BAB II
SUBJEK PAJAK
Pasal 2
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 2A
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf
a dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat
tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b
dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan tersebut.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut
dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di
Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut
menggantikan tahun pajak.
Pasal 3
(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
3
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1.Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2.tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB III
OBJEK PAJAK
Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1.keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2.keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3.keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4.keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
5.keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1.merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 5
(1) Yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha
tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap:
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya
adalah:
1. royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya;
2. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib
Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
c. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk
seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal
tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun
sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut sematamata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha
atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c
dikenai Pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri dan besarnya pajak
yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta:
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari
pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka
dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka
dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari
harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan
harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan
yang diperoleh pertama.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 11
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
tersebut.
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain
bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan
penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tersebut.
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
sebagai berikut:
Tarif Penyusutan Sebagaimana
Kelompok Harta
Dimaksud Dalam
Masa Manfaat
Berwujud
Ayat (1)
Ayat(2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1
4 Tahun
25 %
50 %
Kelompok 2
8 Tahun
12,5 %
25 %
Kelompok 3
16 Tahun
6,25 %
12,5 %
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10 %
II. Bangunan
10
Permanen
20 Tahun
5%
Tidak Permanen
10 Tahun
10 %
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta
tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui
dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah
sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa
kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang
sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku
dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Tarif Penyusutan Sebagaimana
Kelompok Harta
Dimaksud Dalam
Masa Manfaat
Berwujud
Ayat (1)
Ayat (2)
Kelompok 1
4 Tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada
ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya
11
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada
tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku
harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Pasal 12
Dihapus.
Pasal 13
Dihapus.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pasal 14
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak
sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dihapus.
Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 15
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu
yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri
Keuangan.
BAB IV
12
5%
15%
25%
30%
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen)
yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif
sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat
final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang
pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung
sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang
penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana tersebut pada ayat (1).
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama
dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau
badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang
bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit companyatau special purpose
company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan
pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi
kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja
14
mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;
atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Dihapus.
Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif
Pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak
dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa
lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
15
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
16
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah
lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima
oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa
tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
17
f.
penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara
tempat lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian
dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-Undang ini harus
ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya
angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut
dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus
membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma
tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
18
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan
telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember
2010.
(9) Dihapus.
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18
ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4)
bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Pasal 27
Dihapus.
BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
19
Pasal 28
(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan
kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 28A
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang
harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Pasal 30
Dihapus.
Pasal 31
Dihapus.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal dibidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat
diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah.
20
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu
yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31B
Dihapus.
Pasal 31C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah
Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi,
bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha
berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31E
(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang
ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 32A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Pasal 32B
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang
diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni 1984 serta yang berakhir
antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 31 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung
pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak
Pendapatan 1944, atau berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang:
21
a. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai
selesai;
b. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum
tahun pajak 1984.
(3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan
gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan kontrak karya dan
kontrak bagi hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan
pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-Undang
Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
Pasal 33A
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung
pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat
mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat
dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat
berlakunya Undang-Undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi
hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai
dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
(2) Undang-Undang ini disebut Undang-Undang Pajak Penghasilan 200
22
PERATURAN PEMERINTAH
23
24
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga
ratus) Pihak;
c masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham
kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
dan
d ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1
(satu) Tahun Pajak.
3 Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan pemberian penurunan tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4 Pasal 6 dihapus.
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 3 Agustus 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
25
26
Berwujud
Kelompok I
Menjadi
2 tahun
Garis
Lurus
50%
Saldo Menurun
100% (dibebankan
sekaligus)
Kelompok II
4 tahun
25%
50%
Kelompok III
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok IV
10 tahun
10%
20%
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih
rendah menurut perjanjian penghindaran pajakberganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tambahan 1 tahun : apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha yang diatur pada
ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan
berikat;
2. tambahan 1 tahun : apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru
mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di
lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00(sepuluh
miliar rupiah);
3. tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak
tahunke 4 (empat);
4. tambahan 1 tahun: a) tambahan 1 (satu) tahun apabila mempekerjakan sekurangatau 2 tahun
kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama
5 (lima) tahun berturut-turut;atau
b) tambahan 2 (dua) tahun apabila mempekerjakan sekurangkurangnya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5
(lima) tahun berturut-turut;
5. tambahan 2 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam
negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi
paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal
dalam jangkawaktu 5 (lima) tahun;
6. tambahan 2 tahun : apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah
ada pada Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah
Tertentu yang diatur pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b sebagian
sumber pembiayaannya berasal dari laba setelah pajak (earning after
tax) Wajib Pajak pada satu tahun pajak sebelum tahun
diterbitkannya izin prinsip perluasan penanaman modal; dan/atau
7. tambahan 2 tahun : apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari nilai total penjualan, untuk Penanaman Modal pada bidangbidang usaha yang diatur pada ayat (1) huruf a yang dilakukan
diluar kawasan berikat.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 6 adalah sebagai
berikut:
a diberikan untuk kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial
atas Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah ada sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 6;
b besarnya kerugian fiskal sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung berdasarkan
proporsi laba setelah pajak (earning after tax) yang ditanamkan kembali dalam perluasan
usaha terhadap nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap pada akhir tahun pajak saat
dimulainya berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 3
27
Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sepanjang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor;
b memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; atau
c memiliki kandungan lokal yang tinggi.
Pasal 4
1 Terhadap aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau
dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru,
sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
a jangka waktu 6 (enam) tahun sejak saat mulai berproduksi secara komersial; atau
b masa manfaat aktiva sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b angka 1.
2 Terhadap aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian
fasilitas, atau dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tak berwujud dimaksud kecuali diganti
dengan aktiva tak berwujud baru, sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud
dimaksud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka
2.
Pasal 5
Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan tetapi tidak lagi memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 4:
a fasilitas yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dicabut;
b dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan
c tidak dapat lagi diberikan fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6
(1) Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dievaluasi dalam waktu paling lama 2
(dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Pasal 7
Terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini, tidak dapat lagi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Pasal 8
(1) Atas kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang telah
memperoleh fasilitas perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000
tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, tidak dapat lagi diberikan fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, tidak dapat lagi
diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 9
(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dari Wajib Pajak dan pembahasan pemenuhan kriteria dan
persyaratan fasilitas dimaksud diatur dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
28
Modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pengalihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Pemerintah ini
diatur oleh Menteri pembina sektor sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pasal 10
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1. Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu, dapat memanfaatkan pemberian fasilitas dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang perpajakan, sampai dengan berakhirnya pemberian fasilitas
dimaksud.
2. Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu yang pernah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal kepada Menteri Keuangan sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.
3. Terhadap Wajib Pajak yang izin prinsip penanaman modal atau izin prinsip perluasan penanaman
modalnya diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang
berwenang sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sampai
dengan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat diajukan usulan untuk diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal, sepanjang:
a izin prinsip penanaman modal atau izin prinsip perluasan penanaman modal tersebut
belum pernah diterbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
b bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, cakupan produk, persyaratan,
dan/atau Daerah/Provinsi sesuai dengan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan
Pemerintah ini;
c belum berproduksi secara komersial pada saat/tanggal mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah ini; dan
d usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud diterima oleh Menteri Keuangan
paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerahdaerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4675), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
29
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5264), dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 2011 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5264),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
30
20%
(dua
puluh
persen)
atau
sesuai
dengan
tarif
berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
Obligasi; dan
bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
1 Dihapus;
2 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
3 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya."
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
32
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam
usahanya:
a menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
b menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
4 Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
a Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
1 Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam 2 adalah 1%
(satu persen).
2 Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
3 Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi
jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak,
Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
4 Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
1 Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
2 Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha
yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
a kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) Tahun Pajak;
b Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya
Pasal 9
34
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1 didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
2 didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan
bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak
terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah
ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
3 didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha
yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
35
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai
objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang
merupakan Subjek Pajak luar negeri.
Pasal 6
Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo
laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a usaha;
b pekerjaan; atau
c kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat
terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan
secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau
penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud
pada ayat (I) huruf c terjadi apabila terdapat:
a penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
yang tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b tidak termasuk objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya
tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
37
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan
tersebut:
a benar-benar telah dibayar; dan
b berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak
berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus
dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu)
kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari
harga pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal
dari pihak lain;
b modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI
Pasal 14
Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, wajib:
a memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam
tahun berjalan; dan
c melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
38
BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a terjadinya pembayaran; atau
b terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a pembayaran; atau
b tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a dibayarkannya penghasilan;
b disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang
terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a dibayarkannya penghasilan;
b disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang
terjadi terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas
Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan
pemotongan.
Pasal 17
Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya
dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh
pihak yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) UndangUndang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a mengalami kerugian fiskal;
b berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
39
terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) UndangUndang Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu
tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi dengan Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum
penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
merupakan Subjek Pajak:
a dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur
persetujuan bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang
tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
40
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
tidak final;
b menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek
pajak; atau
c mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal
31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat
dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya
dialokasikan secara proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir,
yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru,
serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
PajakPenghasilan.
Pasal 32
Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009,
bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.
41
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
42
43
b
c
d
e
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan
melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang
disampaikan melalui lembaga pendidikan;
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina,
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Pasal 2
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dengan syarat:
a Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan;
c didukung oleh bukti yang sah; dan
d lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali
badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak
melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 4
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
1 Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat
diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang.
2 Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan
hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Pasal 6
1 Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan
berdasarkan:
a nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;
b nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
c harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi
sendiri.
2 Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana
dan/atau prasarana.
Pasal 7
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan
peruntukannya oleh pemberi sumbangan.
Pasal 8
1 Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan
penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
44
Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau
biaya.
3 Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran
laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
diterimanya sumbangan.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
45
Pemotongan atas tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan pada saat penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.
Pasal 4
1 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan
honorarium atau imbalan lain tersebut.
2 Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
a sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I
dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan
Bintara, dan Pensiunannya;
b sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan
pensiunannya;
c sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 5
Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan
dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas penghasilan yang
menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai dengan UndangUndang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Pasal 6
1 Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima
atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final di luar
penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut
digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
2 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak orang
pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau
APBD diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada
Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
48
49
50
menggunakan harga yang ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
18 Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19 Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha
minyak dan gas bumi.
Pasal 2
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak
jasa di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.
Pasal 3
1 Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka
pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.
2 Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan
keteknikan yang baik.
Pasal 4
1 Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan
rnenjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh
Badan Pelaksana.
2 Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian
biaya operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.
Pasal 5
1 Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor wajib menyusun rencana kerja dan
anggaran sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran.
2 Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: pengeluaran rutin;
dan pengeluaran proyek.
3 Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan
Kepala Badan Pelaksana.
4 Persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi
kontraktor untuk melaksanakan operasi perminyakan.
Pasal 6
Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum
dilaksanakan wajib mendapatkan persetujuan atorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan
Pelaksana.
Pasal 7
1 Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran Yang
telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi
komersial.
2 Produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui
Persetujuan Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan
diproduksikan.
3 Dalam hal wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi
komersial, terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban
kontraktor sepenuhnya.
Pasal 8
1 Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan
dengan lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2).
2 Penetapan besaran minimum bagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB II
PENGHASILAN BRUTO
DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR
Bagian Kesatu
Penghasilan Bruto Kontraktor
Pasal 9
51
1
2
(1)
(2)
(3)
(4)
biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka
kontrak kerja sama;
i biaya konsultan pajak;
j biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi
yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
k biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali
disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP)
penerima manfaat;
l biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
m biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
n biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest;
o biaya bunga atas pinjaman;
p pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan
pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga
yang ditanggung kontraktor atau di-gross up;
q pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas
10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
r surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
s
nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi
akibat kelalaian kontraktor;
t transaksi yang:
1 merugikan negara;
2 tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam
hal tertentu; atau
3 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
u bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
v biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
w insentif interest recovery; dan
x biaya audit komersial.
Pasal 14
Dalam hal terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalarn rangka pelaksanaan operasi
perminyakan dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan
sebagai pengurang biaya operasi.
Pasal 15
1 Barang yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya
operasi pada saat barang digunakan.
2 Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan barang yang diperoleh pertama.
Pasal 16
1 Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus.
2 Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into service).
3 Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
4 Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat
kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap
disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.
Pasal 17
1 Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu)
tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan
masa manfaat ekonomis.
54
2
3
4
1
2
Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama
antara Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar
dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang
dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah
mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan
tambang diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 18
Kontraktor dapat merhbebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada
pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 19
1 Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang
berproduksi secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1).
2 Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan.
Pasal 20
1 Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu)
tahun kalender terdiri atas:
a biaya bukan modal tahun berjalan;
b penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan
c biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
2 Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan olehPemerintah.
3 Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat
diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
4 Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas
bumi dibebankan pada produksi gas bumi.
5
Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai
proporsi nilai relatif hasil produksi.
6 Dalam hal suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak
bumi atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara
Badan Pelaksana dan kontraktor.
7 Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi,
sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan
gas bumi.
8 Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil
produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan:
a biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada
b hasil produksi minyak bumi;
c biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan
d pada nilai penjualan gas bumi.
BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN
Pasal 21
Penghasilan kontraktor untuk kontrak bagi hasil diakui pada titik penyerahan.
Pasal 22
1 Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan
menggunakan harga minyak mentah Indonesia.
2 Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
55
3
1
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2
3
4
5
Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung
berdasarkan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
Dalam hal penjualan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi
diperoleh melalui proses lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung
berdasarkan hasil penjualan yang diterima dikurangi komponen biaya penjualan.
BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI HASIL
Pasal 24
Dalam hal tidak terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung
berdasarkan lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
Dalam hal terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi FTP dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung
berdasarkan lifting dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yangdapat dikembalikan.
Insentif investasi dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dikonversi menjadi:
a minyak bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana
b dimaksud dalam Pasal 22; atau
c gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
Bagian kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor
sebelum pajak penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to
be split.
Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah
yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split yang didalamnya
belum termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari produksi minyak bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Kontraktor mendapat imbalan DMO atas penyerahan minyak bumi dan/atau gas bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN
Pasal 25
Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil,
dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal
tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun
sebelumnya.
Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan
kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani
sebelum berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau
pajak penghasilan pada saat kontrakditandatangani.
Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
56
Dalam hal kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7 Atas pemenuhan kewajiban pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan
gas bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
8 Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan,
dapat diterbitkan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi
sementara,
9 Ketentuan mengenai penerbitan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan
gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak
penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
10 Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang
yang digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi.
11 Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka
impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturan perundangundangan,
1
2
3
4
5
1
2
3
4
Pasal 26
Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa,
berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikurangi biaya bukan
modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh biaya
operasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yang belum dikembalikan.
Ketentuan mengenai jumlah maksimum pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah imbalan yang diberikan oleh Pemerintah kepada kontraktor diatur dengan Peraturan
Menteri.
Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang pajak penghasilan.
Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan
untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VI
PENGHASILAN DI LUAR KONTRAK KERJA SAMA
Pasal 27
Atas penghasilan lain kontraktor berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan
tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Atas penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4) huruf b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksplorasi;
b atau 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksploitasi.
Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan
sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrak kerja
sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
57
Pasal 28
Dalam rangka membagi risiko dalam masa eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria:
a tidak mengalihkan seluruh participating interest yang dimilikinya;
b participating interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c di wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi); dan
d pengalihan participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR
Pasal 29
1 Pembukuan atau pencatatan hams diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2 Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
latin, angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Keuangan.
3 Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar
akuntansi keuangan, dan sesuai prinsip kontrak bagi hasil.
4 Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
pajakyang terutang.
5 Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara
program aplikasi online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 belum dikembalikan.
Pasal 30
1 Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan
eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumi setelah mendapat
rekomendasi dari Badan Pelaksana,
2 Sebelum menetapkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), auditor Pemerintah
atas nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
3 Dalam hal besaran biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), auditor Pemerintah dan Badan Pelaksana wajib menyelesaikanperbedaan
tersebut.
BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR
Pasal 31
1 Setiap kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib:
a mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak;
b melaksanakan pembukuan;
c menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
d membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting
yang sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim;
e memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan .
2 Dalam hal terjadi pengalihan participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib
melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
3 Dalam hal pengalihan participating interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada
kontraktor yang baru.
4 Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 32
1 Setiap operator pada suatu wilayah kerja wajib:
58
mendaftarkan kontrak kerja sama untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda
dengan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
b melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang
bersangkutan.
2 Dalam hal terjadi pergantian operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih
kepada operator yang baru.
Pasal 33
3 Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 dihitung berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gas bumi.
4 Dalam hal Pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat
berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
5 Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
6 Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat. (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA
Pasal 34
1 Badan Pelaksana wajib menerbitkan standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya yang
digunakan pada kegiatan operasi perminyakan bersamaan dengan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.
2 Badan Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian
biaya operasi kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara
periodik setiap tahun dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
1 Kontraktor harus melakukan transaksinya di Indonesia dan menyelesaikan pembayarannya
melalui sistem perbankan di Indonesia.
2 Transaksi dan penyelesaian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di luar Indonesia setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 36
1 Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu dapat rnenunjuk pihak ketiga yang independen untuk
melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
2 Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.
Pasal 37
Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan
participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan
perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
b Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk ketentuan mengenai:
1 besaran bagian penerimaan negara;
2 persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
3 biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan;
4 penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
5 penerbitan surat ketetapan pajak penghasilan;
59
pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi
dan kegiatan eksploitasi;
7 pajak penghasilan kontraktor berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian
kontraktor; dan
8 penghasilan di luar kontrak kerja sama berupa uplift dan/atau pengalihan participating
interest, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menyesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau
diperpanjang setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
60
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
2 Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau
yang disetarakan dengan uang.
Pasal 2
Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangn.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
62
63
Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan
kerja.
9 Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun
Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan
Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal
sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja
atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas UangPesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerimahak atas Uang
Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan
cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah
menerima hak atas Uang Manfaat Pensiunvang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut :
a sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah);
b sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh
juta rupiah);
b sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang
terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UndangUndang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat
final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau
64
Pasal 9
Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana
Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur
hidup.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang
pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua
yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan
setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun
2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang
Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik lndonesia.
65
66
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Pasal 2
Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah zakat yang diterima oleh: badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan Penerima zakat yang berhak.
Pasal 3
Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang akui di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh: lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan penerima sumbangan yang berhak.
Pasal 4
Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah pemberian dalam bentuk uang
atau barang kepada orang pribadi atau badan.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan Pajak
Penghasilan atas penghasilan berupa bunga obligasi;
b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi;
Mengingat :
1 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
BERUPA BUNGA OBLIGASI.
Pasal 1
68
69
Perdagangannya di Bursa Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4175), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
70
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia
kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000,00
(dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Pasal 3
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib
memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat
pembayaran.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan
atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi diatur
dengan atau berdasarkan menteri keuangan.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 71 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994
TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a Bahwa dalam rangka lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung
PajakPenghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta
mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana, perlu mengatur
kembali ketentuan mengenai pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan;
b Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan;
Mengingat :
1 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
71
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan - 2 - (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3891);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.
Pasal I
1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Pemerintah:
a Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3634);
b Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891);
diubah sebagai berikut:
1 Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, dan ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
1 Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat
(1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
- 3 - dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto
nilai pengalihan.
2 Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara
nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau
bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, kecuali:
a dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat
yang bersangkutan;
b dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor
189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
72
Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit,
adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak
sebelumnya.
4 Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut
surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah
dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.
5 Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Rumah Sederhana Sehat
dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6 Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang
dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah
dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2 Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah:
a orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecahpecah;
b orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) huruf c;
c orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
3 Pasal 6 dihapus.
4 Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
1 Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final.
2 Dihapus.
Pasal II
1 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi,
yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
apabila:
a melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan
atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau
risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
73
b penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak
Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi.
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
74
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembal-an Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3985);
3 Peraturan . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerahdaerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PEFWTUFWN PEMERINTAH
NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK
PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DX DAERAHDAERAH TERTENTU.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4675) diubah sebagai berikut:
1 Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Apabila Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) da.n/atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal3, maka:
a fasilitas yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dicabut;
b dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan
c tidak dapat lagi diberikan fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
2 Di antara Pasal4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal4A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4A
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri semen sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I1 Peraturan Pemerintah ini, yang melakukan rekonstruksi akibat bencana
tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara,
dapat memperoleh fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini terhitung sejak tanggal 1 Januari
2005.
3 Ketentuan Pasal5 diubah sehingga Pasal5 berbunyi sebagai berikut:
1 Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini akan dievaluasi dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.
2 Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim yang dibentuk dengan
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
4 Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
5 Lampiran I1 diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I1 Peraturan
Pemerintah ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
75
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3636);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 29 TAHUN 1996 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN.
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan, diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang diterima atau diperoleh dari
penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak
Penghasilan oleh penyewa.
(2) Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan."
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/
atau bangunan dan bersifat final."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
77
78
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO
DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA.
Pasal 1
1 Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2 Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar
negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.
3 Dengan memperhatikan perkembangan moneter, Menteri Keuangan dapat menetapkan pengenaan
Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain sebagaimana ditentukan dalam
ayat (1).
4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun pajak termasuk bunga dan
diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
5 Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi atas
pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
6 Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan restitusi diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :
a dikenakan pajak final sebesar 20%(dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar
negeri.
Pasal 3
1 Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan terhadap :
a bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecahpecah;
b bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undangundang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni
sendiri.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah dan atau Gubernur Bank
Indonesia, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing.
79
Pasal 4
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Bank Indonesia wajib memotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2 Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual
kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan Dana Pensiun yang
pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong Pajak
Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994
tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 80, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3582) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
1
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2000
a.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
80
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Desember 2000
a.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
81
82
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1 Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, kecuali pajak atas
penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8)
2 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja atas
penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal
21 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, termasuk Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang bersifat final dan setoran akhir tahun.
Pasal 2
1 Penerimaan Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan pasal 21
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
dengan imbangan sebagai berikut :
a 80% (delapan puluh persn) untuk Pemerintah Pusat;
b 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar;
2 Bagian penerimaan Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dibagi antara
Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dengan imbangan sebagai berikut:
a 40% (empat puluh persen) untuk Daerah Propinsi;
b 60% (enam puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota.
3 Pengalokasian bagian penerimaan Pemerintah Daerah kepada masing-masing Daerah
Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan Gubernur dengan pertimbangan faktor-faktor jumlah
penduduk, luas wilayah, serta faktor-faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.
Pasal 3
Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan pendapatan
daerah untuk masing-masing Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dan setiap tahun anggaran
dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut yang dipelrukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
83
84
sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
4 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penjualan Saham
Efek (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3574);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 41 TAHUN 1994 TENTANG PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dan menambah ketentuan baru dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1994, sebagai berikut:
1 Ketentuan Pasal 1 ayat (2) diubah seluruhnya, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1 (2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 0,1%
(satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan."
2 Menambah ketentuan baru di antara Pasal 1 dan Pasal 2 yang dijadikan Pasal IA, yang
berbunyi sebagai berikut: "
Pasal 1A
1 Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (setengah persen) dari
nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996.
2 Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran
umum perdana."
3 Menambah ketentuan baru di antara Pasal 2 dan Pasal 3 yang dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi
sebagai berikut: "
Pasal 2A
Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan atas saham pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A
dilakukan oleh pemilik saham pendiri:
a selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, apabila
saham perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan;
b selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa, apabila
saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat atau setelah Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan." 4.
Menambah ketentuan baru diantara Pasal 3 dan Pasal 4 yang dijadikan Pasal 3A, yang berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 3A
Wajib Pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya tidak berdasarkan
ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 2A, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham
pendiri dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
"Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
85
86
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Pasal 1
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan
yang terutang atau dipotong oleh penyewa yang bertindak sebagai Pemotong Pajak.
Pasal 3
1 Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan
tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
2 Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
Pasal 4
1 Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau
diperoleh mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong
Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994
yang jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka
pemotongan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.
2 Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau
diperoleh mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong
Pajak Penghasilan yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
atau belum dipotong Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang kurang atau
belum dipotong sejumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan
pembayaran Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.
3 Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dipenuhi, maka penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan tersebut dikenakan pajak berdasarkan tarif umum sesuai
dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan berlaku sanksisanksinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 1996
87
88
bahwa penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Bank Umum tersebut perlu
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat:
1 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2387);
3 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
7 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3503) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3782);
8 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3731);
9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan
Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Pemegang Saham Atau Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) Pada Perusahaan Perseroan Kepada Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik
Negara (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3758);
10 Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalasi Bank Umum
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3799);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYERTAAN MODAL
NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE DALAM MODAL BANK PEMBANGUNAN DAERAH
DAERAH ISTIMEWA ACEH, BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA UTARA, BANK
PEMBANGUNAN DAERAH BENGKULU, BANK PEMBANGUNAN DAERAH LAMPUNG,
BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN BARAT, BANK PEMBANGUNAN
DAERAH KALIMANTAN TIMUR, BANK PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI UTARA,
BANK PEMBANGUNAN DAERAH SULAWESI TENGAH, BANK PEMBANGUNAN DAERAH
NUSA TENGGARA BARAT, BANK PEMBANGUNAN DAERAH NUSA TENGGARA TIMUR,
PT BANK LIPPO tbk, DAN PT BANK SEMBADA ARTANUGROHO DALAM RANGKA
PROGRAM REKAPITALISASI BANK UMUM BAB I PENYERTAAN MODAL
Pasal 1
Negara Republik Indonesia melakukan penyertaan modal ke dalam modal Bank Pembangunan Daerah
Daerah Istimewa Aceh, Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Bank Pembangunan Daerah
Bengkulu, Bank Pembangunan Daerah Lampung, Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat,
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur, Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara, Bank
Pembangunan Daerah Sulawesi Tengah, Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat, Bank
Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur, PT Bank LIPPO tbk. dan PT Bank Sembada
Artanugroho.
Pasal 2
1 Penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berasal dari kekayaan Negara
yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2 Nilai Penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada Bank Umum dan
Bank Pembangunan Daerah di bawah ini adalah:
89
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bank Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Aceh, sebesar Rp. 80.945 juta;
Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, sebesar Rp. 259.926 juta;
Bank Pembangunan Daerah Bengkulu, sebesar Rp. 6.303 juta;
Bank Pembangunan Daerah Lampung, sebesar Rp. 18.580 juta;
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat, sebesar Rp.65.919 juta;
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur, sebesar Rp.15.973 juta;
Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara, sebesar Rp.31.849 juta;
Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Tengah, sebesar Rp.2.279 juta;
Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat, sebesar Rp.21.523 juta;
Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur, sebesar Rp.10.823 juta;
PT BANK LIPPO tbk., sebesar Rp.3.753.000 juta;
PT Bank Sembada Artanugroho, sebesar Rp. 18.461 juta. BAB II PELAKSANAAN
PENYERTAAN MODAL
Pasal 3
Pelaksanaan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan menurut
ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dengan memperhatikan
ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku. BAB III KETENTUAN PENUTUP
Pasal 4
Terhadap penyertaan modal negara dalam suatu bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Menteri
Keuangan menetapkan:
a pelaksanaan dan tatacara penyertaan dan divestasi modal negara dalam bank tersebut;
b pelaksanaan hak - hak Pemerintah berdasarkan penyertaan modal negara pada bank tersebut.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
90
91
92
2) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan utama usaha yang merupakan
Industri Pionir.
3) Kegiatan utama usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kegiatan utama usaha
sebagaimana tercantum dalam izin prinsip dan/ atau izin usaha Wajib Pajak pada saat pengajuan;
permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan termasuk perubahan dan perluasannya
sepanjang termasuk dalam kriteria Industri Pionir.
1)
2)
3)
4)
Pasal 3
Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan paling
banyak 100% (seratus persen) clan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah Pajak
Penghasilan badan yang terutang.
Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan
untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Tahun Pajak clan paling singkat 5 (lima) Tahun
Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi secara komersial.
Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan persentase yang sama setiap tahun selama jangka waktu 'Sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Dengan mempertimbangkan kepentingan inempertahankan daya saing industri nasional clan nilai
strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 4
Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak bad.an yang memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak baru;
b. merupakan Industri Pionir;
c. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari
instansi yang berwenang, paling sedikit sebesar Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
d. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang clan modal sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentan besarnya
perbandingan antara utang clan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak
Penghasilan;
e. menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan . di
Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya
pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan f. harus berstatus sebagai badan hukum
Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2011.
2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak
dalam negeri dan/ atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha . tetap, selain memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar
negeri berupa bentuk usaha tetap tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata
cara pemberian surat keterangan fiskal.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak badan: a.
dimiliki langsung oleh Peinerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; b. kepemilikannya terdiri atas
saham-saham yang terdaftar pada bursa efek di Indonesia.
4) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. Industri logam hulu;
b. Industri pengilangan minyak bumi;
c. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
d. Industri permesinan yang menghasilkan mesin industri;
e. Industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan;
f. Industri telekomunikasi, informasi dan korrtunikasi;
1)
93
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Pasal 5
1) Untuk memperoleh Penghasilan badan, permohonan kepada Penanaman Modal. fasilitas
pengurarigan Pajak Wajib Pajak menyampaikan Kepala Bad an Koordinasi
2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. fotokopi ijin prinsip penanaman modal baru, yang dilengkapi dengan rinciannya;
c. asli surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e; dan
d. surat keterangan fiskal untuk Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2).
3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
paqa ayat (2) dan pemenuhan cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(4).
4) Dalam rangka penyampaian usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan
kepada Menteri Keuangan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berkoordinasi dengan
menteri terkait untuk melakukan:
94
a. penelitian mengenai pemenuhan cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
b. penyusunan uraian penelitian mengena1 hal-hal sebagai berikut:
1. ketersediaan rencana pembangunan infrastruktur di lokasi investasi; dan kontribusi
2. penyerapan tenaga kerja domestik;
3. kajian mengenai pemen:uhan kriteria sebagai Industri Pionir; dan
4. rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret.
5) Berdasarkan hasil penelitian yang memenuhi cakupan 'industri pionir sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a dan uraian penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b,. Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal dapat mengajukan usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen
uraian penelitian dimaksud.
Pasal 6
1) Atas usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaima:na dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (5), Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pem berian
pengurai:lgan Pajak Penghasilan bad an un tuk membantu melakukan penelitian dan verifikas!
terhadap usulan dimaksud.
2) Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan.
3) Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan hasil
penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan disertai
dengan pertimbangan clan . rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai besaran pengurangan
Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan jangka waktu
pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat .(2).
4) Rekomendasi mengenai besaran pengurangan Pajak Penghasilari. badan se bagaimana dimaksud
dala:m Pas al 3 ayat (1) dan jangka wa:ktu pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada hasil penilaian atas uraian penelitian yang berisi mengenai halhal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
5) Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan diputuskan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan pertimbangah dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana diinaksud pada ayat (4).
6) Pemberian fasilitas pengurangan PajakPenghasilan badan oleh Menteri Keuangan dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dilakukan dengan keten,.tuan sebagai
berikut: a. Menteri Keuangan dapa.t meminta pertimbangan dan rekomendasi dari komite
verifikasi pengurangan Pajak Penghasilan badan; atau b. Menteri Keuangan merrtberikan fasilitas
tanpa meminta pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pengurangan Pajak
Penghasilan badan.
7) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2):
a. Menteri Keuangan menerbitkan keputusan _ mengenai pemberian fasilitas pengurangan
Pajak Penghasilan badan; dan
b. Wajib Pajak inenempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh
pe.rsen) dari total rencana penanaman modal se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf e.
8) Penempatan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b
dilakukan.paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal ditetapkan keputusan mengehai pemberian
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan .. badan, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat
dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal.
9) Dalam hal Mertteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan, disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penofakan terse but
kepada W ajib Pajak dengan tembusan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 7
1) Terhadap Wajib Pajak yang atas usulan . pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan
badan yang ditolak oleh Menteri Keuangan clan telah diterbitkan pemberitahuan secara tertulis
95
mengenai penolakan dimaksud, diberikan fasilitas Pajak Penghasilah untuk penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sepanjang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah. Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidarig Usaha Tertentu clan/ atau di
Daerah-daerah Tertentu beserta peraturan pelaksanaannya.
2) Tata cara pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu bagi Wajib Pajak yang usulan pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan ditolak oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dn/ atau di
daerah-daerah tertentu.
Pasal 8
1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada
Direktur Jenderal Pajak clan ketua komite verifikasi pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badari mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e;
b. laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit; dan c. laporan realisasi produksi
selama masa fasilitas.
2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
3) Selain kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak yang
mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan juga diwajibkan untuk memenuhi
permintaan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan data transaksi perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 . ayat (4) UndangUndang Pajak
Penghasilan.
Pasal 9
1) Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan
dilarang untuk:
a. mengimpor atau membeli barang modal bekas yang direlokasi dari negara atau perusahaan
lain dalam rangka. realisasi penanaman modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan;
b. melakukan kegiatan utama usaha yang tidak sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman
modal dan tidak termasuk dalam cakupan Industri Pionir selama jangka waktu pemanfaatan
fasilitas pengurangan Pajak I . Penghasilan badan;
c. melakukan pemindahtanganan aset dan/ atau kepemilikan Wajib Pajak badan yang
mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selama jangka waktu
pemanfaafan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
d. melakukan relokasi penanaman modal ke provinsi lain di Indonesia atau ke luar negeri sejak
Tahun Pajak dimulainya dan sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak sejak berakhirnya jangka
waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan/ atau
e. mengubah metode pembukuan untuk menggeser laba atau rugi dari periode pemanfaatan
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan ke periode setelahnya, clan se 6aliknya,
termasuk metode pengakuan penghasilan clan/ atau biaya, clan metode penghitungan
depresiasi dan/ atau persediaan, sejak Tahun Pajak dimulainya clan sampai dengan 5 (lima)
Tahun Pajak sejak berakhirnya jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan.
Dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dalam hal Wajib Pajak:
a. melakukan pemindahtanganan aset dan menggantinya dengan aset lain yang lebih produktif;
b. melakukan pengalihan kepemilikan kepada Wajib Pajak yang telah mendapatkan surat
keterangan fiskal;
96
c. melakukan pengalihan kepemilikan melalui mekanisme listing di bursa saham (go public).
Pasal 10 ( 1) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dicabut, dalam hal Wajib Pajak:
a. pada saat mulai berproduksi secara komersial, nilai realisasi penanaman modal kurang
dari rencana penanaman modal;
b. tidak menempatkan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (7) huruf b dan/ atau dana terse but ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan
realisasi penanaman modal;
c. tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan ketentuan mengenai pemenuhan permintaan Direktur Jenderal. Pajak untuk.
memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
d. melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
e. tidak mengajukan permohonan Advance Pricing Agreement untuk Wajib Pajak yang
berorientasi ekspor yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer
(Advance Pricing Agreement); dan/ atau
f. berdasarkan hasil pemeriksaan, menyalahgunakan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan dalam . rangka penghindaran atau pengelakan pajak, antara lain
rrielakukan praktik transfer pricing yang tidak sesuai dengan norma kewajaran.
2) Pencabutan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Keuangan:
a. setelah mendapat rekomendasi dari komite verifikasi pem berian fasili tas pengurangan
Pajak Penghasilan badan; atau
b. berdasarkan usulan dari Direktur Jenderal Pajak kepada komite verifikasi pemberian
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
3) Terhadap Wajib Pajak yang dicabut fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan
berdasarkan Peraturan Menteri ini, dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundangundangan di bidang perpajakan, dan tidak dapat lagi diberikan fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan.
Pasal 11
1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. harus diselenggarakan pembukuan secara terpisah dari pembukuan atas penghasilan
lainnya yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
b. tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama periode pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) atau Pasal 3 ayat (4).
