Anda di halaman 1dari 2

Bahwa Tak Ada Yang Abadi

Publikasi 28/04/2003 09:50 WIB


eramuslim - Ketika Matahari menampakkan diri di pagi hari, dan terus menerpakan sinarnya ke setiap sudut
alam hingga puncaknya pada tengah hari. Menjelang senja, ia pun mulai bersiap-siap meninggalkan
singgasananya untuk bertukar peran dengan rembulan yang akan bercahaya menerangi malam hingga fajar.
Bulan tak sendiri, ia ditemani oleh bintang-bintang yang berkelipan, belum lagi lintasan-lintasan benda langit
lainnya yang menjadikan alam atas teramat mengagumkan. Begitu seterusnya, tak pernah matahari menguasai
sepanjang hari, bulan dan bintangpun demikian. Karena sesungguhnya, tak satupun mereka berhak memiliki
hari sepenuhnya.
Terkadang, langit cerah disertai mentari pagi yang menghangatkan menjadi mimpi terindah setiap makhluk di
muka bumi. Tapi, tidak akan pernah mentari seterusnya berseri dan langit cerah, karena bukan tidak mungkin
atap dunia itu berubah mendung dan menghitam, mencekam dan menebar ketakutan. Angin sejuk sepoi-sepoi
yang terasa menyegarkan saat belaiannya menyentuh kulit, sesaat kemudian bisa berputar dan berputar
membentuk tornado yang dalam sedetik meluluhlantakkan semua yang terhampar di bumi. Air laut yang tenang,
pantai yang indah dengan ombak yang melambai indah, hamparan pasir yang halus, disaat yang lain bisa
menjadi gelombang air dahsyat yang menenggelamkan sejuta harapan, meninggalkan bekas yang memilukan.
Bunga-bunga yang hari ini terlihat indah merekah, satu dua hari kemudian akan layu dan memudar warnanya,
bisa karena hempasan angin, sengatan matahari atau terusik unggas. Dedaunan akan tetap berwarna hijau bila
ianya tetap menyatu dengan tangkainya, tatkala ia luruh dan jatuh ke tanah, mengeringlah ia. Embun pagi yang
bening di ujung daun, dalam beberapa detik takkan lagi terlihat. Setelah jatuh, habislah ia. Tinggal menunggu
esok pagi kan datang tuk bisa menikmati kembali beningnya. Unggas pagi, berteriak lantang pertanda
dimulainya hari, tidak jarang, mereka membangunkan insan yang setengah malas dan kantuk masih di sudut
mata. Ketika siang, saat manusia-manusia bergegas dalam segala bentuk aktifitas mereka, makhluk lain pun
menjalankan perannya masing-masing.
Menjelang senja, sinar merah kekuningan seperti meminta perhatian makhluk bumi untuk bersiap menyambut
malam. Tak hanya manusia, hewan-hewan bahkan binatang melata pun beriringan menuju rumah mereka,
menikmati malam, memandangi rembulan dan bintang-bintang, dan mendengarkan hewan-hewan malam
bersahutan mewarnai malam yang panjang, hingga menanti datangnya fajar. Manusia-manusia aktif yang
terkadang tak kenal lelah, terlelap dalam buaian selimut, mimpi, harapan serta doa. Hingga esok, ada yang
terbangun, dan ada yang tetap terlelap, menutup mata untuk selamanya. Tugasnya sebagai manusia telah selesai.
Tak ada manusia yang memiliki sepenuhnya hari, tak ada makhluk yang memiliki sepenuhnya kehidupan. Dan
tak ada jiwa yang memiliki sepenuhnya apapun yang sesungguhnya bukan berasal darinya. Semua perubahan,
kejadian, dan perputaran peran itu meyakinkan kita, bahwa tak ada yang abadi.
Bayi mungil, lucu dan menyenangkan saat lahir, beranjak dewasa, kemudian tua dan akhirnya mati. Kemudian,
generasi berikutnya hadir, hingga diakhiri lagi dengan kematian. Itulah hidup. Seperti matahari yang tak pernah
selamanya bersinar, seperti daun yang mengering saat tanggal dari tangkainya, seperti embun yang meski
sedemikian indah, hanya sekian detik saja umurnya. Seperti hujan yang mungkin setiap hari turun tak pernah
berhenti, tak pernah setiap yang diciptakan Tuhan di alam ini, berkuasa untuk tetap memiliki kejadiannya
seutuhnya. Karena mereka hanya makhluk, yang semuanya terus berubah dan berujung pada akhir. Tak seperti
Pencipta semua makhluk itu sendiri, karena Ianya tak berawal, maka tak ada akhirnya pada-Nya. Sedangkan
kita, atau makhluk lainnya, memiliki awal, dan sudah pasti tertulis sudah akhirnya. Kita hanya tinggal
menunggu waktu.
Sebagai makhluk, tak sekedar untuk hidup Allah menciptakannya. Setiap ciptaan Allah, memiliki peran yang
menjadi amanahnya. Kita semua, berdiri, berdiam diri, tertidur, berjalan, berhenti sejenak, kemudian berjalan
lagi, sesekali istirahat hanya untuk menorehkan catatan diri. Tinta merah atau biru yang hendak kita pakai untuk
mengisi lembaran putih catatan itu, hak sepenuhnya ada di tangan kita. Jikalah matahari selalu mempunyai
catatan biru dalam buku raport-nya, begitu juga dengan rembulan, langit dan semua benda yang menghiasinya,
hewan-hewan yang senantiasa ikhlas menjadi bagian hidup manusia, tetumbuhan, bumi tempat berpijak, lalu
kenapa kita tak pernah iri untuk senantiasa memperbaiki catatan merah kita di hadapan Allah?
Makhluk-makhluk Allah yang lain, manusia-manusia yang berlomba menorehkan tinta biru dalam catatan
akhirnya, sungguh teramat sadar bahwa waktu yang Allah berikan teramat singkat, hingga tak pernah terpikir
olehnya untuk berbuat satu hal pun yang bisa menyebabkan lembaran putihnya ternoda oleh titik merah.

