Anda di halaman 1dari 129

PERANAN ABDI DALEM DALAM PELAKSANAAN

TRADISI SEKATEN PADA PEMERINTAHAN SRI


SULTAN HAMENGKUBUWONO IX – SRI SULTAN
HAMENGKUBUWONO X DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah
pada Universitas Negeri Semarang

Oleh
Dwi Retno Mulianingsih
NIM 3101401015

FAKULTAS ILMU SOSIAL


JURUSAN SEJARAH
2005

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia

ujian skripsi pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Subagyo, M.Pd Dra. Rr. Sri Wahyu S, M. Hum


NIP. 130818771 NIP. 132010313

Mengetahui :

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M. Hum


NIP. 131764053

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu

Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Penguji Skripsi

Drs. Abdul Muntholib, M.Hum


NIP.131813653

Anggota I Anggota II

Drs. Subagyo, M.Pd Dra. Rr. Sri Wahyu S., M.Hum


NIP. 130818771 NIP. 132010313

Mengetahui :
Dekan FIS UNNES

Drs. Sunardi, M.M


NIP. 130367998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi atau tugas akhir ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang

lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang

terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juni 2005

Dwi Retno Mulianingsih


NIM. 3101401015

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

¾ Air yang terjun dengan gemuruh laksana dinamika


hidup yang tidak kunjung berhenti (Fanz Dahler)
¾ Bukan ketidakmampuan yang dominan menguasai diri
kita…..melainkan ketidakmauan yang sering
menjangkit pada diri kita (Penulis)
¾ Jadikan nurani sebagai prinsip religiusmu, jiwa
sebagai balutan moralmu, detak nafas sebagai
simfoni semangat inspirasimu, dan pola pikir
sebagai ide kreatifmu (Penulis)

Persembahan

Dengan tidak
mengurangi syukur pada Illahi Robbi,
skripsi ini
kupersembahkan untuk :
¾ Bapak dan Ibu Tercinta, terima
kasih atas semua kasih sayang
dan do’a-do’anya yang selalu
mengiringi setiap langkahku.
¾ Kakakku Joni Subarkah, adikku
Tri Indarti Arum Cahyani yang
selalu aku banggakan.
¾ Seseorang yang selalu
memotivasi, mengerti, dan
membangun imajinasiku.
¾ Teman-teman Sejarah angkatan
2001: Rover, Dhiant, Sancay,

v
Azmie…..makasih atas semua
bantuannya selama ini.
¾ Teman curhatku : Hatie,
Cuplis...makasih atas segala
perhatian dan pengertian tak
terhingga.

PRAKATA

Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini digunakan untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar

Sarjana Pendidikan (S-I) pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Negeri Semarang. Dalam hal ini penulis mengambil judul “Peranan Abdi Dalem

Dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten Pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono

IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat”.

Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan

bimbingan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Akhirnya penulis menyampikan ucapan terima kasih dan penghargaan

kepada :

1. DR. H. AT. Soegito, S.H., M.M. Rektor UNNES.

2. Drs. Sunardi, M.M. Dekan FIS UNNES.

3. Drs. Jayusman, M.Hum. Ketua Jurusan Sejarah FIS UNNES.

vi
4. Drs. Subagyo, M.Pd. dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Dra. Rr. Sri Wahyu Sarjanawati, M.Hum. dosen pembimbing II yang dengan sabar

telah memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. GBPH. H. Prabukusumo, S.Psi. yang telah memberi izin terhadap peneliti untuk

melakukan penelitian di Keraton.

7. KRT.H. Kawendrodipuro, B.A. yang telah memberikan informasi dan data-data

untuk kelengkapan dalam penulisan skripsi.

8. Pengurus perpustakaan Widyo Budoyo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang

telah memberikan data-data untuk kelengkapan dalam penulisan skripsi.

9. Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dengan ketulusan hati

bersedia menjadi informan.

