

Inspeksi : dada kanan

Auskultasi : Suara

tertinggal
Palpasi : gerakan dada
Stemfremitus

kanan

nafas

tambahan (-)
Pemeriksaan

menurun
Perkusi : dada kanan

penunjang :
Ro Thorak : efusi

pekak
Auskultasi : Suara nafas
kanan turun, suara nafas

plura
Torakosintesis

cairan pleura (+)

tambahan (-)

Lab cairan efusi :

Cor
Inspeksi : ictus cordis
terlihat

Kejernihan : jernih
Warna : Kuning

Palpasi : ictus cordis

Bekuan : BJ : 1005

teraba, trill (+)


Perkusi : batas jantung

PMN : 30 %
MN 70 %

kiri bergeser
sitolik (+)

nafas kanan turun,


suara

kanan tertinggal

Aukultasi

pekak

bising

Kimia
Protein 2,32 g/dl

33

Abdomen

Glukosa 122 mg/dl

Inspeksi

membuncit,
vena

Perut
pelebaran

(caput

LDH 136 U/L


Tes Rivalta : Negatif

medusa)

(+), umbilicus terdorong Perut terasa ampek


kearah kaudal, Hernia Pem fisik Abdomen
Inspeksi

umbilicis
Auskultasi : bising usus

pelebaran

Palpasi : Undulasi (+)


:

Shifting

USG Abdomen

mg 1-0-0

EKG

Fagoksin

Hearth Failure Parasintesis


Laboratorium

vena

DL,
darah

Kimia

Keluhan sesak
tab Ro Thorak

Tirah
baring
Diet
rendah
garam

0.25mg 1x1
HCT 50 mg 1x1
Aspar-K tab 300
mg 3x1
Parasintesis

Palpasi : Undulasi
(+)
Perkusi : Shifting
dullness (+)

Kardiomegali dengan
Efusi pleura dextra

2. Congestive

USG Abdomen

(+)

Ro Thorak :

efusi pleura

Hepatis

Auskultasi : bruit

Ekstremitas bengkak (-)


Pemeriksaan Penunjang

Asites

Inj Furosemid 20 TTV

cairan asites

(caput medusa) (+)

dullness (+)
Ekstremitas (-)

perut

membuncit,

(+)

Perkusi

1. Sirosis

USG

Abdomen : Asites
(+), congestive liver
(+)

34

Congestive liver
Asites dan efusi pleura
d/s
Laboratorium

cairan

pleura :
Volume: 5 ml
Kejernihan : jernih
Warna : Kuning
Bekuan : BJ : 1005
pH : 7,0
Hitung

eritrosit

sel/cm
Hitung leukosit : 64
sel/cm
PMN : 30 %
MN 70 %
Kimia
Protein 2,32 g/dl
Glukosa 122 mg/dl

35

LDH 136 U/L


Tes Rivalta : Negatif
Protein serum :
Albumin 3,49
Darah lengkap
Hb 15,6
leukosit 6.470
LED 17
Trombosit 205.000
GDS 88
SGOT 27
SGPT 13
Ureum 64
Kreatinin 0,93

36

Anda mungkin juga menyukai