2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar kegiatan utama usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3) Penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan
adalah:
a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (capital gain) selain dari produk
yang dihasilkan Wajib Pajak dari kegiatan utama usaha sebagaimana tercantum dalam izin
prinsip dan/ atau izin usaha Wajib Pajak;
b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
c. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengem balian utang;
d. dividen, dengan nama dan dalarn bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
e. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
f. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
97
98
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Agustus 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
99
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik antara Pemerintah Indonesia dengan
organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4) Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
organisasi/badan/lembaga/ asosiasi/ perhimpunan/forum/kerjasama antar pemerintah atau non
pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan
aturan tertentu atau kesepakatan bersama.
5) Perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional sampai
dengan berakhirnya perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan dengan syarat:
a. perjanjian internasional tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang di bidang Perjanjian
Internasional;
b. tidak terdapat persyaratan (reservation) atau pernyataan (declaration) mengenai ketentuan
perlakuan Pajak Penghasilan dalam perjanjian internasional tersebut; dan c. telah dilakukan
pengesahan dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan
(acceptance) dan /a tau penyetujuan ( approvan melalui pembentukan peraturan perundangundangan sesuai Undang-Undang di bidang Perjanjian Internasional.
6) Dikecualikan dari pemenuhan persyaratan telah dilakukan pengesahan melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c adalah dalam hal
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mensyaratkan adanya
pengesahan dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan perjanjian dimaksud memuat niateri
yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk.
Pasal 3
1) Atas penghasilan berupa gaji atau pembayaran lainnya dari organisasi internasional yang diterima
oleh pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia, dikenai Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dalam perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah diatur secara tegas ketentuan
pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan atas gaji atau pembayaran lainnya yang diterima
pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia.
3) Pasal 4 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
100
101
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan:
1. Nomor 15/PMK.03/2010;
2. Nomor 142/PMK.03/2010;
3. Nomor 166/PMK.03/2012,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Organisasi Internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota.
(2) Organisasi Internasional yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Pejabat-pejabat perwakilan dari Organisasi Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. bukan warga negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
2. Mengubah Lampiran Angka Romawi I, Angka Romawi II, Angka Romawi III, dan Angka
Romawi IV sehingga Lampiran Peraturan Menteri selengkapnya menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
102
apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dan
b. untuk jasa selain jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
1. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak
dengan pengguna jasa;
2. pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau
material yang terkait dengan jasa yang diberikan;
3. pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait
jasa yang diberikan oleh penyedia jasa; dan/atau
4. pembayaran
kepada
penyedia
jasa
yang
merupakan
penggantian
(reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga
dalam rangka pemberian jasa bersangkutan.
(4) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1, angka 2, angka 3, dan angka
4 tidak termasuk dalam jumlah bruto sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b angka 1;
b. faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b angka 2;
c. faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b angka 3; dan
d. faktur tagihan dan/atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4.
(5) Dalam hal tidak terdapat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah bruto sebagai
dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada
penyedia jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(6) Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Jasa penilai (appraisal);
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
g. Jasa perancang (design);
h. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
i. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
j. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
l. Jasa penebangan hutan;
m. Jasa pengolahan limbah;
n. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
o. Jasa perantara dan/atau keagenan;
p. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa
104
Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
q. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI);
r. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
s. Jasa mixing film;
t. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner,
pamphlet, baliho dan folder;
u. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
v. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
w. Jasa internet termasuk sambungannya;
x. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
y. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
z. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
aa. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;
ab. Jasa maklon;
ac. Jasa penyelidikan dan keamanan;
ad. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
ae. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
af. Jasa pembasmian hama;
ag. Jasa kebersihan atau cleaning service;
ah. Jasa sedot septic tank;
ai. Jasa pemeliharaan kolam;
aj. Jasa katering atau tata boga;
ak. Jasa freight forwarding;
al. Jasa logistik;
am. Jasa pengurusan dokumen;
an. Jasa pengepakan;
ao. Jasa loading dan unloading;
ap. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
aq. Jasa pengelolaan parkir;
ar. Jasa penyondiran tanah;
as. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
at. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
au. Jasa pemeliharaan tanaman;
av. Jasa pemanenan;
aw. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau
perhutanan;
ax. Jasa dekorasi;
ay. Jasa pencetakan/penerbitan;
az. Jasa penerjemahan;
ba. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
bb.Jasa pelayanan kepelabuhanan;
bc. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
bd.Jasa pengelolaan penitipan anak;
be. Jasa pelatihan dan/atau kursus;
105
u.
v.
w.
x.
108
(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan
Kontrak Karya;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan usaha tertentu meliputi:
1) Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
2) Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3) badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha
Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT
Pupuk kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT
Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT
Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT
Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT
Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT
Tambang Timah, PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank
Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya;
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industrinya atau ekspornya;
j. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan;
k. Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di
dalam negeri.
(1a) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka
110
3) melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap
ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(1b) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3)
tidak lagi dimiliki secara langsung oleh badan usaha milik negara, badan usaha tertentu
dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri
hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
(3) Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batu bara.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
a. Atas pemungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor:
a) barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, sebesar 10% (sepuluh
persen) dari nilai impor;
b) barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, sebesar 7,5%
(tujuh koma lima persen) dari nilai impor;
c) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
huruf a) dan huruf b), yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai,
gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai
impor;
d) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
huruf a) dan huruf b), yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API),
sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan/atau
e) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga
jual lelang;
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (HS)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
dan Kontrak Karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai
ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang.
b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf
c, huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% (satu koma
lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a) 0, 25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum Pertamina;
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan
111
Pertamina:
c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf a)
dan huruf b);
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai;
3. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi:
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0, 25% (nol koma dua puluh lima persen);
2. penjualan kertas sebesar 0,1 % (nol koma satu persen);
3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45%
(nol koma empat puluh lima persen);
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),
dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
f. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen)
dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
g. Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan
usaha sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
h. Atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan, sebesar 0,45% (nol koma
empat puluh lima persen) dari harga jual emas batangan.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and
Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor PokokWajib Pajak.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.
(5) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor oleh Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan adalah sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai:
112
1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di
Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian
pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal,
sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
kepabeanan;
10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang ditujukan untuk kepentingan umum;
11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci,
buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan,
kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan
alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai
dengan kegiatan usahanya;
16. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku
cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat
udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh
pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum
dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang
digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan
usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha
penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan
atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan
113
c.
d.
e.
f.
g.
h.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(4) Terhadap bukti penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak tersebut
sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan
ekspor.
6. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan
pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d
dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai bukti
pemungutan pajak.
(2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf
g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan
Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22);
dan
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
7. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k
wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke
Kantor Pelayanan Pajak.
8. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf i, huruf j, dan huruf k
bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf h atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada:
a. penyalur/agen bersifat final;
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf h atas penjualan pelumas bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
9. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor,
ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam oleh badan atau
116
orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan, atau kegiatan usaha di bidang lain diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
117
118
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
119
120
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman
Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama
usaha, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen)
pertahun yang dihitung sejak saat mulai berproduksi secara komersial;
b. penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva
tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal baru dan/atau perluasan
usaha, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai
berikut:
1. untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud:
Tarif Penyusutan Berdasarkan
Masa Manfaat
Metode
Kelompok Aktiva Berwujud
Menjadi
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
100% (dibebankan
Kelompok I
2 tahun
50%
sekaligus)
Kelompok II
4 tahun
25%
50%
Kelompok III
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok IV
10 tahun
10%
20%
II. Bangunan
Permanen
10 tahun
10%
Tidak Permanen
5 tahun
20%
2. untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud:
Tarif Amortisasi Berdasarkan
Metode
Kelompok Aktiva Tak
Masa Manfaat
Berwujud
Menjadi
Garis
Saldo Menurun
Lurus
Kelompok I
2 tahun
50%
100% (dibebankan
sekaligus)
Kelompok II
4 tahun
25%
50%
Kelompok III
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok IV
10 tahun
10%
20%
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih
rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tambahan 1 tahun : apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha yang diatur
pada ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri dan/atau
kawasan berikat;
2. tambahan 1 tahun : apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru
mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial
di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah);
3. tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen)
sejak tahun ke 4 (empat);
4. tambahan 1 tahun: a) tambahan 1 (satu) tahun apabila mempekerjakan sekurangatau 2 tahun
kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;atau
122
b) tambahan 2 (dua) tahun apabila mempekerjakan sekurangkurangnya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
5. tambahan 2 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di
dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi
produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman
Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
6. tambahan 2 tahun : apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang
telah ada pada Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerahdaerah Tertentu yang diatur pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf
b sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba setelah
pajak (earning after tax) Wajib Pajak pada satu tahun pajak
sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasan penanaman
modal; dan/atau
7. tambahan 2 tahun : apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari nilai total penjualan, untuk Penanaman Modal pada bidangbidang usaha yang diatur pada ayat (1) huruf a yang dilakukan
diluar kawasan berikat.
(3) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga diberikan
kepada Wajib Pajak yang atas usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan sesuai ketentuan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010,
ditolak oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dibebankan
sejak tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial.
(2) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan
selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun dikalikan jumlah
Penanaman Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
Pasal 4
(1) Penghitungan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b, dimulai sejak bulan berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Penghitungan penyusutan atas aktiva berwujud dan amortisasi atas aktiva tak berwujud untuk
bulan sebelum berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan,
dilakukan sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
beserta perubahannya.
(3) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Kelompok aktiva berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka
1) dan kelompok aktiva tak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b angka 2) adalah sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan beserta perubahannya.
b. Dasar penyusutan dan amortisasi dipercepat adalah:
1) harga perolehan aktiva bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan garis
lurus;
2) nilai sisa buku aktiva bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan saldo
menurun.
c. Tarif penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 1) dan tarif amortisasi yang dipercepat adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2) .
123
d. Masa manfaat dipercepat aktiva adalah setengah dari sisa masa manfaat aktiva
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya dengan ketentuan bagian bulan
dihitung sebagai 1 (satu) bulan penuh.
(4) Dalam hal aktiva tetap yang lama diganti dengan aktiva tetap yang baru, dasar penyusutan
aktiva tetap baru adalah harga perolehan aktiva baru dimaksud.
Pasal 5
(1) Terhadap aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau
dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru,
sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
a. jangka waktu 6 (enam) tahun sejak saat mulai berproduksi secara komersial; atau
b. masa manfaat aktiva sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b angka 1.
(2) Terhadap aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian
fasilitas, atau dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tak berwujud dimaksud kecuali diganti
dengan aktiva tak berwujud baru, sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud
dimaksud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka
2.
Pasal 6
(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dapat
dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
dan berakhir pada saat Wajib Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan bidang usaha, Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk, serta persyaratan lainnya dalam
lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) .
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menghasilkan produk yang diberikan fasilitas juga menghasilkan
produk yang tidak diberikan fasilitas, besaran dividen yang mendapat fasilitas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c adalah sebesar persentase
total nilai penjualan produk yang mendapat fasilitas terhadap total nilai penjualan seluruh
produk pada tahun pajak sebelum dividen dibagikan.
(3) Kepada Wajib Pajak yang melakukan perluasan usaha, besarnya dividen yang mendapat
fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c sebanding
dengan persentase nilai realisasi aktiva perluasan usaha terhadap total nilai buku fiskal aktiva
yang diperoleh sebelum perluasan usaha ditambah dengan nilai realisasi aktiva perluasan usaha
pada waktu selesainya perluasan usaha.
Pasal 7
(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dapat
dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
dan Wajib Pajak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6 dan/atau angka 7.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dapat memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, sehingga Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh
tambahan jangka waktu kompensasi kerugian yang melebihi dari 5 (lima) tahun, besarnya
tambahan jangka waktu kompensasi kerugian yang diberikan adalah paling lama untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun.
(3) Untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib
Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
124
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan lapangan menerbitkan keputusan tentang penambahan jangka waktu
fasilitas kompensasi kerugian.
(5) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan keputusan tentang penambahan
jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(6) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 1 berlaku untuk kerugian seluruh tahun pajak sepanjang Penanaman Modal baru
dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat dan berakhir saat Wajib Pajak
tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) .
b. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 2 berlaku untuk kerugian tahun pajak dicapainya pengeluaran untuk infrastruktur
ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
c. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 3 berlaku:
1. terhitung sejak tahun pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak memperoleh izin
Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal dan Wajib Pajak
bersangkutan menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam
negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen); dan
2. pada tahun pajak sebelum tahun pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak memperoleh
izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal bersangkutan dan Wajib
Pajak menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri
paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) .
d. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf d angka 4 berlaku:
1. tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pajak setelah Wajib Pajak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;atau
2. tambahan 2 (dua) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pajak setelah Wajib Pajak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
3. tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 adalah
tenaga kerja yang berkewarganegaraan Indonesia dan tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak.
e. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 5 berlaku untuk kerugian tahun pajak saat dicapainya pengeluaran biaya penelitian
dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi
produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah realisasi Penanaman Modal, dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun.
f. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 6 berlaku:
1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas tambahan kompensasi kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 adalah Wajib Pajak
yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1);
2) sumber pembiayaan perluasan Penanaman Modal berasal dari laba setelah pajak
(earning after tax) Wajib Pajak pada satu tahun pajak sebelum tahun diterbitkannya
izin prinsip perluasan Penanaman Modal;
3) kerugian yang dapat diberikan fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian
selama 2 (dua) tahun adalah kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi
secara komersial atas kegiatan perluasan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
pada angka 2) ;
125
g. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 7 berlaku untuk tahun pajak dilakukannya ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari nilai total penjualan .
(7) Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang
mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, penghitungan besarnya kerugian
yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7
sesuai dengan penghitungan berdasarkan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal
yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas.
(8) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal
yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, besarnya kerugian yang
mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 dihitung
dengan formula sebagai berikut:
BVMF
KMF =
------------------------ X TK
(BVTF +BVMF)
KMF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan
BVMF= Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pada akhir tahun
pajak terjadinya kerugian
BVTF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir
tahun pajak terjadinya kerugian
TK = Total kerugian
(9) Besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 dihitung dengan formula sebagai
berikut:
EAT
---------------------KMF =
X TK
-BVAT
BVAT = BVMF + BVTF
KMF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan
EAT = Laba setelah pajak yang ditanamkan kembali dalam perluasan usaha
BVAT = Total nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap
BVMF= Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pada akhir tahun
pajak terjadinya kerugian
BVTF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir
tahun pajak terjadinya kerugian
TK = Total kerugian tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial
Pasal 8
Permohonan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan
pengajuannya dilakukan sebelum saat mulai berproduksi secara komersial.
Pasal 9
Pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 berlaku, terhadap Wajib Pajak yang izin
prinsip Penanaman Modal atau izin prinsip perluasan Penanaman Modalnya diterbitkan oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, dapat diajukan usulan untuk diberikan fasilitas Pajak
126
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 oleh Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal, sepanjang:
a. izin prinsip Penanaman Modal atau izin prinsip perluasan Penanaman Modal tersebut belum
pernah diterbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerahdaerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
b. bidang usaha, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), cakupan produk,
persyaratan, dan/atau Daerah/Provinsi sesuai dengan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015;
c. belum berproduksi secara komersial pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015
berlaku; dan
d. usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud diterima oleh Menteri Keuangan
paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015.
Pasal 10
Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Diperuntukkan bagi:
1) Wajib Pajak yang pada saat menyampaikan permohonan pemberian fasilitas Pembebasan
atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor
94 Tahun 2010, memilih untuk dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015; atau
2) Wajib pajak yang telah menyampaikan permohonan pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94
Tahun 2010 sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, yang mengajukan permohonan
untuk memilih untuk dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 setelah atas permohonan untuk mendapatkan fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan
Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 ditolak oleh Menteri Keuangan.
b. Memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2015;
c. Wajib Pajak dianggap telah mengajukan permohonan mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan
kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan
d. Dilakukan pemrosesan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
(1) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, dilakukan
pembahasan dalam rapat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk
memutuskan dapat tidaknya permohonan dimaksud diusulkan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan.
(2) Direktur Jenderal Pajak, staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara, dan/atau pejabat yang
ditunjuk dapat hadir dalam rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal.
127
(2) Usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri
dokumen berupa:
a. fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan bukti tanda terima surat permohonan Wajib Pajak dimaksud;
b. surat penolakan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
Badan, untuk permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9;
c. izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. rincian aktiva tetap; dan
e. surat keterangan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, kesesuaian cakupan produk, dan pemenuhan tiap
persyaratan sesuai Lampiran I dan/atau Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2015 dari kementerian pembina sektor terkait.
(3) Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) yang disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selain dilampiri dengan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri dengan surat keterangan belum beroperasi
secara komersial yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 13
(1) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan persetujuan atau
penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
setelah mendapat rekomendasi staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh staf ahli
Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah-masalah di
bidang penerimaan negara kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mendasarkan pada dokumen-dokumen, berupa:
a. rekomendasi tertulis staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat
(3).
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersedia lengkap pada saat rapat yang
dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) dan saat disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(5) Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2).
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
(1) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah
saat pertama kali hasil produksi dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses
produksi lebih lanjut.
128
(2) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
(3) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan setelah Direktur Jenderal
Pajak menerima permohonan tertulis dari Wajib Pajak secara lengkap atau berdasarkan
penelitian terhadap surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Wajib Pajak
diketahui Wajib Pajak telah mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan Wajib Pajak kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak dilakukannya produksi secara komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dengan menggunakan
formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini, yang paling sedikit dilampiri dengan:
a. fotokopi keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
b. fotokopi izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang menjadi
dasar penerbitan keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan izin
usaha tetapnya;
c. fotokopi dan softcopy atas rincian dan jenis aktiva tetap pada saat pengajuan
permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan pada saat Wajib Pajak mulai
berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
d. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan hasil produksi ke
pasaran pertama kali, atau pertama kali digunakan sendiri untuk proses produksi lebih
lanjut.
(6) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan:
a. penentuan mengenai saat Wajib Pajak pertama kali melakukan penjualan hasil produksi ke
pasaran dan/atau menggunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut;
b. penghitungan jumlah Penanaman Modal yang digunakan sebagai dasar penghitungan
fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf a, yaitu:
1) sebesar realisasi Penanaman Modal, dalam hal realisasi Penanaman Modal kurang
dari atau sama dengan rencana Penanaman Modal;
2) sebesar rencana Penanaman Modal, dalam hal realisasi lebih besar dari rencana
Penanaman Modal.
c. pengujian kesesuaian penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha,
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk, serta
persyaratan lainnya dalam lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diterima secara lengkap, harus
menerbitkan keputusan yang berisi mengenai:
a. saat mulai berproduksi secara komersial;
b. penetapan jumlah Penanaman Modal yang digunakan sebagai dasar penghitungan
fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf a;
c. kesesuaian antara penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha, Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk serta persyaratan
lainnya dalam lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
129
Pasal 16
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(6) terdapat ketidaksesuaian antara penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha,
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk, serta persyaratan
lainnya dalam lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, permohonan penetapan saat mulai berproduksi secara
komersial ditolak, dan keputusan persetujuan pemberian fasilitas dicabut, serta kepada Wajib
Pajak dikenakan sanksi perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan pencabutan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 17
(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak laporan mengenai hal-hal
sebagai berikut:
a. jumlah realisasi Penanaman Modal;
b. jumlah realisasi produksi;
c. rincian aktiva tetap.
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal
Pajak setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang
bersangkutan dalam periode sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan sampai dengan diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi secara
komersial.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang
bersangkutan dalam periode sejak diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi secara
komersial sampai dengan berakhirnya masa manfaat aktiva secara fiskal.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), terhadap Wajib Pajak dimaksud dapat dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
Pasal 18
(1) Terhadap penyalahgunaan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dan Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dilakukan pencabutan
terhadap keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan tidak dapat lagi
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dan Peraturan Menteri ini.
(2) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pencabutan
keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidangbidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.
Pasal 19
130
131
132
h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang
disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang
j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata
berupa penyerahan paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana
akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas
penyerahan jasa perantara penjualan, adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan
atau jumlah yang seharusnya ditagih
l. dihapus
m. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b diubah, serta huruf c dihapus, sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
Pajak Masukan yang berhubungan dengan
a. penyerahan jasa pengiriman paket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j
yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket
b. penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata
berupa penjualan paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan
sarana akomodasi, yang tidak didasari oleh perjanjian jasa perantara penjualan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k yang dilakukan oleh pengusaha
jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata
c. dihapus
d. penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf m yang dilakukan oleh
e. pengusaha jasa pengurusan transportasi,
tidak dapat dikreditkan.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
133
134
sebagai berikut:
Pasal 10A
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 4 dan angka 5 berlaku
sejak ditetapkannya Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf e sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 224/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
137
138
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap;
dan
b. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam
usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada
peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
yang bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran
bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
139
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang
disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini
berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan
bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah
peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
Pasal 4
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) adalah 1% (satu persen).
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan,
untuk setiap tempat kegiatan usaha.
(3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 5
(1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib
Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
(2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1
(satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.
(2) Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun
Pajak yang bersangkutan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai
140
Pasal 8
(1) Wajib Pajak yang dikenai Pajak penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan
penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
(1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan
melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UndangUndang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima
atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UndangUndang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UndangUndang Pajak Penghasilan.
(3) Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan
besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut;
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan
besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
(5) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan
141
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Pasal 11
Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009,
dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.
Pasal 12
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari
usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11; dan
c. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi
dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak
berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat
142
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
143
144
Pasal 2
Pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
berlaku pada saat kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan harus dilakukan.
Pasal 3
(1) Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan/atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
merupakan angsuran atau pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan bagi Wajib Pajak yang
dipotong dan/atau dipungut Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan/atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
145
syariah;
2. cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
yaitu badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan
kredit kepada masyarakat, yang meliputi:
a) koperasi simpan pinjam;
b) PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
c) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
d) perusahaan pembiayaan infrastruktur yang melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur; dan
e) PT Perusahaan Pengelola Aset.
3. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu
cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang
modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);
4. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran;
5. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut;
b. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi:
1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk
perusahaan asuransi kerugian;
2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan
untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk
kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai
akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya
penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas
hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan
bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan
penimbunan hasil pengolahan limbah industri.
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih PT Permodalan Nasional Madani (Persero)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir b) ditetapkan sebagai berikut:
a. 2,5% (dua setengah persen) dari piutang yang digolongkan dalam perhatian
khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 5% (lima persen) dari piutang yang digolongkan kurang lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari piutang yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan; dan
147
d. 100% (seratus persen) dari piutang yang digolongkan macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai
yang ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh PT
Permodalan Nasional Madani (Persero).
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan
pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai
untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
3. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir c) ditetapkan sebagai berikut:
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus
setelah dikurangi nilai agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah
dikurangi nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi
nilai agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi
nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai
yang ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan
pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai
untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Pasal 7B
(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan
infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir d) ditetapkan
148
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
sebagai berikut:
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam
perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai
yang ditetapkan perusahaan penilai.
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh
perusahaan pembiayaan infrastruktur.
Kerugian yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan
pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai
untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Pasal 7C
(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk PT Perusahaan Pengelola Aset
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir e) ditetapkan sebagai berikut:
a. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
b. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
c. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai
yang ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan PT
Perusahaan Pengelola Aset.
(4) Kerugian yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan
pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai
untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
149
Pasal II
1. Ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 butir c), butir d), dan butir e), Pasal 7A, Pasal 7B, serta
Pasal 7C mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2012.
2. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
150
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang
Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan
Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana
Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5182);
4.
Keputusan Presiden Nomor 56/ P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
151
a.
b.
c.
d.
e.
(1) Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak
sumbangan diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk 1 (satu) tahun
dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 3
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan.
Pasal 4
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat
diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan
hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Pasal 5
(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditentukan
berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan:
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi
sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana
dan/atau prasarana.
152
Pasal 6
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan
peruntukannya oleh pemberi sumbangan.
Pasal 7
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d,
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak sumbangan tersebut diserahkan.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan.
(3) Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dilaksanakan lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, biaya
pembangunan infrastruktur sosial dibebankan sekaligus sebagai pengurang penghasilan bruto
pada Tahun Pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan, dengan contoh penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(4) Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dibiayai oleh lebih dari 1 (satu) Wajib Pajak, biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto
adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh masing-masing Wajib Pajak.
(5) Pengeluaran masing-masing Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibatasi tidak
melebihi persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 8
Bukti penerimaan sumbangan dan/atau biaya wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak pemberi
sumbangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dengan
menggunakan formulir penerimaan sumbangan sesuai contoh format sebagaimana tercantum pada
Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan
Menteri
Keuangan
ini.
Pasal 9
(1) Badan penanggulangan bencana dan/atau lembaga atau pihak yang menerima sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan
penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau
biaya.
(3) Laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dengan menggunakan formulir laporan penerimaan sumbangan sesuai contoh format
sebagaimana tercantum pada Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
153
154
Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk
penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima
atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan,
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada
Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali
tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk
Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak
dilakukan realisasi penanaman kembali.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai
berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang
baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan
manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi
perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas
nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud,
paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang
disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi
komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri
dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia,
besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
Pasal 6
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan
pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Pasal 7
Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal
157
Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi
Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
158
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5174);
4.
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
159
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota
TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota POLRI
adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan
yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota
POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
BAB II
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh PASAL 21
Pasal 2
(1) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban
APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya,
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap
dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap
bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa
honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD,
dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Pasal 4
Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
160
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut.
BAB III
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 21
Pasal 5
(1) Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak.
(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan
penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(3) Besarnya Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh penghasilan tetap
dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:
a. biaya jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
tentang biaya jabatan; dan
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
atau Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua
yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan ditentukan
berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan biaya pensiun
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya pensiun.
Pasal 6
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah penghasilan bruto.
Pasal 7
(1) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai
penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi wanita kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri;
b. bagi wanita tidak kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri
ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya
paling banyak 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan
keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang
menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.
(4) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun
kalender.
BAB IV
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENETAPANNYA
Pasal 8
161
(1) Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(3) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa Pajak
Desember atau Masa Pajak terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan
atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah jumlah gaji,
uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat pembayaran penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan
ke-13 (ketiga belas), serta rapel gaji dan/atau tunjangan maka perkiraan penghasilan
yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a
ditambah dengan jumlah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta
rapel gaji dan/atau tunjangan.
(4) Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu dimana
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja.
(5) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah:
a. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta
rapel gaji dan/atau tunjangan adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang
terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a.
(6) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja sebagai
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI setelah bulan Januari, banyaknya
bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau faktor pembagi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak
yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun.
(7) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak Desember adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim
dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam
tahun takwim yang bersangkutan.
(8) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan dengan
akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun
takwim yang bersangkutan.
(9) Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) dan ayat (8) adalah tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(10) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan
penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari
pembayaran gaji, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan tersebut harus
memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang bersangkutan.
Pasal 9
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban
APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:
162
a. sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan
IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 10
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
(3) Pengenaan tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
bendahara pemerintah dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat permintaan pembayaran
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diajukan.
(4) Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
bendahara pemerintah pada saat pembayaran penghasilan tetap dan teratur yang diterima setiap
bulan.
(5) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak kepada bendahara pemerintah.
(6) Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dibuktikan dengan memberikan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah; atau
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari Nomor
Pokok Wajib Pajak suami, kepada bendahara pemerintah.
BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 11
(1) Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara pengeluaran
pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan perpajakan; dan
b. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk setiap Masa Pajak.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap
dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).
(4) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong
pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.
Pasal 12
163
(1) Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang ditunjuk
sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21 yang
Ditanggung Pemerintah, kelebihan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah tersebut
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada bulan berikutnya
melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
(2) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21 yang
bersifat Final dari penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain sehingga terdapat kelebihan
penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat
final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Pasal 14
(1) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang
Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja sebelum
berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang
bersifat final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun paling
lama pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.
Pasal 15
(1) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor ke Kantor Pos
atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh
Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan
Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 16
(1) Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:
a. awal tahun kalender;
164
b. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI;
c. saat mulai pensiun,
sebagai dasar penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya kepada
bendahara pemerintah.
(2) Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah,
atau pensiun pada bagian tahun kalender, maka Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja
yang lama wajib menyampaikan Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) kepada Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
a. tempat bekerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
b. yang membayar uang pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai pensiun;
paling lama 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI
berhenti bekerja, pindah, atau pensiun.
Pasal 17
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
PPh Pasal 21 yang dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Pasal 18
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain
tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Tata cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya sesuai
petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan
ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan tetap
dan teratur untuk bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan Desember 2010,
pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan Atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang
165
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal pada tanggal 1 Januari 2011
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangannya Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
166
168
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran atas
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, perlakuan perpajakan untuk zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009, berlaku
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
169
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 69 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
2. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009;
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG
PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH MASYARAKAT YANG
TERKENA LUAPAN LUMPUR SIDOARJO UNTUK TAHUN ANGGARAN 2010.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan/atau badan yang terkena
luapan lumpur Sidoarjo dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada PT
Minarak Lapindo Jaya atau Pemerintah terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Orang pribadi dan/atau badan yang terkena luapan lumpur Sidoarjo sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah orang pribadi dan/atau badan yang memiliki tanah dan/atau bangunan
yang termasuk dalam:
a. Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006;
170
2. sebelah timur
3. sebelah selatan
: Kali Porong;
4. sebelah barat
sesuai Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15B ayat (1) Peraturan Presiden Nomor
14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009.
(3) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh
Pemerintah.
(4) Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
dengan pagu anggaran sebesar Rp205.000.000.000,00 (dua ratus lima miliar rupiah).
(5) Pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dialokasikan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010.
Pasal 2
(1) PT Minarak Lapindo Jaya wajib menyampaikan laporan tiap bulan kepada Direktorat
Jenderal Pajak mengenai data masyarakat yang menerima penghasilan atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dari masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo kepada PT Minarak Lapindo Jaya atau
Pemerintah.
Pasal 3
Saat terutangnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan tata cara
penatausahaan perpajakan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN,
AGUS
MARTOWARDOJO
D.W.
171
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi
kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
Mengingatkan :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4981);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN
YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI.
Pasal 1
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia
kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
172
a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00 (dua
ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Pasal 3
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipotong oleh koperasi yang
melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi pada saat
pembayaran.
Pasal 4
(1) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memberikan tanda bukti pemotongan
Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang pribadi yang dipotong Pajak
Penghasilan setiap melakukan pemotongan.
(2) Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dilakukan terhadap penghasilan dari bunga
simpanan yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
Pasal 5
(1) Pajak Penghasilan yang telah dipotong oleh koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 6
(1) Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
(2) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
(3) Pelaporan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
522/KMK.04/1998 tentang Batas Bunga Simpanan Anggota Koperasi yang Tidak Dipotong Pajak
Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
173
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
174
175
abahwa
.berdasarkan
ketentuan
Pasal
3
UndangUndang
Nomor
7
Tahun 1983
tentang Pajak
Penghasilan
sebagaimana
telah
beberapa kali
diubah
terakhir
dengan
UndangUndang
Nomor
36
Tahun 2008
juncto
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
215/PMK.03/
2008 tentang
Organisasiorganisasi
Internasional
dan Pejabat
pejabat
Perwakilan
Organisasi
Internasional
Yang Tidak
Termasuk
Subjek Pajak
Penghasilan,
Menteri
Keuangan
menetapkan
organisasi
internasional
dan pejabat
perwakilan
organisasi
internasional
yang
memenuhi
syarat sebagai
tidak
termasuk
Subjek Pajak
Penghasilan;
bbahwa
.melalui surat
Nomor
B13520/Setneg
/Setmen/07/2
009 tanggal
14 Juli 2009
dan
surat
Nomor
B9796/Setneg/
176
KTLN/05/20
09 tanggal 27
Mei
2009,
Sekretariat
Negara telah
menyampaika
n
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
rekomendasi
NOMOR 234/PMK.03/2009
dalam rangka
TENTANG
penetapan
Japan
BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN
External
KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK
Trade
PENGHASILAN
Organization
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
(JETRO)
sebagai
Organisasi
MENTERI KEUANGAN,
Internasional
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai penghasilan dari modal
yang ditanamkan oleh dana pensiun pada bidang-bidang tertentu yang dikecualikan
sebagai objek Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali mengenai bidang-bidang
penanaman modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan;
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
177
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BIDANG PENANAMAN MODAL
TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG
DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan dari penanaman modal berupa:
a.
bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di
Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah
Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan
perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
c. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian objek Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
651/KMK.04/1994 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan
Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2009
MENTERI KEUANGAN
178
a. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan penghitungan
besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu perlu mengatur kembali batasan mengenai Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak
Berjalan yang harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib
Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala
termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
Mengingat
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANGUNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009.
179
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
Jakarta
pada tanggal
10 Desember 2009
180
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
181
183
184
(1)Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga
pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam
menghitung penghasilan kena pajak.
(2)Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Pasal 3
(1)Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan
oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
(2)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak berlaku untuk piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3)Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya
pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah
menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau
kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk
keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya
dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank
kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha
kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
(4)Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 4
185
(1)Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas
debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.
(2)Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara
melampirkan:
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang
telah dilegalisir oleh notaris: atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui
oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh
kreditur.
(3)Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Pasal 5
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas
debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
130/KMK.04/1998 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai
Biaya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN,
186
187
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.
2.
Pasal 2
188
Peinberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan
bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :
a.
Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan.
b.
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
c.
Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
Pasal 3
Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
a.
pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja,
atau
b.
pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya
tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai
bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.
Pasal 4
(1) Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk :
a.
b.
pelayanan kesehatan;
c.
d.
peribadatan;
e.
f.
olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan
terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.
(2) Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa
pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman
lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
(3) Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
189
Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian
dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar
jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran kupon
makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah tertentu, dan
batasan mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
466/KMK.04/2000 tentang Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan
Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk
Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan
Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku
surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN,
190
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di
Indonesia kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka
melaksanakan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan dari Penjualan Atau pengalihan Harta Di
Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia;
MMengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3.
Menetapkan
191
:
:PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.
2.
Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 2
(1)
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2)
Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang
berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3)
Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25 % (dua
puluh lima persen) dari harga jual.
(4)
Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau
pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang
antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pasal 3
(1)
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib
Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2)
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib
memotong dan menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan
nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2)
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib
192
melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong kepada Direktur Jenderal Pajak paling
lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(3)
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemotong, tata cara pemotongan, penyetoran dan
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN,
193
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
195
(2) perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) yang
di bentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax heaven Country)
yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 25% (dua puluh lima
persen) dari harga jual.
(5) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat final.
(6) Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk
dari Negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak
pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Pasal 2
(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4)
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pihak yang dtunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau
berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham
Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan
b. badan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus mencatat akta pemindahan hak atas
saham yang dijual.
Pasal 3
(1) Pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib disetorkan ke
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disetorkan ke
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(4) Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipungut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Pasal 4
Pemotong Pajak Penghasilan dan/atau pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
197
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
198
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA
ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS
DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN
HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB
PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN
KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU.
199
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :
1. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali
memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari
satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak
berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 2
(1)
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan
yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
(2)
Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan
pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap
bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan
pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau
menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
(3)
Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan
yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
200
proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua
belas).
Pasal 3
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan
hak opsi adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi
12 (duabelas).
Pasal 4
(1)
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak
bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri
tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
(2)
Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan
sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
terakhir tahun pajak sebelumnya.
Pasal 5
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut
laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan di kurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di
luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Pasal 6
(1)
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran
bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
(2)
Ketentuan pelaksanaan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur
201
Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
522/KMK.04/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha tertentu sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
202
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGHASILAN ATAS JASA KEUANGAN
YANG DILAKUKAN OLEH BADAN USAHA YANG BERFUNGSI SEBAGAI PENYALUR
PINJAMAN DAN/ATAU PEMBIAYAAN YANG TIDAK DILAKUKAN PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 23.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada
badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, tidak dilakukan
pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian
pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
203
a. perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk
dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri
Keuangan;
b. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk
memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
Pasal 2
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
204
Pasal 1
(1)
(2)
Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Paja
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir den
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Paja
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Und
bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (du
Pasal 2
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
205
521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
206
207
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
208
209
210
Pasal 1
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (Contract Manufacturing) internasional
adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan jasa pembuatan atau perakitan barang berupa
produk mainan anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan imbalan
211
jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak.
