Anda di halaman 1dari 2

Peran Muslimah itu Strategis dan Kontributif

Peran sahabiyyah di zaman Rasulullah sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran
yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana
sebenarnya?
Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar.
Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis.
Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai
dengan fitrahnya, di belakang.. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil
peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al- Mazniyyah,
Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar, dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah
telah mati. Meeka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela?
Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian
Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, ''Ya Nasibah, salmi, salmi/ mintalah , mintalah''. Kemudian
Nasibah meminta ''Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga''. Rasullah langsung memohon kepada
Allah '' Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga,''
Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Tadinya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia
kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya.
Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi
genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan ''Nasibah, ngapain kamu di sini?'' Tidak. Jadi, meski
sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping rasul karena
tidak ada yang melakukannya.
Bagaimana kerjasama yang dibangun oleh para sahabiyat sehingga mereka mampu menjalankan peranan
yang beraneka ragam?
Pada masa itu, muslimah itu adalah obyek sekaligus subyek. Seperti yang dikatakan Rasulullah an-nisaai
saqoo iqurrijal, wanita itu saudara kandungnya laki-laki. Namanya saudara kandung, ya harus tolong menolong.
Bentuk realisasi tolong-menolongnya bagaimana?
Ada penjelasan dalam buku alakhwatul muminah, karangan Munir Gadhban. Saat Jafar Aththoyyar
meninggal, para muslimah menjalankan aksi untuk meringankan beban keluarganya, terutama istrinya, Asma binti
Umais. Tidak ada aktivitas masak saat itu di rumah Asma karena para sahabiyat telah memasakannya di rumah
mereka masing-masing.
Aplikasinya zaman sekarang, kita harus saling membantu saat akhwat yang lain membutuhkan kita.
Sebagaimana kita mengetahui bahwa suksesnya dakwahnya rasul sangat didukung oleh kerjasama para
sahabiyat. Bila suami-suami para sahabiyat lain sedang berjihad, mereka saling tolong-menolong. Padahal
perginya para sahabat itu bukan cuma berbilang hari, tapi berbilang bulan. Dan hal itu kan tidak mudah. Saat
suami tidak ada di rumah, para sahabiyat kan harus menjalankan peran ibu sekaligus ayah, yang antara lain
adalah sebagai penyangga ekonomi.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan muslimah sekarang yang menjalani peran profesionalnya?
Peran profesional muslimah adalah peran kontributif. Peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke
luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara jujur, sesungguhnya ia tengah ikut
bersama kaum pria untuk membangun bangsa ini. Meski demikian perlu diingat, bahwa kalau mau dilihat secara
jumlah atau prosentasenya, sebenarnya wanita yang dikaruniai peran kontributif itu jumlahnya lebih kecil
daripada wanita rata-rata.
Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus
menjalaninya dengan baik. Ia harus didukung oleh keluarganya, juga oleh masyarakat (negara). Keluarga harus
merelakan waktu dan tenaga muslimah ini tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk menjalankan amanah
profesi. Muslimah itu juga harus menjalaninya profesinya secara amanah, sejujur-jujurnya. Caranya adalah
dengan mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal.
Keluarga, tetangga, dan kerabat pun seharusnya mendukung dengan cara bekerjasama. Misalnya,
tetangga bisa terlibat dengan pengasuhan anaknya. Bukan mencemooh.

Pemerintah juga berkewajiban menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA) karena menggunakan tenaga
dan pikiran ibu2. Idealnya, setiap instansi itu kan punya.
Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah untuk peran reproduksi wanita.
Sekarang ini muslimah kita yang menjalankan amanah publik menjadi penuh perasaan bersalah. Tidak
ada dukungan dari keluarga, dari tempat bekerja, dari pemerintah. Bahkan, sedihnya sesama muslimah pun tidak
bekerjasama, tapi malah mencemooh. Akibatnya, muslimah yang bekerja di luar rumah tidak optimal karena
tidak ada daya dukung.
Bagaimana dengan muslimah yang masih membuat dikotomi peran secara ekstrim? Apa yang dapat
dilakukan untuk menjembatani keduanya?
Muslimah harus jujur melaksanakan potensinya. Ketika dia punya potensi publik, ia harus menjalankan
peranan publiknya tanpa mengabaikan peranannya yang utama, sebagai ibu dan istri. Ketika dia tidak memiliki
kapasitas publik, maka ia harus berupaya optimal menjalankan peranan utamanya itu.
Idealnya, keduanya dapat membangun kerjasama nyata. Bukan saling mencemooh, atau merasa diri
paling shalihat diantara yang lain.
(Sarah Handayani)

Anda mungkin juga menyukai