10. Teman-teman Pendidikan Sejarah UNNES angkatan 2001.

11. Teman-teman HMI (Mr. Ghonie, Mr. Hanafie, Naily, Tika, Iien) dan teman-

teman PPL (Mr.Za-q, Mr. Slah, Mr. Anas, dan Mr.Wiwiek).

12. Spesial thank’s to the Big Family Fastabiqul Khoerot for the spirit and the

support.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuan baik moril maupun materiil kepada penulis.

Semoga amal baik mereka diterima sebagai suatu amal kebajikan untuk

mendapatkan keridhoan-Nya semata dan semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi pembaca semua, amin.

vii
Semarang, Juni 2005

Penyusun

SARI

Dwi Retno M.N. 2005. Peranan Abdi Dalem Dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten
Pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono
X Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 102 h.
Dosen Pembimbing : I. Drs. Subagyo, M.Pd., II. Dra. Rr. Sri Wahyu S., M.Hum.

Kata Kunci : Peranan, Abdi Dalem, Sekaten

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat pemerintahan dan


kebudayaan Jawa yang terletak di pusat ibukota Kerajaan mempunyai Abdi Dalem
sebagai komunitas sosial yang menjaga kelestarian kebudayaan Keraton. Abdi Dalem
bekerja pada administrasi Kasultanan maupun pemerintahan dengan penuh ikhlas
untuk memperoleh berkah dalem Keraton.
Khususnya pada perkembangan tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Abdi Dalem berperan aktif pada setiap penyelenggaraannya. Ada
banyak kelompok Abdi Dalem yang terlibat dalam tradisi Sekaten. Mereka bekerja
sesuai dengan tugas yang diemban oleh kelompoknya masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua permasalahan yang diteliti yaitu : (1)
Bagaimanakah kehidupan Abdi Dalem pada Pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, (2) Bagaimanakah latar belakang sejarah pelaksanaan tradisi Sekaten di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (3) Apa peranan Abdi Dalem dalam
pelaksanaan tradisi Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX –
Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tujuan
penulisan skripsi ini adalah : (1) Mengetahui kehidupan Abdi Dalem pada
Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat , (2) Mengetahui latar belakang sejarah
pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (3) Mengetahui
peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan tradisi Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta
Hadinigrat.

viii
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Penelitian Sejarah.
Langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam metode tersebut adalah :
heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. Dalam teknik pengumpulan
data, disamping kajian pustaka, juga digunakan teknik wawancara dan melakukan
pengamatan atau observasi. Untuk mendapatkan penulisan Sejarah yang analisis dan
ilmiah digunakan pendekatan penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah Teori-teori Sosial Budaya (Sosiologi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kehidupan Abdi Dalem pada masa
Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat banyak sekali persamaannya, antara lain :
organisasi dan tugas Abdi Dalem, jam kerja Abdi Dalem, pangkat Abdi Dalem, dan
tempat tinggal Abdi Dalem. Perbedaannya ada tetapi tidak begitu signifikan, antara
lain : besar gaji Abdi Dalem dan perhatian Sri Sultan terhadap Abdi Dalem ; (2) Latar
belakang Sejarah pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
terkait erat dengan tradisi sejak zaman Kasultanan Demak untuk mensyiarkan agama
Islam. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Kerajaan generatif dari Demak,
Pajang, Mataram, kemudian Kasultanan Yogyakarta merasa sangat perlu untuk
melaksanakan tradisi leluhurnya sebagai upacara religius keislaman yang bercorak
khas kejawen dengan segala hikmah dan berkahnya ; (3) Peranan Abdi Dalem dalam
pelaksanaan tradisi Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri
Sultan Hamengkubuwono X sangat signifikan sekali. Abdi Dalem berperan penting
dalam pelaksanaan tradisi Sekaten mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai
selesainya tradisi Sekatenan.
Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terkait erat dengan tradisi
leluhur untuk mensyiarkan agama Islam. Peran Abdi Dalem sangat signifikan sekali
dalam pelaksanaan tradisi Sekaten.
Akhirnya peneliti menyarankan agar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
sebagai penyelenggara tradisi Sekaten hendaknya bisa menjadi media agar dalam
pelaksanaannya tradisi tersebut benar-benar bisa memenuhi kebutuhan religius dalam
syiar agama Islam untuk membentuk akhlak dan budi pekerti luhur.