Pasal 2
a.
Pasal 6
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada :
1. tanggal 1 Januari 2003, dalam hal tahun pajak/tahun buku Wajib Pajak sama dengan tahun
takwim;
2. awal tahun pajak/tahun buku 2003 yang dimulai setelah tanggal 1 Januari 2003 dalam hal
tahun pajak/tahun buku Wajib Pajak berbeda dengan tahun takwim.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
212
213
Menimbang :
Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kredit Pajak Luar
Negeri;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI.
Pasal 1
(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari
seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
(2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut;
b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. untuk penghasilan berupa deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan
dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak.
214
Pasal 2
(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri,
maka Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
(2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).
(3) Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
(4) Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang
terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas
Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar
negeri.
(5) Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan Kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.
(6) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak termasuk Penghasilan
yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dan atau
penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat
(4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 3
Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit
pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.
Pasal 4
(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena alasan-alasan di luar
kemampuan Wajib Pajak (force majeur).
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak
harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
(2) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak
Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga
215
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaiamana telah diubah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
(3) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak
Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib
Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Pasal 7
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
640/KMK.04/1994 tentang Kredit Pajak Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BOEDIONO
216
217
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996, sehingga
seluruhnya menjadi sebagai berikut :
Pasal 2
(1) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib
Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final.
(2) Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan
atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan
dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan,
biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan "service charge" baik yang perjanjiannya dibuat
secara terpisah maupun yang disatukan."
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,BOEDIONO
218
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3844);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4039);
6. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO
SERTIFIKAT BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :
219
(1) Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito
berjangka, sertifikat deposito dan "deposit on call" baik dalam mata uang rupiah maupun
dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.
(2) Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang
penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing
bank.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan
di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi subjek
pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun pajak, termasuk bunga
dan diskonto, tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
(4) Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi
atas pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 3
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut :
a. dikenakan PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
b. dikenakan PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar
negeri.
Pasal 4
Pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan terhadap :
a. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni
sendiri.
220
Pasal 5
(1) Pengecualian dari pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf c
dapat diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan
atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan
oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.
(2) Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan terhadap :
a. tabungan.
b. deposito dan Sertifikat Bank Indonesia yang penampatan dan atau perpanjangannya
(rollover) dilakukan pada tanggal 1 Januari 2001 dan sesudahnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
(1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Bank Indonesia wajib memotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual
kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana
Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, wajib memotong Pajak
Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut.
Pasal 7
(1) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang
ditempatkan/diperpanjang sebelum tanggal 1 Januari 2001 yang jatuh tempo pembayaran
bunga/diskontonya paling lambat 31 Januari 2001, dikenakan tarif 15% (lima belas persen).
(2) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang
ditempatkan/diperpanjang sebelum tanggal 1 Januari 2001 yang jatuh tempo pembayaran
bunga/diskontonya setelah 31 Januari 2001, dikenakan tarif 20% (dua puluh persen).
(3) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang
ditempatkan/diperpanjang setelah 31 Desember 2000, dikenakan tarif 20% (dua puluh
persen).
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 9
Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
652/KMK.04/1994 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
221
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2001
MENTERI KEUANGAN,
ttd
PRIJADI PRAPTOSUHARDJO
222
Menimbang:
a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, terhadap penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong
Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto
yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
b. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a di atas, untuk memberikan
kepastian mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN
selain BUT dari penjualan saham, dipandang perlu mengatur pemotongan PPh atas
penghasilan
tersebut
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
4. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998;
M E M U T U S K A N:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
SELAIN BENTUK USAHA TETAP ATAS PENGHASILAN BERUPA
KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN SAHAM.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dan tidak berstatus sebagai
223
Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.
(2) Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua
puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalh 20% x 25% atau 5%
(lima persen) dari harga jual.
(4) Pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
Pasal 3
(1) Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 telah dibayar lunas dengan menyerahkan
fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukan aslinya.
(3) Dalam hal pembeliannya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah
Perseroan.
Pasal 4
(1) Pemotongan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memotong dan
menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos,
dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dilakukan oleh Perseroan dengan menggunakan nama WPLN pemegang saham selambatlambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak
di Bank Persepsiatau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak
selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Pemotong/pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan ini dikenakan sanksi sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
224
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Agustus1999
Menteri Keuangan,
ttd.
Bambang Subianto
225
226
Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan pendiri adalah orang pribadi atau badan yang
namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana ("intial
public offering") menjadi efektif.
(2) Termasuk dalam pengertian pendiri adalah orang pribadi atau badan yang menerima
pengalihan saham dari pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena :
c. warisan;
d. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
e. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
(3) Termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah :
b. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan
setelah penawaran umum perdana ("intial public offering);
c. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
(4) Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah :
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (intial public offering")
yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran,
obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
Pasal 2
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan
saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1997, yaitu sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
saham.
Pasal 3
(1) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan bersifat final sebesar 0,5%
(nol koma lima persen) dari nilai saham.
(2) Besarnya nilai saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. nilai saham pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996 atau pada tanggal 30
Desember 1996, apabila saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek dalam tahun
1996 atau sebelumnya;
b. nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana ("initial public offering"),
apabila saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997.
Pasal 4
a.
227
c.
Pasal 5
(1) Tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan
terhadap pemilik saham pendiri.
(2) Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
emiten atas nama pemilik saham pendiri ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambatlambatnya :
a. 6 (enam) bulan setelah tanggal 29 Mei 1997, apabila saham perusahaan telah
diperdagangkan di bursa efek sebelum tanggal tersebut;
b. 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa efek, apabila saham
perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 29 Mei 1997.
(3) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
diperhitungkan sebagai biaya bagi emiten.
(4) Emiten wajib menyampaikan laporan tentang penyetoran tambahan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat ia
terdaftar sebagai Wajib Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya
setelah bulan penyetoran.
Pasal 6
Wajib Pajak pemilik saham pendiri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan Pajak Penghasilan sesuai
dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 81/KMK.04/1995
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 29 Mei 1997.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juni 1997
MENTERI KEUANGAN
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
228
Menimbang :
a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Tertentu, perlu ditetapkan Norma Penghitungan
Khusus tentang penghasilan neto;
b. bahwa dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni
1996 tentang Norma Penghitungan Khusus penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri, Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
181/KMK.04/1995 Tanggal 1 Mei 1995 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan
Neto Bagi Wajib Pajak yang bergerak di Bidang Usaha Pelayaran dan/atau Penerbangan
dinyatakan tidak berlaku lagi;
c. bahwa untuk kepastian hukum, masih perlu ditetapkan norma penghitungan khusus
penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali mengenai
norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan
dalam negeri, dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2363), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan
VI;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar
Negeri;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN
PERUSAHAAN PENERBANGAN DALAM NEGERI.
NETO
BAGI
WAJIB
PAJAK
229
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
a. Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan penerbangan yang
bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian
charter;
b. Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah semua
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat
dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan di luar negeri.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan sebesar
6% (enam persen) dari peredaran bruto;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah sebesar 1,8% (satu koma
delapan persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b;
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kredit pajak
yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan pertama kalinya diberlakukan untuk tahun
pajak 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di JAKARTA
pada tanggal 23 Juli 1996
MENTERI KEUANGAN,
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
230
231
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang
dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan di luar negeri.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan
181/KMK.04/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menteri
Keuangan
Nomor
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juni 1996
MENTERI KEUANGAN,
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
232
Menimbang:
a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak tertentu , perlu ditetapkan Norma Penghitungan
Khusus tentang penghasilan neto.
b. bahwa untuk kepastian hukum, perlu ditetapkan norma penghitungan khusus penghasilan neto
bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam Negeri.
c. bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan
Neto bagi Wajib Pajak yang Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran atau Penerbangan belum
cukup mengatur mengenai hal tersebut.
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan
pelayaran
dalam
negeri,
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459)dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567).
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan
VI.
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran atau
Penerbangan.
M E M U T U S K AN :
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA
PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN
PELAYARAN DALAM NEGERI.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran
233
dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4%
(empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi
Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen)
dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bersifat final
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995
tanggal 1 Mei 1995 yang berkenaan dengan Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan pertama kalinya diberlakukan untuk tahun
pajak 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juni 1996
MENTERI KEUANGAN,
MAR'IE MUHAMMAD
234
Menimbang:
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf j Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal dalam perusahaan kecil dan menengah yang sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, tidak termasuk sebagai Objek Pajak,
b. bahwa atas penghasilan dari pengalihan saham perusahaan modal ventura pada pasangan
usahanya yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j Undangundang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1995, sedangkan apabila pengalihan tersebut dilakukan di bursa efek
dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan perusahaan kecil dan menengah
pasangan usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan perpajakan atas penghasilan
berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan
modalnya,
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262),
sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3567);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Penjualan saham di Bursa Efek (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3574);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan
Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3585);
235
5. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara
Tahun 1988 Nomor 5);
6. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan
VI;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara
pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor: 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK NDONESIA TENTANG PERUSAHAAN
KECIL DAN MENENGAH PASANGAN USAHA DARI PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENYERTAAN MODAL PERUSAHAAN MODAL
VENTURA.
Pasal 1
Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j angka (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah perusahaan yang penjualan
bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 2
(1) Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha
dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek
dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.
(2) Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan Objek
Pajak Penghasilan.
(3) Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal
ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36
(tiga puluh enam) bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal menjual sahamnya di bursa efek.
(4) Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3), merupakan
Objek Pajak Penghasilan, kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4
angka (3) huruf f Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
Pasal 3
Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan Objek
Pajak Penghasilan, dan penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
236
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 227/KMK.01/1994
tanggal 9 Juni 1994 tentang Sektor-sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal
Ventura dan Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal dan/ atau Pengalihan Penyertaan Modal
Perusahaan Modal Ventura dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di : JAKARTA
pada tanggal : 2 Juni 1995
MENTERI KEUANGAN,
MAR'IE MUHAMMAD.
237
238
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1992 tentang Penangguhan PPN
dan PPn BM serta tidak dipungut PPh pasal 22 atas Impor dalam rangka Kegiatan Konstruksi
dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Propinsi Riau (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 101);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 1993 tentang Perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena
Pajak Ke, Dari Dan Antar Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 87);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGIPENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN
PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG TIDAK TERUTANG
PAJAK.
Pasal 1
(1) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal, baik untuk kegiatan usaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai maupun untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilainya Ditanggung Pemerintah atau dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengkreditkan Pajak
Masukan yang besarnya sebanding dengan prosentase penggunaan Barang Modal yang
digunakan untuk kegiatan usaha yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mengkreditkan
seluruh Pajak Masukan atas barang Modal tersebut, maka bagian Pajak Masukan untuk
kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilainya
Ditanggung Pemerintah atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
PM
p' x ----T
Dengan ketentuan bahwa:
p' adalah besarnya prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang
tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dalam satu tahun buku;
T adalah masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut:
untuk bangunan adalah 10 tahun;
untuk Barang Modal lainnya adalah 5 tahun;
PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan dan/atau pemeliharaan Barang Modal yang
telah dikreditkan.
Pasal 2
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
239
a. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan
yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
b. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
c. Melakukan kegiatan menghasilkan/memperdagangkan barang dan usaha jasa yang
atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai; atau
d. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya terutang Pajak Pertambahan Nilai tetapi
Ditanggung Pemerintah atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena
Pajak yang:
1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari
unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah, atau dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau
kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilainya Ditanggung Pemerintah atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit
atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai
terhadap peredaran seluruhnya;
3) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari
unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang telah mengkreditkan seluruhnya Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 2), harus menghitung kembali Pajak
Masukan yang telah dikreditkan tersebut dengan rumus sebagai berikut:
a. untuk Barang Modal:
X
PM
----- x ----Y
T
dengan ketentuan bahwa:
X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai atau yang Pajak Pertambahan Nilainya Ditanggung
Pemerintah atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
selama satu tahun buku;
Y adalah jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku;
T adalah masa manfaat Barang Modal sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) angka 2) yang ditentukan sebagai berikut:
- untuk bangunan adalah 10 tahun;
- untuk Barang Modal lainnya dalah 5 tahun;
PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
240
Pasal 3
Hasil penghitungan kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) diperhitungkan kembali dengan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan pada suatu Masa Pajak selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun
buku.
Pasal 4
Kewajiban menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tidak dilakukan jika masa
manfaat Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) huruf a
telah terlampaui.
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini juga berlaku dalam hal terjadi perubahan
penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha bagi Pengusaha Kena Pajak
yang memperoleh penangguhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 1992 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
128/KMK.00/1993, Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1992 jo. Keputusan Menteri Keuangan
1071/KMK.00/1992, Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 1993 jo. Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 855/KMK.01/1993.
Pasal 6
Pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Keputusan ini tidak berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak
yang baginya ditetapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan tersendiri.
Pasal 7
241
Pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296/KMK.04/1994 tanggal
27 Juni 1994 dinyatakan tidak berlaku dan ketentuan- ketentuan lain mengenai pengkreditan Pajak
Masukan sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan masih berlaku.
242
243
Pasal 1
(1) Penyelenggara undian wajib memotong Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
dibayarkan berupa uang dan memungut Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
diserahkan dalam bentuk natura atau kenikmatan;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto nilai hadiah yang dibayarkan atau
nilai pasar hadiah berupa natura atau kenikmatan yang diserahkan dan bersifat final.
Pasal 2
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipotong atau dipungut oleh penyelenggara
undian sebelum hadiah undian dibayarkan atau diserahkan kepada yang berhak.
Pasal 3
(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terutang pada akhir bulan
dibayarkan atau diserahkannya hadiah undian, dan harus disetorkan secara kolektif ke bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
(2) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Surat
Setoran Pajak dengan Nomor Pokok Wajib Pajak penyelenggara undian.
Pasal 4
Penyelenggara undian melaporkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut dan disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah dibayarkan atau diserahkannya hadiah
undian tersebut.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
245
Pasal 1
246
(1) Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar
negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
premi yang dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
Pasal 2
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh :
a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) huruf a;
b. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran
premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c.
Pasal 3
(1) Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terutang
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi
asuransi tersebut.
(2) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
(3) Pemotongan pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam
rangkap 3 (tiga) :
- Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotongan pajak
terdaftar;
- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
keputusan
ini
dengan
247
248
Pasal 1
Norma Penghitungan khusus penghasilan kena pajak sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan
Pasal 21 ditetapkan sebagai berikut :
1. Untuk Kelompok General Manager : US$ 11.275 per bulan
2. Untuk Kelompok Manager : US$ 9.350 per bulan
3. a. Untuk Kelompok Rig Supervisor/Rig Superintendent atau Tool Pusher : US$ 5.830 per
bulan
b. Untuk Kelompok Assistant Rig Super-visor/Assistant Rig Superintendent atau Assistant
Tool Pusher : US$ 4.510 per bulan
4. Untuk Kelompok Crew lainnya : US$ 3.245 per bulan
249
Pasal 2
Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 627/KMK.04/1991 tentang
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak atas Penghasilan Dari Pekerjaan Yang Diterima
Tenaga Asing Yang Bekerja Pada Wajib Pajak Badan di Bidang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 26 Agustus 1994
MENTERI KEUANGAN,
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
250
Pasal 1
(1) Penghasilan netto Wajib Pajak Badan yang melakukan kerjasama dengan PT. Telkom dalam
pembangunan sarana telekomunikasi dengan sistem Pola Bagi Hasil tahap I dihitung atas
dasar penghasilan bruto dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 14,285%
(empat belas koma dua ratus delapan puluh lima persen).
(2) Penghasilan bruto yang diterima Wajib Pajak Badan dari PT. Telkom sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah penghasilan bruto selama masa bagi hasil atau bagian penghasilan
Wajib Pajak Badan yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian Pola Bagi Hasil tahap I.
(3) Penghasilan netto Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dari kegiatan lain
selain yang tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dihitung berdasarkan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.
251
Pasal 2
(1) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) yang diterima oleh Wajib Pajak Badan adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen)
dari penghasilan netto atau sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto dan bersifat final.
(2) PT. Telkom wajib memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dari
setiap pembayaran kepada Wajib Pajak Badan dan menyetorkannya ke Bank Penerima
Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Badan yang bersangkutan.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan tersebut dalam tahun
berjalan dihitung sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.
(2) Atas penghasilan lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) wajib dibukukan dalam pembukuan yang terpisah.
Pasal 4
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus
penghasilan netto bagi Wajib Pajak yang melakukan kerjasama dengan PT. Telkom dengan sistem
Pola Bagi Hasil tahap II dan selanjutnya.
Pasal 5
Pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 25 Maret 1994
MENTERI KEUANGAN,
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
252
Pasal 1
(1) Penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan Usaha pengeboran minyak
dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 15% (lima
belas persen) dari penghasilan bruto.
253
(2) Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penghasilan bruto dari jenisjenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang
bersangkutan.
(3) Penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan usaha selain pengeboran
minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dihitung
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Pasal 2
(1) Wajib Pajak Badan yang didirikan di Indonesia yang melakukan usaha di bidang pengeboran
minyak dan gas bumi wajib menghitung penghasilan netto berdasarkan pembukuan yang
wajib diselenggarakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 13 Undangundang Pajak Penghasilan 1984.
(2) Bagi Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 398/KMK.00/1988memilih menghitung penghasilan netto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Khusus, tetap dapat menggunakannya sampai dengan
berakhirnya tahun Pajak/tahun buku 1990.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diwajibkan untuk
menyelenggarakan pencatatan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) dan pengeluaran-pengeluaran yang wajib dilakukan pemotongan pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari Usaha
lain selain usaha pengeboran minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3) wajib diselenggarakan pembukuan yang terpisah.
Pasal 4
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut
Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Netto dari usaha di bidang
pengeboran minyak dan gas bumi yang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) ditambah penghasilan netto dari kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Pasal 5
(1) Terhitung tanggal berlakunya Keputusan ini sampai dengan berakhirnya tahun pajak/tahun
buku 1990, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan yang
didirikan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku ketentuan sebagaimana
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 398/KMK.00/1988.
(2) Terhitung masa pajak berikutnya setelah masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak Badan yang
didirikan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
254
Pasal 6
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 398/KMK.00/1988 tentang
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak Badan yang Melakukan
Kegiatan Usaha di Bidang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak dalam Tahun
Berjalan oleh Wajib Pajak sendiri dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Keputusan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1991.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 1991
MENTERI KEUANGAN,
ttd
J.B. SUMARLIN
255
256
257
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA
PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA,
DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak
badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. Penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan sebagai penyelenggara kegiatan yang
melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi
sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai
Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun.
8. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai
Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan
periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri.
10. Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta
258
pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
11. Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi
kerja.
12. Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai
Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk
mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau
kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya
dalam kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh
imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap berupa
gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap
selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode
lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang
atau dibayarkan secara mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang
atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
22. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan kepada Bukan
Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
23. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah, atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
24. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau Masa Pajak tertentu di mana Pegawai Tetap
berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari:
1. orang pribadi;
2. badan; atau
3. cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
259
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; dan/atau
3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta
pegawai magang; atau
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun
kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan; atau
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban
melakukan pemotongan pajak.
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONGPPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang
merupakan:
a. Pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua, termasuk ahli warisnya;
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa,
meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7. agen iklan;
260
i.
penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh
dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai
tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
(2) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura
dan/atau kenikmatan yang diberikan.
Pasal 8
(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; atau
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh
Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b.
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGANPPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
262
barang.
(6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada
dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Pasal 11
(1) Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:
a. Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; dan
c. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah PTKP per tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua belas), sebesar:
a. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
dan
c. Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(3) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; dan
b. bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(4) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah
setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau
memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(5) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), besarnya PTKP untuk pegawai
yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.
Pasal 12
(1) Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara
bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); atau
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan
sehari melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah
mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah
hari kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per
tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk
mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua
atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar
264
sendiri oleh Pegawai Tidak Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau
badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 13
(1) Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja
dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami
serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
BAB VI
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 14
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak dari:
a. Pegawai Tetap;
b. penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan; dan
c. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak
terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1
(satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); dan
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a
ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas); dan
b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan
yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan
Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a.
(4) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan
mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi
kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun
kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun pajak maka
perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak yang bersangkutan.
(7) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21
yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang
terutang untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut
265
dikembalikan kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti
pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
(8) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UndangUndang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga
ribuan penuh.
Pasal 15
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian,
sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);
atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah
penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp
8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak
yang disetahunkan.
Pasal 16
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas
jumlah kumulatif dari:
a. Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat
berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1);
c. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak
merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
d. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
e. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan; dan
b. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah,
yang diterima oleh peserta kegiatan.
Pasal 17
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan
yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal 18
266
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan
ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia
dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi
sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILANYANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal
yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan
PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
(4) Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh
Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih
tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya
setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
BAB VIII
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan
pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
untuk setiap Masa Pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga
267
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun berkala, dan
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat
surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja
perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan,
yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap
Masa Pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal
jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 yang terutang oleh pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran
tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang.
Pasal 23
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala
paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal
21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan
PPh Pasal 26.
(4) Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari
1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
(5) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ditetapkan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tersendiri.
Pasal 24
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
Pasal 25
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang
268
(2)
(3)
(4)
(5)
dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat
final.
Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh persen)
lebih tinggi bagi Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan
selanjutnya pada tahun kalender berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak
termasuk kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan.
Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya
tahun pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak dianggap
sebagai Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 26
Petunjuk umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak
ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka penghitungan PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2015
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 21 serta pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Juli sampai dengan Desember 2015 dihitung dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena
Pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015;
b. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2015 yang telah dihitung, disetor, dan
dilaporkan dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 dilakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21, dan dalam
hal terdapat kelebihan setor, maka dapat dikompensasikan mulai Masa Pajak Juli 2015 sampai
dengan Desember 2015; dan
c. penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari
sampai dengan Juni 2015 sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan berdasarkan Peraturan
ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
269
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 7 Agustus 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
270
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata
Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana
telah beberapa kali diubah dengan:
a. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2011;dan
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2013
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang
dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat
dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran Langsung (LS);
e. Badan usaha tertentu meliputi:
1) Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan;
2) Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3) badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara,
meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang,
PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular,
PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen
Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya
Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading &
Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT
Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT
Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usahanya;
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.
j. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
272
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan;
k. Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di dalam
negeri.
(1a) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3)
melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk
sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(1b) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3) tidak
lagi dimiliki secara langsung oleh badan usaha milik negara, badan usaha tertentu dimaksud
tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e, adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu
yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
(3) Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral
dan batu bara.
2. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan Pasal 1A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
a. Atas pemungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor:
a) barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, sebesar 10%
(sepuluh persen) dari nilai impor;
b) barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain,
sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor;
c) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
huruf a) dan huruf b), yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai,
gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor;
d) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
huruf a) dan huruf b), yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API),
sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan/atau
e) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga
jual lelang;
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai
uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (HS) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010
tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran
atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain, oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat
dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya sebesar
273
1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam
Pemberitahuan Ekspor Barang.
b. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% (satu koma lima
persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum
Pertamina;
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan
Pertamina;
c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf a)
dan huruf b);
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai;
3. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi:
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45% (nol
koma empat puluh lima persen);
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),
dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar
0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
f. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
g. Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau
orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
h. Atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan, sebesar 0,45% (nol koma
empat puluh lima persen) dari harga jual emas batangan.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF)
ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
(3) Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 adalah nilai Free on Board (FOB).
(4) Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
274
(2)
(3)
(4)
(5)
ttd.
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
278
c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal, dalam hal rumah tetap tempat pusat kepentingan
pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak dapat ditentukan;
d. tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal keadaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf c tidak dapat ditentukan.
(2) Penetapan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d dilaksanakan oleh:
a. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak, dalam
hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
b. Direktur Jenderal Pajak, dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam 2 (dua) atau
lebih wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 3
(1) Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 adalah:
a. tempat kantor pimpinan, pusat administrasi dan keuangan, dan tempat menjalankan kegiatan
usaha berada sebagaimana tercantum dalam akta pendirian atau dokumen pendirian dan
perubahan, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap, atau
dokumen izin usaha dan/atau kegiatan, atau surat keterangan tempat kegiatan usaha, atau
perjanjian kerjasama bagi bentuk kerjasama operasi (joint operation);
b. tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat
administrasi dan keuangan dan tempat menjalankan kegiatan usaha;
c. tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak badan yang bergerak di sektor usaha
tertentu yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
d. tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal:
1) tempat kantor pimpinan, pusat administrasi dan keuangan, dan tempat menjalankan
kegiatan usaha yang kenyataannya berbeda dengan yang tercantum dalam akta pendirian
atau dokumen pendirian dan perubahan, atau surat keterangan penunjukan dari kantor
pusat bagi Bentuk Usaha Tetap, atau dokumen izin usaha dan/atau kegiatan, atau surat
keterangan tempat kegiatan usaha, atau perjanjian kerjasama bagi bentuk kerjasama
operasi (joint operation); atau
2) keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c berada di beberapa tempat.
(2) Penetapan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d dilaksanakan oleh:
a. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak, dalam
hal tempat kedudukan badan berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
b. Direktur Jenderal Pajak, dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam 2 (dua) atau lebih
wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-701/PJ/2001 tentang Penentuan Tempat Tinggal Orang Pribadi dan Tempat Kedudukan
Badan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
280
Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah penghasilan
bruto dan bersifat final oleh penyelenggara undian.
(2) Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan penghargaan
dikenakan Pajak penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dari jumlah penghasilan bruto;
b. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap,
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto dengan
memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;
c. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk Bentuk Usaha Tetap,
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebesar 15% (lima belas
persen) dari jumlah penghasilan bruto.
Pasal 4
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku untuk hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau
konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada
saat pembelian barang atau jasa.
(2) Hadiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan objek Pajak Penghasilan yang wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-395/PJ./2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan
dinyatakan
tidak
berlaku.
Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2015.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
282
Pasal 3
(1) Wajib Pajak harus mengajukan permohonan untuk penetapan saat mulainya penyusutan harta
berwujud tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar dengan
status domisili/pusat (kode status pada NPWP 000).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dan dilampiri:
a. penjelasan terperinci mengenai harta berwujud tertentu:
b. bukti-bukti pendukung atas saat pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tertentu
dan/atau saat selesainya pengerjaan harta berwujud tertentu; dan
c. penjelasan mengenai saat harta berwujud tertentu mulai digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau saat mulai menghasilkan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan
setelah berakhirnya tahun pajak dilakukannya pengeluaran atau selesainya pengerjaan harta.
Pasal 4
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menyampaikan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan format sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(4) Wajib Pajak wajib memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat permintaan kelengkapan
(tanggal cap pos pengiriman).
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan pada ayat (4), permohonan Wajib Pajak
tidak dapat dipertimbangkan.
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Pelayananan
Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak
terlampauinya batas waktu pemenuhan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas nama Direktur Jenderal Pajak, harus memberikan keputusan
atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan tertulis dan
lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diterima secara lengkap dengan
menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV atau Lampiran V Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
Apabila di kemudian hari diketahui bahwa bulan saat mulai digunakannya harta berwujud tertentu
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau bulan saat mulai menghasilkan yang
telah ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(7) ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan kembali saat mulainya penyusutan atas harta
berwujud tertentu yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Tata cara penetapan saat mulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan pada bulan
digunakan atau bulan mulai menghasilkan, untuk permohonan yang disampaikan sebelum tanggal
284
ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan belum memperoleh keputusan,
penetapannya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap disampaikan 2 (dua) bulan setelah
tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Keputusan mengenai penetapan saat mulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan
pada bulan digunakan atau bulan mulai menghasilkan yang telah diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 7
(1) Terhadap harta berwujud tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), yang diperoleh
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan belum pernah diajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dapat diajukan permohonan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya tahun pajak diberlakukannya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(2) Contoh penerapan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 21 Maret 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
285
Menetapkan
:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENYETORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU MELALUI ANJUNGAN
TUNAI MANDIRI (ATM)
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
2. Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
3. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh
Bank Persepsi atas transaksi penerimaan Negara dengan teraan NTPN dan NTB.
4. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang
memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data,
pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan
Negara dan merupakan bagian dari Sistem Penerimaan dan Anggaran Negara.
5. ATM adalah Anjungan Tunai Mandiri.
Pasal 2
Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM pada Bank Persepsi yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan
dibayar.
(2) Atas penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak menerima BPN dalam bentuk
cetakan struk ATM.
(3) Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dapat tercetak atau tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak
ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
(4) Prosedur cetak ulang BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan prosedur
pada Bank Persepsi yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan
sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan
data pembayaran menurut MPN, maka yang dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
(3) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setidak-tidaknya mencantumkan elemen-elemen
sebagai berikut:
a. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
b. Nomor Transaksi Bank (NTB);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Nama Wajib Pajak;
e. Kode Akun Pajak;
f. Kode Jenis Setoran;
g. Masa Pajak;
287
h. Tahun Pajak;
i. Tanggal transaksi; dan
j. Jumlah nominal pembayaran.
Pasal 5
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diadministrasikan
sebagai penerimaan Negara dengan Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420
(PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu).
Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 30 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
288
289
Pasal 5
(1) Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
a. Surat Keterangan Bebas; atau
b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan
Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2
(dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.
Pasal 6
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 3 berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun
Pajak yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat
Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan
Tahunan dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa
Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas:
1) impor;
2) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
3) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif dan industri farmasi;
4) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan
nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.
(3) Fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam rangkap 3
(tiga), yaitu:
a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong
dan/atau pemungut terdaftar
(4) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi diterima lengkap.
(5) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan
apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi.
291
Pasal 8
Bentuk formulir untuk:
(1) permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I;
(2) surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima
atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II
(3) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal
23 menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III;
(4) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 impor
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
(5) Surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dibuat menggunakan formulir sebagaimana Lampiran V;
(6) permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat
(2) menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
(1) Setelah Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain bagi Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini;
(2) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
nomor PER-1/PJ/2011 bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, tetap berlaku sampai dengan akhir
Tahun pajak bersangkutan.
Pasal 10
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 25 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
A. FUAD RAHMANY
292
2) berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau
3) dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
(2) Orang pribadi atau badan yang tidak memenuhi kriteria sebagai subjek pajak dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subjek pajak luar negeri.
(3) Orang pribadi yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri,
apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia dan besarnya penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri, sejak
saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan menerima penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Pasal 4
(1) Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia:
a. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia; atau
b. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) Pengertian "yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia" sebagaimana
terdapat pada ayat (1) huruf b meliputi pula yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Pasal 5
(1) Subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat usaha yang
bersifat permanen yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, orang pribadi atau badan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk menjalankan kegiatan atau usaha di
Indonesia.
Pasal 6
(1) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.
(2) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimulai sejak menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 7
(1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf a angka 1) adalah orang pribadi yang:
a. mempunyai tempat tinggal (place of residence) di Indonesia yang digunakan oleh orang
pribadi sebagai tempat untuk:
1) berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak
sebagai tempat persinggahan,
2) melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaanya (ordinary course of life),
3) tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), atau
b. mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, yaitu orang pribadi
yang dilahirkan di Indonesia yang masih berada di Indonesia.
(2) Tempat tinggal orang pribadi sbagaimana dimaksud pada ayat (1):
294
a. dapat ditempati sendiri oleh orang pribadi atau bersama-sama dengan keluarganya, yang dapat
dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakannya; dan
b. berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
(3) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat berdiam (permanent dwelling place) di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dalam hal orang pribadi
mempunyai tempat di Indonesia yang dipakai untuk kediaman, yang bersifat tidak sementara dan
bukan sebagai persinggahan.
(4) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat melakukan kegiatan sehari-hari atau
menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life) di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a angka 2) dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang digunakan
untuk melakukan kegiatan sehari-hari terkait dengan urusan ekonomi, keuangan atau sosial
pribadinya, antara lain turut serta dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, turut serta dalam
kegiatan, keanggotaan, atau kepengurusan suatu organisasi, kelompok atau perkumpulan di
Indonesia.
(5) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode) di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dalam hal orang pribadi
mempunyai tempat di Indonesia yang digunakan untuk melakukan kebiasaan atau kegiatan, baik
yang bersifat rutin, sering ataupun tidak, antara lain melakukan aktivitas yang menjadi kegemaran
atau hobi.
Pasal 8
(1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1)
yang kemudian pergi keluar negeri tetap dianggap bertempat tinggal di Indonesia, apabila
keberadaannya di luar negeri berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)bulan.
(2) Orang pribadi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap tidak bertempat
tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang dibuktikan dengan salah
satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:
a. Green Card,
b. identity card,
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan berada di Indonesia bagi Subjek Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1), angka 3), dan Pasal 4 ayat (1) adalah Subjek Pajak orang
pribadi berdasarkan keadaan yang sebenarnya berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia
pada
suatu
waktu.
Pasal 10
Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a angka 2) ditentukan dengan menghitung lamanya Subjek Pajak orang pribadi berada di
Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat secara terus menerus atau terputus-putus, dan
bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari.
Pasal 11
Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 3) dalam hal:
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk bertempat tinggal di
Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
1) Visa bekerja, atau
295
d. mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang melakukan pengendalian,
e. pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat keputusan strategis, atau
f. pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.
(2) Tempat kedudukan badan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan berdasarkan keadaan
atau kenyataan yang sebenarnya.
Pasal 16
(1) Subjek pajak luar negeri dapat menjalankan kegiatan atau usaha melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam hal mempunyai tempat kedudukan manajemen yang berada di Indonesia.
(2) Tempat kedudukan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat
kedudukan manajemen yang menjalankan kegiatan/operasi perusahaan sehari-hari atau secara
rutin yang tidak melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan dan tidak membuat keputusan
yang bersifat strategis.
(3) Dalam hal tempat kedudukan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan atau tempat membuat keputusan yang bersifat
strategis, subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut diperlakukan
sebagai subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1).
(4) Tempat kedudukan manajemen efektif yang terdapat dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dapat diartikan sebagai tempat:
a. keputusan manajemen dan komersial yang signifikan dibuat, atau
b. pengurus membuat keputusan untuk kepentingan badan.
Pasal 17
Saat berakhir dan saat dimulainya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2A Undang-Undang PPh diterapkan kepada
Subjek Pajak setelah status Subjek Pajak orang pribadi atau badan ditentukan berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
Pasal 18
Dalam hal orang pribadi atau badan merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra/jurisdiksi
mitra P3B dan subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, status subjek pajak
orang pribadi atau badan dimaksud ditentukan berdasarkan ketentuan dalam P3B yang terkait.
Pasal 19
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL
ttd
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
297
298
Pasal 2
(1) Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2) Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau
pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b. paling sedikit memuat :
1) Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2) Jumlah pembayaran;
3) Tanggal pembayaran;
4) Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan Pemerintah; dan
5) Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan,
yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran
secara langsung; atau
6) Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer
rekening bank.
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
apabila :
a. tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b. bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
(1) Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib tersebut.
(2) Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-163/PJ./2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, pelaksanaan pembayaran dan
pembuatan bukti pembayaran atas zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
299
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
300
301
g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pasal 2
(1) Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf e adalah industri baja yang merupakan industri hulu.
(2) Dalam hal badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengolah atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya menjadi
produk antara dan/atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan produksi
secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas penjualan produk hulu, produk
antara, dan produk hilir.
(3) Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri otomotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 huruf e adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk ATPM
(Agen Tunggal Pemegang Merek), APM (Agen Pemegang Merek), dan importir umum kendaraan
bermotor.
(4) Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g adalah badan atau orang
pribadi yang kegiatan usahanya:
a. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan; dan
b. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.