Bersujud dan berdoa, mencari keridhoan Allah di setiap detik, setiap langkah, dan jalan yang dilaluinya, agar
tak ada sedikitpun kebencian di mata Allah keatasnya. Belajar dari manusia-manusia terdahulu yang telah
mengukir nama mereka di hati Allah, semestinya saat ini, kita terus berjuang keras untuk bisa mendapatkan satu
tempat di hati-Nya untuk menggoreskan nama kita.
Harta yang banyak, bukan jalan untuk bisa mendapatkan tempat di hati Allah. Kendaraan yang bagus, jabatan
tinggi, status sosial terhormat, perhiasan dan berjuta keindahan dunia, juga tidak. Bukan semua itu yang akan
menjadikan kita makhluk berarti di mata Dia. Karena sesuatu yang tak abadi, tak mungkin bisa menjadi bekal
menuju keabadian untuk bertemu Yang Maha Abadi. Jiwa yang bersih, jiwa yang tenang, adalah jiwa yang
pertama hadir dalam bentuk jasad manusia saat pertama ditiupkan. Hanya dengan kembali dengan kebersihan
dan ketenangan semula, ia bisa diterima disisi Yang Maha Abadi. Maka, belajar dari semua ketidakabadian
selain Allah, jangan pernah menghabiskan waktu (yang teramat sebentar ini) yang diberikan Allah ini, tanpa
torehan tintas kebaikan. Mungkin besok, tak ada lagi waktu buat kita menggenggam tinta biru. (Bayu Gautama,
berjam-jam di tengah kebun teh Sukabumi, karena tak yakin besok masih ada waktu untuk kembali ke tempat
ini).

Anda mungkin juga menyukai