Anda di halaman 1dari 4

Masjid Agung

Terletak di sebelah Barat Alun-alun Utara Yogyakarta yang hingga kini masihdipergunakan untuk tempat beribadah
sehari-hari bagi umat Islam. Di hari-hari besar Islam ,masjid ini dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan
upacara-upacara resmi keagamaan Islam dari Kraton Yogyakarta.
Masjid Agung Yogyakarta memiliki gaya bangunan jawa yang spesifik, utamanya dalam bentuk atapnya yang
disamping unik juga indah menyerupai masjid Agung Kadilangu yang dibangun oleh Sunan Kalijaga (salah seorang
wali sango di kota antik Demak)Di sayap Timur bagian depan dari Istana ini dipergunakan sebagai Museum Puro
Pakualaman dengan mempergunakan 4 buah ruangan, yang dapat dikunjungi masyarakat setiap hari Senin dan
Kamis antara pukul 11.00 hingga 13.00.
Dalam Museum ini tersimpan benda-benda bersejarah yang memiliki nilai Budaya tinggi, dan merupakan tinggalan
masa silam dari keluarga Paku Alam.

Kota gede
Kotagede yang terletak 6 kilometer di sebelah tenggara kota Yogyakarta adalah situs bekas ibukota Kerajaan
Mataram Islam yang didirikan pada abad ke-16 Masehi, dibawah kepemimpinan Panembahan Senopati. Yang
menarik, meski kemudian Kerajaan Mataram telah berpindah-pindah dan terpecah belah, Kotagede masih tetap eksis
sebagai sebuah kota lama dengan ciri dan situs peninggalannya yang lestari. Meski tidak lagi utuh, berbagai
peninggalan masih tersebar di berbagai tempat di sekitar Kotagede. Riwayat Kotagede diawali sekitar abad ke-15-16
Masehi, dimana Kasultanan Pajang menjadi kerajaan yang berkuasa di Jawa Tengah, setelah runtuhnya Kasultanan
Islam di Demak. Masa itu, Ki Gede Pemanahan bersama puteranya Danang Sutawijaya serta Ki Penjawi, berhasil
menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Atas jasa-jasanya, Sultan Hadiwijaya yang
bertahta di Pajang memberikan hadiah berupa tanah perdikan di daerah Pati dan Mataram. Hadiah tanah di daerah
Pati dekat pesisir utara Jawa, yang saat itu sudah menjadi kota yang cukup ramai, diserahkan kepada Ki Penjawi.
Sementara Ki Gede Pemanahan lebih memilih tanah di Mataram yang masih berupa hutan belukar, dan dikenal
dengan nama Alas Mentaok. Meski berada di pedalaman, Bumi Mataram dianggap lebih subur dan dilalui aliran
sungai, yang saat ini dikenal sebagai Sungai Gajahwong. Sejak saat itulah Ki Gede Pemanahan membangun Bumi
Mataram, sekaligus memimpinnya sebagai petinggi dengan gelar Ki Gede Mataram. Kota ini dibangun bersama
puteranya Danang Sutawijaya, yang dikemudian hari mendirikan dan memimpin sebuah dinasti baru, Dinasti
Mataram Islam, dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama.
Masjid Soko Tunggal Jogja, Masjid Penuh Makna
Masjid secara bahasa bermakna tempat untuk bersujud. Tempat untuk beribadah bagi kaum muslim ini bukan hanya
identik dengan rumah Tuhan, melainkan sering juga digunakan sebagai tempat untuk berbuat baik kepada sesama
manusia. Pada bulan Ramadhan seperti sekarang, masjid menjadi semakin ramai. Bermacam kegiatan digelar,
berbagai ibadah ditingkatkan. Di bulan Ramadhan, masjid tidak seperti biasanya. Sama seperti Masjid Soko
Tunggal, masjid yang terletak tepat di depan area wisata Tamansari, Yogyakarta ini memiliki keunikan yang tidak