Pasal 3
(1) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e
dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kedudukan badan usaha yang melakukan penjualan hasil produksinya di dalam negeri, dengan
surat keputusan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g
dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kedudukan industri dan eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul, dengan surat keputusan sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(4) Dalam hal badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan huruf g tidak lagi
ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan
Penunjukan Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III dan Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran
oleh:
a. importir yang bersangkutan; atau
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan huruf d wajib disetor oleh pemungut
ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani
oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas,
302
dan penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif,
wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor
Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
Pasal 5
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan
pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 hurul b, huruf c, dan huruf d,
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
(2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g wajib
menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu :
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang pengumpul);
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi pengembalian barang hasil produksi yang dibeli dari badan usaha sebagai
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e setelah Masa
Pajak terjadinya penjualan, pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dalam Masa Pajak terjadinya
pengembalian barang hasil produksi.
(3) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
a. nomor dan tanggal nota retur;
b. nomor dan tanggal Faktur Pembelian barang yang dikembalikan;
c. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli;
d. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22;
e. macam, jenis, jumlah, dan harga barang yang dikembalikan;
f. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang yang dikembalikan;
g. nama dan tanda tangan pembeli.
(4) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dibuat dalam rangkap 3 (tiga),
yaitu:
- lembar pertama
:
untuk Pemungut Pajak
untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak
- lembar kedua
:
Penghasilan Pasal 22
- lembar ketiga
:
untuk arsip Wajib Pajak (pembeli)
(5) Pengembalian barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi
dalam hal:
a. dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian, atas pengembalian tersebut dilakukan
penggantian dengan barang yang sama, baik dalam jumlah fisik maupun harganya;
b. nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3);
c. nota retur tidak dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi.
(6) Dalam hal nota retur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dapat dikurangkan dari Pajak
Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian tersebut.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:
303
1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-32/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil
Produksi Industri Otomotif di Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-65/PJ./1995;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-69/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil
Produksi Industri Kertas di Dalam Negeri;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ./1996 tentang Tarif dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil
Produksi Industri Baja di Dalam Negeri;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-401/PJ./2001 tentang Tarif dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil
Produksi Industri Semen di Dalam Negeri;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, Serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya;
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-523/PJ/2001 tentang Tarif dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Industri dan Eksportir
yang Bergerak Dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan, atas Pembelian
Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri atau Ekspor Mereka dari Pedagang Pengumpul
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-23/PJ/2009,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
304
305
Pasal 3
(1) Dalam hal dana Pensiun mengajukan permohonan SKB untuk pertama kali, permohonan SKB
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI harus
diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum berlakunya SKB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Pengurus yang
berkompeten dari Dana Pensiun yang bersangkutan dengan menggunakan Formulir
Permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri :
a. fotokopi Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun ;
b. fotokopi Neraca;
c. fotokopi Laporan Sisa Hasil Usaha (Laporan Laba Rugi);
d. fotokopi Laporan Arus Kas dan Bank;
e. fotokopi Laporan Investasi; dan
f. daftar sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, Sertifikat Bank Indonesia, dan Sertifikat
Bank Indonesia Syariah.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh selain
pengurus yang berkompeten dari Dana Pensiun yang bersangkutan, maka harus dilengkapi
dengan Surat Kuasa Khusus yang dibubuhi meterai cukup.
4. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 4A
(1) Dalam hal Dana Pensiun melakukan penanaman modal baru, memindahkan penanaman
modalnya ke bank lain, atau mengkonversi jenis penanaman modalnya pada pertengahan
masa berlakunya SKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Dana Pensiun tersebut
harus mengajukan permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito,
Tabungan dan Diskonto SBI dengan ketentuan sebagai berikut :
a. permohonan diajukan hanya untuk penanaman modal baru, penanaman modal yang
dipindahkan, dan/atau penanaman modal yang dikonversikan;
b. permohonan diajukan dengan menggunakan Formulir permohonan SKB Pemotongan
Pajak Penghasilan beserta lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
dan
c. permohonan diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah melakukan
penanaman modal baru, memindahkan penanaman modalnya ke bank lain, atau
mengkonversi jenis penanaman modalnya.
(2) SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI
yang diterbitkan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal
dana pensiun melakukan penanaman modal baru, memindahkan penanaman modalnya ke
bank lain, atau mengkonversi jenis penanaman modalnya sampai dengan :
a. atas permohonan yang diajukan pada pertengahan masa 1 Maret sampai dengan 31
Agustus, berlaku sampai dengan 31 Agustus; atau
b. atas permohonan yang diajukan pada pertengahan masa 1 September sampai dengan 28
Februari, berlaku sampai dengan 28 Februari.
(3) Apabila permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto SBI diajukan setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c maka permohonan SKB tersebut mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga Pasal 10 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10
Pengajuan kembali SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto SBI yang akan habis masa berlakunya dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja sebelum habis masa berlaku SKB Pemotongan Pajak Penghasilan yang bersangkutan.
6. Mengubah isi Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ./2005 Tentang
Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh
307
Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan, sehingga menjadi
sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
7. Mengubah isi Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2005 Tentang
Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh
Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan, sehingga menjadi
sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Agustus 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
308
Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi
wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Untuk keperluan penelitian Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau kuasanya harus mengajukan formulir penelitian
Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah
dan/atau bangunan yang dialihkan haknya dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Pengajuan formulir penelitian Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
a. Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang sudah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara
dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos/Nomor Penerimaan Potongan serta foto
kopinya;
b. foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Tanda Terima Setoran/Struk ATM
bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya;
c. foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara penjualan;
d. foto kopi surat kuasa dan kartu identitas yang diberi kuasa dalam hal pengajuan formulir
penelitian Surat Setoran Pajak dikuasakan.
(3) Dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara
angsuran, maka Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang disampaikan untuk diteliti sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah semua Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran dan
pelunasan.
Pasal 3
(1) Atas pengajuan formulir penelitian Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian sebagai berikut:
a. mencocokkan jumlah pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Lembar ke-1
dengan data penerimaan pajak dalam Modul Penerimaan Negara;
b. mencocokkan Nomor Objek Pajak yang dicantumkan dalam Surat Setoran Pajak dengan
Nomor Objek Pajak yang tercantum dalam fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau
Surat Tanda Terima Setoran/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lainnya;
c. meneliti Nilai Jual Objek Pajak bumi dan/atau bangunan per meter persegi dari tanah dan/atau
bangunan yang dialihkan haknya dengan mencocokkan pada Basis Data Pajak Bumi dan
Bangunan;
d. meneliti kebenaran penghitungan dasar pengenaan Pajak Penghasilan dengan
membandingkan nilai pengalihan sebenarnya sebagaimana tercantum dalam foto kopi
faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dengan Nilai Jual Objek Pajak.
(2) Penelitian Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilanjutkan
dengan penelitian lapangan apabila diperlukan atas Nilai Jual Objek Pajak dari tanah dan/atau
bangunan yang dialihkan.
Pasal 4
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyelesaikan Penelitian Surat Setoran Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu:
a. paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal diterimanya formulir penelitian Surat Setoran Pajak
beserta lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam hal tidak dilakukan penelitian
lapangan atas Nilai Jual Objek Pajak dari tanah dan/atau bangunan yang dialihkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
310
b. paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya formulir penelitian Surat Setoran Pajak
beserta lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam hal dilakukan penelitian
lapangan atas Nilai Jual Objek Pajak dari tanah dan/atau bangunan yang dialihkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Pasal 5
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ternyata Pajak
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan belum dibayar ke kas negara atau
Pajak Penghasilan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya
dibayar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran ll
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Wajib Pajak yang telah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyampaikan kembali formulir penelitian Surat Setoran Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam hal Pajak Penghasilan yang
belum atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilunasi oleh Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, diketahui bahwa
Pajak Penghasilan telah dibayar ke kas negara dan jumlahnya telah sesuai ketentuan maka Surat
Setoran Pajak Lembar ke-1 yang telah diteliti dan foto kopinya, dibubuhi cap dengan bentuk cap
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang
telah diteliti dan foto kopinya yang telah dibubuhi cap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Wajib Pajak.
Pasal 7
Terhadap Surat Setoran Pajak yang telah diteliti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 masih dapat
diterbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
Pajak Penghasilan yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; atau
c. Surat Tagihan Pajak apabila Pajak Penghasilan yang terutang tidak atau kurang dibayar, dari hasil
penelitian terdapat kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan sebagai akibat salah tulis dan/atau
salah hitung, atau Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Mei 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
311
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
312
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan
dilampiri:
a. penjelasan terperinci mengenai aktiva;
b. spesifikasi aktiva dari produsen;
c. perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik; dan
d. dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva.
Pasal 3
(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
melakukan penelitian atas permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengirimkan surat permintaan kelengkapan
dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atas nama Menteri Keuangan, harus
memberikan keputusan atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat dan Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Oktober
2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP 060044911
314
Pasal 2
(1) Nilai kupon makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
Peraturan Menteri Keuangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja sesuai
dengan nilai kupon yang wajar.
(2) Nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon tersebut tidak melebihi pengeluaran
penyediaan makanan dan/atau minuman per Pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di
tempat kerja.
Pasal 3
(1) Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang berlaku sejak
tahun pajak dierbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(2) Jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 5 (lima) tahun.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di daerah tertentu dapat mengajukan permohonan
penetapan daerah tertentu kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk wajib Pajak penanaman
modal, atau rencana investasi untuk Wajib Pajak lainnya;
b. fotokopi peta lokasi;
c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan; dan
d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1) Kepala Kantor Wilayah DJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 melakukan penelitian atas
permohonan Wajib Pajak, dan dalam hal:
a. permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor wilayah DJP mengirimkan
surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
b. permohonan Wajib Pajak lengkap, Kepala Kantor Wilayah DJP melakukan pemeriksaan
ke lokasi daerah tertentu.
(2) Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak
tidak dapat dipertimbangkan.
(3) Kepala Kantor Wilayah DJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta bantuan
kepada Kepala Kantor Wilayah DJP tempat lokasi daerah tertentu berada untuk melakukan
pemeriksaan apabila lokasi daerah tertentu berada di luar wilayah kerjanya, dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak terkait dan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal
Pajak wajib menerbitkan keputusan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV atau Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, paling lama 3 (tiga)
bulan setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan
setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap dalam hal diperlukan pemeriksaan
316
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 7
(1) Permohonan perpanjangan penetapan daerah tertentu diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah
DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan setelah keputusan persetujuan penetapan daerah tertentu berakhir dan harus dilampiri
dengan:
a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk Wajib Pajak
penanaman modal, atau rencana investasi untuk wajib Pajak lainnya;
b. fotokopi peta lokasi;
c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan;
d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini; dan
e. fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan daerah tertentu.
(3) Kepala Kantor Wilayah DJP melakukan penelitian atas permohonan Wajib Pajak dan
pemeriksaan ke lokasi daerah tertentu yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 8
(1) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Kepala kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan
dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV atau Lampiran V
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan jangka waktu penerbitan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak belum menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala
Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan
persetujuan, dengan jangka waktu penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (5).
(3) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku terhitung mulai tahun
pajak pada saat keputusan tersebut seharusnya diterbitkan.
Pasal 9
(1) Kantor Wilayah DJP dan Kantor Pelayanan Pajak harus membuat Buku Register pengawasan
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan atau telah diberikan keputusan penetapan daerah
tertentu dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
317
(2)
Pasal 10
(1) Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c Peraturan Menteri Keuangan meliputi pakaian
dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana
antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan sejenisnya.
(2) Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkaitan dengan keamanan atau keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi atau pemerintah daerah setempat.
Pasal 11
Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 12
(1) Permohonan penetapan sebagai daerah tertentu yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dilaksanakan dan diproses sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ/2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan
Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah
Tertentu Serta yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.
(2) Jangka Waktu penetapan daerah tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dapat diperpanjang sesuai ketentuan dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-213/PJ./2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman
Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang
Diberikan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu Serta yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
318
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 September
2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP 060044911
319
PAJAK
KARYA
Pasal 1
(1) Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan
hasil Karya Sinematografi:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada
kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada
pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk
jangka waktu atau wilayah tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada
pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil
antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada
pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau
produk hak terkaitnya.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara
tertulis maupun tidak tertulis.
Pasal 2
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya
Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak
termasuk dalam pengertian royalti.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak
menggunakan hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf
b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti.
320
Pasal 3
Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar pengenaan Pajak
Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal
pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b:
dan
b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
tanggal 04 Juni 2009
DIREKTUR JENDERAL
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
321
Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
Pasal 2
(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
(2) Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
Pasal 3
(1) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e, diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf b dan Pasal 2 ayat (2), diberikan secara langsung tanpa penerbitan Surat Keterangan
Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 4
(1) Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
diajukan secara tertulis oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi atau badan
yang bersangkutan terdaftar atau bertempat tinggal dengan format sesuai dengan Lampiran I
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan, permohonan untuk
memperoleh Surat keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh ahli waris.
(3) Dalam hal permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan oleh:
a. orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, permohonan harus
dilampiri dengan:
323
1)
Surat Pernyataan Berpenghasilan di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Jumlah
Bruto Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan kurang dari Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dengan format sesuai dengan Lampiran II yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
2) fotokopi Kartu Keluarga; dan
3) fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan.
b. orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan
huruf d, permohonan harus dilampiri Surat Pernyataan Hibah dengan format sesuai
Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
c. ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan harus dilampiri dengan
Surat Pernyataan Pembagian Waris dengan format sesuai dengan lampiran IV yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1) Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak tanggal surat permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diterima secara lengkap;
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tidak memberikan keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling
lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berakhir.
(3) Dalam hal permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diterima,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan format sesuai
dengan Lampiran V yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(4) Dalam hal permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditolak,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada Wajib
Pajak dengan format sesuai dengan Lampiran VI yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka ketentuan-ketentuan lain yang telah
diterbitkan sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2009
324
DIREKTUR JENDERAL
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
325
326
Direktur
Jenderal
Pajak
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
327
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 09 September
2008
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
328
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG
PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN/BIAYA PEROLEHAN
(SOFTWARE) KOMPUTER.
PERLAKUAN PAJAK
PERANGKAT LUNAK
Pasal 1
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan :
1. Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang (lapat digunakan pada
sistem operasi komputer .
2. Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users)
umum untuk memproses berbagai pekerjaan dengan komputer .
329
3. Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi
sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti di bidang perbankan, pasar
modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.
Pasal 2
(1)
Perangkat lunak komputer kecuali dalam hal tersebut pada ayat (2), merupakan harta tak berwujud
(intangible asset) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan termasuk dalam
kelompok-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
(2)
Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum diperlakukan sebagai pengeluaran atau
biaya operasional rutin.
Pasal 3
(1)
Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
umum yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan,
pembebanannya dilakukan sekaligus dalam bulan pengeluaran.
(2)
Dalam hal program aplikasi umum tersebut pada ayat (1) diperoleh sebagai bagian dari harga
pembelian perangkat keras komputer, maka pembebanannya sudah termasuk dalam penyusutan
perangkat keras komputer tersebut (Kelompok-1).
(3)
Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
khusus yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan,
pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud (Kelompok-1).
(4)
Dalam hal pengeluaran/biaya upgrade program aplikasi khusus tersebut pada ayat (3).
pengeluaran/biaya tersebut terlebih dahulu ditambahkan pada nilai sisa buku fiskal yang masih ada
dan amortisasinya dilakukan dengan masa manfaat baru/penuh terhitung mulai bulan dilakukan
upgrade.
Pasal 4
330
Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
khusus yang diperoleh sebelum berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. sepanjang belum
dibebankan atau baru dibebankan sebagian melalui amortisasi, dapat diamortisasi mulai tahun pajak
2002 berdasarkan sisa masa manfaat untuk Kelompok-1.
Pasal 5
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tahun pajak 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2002
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
HADI POERNOMO
331
(2) Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan
perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing
bentuk usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau
kegiatan.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak tahun pajak 1995.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1995
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK
ttd
FUAD BAWAZIER
333
334
Umum
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan perlakuan pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Potput PPh) yang terutang kepada pihak lain oleh
perusahaan yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan, perlu diberikan penegasan khusus terkait
kewajiban Potput PPh sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 39/PMK.011/2013 tentang Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan yang Terutang kepada Pihak Lain oleh Perusahaan yang Terikat dengan Kontrak
Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa perlakuan perpajakan dalam kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan hanya mengikat para pihak yang
menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut sehingga tidak mengikat pihak lain. Dengan
demikian, perlakuan Potput PPh yang terutang kepada pihak lain oleh perusahaan yang terikat
dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan harus secara tegas dinyatakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Potput PPh dilakukan.
B.
C.
Ruang Lingkup
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mengatur mengenai kewajiban Potput PPh yang
terutang kepada pihak lain oleh perusahaan yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berdasarkan Peraturan Menteri
335
Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 agar dapat berjalan dengan baik dan terdapat
keseragaman dalam pelaksanaannya.
D.
Dasar
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 tentang Kewajiban Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Terutang kepada Pihak Lain oleh Perusahaan
yang Terikat dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan.
E.
Materi
Perlakuan Potput PPh atas proses pemeriksaan, keberatan, pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, banding dan peninjauan kembali untuk seluruh tahun pajak
yang masih dalam proses atau dilakukan setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor39/PMK.011/2013, mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan yang berlaku pada saat Potput PPh harus dilakukan.
F.
Penutup
Agar pelaksanaan Surat Edaran ini dapat berjalan dengan baik, dengan ini para:
Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan, sosialisasi, dan koordinasi
dengan instansi terkait atas pelaksanaan Surat Edaran ini di lingkungan wilayah kerja masingmasing;
Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan
Konsultasi Perpajakan diminta untuk melakukan pengawasan terhadap kewajiban Potput
PPh yang terutang kepada pihak lain oleh perusahaan yang terikat dengan kontrak bagi
hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan di lingkungan
wilayah kerja masing-masing;
336
Umum
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan dan penatausahaan
permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran
usaha, dengan ini dipandang perlu untuk menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
sebagai pengganti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2008.
B. Maksud dan Tujuan
1. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam rangka pelaksanaan dan penatausahaan permohonan penggunaan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas
Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan dan
penatausahaan permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger
atau pemekaran usaha dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam
pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak badan dalam
negeri yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha dengan
menggunakan nilai buku.
D. Dasar
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku
atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ./2008 tentang Persyaratan Dan Tata
Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
E. Materi
1. Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 adalah:
a. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger, yang meliputi
penggabungan usaha atau peleburan usaha;
b. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha, yaitu:
1) Wajib Pajak yang belum go public yang akan melakukan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering); atau
2) Wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
2. Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, Wajib Pajak yang menerima
pengalihan harta merupakan Wajib Pajak yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai
sisa kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mengalihkan harta
berdasarkan sisa kerugian fiskal dan komersial.
3. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha
wajib memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan
dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).
4. Laporan Keuangan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Laporan Keuangan dari
337
Wajib Pajak yang menerima harta khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta
harus diaudit oleh akuntan publik.
5. Penanganan permohonan izin penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
merger atau pemekaran usaha
a. Permohonan izin penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger atau
pemekaran usaha diajukan Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar, paling lama 6
(enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha dilakukan.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas dapat diajukan oleh:
1) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta, dalam hal dilakukan merger; atau
2) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta, dalam hal dilakukan pemekaran
usaha.
c. Penanganan permohonan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
1) Penelitian kelengkapan permohonan Wajib Pajak
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian atas
permohonan Wajib Pajak beserta lampiran dan dokumen pendukungnya mengenai pemenuhan
persyaratan sebagai berikut:
a) Surat pernyataan mengenai alasan dan tujuan merger sesuai dengan merger plan;
b) Pelunasan seluruh utang pajak oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib
Pajak yang menerima harta termasuk utang pajak dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak-Kantor Pelayanan Pajak lokasi;
c) Business purpose test:
i. Business purpose test wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan merger
atau pemekaran usaha baik dalam bidang usaha yang sama maupun dalam bidang usaha yang
tidak sama.
ii. Daftar isian dalam rangka business purpose test memperlihatkan bahwa:
1. merger atau pemekaran usaha bertujuan menciptakan sinergi usaha yang kuat,
memperkuat struktur permodalan, dan tidak dilakukan untuk penghindaran pajak.
2. khusus untuk penggabungan usaha, apabila Wajib Pajak yang menerima
pengalihan harta (surviving company) mempunyai kerugian/sisa kerugian, maka kerugian tersebut
harus lebih kecil dari kerugian/sisa kerugian Wajib Pajak yang mengalihkan harta (transferor
company) berdasarkan sisa kerugian fiskal dan komersial.
iii. Wajib Pajak wajib melampirkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa:
1. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung
sampai dengan tanggal efektif merger;
2. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi
tetap dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun
setelah tanggal efektif merger;
3. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap
berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
4. Kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran
usaha berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan
5. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya
merger atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta
paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.
2) Permintaan kelengkapan permohonan Wajib Pajak
a) Dalam hal berdasarkan penelitian kelengkapan permohonan Wajib Pajak terdapat
dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf E butir 5 huruf c angka 1) yang belum
disampaikan oleh Wajib Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan
surat permintaan kelengkapan kepada Wajib Pajak paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya permohonan.
b) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada huruf a) wajib dipenuhi oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak diterimanya surat permintaan kelengkapan dari Kepala Kantor Wilayah.
3) Konfirmasi Utang Pajak
338
Direktur Jenderal Pajak, pengalihan seluruh harta tersebut harus dinilai dengan harga pasar dan
atas keuntungan yang diperoleh dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku.
b. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku telah mendapat persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta tersebut harus mencatat
nilai perolehannya sesuai dengan nilai buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib
Pajak yang mengalihkan harta.
c. Dalam hal Wajib Pajak sebelum merger atau pemekaran usaha telah melakukan
penilaian kembali aktiva tetap, nilai buku yang dicatat adalah nilai buku setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tetap.
12. Penyusutan dan amortisasi harta yang dialihkan
a. Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku terjadinya
pengalihan harta dilakukan secara prorata (perhitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang
tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang mengalihkan harta.
b. Bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang
dialihkan dihitung secara prorata sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan harta.
c. Bagi Wajib Pajak yang menerima harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang
diterima dihitung secara prorata sebanyak sisa bulan sesudah bulan pengalihan harta.
d. Penyusutan dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c di atas
menggunakan metode penyusutan dan amortisasi yang dianut Wajib Pajak yang bersangkutan.
13. Kompensasi timbal-baiik (offset) utang piutang dalam hal terjadi kompensasi timbalbalik (offset) utang piutang di antara para Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam
rangka merger, maka:
a. penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan;
b. penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya.
14. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
a. Apabila merger dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 Wajib Pajak yang menerima harta setelah merger tidak boleh lebih kecil dari
penjumlahan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum
merger.
b. Apabila pemekaran usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak setelah pemekaran usaha tidak boleh lebih kecil
dari angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak yang terkait sebelum pemekaran
usaha.
c. Dalam hal setelah merger atau pemekaran usaha Wajib Pajak mengalami penurunan
usaha, Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran
Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang dapat dilakukan oleh:
1) Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger; atau
2) Wajib Pajak yang menerima maupun mengalihkan harta dalam rangka pemekaran
usaha.
15. Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak Penghasilan dalam hal
merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan
a. kewajiban formal penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta berakhir sampai dengan masa pajak/bagian
tahun pajak dilakukannya merger.
b. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
baru yang menerima harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib
Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak segera setelah pendirian badan usaha baru.
16. Pemeriksaan pajak menyangkut tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya merger
Apabila setelah merger dilakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang
mengalihkan harta menyangkut tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya merger, surat
ketetapan pajak hasil pemeriksaan pajak tersebut serta tindakan penagihan dan/atau restitusinya
diterbitkan atas nama dan NPWP Wajib Pajak yang mengalihkan harta q.q nama dan NPWP Wajib
Pajak yang menerima harta.
17. Ketentuan terhadap pemegang saham
342
Apabila pemegang saham dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta tidak setuju dengan
rencana pengalihan harta dan pemegang saham tersebut memilih menjual sahamnya:
a. atas selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual merupakan penghasilan
pemegang saham tersebut dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku.
b. atas selisih kurang antara harga perolehan dengan harga jual yang diterima pemegang
saham tersebut dapat dibebankan sebagai biaya, dengan syarat sepanjang pemegang saham
tersebut menyelenggarakan pembukuan.
18. Pengenaan Saksi
a. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Direktur Jenderal Pajak melalui penelitian
atau pemeriksaan menemukan bukti bahwa:
1) merger atau pemekaran usaha tidak memenuhi persyaratan business purpose test;
dan/atau
2) dalam hal harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah
terjadinya merger atau pemekaran usaha dipindahtangankan sebelum 2 (dua) tahun setelah
tanggal efektif merger atau pemekaran usaha namun Wajib Pajak yang menerima pengalihan
harta:
a) tidak menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual; atau
b) menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual tetapi
pernyataan tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
maka nilai pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha berdasarkan nilai
buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.
b. Apabila Wajib Pajak yang telah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran usaha,
namun:
1) belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau
2) telah memperoleh persetujuan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran
umum perdana (Initial Public Offering) tetapi sampai dengan jangka waktu perpanjangan yang
diberikan belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public Offering),
nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku
dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.
c. Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
keputusan pencabutan atas surat keputusan persetujuan.
d. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan surat keputusan pencabutan tersebut Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak.
19. Penutup:
a. Terhadap permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah disampaikan sebelum berlakunya
Surat Edaran ini namun permohonan tersebut masih dalam proses penelitian dan evaluasi,
diproses lebih lanjut berdasarkan SE-45/PJ/2008.
b. Sejak ditetapkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2008 tanggal 28 Agustus 2008 tentang Penyampaian
dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau
Pemekaran Usaha Beserta Peraturan Pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
c. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan agar melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Surat Edaran Direkur Jenderal Pajak ini
serta melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannya.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 April 2015
343
344
TENTANG
PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-41/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN
FASILITAS PAJAK PENGHASILAN, PENETAPAN REALISASI PENANAMAN
MODAL, PENYAMPAIAN KEWAJIBAN PELAPORAN, DAN PENCABUTAN
KEPUTUSAN PERSETUJUAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK
PENGHASILAN UNTUK WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN PENANAMAN
MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAHDAERAH TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
A.
Umum
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER41/PJ/2013 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan, Penetapan Realisasi
Penanaman Modal, Penyampaian Kewajiban Pelaporan, dan Pencabutan Keputusan Persetujuan
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Wajib Pajak Yang Melakukan Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, dengan ini disampaikan
penegasan atas pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.
B.
C.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:
1 Penegasan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
2 Penegasan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan;
3 Penegasan penetapan fasilitas Pajak Penghasilan berupa tambahan jangka waktu
kompensasi kerugian;
4 Penegasan pengawasan penyampaian kewajiban pelaporan;
5 Penegasan pencabutan keputusan persetujuan pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan.
D.
Dasar
1 Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
345
3
4
E.
Definisi
1.
Fasilitas Pajak Penghasilan adalah fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011.
2.
Laporan-laporan Fasilitas Pajak Penghasilan adalah laporan-laporan mengenai hal-hal
sebagai berikut:
a realisasi Penanaman Modal;
b jumlah realisasi produksi;
c rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas
Pajak Penghasilan;
d rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas
Pajak Penghasilan; dan
e rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva tetap yang baru.
F.
Materi
1. Pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
a. Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diterima dari Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal dilakukan penelitian atas hal-hal sebagai
berikut:
1) Tanggal diterimanya usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
2) Jabatan Pejabat di lingkungan Badan Koordinasi Penanaman Modal yang
menandatangani surat usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, serta
apabila diperlukan disertakan fotokopi dasar hukum pendelegasian
kewenangan penandatanganan usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
3) Pejabat yang ditujukan dalam surat usulan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan.
4) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum
usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
5) Dilengkapi atau tidak dilengkapinya dokumen-dokumen yang dipersyaratkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
a) fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b) fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
c) izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang
diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau
instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
d) rincian jenis dan nilai Penanaman Modal;
346
e)
6)
7)
8)
2.
a)
b)
c)
d)
6)
7)
8)
b.
3.
2)
3)
4)
5)
6)
b.
4.
4)
5)
b)
c)
d)
355
d)
5.
b.
c.
d.
e.
f.
G.
Lain-lain
Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit
terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing untuk melakukan sosialisasi, penggalian potensi penerimaan, dan pengawasan
terkait dengan pelaksanaannya.
Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.
357
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 09 Maret 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
NIP 195909171987091001
358
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang
Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak badan dalam negeri
yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
D. Dasar
1
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu dan peraturan pelaksanaannya.
E. Definisi
359
PP 46 Tahun 2013 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan peraturan pelaksanaannya.
F. Materi
1. Berdasarkan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib
Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
a. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan,
sehingga Wajib Pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk
dapat memperoleh fasilitas tersebut.
b. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
d. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari
kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan
pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan,
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
1) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3) penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
e. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada huruf d di atas sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif
Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
f. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan ini berlaku untuk penghitungan Pajak Penghasilan Terutang
atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan tidak bersifat final.
g. Untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, Wajib Pajak badan
dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan wajib menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
360
3. Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
4. Pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) dapat melampirkan Lembar Penghitungan fasilitas pengurangan tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E
ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
G. Penutup
1
Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-66/PJ/2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Penegasan Atas
Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan agar melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini serta melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 09 Januari 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MARDIASMO
NIP 195805101983031004
361
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan
dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang
Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan
Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha,
tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.
D. Dasar
1
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
362
E. Materi
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap;
dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) pada butir 2 huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya,
termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a
menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
6. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat
kegiatan usaha.
7. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
363
8. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
9. Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
10. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada butir 6
ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak,
yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
11. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
butir 10 wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
12. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada butir 10 dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 11, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum
pada Surat Setoran Pajak.
13. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada butir 11 diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.
F. Hal-Hal
Khusus
Terkait
Pengenaan
Pajak
Penghasilan
yang
bersifat
final
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
diatur sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha Wajib Pajak dan di Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak.
2. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib
Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi
secara komersial, pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib
Pajak yang bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
3. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final ke kantor pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dengan mengisi Kode Akun
Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak yang mengatur mengenai Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.
4. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final tetapi Surat Setoran
Pajaknya tidak mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan
usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2):
a
kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu";
5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan
364
lampiran III bagian A butir 14 (Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final
dan/atau Bersifat Final, Formulir 1770-III) bagi Wajib Pajak orang pribadi;
365
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu" (Formulir 1771-1V) bagi Wajib Pajak badan.
11. Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
2013:
a
peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran usaha selama Tahun Pajak
2013, tidak termasuk peredaran usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan
Desember 2013 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak
dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
dipandang perlu memberikan keringanan atas sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu atas pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
2. Berdasarkan pertimbangan pada butir 1, kepada Kepala Kanwil DJP agar menghapuskan
sanksi administrasi Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP dalam Surat Tagihan Pajak yang
diterbitkan untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2013.
H. Penutup
Mengingat penerapan ketentuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013, dengan ini diinstruksikan:
1. Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan untuk melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan sebagaimana dimaksud yang berada di wilayah kerja masing-masing.
2. Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan melakukan:
1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional
(SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk
tempat-tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki
366
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 September 2013
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
367
368
Apabila ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut tidak mengatur pengenaan pajak bagi
Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan maka pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak tersebut berlaku ketentuan umum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan mineral atau
batubara berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan, dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak Penghasilan
yang harus dibayar dalam tahun berjalan adalah sebagaimana tercantum dalam kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut
sampai dengan berakhirnya jangka waktu kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dimaksud.
Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang dalam kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangannya tidak mengatur
mengenai angsuran pajaknya namun mengatur pengenaan pajaknya berdasarkan ketentuan
dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925, maka dasar penghitungan dan besarnya Pajak
Perseroan yang terutang/harus dibayar dalam tahun berjalan adalah sebesar 1% (satu
persen) dari peredaran bruto setiap bulan/masa pajak, sebagaimana ditegaskan dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.42/1999 tentang Penghitungan
Angsuran Pajak dalam Tahun Berjalan bagi Wajib Pajak yang Berusaha dalam Bidang
Penambangan Umum dalam Rangka Kontrak Karya yang Pengenaan Pajaknya
Berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925.
Dalam hal ketentuan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak
369
mengatur mengenai dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang
harus dibayar dalam tahun berjalan dan tidak mengatur mengenai pengenaan pajaknya
berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925, maka dasar penghitungan
dan besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar dalam tahun berjalan bagi
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan mineral atau batubara
dalam rangka kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2013
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 19541111198112100
370
atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dipandang perlu untuk menetapkan pedoman pengenaan Pajak Penghasilan
terkait hal tersebut.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Penetapan Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka
pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat) dan
penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan pedoman dan penjelasan beberapa hal
sebagai berikut:
C. Ruang
penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi tempat terutang kewajiban Pajak Penghasilan yang
bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan (WP real estat) dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
D. Dasar
1
E. Materi
1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
(PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan (WP real estat) dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
371
dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah sebagai berikut:
a. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP
real estat dilakukan:
1) paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran, baik
dengan cara tunai maupun angsuran, atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan; dan
2) sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam
hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari
jumlah bruto nilai pengalihan hak.
b. Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai yang tertinggi antara
nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Nilai
Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat
ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan
hak
atas tanah
dan/atau
bangunan
oleh
pejabat
yang
berwenang.
Jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang tertuang dalam Akta
Pengalihan Hak adalah jumlah bruto nilai pengalihan yang sebenarnya sesuai dengan
kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal diketahui berdasarkan data atau kejadian sebenarnya, jumlah bruto
nilai pengalihan menurut akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maupun
Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan lebih rendah dari
jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya,
maka besarnya Pajak Penghasilan dihitung dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya.
c. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui
sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31
Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
d. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang
maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan oleh
cabang.
Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang dilakukan di cabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh.
e. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bekerja sama membentuk Kerja
Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang
diterima masing-masing anggota KSO.
f. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud pada huruf e telah dibayar
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota
KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai
dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
g. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
372
Para Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan atas
pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan untuk melaksanakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dan
melakukan sosialisasi kepada Wajib Pajak.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2013
DIREKTUR JENDERAL,
373
ttd
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
AUmum
. Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, perlu
374
ditetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan
penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
BMaksud dan Tujuan
. 1. Penetapan surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan kebijakan penyes
Kena Pajak.
2. Penetapan surat edaran ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena
dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
CRuang Lingkup
. Ruang lingkup surat edaran ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima
atau memperoleh penghasilan antara lain penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dan
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
DDasar
. 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
E Materi
. 1 Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
. Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan
harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
2 Konsultasi Menteri Keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah dilaksanakan pada tanggal
. 30 Mei 2012 dan 15 Oktober 2012 yang menyepakati besarnya penyesuaian Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2013 dengan besaran sebagai
berikut:
a Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
b Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
3 Penetapan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana tersebut di atas telah disesuaikan
. dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta harga kebutuhan pokok yang semakin
meningkat.
4 Ketentuan mengenai besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang mulai diberlakukan
. pada tanggal 1 Januari 2013 dalam rangka perhitungan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri agar disesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
5 Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rangka pelaporan Pajak Penghasilan dalam
. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2013 dan seterusnya adalah sebesar Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 162/PMK.011/2012. Sedangkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam
rangka pelaporan Pajak Penghasilan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2012
adalah sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan.
FPenutup
375
. Mengingat salah satu tujuan kebijakan penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah
untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemotongan PPh
Pasal 21 maupun pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, dengan ini diminta kepada Kepala
Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan
Konsultasi Perpajakan untuk segera memberikan penyuluhan kebijakan penyesuaian PTKP tersebut
kepada:
1 Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Pemotong PPh Pasal 21 yang berada di wilayah kerja
. masing-masing.
2 Seluruh bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
. instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya yang berada di wilayah
kerja masing-masing.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2012
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan yang seragam terhadap perlakuan Pajak
Penghasilan dari penghasilan berupa royalti dan Pajak Pertambahan Nilai atas pemasukan film impor
ke Indonesia, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
. diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, mengatur antara lain:
376
Pasal 4 ayat (1) huruf h, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
b Pasal 26 ayat (1) huruf c, Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu royalti, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta.
2Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
. Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009, mengatur antara lain:
a. Pasal 1 angka 2, Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergera
barang tidak berwujud;
b.Pasal 1 angka 3, Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Pasal 1 angka 10, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
d.Pasal 1 angka 17, Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, ata
dasar untuk menghitung pajak yang terutang;
e. Pasal 1 angka 19, Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi ti
Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau n
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Ba
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Pasal 1 angka 20, Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pung
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, t
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.;
g.Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Daerah Pabean;
h.Penjelasan Pasal 4 huruf g, yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah :
1) angka 1, penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, pate
formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industri atau hak serupa lainny
2) angka 5, penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video u
suara untuk siaran radio.
3Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman mengatur bahwa yang
. dimaksud dengan Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi
massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita
seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau
tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik, dan/atau lainnya.
4Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan,
. Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, mengatur antara lain :
a Pasal 2, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
. dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
bPasal 4, Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
. berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terjadi pada
saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean tersebut;
c Pasal 5 ayat (1) dan (2), Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau
. Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari
377
379
Sehubungan
dengan
telah
Nomor 140/PMK.03/2010
diterbitkannya
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan
Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk
Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang Mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak
Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, bersama ini disampaikan fotokopi Peraturan
Menteri Keuangan dimaksud.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Ketentuan PMK tersebut merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.
Ketentuan PMK tersebut menjadi dasar pelaksanaan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk
dapat menentukan pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu
special purpose company sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri
lainnya sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian. Kewenangan tersebut
dilaksanakan sepanjang :
3.
4.
Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk
maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company);
dan
Bentuk-bentuk saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
Peraturan tersebut adalah :
a
Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam
negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan
dengan perjanjian utang piutang; atau
Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam negeri yang
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan
perjanjian utang piutang.
Pihak atau badan yang dibentuk untuk melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
(special purpose company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan tersebut
merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh
Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan antara lain untuk membeli saham atau aktiva Wajib
Pajak dalam negeri lainnya.
380
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
381
1. Penelitian SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh
KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan
haknya.
2. Pelaksanaan kegiatan penelitian SSP Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan pada KPP
Pratama adalah sebagai berikut :
a.Penanganan berkas di TPT
1 Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen penyampaian formulir penelitian SSP atas
) penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang terdiri dari :
a) Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang sudah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos/Nomor Penerimaan Potongan
serta foto kopinya;
b) foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima
Setoran/Struk ATM bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/bukti pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya;
c) foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara penjualan; dan
d) foto kopi surat kuasa dan kartu identitas yang diberi kuasa dalam hal pengajuan formulir
penelitian Surat Setoran Pajak dikuasakan.
2 Atas penyampaian formulir penelitian SSP yang telah dilengkapi dokumen sebagaimana
) dimaksud pada angka 1), diterima dan diberikan tanda terima kepada Wajib Pajak.
3 Berkas penelitian SSP yang telah diterima selanjutnya diteruskan ke Seksi Pelayanan.
)
b Penanganan berkas oleh Seksi Pelayanan Kegiatan penelitian SSP dilakukan oleh Petugas
. Peneliti SSP yang ditunjuk dan pengaturannya diserahkan kepada Kepala KPP Pratama yang
bersangkutan dengan koordinasi Kepala Seksi Pelayanan.
1 Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran isian pada Formulir SSP.
)
Unsur-unsur yang diteliti antara lain :
a) Data Modul Penerimaan Negara (MPN) Petugas Peneliti SSP mengecek Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN) dan mencocokkan jumlah pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)
yang tercantum dalam SSP lembar ke-1 dengan data MPN. Dalam hal diperlukan, bias
melakukan konfirmasi ke Bank/Pos Persepsi yang bersangkutan.
b) Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NOP) Petugas Peneliti SSP mencocokkan
NOP yang dicantumkan dalam Surat Setoran Pajak dengan NOP yang tercantum dalam foto
kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran
(STTS)/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) lainnya.
c) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi per meter persegi Petugas Peneliti SSP
meneliti NJOP bumi per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data
PBB.
d) Besarnya NJOP bangunan per meter persegi Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP Bangunan
per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
e) Penghitungan PPh Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran penghitungan dasar pengenaan
PPh dengan membandingkan nilai pengalihan sebenarnya sebagaimana tercantum dalam
382
foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dengan NJOP.
2 Dalam hal diperlukan penelitian lapangan, Kepala KPP Pratama menerbitkan Surat Tugas
) penelitian lapangan.
3. Dalam hal dilakukan penelitian lapangan, penelitian tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional
Penilai atau petugas lain yang ditunjuk.
4. Kepala KPP Pratama dapat menetapkan kriteria dilakukannya penelitian lapangan dengan tetap
mempertimbangkan ketentuan jangka waktu penyelesaian penelitian SSP, misalnya terdapat
bangunan yang belum masuk dalam basis data PBB.
5. Dalam hal berdasarkan penelitian ternyata PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
belum dibayar ke Kas Negara atau PPh yang telah dibayar oleh Wajib Pajak masih kurang dari
yang seharusnya dibayar, maka :
a
SSP lembar ke-1 dan fotokopinya tidak dibubuhkan stempel penelitian SSP;
berkas penelitian SSP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikembalikan (kecuali formulir
penelitian SSP dan foto kopi SSP) disertai surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
6. Terhadap SSP yang sudah diteliti, diberikan stempel dengan bentuk stempel sebagaimana
ditetapkan pada Lampiran 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang
Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
7. Apabila pembayaran PPh dari pengalihan hak atas satu unit tanah dan/atau bangunan dilakukan
dengan lebih dari satu SSP (misal karena pembayaran dilakukan secara angsuran), maka:
a
stempel penelitian SSP dibubuhkan pada SSP yang terakhir dan foto kopinya;
8. Format Buku Register Penelitian SSP ditetapkan sebagaimana Lampiran I Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
9. Format Rekapitulasi Data SSP ditetapkan sebagaimana Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
10 Prosedur Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
. Bangunan, ditetapkan sebagaimana Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
11.Apabila penyampaian formulir penelitian SSP oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan atau kuasanya bersamaan dengan penyampaian formulir penelitian
SSB oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan atau kuasanya, maka proses
penelitian SSP dan penelitian SSB dapat dilakukan bersamaan.
12 Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER. 26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan, diminta kepada seluruh Kantor Wilayah untuk melakukan :
a
sosialisasi ketentuan tentang penelitian SSP kepada PPAT dan juga perusahaan real estate;
383
pengawasan terhadap pelaksanaan penelitian SSP yang dilakukan KPP yang berada di wilayah
kerjanya.
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
384
Sehubungan dengan telah disahkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tanggal
9 Maret 2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2008 tentang
Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto,
dengan ini disampaikan fotokopi Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut :
1 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang
. wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah
dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
2 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dapat dibebankan
. sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
A telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
dalam bentuk hard copy dan/atau soft copy kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya
kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau
terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
3 Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan dokumen/bukti untuk pemenuhan ketentuan
. dalam butir 2 diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan cara melampirkannya dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak dihapuskannya piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih.
4 Penerbitan umum atau khusus sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c adalah penerbitan yang
. meliputi:
a.Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media
massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
b Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
.
1) penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-Bank
Umum Nasional (PERBANAS)
2) penerbitan/pengumuman khusus Bank lndonesia; dan/atau
3) penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
pihak kreditur menjadi anggotanya.
5 Apabila di kemudian hari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud
. dalam Pasal 3 dilunasi oleh debitur seluruhnya atau sebagian, maka jumlah piutang yang dilunasi
tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pelunasan.
385
6 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan tersebut diminta para Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk
. melakukan sosialisasi kepada para Wajib Pajak di lingkungan wilayah kerja masing-masing.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Mei 2010
Direktur Jenderal,
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 060044911
SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN
USAHA
MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG
BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN
BERKALA
TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali
memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak
berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
NIP 060044911
388
389
390
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 33/PJ/2009
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya
Sinematografi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1
Hak cipta adalah merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun
bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer;
Hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak
terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat
dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah
dialihkan;
Pemegang hak cipta atas Karya Sinematografi memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersitat komersial;
Karya Sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving
images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang
dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita
seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan
untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media
lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau
perorangan;
Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima
hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut;
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait
kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya dengan persyaratan tertentu;
Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan
hasil Karya Sinematografi, yaitu:
391
dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada
kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya,
dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu
atau wilayah tertentu;
dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang
hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak
lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya
Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam
pengertian royalti.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan
hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b dan huruf c, termasuk
dalam pengertian royalti.
Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam butir 4 yang menjadi dasar pengenaan Pajak
Penghasilan adalah:
sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal
pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;dan
sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang terkait.
Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan dan Direktur Jenderal
Radio-Televisi-Film Departemen Penerangan Nomor
KEP - 266/PJ.2/1978
_________________________
11/KEP/DIRJEN/RTF/1978
392
tanggal 23 Maret 1978 tentang Tata-Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Atas Bunga, Dividen dan
Royalty (PBDR) Atas Royalty Penggunaan Hak Edar Film lmpor, karena bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan maka surat
keputusan tersebut sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
da tanggal 04 Juni 2009
Direktur Jenderal
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
393
394
1)
2)
3)
4)
1)
2)
3)
4)
5)
komersial pada perkiraan modal dengan nama "Selisih Lebih Penilaian Kembali aktiva
Tetap Perusahaan Tanggal .........".
b Pencatatan dalam neraca sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat juga dilakukan pada
bagian surplus revaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 16: Aset Tetap (Revisi 2007).
4 Masa transisi
Permohonan persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan yang
diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 dilaksanakan
dan diproses sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-519/PJ/2002 tentang Tata
Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan.
5 Kepala Kantor Wilayah DJP diminta untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-12/PJ/2009, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak diminta untuk melakukan
sosialisasi kepada Wajib Pajak di lingkungan wilayah kerjanya masing-masing.
Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2009
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
396
TENTANG
TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN,
TERMASUK KOPERASI, YANG USAHA POKOKNYA MELAKUKAN TRANSAKSI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan
dengan
telah
diterbitkannya
Peraturan
Direktur
Jenderal
Pajak
Nomor 28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
.
tersebut adalah sebagai berikut :
a
Wajib Pajak Badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan:
1)
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009
dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
2)
penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan
Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagai
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999.
397
Atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Bebas
Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final.
untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud huruf a, Wajib Pajak harus mengajukan surat permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar yang dilampiri dengan daftar
tanah dan/atau bangunan yang penghasilan atas pengalihannya telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
2Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
. dimaksud dalam butir 1 huruf c, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus:
a
memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
surat permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final diterima secara
lengkap.
menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final paling lama 3 (tiga)
hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a telah dilampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan
keputusan.
menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat Final, apabila
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat Final tersebut diterima;
3Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar memperhatikan tata cara penerbitan Surat Keterangan Bebas
. Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak Badan, termasuk Koperasi, yang
usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai Lampiran
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
DARMIN NASUTION
398
NIP 130605098
Sehubungan
dengan
telah
diterbitkannya
Peraturan
Direktur
Jenderal
Pajak
Nomor 30/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau
Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
. tersebut adalah sebagai berikut :
a Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
b Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah:
1) orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan p
dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
2) orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah d
Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus;
3) orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
399
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
4) badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
5) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan; dan
6) orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
c Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan
:
1)dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada huruf b
angka 1), 3), 4), dan 5); atau
2)secara langsung tanpa penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada
huruf b angka 2) dan 6).
d Untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud huruf c angka 1), orang pribadi termasuk ahli waris
atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan wajib mengajukan surat permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang bersangkutan terdaftar atau bertempat
tinggal dengan ketentuan sebagai berikut :
1) bagi orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1)
a)Surat Pernyataan Berpenghasilan di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan
Jumlah Bruto Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kurang dari Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah);
b fotokopi Kartu Keluarga; dan
)
c)fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan.
2) bagi orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3) dan 4), dilampiri
Surat Pernyataan Hibah;
3) warisan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 5) dilampiri Surat Pernyataan Pembagian
Waris.
2Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
. atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf d, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak harus :
a memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal surat
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan diterima secara lengkap.
b menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a tersebut telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan
keputusan.
c menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, apabila permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut diterima.
d menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak, apabila permohonan Surat
400
Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan tersebut ditolak.
3Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar memperhatikan tata cara pemberian pengecualian dari
. kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2009
Direktur Jenderal,
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 42/PJ/2009
TENTANG
PENYAMPAIAN DAN PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 238/PMK.03/2008
TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN
PEMBERIAN PENURUNAN TARIF BAGI WAJIB PAJAK BADAN
DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan
dengan
telah
diterbitkannya
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor 238/PMK.03/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan
Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan
Terbuka (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008), dengan ini disampaikan
fotokopi Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1
Penurunan tarif bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
dilaksanakan dengan cara self assessment melalui Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT). Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan
permohonan untuk dapat memperoleh penurunan tarif tersebut.
Pada saat Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 menyampaikan SPT, Kantor
Pelayanan Pajak melakukan hal-hal sebagai berikut :
401
Melakukan pengecekan kelengkapan lampiran SPT berupa surat keterangan dari Biro
Administrasi Efek berupa formulir X.H.1-6 sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor X.H.1. Apabila SPT tidak dilampiri
dengan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek, SPT diperlakukan sebagai SPT tidak
lengkap sehingga ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Menulis "SPT yang menggunakan penurunan tarif berdasarkan PP 81 Tahun 2007" di bagian
atas tengah SPT induk dan setiap lampirannya.
Selain melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek, Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada angka 1 tetap wajib melampirkan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta
Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.
Terhadap SPT yang telah diterima, Kantor Pelayanan Pajak wajib menindaklanjuti dengan :
a
Mencocokkan Wajib Pajak yang melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek
dengan Daftar Wajib Pajak Yang Memenuhi Syarat Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2007.
Melakukan konfirmasi tertulis kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
dan Biro Administrasi Efek apabila Wajib Pajak yang melampirkan surat keterangan dari Biro
Administrasi efek tidak tercantum dalam Daftar Wajib pajak Yang Memenuhi Syarat
BerdasarkanPeraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007.
Daftar Wajib Pajak yang Memenuhi Syarat Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2007 yang disampaikan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
kepada Direktur Jenderal Pajak akan diteruskan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Apabila setelah melalui proses sebagaimana dimaksud pada angka 4 diketahui bahwa Wajib Pajak
ternyata tidak berhak memperoleh penurunan tarif, atas kekurangan pembayaran Pajak
Penghasilan beserta sanksinya wajib ditagih melalui prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Apabila terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh penurunan tarif dilakukan pemeriksaan
untuk Tahun Pajak yang memperoleh penurunan tarif, pemeriksa pajak wajib menguji kembali
pemenuhan ketentuan penurunan Tarif yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81
Tahun 2007tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
Yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007) dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008.
Demikian untuk mendapatkan perhatian Saudara dan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
402
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 07 April 2009
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1/PJ/2008 tentang
Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran,
Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri, yang menambah ketentuan baru dalam
Pasal 8 huruf b,
403
1. Pengecualian dari kewajiban pembayaran FLN bagi anggota keluarga dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri se
Pajak
Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan
Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri s
Nomor 1/PJ/2009 diberikan dengan cara pengecekan validasi NPWP Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sep
udara atau
pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri sepanjang NPWP tersebut telah terdaftar sekurangkurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan, dengan ketentuan bahwa Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak memiliki NPWP sendiri dari:
a Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI)
Keluarga harus melampirkan:
1) fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau
2) Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu
Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki NPWP.
b Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang:
1) tidak memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP
hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
2) namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah deng
melampirkan dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berw
2. Untuk memudahkan pelaksanaannya, penyimpanan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini agar disatukan deng
Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pe
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri.
3. Para Kepala Kantor Wilayah dan para Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang melakukan pengelolaan FLN agar m
mensosialisasikan kepada jajaran di bawahnya dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 09 Januari 2009
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
404
405
kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna melaksanakan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
5 Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 bersifat final.
6 Bagi Wajib Pajak badan, termasuk koperasi yang usaha pokoknya melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila:
a melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan
atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang oleh pejabat yang berwenang, dan
b penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak
Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi.
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan
7 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
8 Para Kepala Kantor Wilayah diminta untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah
tersebut diatas, serta semua Kepala Kantor agar melakukan sosialisasi kepada para Wajib Pajak di
lingkungan wilayah kerja masing-masing.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2008
Direktur Jenderal,
ttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098
406
f
g
h
i
II
jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp
1.000.000.000,00 (sesuai ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000). Fotokopi
sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan
Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah
satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 140 Tahun 2000.
4 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000tanggal 26 Desember 2000, baru
efektif berlaku terhadap :
a
Kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang ditandatangani setelah tanggal 31 Desember
2000; dan/atau
b
Kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2001,
yang pelaksanaan pekerjaannya baru dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2000.
Atas PPh final yang telah dipotong atau disetor sendiri atas penerimaan uang muka kontrak
yang belum berjalan hingga tgl 31 Desember 2000, dapat ditempuh prosedur
pemindahbukuan (Pbk) ke PPh Pasal 23 sesuai ketentuan umum yang berlaku.
5
Terhadap kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang telah berjalan sebelum tanggal 1 Januari
2001, tetap berlaku ketentuan lama (dikenakan PPh final) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 hingga selesainya kontrak/proyek
tersebut.
Atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan PPh Pasal 25 yang telah disetor sendiri serta
dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2000 yang
berakhir setelah tanggal 31 Desember 2000 dan atau SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak
2001, dapat ditempuh prosedur pemindahbukuan (Pbk) ke PPh final dan prosedur pembetulan
SPT Tahunan sesuai ketentuan umum yang berlaku.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta disebarluaskan kepada
seluruh Wajib Pajak pengusaha jasa konstruksi yang terdaftar di masing-masing Kantor Pelayanan
Pajak.
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
HADI POERNOMO
409
DIREKTUR JENDERAL,
Ttd
HADI POERNOMO
411
412
413
dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau
atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa :
a BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya
pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan;
b PBB adalah pajak yang dibayar sehubungan dengan pemilikan hak atau perolehan manfaat
atas tanah dan atau pemilikan, penguasaan, atau perolehan manfaat atas bangunan, yang
merupakan biaya/pengeluaran rutin setiap tahun;
c BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak
atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A Undang-undang Pajak
Penghasilan;
d BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan
sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan
tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan;
e PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangi
sekaligus sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
f Penegasan dimaksud pada huruf-huruf c, d, dan e di atas, berlaku atas penghasilan yang tidak
berkaitan dengan penerimaan / perolehan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dan atau dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto /
Norma Penghitungan Khusus.
415
416
417
Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bunga obligasi
yang pembayarannya dilakukan oleh Wali Amanat, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1 Bahwa berdasarkan butir 5 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE40/PJ.4/1996 tanggal 20 Desember 1996 sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 1996 tanggal 8 Juli 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 587/KMK.04/1996 tanggal 23 September 1996, pengenaan PPh atas bunga atau diskonto
obligasi dilakukan dengan cara pemotongan oleh Penerbit Obligasi pada saat jatuh tempo bunga
obligasi atau pada saat penjualan obligasi dengan (perhitungan) diskonto.
2 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pelaksanaan pemotongan PPh atas bunga obligasi yang
terutang dilakukan oleh Penerbit Obligasi. Namun demikian, pada prinsipnya pelaksanaan
pemotongan tersebut dapat dilakukan oleh Wali Amanat dalam hal :
obligasi yang diterbitkan adalah Atas Unjuk (bukan Atas Nama) sehingga nama pemilik obli
Emiten memberi kuasa kepada Wali Amanat untuk melakukan pelunasan pokok dan pembay
3 Dengan demikian, pelaksanaan pemotongan dan penyetoran PPh atas bunga obligasi sebagaimana
tersebut pada butir 2 di atas dapat dilakukan oleh Wali Amanat dengan menggunakan Nama dan
NPWP Penerbit Obligasi. Sedangkan kewajiban pelaporan atas pemotongan dan penyetoran
tersebut tetap berada pada Emiten, sehingga tanggung jawab atas pemotongan, penyetoran dan
pelaporan tersebut tetap berada pada Emiten.
4 Dalam Hal penerbit obligasi membayar atau terutang bunga kepada pemegang obligasi yang
membeli obligasi dari pihak-pihak yang dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 6 SE-40/PJ.4/1996, pemegang obligasi wajib memberikan
kepada Penerbit Obligasi bukti yang menyatakan saat perolehan obligasi tersebut dari pihak-pihak
yang dikecualikan tersebut, agar dapat dilampirkan dalam laporan pemotongan dan penyetoran
PPh atas bunga obligasi oleh Emiten.
5 Untuk kelancaran pelaksanaan Surat Edaran ini, Kepala KPP agar memberikan penjelasan kepada
para Wajib Pajak yang bersangkutan yang terdaftar di KPP masing-masing.
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DIREKTUR JENDERAL
ttd
FUAD BAWAZIER
418
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor :282/KMK.04/1997 tanggal 20 Juni 1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek, untuk kelancaran pelaksanaannya
dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah
Nomor
41
Tahun
1994,
sedangkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor : 282/KMK.04/1997 merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 81/KMK.04/1995tanggal 6 Februari 1995 yang dinyatakan tidak berlaku lagi.
2 Pengertian "pendiri dan saham pendiri" berdasarkan penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1997 adalah sebagai berikut :
a Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat
dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (" initial public offering ")
menjadi
efektif.
Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang menerima
pengalihan saham dari pendiri karena :
- Warisan
- hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 te
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994;
- cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
b Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki oleh mereka yang
termasuk kategori "pendiri" sebagaimana dimaksud di atas. Termasuk dalam pengertian
"saham pendiri" adalah :
- saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umu
- saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
c Tidak termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah :
- saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham;
- saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana ("initial public offering") yang berasal da
(right issue), waran, obligasi konversi lainnya;
- saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
3 PPh yang bersifat final dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari
jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.
4 Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari nilai seluruh saham pendiri yang dimilikinya pada tanggal 29 Mei 1997, atau pada
saat initial public offering (IPO) dalam hal IPO dilakukan pada hari setelah tanggal 29 Mei 1997.
Besarnya nilai saham tersebut adalah :
a nilai saham pada penutupan bursa tanggal 30 Desember 1996, apabila saham tersebut telah
diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 atau sebelumnya;
b nilai saham pada saat penawaran umum perdana ("initial public offering"), apabila saham
tersebut diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997;
5 Tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam butir 3 di atas adalah :
419
Penyelenggara bursa efek wajib memotong Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam butir 3 di atas melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi
penjualan saham.
b Penyelenggara bursa efek wajib menyetor Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
butir a di atas ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 20 (dua
puluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham.
c Penyelenggara bursa efek wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat selambatlambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan yang sama dengan bulan penyetoran.
Tata cara penyetoran dan pelaporan pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam butir 4 di atas adalah sebagai berikut :
a Emiten atas nama masing-masing pemilik saham pendiri wajib menyetor tambahan Pajak
Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 4 di atas ke bank persepsi atau
Kantor Pos dan Giro :
- sebelum penjualan saham pendiri, selambat-lambatnya tanggal 29 November 1997 apabila saham tersebut
29 Mei 1997;
- saham penjualan saham pendiri, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdaga
diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 29 Mei 1997.
b Emiten wajib menyampaikan laporan penyetoran tambahan Pajak Penghasilan yang terutang
sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan penyetoran.
c Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf b di atas berisikan sekurang-kurangnya :
- Nama dan NPWP pemilik saham pendiri;
- Nilai saham;
- Pajak penghasilan terutang;
- Tanggal penyetoran pajak,
- dilampiri dengan Surat setoran Pajak (SSP) lembar ke-3 (contoh formulir terlampir).
d Melaporkan kepada penyelenggara bursa efek bahwa atas seluruh saham pendiri telah
dibayarkan tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 4 diatas,
sehingga untuk selanjutnya atas transaksi penjualan saham pendiri hanya dikenakan Pajak
Penghasilan 0,1%.
Wajib Pajak pemilik saham pendiri yang tidak memilih ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 4 diatas, atas penghasilan berupa capital gain dari transaksi penjualan saham pendiri
dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 oleh karena itu Wajib Pajak tersebut
harus melaporkan pilihannya itu kepada Direktur Jenderal Pajak dan penyelenggara bursa efek.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, pengaturan dalam SE-07/PJ.42/1995 tanggal 21 Februari
1995 yang bertentangan dengan Surat Edaran ini, dinyatakan tidak berlaku.
BERGERAK
DIBIDANG USAHA PENERBANGAN DALAM NEGERI (SERI PPh UMUM - 40)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan
dengan
ditetapkannya
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
Nomor : 475/KMK.04/1996 tanggal 23 Juli 1996 tentang Penghitungan Khusus penghasilan Netto
bagi Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri, untuk kelancaran pelaksanaan keputusan
tersebut dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1 Wajib
Pajak
yang
dicakup
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor : 475/KMK.04/1996 adalah Wajib Pajak perusahaan penerbangan yang bertempat
kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter. Yang
dimaksud dengan perjanjian charter meliputi semua bentuk charter, termasuk sewa ruangan
pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang ("space charter").
2 peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri yang dijadikan dasar
penghitungan norma penghasilan neto adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang
atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari pengangkutan orang dan/atau barang yang
dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan di luar negeri berdasarkan perjanjian charter.
3 Besarnya Norma Penghitungan netto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada butir 2 adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dilunasi adalah 1,8% (satu koma delapan persen) dari
peredaran bruto.
4 Pelunasan PPh sebagaimana dimaksud pada butir 3 merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang
dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
5 Pembayaran PPh yang terutang sebagaimana yang dimaksud pada butir 5 dilakukan melalui
pemotongan oleh pencharter sepanjang pencharter tersebut adalah badan pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya. Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran atau saat
terutangnya imbalan atau nilai pengganti. Atas pemotongan PPh tersebut pencharter wajib :
a memberikan Bukti Pemotongan PPh kepada pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana Lampiran I;
b menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai
pengganti, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
c melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
imbalan atau nilai pengganti, dengan menggunakan bentuk sebagaimana Lampiran II;
6 Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka ketentuan yang berkenaan dengan Wajib Pajak
perusahaan penerbangan dalam negeri sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor : SE-27/PJ.4/1995 tanggal 12 Mei 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
7 Untuk kelancaran pelaksanaan Surat Edaran ini, Kepala KPP agar memberikan penjelasan kepada
para Wajib Pajak yang bersangkutan yang terdaftar di KPP masing-masing.
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
FUAD BAWAZIER
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 32/PJ.4/1996
TENTANG
NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK YANG
BERGERAK
421
Sehubungan
dengan
ditetapkannya
Keputusannya
Menteri
Keuangan
RI
Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan
Netto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri, untuk kelancaran
pelaksanaan keputusan tersebut dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1 Ketentuan bagi Wajib Pajak Perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni
1996 pada prinsipnya adalah sama dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995. Sebagaimana diketahui,
dengan keluarnya Keputusan Menteri keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi
2 Wajib
Pajak
yang
dicakup
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor : 417/KMK.04/1996 adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang
bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia.
3 Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri seperti
tersebut di atas adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri. Dengan demikian
tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran
dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang dari
pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
4 Besarnya Norma Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
luar negeri sebagaimana dimaksud pada butir 3 adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran
bruto. Besarnya PPh yang wajib dilunasi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
luar negeri seperti tersebut pada butir 2 adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat
persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
5 Pelunasan atau pembayaran PPh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri sebagaimana dimaksud pada butir 4 dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang membayar atau pihak yang m
a.1 memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai pengganti;
a.2
Memberikan Bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar
yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran
a.3 menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal
bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
a.4 melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-la
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebag
dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Peru
Penerbangan Luar Negeri (final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak Peru
Penerbangan luar Negeri Wajib:
b.1 menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giroselambat-lambatnya tanggal 15
diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final:
b.2 melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20
diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, d
SSP Final.
Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 3 diatas, maka atas penghasilan lainnya tersebut dikenakan PPh
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
422
7
8
Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka ketentuan yang berkenaan dengan Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri sebagaimana ditegaskan dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-27/PJ.4/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Untuk kelancaran pelaksanaan Surat Edaran ini, Kepala KPP agar memberikan penjelasan kepada
para Wajib Pajak yang bersangkutan yang terdaftar di KPP masing-masing.
423
425
426
427
429
430
431
TAMBAHAN
PERATURAN PEMERINTAH
432
433
b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham
kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
dan
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1
(satu) Tahun Pajak.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan pemberian penurunan tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 3
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tidak terpenuhi, Pajak
Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4798) dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007
tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk
Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 170, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4798), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Ketentuan mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak Tahun Pajak 2013.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
435
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4755);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN
CUKAI SERTA TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN
DARI SERTA BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan.
3. Menteri adalah Menteri Keuangan.
4. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan
ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
5. Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yang
selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari
pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
6. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara,
atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu !intas barang yang sepenuhnya berada di bawah
pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
7. Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk
memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
8. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat
dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
9. Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang
disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu
pemuatan atau pengeluarannya.
10. Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas.
11. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut dengan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
12. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
13. Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan
kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Pasal 2
436
(1) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas berada di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan
atau bandar udara yang ditunjuk.
(3) Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan izin dari Menteri Perhubungan dan telah
mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean.
(4) Untuk kepentingan pengawasan dan pelayanan, Menteri menetapkan Kantor Pabean, Kawasan
Pabean, dan Pos Pengawasan Pabean.
(5) Pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan
Pabean.
(6) Pemberitahuan Pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di Kantor Pabean.
Pasal 3
(1) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh
pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
(2) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan
Bebas dari luar Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
(3) Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari luar Daerah
Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan
Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan
Kawasan.
(4) Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari tempat lain
dalam Daerah Pabean dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pemasukan dan
pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas atas:
a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
c. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial,
kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
d. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
e. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
f. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
g. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h. barang pindahan;
i. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman;
j. obat-obatan yang dimasukkan dengan menggunakan anggaran pemerintah yang
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
k. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;
l. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
m. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan
umum;
n. barang untuk keperluan olahraga yang dimasukkan oleh induk organisasi olahraga nasional;
o. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka
untuk umum serta barang untuk konservasi alam;
p. buku iImu pengetahuan; dan
q. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
Pasal 4
(1) Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(2) Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
(3) Pengusaha Barang Kena Cukai di Kawasan Bebas tetap berlaku kewajiban memiliki Nomor
Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang cukai.
437
(4) Barang kena cukai produksi pabrik di Kawasan Bebas yang digunakan untuk kebutuhan
konsumsi penduduk di Kawasan Bebas dapat diberikan pembebasan cukai.
Pasal 5
(1) Pemasukan barang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. dikeluarkan kembali (reekspor);
b. dihibahkan kepada negara; atau
c. dimusnahkan
(2) Pengeluaran kembali atau pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf c, dilakukan di bawah pengawasan Badan Pengusahaan Kawasan dan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengeluaran kembali, penghibahan kepada negara, dan
pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB II
PEMERIKSAAN PABEAN
Pasal 6
(1) Terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas
lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan penelitian
dokumen.
(2) Dalam hal tertentu, terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah
Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus,
dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 7
(1) Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan
Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan penelitian
dokumen.
(2) Dalam hal tertentu, barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean,
Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dapat
dilakukan pemeriksaan fisik.
(3) Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah
Pabean, dilakukan pemeriksaan pabean.
(4) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penelitian dokumen dan
pemeriksaan fisik barang.
(5) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara selektif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB III
PENGANGKUTAN, PEMBONGKARAN, PEMUATAN,
PENIMBUNAN, DAN PENGELUARAN BARANG
Bagian Kesatu
Pengangkutan Barang
Paragraf 1
Kedatangan Sarana Pengangkut
Pasal 8
(1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari:
a. luar Daerah Pabean;
b. Kawasan Bebas lainnya; atau
c. tempat lain dalam Daerah Pabean,
wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke Kantor Pabean tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
(2) Pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan:
a. sebelum kedatangan untuk sarana pengangkut laut dan udara; atau
438
(1) Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) wajib dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di
tempat lain dengan izin Kepala Kantor Pabean.
(2) Izin pemuatan di tempat lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
(3) Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas yang dilakukan di luar Kawasan
Pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemuatan barang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Penimbunan Barang
Pasal 12
(1) Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), sementara menunggu pengeluarannya
dari Kawasan Pabean, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
(2) Dalam hal tertentu, barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat ditimbun di
tempat lain yang diperlakukan sama dengan Tempat Penimbunan Sementara.
(3) Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean,
Kawasan Bebas lainnya, atau tempat lain dalam Daerah Pabean, sementara menunggu
pemuatannya, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara atau tempat lain dengan izin
Kepala Kantor Pabean.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengeluaran Barang
Pasal 13
(1) Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean
atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) setelah dipenuhinya Kewajiban
Pabean untuk:
a. dimasukkan ke Kawasan Bebas;
b. diangkut terus atau diangkut lanjut;
c. diangkut ke Tempat Penimbunan Sementara di Kawasan Pabean lainnya; atau
d. dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari kawasan pabean atau tempat lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI LUAR DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE LUAR DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean
Pasal 14
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk,
pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 15
(1) Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah
diserahkan Pemberitahuan Pabean.
(2) Barang yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas dari luar
Daerah Pabean ke Kawasan Bebas pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat
bea dan cukai.
(3) Barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang dikirim melalui
penyelenggara pos hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai.
440
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Luar Daerah Pabean
Pasal 16
(1) Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean wajib diberitahukan
dengan Pemberitahuan Pabean.
(2) Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean merupakan
barang yang dikenai bea keluar, bea keluar wajib dibayar paling lambat pada saat Pemberitahuan
Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean.
(3) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman, sampai dengan
batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
(4) Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai dalam hal
pengeluarannya dibatalkan.
(5) Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean yang merupakan barang yang
dikenai bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea keluar.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB V
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 17
(1) Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan
atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), tidak dipungut
PPN.
(2) Pemasukan barang kena cukai ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui
pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), untuk
kebutuhan konsumsi penduduk di Kawasan Bebas dapat diberikan pembebasan cukai.
(3) Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang tidak melalui
pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
dipungut PPN dan/atau cukai. \
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena
Pajak ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena
Pajak ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang telah dilunasi PPN dengan
menggunakan stiker lunas PPN, dan bahan bakar minyak bersubsidi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 18
(1) Barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau
tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas
setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman.
441
(3) Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, sepanjang
menyangkut pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1), pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pengawasan dan pengadministrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 19
(1) Barang asal luar Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain
dalam Daerah Pabean wajib dilunasi bea masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Barang asal Kawasan Bebas dan tempat lain dalam Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari
Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi PPN.
(3) Barang kena cukai hasil produksi pabrik di Kawasan Bebas yang akan dikeluarkan dari Kawasan
Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi cukai.
(4) Pelunasan PPN atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Orang yang mengeluarkan barang.
(5) Barang Kena Cukai untuk kebutuhan konsumsi penduduk di Kawasan Bebas tidak dapat
dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
(6) Pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pengusaha pabrik yang
bersangkutan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diatur dengan Peraturan Menteri.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pasal 20
(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dan ayat (2), terhadap pengeluaran barang untuk transaksi tertentu berupa:
a. pengeluaran Barang Kena Pajak yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali
ke Kawasan Bebas atau pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas oleh
pengusaha yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah
Pabean berupa mesin dan peralatan untuk:
1) kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
2) keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
3) keperluan peragaan atau demonstrasi.
b. pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi
serta panas bumi yang atas impornya PPN yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari
pengenaan PPN atau PPN ditanggung pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan
Menteri, dan sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan
pengalihan hak.
c. pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari
pengenaan PPN.
d. pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi PPN-nya dengan menggunakan stiker
lunas PPN.
e. pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jangka waktu pengeluaran Barang Kena Pajak dari
Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan pemasukan kembali Barang Kena
Pajak tersebut ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 21
Dikecualikan dari pengenaan PPN atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b.
442
Pasal 22
(1) Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib
diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean.
