Disamping itu juga terdapat faktor lainnya yang tersangkut, yaitu jika jasa spesial diperlukan
atau perlu diberikan kepada barang yang diangkut.
Sedangkan penentuan tarif angkutan untuk penumpang pada umumnya lebih mudah atau
kurang begitu sulit dibandingkan dengan penentuan tarif angkutan barang, karena penentuan
tarif angkutan barang itu meliputi penentuan tarif angkutan bagi beratus-ratus bahkan beribu-
ribu macam barang, yang dibungkus dengan bermacam-macam cara, yang harus diangkut
dengan berbagai ukuran (volume dan berat) dan ketempat tujuan yang berbeda-beda pula.
Dalam penentuan tarif angkutan harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga cukup wajar
(rendah) untuk mendorong penggunaan jasa-jasa angkutan tersebut, tetapi harus cukup tinggi
pula untuk dapat memperoleh jaminan keuntungan yang sepantasnya bagi usaha
pengangkutan.
Ada dua aspek dan prosedur yang lazim dipakai dalam penentuan tarif angkutan yaitu :
Aspek yang pertama adalah mengenai atau berhubungan dengan apa atau barang apa yang
akan diangkut, sedangkan aspek yang kedua berhubungan dengan dimana atau diantara
tempat mana barang tersebut diangkut serta perhitungannya didasarkan pada aspek pertama.
Kedua aspek dan prosedur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Dahulu pada waktu barang-barang belum begitu banyak macam ragamnya banyak
diikuti atau dijalankan penetapan tarif berdasarkan prinsip “charging what the traffic
will bear” artinya untuk setiap barang yang diangkut ditetapkan tarif berdasarkan
kemampuan barang tersebut untuk memikul tarif angkutannya. Kemudian dengan
semakin banyaknya macam dan sifat barang yang diangkut serta melalui bermacam-
macam rute yang mungkin dilalui, maka tidaklah mungkin lagi untuk menetapkan
tarif angkutan atas dasar cara yang demikian itu. Maka kemudian atas bermacam-
macam barang tersebut diadakan klasifikasi (penggolongan dalam kelas-kelas) untuk
penentuan tarif angkutannya. Di dalam klasifikasi tersebut perlu diperhatikan berbagai
faktor, antara lain macam atau jenis barang yang diangkut, volumenya atau beratnya,
harga atau nilai barang tersebut, dan lain sebagainya. Jadi untuk barang yang identik
atau hampir sama sifatnya atau jenisnya akan digolongkan dalam satu kelas atau
golongan yang kemudian ditetapkan satu tarif tertentu untuk kelas tesebut.
Klasifikasi daripada barang-barang yang dipakai dalam jasa –jasa angkutan tersebut
adalah sebagai langkah pertama dalam pemakaian prinsip atau dasar tarif angkutan.
Setalah ditetapkan klasifikasi barang-barang tersebut, maka kemudian dibuat suatu
skala tarif (rate scale) serta cara penggunaannya, dengan suatu daftar tarif. Dalam hal
ini harus pula diperhatikan faktor cost of service dan faktor value of service.
Sebagaimana telah diuraikan dimuka ada berbagai hal yang mempengaruhi cost of service
dan value of service yang turut menentukan penetapan tarif angkutan. Faktor yang
mempengaruhi cost of services seperti :
ü Risiko dan bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dalam hubungan dengan sifat barang
Setelah daftar tarif itu ditetapkan, maka kemudian diumumkan secara luas kepada
masyarakat, sehingga setiap calon shippers atau pemakai jasa angkutan akan dapat
mengetahui dimana digolongkan atau termasuk golongan mana barang miliknya yang akan
diangkut tersebut dan berapa tarif angkutannya untuk masing-masing barang baik secara
tersendiri maupun secara totalitas.
2. Bentuk dan Macam Tarif Angkutan Barang
Ada terdapat bermacam-macam bentuk rates atau tarif angkutan yang dapat dibedakan antara
bentuk – bentuk :
Mengenai pengertian dan perbedaan masing-masing bentuk tarif angkutan itu satu sama
lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Class rates adalah tarif angkutan yang didasarkan pada kelas-kelas dimana barang-barang
yang bersangkutan digolongkan menurut proses klasifikasi. Dengan perkataan lain, barang-
barang yang diangkut dikenakan tarif menurut golongan atau kelas-kelas tarif yang telah
ditetapkan. Sifat dari class rate ini adalah “sangat umum” yang seringkali tidak dapat dipakai
atau tidak memenuhi keperluan – keperluan dalam hal-hal yang agak menyimpang atau
khusus.
Berhubung karena itu maka diadakan bentuk tarif yang berupa comodity rate, yaitu tarif
spesial untuk barang-barang yang diangkut terutama dalam hal volume besar, seperti papan,
gandum, batu bara, biji besi, dan lain sebagainya. Barang-barang ini biasanya dikenakan tarif
angkutan yang lebih rendah daripada class rates yang berlaku. Dalam hal ini seringkali tarif
angkutan barang yang bersangkutan ditetapkan secara langsung tanpa melalui proses
klasifikasi. Jadi, sebetulnya ini adalah sebagai pengecualian daripada klasifikasi tarif yang
terdapat dalam daftar tarif yang bersifat umum tersebut tadi.