biasa seperti di masjid-masjid lainnya. Adalah seorang abdi dalem Kraton bernama Raden Ngabehi Mintobudoyo
yang mencurahkan daya pikirnya untuk mengarsiteki masjid ini. Di atas tanah wakaf Sultan HB IX yang secara
keseluruhan memiliki luas 900 m2, bangunan Masjid Soko Tunggal dibangun menempati tanah seluas 288 m2.
Seperti namanya, Masjid Soko (tiang utama) Tunggal (hanya satu) ditopang oleh satu tiang saja di tengah bangunan
masjid. Kayu besar yang dijadikan sebagai tiang penyangga berukuran 50 x 50 cm. Konon kayu jati ini didatangkan
langsung dari Cepu, Jawa Tengah, dan saat ditebang usia pohon jati tersebut sudah mencapai 150 tahun. Tiang kayu
utama ini pun ditopang oleh umpak (batu penyangga) yang berasal dari jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Secara arsitektur, masjid ini tak hanya berbeda dengan masjid-masjid atau bangunan joglo pada umumnya. Tentunya
konsep bangunan yang dibuat bukan waton sulaya (asal berbeda), tetapi arsitektur masjid ini memiliki arti tersendiri.
Di bangunan utama masjid, selain 1 soko guru (tiang utama) akan terlihat 4 buah soko bentung (tiang samping)
sehingga total ada 5 soko. 5 soko ini diartikan sebagai Pancasila yang menjadi landasan negara ini. Selain itu, di
masjid ini juga terdapat ukiran-ukiran yang menyimpan berbagai makna. Beberapa ukiran tersebut diantaranya
ukiran probo (bumi, tanah, atau kewibawaan), ukiran Saton (menyendiri, sawiji), sorot (cahaya matahari), tlacapan
(panggah, tabah dan tangguh), hingga ukiran tetesan embun diantara daun dan bunga yang memiliki makna barang
siapa yang sholat di masjid ini semoga memperoleh anugerah dari Allah SWT. Ukiran-ukiran penuh makna ini
adalah hasil kreasi seorang mahasiswa ASRI jurusan seni ukir bernama Sutarno. Sebuah sumber menyebutkan
bahwa pada rangka-rangka masjid ini juga memiliki makna filosofis tersendiri. Soko brunjung melambangkan upaya
mencapai keluhuran wibawa. Kemudian dudur sebagai lambang ke arah cita-cita kesempurnaan hidup. Sirah godo
yang melambangkan kesempurnaan senjata yang ampuh, yang diartikan sebagai kesempurnaan jasmani dan rohani.
Serta mustoko yang melambangkan keluhuran dan kewibawaan. Kemudian jika diamati lebih detail, pada bagian
langit-langit masjid ini sepenuhnya tersusun dari kayu. Menariknya pada kayu-kayu tersebut sama sekali tak ditemui
paku untuk menghubungkan dengan kayu lainnya.
Masjid Soko Tunggal yang dibangun dengan gaya arsitektur jawa ala kraton ini diresmikan penggunaannya oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 28 Februari 1973. Sampai dengan sekarang, masjid yang menjadi salah
satu cagar budaya di Yogyakarta ini masih digunakan sebagai tempat beribadah maupun kegiatan keagamaan lainnya
oleh masyarakat sekitar Tamansar
wisata religius dusun mlangi
Desa Mlangi, Gamping, Sleman, Yogyakarta
Jalan beraspal yang kanan kirinya ditumbuhi pohon kelapa akan ditemui bila berjalan ke arah utara melewati ring
road barat Yogyakarta. Melaju mengikuti arah jalan itu, anda akan sampai ke sebuah dusun bernama Mlangi,
tepatnya di sebuah masjid bernama Jami' Mlangi. Sekeliling masjid itu berupa kompleks pemakaman dengan yang
paling terkenal adalah makam Kyai Nur Iman.