ix
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ............................................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii

PERNYATAAN............................................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v

PRAKATA....................................................................................................... vi

SARI................................................................................................................. viii

DAFTAR ISI.................................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Permasalahan................................................................................... 5

C. Tujuan Dan Manfaat........................................................................ 5

D. Ruang Lingkup Penelitian............................................................... 6

E. Penegasan Istilah ............................................................................. 7

F. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 12

x
G. Metodologi Penelitian ..................................................................... 18

H. Sistematika Penulisan...................................................................... 28

BAB II KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat..................................................................................... 27
B. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sebagai Pusat Pemerintahan
dan Pusat Kebudayaan Jawa .......................................................... 35
a. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pusat
Pemerintahan.............................................................................. 35
b. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pusat Kebudayaan
Jawa............................................................................................ 37

BAB III KEHIDUPAN ABDI DALEM PADA MASA


PEMERINTAHAN SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX - SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X

A. Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan


Hamengkubuwono IX ................................................................ 43
a. Struktur Organisasi dan Tugas Abdi Dalem Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat ........................................ 45
b. Jam Kerja Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 51
c. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 51
d. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 53
e. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 54
f. Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap
Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat......... 55
B. Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono X ................................................................. 56
a. Struktur Organisasi dan Tugas Abdi Dalem Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat ........................................... 56
b. Jam Kerja Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 58

xi
c. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 59
d. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 62
e. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 63
f. Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono X terhadap
Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat......... 64
BAB IV PERANAN ABDI DALEM DALAM PELAKSANAAN
TRADISI SEKATEN DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

A. Sejarah Lahirnya Tradisi Sekaten sebagai Upacara


Tradisional Keagamaan Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat............................................................................... 73
B. Peran Abdi Dalem terhadap Upacara Tradisi Sekaten
di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ................................... 78

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ....................................................................................... 95

B. Saran .............................................................................................. 99

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Struktur Organisasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat................ 43

Tabel 2 : Besar gaji Abdi Dalem periode akhir pemerintahan

Hamengkubuwono IX ...................................................................... 50

Tabel 3 : Besar gaji Abdi Dalem periode awal pemerintahan

Hamengkubuwono X (1989-sekarang) ............................................. 58

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Wawancara dengan Abdi Dalem Keparak (Abdi Dalem Perempuan).

Gambar 2 : Pasar Malam Perayaan Sekaten.

Gambar 3 : Upacara Numplak Wajik

Gambar 4 : Gejog Lesung dilakukan sebelum Upacara Numplak Wajik dimulai.

Gambar 5 : Acara Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta.

Gambar 6 : Pelaksanaan Kondur Gongso (gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton).

Gambar 7 : Kesatuan prajurit yang mengawal gunungan pada Upacara Garebeg

Maulud.

Gambar 8 : Gunungan diusung ke depan Masjid Agung dikawal oleh Prajurit

Keraton.

Gambar 9 : Upacara penyerahan gunungan dilanjutkan dengan memanjatkan doa

yang dipimpin oleh Kiai Pengulu.

Gambar 10 : Gunungan yang disedekahkan oleh Sri Sultan pada puncak acara

Garebegan menjadi rebutan masyarakat.

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Peta Kota Yogyakarta.

Lampiran 2 : Denah keadaan Keraton dan sekitarnya.

Lampiran 3 : Denah Istana Yogyakarta (bagian tengah dan utara).

Lampiran 4 : Lembar daftar informan.

Lampiran 5 : Acuan pertanyaan dalam kegiatan wawancara.

Lampiran 6 : Surat izin observasi.