(2) Barang yang akan dibawa oleh penumpang atau awak sarana pengangkut dari Kawasan Bebas ke
tempat lain dalam Daerah Pabean sebelum keberangkatannya wajib diberitahukan kepada pejabat
bea dan cukai.
(3) Barang yang dikirim melalui penyelenggara pos hanya dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke
tempat lain dalam Daerah Pabean atas persetujuan pejabat bea dan cukai.
(4) Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaporkan kepada pejabat bea dan
cukai dalam hal pengeluarannya dibatalkan.
(5) Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam
Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) yang merupakan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), wajib dilunasi bea
masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6) Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam
Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) yang merupakan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) wajib dilunasi PPN.
(7) Dalam hal barang kena cukai yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat
lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) yang merupakan barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3),
wajib dilunasi cukai.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam
Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI KAWASAN BEBAS
LAINNYA DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE
KAWASAN BEBAS LAINNYA
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas Lainnya
Pasal 23
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan bea masuk,
pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 24
(1) Barang asal Kawasan Bebas lainnya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah
diserahkan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan
Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya
Pasal 25
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan bea
masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 26
(1) Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya wajib
diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean.
(2) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri
443
BAB VII
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI TEMPAT PENIMBUNAN
BERIKAT ATAU KAWASAN EKONOMI KHUSUS DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT ATAU
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 27
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi
Khusus diberikan pembebasan bea masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 28
(1) Barang asal Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus dapat dikeluarkan dari
Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk
dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang asal Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 29
(1) Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat, dilakukan dengan
ketentuan:
a. dalam hal barang merupakan barang asal luar Daerah Pabean, diberikan penangguhan bea
masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat;
b. dalam hal barang merupakan barang asal Kawasan Bebas atau barang asal tempat lain dalam
Daerah Pabean, tidak dipungut PPN dan/atau diberikan pembebasan cukai, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan
Berikat.
(2) Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan dengan
ketentuan:
a. dalam hal barang merupakan barang asal luar Daerah Pabean, diberikan penangguhan bea
masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Kawasan Ekonomi Khusus;
b. dalam hal barang merupakan barang asal Kawasan Bebas atau barang asal tempat lain dalam
Daerah Pabean, tidak dipungut PPN dan/atau diberikan pembebasan cukai, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kawasan Ekonomi
Khusus.
Pasal 30
(1) Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat
Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PEMBERITAHUAN PABEAN
Pasal 31
(1) Pemberitahuan Pabean dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam
bentuk data elektronik.
444
(2) Tulisan di atas formulir atau data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang Kepabeanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean yang meliputi:
a. bentuk, isi, dan keabsahan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
b. pendaftaran, penyampaian dan penyerahan Pemberitahuan Pabean;
c. penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan
pabean;
d. pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean; dan
e. penggunaan dokumen pelengkap pabean,
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 32
(1) Pengurusan Pemberitahuan Pabean wajib dilakukan oleh:
a. Orang yang memasukkan dan/atau mengeluarkan barang ke dan dari Kawasan Bebas atas
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5);
b. pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan; dan
c. pengangkut.
(2) Pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
dapat dikuasakan kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB IX
PERLAKUAN PPN ATAS PENYERAHAN ATAU PEROLEHAN/PEMANFAATAN
BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN PENYERAHAN/PEROLEHAN
JASA KENA PAJAK
Pasal 33
(1) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Kawasan
Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
(3) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas
ke Kawasan Bebas lainnya, dibebaskan dari pengenaan PPN.
(4) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke
tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN.
(5) Dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk penyerahan Jasa
Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari
pengenaan PPN.
(6) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke
Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
(7) Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang
penyerahannya dilakukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, dipungut PPN.
(8) Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas,
tidak dipungut PPN.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (8) juga berlaku untuk penyerahan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN.
(10) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat
Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
(11)Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke
Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, dipungut PPN.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), ayat (7), ayat (11), dan jenis Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dan ayat (10) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
445
(2) Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke
Kawasan Bebas, dikenai PPN.
(3) Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam
Daerah Pabean dikenai PPN.
Pasal 35
(1) Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
(2) Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat
Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, dikenai PPN.
(3) Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean
atau Tempat Penimbunan Berikat, dikenai PPN
(4) Dikecualikan dari ketentuan pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas
penyerahan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan berkabel di Kawasan Bebas.
BAB X
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 36
(1) Barang-barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang:
a. dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; dan
b. dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
(2) Ketentuan pembatasan hanya dapat diberlakukan atas:
a. pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean untuk kepentingan
perlindungan konsumen atas barang yang diedarkan di Kawasan Bebas, kesehatan,
keamanan, dan lingkungan hidup; dan
b. pengeluaran barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean atau asal Kawasan Bebas, dari
Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
(3) Instansi teknis menetapkan secara khusus ketentuan pembatasan yang diberlakukan atas
pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a.
(4) Instansi teknis yang menetapkan:
a. ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; dan
c. ketentuan pembatasan yang diberlakukan atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus memberitahukan kepada Menteri.
(5) Dalam hal pada saat pemasukan barang tersebut ke Kawasan Bebas tidak diberlakukan atau
mendapatkan pengecualian dari ketentuan larangan dan/atau pembatasan, pengeluaran barang
asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib
memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan yang ditetapkan oleh instansi teknis.
(6) Untuk kemudahan pelayanan terhadap pemberlakuan ketentuan pembatasan dari instansi teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), instansi teknis dapat melimpahkan kewenangannya kepada
Badan Pengusahaan Kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan barang-barang yang dilarang dan/atau
dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 37
(1) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan dari
luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah
Pabean atau dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, jika telah diberitahukan
dengan Pemberitahuan Pabean, atas permintaan pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari
Badan Pengusahaan Kawasan:
a. dibatalkan pengeluarannya dari Kawasan Bebas;
b. dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean; atau
c. dimusnahkan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan
Pengusahaan Kawasan, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk:
a. dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
446
b. dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean atau ke tempat lain dalam Daerah
Pabean, yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar ditetapkan sebagai
barang yang dikuasai negara, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan dan penatausahaan barang-barang
yang dilarang dan/atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
Pasal 38
(1) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), ayat
(5), arau ayat (7), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling ban yak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
tetapi jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan
Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,
wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi
berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(5) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan
Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(6) Orang yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan
pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah
(7) Pengusaha yang tidak melaporkan pembatalan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 39
Pejabat bea dan cukai untuk mengamankan hak negara, dalam melaksanakan tugas berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan
kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
Pasal 40
(1) Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dicatat sebagai impor.
(2) Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dicatat sebagai ekspor.
Pasal 41
Ketentuan lainnya yang berkaitan dengan pemasukan barang ke Kawasan Bebas atau pengeluaran
barang dari Kawasan Bebas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Kepabeanan.
Pasal 42
Ketentuan mengenai sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan,
cukai, dan perpajakan tetap berlaku di Kawasan Bebas.
447
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas
Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4970), tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 44
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran
Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4970), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
448
449
daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4892), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang
melakukan penanaman modal pada:
a.
bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah ini; atau
b. bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman
Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per
tahun;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut:
Tarif Penyusutan dan
Amortisasi
Masa
Kelompok Aktiva
Berdasarkan Metode
Manfaat
Tetap Berwujud
Menjadi
Garis
Saldo
Lurus
Menurun
1. Bukan Bangunan:
Kelompok I
2 tahun
50%
100%
(dibebankan
sekaligus)
Kelompok II
4 tahun
25%
50%
Kelompok III
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok IV
10 tahun
10%
20%
II. Bangunan :
Permanen
Tidak permanen
10 tahun
5 tahun
10%
20%
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar
negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahu'n dengan ketentuan:
1)
tambahan 1 tahun
2)
tambahan 1 tahun
3)
tambahan 1 tahun
4)
tambahan 1 tahun
450
451
452
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
453
454
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan;
2) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
b. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a angka 1) ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah,
Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib
Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin;
2) dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain
sebagaimana dimaksud dalam angka 1).
c. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a angka 2) ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai dengan ketentuan dalam huruf d
oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak
badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada saat pembayaran uang
muka dan termin;
2) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam huruf d, dengan cara menyetor
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan
termin, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang
dimaksud dalam angka 1).
d. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor
sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c ditetapkan sebagai berikut:
1) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
perencanaan konstruksi;
2) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi; atau
3) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
pengawasan konstruksi.
Pasal 10A
Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak
atau bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa
dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
b. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa
dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak
menggunakan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Pasal 10B
455
Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Pasal 10C
Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat
dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
456
457
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2008
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menyederhanakan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi dan memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib
Pajak, Perlu mengatur kembali Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA JASA KONSTRUKSI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan
konstruksi.
3. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
4. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
5. Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
458
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau
bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan
fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan
(engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan
pembangunan (design and build).
6. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan
pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan
diserahterimakan.
7. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang
memerlukan layanan jasa konstruksi.
8. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
9. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi
secara keseluruhan.
Pasal 2
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 3
(1) Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
(2) Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap
setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 4
Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2), dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (4) Undang-Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
Pasal 5
(1) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan
pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong
pajak.
(2) Besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal Pajak
Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
(3) Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
Pasal 6
459
(1) Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong
atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut
disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
(2) Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang
bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat
sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
(3) Piutang yang tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UndangUndang PPh.
(4) Dalam hal piutang yang, nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 7
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang PPh.
(2) Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi
dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam
perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 8
Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan
penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
(1) Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:
a. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember
2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi;
b. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya
dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
460
461
Pasal 2
(1) Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); dan
b. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,
dari Diskonto SPN.
Pasal 3
Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh:
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto SPN
yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
b. Perusahaan efek (broker] atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas
Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.
Pasal 4
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
Pasal 5
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 6
SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pemungutan PPh sudah
dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, tidak dipungut lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
462
463
3. Masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh memiliki saham kurang
dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dipenuhi oleh Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dalam waktu paling singkat 6 (enam)
bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
Pasal 3
1. Dalam hal Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dalam 1 (satu)
tahun pajak tertentu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dan ayat (3), maka ketentuan penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak
berlaku.
2. Pajak Penghasilan atas penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan
Terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ketentuan yang berlaku
secara umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pelaksanaan dan pengawasan pemberian penurunan tarif
bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
464
465
2 tahun
50%
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
4 tahun
8 tahun
10 tahun
25%
12,5%
10%
100% (dibebankan
sekaligus)
50%
25%
20%
II. Bangunan :
Permanen
Tidak Permanen
10 tahun
5 tahun
10%
20%
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar
Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;dan
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun dengan ketentuan sebagai berikut:
1) tambahan 1 :
apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur
tahun
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri dan
kawasan berikat;
2) tambahan 1 :
apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus)
tahun
orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
3) tambahan 1 :
apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/
tahun
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi
usaha paling sedikit sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);
4) tambahan 1 :
apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di
466
tahun
5)
tambahan 1 :
tahun
(3) Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan setelah
mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 3
Wajib Pajak yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), sebelum lewat
jangka waktu 6 (enam) tahun sejak tanggal pemberian fasilitas tidak boleh :
a. menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan selain yang diberikan
fasilitas; atau
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas kecuali aktiva
tetap yang dialihkan tersebut diganti dengan aktiva tetap baru.
Pasal 4
Apabila Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas tidak memenuhi ketentuan Pasal 3, maka
a. fasilitas yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dicabut;
b. terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku; dan c.tidak dapat lagi diberikan fasilitas
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 5
(1) Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini akan dikenakan dievaluasi dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim monitoring dan evaluasi yang
dibentuk dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Pasal 6
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000
tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 147 Tahun 2000, maka atas kegiatan usaha tersebut tidak
lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 148 Tahun 2000
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan
atau Di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 265
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4066), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
467
468
(1)
(2)
(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 20% (dua puluh persen)
dari diskonto SPN.
Pasal 3
Pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagai agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara.
Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan pada tanggal penyelesaian transaksi penjualan SPN di Pasar
Perdana.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 April 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
469
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITANGGUNG OLEH
PEMERINTAH ATAS
PENGHASILAN PEKERJA DARI PEKERJAAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Pekerjaan yang mendapat perlakuan Pajak
Penghasilan yang ditanggung Pemerintah adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bekerja
sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja di Indonesia, yang menerima
gaji, upah, serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diberikan dalam bentuk uang sampai dengan Rp
2.000.000,00 (dua juta rupiah) sebulan.
Pasal 2
Pajak Penghasilan yang terutang atas gaji, upah serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diterima
oleh Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
sebulan, ditanggung oleh Pemerintah.
Pasal 3
470
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2003 tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah
Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4258) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak
tanggal 1 Juli 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
471
3.
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA OLEH PEKERJA
SAMPAI DENGAN SEBESAR UPAH MINIMUM PROPINSI ATAU UPAH MINIMUM
KABUPATEN/KOTA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan
menerima upah.
2. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
472
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.
Pasal 2
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah
Minimum Kabupaten/Kota setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ditanggung oleh
Pemerintah.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2001
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja sampai dengan Sebesar Upah
Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4148) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak
tanggal 2 Januari 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
473
474
475
c.
penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
Pasal 2
(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang hanya menanda tangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan
oleh Orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan
menunjukkan aslinya.
(3) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah
lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dipungut Pajak
Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar-menukar.
(2) Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyetor Pajak
Penghasilan yang telah dipungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukarmenukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang
melakukan tukar-menukar.
(4) Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan
mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1)
adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan.
(2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Obyek Pajak tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994,
kecuali :
a.
dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat
yang bersangkutan;
b.
dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Stb. 1908 Nomor 189 dengan
segala perubahannya ) adalah nilai menurut risalah tersebut.
(3) Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Obyek Pajak
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan
atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual
Obyek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak terutang tahun pajak sebelumnya.
477
(4) Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, maka Nilai Jual Obyek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Obyek Pajak menurut
Surat Keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
wilayah wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
Pasal 5
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah :
a.
Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a dan huruf b yang
jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah;
b.
Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c;
c.
Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan sehubungan
dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
d.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan.
Pasal 6
Ketentuan tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan atau
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak badan sehubungan dengan usaha
pokoknya di bidang penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 7
Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat keputusan pemberian hak, pengakuan hak, dan
peralihan hak atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 8
Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bagi orang pribadi
bersifatfinal dan bagi Wajib Pajak badan merupakan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 9
Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau ayat (3),
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, baik bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, dengan memperhatikan pertimbangan
Menteri Kehakiman dan/atau Menteri Dalam Negeri.
Pasal 11
Atas Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1995 yang
belum dibuatkan aktanya oleh pejabat yang berwenang diatur sebagai berikut :
a.
Apabila penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan dan Pajak Penghasilannya
telah dilunasi, maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b.
Apabila atas penghasilan dari pengalihan hak tersebut Pajak Penghasilannya telah dilunasi
sampaidengan tanggal 31 Desember 1994 berdasarkanPeraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, maka pelunasan Pajak Penghasilan
478
Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
S O E HAR T O
479
TAMBAHAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
480
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap
untuk Tujuan Perpajakan bagi Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan Tahun 2016
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
Diundangkan di Jakarta
482
483
a.
(2
)
(3
)
(4
)
Atas bunga dari Deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. tarif 10% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 1 bulan;
2. tarif 7,5% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 3 bulan;
3. tarif 2,5% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 6 bulan; dan
4.
tarif 0% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan.
b. Atas bunga dari Deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1.
tarif 7,5% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2.
tarif 5% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3.
tarif 0% dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan
atau lebih
c. Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari
Deposito selain dari Deposito sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1.
tarif 20% dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap; dan
2.
tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar
negeri.
Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari Deposito sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku dalam hal Devisa Hasil Ekspor yang
atas bunga Depositonya telah dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditempatkan kembali sebagai Deposito, termasuk melalui
mekanisme perpanjangan Deposito.
Terhadap Deposito yang ditempatkan kembali sebagai Deposito termasuk melalui mekanisme
perpanjangan Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas bunga dari Deposito
dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 1.
Bunga Deposito yang dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. sumber dana Deposito merupakan dana Devisa Hasil Ekspor yang diperoleh setelah
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 yang dibuktikan dengan
dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa sesuai
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan Devisa
Hasil Ekspor;
b. sumber dana Deposito berasal dari pemindahbukuan dana Devisa Hasil Ekspor yang
ditempatkan pada rekening milik eksportir pada bank tempat diterimanya Devisa Hasil
Ekspor dari luar negeri dan rekening milik eksportir dimaksud hanya digunakan untuk
menampung dana Devisa Hasil Ekspor;
c. Deposito ditempatkan pada bank yang sama dengan bank tempat diterimanya Devisa Hasil
Ekspor dari luar negeri; dan
d. harus dilampiri surat pernyataan dari eksportir yang paling sedikit memuat:
1.
identitas eksportir antara lain nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan nomor
rekening penempatan dana Devisa Hasil Ekspor;
2.
data dana Devisa Hasil Ekspor antara lain nilai ekspor, saat diperolehnya dana
Devisa Hasil Ekspor, nomor dan tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang, dan jenis
valuta;
3.
pernyataan bahwa sumber dana rekening sebagaimana dimaksud pada huruf b
berasal dari Devisa Hasil Ekspor; dan
4.
pernyataan bahwa sumber dana Deposito bukan berasal dari penempatan kembali
484
486
487
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG
PEMERINTAH ATAS BUNGA ATAU IMBALAN SURAT BERHARGA NEGARA YANG
DITERBITKAN DI PASAR INTERNASIONAL DAN PENGHASILAN PIHAK KETIGA ATAS
JASA YANG DIBERIKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM PENERBITAN DAN/ATAU
PEMBELIAN KEMBALI/PENUKARAN SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR
INTERNASIONAL TAHUN ANGGARAN 2015.
Pasal 1
(1) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga
negara yang di terbitkan di pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(2) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan
kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga
negara di pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(3) Penerbitan di pasar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah
kegiatan penawaran dan penjualan surat berharga negara dalam valuta asing di luar wilayah
Indonesia.
(4) Pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah kegiatan pembelian kembali/penukaran surat berharga negara
dalam valuta asing di pasar internasional oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai
(cash buyback) dan/atau dengan cara penukaran (exchange offer).
(5) Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas :
a.
Surat utang negara, yaitu surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia
sesuai dengan masa berlakunya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara; dan
b.
Surat berharga syariah negara atau sukuk negara, yaitu surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset
surat berharga syariah negara, dalam valuta asing, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
(6) Penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk diskonto surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional.
(7) Penghasilan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fee atas jasa pihak
ketiga tersebut dan pembayaran atas biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan penerbitan
dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional.
(8) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah pihak ketiga yang memberikan jasa
kepada pemerintah dalam rangka penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat
berharga negara di pasar internasional antara lain agen penjual, agen pembeli/penukar, bursa efek
di luar negeri, agen fiskal, agen pembayar, lembaga rating, dan konsultan hukum internasional
tidak termasuk konsultan hukum lokal.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) merupakan
belanja subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas
pajak ditanggung Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 dan perubahannya.
488
Pasal 3
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian
Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi
Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa
Pengguna Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a.
membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah;
b.
membuat Surat Perintah Membayar; dan
c.
menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah
Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
Pasal 4
Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas bunga atau
imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga
atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran
surat berharga negara di pasar internasional Tahun Anggaran 2015 dilaksanakan oleh Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi
Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri
Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
489
ditagih tersebut;
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu.
Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berbentuk hard copy dan soft copy.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya
pemberian:
a.
Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha
ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I
yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok ProkesraOPPKS;
b.
Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank
kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur
(channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana
pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna
membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c.
Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan
oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d.
Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e.
Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal
usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f.
Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia
dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya
tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
3.
4.
(1a)
(2)
(3)
(4)
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b harus
mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, jumlah
plafon utang yang diberikan, dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan
dengan cara melampirkan:
a.
fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
b.
fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
c.
fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d.
surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu,
yang disetujui oleh kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
491
Pasal 5
(1) Dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang
diterima dari satu kreditur.
(2) Ketentuan mengenai pengecualian keharusan mencantumkan identitas debitur berupa
Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku untuk
penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dibebankan sejak Tahun
Pajak 2015.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 November 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
492
493
Pasal 2
(1) Besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(2) Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a.
Wajib Pajak bank;
b.
Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
c.
Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
d.
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau
perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan
perbandingan antara utang dan modal; dan
e.
Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
f.
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
(3) Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah bank sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, dan Bank Indonesia.
(4) Wajib Pajak lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah badan
usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.
(5) Wajib Pajak asuransi dan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah yang menjalankan usaha asuransi dan/atau reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai perasuransian.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 3
Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya
perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) biaya pinjaman yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai
dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak
sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi:
a.
bunga pinjaman;
b.
diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
c.
biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of
borrowings);
d.
beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
e.
biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
f.
selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs
tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak juga
wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008.
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3), biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut
harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya
494
pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan
kena pajak.
(6) Penghitungan perbandingan utang dan modal serta biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya, yang:
a.
terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan; dan
b.
dalam kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada huruf a mengatur atau
mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal,
ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal dimaksud berlaku sampai dengan berakhirnya
kontrak atau perjanjian tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya, yang:
a.
terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan; dan
b.
dalam kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mengatur atau
tidak mencantumkan ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal,
besarnya perbandingan utang dan modal bagi Wajib Pajak tersebut adalah sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 5
(1) Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya
utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas
biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan
untuk menghitung penghasilan kena pajak.
(3) Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan
antara Utang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan; dan
2.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984tentang Penentuan Perbandingan antara
Utang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 7
Ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan penghitungan
Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak
2016.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penentuan besarnya perbandingan antara utang
dan modal untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal
Pajak.
495
Pasal 9
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 September 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
496
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 dan Penjelasannya, diatur bahwa penetapan besarnya bagian penghasilan
pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan, memperhatikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
b.
bahwa besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak telah disesuaikan berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai
Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1.
497
Pasal 1
Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, sampai dengan jumlah Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari
tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal:
a.
penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) sebulan;
atau
b.
penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
Pasal 3
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku atas penghasilan berupa
honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan Pajak Penghasilan bagi pegawai harian dan
mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ttd.
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
YASONNA H. LAOL
498
bahwa ketentuan mengenai besarnya penghasilan tidak kena pajak telah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak;
b.
bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, perlu melakukan penyesuaian
terhadap ketentuan mengenai besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c.
bahwa dalam rangka penyesuaian terhadap besarnya penghasilan tidak kena pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, Menteri Keuangan telah mengadakan pertemuan
konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 25 Juni 2015;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3)Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN
MENTERI
KEUANGAN
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK.
TENTANG
PENYESUAIAN
BESARNYA
Pasal 1
Besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut:
a.
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
499
b.
c.
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d.
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Pasal 2
Ketentuan yang diperlukan mengenai tata cara penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk Wajib Pajak orang pribadi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku pada Tahun Pajak 2015.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
500
penentuan harga transfer untuk tahun pajak selama jangka waktu APA.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Pengajuan APA dapat dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
b. Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat mengajukan APA sepanjang telah beroperasi atau melakukan kegiatan
usaha di Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun.
(3) Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh atau sebagian transaksi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 3
(1) APA berlaku dan mengikat bagi:
a. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau
b. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra,
selama jangka waktu APA.
(2) APA paling sedikit memuat:
a. para pihak yang memiliki Hubungan Istimewa;
b. transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA;
c. metode Transfer Pricing;
d. pembanding (comparables);
e. jangka waktu berlakunya APA;
f. asumsi kritikal (critical assumptions); dan
g. penyesuaian Transfer Pricing (transfer pricing adjustment).
Pasal 4
Jangka waktu pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat diberikan:
a. paling lama 3 (tiga) tahun pajak; atau
b. paling lama 4 (empat) tahun pajak, untuk APA yang pembahasannya melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
BAB III
PEMBENTUKAN APA
Pasal 5
(1) Tahapan pembentukan APA meliputi:
a. pengajuan permohonan pembicaraan awal oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal
Pajak;
b. pembicaraan awal antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
c. penyampaian undangan dari Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak dalam rangka
pengajuan permohonan APA berdasarkan hasil dari pembicaraan awal;
d. pengajuan permohonan APA oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
(3) Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. berdasarkan transaksi riil dan/atau transaksi yang sudah direncanakan berdasarkan
keputusan pengurus atau direksi perusahaan;
b. sesuai dengan pedoman atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Transfer Pricing; dan
c. tidak dilakukan semata-mata untuk meminimalisasi beban pajak.
(4) Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling
lambat 6 (enam) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
Pasal 7
(1) Dalam hal pengajuan APA dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Direktur Jenderal Pajak
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA.
(2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait
dengan permohonan APA menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA
mengajukan permohonan pembicaraan awal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(3) Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan
permohonan APA tidak menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Pasal 8
(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pembicaraan awal dengan Wajib Pajak untuk:
a. membahas perlu atau tidaknya dilaksanakan APA;
b. membahas ruang lingkup APA yang diusulkan oleh Wajib Pajak;
c. memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan metode
Transfer Pricing yang diusulkannya;
d. membahas kemungkinan pembentukan APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
e. membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
f. membahas jangka waktu dan periode tahun pajak yang dicakup dalam pembentukan
APA; dan
g. membahas hal-hal lain yang terkait dengan pembentukan dan penerapan APA.
(2) Atas permohonan pembicaraan awal dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1), Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal pembicaraan awal
dengan Wajib Pajak.
(3) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.
(4) Dalam rangka pembicaraan awal, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan peninjauan ke tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan.
Pasal 9
(1) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 digunakan sebagai dasar pertimbangan
dalam pembahasan APA.
(2) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak
atau Wajib Pajak untuk menindaklanjuti ke tahap pembahasan APA.
Bagian Kedua
Undangan Pengajuan Permohonan APA
Pasal 10
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 8
Direktur Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dapat ditindaklanjuti ke tahap
pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat undangan kepada Wajib Pajak
untuk mengajukan permohonan APA.
(2) Surat undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Direktur
Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dengan Wajib Pajak tidak dapat
ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak dapat
mengajukan permohonan APA.
(4) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu
paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya tahun pajak yaitu tahun diajukannya
permohonan pembicaraan awal APA oleh Wajib Pajak.
Bagian Ketiga
Permohonan APA
Pasal 11
(1) Berdasarkan undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Wajib Pajak dapat
menyampaikan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan
Perpajakan II dengan mencantumkan informasi sebagai berikut:
a. nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak;
b. identitas pendukung pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak;
dan
c. ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang dicakup dalam APA.
(2) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakilnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang; dan
c. dalam hal ditandatangani oleh kuasa, dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang.
(3) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung meliputi:
a. penjelasan rinci mengenai hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan sebelumnya
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
b. penjelasan rinci mengenai metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak,
termasuk dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
c. penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Transfer Pricing;
d. penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode Transfer
Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha;
e. penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions); dan
f. dokumen pendukung terkait lainnya yang diperlukan.
(4) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus diterima oleh Direktur Peraturan Perpajakan II paling lambat pada
akhir tahun pajak sebelum dimulainya tahun pajak yang dicakup dalam APA.
(5) Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) terlampaui sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun, tahun pajak yang
dicakup dalam APA menjadi berkurang 1 (satu) tahun pajak.
(6) Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) terlampaui, permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap
pembahasan APA.
Bagian Keempat
Pembahasan APA
Pasal 12
(1) Berdasarkan permohonan APA, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pembahas APA.
(2) Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur-unsur pegawai
negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(3) Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempunyai tugas:
a. melakukan analisis dan evaluasi atas permohonan APA termasuk analisis ekonomi untuk
tahun pajak yang dicakup dalam APA;
b. mengajukan usul pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas
permohonan APA, dalam hal diperlukan;
c. meminta Wajib Pajak untuk memberikan data atau informasi lain yang diperlukan serta
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, dalam hal diperlukan;
d. meminta informasi yang diperlukan dari pihak terkait lainnya, dalam hal diperlukan;
e. melakukan pembahasan APA dengan Wajib Pajak;
f. melakukan pembahasan dengan unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
g. menyiapkan usulan rekomendasi naskah posisi APA Direktorat Jenderal Pajak; dan
h. melakukan dokumentasi atas kegiatan dalam rangka APA.
(4) Pembahasan APA dengan Wajib Pajak meliputi:
a. ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang akan dicakup oleh APA;
b. analisis kesebandingan, pemilihan, dan penentuan data pembanding;
c. penentuan metode Transfer Pricing yang tepat;
d. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions)
dalam penentuan metode Transfer Pricing; dan
e. penjelasan mengenai ada atau tidaknya pengenaan pajak berganda.
(5) Pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memenuhi standar
analisis dan evaluasi yang meliputi standar umum analisis dan evaluasi, standar pelaksanaan
analisis dan evaluasi, dan standar pelaporan hasil analisis dan evaluasi.
Pasal 13
(1) Dalam hal berdasarkan pembahasan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4)
diketahui dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Direktur Jenderal Pajak
dapat:
a. mengajukan permohonan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra;
b. menerima permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
pembahasan APA dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP.
Pasal 14
(1) Terhadap hasil analisis dan evaluasi permohonan APA, tim pembahas APA menyampaikan usulan
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan
Naskah
APA
tersebut.
BAB IV
PELAKSANAAN, EVALUASI, DAN PEMBARUAN (RENEWAL) APA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan APA
Pasal 19
(1) APA diberlakukan terhitung sejak tahun pajak saat Naskah APA disepakati.
(2) Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, APA diberlakukan
sesuai dengan hasil Persetujuan Bersama.
Bagian Kedua
Evaluasi APA
Pasal 20
(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) kepada
Direktur Jenderal paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
(2) Dalam hal Naskah APA yang disusun berdasarkan Persetujuan Bersama menyepakati cakupan
tahun pajak sebelum ditandatanganinya Naskah APA, penyampaian laporan kepatuhan tahunan
yang meliputi tahun pajak sebelum tahun pajak ditandatanganinya Naskah APA disampaikan
paling lambat 4 (empat) bulan setelah bulan ditandatanganinya Naskah APA.
(3) Laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berisi kesesuaian pelaksanaan APA dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk seluruh tahun pajak yang dicakup dalam APA, dan harus memuat:
a. penjelasan rinci mengenai kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Transfer Pricing
dalam transaksi yang dicakup dalam APA;
b. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Transfer
Pricing;
c. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal
(critical assumptions) penerapan metode Transfer Pricing; dan
d. informasi lain yang mendukung penjelasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c.
(4) Faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
(1) Pembaruan (renewal) APA dapat dilakukan pada tahun pajak terakhir berlakunya APA.
(2) Pengajuan pembaruan (renewal) APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama
dengan pengajuan APA sesuai tahapan pembentukan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Dalam rangka melakukan pembaruan (renewal) APA, Direktur Jenderal Pajak
mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan dalam APA yang dilakukan pembaruan (renewal).
BAB V
DOKUMENTASI
Pasal 23
(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan dokumentasi atas seluruh tahapan dalam pelaksanaan
pembentukan APA, termasuk:
a. hasil analisis dan evaluasi APA;
b. hasil pembahasan APA;
c. agreed minutes atau records of discussion selama pembentukan APA;
d. surat menyurat, termasuk surat menyurat elektronik; dan
e. media rekam digital atau elektronik.
(2) Dokumen atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam pembentukan APA
merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang dilarang untuk diberitahukan kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang.
(3) Dalam hal proses pembentukan APA tidak dicapai kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA, dokumen Wajib Pajak yang
dipergunakan selama proses pembentukan APA harus dikembalikan kepada Wajib Pajak.
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal
Pajak sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
(1) APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan
bukti permulaan, atau penyidikan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(2) Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berakibat
pada pembetulan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan, pembetulan surat
ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), untuk permintaan
dan/atau perolehan dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan
pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
permintaan dan/atau perolehan dokumen dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 25
(1) Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli di luar Direktorat
Jenderal Pajak pada tahapan pembentukan APA.
(2) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli pada
tahapan pembentukan APA.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap pengajuan APA yang telah diterima oleh Direktur
Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Naskah APA,
dilakukan
pemrosesan
lebih
lanjut
berdasarkan
Peraturan
Menteri
ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pembahas dan tim quality assurance, dan tahap
pembentukan APA, serta pelaksanaan, evaluasi, dan pembaruan (renewal) APA diatur dengan
Peraturan
Direktur
Jenderal
Pajak.
Pasal 28
Peraturan Menteri ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
Pasal 1
(1) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga
negara yang diterbitkan di pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(2) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada
Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di
pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(3) Penerbitan di pasar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah
kegiatan penawaran dan penjualan surat berharga negara dalam valuta asing di luar wilayah
Indonesia.
(4) Pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah kegiatan pembelian kembali/penukaran surat berharga negara
dalam valuta asing di pasar internasional oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai
(cash buyback) dan/atau dengan cara penukaran (exchange offer).
(5) Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas :
a.
Surat utang negara, yaitu surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara; dan
b.
Surat berharga syariah negara atau sukuk negara, yaitu surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset
surat berharga syariah negara, dalam valuta asing, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
(6) Penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk diskonto surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional.
(7) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pihak ketiga yang memberikan jasa
kepada pemerintah dalam rangka penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat
berharga negara di pasar internasional antara lain agen penjual, agen pembeli/penukar, bursa efek
di luar negeri, agen fiskal, agen pembayar, lembaga rating, dan konsultan hukum internasional
tidak termasuk konsultan hukum lokal.
(8) Penghasilan yang diperoleh dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa fee
atas jasa pihak ketiga tersebut dan pembayaran atas biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan
penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) merupakan
belanja subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas
pajak ditanggung Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 dan perubahannya.
Pasal 3
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian
Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi
Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa
Pengguna Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a.
membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b.
c.
Pasal 4
Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas bunga atau
imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga
atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran
surat berharga negara di pasar internasional Tahun Anggaran 2014 dilaksanakan oleh Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi
Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri
Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan tanggal 31 Desember
2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
a.
b.
c.
(1)
(2)
Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2008, Tahun Anggaran 2009, dan Tahun Anggaran 2010;
Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2011; dan
Alokasi Lebih Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2011.
Pasal 2
Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2008, Tahun Anggaran 2009, dan Tahun Anggaran 2010 adalah sebesar
Rp9.622.263.584,00 (sembilan miliar enam ratus dua puluh dua juta dua ratus enam puluh tiga
ribu lima ratus delapan puluh empat rupiah).
Rincian alokasi Kurang Bayar DBH PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
(1) Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2011 adalah sebesar Rp868.273.730.216,00 (delapan ratus enam puluh delapan miliar
dua ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus tiga puluh ribu dua ratus enam belas rupiah), terdiri
atas:
a.
Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN adalah sebesar
Rp8.088.350.450,00 (delapan miliar delapan puluh delapan juta tiga ratus lima puluh ribu
empat ratus lima puluh rupiah); dan
b.
Alokasi Kurang Bayar DBH PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp860.185.379.766,00
(delapan ratus enam puluh miliar seratus delapan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh
sembilan ribu tujuh ratus enam puluh enam rupiah).
(2) Rincian alokasi Kurang Bayar DBH PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Alokasi Lebih Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2011 adalah sebesar Rp69.073.385.699,00 (enam puluh sembilan miliar tujuh puluh
tiga juta tiga ratus delapan puluh lima ribu enam ratus sembilan puluh sembilan rupiah), terdiri
atas:
a.
Alokasi Lebih Bayar DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN adalah sebesar
Rp3.418.856.852,00 (tiga miliar empat ratus delapan belas juta delapan ratus lima puluh
enam ribu delapan ratus lima puluh dua rupiah); dan
b.
Alokasi Lebih Bayar DBH PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp65.654.528.847,00 (enam
puluh lima miliar enam ratus lima puluh empat juta lima ratus dua puluh delapan ribu
delapan ratus empat puluh tujuh rupiah).
(2) Rincian alokasi Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Penyaluran alokasi Kurang Bayar DBH PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan sekaligus pada lambat pada bulan Desember 2014.
(2) Alokasi Lebih Bayar DBH PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diperhitungkan
dengan alokasi DBH Pajak yang sejenis atau DBH lainnya secara sekaligus pada Tahun Anggaran
2014 dan/atau secara bertahap pada tahun anggaran berikutnya.