Local rate adalah tarif angkutan yang berlaku pada jalan dari satu peruahaan angkutan
tertentu atau tarif angkutan yang dikenakan atas service angkutan dalam satu wilayah atau
rute jalan yang dilayani oleh suatu maskapai angkutan tertentu. Dan tarif ini seringkali
disebut pula sebagai “thrugh rate” atau tarif langsung.
Joint rate adalah tarif angkutan yang berlaku untuk suatu jalan (tarikan) yang dilakukan oleh
lebih dari satu carrier atau tarif yang berlaku antara stasiun-stasiun yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan angkutan yang berlainan. Joint rate ini ditetapkan atas dasar persetujuan
atau perjanjian bersama antara perusahaan – perusahaan angkutan yang bersangkutan.
Dari A ke B oleh perusahaan angkutan X
Contoh :
Tarif dari A ke C untuk mengangkut barang dari tempat asal A ke tempat tujuan C dapat
ditetapkan bersama oleh perusahaan- perusahaan angkutan X dan Y misalnya sebesar
Rp.750,- diantara kedua perusahaan angkutan yang bersangkutan.
Flat rate yaitu tarif angkutan yang biasa untuk angkutan barang diantara dua tempat bagi
trafik yang berasal dari tempat pertama (asal) dan berakhir di tempat yang lain yang
merupakan tempat tujuannya.
Proportional rate merupakan tarif khusus dari flat rate tersebut yang hanya berlaku apabila
angkutan tersebut berasal dari tempat lain, yaitu bukan dari tempat asalnya.
Misalnya tarif O ke P (langsung) Rp. 400,00 merupakan flat rate. Tarif barang dari I ke P
yang berasal dari O dibebankan menurut proportional rate. Kalau tarif O ke I sudah
Rp.250,00 maka untuk dapat memperoleh tarif dari I ke P harus ditetapkan sebesar Rp. 150
(proportional rate). Jadi tarif dari O ke I adalah flat rate dan I ke P adalah proportional rate.
Carload rate adalah tarif angkutan yang ditetapkan menurut volume angkutan yang paling
sedikit berdasarkan satu gerbong/truk penuh walaupun barang yang diangkut kurang dari satu
gerbong/truk muatan.
Less-than carload rate adalah tarif angkutan yang biasa yaitu tarif yang ditetapkan tersendiri
sesuai dengan atau sehubungan dengan keadaan berat atau volume barang yang diangkut.
Jadi makin berat atau makin besar volume barang yang diangkut, makin besar (tinggi) pula
tarifnya dan tak perlu berupa suatu volume angkutan dengan muatan dan membayar sejumlah
satu gerbong/truk penuh.
Pada umumnya beban ongkos angkut atas dasar carload rate adalah relatif lebih murah
daripada less than carload rate.
Dalam hubungan dengan less-than carload ini, kadang-kadang ada yang menyamaratakan
saja tarif per kesatuan berat/volume, ini disebut sebagai any quality rate.
Misal : tarif angkutan barang untuk 1 ton sebesar Rp.10.000,00 ; 10 ton sebesar
Rp.100.000,00, 25 ton sebesar Rp. 250.000,00 dan seterusnya.
Line-haul rate dan sccessorial rate.
Line haul rate adalah tarif angkutan yang sesungguhnya (yang aktual atau riil) yang harus
dibayar atau dipikul oleh shipper untuk pengangkutan barangnya atau ongkos angkutan yang
sungguh-sungguh dibayarnya untuk menjalani rute yang bersangkutan. Hal ini seringkali
disebut pula sebagai moving expenditure.
Accessorial rate yaitu berupa tarif atau biaya tambahan yang harus dibayar oleh shipper untuk
service tertentu yang diterimanya berupa jasa switching, jasa penyimpanan untuk transit, jasa
storage dan sebagainya. Untuk ini beban biaya yang bersangkutan biasanya ditetapkan
dengan suatu daftar tarif khusus tersendiri.
Sifat utama daripada tarif angkutan yang didasarkan pada mileage basis tersebut adalah
sebagai berikut :
ü tarif angkutan tidak dimulai dengan 0 (nol) atau tanpa pembebanan tarif karena adanya
ongkos minimal, ongkos tetap dan sebagainya yang perlu dibebankan kepada muatan barang
yang diangkut. Jadi walaupun hanya beberapa puluh meter saja barang dan juga penumpang
yang bersangkutan diangkut, tetap saja barang dan juga penumpang yang bersangkutan
diangkut, tetap dikenakan tarif atau biaya angkutnya.
ü Tarif angkutan naik sesuai dengan panjang jarak yang ditempuh, tetapi tidak naik secara
proporsional. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena ongkos terminal, ongkos overhead
serta ongkos-ongkos lainnya dapat disebarkan pada jarak-jarak yang semakin jauh, sehingga
ongkosnya per unit menjadi semakin kecil jika jarak angkutannya menjadi semakin jauh.