Nama Mlangi tak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya adalah kerabat Hamengku Buwono I, bernama
asli Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, Nur Iman yang sudah lama membina pesantren di Jawa Timur diberi
hadiah berupa tanah oleh Hamengku Buwono I. Tanah itulah yang kemudian dinamai 'mlangi', dari kata bahasa Jawa
'mulangi' yang berarti mengajar. Dinamai demikian sebab daerah itu kemudian digunakan untuk mengajar agama
Islam.
Masjid Jami' Mlangi adalah bangunan paling legendaris di dusun ini karena dibangun pada masa Kyai Nur Iman,
sekitar tahun 1760-an. Meski telah mengalami renovasi dan beberapa perubahan, arsitektur aslinya masih dapat
dinikmati. Diantaranya adalah gapura masjid dan dinding sekitar masjid yang didesain seperti bangunan di daerah
Kraton. Di dalam masjid yang oleh warga sekitar disebut "Masjid Gedhe" itu juga tersimpan sebuah mimbar
berwarna putih yang digunakan sejak Kyai Nur Iman mengajar Islam.
Makam Kyai Nur Iman dapat dijangkau dengan melewati jalan di sebelah selatan masjid atau melompati sebuah
kolam kecil yang ada di sebelah tempat wudlu. Makam itu terletak di sebuah bangunan seperti rumah dan dikelilingi
cungkup dari bahan kayu. Makam itu selalu ramai sepanjang tahun, terutama pada tanggal 15 Suro yang merupakan
tanggal wafatnya Kyai Nur Iman dan bulan Ruwah. Hanya pada bulan ramadan saja makam itu agak sepi. Biasanya,
para peziarah membaca surat-surat Al-Qur'an dengan duduk di samping atau depan cungkup makam.
Berkeliling ke dusun Mlangi, anda akan menjumpai setidaknya 10 pesantren. Diantaranya, sebelah selatan masjid
pesantren As-Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-Falakiyah. Pesantren As-Salafiyah merupakan
yang paling tua, dibangun sejak 5 Juli 1921 oleh K.H. Masduki. Mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren, hanya
komunitas yang belajar agama di sebuah mushola kecil. Komunitas itu lantas berkembang menjadi pesantren karena
banyak yang berminat. Meski bangunannya tak begitu besar, pesantren ini memiliki 300-an santri dan menggunakan
metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah umum.
Keakraban penduduk dengan Islam bukan sesuatu yang dibuat-buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian
penduduk. Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju muslim, dan peci meski tidak hendak pergi ke masjid.
Sementara hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan
ajaran Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela menjual harta bendanya agar bisa naik
haji.
Meski banyak warga punya kesibukan dalam mendalami agama Islam, tak berarti mereka tidak maju dalam hal
duniawi. Dusun Mlangi sejak lama dikenal sebagai salah satu penghasil tekstil terkemuka, hanya jenis produknya
saja yang berubah sesuai perkembangan jaman. Pada tahun 1920-an, usaha tenun dan batik cetak marak di kampung
ini hingga tahun 1965-an. Usaha itu mulai pudar sejak batik sablon menguasai pasar dan harga kain bahan batik
terus meningkat. Akhirnya, hanya tersisa beberapa pengusaha batik, diantaranya Batik Sultan agung yang juga mulai

meredup akhir 1980-an. Kini, usaha yang sedang berkembang adalah celana batik, peci, jilbab, net bulutangkis, dan
papan karambol.
Setiap Ramadan, dusun ini selalu ramai dengan ritual ibadah yang dijalankan warganya. Mulai dari tadarus,
pengajian anak-anak, dan sebagainya. Tak sedikit pula masyarakat dari luar Mlangi yang datang untuk 'wisata'
agama, semacam pesantren kilat. Nah, bila anda ingin berkunjung ke Mlangi, inilah saat yang tepat. Sepanjang siang
selama bulan Ramadhan, anda juga akan melihat betapa akrab anak-anak bermain petasan

Anda mungkin juga menyukai