(3) Penyaluran alokasi Kurang Bayar dan penghitungan Lebih Bayar DBH PPh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan energi/listrik
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 766/KMK.04/1992 tentang
Tatacara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya Atas Hasil Pengusahaan Sumber daya Panas
Bumi Untuk Pembangkitan Energi/Listrik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor209/KMK.04/1998, untuk tahun anggaran berjalan, diberlakukan sebagai
penyetoran Pajak Penghasilan tahun anggaran dimaksud.
(2) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah dengan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan belanja subsidi Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
Pasal 2
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan
Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah.
Pasal 3
(1) Bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) disetor oleh pengusaha panas
bumi ke dalam Rekening Penerimaan Panas Bumi Nomor 508.000084980 pada Bank Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha panas bumi wajib melaporkan perhitungan dan pelaksanaan penyetoran bagian
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Anggaran c.q.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.
(3) Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak menyampaikan
data realisasi penyetoran setoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai
dasar penetapan Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas akhir penyetoran bagian
Pemerintah.
(4) Berdasarkan data realisasi setoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan dokumen anggaran yang diperlukan, Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan
dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen dan Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masingmasing untuk:
a.
membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak
ditanggung Pemerintah;
b.
membuat Surat Perintah Membayar; dan
c.
menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan
Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
subsidi pajak ditanggung Pemerintah.
Pasal 4
Laporan dan pertanggungjawaban atas Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah dilaksanakan oleh
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit
Akuntasi Kuasa Pengguna Anggaran sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a.
membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b.
membuat Surat Perintah Membayar; dan
c.
menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah
Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
Pasal 4
Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas bunga atau
imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga
atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran
surat berharga negara di pasar internasional Tahun Anggaran 2013 dilaksanakan oleh Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi
Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri
Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan tanggal 31 Desember
2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Pasal 3
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun
Anggaran 2013 merupakan perkiraan.
(2) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun
Anggaran 2013 didasarkan atas rencana penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013.
(3) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah Tahun
Anggaran 2013 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2013 sebesar Rp
22.106.939.904.266,00 (dua puluh dua triliun seratus enam miliar sembilan ratus tiga puluh sembilan
juta sembilan ratus empat ribu dua ratus enam puluh enam rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
a.
DBH PPh WPOPDN sebesar Rp1.368.668.575.477,00 (satu triliun tiga ratus enam puluh
delapan miliar enam ratus enam puluh delapan juta lima ratus tujuh puluh lima ribu empat ratus
tujuh puluh tujuh rupiah); dan
b.
DBH PPh Pasal 21 sebesar Rp 20.738.271.328.789,00 (dua puluh triliun tujuh ratus tiga puluh
delapan miliar dua ratus tujuh puluh satu juta tiga ratus dua puluh delapan ribu tujuh ratus
delapan puluh sembilan rupiah).
Pasal 5
(1) Alokasi sementara DBH PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2013 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai dasar penyaluran.
(2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
pada Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 4
(1) Alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan dasar penyaluran Triwulan IV.
(2) Alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) merupakan dasar penyusunan DIPA
alokasi definitif DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran
2012.
(3) Lebih salur sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (4) diperhitungkan dengan alokasi kurang
bayar tahun anggaran sebelumnya, dan/atau diperhitungkan dengan penerimaan dana
perimbangan Tahun Anggaran 2012 lainnya, dan/atau diperhitungkan pada tahun anggaran
berikutnya.
Pasal 5
Penyaluran DBH PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke
daerah.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Pasal 2
(1) Kebijakan dan program Remunerasi bagi tenaga kerja asing harus mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja pada Kontraktor berdasarkan penugasan dari perusahaan
induk Kontraktor dimaksud (Inter Corporate Transfer), yang telah mendapat izin dari Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi berdasarkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas
Bumi.
(3) Batasan maksimum Remunerasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan
menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Kontraktor adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(4) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a.
upah;
b.
tunjangan; dan/atau
c.
pembayaran lainnya yang terkait dengan kinerja tahunan Kontraktor dan tidak diberikan
dalam waktu jangka panjang.
Pasal 3
(1) Dalam hal Kontraktor membayar Remunerasi melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3), kelebihan pembayaran tersebut tidak dapat dikembalikan dalam
penghitungan bagi hasil dan tidak menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan
Pajak Penghasilan Kontraktor.
(2) Kontraktor wajib memotong, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Remunerasi yang dibayarkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Batasan maksimum Remunerasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan menjadi
pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Kontraktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dievaluasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Ketentuan batasan maksimum Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sepanjang tenaga kerja
asing tersebut mempunyai keahlian sangat khusus dan sangat langka di bidang minyak dan gas bumi,
yang kriterianya ditetapkan oleh Badan Pelaksana setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
4.
5.
6.
7.
8.
Pasal 2
Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi
hasil dan menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Kontraktor.
Pasal 3
(1)Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang dapat dikembalikan dan menjadi
pengurang penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di
wilayah kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b.digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
c. Kontraktor telah menyerahkan laporan keuangan konsolidasi Kantor Pusat yang telah diaudit; dan
d.Kontraktor telah menyerahkan dasar pengalokasian biaya tidak langsung Kantor Pusat berupa:
1) untuk Kontraktor pada masa Eksplorasi, yaitu Rencana Kerja dan Anggaran yang telah disetujui
oleh Badan Pelaksana;
2) untuk Kontraktor pada masa Eksploitasi, yaitu:
a) persetujuan tertulis metode alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat oleh Badan
Pelaksana, dalam hal telah dilakukan kajian detil (detailed study) oleh Badan Pelaksana;
atau
b) proposal metode alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang telah dinyatakan lengkap
oleh Badan Pelaksana, dalam hal belum dilakukan kajian detil (detailed study) oleh Badan
Pelaksana.
(2)Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan/atau huruf
d tidak dipenuhi oleh Kontraktor, pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat tidak dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan tidak menjadi pengurang penghasilan bruto dalam
penghitungan Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditetapkan:
a.
paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah pengeluaran Biaya Modal dan Biaya Bukan
Modal selama masa Eksplorasi di wilayah kerja Kontraktor di Indonesia;
b.
paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah pengeluaran Biaya Modal dan Biaya Bukan
Modal pada tahun yang bersangkutan selama masa Eksploitasi di wilayah kerja Kontraktor di
Indonesia,
dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhitung sejak tanggal efektif
kontrak kerja sama sampai dengan tahun persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama
pada suatu wilayah kerja Kontraktor.
(3) Masa Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terhitung dari berakhirnya masa
Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak kerja
sama.
(4) Dalam hal besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang telah disetujui
Badan Pelaksana nilainya lebih kecil dari besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung
Kantor Pusat yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan menjadi pengurang
penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor tidak melebihi besaran
pengeluaran yang telah mendapat persetujuan dari Badan Pelaksana.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG
PEMERINTAH DAN PENGHITUNGAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS HASIL
PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN ENERGI/LISTRIK
TAHUN ANGGARAN 2011.
Pasal 1
(1) Setoran bagian Pemerintah sebesar 34% (tiga puluh empat persen) dari penerimaan bersih
usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan energi/listrik
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 766/KMK.04/1992 tentang
Tatacara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya Atas Hasil Pengusahaan Sumber daya
Panas Bumi Untuk Pembangkitan Energi/Listrik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor209/KMK.04/1998, diberlakukan sebagai penyetoran Pajak
Penghasilan Tahun Anggaran 2011.
(2) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak
Penghasilan Ditanggung Pemerintah dengan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2011.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan belanja subsidi Pajak
Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
pemerintah.
Pasal 2
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan
Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi pajak
ditanggung Pemerintah.
Pasal 3
(1) Bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) disetor oleh Pengusaha panas
bumi ke dalam Rekening Penerimaan Panas Bumi Nomor 508.000084980 pada Bank Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha panas bumi wajib melaporkan perhitungan dan pelaksanaan penyetoran bagian
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Anggaran c.q.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan peraturan perundangan.
(3) Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak menyampaikan
data realisasi penyetoran setoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebagai dasar penetapan Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas akhir penyetoran
bagian Pemerintah.
(4) Berdasarkan data realisasi setoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan dokumen anggaran yang diperlukan, Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi
Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan kepada Pejabat
Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya
masing-masing untuk:
a.
membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak
ditanggung Pemerintah;
b.
membuat Surat Perintah Membayar; dan
c.
menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan
Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan belanja Negara untuk
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Pasal 2
Pajak Penghasilan ditanggung oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
diberikan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010.
Pasal 3
Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang,
dan Direktur Jenderal Pajak diinstruksikan untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2010 sampai dengan tanggal 31
Desember 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
2.
Hak Eksklusif Telkom adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia hanya
kepada Telkom untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap Sambungan lokal
hingga tahun 2010 dan Sambungan Langsung Jarak Jauh hingga tahun 2005.
3.
Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom adalah percepatan berakhirnya Hak Eksklusif Telkom,
yaitu pada bulan Agustus 2002 untuk jaringan dan jasa telekomunikasi tetap Sambungan Lokal
dan bulan Agustus 2003 untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh.
4.
Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom adalah kompensasi sebesar
Rp478.000.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh delapan miliar rupiah) setelah pajak (net of tax)
yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Telkom sehubungan dengan
Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom dalam jangka waktu maksimal selama 5 (lima) tahun
dimulai sejak tahun 2005.
Pasal 2
(1) Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif Telkom merupakan penghasilan yang menjadi objek
Pajak Penghasilan bagi Telkom.
(2) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah.
(3) Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pagu
anggaran sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah).
(4) Pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
Pasal 3
Penetapan jumlah dan saat terutang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 serta tata
cara penatausahaan perpajakan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Jenderal Pajak paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas akhir penyetoran bagian
Pemerintah.
(2) Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan data realisasi setoran bagian Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan dokumen anggaran yang diperlukan menerbitkan Surat Perintah
Membayar (SPM) Nihil kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 3
Penerimaan Negara Bukan Pajak dihitung dari setoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran Pajak-pajak dan
Pungutan-pungutan
lain.
Pasal 4
(1) Alokasi untuk penganggaran Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah diusulkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Direktorat Jenderal Anggaran.
(2) Besarnya alokasi anggaran Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan pada data perkiraan setoran bagian Pemerintah yang akan dibayarkan
oleh pengusaha pada tahun yang bersangkutan.
Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009 sampai dengan tanggal 31
Desember 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Februari 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang
Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 392/KMK.04/1996 diubah sebagai berikut :
1 Diantara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 Pasal yakni Pasal 2A dan asal 2B sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 2A
(1) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan
Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
(2) Dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan
cara angsuran, maka Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan
pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah bulan diterimanya pembayaran.
(4) Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan, termasuk pengembang kawasan
perumahan, pertokoan, pergudangan, industri, kondominium, apartemen, rumah susun, dan
gedung perkantoran.
Pasal 2B
(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) adalah :
a orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan; atau
e pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
(2) Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
4
5
1
(3) Tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran.
(2) Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukarmenukar, yang melakukan pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau
diterimanya pembayaran.
Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
Terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a atas kerugian dari usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang masih tersisa
sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak
2008;
b sejak Masa Januari 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terkait dengan penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 5B dihapus.
Pasal 5C dihapus.
Pasal II
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 566/KMK.04/1999 tentang Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang Usaha Pokoknya
Melakukan Transaksi Penjualan atau Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd,
SRI MULYANI INDRAWATI
Pasal 2
(1) Wajib Pajak dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen)
lebih rendah dari tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang.
(2) Penurunan Tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib
Pajak apabila jumlah kepemilikan saham publiknya 40% (empat puluh persen) atau lebih dari
keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
Pihak.
(3) Masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh memiliki saham kurang
dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dipenuhi oleh Wajib Pajak
dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
(5) Waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari kalender.
Pasal 3
(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam 1 (satu) tahun pajak tertentu tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), ketentuan penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku.
(2) Pajak Penghasilan atas penghasilan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan ketentuan yang berlaku secara umum sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak harus melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek pada
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan dengan melampirkan formulir X.H.1-6
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak
terkait.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat untuk setiap tahun pajak dengan
mencantumkan nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, Tahun Pajak serta menyatakan
bahwa dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
a Saham Wajib Pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% (empat puluh persen)
dari keseluruhan saham yang disetor; dan
b Saham Wajib Pajak yang dimiliki oleh publik dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pihak dan masing-masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% (lima persen)
dari keseluruhan saham yang disetor.
Pasal 5
(1) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan daftar Wajib Pajak
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
kepada Direktur Jenderal Pajak, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Daftar Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama
setiap akhir bulan setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian Daftar Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tahun pajak 2008 dapat dilakukan paling lama
pada tanggal 15 Maret 2009.
Pasal 6
Dasar perhitungan besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) UndangUndang untuk satu tahun pajak berikutnya setelah Wajib Pajak mendapatkan fasilitas berupa
penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan tahun pajak yang mendapatkan faslitas.
Pasal 7
Contoh perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
contoh kondisi Wajib Pajak yang memenuhi dan tidak memenuhi kriteria Pasal 2 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku
surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN ALOKASI DEFINITIF DANA
BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN
2008
Pasal 1
(1) Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20 % (duapuluh persen)
(2) Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar;
b 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
Pasal 2
(1) Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008 untuk masing-masing daerah didasarkan atas
prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri danPPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008
(2) Alokasi Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan revisi atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 174/PMK.07/2007 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2008 sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 92/PMK.07/2008.
(3) Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah Tahun Anggaran 2008 adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran Peraturan MenteriKeuangan ini.
Pasal 3
Alokasi definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp 9.977.982.000.000,- (Sembilan triliun
sembilan ratus tujuh puluh tujuh miliar sembilan ratus delapan puluh dua juta rupiah) dengan rincian
sebagai berikut:
a
b
Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN sebesar Rp 590.960.000.000,- (Lima ratus
sembilan puluh miliar sembilan ratus enam puluh juta rupiah);
Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 sebesar Rp 9.387.022.000.000,- (Sembilan triliun tiga ratus
delapan puluh tujuh miliar dua puluh dua juta rupiah).
Pasal 4
(1) Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan ini Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
menerbitkan surat ketetapan tentang permintaan transfer Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal
29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008
untukmasing-masing daerah.
(2) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat ketetapan mengenai permintaan
transfer sebagaimana pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai dasar
pelaksanaan transfer sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21 dilaksanakan secara triwulanan.
(2) Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat didasarkan pada
selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama
sampai dengan triwulan III.
(3) Peraturan Menteri Keuangan ini merupakan dasar penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 untuk triwulan IV.
(4) Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III
yang didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada pembagian definitif maka
kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
(5) Ketentuan mengenai penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 November 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
TAMBAHAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
bahwa masa kerja Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 442/KMK.011/2011 tentang Pembentukan Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan
atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2011;
b.
bahwa dalam rangka kesinambungan pelaksanaan tugas Komite Verifikasi Pemberian
Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
perlu dilakukan perpanjangan masa kerja komite dengan membentuk Komite Verifikasi
Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk pelaksanaan tugas
tahun 2012;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, serta
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembentukan
Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Mengingat :
1.
2.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE VERIFIKASI
PEMBERIAN PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.
PERTAMA :
Membentuk Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
yang untuk selanjutnya disebut dengan Komite, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
I. Pengarah Komite:
1.
Wakil Menteri Keuangan I
2.
Wakil Menteri Keuangan II
II. Anggota Komite:
1.
2.
3.
4.
Deputi Menteri Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian
5.
6.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian
KEDUA :
Komite sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
meneliti dan memverifikasi pemenuhan kriteria dan persyaratan Wajib Pajak yang diusulkan
oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan kelengkapan
dokumen usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan;
mengkaji dampak strategis Wajib Pajak yang diusulkan untuk diberikan pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan, bagi perekonomian nasional;
melakukan konsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dalam rangka
melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, serta melakukan kajian
mengenai dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional sebagaimana dimaksud
pada huruf b, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan (PMK 130 Tahun 2011);
menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi serta hasil kajian mengenai dampak strategis
Wajib Pajak bagi perekonomian nasional sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Menteri
Keuangan, disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai
jangka waktu pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan;
melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan konsultasi Menteri Keuangan dengan
Presiden terkait dengan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) PMK 130 Tahun 2011;
menyusun dan menyampaikan konsep Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian
fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, dalam hal fasilitas pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan telah disetujui Menteri Keuangan;
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak badan dengan tembusan
kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dalam hal
Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan;
mengevaluasi laporan berkala yang disampaikan oleh Wajib Pajak penerima fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan;
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan dalam rangka pencabutan Keputusan
Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan kriteria dan persyaratan
serta ketentuan mengenai penyampaian laporan berkala;
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang melebihi jangka waktu, sesuai
kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) PMK
130 Tahun 2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya
saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu; dan
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai cakupan Industri Pionir
yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, sesuai
kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) PMK
130 Tahun 2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya
saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu.
KETIGA :
Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA huruf d disampaikan
oleh Komite kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak usulan Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
diterima secara lengkap.
KEEMPAT :
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komite, Ketua Komite dapat membentuk
Tim Teknis dan Sekretariat Komite.
KELIMA :
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komite, Ketua Komite atau Sekretaris
Komite dapat menghadirkan narasumber dari kementerian atau lembaga Pemerintah terkait serta
pihak-pihak lain yang berkompeten di bidangnya.
KEENAM :
Ketua Komite dapat menetapkan mekanisme kerja untuk Komite dan atau Tim Teknis dalam rangka
pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.
KETUJUH :
Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini dibebankan
kepada Anggaran Kementerian Keuangan.
KEDELAPAN :
Masa kerja Komite adalah 12 (dua belas) bulan, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2012.
KESEMBILAN :
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2012.
Salinan Keputusan Menteri Keuangan ini disampaikan kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Maret 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembentukan Komite
Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;
Mengingat
1.
2.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERTAMA :
Membentuk Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
yang untuk selanjutnya disebut dengan Komite, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
I.
Pengarah Komite:
II.
1.
Wakil Menteri Keuangan I
2.
Wakil Menteri Keuangan II
Anggota Komite:
1. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Ketua Kementerian Keuangan
2. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Sekretaris Penerimaan Negara,
Kementerian merangkap Anggota Keuangan
3. Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Anggota Keuangan
4. Deputi Menteri Bidang Ekonomi Makro Anggota dan Keuangan, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
5. Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Anggota Modal, Badan Koordinasi
Penanaman Modal
6. Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Anggota Iklim dan Mutu Industri,
Kementerian Perindustrian
KEDUA :
Komite sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
meneliti dan memverifikasi pemenuhan kriteria dan persyaratan Wajib Pajak yang diusulkan
oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan kelengkapan
dokumen usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan;
mengkaji dampak strategis Wajib Pajak yang diusulkan untuk diberikan pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan, bagi perekonomian nasional;
melakukan konsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dalam rangka
melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, serta melakukan kajian
mengenai dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional sebagaimana dimaksud
pada huruf b, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan (PMK 130 Tahun 2011);
menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi serta hasil kajian mengenai dampak strategis
Wajib Pajak bagi perekonomian nasional sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Menteri
Keuangan, disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai
jangka waktu pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan;
melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan konsultasi Menteri Keuangan dengan
Presiden terkait dengan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) PMK 130 Tahun 2011;
menyusun dan menyampaikan konsep Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian
fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, dalam hal fasilitas pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan telah disetujui Menteri Keuangan;
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak badan dengan tembusan
kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dalam hal
Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan;
mengevaluasi laporan berkala yang disampaikan oleh Wajib Pajak penerima fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan;
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan dalam rangka pencabutan Keputusan
Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan kriteria dan persyaratan
serta ketentuan mengenai penyampaian laporan berkala;
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang melebihi jangka waktu, sesuai
kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) PMK
130 Tahun 2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya
saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu; dan
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai cakupan Industri Pionir
yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurang Pajak Penghasilan badan, sesuai
kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) PMK
130 Tahun 2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya
saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu.
KE TIGA
Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA huruf d disampaikan
oleh Komite kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak usulan Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
diterima secara lengkap.
KE EMPAT :
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komite, Ketua Komite dapat membentuk
Tim Teknis dan Sekretariat Komite.
KE LIMA
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komite, Ketua Komite atau Sekretaris
Komite dapat menghadirkan narasumber dari kementerian atau lembaga Pemerintah terkait serta
pihak-pihak lain yang berkompeten di bidang-nya.
KE ENAM
Ketua Komite dapat menetapkan mekanisme kerja untuk Komite dan/atau Tim Teknis dalam rangka
pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.
KE TUJUH
Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini dibebankan
kepada Anggaran Kementerian Keuangan.
KE DELAPAN :
Masa kerja Komite terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri ini sampai dengan
tanggal 31 Desember 2011.
KESEMBILAN
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Salinan Keputusan Menteri Keuangan ini disampaikan kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
bahwa dalam rangka lebih memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak dan guna
meningkatkan kualitas hasil penelitian keberatan perlu melakukan penyempurnaan terhadap
mekanisme pembahasan dalam rangka penyelesaian keberatan dengan melibatkan Tim Pembahas
Keberatan dalam pembahasan keberatan;
b.
bahwa dalam rangka melakukan pengawasan kinerja dan untuk lebih meningkatkan
pelayanan serta kualitas dari proses penanganan keberatan dan/atau banding yang dilakukan Unit
Pelaksana Penelitian Keberatan, perlu dilakukan reviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian
Keuangan terhadap keputusan keberatan yang diajukan banding dan diputus oleh Pengadilan
Pajak dengan putusan yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penetapan Tata Cara Pembahasan Keberatan
dan Reviu atas Keputusan Keberatan;
Mengingat :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir
Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan;
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 tentang
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah;
Pearturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296/KMK.09/2010 tentang Pemberian Data dan
Informasi Dalam Rangka Pengawasan oleh Inspektorat Jenderal terhadap Pelaksanaan Tugas dan
Fungsi Unit Eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN TATA CARA PEMBAHASAN
KEBERATAN DAN REVIU ATAS KEPUTUSAN KEBERATAN.
PERTAMA :
Menugaskan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian dari Tim
Peneliti Keberatan atas pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut
:
1.
Pengajuan keberatan mengandung sengketa yang terkait dengan Transfer Pricing dan/atau
penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2.
Pengajuan keberatan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal di bidangbidang usaha tertentu yang berprioritas tinggi dalam skala nasional yang ditetapkan Menteri
Keuangan;
3.
Pengajuan keberatan atas 1 (satu) surat ketetapan pajak dengan nilai sebesar :
a. di atas Rp 75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah) untuk Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar;
b. di atas Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) untuk Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus ;
c. di atas Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) untuk Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak di dalam wilayah Jakarta;dan
d. di atas Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak di luar wilayah Jakarta.
4.
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan dan
diterbitkan lebih dari satu ketetapan pajak dengan ketentuan :
a. salah satu ketetapan pajaknya memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka
1, angka 2, atau angka 3; dan
b. ketetapan pajak lainnya juga termasuk yang dilakukan pembahasan keberatan; atau
5.
Pengajuan keberatan selain sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3, dan
angka 4, yang kriterianya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan.
KEDUA :
Dalam rangka menjalankan tugas untuk melakukan pembahasan sebagaimana dimaksud dalam
Diktum PERTAMA, Direktur Jenderal Pajak menugaskan Direktur Keberatan dan Banding dan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjuk Tim Pembahas Keberatan.
KE TIGA :
Tim Pembahas Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, melakukan pembahasan
bersama-sama dengan Tim Peneliti Keberatan sebelum diterbitkan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
(SPUH).
KE EMPAT :
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi Tim Peneliti Keberatan untuk menyampaikan hasil telaahan dan
menentukan usul, saran dan/atau pendapat dan/atau telaahan dalam rangka pemecahan permasalahan
dan/atau penyelesaian keberatan.
KE LIMA :
Struktur keanggotaan Tim Pembahas Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA
ditetapkan sebagai berikut :
1.
2.
Kepala Seksi dan Penelaah Keberatan pada bidang pengurangan keberatan dan banding
pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau bidang keberatan dan banding pada
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Khusus;
b)
Pegawai Negeri Sipil yang dipandang ahli di bidang tertentu dan/atau fungsional
pemeriksa pajak dan/atau fungsional penilai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak.
2) Kepala Seksi dan Penelaah Keberatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a),
tidak termasuk dalam Tim Peneliti Keberatan yang melakukan pemrosesan keberatan
yang sedang dilakukan pembahasan.
b Untuk Direktorat Keberatan dan Banding sebagai Unit Pelaksana Penelitian Keberatan :
.
1) Keanggotaan Tim Pembahas Keberatan terdiri dari unsur-unsur :
a)
Kepala Seksi dan Penelaah Keberatan pada Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan
Direktorat Keberatan dan Banding;
b)
Pegawai Negeri Sipil yang dipandang ahli di bidang tertentu dan/atau fungsional
pemeriksa pajak dan/atau fungsional penilai pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak.
2) Kepala Seksi dan Penelaah Keberatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a), tidak
termasuk dalam Tim Peneliti Keberatan yang melakukan pemrosesan pengurangan dan
keberatan yang sedang dilakukan pembahasan.
KE ENAM :
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pembahs Keberatan, dapat dibentuk Sekretariat
yang membantu Tim Pembahas Keberatan, yang terdiri dari :
1.
Sekretariat Tim Pembahas Keberatan pada Bidang Pengurangan Keberatan dan Banding atau
Bidang Keberatan dan Banding, jika Unit Pelaksana Penelitian Keberatan adalah Kantor
Wilayah;
2.
Sekretariat Tim Pembahas Keberatan pada Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan
Direktorat Keberatan dan Banding, jika Unit Pelaksana Penelitian Keberatan adalah Direktorat
Keberatan dan Banding.
KE TUJUH :
Tata cara pelaksanaan pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, tugas dan
mekanisme pembahasan oleh Tim Pembahas Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEDUA dan Diktum KETIGA, serta penunjukan keanggotaan dan tugas Sekretariat sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KEENAM ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
KE DELAPAN :
Menugaskan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan untuk melakukan reviu secara uji petik
terhadap keputusan keberatan yang diajukan banding dan diputus oleh Pengadilan Pajak dengan
putusan yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya.
KE SEMBILAN :
Hasil reviu terhadap keputusan keberatan sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDELAPAN
disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dan tembusan kepada unit di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang terkait.
KE SEPULUH :
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti penyampaian hasil reviu terhadap keputusan keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak hasil
reviu diterima.
KE SEBELAS :
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan dalam rangka melaksanakan tugas untuk melakukan reviu
atas keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN menyampaikan
laporan kepada Menteri Keuangan.
KE DUA BELAS :
Tata cara pelaksanaan reviu keputusan keberatan dan format bentuk penyampaian hasil reviu
ditetapkan dengan Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan.
KE TIGA BELAS :
1.
Pembahasan oleh Tim Pembahas Keberatan terhadap hasil penelitian dari Tim Peneliti
Keberatan atas pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
ini, dilakukan terhadap permohonan keberatan yang diajukan sejak tanggal 1 September 2011.
2.
Pelaksanaan reviu secara uji petik terhadap keputusan keberatan yang diajukan banding,
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini dilakukan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2012.
KE EMPAT BELAS :
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Salinan Keputusan Menteri Keuangan ini disampaikan kepada :
1.
2.
3.
4.
5.
Ditetapkan di Jakarta
pad tanggal 04 Oktober 2011
MENTERI KEUANGAN
ttd
bahwa ketentuan mengenai kewajiban dan tata cara penyampaian Laporan Pajak-Pajak
Pribadi (LP2P) bagi Pejabat/Pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan sebagaimana diatur
dalam Instruksi Menteri Keuangan Nomor 02/KMK.01/1986 tentang Kewajiban dan Tata Cara
Penyampaian Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) bagi Pejabat/Pegawai Departemen Keuangan dan
Pejabat/Pegawai Badan Usaha Milik Negara dalam Lingkungan Departemen Keuangan, sudah
tidak memadai lagi;
b.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a dan dalam rangka meningkatkan integritas
Pejabat/Pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan, serta sejalan dengan perkembangan
organisasi unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai kewajiban dan tata cara penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P)
bagi Pejabat/Pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penyampaian dan Pengelolaan Laporan
Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) Pejabat/Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan;
Mengingat :
1.
PERTAMA :
Pejabat struktural;
Pejabat fungsional;
Pegawai Negeri Sipil yang memiliki pangkat Penata Muda (Golongan III/a) atau lebih tinggi;
atau
d.
Pejabat/Pegawai lainnya yang tugasnya terkait dengan pelayanan publik yang ditetapkan oleh
pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan,
untuk menyampaikan Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) kepada Menteri Keuangan.
KEDUA :
Penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA
menggunakan formulir sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri Keuangan ini.
KE TIGA :
Penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) sebagaimana dimaksud dalam Diktum
PERTAMA, dilaksanakan sebagai berikut:
a. Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Inspektur
Jenderal Kementerian Keuangan setiap tahun paling lama tanggal 30 April setelah tahun yang
dilaporkan.
b. Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dibuat dalam 2 (dua) rangkap, dengan rincian sebagai
berikut:
1)
2)
c. Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) harus diisi oleh Pejabat/Pegawai secara benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
KE EMPAT :
Pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan berkewajiban untuk:
a.
a.
b.
c.
meminta keterangan atau penjelasan dari pimpinan unit eselon I atas Pejabat/Pegawai yang
tidak menyampaikan Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P);
b.
meminta keterangan atau penjelasan dari Pejabat/Pegawai mengenai informasi Laporan
Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) yang disampaikan.
KE TUJUH :
Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KELIMA
dan Diktum KEENAM, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan dibantu oleh tim yang terdiri dari
Pejabat/Pegawai yang ditunjuk.
KE DELAPAN :
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengelolaan Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P)
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KELIMA dan Diktum KEENAM, Inspektur Jenderal dan
Pejabat/Pegawai yang ditunjuk di bawah sumpah wajib menjaga kerahasiaan Laporan Pajak-Pajak
Pribadi (LP2P) serta informasi terkait lainnya.
KE SEMBILAN :
Dalam hal Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) diperlukan oleh pihak yang berwenang di luar
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk kepentingan pemeriksaan, penyelidikan, atau
penyidikan, Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dapat diberikan setelah mendapat izin tertulis dari
Menteri Keuangan dengan pemberitahuan kepada yang bersangkutan.
KE SEPULUH :
Pejabat/Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA yang tidak menyampaikan
Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) atau terbukti mengisi Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, dikenai sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dan/atau peraturan perundangundangan lainnya.
KE SEBELAS :
Inspektur Jenderal atau Pejabat/Pegawai yang ditunjuk yang diwajibkan menjaga kerahasiaan Laporan
Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dan informasi terkait lainnya sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEDELAPAN yang karena kealpaan atau kesengajaan tidak memenuhi kewajiban menjaga
kerahasiaan Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dan informasi terkait lainnya, dikenai sanksi sesuai
penyampaian daftar harta kekayaan dilakukan dengan mengisi dan menandatangani surat
pernyataan dan surat kuasa sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan
Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri
Keuangan ini; dan
b.
penyampaian daftar harta kekayaan dilakukan setiap tahun bersamaan dengan penyampaian
Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) paling lama tanggal 30 April setelah tahun yang dilaporkan,
dengan menggunakan formulir sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
Keputusan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan
Menteri Keuangan ini.
KE TIGA BELAS :
a.
Penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) termasuk Daftar Harta Kekayaan dapat
dilakukan melalui media elektronik;
b.
Tata cara penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) termasuk Daftar Harta Kekayaan
melalui media elektronik ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
KE EMPAT BELAS:
Dalam penyampaian, penatausahaan, pengelolaan, pengawasan, penelitian, dan penilaian untuk daftar
harta kekayaan berlaku mutatis mutandis ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA
huruf b dan huruf c, Diktum KEEMPAT, Diktum KELIMA, Diktum KEENAM, Diktum KETUJUH,
Diktum KEDELAPAN, Diktum KESEMBILAN, Diktum KESEPULUH, serta Diktum KESEBELAS
untuk Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P).
KE LIMA BELAS :
Penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) termasuk Daftar Harta Kekayaan bagi
Pejabat/Pegawai wanita kawin sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA untuk :
a.
wanita kawin yang suaminya wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1986;
b.
wanita kawin yang suaminya tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1986.
KE ENAM BELAS :
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:
1.
Penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) untuk Tahun Pajak 2009, dilakukan sesuai
dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Keuangan Nomor
02/KMK.01/1986 tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyampaian Pajak-Pajak Pribadi (LP2P)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
2.
3.
4.
5.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3612);
Keputusan Presiden 228/M Tahun 2001;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22, sifat dan besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 392/KMK.03/2001;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN
MENTERI NOMOR 254/KMK.03/2001 TENTANG PENUNJUKAN PEMUNGUTAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA TATA CARA
PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang
Penunjukan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan besarnya Pungutan Serta Tata Cara
Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor392/KMK.03/2001 diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah, sehingga keseluruhan pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 1
Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah
Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah
(APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4.
Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina dan Bank-bank
BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN
maupun non- APBN.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja dan industri otomotis yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak
jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul."
2. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf i dan ayat (4) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 3
(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :
a.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan
b.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan
Nilai :
1)
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan as
2)
barang untuk keperluan badan Internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesi
tidak memegang paspor Indonesia;
3)
barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum,amal, sosial atau kebudayaan;
4)
barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk
5)
6)
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7)
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8)
barang pindahan;
9)
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan barang kiriman sam
perundang-undangan Pabean;
10)
barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepenti
11)
persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi kep
12)
barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan k
13)
Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14)
15)
kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kap
tongkang dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang
Niaga Nasional atau Perusahaan penangkapan ikan nasional;
16)
pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusi
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional;
17)
kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana
Indonesia;
18)
peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Repub
Indonesia.
c.
Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan
untuk diekspor kembali;
d.
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
e.
pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan
benda-benda pos;
f.
emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;
g.
pembayaran/pencairan dana Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara;
h.
impor kembali (re-impor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang telah
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
i.
Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,e,g,h dan i dilakukan secara
otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku
surut terhitung sejak tanggal 2 Januari 2003.
Agar setiap orang mengeatahui, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta.
pada tanggal 3 Juni 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,
BOEDIONO
Mengingat :
1.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3984);
2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3985);
3.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
4.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut
Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 254/KMK.03/2001 TENTANG PENUNJUKAN PEMUNGUT PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA TATA CARA
PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal 1
Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001,
sebagai berikut:
1.
Menambah ketentuan baru dalam Pasal 1 yaitu butir 7 yang berbunyi sebagai berikut :
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan
untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul".
3.
4.
Mengubah Pasal 4 ayat (3) dan (5) dan menambah ayat (6), sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
"(3 Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
) butir 2, 3 dan 4 terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 6 dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery
order).
(6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 butir 7 terutang dan dipungut pada saat pembelian."
5.
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juli 2001
MENTERI KEUANGAN
ttd
RIZAL RAMLI
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22,
Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
Mengingat:
1.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3985);
3.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENUNJUKAN PEMUNGUT PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA TATA CARA
PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal 1
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir denganUndang-undang Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan, adalah :
1.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2.
3.
4.
5.
6.
Pasal 2
(1) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan PasaI 22 ditetapkan sebagai berikut :
a.
Atas impor :
yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah
persen) dari nilai impor;
2.
yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai
impor;
3.
yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
b.
Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2, 3, dan 4 sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
c.
Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 5 dan 6 berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost
Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor.
1.
Pasal 3
(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :
a.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan
Nilai :
1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
2)
barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah
Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor
Indonesia;
3)
barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;
4)
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang
terbuka untuk umum;
5)
6)
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7)
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8)
barang pindahan;
9)
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Pabean;
10) barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
11) persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan dan keamanan negara;
13) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14) buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15) kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan
suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan
penangkapan ikan nasional;
16) pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17) kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
18) peralatan yang digunakan untuk Penyediaan data batas dan photo udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia;
c.
Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
d.
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
e.
pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan
benda-benda pos;
f.
emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor;
g.
pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara;
h.
impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e, g dan h dilakukan secara otomatis
tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1
terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
(2) Dalam hal pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 ditunda atau
dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1, 2
dan 3 terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 5 terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir 6 dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(delivery order).
