Anda di halaman 1dari 4

"Arjuna dan Sang Bidadari"

Namanya Arjuna, persis nama seorang tokoh dalam


dunia pewayangan. Tapi ia tak tampan, tak gagah.
Apalagi digila-gilai oleh wanita. Arjuna yang ini
hanya seorang penjual ulat sebagai pakan burung yang
penghasilannya tidak menentu. Tinggalnya di sebuah
rumah sederhana dengan ibundanya yang sudah berusia
70 tahunan. Sejak usia 2 tahun Arjuna menderita
lumpuh. Penyebabnya adalah demam yang sangat tinggi
yang kemudian merusak syarafnya.
Arjuna kini sudah 40 tahun dan tetap lumpuh. Ia pun
masih tetap ulet menjalankan profesinya. Sejak
beberapa waktu yang lalu ia mempunyai kegemaran
baru, suka mengikuti pengajian dari masjid ke
masjid. Dari pengembaraannya itu akhirnya ia jatuh
cinta pada sebuah masjid di sebuah pondok pesantren
yang dipimpin oleh seorang kyai yang masih muda dan
berkharisma.
Pagi itu Arjuna tampak rapi dan wangi. Ia
menggunakan baju terbaiknya, sebuah baju koko
berwarna putih yang dimintanya pada sang ibu untuk
disetrika licin-licin. Ia sudah siap menuju
pengajian di pondok pesantren. Jaraknya lumayan,
dari Jl. Pendawa Dalam, Bandung, ke daerah
Gegerkalong Girang. Apalagi bagi seseorang yang tak
berfisik sempurna seperti Arjuna, jarak itu terasa
lebih dari sekedar lumayan.
Arjuna merangkak di depan rumahnya, lalu dengan
suara cadelnya berteriak memanggil becak di ujung
jalan. Sang tukang becak pun tanggap dengan
panggilan Arjuna. Ia mafhum, Arjuna pasti akan pergi
ke pondok pesantren.
Arjuna duduk manis di dalam becak, hingga sampai ke
jalan besar. Di jalan besar, sang tukang becak
membantu memanggilkan taxi. Satu taxi lewat, taxi
berikutnya juga, dan berikutnya, lalu berikutnya.
Arjuna tetap duduk manis di dalam becak, tersenyum.
Keringat mengucur di tubuh sang tukang becak yang
tampak sedikit kesal tidak satu pun taxi yang mau
berhenti.
Membawa Arjuna sebagai penumpang taxi memang
berbeda. Sang sopir taxi harus rela membantu
menggendongnya. Maka tak heran kalau tak semua sopir
taxi mau. Tapi Allah selalu memberikan
pertolongan-Nya. Sebuah taxi meluncur pelan dan
berhenti. Sampai di pondok pesantren Arjuna disambut
oleh beberapa orang jemaah. Ia sama sekali tak

dipandang sebelah mata. Justru banyak orang yang


sayang padanya, termasuk sang kyai.
Ceramah pun dimulai. Seperti kali yang lalu. kali
ini Arjuna tak mampu membendung air matanya.
Semangatnya membara. Bukan hanya itu bahkan
bergejolak. Bagai sebuah handphone yang perlu
di-charge, inilah saat-saat Arjuna menge-charge
jiwanya. Total biaya Rp.50.000,- yang harus ia
keluarkan untuk pulang pergi ke pondok pesantren,
serasa tak ada harganya dibanding dengan setrum yang
menyulut dirinya. Ajuna jadi lebih semangat bekerja,
lebih semangat mengumpulkan uang untuk bisa datang
ke pengajian.
Arjuna sekarang jadi rajin ibadah malam. Sifat
pemarahnya mulai hilang, jadi lebih sabar dan
optimis. Pelan-pelan keinginan itu muncul. Suatu
keinginan yang sama sekali tak pernah berani untuk
ia mampirkan walau sekilas di kepalanya.
"Ibu, Arjuna kepingin kawin!" Suara cadel Arjuna
bagai geledek yang memecah kesunyian malam di
telinga sang ibu.
"Arjuna enggak mimpi kan?" sang ibu bertanya sambil
menguncangkan tubuh Arjuna yang tergolek lemah di
tempat tidur.
>

" Eh ibu, Arjuna mah bangun. Ini enggak mimpi.


Sungguhan, Arjuna kepingin kawin."
Sang ibu menelan ludahnya beberapa kali, miris.
"Jang, kamu teh mau kawin sama siapa?"
"Nggak tau. Tapi Arjuna sudah minta sama Allah."
Mata sang ibu hampir-hampir tak kuat membendung air
mata yang hendak tumpah. "Bener atuh, kalau memohon
ya sama Allah."
Sang ibu bingung apa yang harus ia lakukan.
Menghibur Arjuna dan membangun mimpi-mimpi indah
yang kosong melompong. Atau membuatnya melek melihat
kondisi cacatnya. Tapi itu sama saja artinya dengan
menghempaskannya ke jurang dalam. Sang ibu cuma bisa
menyerahkan pada Allah, apapun kehendak-Nya.