Lampiran 7 : Surat izin penelitian.

xv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keraton Yogyakarta merupakan sebuah komplek bangunan tempat

tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono dan bekas pusat pemerintahan

Kasultanan Yogyakarta yang mempunyai latar belakang keagamaan Islam.

Keraton Yogyakarta didirikan atas dasar Perjanjian Giyanti atau disebut juga

Palihan Nagari yang diadakan pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29

Rabiulakhir 1680 Jawa atau tanggal 13 Februari tahun 1755 Masehi, di Desa

Giyanti (Punto H, 2001 : 1). Perjanjian Giyanti berisi : membelah menjadi

dua wilayah kerajaan Mataram, sebagian wilayah tetap dikuasai oleh Sri

Susuhunan Pakubuwono III dengan ibukota Kerajaan Surakarta dan bagian

lain dikuasai Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta dengan

gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I, Senopati Ing Alaga Ngabdurachman

Sayidin Panatagama Khalifatullah (Punto H, 2001 : 2). Makna dari gelar

tersebut, bahwa Sultan berkewajiban untuk mensyiarkan ajaran agama Islam

dalam Kerajaannya sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai

Raja Yogyakarta. Adapun nama Kasultanan Yogyakarta yang sebenarnya

adalah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sampai sekarang telah mengalami

sepuluh kepemimpinan dari Sri Sultan Hamengkubuwono I – Sri Sultan

Hamengkubuwono X. Keraton dihuni oleh komunitas atau lebih tepatnya


2

disebut sebagai kelompok-kelompok sosial. Stratifikasi sosial didalam

keraton sangat bertalian dengan sistem pelapisan masyarakat yang berbentuk

kerucut. Sistem pelapisan masyarakat pertama ialah Sultan. Lapis kedua

terdiri dari kerabat keraton atau sentana keraton, menyusul lapis ketiga terdiri

dari pekerja administrasi Kasultanan maupun pemerintahan yang disebut

Abdi Dalem (priyayi). Lapis keempat ialah golongan wong cilik

(Abdurrachman, 2000 : 27). Pada perkembangannya lapis ketiga sering

disebut-sebut mempunyai peranan dalam kebudayaan dan tradisi Jawa di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Gambaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan bahwa

istana (keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Disini

bahasa Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan disini adat dan

tradisi Jawa lahir dan dikembangkan (Morisson, 2002 : 180). Khususnya pada

Tradisi Sekaten, acara ini menjadi rutinitas yang berpusatkan di Keraton dan

dalam pelaksanaannya menjadi momen ribuan umat Islam yang menanti

datangnya pada bulan Maulud.

Jika merunut perjalanan sejarah, perkembangan adat dan tradisi di

Indonesia tidak bisa lepas dari peran Keraton (Castle) karena Keraton

menjadi sentra perkembangan adat, budaya dan tradisi. Hal tersebut telah

melahirkan beragamnya karya seni dan tradisi seperti tarian, gamelan dan

tidak ketinggalan Tradisi Sekaten menjadi trend Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Beragamnya tradisi di Keraton di dukung dua aspek utama yaitu

hubungan seni dengan tradisi Keraton dan hubungan seni dengan agama.
3

Hubungan seni dengan agama, contohnya : Hinduisme memberikan seni

sastra keagamaan Mahabharata dan Ramayana, epik yang kemudian ikut

mengembangkan tradisi wayangan menjadi seni nilai adi luhung bagi

masyarakat Jawa (hubungan seni dengan tradisi Keraton). Bahkan sastra

keagamaan Mahabharata dan Ramayana yang telah mengangkat konsep satria

Jawa menjadi kelas elit Jawa, yaitu golongan yang mengembangkan watak

kepahlawanan (ksatria) dalam membina Kerajaan-kerajaan besar atau

Keraton (Simuh, 2003 : 54).