Pasal 5
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang oleh pemungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 1 dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan ke
bank devisa, atau bank persepsi, atau bendaharawan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang oleh pemungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir 2, 3 dan 4 dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran
oleh pemungut pajak atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 5 dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh pemungut pajak
atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 6 dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh penyalur, agen dan atau pembeli
lainnya ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Pasal 6
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak.
(2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menerbitkan Bukti Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :
a.
lembar pertama untuk pembeli;
b.
lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c.
lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir dan atau Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (4) menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan pajak.
Pasal 7
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 6 kepada penyalur/agen bersifat final.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 5 dapat bersifat final berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pimpinan badan/instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 atau pejabat yang ditunjuk olehnya
wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 22.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau
Keputusan Direktur Jenderal Anggaran.
Pasal 10
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, maka Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 450/KMK.04/1997 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan
Besarnya Pungutan Serta Tatacara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 444/KMK.04/1999 dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 11
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini
dengan
penempatannya
dalam
Berita
Negara
Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2001
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
ttd
PRIJADI PRAPTOSUHARDJO
Mengingat :
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3262),sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
60,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara tahun 1995
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 450/KMK.04/1997 tentang Penunjukan Pemungut
Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 549/KMK.04/1997;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR : 450/KMK.04/1997 TENTANG PENUNJUKAN PEMUNGUT PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA TATA CARA
PENYETORAN DAN PELAPORANNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 549/KMK.04/1997.
Pasal I
Mengubah
beberapa
ketentuan
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor : 450/KMK.04/1997 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 549/KMK.04/1997, sebagai berikut :
1.
Menambah ketentuan baru pada Pasal 3 ayat (1) yaitu huruf g dan h yang berbunyi sebagai
berikut :
"g.
Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
h.
2.
Impor kembali (re-impor) barang-barang yang dipergunakan untuk pameran di luar negeri atau barang-ba
rekondisi atau modifikasi."
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 1999
MENTERI KEUANGAN,
ttd
BAMBANG SUBIANTO
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
bahwa dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas khususnya produk perhiasan emas
maka perlu diatur pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor emas
batangan dalam rangka ekspor produk perhiasan emas.
b.
bahwa sehubungan dengan itu, perlu diadakan perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 450/KMK.04/1997 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan
Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Mengingat :
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567).
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 1997.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KMK.04/1997 tanggal 26 Agustus 1997 tentang
Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata
Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 450/KMK.04/1997 TENTANG PENUNJUKAN
PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN SERTA
TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORANNYA.
Pasal I
1.
Mengubah
beberapa
ketentuan
No. 450/KMK.04/1997 sebagai berikut :
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Menambah Pasal 3 ayat (1) dengan huruf f yang berbunyi sebagai berikut :
"f.
Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor."
2.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Nopember 1997
MENTERI KEUANGAN
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
pengumuman
keputusan
ini
dengan
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang perubahan
atas Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan (lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1991 (lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (lembaran Negara Tahun
19.. Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3580), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3634);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang pembentukan Kabinet Pembangunan
IV;
Pasal I
Menambah ketentuan baru dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor : 635/KMK.04/1994, yaitu
diantara Pasal 5 dan Pasal 6, yang dijadikan Pasal 5A, Pasal 5B dan Pasal 5C sebagai berikut :
"Pasal 5A
(1)
Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1
Januari 1995 dan belum melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final :
a. Sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan, atau
b. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan bagi yang telah membayar
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994.
(2)
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib dibayar sendiri dan disetorkan
dengan Surat Setoran Pajak (SSP) Final di Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambatlambatnya tanggal 31 Desember 1996.
Pasal 5B
(1)
Wajib Pajak Orang Pribadi yang jumlah penghasilan melebihi penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya
kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah), terutang Pajak Penghasilan Yang bersifat
final sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto dari nilai pengalihan.
(2)
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar sendiri dan disetor dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final dibank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya pada akhir tahun takwim yang bersangkutan.
(3)
Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dalam tahun 1995 Wajib membayar sendiri dan menyetor PPh yang
terutang selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1996.
(4)
Ketentuan sebagaimana pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi yang menerima atau memperoleh dari pengalihan atas tanah dan/atau bangunan untuk
proyek pemerintah dengan persyaratan khusus.
Pasal 5C
(1)
Yayasan atau organisasi yang sejenis yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan mulai 1 Januari 1995 terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto nilai dan bersifat final.
(2)
Dalam hal Yayasan atau organisasi yang sejenis melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dalam tahun 1995 dan telah melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Tahun 1995,
maka Yayasan atau organisasi sejenis tersebut dapat membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun
1995."
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 1996
MENTERI KEUANGAN
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
pengumuman
keputusan
ini
dengan
Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang norma
penghitungankhusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah denganUndang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Tahun 1991 Nomor 93, (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 60,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2.
M E M U T U S K AN
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG
MELAKUKAN KERJASAMA DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN GUNA
SERAH ("BUILT OPERATE AND TRANSFER").
Pasal I
Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak
atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian
bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak
atas tanah selama masa bangun guna serah berakhir.
Pasal 2
(1) Biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai
perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan
tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam jumlah
yang sama besar setiap tahun selama masa Perjanjian bangun guna serah.
(2) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai
digunakan atau diusahakan oleh investor.
(3) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi
sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih pendek
tersebut.
(4) Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah
penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.
(5) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan
bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi
oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang tersebut.
Pasal 3
(1) Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa
perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas
tanah berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
(2) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya setelah masa guna serah berakhir.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi orang pribadi bersifat
final dan bagi Wajib Pajak badan adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25
yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
(4)
Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar nilai pasar atau NJOP yang merupakan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna
serah merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.BR
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku atas perjanjian bangun guna serah yang berakhir setelah tahun pajak
1994.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
Ditetapkan di : JAKARTA
pada tanggal : 2 Juni 1995
MENTERI KEUANGAN,
MAR'IE MUHAMMAD
Mengingat :
1. Undang- undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang perubahan
atas Undang- undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah denganUndang-undang Nomor 7 Tahun
1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3580);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan
VI;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
(1)
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dengan memperhatikan Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 wajib dibayar
sendiri oleh pribadi atau badan yang bersangkutan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP)pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, sebelum akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
(2)
Pada Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari orang pribadi atau badan yang bersangkutan.
Pasal 2
(1)
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dipungut oleh
bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar
menukar.
(2)
Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memungut Pajak Penghasilan
yang terutang dan menyetorkannya ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), sebelum pembayaran kepada orang pribadi atau badan
atau sebelum tukar menukar dilaksanakan.
(3) Pada Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari orang pribadi atau badan yang menerima
pembayaran atau yang melakukan tukar menukar.
Pasal 3
(1)
Pejabat yang berwenang menandatangani akad, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah
lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai
penerbitan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang berwenang
terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(2)
Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 4
(1)
Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyampaikan laporan
mengenai transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kepala kantor Pelayanan
Pajak tempat bendaharawan atau pejabat yang bersangkutan terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan dilakukannya pembayaran kepada orang pribadi atau badan.
Pasal 5
Bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Dengan
berlakunya
Keputusan
ini
maka
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor 85/KMK.04/1994 tanggal 22 Maret 1994 tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dan Tata Cara Penyampaian
Laporan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Bendaharawan atau Pejabat yang Melakukan Pembayaran
Sehubungan dengan Pengalihan Hak atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN
ttd
MAR'IE MUHAMMAD
pengumuman
Keputusan
ini
dengan
terhadap Pajak Penghasilan atau Pajak Keluaran yang terutang oleh Indentor yang bersangkutan
dengan bukti PIUD dan SSP yang telah dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Atas komisi yang diterima oleh Importir sebagai penggantian jasa impor atas dasar inden terutang
Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan oleh Indentor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984.
Pasal 6
(1) Dalam hal Importir yang melakukan impor atas dasar inden ternyata tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), maka impor termaksud ditetapkan sebagai impor
atas biaya sendiri.
(2) Dalam hal Importir ditetapkan sebagai melakukan impor atas biaya sendiri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) maka :
a.
b.
atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh Importir terutang Pajak Pertambahan Nilai;
penghasilan netto Importir yang berasal dari kegiatan inden dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6)
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984;
c.
Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilunasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan atau Pajak Keluaran
yang terutang oleh Importir sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
(3) Dalam hal Importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat menunjukkan harga jual
secara wajar atas penyerahannya, maka harga jual sebagai dasar penghitungan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Penghasilan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pelaksanaan teknis Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Mei 1990
MENTERI KEUANGAN,
ttd
J.B. SUMARLIN
TAMBAHAN
PERATURAN DIRJEN PAJAK
TENTANG
TATA CARA
Pasal 1
(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan Sertifikat Elektronik kepada Pengusaha Kena
Pajak (PKP) sebagai otentifikasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal PKP adalah PKP cabang atau PKP yang berbentuk KSO, sehingga tidak
mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, maka:
a. Untuk PKP cabang:
1) Pengurus PKP cabang yang menandatangani Surat Permintaan Sertifikat Elektronik
dan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik harus
menunjukkan asli dan menyampaikan fotocopy surat penunjukan dari pengurus pusat
PKP cabang tersebut.
2) Menyampaikan fotocopy SPT Tahunan PPh Badan pusatnya tahun pajak terakhir yang
jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan Surat
Permintaan Sertifikat Elektronik.
3) SPT Tahunan PPh Badan sebagaimana dimaksud pada angka 2) harus sudah
disampaikan ke KPP dengan dibuktikan fotocopy bukti penerimaan surat/tanda terima
pelaporan SPT.
4) Dalam hal nama pengurus PKP pusat yang menandatangani surat penunjukan tidak
tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan, maka pengurus tersebut harus
menyerahkan fotocopy:
a. surat pengangkatan pengurus PKP pusat yang bersangkutan; dan
b. akta pendirian perusahaan.
5) Pengurus PKP cabang harus menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy kartu
identitas berupa e-KTP dan KK.
6) Dalam hal pengurus PKP cabang merupakan WNA, pengurus harus menunjukkan asli
dan menyerahkan fotocopy paspor, KITAS, atau KITAP.
7) Pengurus PKP cabang yang merupakan WNA sebagaimana dimaksud pada angka 6)
tidak disyaratkan menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy KK.
8) Pengurus PKP cabang harus menyampaikan softcopy pas foto terbaru yang disimpan
dalam CD atau media lain sebagai kelengkapan surat permintaan Sertifikat Elektronik
(file foto diberi nama: NPWP PKP - nama pengurus - nomor kartu identitas
pengurus).
9) Pengurus PKP pusat dari PKP cabang tersebut dapat mengajukan permintaan
Sertifikat Elektronik untuk PKP cabang.
10) Syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2), angka 3),
angka 5), angka 6), angka 7), dan angka 8) tetap berlaku dalam hal pengurus PKP
pusat sebagaimana dimaksud pada angka 9) yang mengajukan permintaan Sertifikat
Elektronik untuk PKP cabang.
11) Dokumen asli dan fotocopy persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 5), angka
6), dan angka 7) harus dengan identitas pengurus PKP pusat. b.Untuk PKP
berbentuk KSO (PKP KSO):
1) Pengurus PKP KSO yang menandatangani Surat Permintaan Sertifikat Elektronik
dan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik harus
menunjukkan dan menyampaikan fotocopy akta KSO tersebut.
2) Menyampaikan fotocopy SPT Tahunan PPh seluruh anggota bentuk KSO tersebut
tahun pajak terakhir yang jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada
saat pengajuan surat permintaan Sertifikat Elektronik.
3) SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 2) harus sudah
disampaikan ke KPP dengan dibuktikan fotocopy bukti penerimaan surat/tanda
terima pelaporan SPT.
4) Pengurus PKP KSO harus menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy kartu
identitas berupa e-KTP dan KK.
5) Dalam hal pengurus PKP KSO merupakan WNA, pengurus harus menunjukkan
asli dan menyerahkan fotocopy paspor, KITAS, atau KITAP.
6) Pengurus PKP KSO yang merupakan WNA sebagaimana dimaksud pada angka
5) tidak disyaratkan menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy KK.
7) Pengurus PKP KSO harus menyampaikan softcopy pas foto terbaru yang
disimpan dalam CD atau media lain sebagai kelengkapan surat permintaan
Sertifikat Elektronik (file foto diberi nama: NPWP PKP - nama pengurus - nomor
kartu identitas pengurus)
(3) Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud Pasal
1 ayat (4) dapat dicetak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak setelah dilakukan perekaman surat Permintaan Sertifikat
Elektronik. (4)Berdasarkan syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), dokumen yang harus dipersiapkan oleh PKP dalam rangka permintaan Sertifikat
Elektronik adalah sebagaimana tercantum dalam formulir checklist dengan format
sebagaimana diatur dalam lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
(1) Syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) bagi PKP Orang Pribadi
adalah:
a. Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan
Sertifikat Elektronik ditandatangani dan disampaikan oleh PKP yang bersangkutan secara
langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke
pihak lain.
b. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak terakhir yang jangka waktu
penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan surat permintaan Sertifikat
Elektronik telah disampaikan ke KPP dengan dibuktikan asli SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi beserta bukti penerimaan surat/tanda terima pelaporan SPT.
c. PKP harus menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy kartu identitas berupa e-KTP dan
KK.
d. Dalam hal PKP merupakan WNA, PKP harus menunjukkan asli dan
menyerahkan fotocopypaspor, KITAS, atau KITAP.
e. Dalam hal PKP sebagaimana dimaksud pada huruf d, tidak disyaratkan menunjukkan asli
dan menyerahkan fotocopy KK.
f. PKP harus menyampaikan softcopy pas foto terbaru yang disimpan dalam CD atau media
lain sebagai kelengkapan surat permintaan Sertifikat Elektronik (file foto diberi nama:
NPWP PKP-nama PKP-nomor kartu identitas PKP).
(2) Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud Pasal
1 ayat (3) dapat dicetak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak setelah dilakukan perekaman surat Permintaan Sertifikat Elektronik.
(3) Berdasarkan syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen yang harus
dipersiapkan oleh PKP Orang Pribadi dalam rangka permintaan Sertifikat Elektronik adalah
sebagaimana tercantum dalam formulir checklist dengan format sebagaimana diatur dalam
lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
Pasal 4
(1) Syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (4) bagi PKP Bendahara
Penerimaan adalah:
a. Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan
Sertifikat Elektronik ditandatangani dan disampaikan oleh PKP yang bersangkutan secara
langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke
pihak lain.
b. PKP harus menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy kartu identitas berupa e-KTP dan
KK.
c. PKP harus menunjukkan asli dan menyerahkan fotocopy Surat pengangkatan sebagai
Bendahara Penerimaan.
d. PKP harus menyampaikan softcopy pas foto terbaru yang disimpan dalam CD atau media
lain sebagai kelengkapan surat permintaan Sertifikat Elektronik (file foto diberi nama:
NPWP PKP-nama PKP-nomor kartu identitas PKP).
(2) Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud Pasal
1 ayat (3) dapat dicetak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak setelah dilakukan perekaman surat Permintaan Sertifikat Elektronik.
(3) Berdasarkan syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen yang harus
dipersiapkan oleh PKP Bendahara Penerimaan dalam rangka permintaan Sertifikat Elektronik
adalah sebagaimana tercantum dalam formulir checklist dengan format sebagaimana diatur
dalam lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
Pasal 5
(1) Untuk kelancaran proses pemberian Sertifikat Elektronik, Pengurus diminta untuk
mempersiapkan password yang digunakan untuk meminta Nomor Seri Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER24/PJ/2012 dan perubahannya dan passphrase sebagai kata sandi untuk penggunaan
Sertifikat Elektronik.
(2) Sertifikat Elektronik yang telah disetujui selanjutnya dapat diunduh (download) oleh PKP
atau diunduh (download) oleh KPP untuk diberikan ke PKP.
(3) Direktorat Jenderal Pajak akan mengirim passphrase sebagai pengaman Sertifikat Elektronik
kepada PKP melalui alamat email yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Setiap persetujuan dan penyerahan Sertifikat Elektronik, Pengusaha Kena Pajak harus
menandatangani Berita Acara Penyerahan Sertifikat Elektronik sebagaimana diatur dalam
lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(5) Dalam hal permintaan Sertifikat Elektronik tidak disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak,
PKP dapat mengajukan lagi permintaan Sertifikat Elektronik dengan mengikuti tata cara
pemberian Sertifikat elektronik yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
(1) Sertifikat Elektronik memiliki masa berlaku yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Masa berlaku Sertifikat Elektronik adalah 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal Sertifikat
Elektronik diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Sebelum masa berlaku Sertifikat Elektronik berakhir, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan
untuk meminta Sertifikat Elektronik baru.
(4) Masa berlaku Sertifikat Elektronik yang telah diterbitkan Sertifikat Elektronik baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan berakhir.
(5) Tata cara permintaan Sertifikat Elektronik baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengikuti syarat dan ketentuan permintaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 7
(1) PKP yang melakukan pemusatan tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengajukan
permintaan Sertifikat Elektronik melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak, untuk:
a. tempat kegiatan usaha yang tercantum dalam Surat Keputusan Pemusatan Tempat PPN
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 TAHUN 2009; atau
b. tempat kegiatan usaha yang mempunyai NPWP cabang dalam hal pemusatan tempat
terutang PPN dilakukan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009.
(2) PKP meberitahukan secara tertulis atas permintaan Sertifikat Elektronik melalui laman
(website) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke KPP tempat PKP melakukan pemusatan
tempat terutang PPN.
(3) Tata cara permintaan Sertifikat Elektronik melalui laman (website) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengikuti petunjuk penggunaan (manual user) yang ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) KPP yang memberikan persetujuan permintaan Sertifikat Elektronik untuk PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah KPP tempat PKP melakukan pemusatan tempat PPN terutang.
Pasal 8
(1) PKP dapat meminta pencabutan Sertifikat Elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak melalui
KPP tempat PKP dikukuhkan.
(2) Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik dapat dilakukan Pengurus PKP melalui surat
permintaan pencabutan Sertifikat Elektronik sebagaimana diatur dalam lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Pencabutan Sertifikat Elektronik dilakukan setelah surat permohonan dan dokumen
kelengkapannya memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(4) Syarat dan Katentuan pencabutan Sertifikat Elektronik adalah:
a. Surat Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik ditandatangani dan disampaikan oleh
pengurus PKP yang bersangkutan secara langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan dan
tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke pihak lain; dan
b. mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat 91) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, dan huruf h atau ayat (2) huruf a angka 2), angka 3), angka 4), angka 5),
angka 6), angka 7), angka 8), angka 9), angka 10), dan angka 11) atau atay ayat (2) huruf
b angka 2), angka 3), angka 4), angka 5), angka 6), angka 7) atau Pasal 3 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f atau Pasal 4 ayat (1) huruf b), huruf c), dan huruf d
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Sertifikat Elektronik yang telah dicabut oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat digunakan
kembali untuk memperoleh layanan perpajakan secara elektronik yang disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal Permintaan pencabutan Sertifikat Elektronik telah disetujui oleh Direktorat
Jenderal Pajak, PKP menerima pemberitahuan dari Direktorat Jenderal Pajak yang dikirim
melalui alamat email yang tercantum dalam surat permintaan pencabutan Sertifikat
Elektronik.
(7) Dalam hal PKP memerlukan kembali Sertifikat Elektronik, PKP dapat meminta Sertifikat
Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
(1) PKP dilarang menyampaikan fotocopy dokumen yang tidak sesuai dengan aslinya dan/atau
dokumen yang dengan sengaja dipalsukan sebagai persyaratan permintaan Sertifikat
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(2) Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan Sertifikat
Elektronik secara jabatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan apabila ternyata PKP
diketahui:
a. menyampaikan dokumen yang tidak sesuai dengan aslinya dan/atau dokumen yang
dengan sengaja dipalsukan sebagai persuaratan permintaan Sertifikat Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak melaporkan SPT Masa PPN 3 (tiga) masa berturut-turut; atau
c. telah dilakukan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(4) PKP yang telah dicabut Sertifikat Elektronik secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
dapat mengajukan kembali permintaan Sertifikat Elektronik melalui Kantor Pelayanan Pajak
tempat PKP dikukuhkan dengan mengikuti syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pasal 10
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku,
a. ketentuan yang mengatur mengenai pemberian Sertifikat Elektronik sebagaimana telah diatur
sebelumnya berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-24/PJ/2012 tentang
Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka
Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER17/PJ/2014; dan
b. ketentuan yang mengatur mengenai Sertifikat Elektronik sebagaimana telah diatur
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian
Surat Pemberitahuan Elektronik dan PER-04/PJ/2015 tentang Pengamanan Transaksi
Elektronik Layanan Pajak Online, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2015 DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata
Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan
oleh Pihak Lain diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 1 menjadi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal;
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/ atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Ketentuan dalam Pasal 3 huruf b dan huruf c diubah, sehingga Pasal 3 menjadi sebagai
berikut:
Pasal 3
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada:
a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1) huruf a, dalam hal:
1) Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
2) Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
3) Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force
majeur) .
b. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, dengan memperhitungkan besarnya kerugian
tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak atau Surat
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.
c. Wajib Pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar
dari Pajak Penghasilan yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c.
d. Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).
Pasal II
1. Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, terhadap permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/ atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain yang
telah dinyatakan diterima lengkap sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
permohonan tersebut diselesaikan berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
tercantum dalam Lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
(3) Petunjuk pengisian Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Badan (Formulir 1771 dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) serta Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi
Wajib Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar
Amerika Serikat (Formulir 1771/$ dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk
pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan seterusnya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2013;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA
PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK SECARA JABATAN ATAS
PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2014.
Pasal 1
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan atas pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Pengusaha Kena Pajak yang selama Masa Pajak Januari tahun 2013 sampai dengan Masa
Pajak Desember tahun 2013 melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(3) Direktur Jenderal Pajak tidak melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal pengusaha kecil Pajak
Pertambahan Nilai memilih tetap sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 2
(1) Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilakukan berdasarkan laporan hasil verifikasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan bahwa jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Masa Pajak Januari tahun 2013 sampai dengan Masa
Pajak Desember tahun 2013 tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
(3) Pelaksanaan verifikasi diatur dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Hasil verifikasi dituangkan dalam laporan hasil verifikasi.
(5) Verifikasi diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak
tanggal surat tugas diterbitkan sampai dengan tanggal laporan hasil verifikasi
ditandatangani.
(6) Seluruh kegiatan verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
sudah harus selesai paling lambat akhir bulan Agustus 2014.
(7) Laporan hasil verifikasi, kertas kerja, dan dokumen pendukung verifikasi disatukan dalam
satu map dan disimpan dalam berkas induk Wajib Pajak.
Pasal 3
Apabila berdasarkan laporan hasil verifikasi disimpulkan bahwa:
a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
dan
b. Pengusaha Kena Pajak tidak memilih untuk tetap sebagai Pengusaha Kena Pajak, kepada
Pengusaha Kena Pajak tersebut diterbitkan surat pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
Pasal 4
(1) Dalam hal kemudian diperoleh data dan/atau informasi bahwa Wajib Pajak yang telah dicabut
pengukuhan Pengusaha Kena Pajaknya ternyata memiliki jumlah peredaran bruto dan/atau
(2)
(3)
(4)
(5)
penerimaan bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), surat
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatalkan.
Untuk membatalkan surat pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan verifikasi kembali.
Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil
verifikasi.
Berdasarkan laporan hasil verifikasi dilakukan pembatalan surat pencabutan pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Hasil pembatalan surat pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak disampaikan kepada
Wajib Pajak dengan surat Kepala KPP dengan format sebagaimana diatur dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak:
a. memantau pelaksanaan kegiatan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan atas pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai;
b. membuat laporan rekapitulasi pelaksanaan kegiatan pencabutan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan atas pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai setiap bulan;
dan
c. menyampaikan laporan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Direktur
Peraturan Perpajakan I paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
(2) Laporan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan format sebagaimana
diatur dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
Pembatalan atas pencabutan pengukuhan PKP yang dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini: a.mengikuti tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-20/PJ/2013 dan perubahannya; dan b.dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
paling lambat tanggal 31 Desember 2014.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
4.
5.
6.
7.
8.
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan
Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA
CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN
USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK
WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA
PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAK.
Pasal I
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak, diubah sehingga Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran Nomor Pokok
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 ayat (3) meliputi:
a. untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan Wajib Pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) berupa:
1) fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia; atau
2) fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin
Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing.
b. untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b berupa:
1) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia, atau fotokopi
paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap
(KITAP), bagi Warga Negara Asing, dan fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang
diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau
Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/ bukti pembayaran
listrik; atau
2) fotokopi e-KTP bagi Warga Negara Indonesia dan surat pernyataan di atas meterai
dari Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benarbenar menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
c. untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c yang
berorientasi pada profit (profit oriented) berupa:
1) fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk
usaha tetap;
2) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus, atau fotokopi paspor
dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurangkurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga
Negara Asing; dan
3) fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah
Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari
Perusahaan Listrik/bukti pembayaran listrik.
d. untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c yang
tidak berorientasi pada profit (non profit oriented) berupa:
1) fotokopi e-KTP salah satu pengurus badan atau organisasi; dan
2) surat keterangan domisili dari pengurus Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW).
e. untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d berupa:
1) fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi
(Joint Operation);
2) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama
operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak;
3) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi salah satu pengurus
perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (Joint Operation), atau fotokopi
paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurangkurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga
Negara Asing; dan
4) fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah
Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
f. untuk Bendahara sebagai Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e berupa:
1) fotokopi surat penunjukan sebagai Bendahara; dan
2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
g. untuk Wajib Pajak dengan status cabang dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu berupa:
1) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak pusat atau induk;
2) surat keterangan sebagai cabang untuk Wajib Pajak Badan; dan
3) fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang
atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah
karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta,
dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara
terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
a. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami;
b. fotokopi Kartu Keluarga; dan c.fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 November 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-35/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA EKSTENSIFIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara
Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Ekstensifikasi.
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan
Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN
EKSTENSIFlKASI.
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
TENTANG
TATA CARA
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Ekstensifikasi adalah upaya proaktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam
rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pengusaha Kena Pajak selanjutnya disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
4. Pemberi Kerja adalah perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh Pegawai, termasuk Pengurus, Komisaris,
dan Pemegang Saham/Pemilik.
5. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Luar Negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium dan pembayaran
lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
6. Kantor Pelayanan Pajak selanjutnya disebut KPP adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi
lokasi Wajib Pajak atau tempat Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah terdaftar.
7. Lokasi Wajib Pajak adalah tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat usaha Wajib
Pajak.
8. Formulir Pendaftaran dan/atau Formulir Pengukuhan adalah Formulir Pendaftaran Wajib
Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak yang mengatur tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan/atau pengukuhan PKP.
9. Nomor Pokok Wajib Pajak, selanjutnya disebut NPWP adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
10. Daftar Sasaran Ekstensifikasi adalah daftar Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif
dan objektif dan belum mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP dan/atau dikukuhkan
sebagai PKP yang disusun dari hasil analisis data dan informasi yang dimiliki dan/atau
diperoleh KPP.
11. Daftar Nominatif Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai yang
selanjutnya disebut Daftar Nominatif adalah daftar yang berisi nama dan identitas Pengurus,
Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai yang disusun oleh Pemberi
Kerja/Bendaharawan Pemerintah.
12. Surat Imbauan mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP dan/atau melaporkan usaha untuk
dikukuhkan sebagai PKP, seianjutnya disebut Surat Imbauan adalah surat yang disampaikan
kepada Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk mendaftarkan
diri untuk diberikan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP.
BAB II TATA CARA
EKSTENSIFIKASI
Pasal 2
(1) Ekstensifikasi dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan data yang dimiliki dan/atau
diperoleh KPP menunjukkan:
a. telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan dan belum mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP; dan/atau
b. sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai dan belum melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
(2) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPP membuat Daftar Sasaran
Ekstensifikasi.
Pasal 3
KPP melakukan ekstensifikasi dengan cara:
a. Mendatangi Wajib Pajak di lokasi Wajib Pajak;
b. Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah; dan
c. Mengirimkan Surat Imbauan kepada Wajib Pajak.
Pasal 4
(1) Dalam hal ekstensifikasi dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf a,
Wajib Pajak:
a. Mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran dan/atau Formulir Pengukuhan
dengan jelas, benar, dan lengkap; dan
b. Melengkapi dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran
Wajib Pajak dan/atau pengukuhan PKP.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b atau tidak dapat ditemui, kepada Wajib Pajak diberikan Surat Imbauan.
Pasal 5
(1) Dalam hal ekstensifikasi dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf b,
Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah wajib membuat Daftar Nominatif dan
menyerahkannya ke KPP tempat Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah terdaftar.
(2) Daftar Nominatif sebagaimana dimaksud ayat (1) dirinci sebagai berikut:
a. Memiliki penghasilan di atas PTKP dan belum ber-NPWP (Kelompok I);
b. Memiliki penghasilan di atas PTKP dan telah ber-NPWP (Kelompok II);
c. Memiliki penghasilan di bawah PTKP (Kelompok III).
(3) Daftar Nominatif Kelompok I wajib dilengkapi dengan dokumen yang disyaratkan sebagai
kelengkapan permohonan pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tata cara pendaftaran Wajib Pajak.
(4) Setiap Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai yang tercantum dalam
Daftar Nominatif Kelompok I wajib mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran.
(5) Format Daftar Nominatif sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah sebagaimana lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
(1) Dalam hal ekstensifikasi dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf c
atau Wajib Pajak diberikan Surat Imbauan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2),
Wajib Pajak harus memberikan tanggapan paling lama 14 (empat belas) hari sejak Surat
Imbauan diterima.
(2) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak telah mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP dan/atau melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak yang tidak memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
terhadap Wajib Pajak tersebut diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan PKP secara
jabatan.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:
a. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-175/PJ./2006 tentang Tata Cara Pemutakhiran
Data Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan
Usaha dan/atau Memiliki Tempat Usaha di Pusat Perdagangan dan/atau Pertokoan;
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-116/PJ./2007 tentang Ekstensifikasi Wajib
Pajak Orang Pribadi Melalui Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan;
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ./2007 tentang Pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak Orang Pribadi yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang
Saham/Pemilik dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah; dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014.
Ditetapkan di Jakarta
(2) Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak
badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang:
a. industri tekstil;
b. industri pakaian jadi;
c. industri alas kaki;
d. industri furnitur; dan/atau
e. industri mainan anak-anak.
(3) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal
29 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Pasal 2
(1) Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf a dapat diberikan paling tinggi sebesar:
a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013,
bagi Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
yang tidak berorientasi ekspor; atau
b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi
Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang
berorientasi ekspor.
(2) Untuk mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan tertulis tentang besarnya pengurangan Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang diminta.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara langsung kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status domisili/pusat
(kode status NPWP 000).
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat pada akhir
Masa Pajak dimulainya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf a, dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perindustrian;
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. fotokopi surat keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP537/PJ/2000 bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pengurangan besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2013 sebelum permohonan disampaikan.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 3
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian pengurangan
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib
Pajak namun tidak melebihi besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Setelah Wajib Pajak memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (6), Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian
pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak, yang
berlaku sejak Masa Pajak dilengkapinya permohonan.
Pasal 4
(1) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf b diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan
Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(2) Untuk mendapatkan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan tertulis secara
langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status
domisili/pusat (kode status NPWP 000).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja sebelum saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan
dilampiri:
a. fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perindustrian;
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(6) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(7) Wajib Pajak harus memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat permintaan
kelengkapan.
(8) Permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan dalam hal tidak memenuhi jangka
waktu
penyampaian: a.permohonan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3);
atau b.kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak
terlampauinya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (7) dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
Pasal 5
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian penundaan
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib
Pajak namun tidak melebihi jangka waktu penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan atau mengurangkan seluruhnya sanksi
administrasi atas penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Pasal 7
(1) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 tetap dapat diberikan pengurangan Pajak
Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a.
(2) Wajib Pajak yang belum mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 dapat mengajukan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 dan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal besarnya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
berbeda untuk Masa Pajak yang sama, maka besaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
digunakan adalah besaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang lebih rendah.
Pasal 8
(1) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau
Penundaan Pembayaran Pajak, tetap dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran
Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b.
(2) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b
tetap dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008
tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak.
(3) Dalam hal jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal 29 berdasarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008
tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak dan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berbeda, maka jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal
29 yang digunakan adalah jangka waktu penundaan yang paling lama.
Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd,
A. FUAD RAHMANY
DAN ISI SURAT TAGIHAN PAJAK ATAS PAJAK PENJUALAN BAGI KONTRAKTOR
PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA GENERASI I.
PasaI 1
Bentuk, jenis, kode, dan ukuran formulir Surat Tagihan Pajak (STP) dan/atau surat ketetapan pajak
berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),dan Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN) atas Pajak Penjualan termasuk lampirannya, beserta Nota Penghitungan dan Daftar Pengantar
adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 2
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Agustus 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal
Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan sebelum
dimulainya penyusutan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:
a. penjelasan terperinci mengenai harta berwujud;
b. kajian mengenai perkiraan umur harta berwujud/masa manfaat ekonomis; dan
c. surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) Atas permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
melakukan penelitian.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib
Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
(4) Kepala Kantor Wilayah. Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) atas nama Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan Wajib
Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan tertulis dan lampirannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diterima secara lengkap dengan menggunakan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlampaui dan Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
belum memberikan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Oktober 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
(6) Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta
dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya
menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas
penghasilan.
Pasal 2
(1) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang
merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B.
(2) P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan
telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal :
a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan
struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat
P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan
substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata
untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari
penghasilan (beneficial owner).
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3:
a. Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati
oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan
dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan
atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN
bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e. bank; atau
f. perusahaan yang memenuhi persyaratan:
1) pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi
tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang
cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3) perusahaan mempunyai pegawai; dan
4) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
5) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara
penerimanya;dan
6) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya
untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti,
atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan
yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di
negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang
di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan
tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa
penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima
dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang
rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pasar modal yang
pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
Pasal 5
(1) Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur
dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008; dan
b. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan
substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over
form).
Pasal 6
Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat
meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur
persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
P3B.
Pasal 7
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka :
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang
Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008
tentang Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Mitra; dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 November 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
TAMBAHAN
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
A. Umum
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46
TAHUN 2013 (PP 46 TAHUN 2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu ditetapkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
B. Maksud dan Tujuan
1. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu.
2. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan baik
dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan
Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
E. Materi
1. Penghasilan yang dikenai PP 46 TAHUN 2013.
a. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dijelaskan
bahwa aliran penghasilan bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
2) penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
b. Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 TAHUN 2013
adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana
dimaksud dalam PP 46 TAHUN 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan.
a. Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 TAHUN 2013
bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk
pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau
diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat
diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
b. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP
46 TAHUN 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali,
ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak
beroperasi secara komersial.
c. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada huruf b
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai
dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.
d. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud
pada huruf c melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai
dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
e. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 TAHUN 2013 bagi Wajib
Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk Tahun Pajak selanjutnya, ditentukan
berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
f. Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara
komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun
Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli
2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk
pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto
Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara
komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun
Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai
dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2014
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara
komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun
Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2
Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran
c. Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi
dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan PP 46 TAHUN 2013, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
6. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak
OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000 ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 TAHUN 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000 ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan
memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran
angsuran pajaknya mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan
yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan
usaha.
7. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT:
1) mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang
diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan dengan
pertanahan; dan
2) dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan
bebas.
b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
8. Penegasan kembali ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 TAHUN 2013.
a. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
1) kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP);
2) Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu; Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan
Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan
struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a
wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir.
c. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada huruf b diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan
pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
d. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan SPT Masa Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b, dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN
yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.
e. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT
Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada huruf b.
F. Penutup
Agar pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 TAHUN
2013 sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dapat berjalan dengan
baik, dengan ini para:
1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan dan sosialisasi Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing,
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Peiayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan PP 46 TAHUN 2013
yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001