Malam purnama. Arjuna baru saja selesai sholat


tahajud. Ia merenungi keinginannya yang mulai
menjadi azzam. Pikirannya berkecamuk. "Tapi, kalau
nanti punya istri pasti biaya akan bertambah.
Sekarang saja hidup sudah pas-pasan. Ah, rejeki kan
sudah diatur oleh Allah, tinggal kita yang harus
ikhtiar. Tapi, mau nikah sama siapa. Eh, iya ya.
Siapa yang mau sama saya yang jalan aja mesti
merangkak, mau ke mana-mana mesti digotong. Ah, itu

kan sama juga, jodoh sudah diatur sama Allah.


Tinggal ikhtiar saja. Besok saya akan bilang sama
Pak Kyai, minta dicarikan istri."
"Pak Kyai, saya kepingin kawin!"
Pak Kyai itu pun kaget tak beda seperti ekspresi
sang ibu ketika mendengar ucapan Arjuna. Dengan
sabar Kyai berkata, "Wah bagus itu. Menikah kan
sunnah Rasulullah, apalagi kalau niatnya untuk
ibadah."
"Iya, iya, saya kepingin kawin karena kepingin
ibadah. Kepingin punya anak-anak yang normal dan
berjuang di jalan Allah."
"Arjuna mau menikah dengan siapa?"
"Saya ingin minta dicarikan sama Pak Kyai."
Pak Kyai pun menggaruk-garuk kepalanya. Bukan amanah
yang ringan. Sudah berkali-kali ia mempertemukan
jodoh diantara santri-santrinya. Diantaranya ada
juga yang tidak sekali langsung jadi. Itu pun
santri-santri yang normal, tapi Arjuna...?!
Sang Kyai bukan mengecilkan arti Arjuna. Semua orang
sudah ditentukan takdirnya oleh Allah. Dan tak akan
tahu takdirnya bagaimana kecuali dengan berusaha.
Tapi usaha yang harus dilakukan untuk mencari istri
untuk Arjuna bukan perkara mudah. Tapi Allah
berkehendak lain. Sang Kyai akhirnya menemukan sang
gadis.
Gadis itu normal, juga sholehah. Ia salah satu
jamaah yang kerap mengikuti pengajian Kyai. Kyai
mengucap syukur yang tiada tara, karena akhirnya
gadis itu mengucapkan kesediaannya menikah dengan
Arjuna.
Ina, gadis itu, jelas-jelas tahu Arjuna yang akan
dinikahinya berfisik tak sempurna. Sangat jauh dari
gambaran tokoh Arjuna yang ada di lirik lagu.
"Kenapa Ina mau menikah dengan Arjuna?" tanya sang
Kyai. "Ina sudah tahu apa resikonya? Apa yang akan
dihadapi di kemudian hari?"
"Niat saya cuma ingin mencari keridhoan Allah. Saya
ingin menjadi bidadari di syurga nantinya," kata
sang gadis dengan mantap.
Pagi hari di bulan Agustus 2002 itu seakan bersinar
lebih cerah dari biasanya bagi Arjuna. Sebelum
berangkat, ia menangis. Bukan sedih, justru
kebahagiaan luar biasa yang tak terbendung. Suatu
keajaiban yang tak pernah ia bayangkan akan

terwujud. Mulanya hanya sebuah keinginan, lalu


menjadi tekad, dan kini menjadi nyata. Allah
mengabulkan permohonannya.
Terbata-bata Arjuna mengucapkan ijab kabul. Bukan
karena grogi, tapi karena memang ia kesulitan
mengucapkan kata-kata. Dua ratus pasang mata ikut
berlinangan airmata, tak kuasa menahan haru yang
tiba-tiba menyeruak. Arjuna menyerahkan mas kawin
berupa 23 gram emas kepada istrinya. Lalu Arjuna
bersujud di hadapan ibunya, menangis tersedu-sedu.
Di hadapan para tamu, sang Kyai berkata, "Kita harus
banyak belajar dari Arjuna, seseorang yang diberi
ujian berupa kekurangan fisik dari Allah, namun
tidak takut dan berani mengambil keputusan terhadap
masa depannya. Arjuna adalah contoh seseorang yang
berserah kepada Allah, yakin akan rejeki yang sudah
ditetapkan-Nya. Semoga Allah memberkahi pasangan
pengantin ini, menjadikannya sakinah, mawadah,
warrahmah." Doa sang Kyai ini pun di amini oleh para
tamu walimah.
Arjuna memandangi istrinya penuh haru. Ina baru saja
selesai mencuci baju. Arjuna senang sekali, kini ia
tak lagi mencuci baju sendiri seperti ketika
bujangan dahulu. Ina juga selalu merawat dengan
penuh ikhlas dan telaten. Seorang gadis telah Allah
kirim untuk menjadi pendampingnya di dunia. Arjuna berharap

Anda mungkin juga menyukai