Berakhirnya era Kerajaan Hindu dan berdirinya Kerajaan Islam memang

memberi pengaruh, tetapi tidak dalam pengertian Tradisi Sekaten. Pengaruh

Islam dalam tradisi hanyalah dalam batas-batas tertentu yang secara implisit

berupa ajaran (Fananie, 2000 : 229). Tradisi Sekaten sebagai bagian dari

aktivitas Keraton, akhirnya menjadi tradisi turun temurun masyarakat

Yogyakarta pada umumnya dan kerabat Keraton khususnya.

Keraton tidak identik dengan istana saja. Keraton juga mempunyai nilai

implisit dari nilai keagamaan, filsafat dan kultural, karena itu Keraton tidak

semata-mata tempat bersemayan raja-raja dan ratu-ratu. Secara akurat belum

ditemukan data tentang latar belakang filosofi dari Keraton Ngayogyakarta,

tetapi yang jelas bahwa Pantai Selatan, Krapyak, Keraton, Gunung Merapi

terletak pada sebuah garis imajiner (Keraton Ngayogyakarta : 3). Selain itu

Keraton memiliki arti filosofis yang sangat dalam dipandang dari kacamata

budaya Jawa, dimana setiap bangunan, ruangan ,ukiran yang terdapat di

dalam kompleks Keraton penuh dengan makna, perlambang, dan simbol


4

(Morrison, 2002 : 186). Singkatnya Keraton bersifat TRI FUNGSI : tempat

bersemayam raja-raja dan ratu-ratu, pusat pemerintahan, serta pusat

kebudayaan (Brongtodiningrat, 1978 : 7).

Perayaan Sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan Islam

merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya Islam ke Bumi Nusantara.

Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan

historis (Sultan, 12 Mei 2004). Sebagai peristiwa budaya, Sekaten dijadikan

momentum penting untuk merekonstruksi letak koordinat Budaya Jawa yang

diselenggarakan tiap tahun dalam rangka memperingati kelahiran Nabi

Muhammad SAW.

Peran Abdi Dalem sebagai kelompok sosial di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat sering disebut-sebut sebagai kelompok yang melestarikan dan

mengembangkan tradisi leluhur budaya Jawa seperti misalnya Tradisi

Sekaten. Pelaksanaan Tradisi Sekaten sebagai upacara tradisional agama

Islam mempunyai hubungan penting dengan para Abdi Dalem yang berperan

dalam pelaksanaannya.

Berangkat dari hal diatas, peneliti berminat untuk mengungkap peristiwa

sejarah budaya yang bersifat karya ilmiah. Peneliti berharap berhasil

mengetahui sejauh mana Peranan Abdi Dalem dalam Pelaksanaan Tradisi

Sekaten pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan

Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Disamping itu

penulis berharap dapat menyediakan sebuah bahan perbandingan bagi para

pembaca pada umumnya.


5

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimanakah kehidupan Abdi Dalem pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat ?

2. Bagaimanakah latar belakang sejarah pelaksanaan Tradisi Sekaten di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ?

3. Apa peranan Abdi Dalem terhadap perkembangan Tradisi Sekaten pada

Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan

Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ?

C. Tujuan dan Manfaat

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kehidupan Abdi Dalem pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Mengetahui latar belakang sejarah lahirnya pelaksanaan Tradisi

Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Mengetahui peranan Abdi Dalem terhadap perkembangan Tradisi

Sekaten pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX –

Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwon X di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat.
6

B. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memperoleh informasi tentang peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan

tradisi Sekaten, yang nantinya dapat dipergunakan sebagai masukan

menambah dan memperluas pengetahuan tentang pendidikan sejarah

bagi pembaca

2. Bermanfaat bagi penelitian yang lebih luas dan lebih mendalam dalam

rangka menambah wawasan penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia.

3. Menambah informasi bagi masyarakat yang intens dengan Tradisi

Keraton, bahwa dengan dilaksanakannya Tradisi Sekaten sampai

sekarang menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia khususnya

Masyarakat Jawa yaitu Yogyakarta masih tetap melaksanakan Tradisi

leluhurnya walaupun arus modernitas telah mempengaruhi masyarakat

Jawa.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian merupakan batasan ruang (wilayah dan waktu)

yang diteliti oleh peneliti. Tujuannya mengarahkan perhatian peneliti pada

bidang yang diteliti. Sesuai dengan judul, peneliti memfokuskan pada lokasi

penelitian yaitu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta, Jawa

Tengah.