ü Tarif angkutan tidak dipungut untuk setiap mil/km, tetapi dengan cara sekumpulan mil
(blocks of miles).
Misalnya untuk jarak 1-5 km/mil dengan suatu tarif tertentu, sedangkan untuk jarak 5-
10km/mildengan tarif tertentu lainnya. Dan pada umumnya dengan semakin jauh jarak antara
yang ditempuh maka “block of miles” tersebut akan semakin besar pula.
Misalnya : tarif menurut jarak 1-5 mil adalah tarif pertama, kemudian menyusul jarak 5-20
mil untuk tarif kedua dan selanjutnya untuk jarak 20-50 mil berikutnya tahap ketiga, dan
demikian seterusnya.
ü Cara penetapan tarif tersebut lebih sesuai dengan cost of service principles, karena
ongkos transpor pada umumnya memang semakin tinggi dengan semakin jauhnya jarak yang
ditempuh, sehingga adalah wajar untuk dikenakan tarif yang semakin tinggi pula.
ü Rate structure dengan sistem tersebut akan lebih lama stabil daripada diambil atau
digunakan kriteria lain sebagai dasar dalam penetapannya.
Untuk mengangkut barang dari A ke M tentu perusahaan angkutan akan lebih efisien
memakai rute X daripada rute Y, karena jarak yang dilalui lebih pendek sehingga dapat
menekan ongkos-ongkos seperti untuk bensin, pemeliharaan alat dan keperluan lainnya.
ü Tarif yang didasarkan jarak ini relatif lebih mudah untuk diterima dan dimengerti
serta lebih sederhana menghitungnya.
Disamping keuntungan dan kebaikan yang dikemukakan diatas, terdapat pula berbagai
kekurangan dan kelemahan jika tarif didasarkan pada jarak tersebut. Diantara berbagai
kekurangan dan kelemahannya tersebut adalah sebagai berikut :
ü Sistem penentuan itu akan membatasi atau menghalangi pertumbuhan kota-kota beserta
industri –industri yang terpencil atau jauh dari pasaran. Hal ini disebabkan karena tarif yang
semata-mata didasarkan kepada jarak tersebut mengakibatkan sangat tingginya ongkos
angkutan untuk barang-barang dari jarak jauh, sehingga perkembangan industri-industri yang
sangat jauh sekali dari pasar tidak akan dapat bertumbuh.
Pada umumnya faktor jarak bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam penetapan tarif
angkutan, dan bahkan kadang-kadang ada pula tarif angkutan yang tidak didasarkan pada
distance scale sama sekali.
Selain itu untuk masalah ketepatan waktu penyampaian barang yang dikirim sering tidak
tepat waktu dikarenakan harus bisa memenuhi kuota/nominal ongkos operasional untuk
pengantaran barangnya. Angkutan ( carrier ) tidak akan membawa barang kalau hanya satu
atau dua barang kiriman saja apabila tidak terpenuhi ongkos. Jadi dengan kata lain, barang
tersebut akan di bawa apabila sudah terpenuhi ongkosnya dengan menunggu barang kiriman
yang lain dengan tujuan yang sama.
Sehubungan dengan itu, dalam batas-batas pengaturan pemerintah, maka para pengusaha
angkutan (carrier) dalam membuat dan memakai cara penentuan tarif angkutan barangnya
pada umumnya mengambil kebijaksanaan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
cost, compromize dan competition. Hal ini lazim disebut sebagai “3 C policy” dalam
penentuan tarif angkutan.
a. cost
bagaimanapun juga tarif angkutan tersebut harus dapat menutupi ongkos-ongkos yang
dikeluarkan untuk menghasilkan jasa angkutan yang bersangkutan. Karena itu para carrier
harus mengkalkulasikannya di dalam penentuan tarif tersebut, ini disebut sebagai cost
accounting principle.
b. compromize
di dalam penentuan tarif tersebut harus dipertimbangkan pula permintaan atau desakan dari
para shippers yang menghendaki tersedianya jasa angkutan dengan tarif yang lebih rendah
atau supaya diklasifikasikan pada golongan/kelas tarif yang lebih rendah.
c. competition
seringkali pula para carrier harus mempertimbangkan faktor konkurensi yang dihadapi oleh
para shippers yang bersangkutan sendiri. Jadi supaya barang-barang milik shippers tertentu
dapat mengalir ke pasar berhadapan dengan shippers lainnya, maka para pengusaha angkutan
terpaksa menetapkan tarif angkutan terlepas dari perhitungan jarak dan perhitungan yang
berlaku umum.
Dengan mengambil kebijaksanaan “3 C policy” tersebut diatas maka para shippers khususnya
yang mendapatkan keringanan akan memperoleh manfaat, dorongan berkembang dan
mempunyai kekuatan yang berimbang terhadap yang lainnya. Sebaliknya pada pengusaha
angkutan, baik secara tersendiri maupun secara keseluruhan, akan tetap mempertahankan
kondisi dan beroleh keuntungan yang sewajarnya.