Keraton Yogyakarta Hadiningrat terletak di Pusat Kota Yogyakarta

sehingga mudah dicapai dengan baik dari arah Malioboro, menuju ke Selatan

melalui Alun-alun. Rute ini lebih mudah untuk memasuki Keraton jika
7

dibanding dari arah Selatan. Letak Keraton Yogyakarta sangat strategis

dimana berdekatan dengan Istana Taman Sari, Masjid Agung Yogyakatra,

Pasar Yogyakarta, dan Benteng Vredeberg (Morisson, 2002 : 186).

Penelitian terfokus pada Peranan Abdi Dalem dalam Pelaksanaan Tradisi

Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam konteks ini, Abdi

Dalem yang menempati kelompok sosial pada lapisan ketiga dipandang

berperan penting terhadap pelaksanaan “Tradisi Sekaten” sampai sekarang

ini. Abdi Dalem yang bekerja pada administrasi Kasultanan Yogyakarta

Hadiningrat juga bertugas menjaga dan merawat kompleks Keraton.

Batasan ruang waktunya, dikarenakan Pelaksanaan Tradisi Sekaten ini

tetap berlangsung dari Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri

Sultan Hamengkubuwono X, maka skop temporalnya diambil pada

pemerintahan kedua Raja tersebut. Dalam kurun waktu dua pemerintahan ini,

Tradisi Sekaten tetap menjadi upacara tradisional yang mengandung tiga

dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis.

E. Penegasan Istilah

Penegasan istilah bermaksud untuk memberi fokus kepada kajian yang

ingin diteliti, yaitu disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Dengan

penegasan istilah, penulis dapat membatasi diri dari membahas persoalan-

persoalan yang ada diluar topik persoalan. Dari topik “Peranan Abdi Dalem

dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat”.
8

Agar tidak terjadi salah persepsi atau pengertian dari berbagai pihak,

maka penegasan istilah digunakan untuk membatasi pengertian dalam

penelitian ini.

1. Peranan

Istilah peranan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian

dari tugas utama yang harus dilaksanakan (Depdikbud, 1988 : 667).

2. Abdi Dalem

Abdi Dalem berarti pengabdian terhadap kanjeng sinuwun yaitu

abdinya Raja atau Ratu dan dapat diartikan sebagai kesetiaan terhadap

Sultan sebagai Raja Keraton Yogyakarta (Afrianto, 2002 : 39).

Menurut Morisson (2002 : 186), Abdi Dalem mempunyai pengertian :

pegawai Keraton yang mengenakan pakaian tradisional Jawa yang

bertugas menjaga dan merawat kompleks Keraton (bangunan, ruangan,

ukiran, tanaman, atau apapun yang terdapat didalam kompleks Keraton

yang penuh makna, perlambang, simbol, termasuk tradisi dan budaya

Jawa).

Secara umum Abdi Dalem adalah : kelompok sosial yang berada

dilapis ketiga yang terdiri dari mereka yang bekerja pada administrasi

Kasultanan maupun pemerintahan.

3. Perkembangan

Perkembangan mempunyai dua pengertian (Depdikbud, 1989 : 414),

yaitu:

a. Perkembangan ialah : tumbuh dan mengalami peningkatan.


9

b. Perkembangan ialah : dari sederhana menjadi sempurna dan lebih


kompleks
Secara umum perkembangan dapat diartikan : perihal berkembang

(Depdikbud, 1988 : 414).

4. Tradisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 959), tradisi

mempunyai pengertian, antara lain :

a. Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih

dijalankan masyarakat.

b. Penilaian bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling

baik dan benar : perayaan hari besar agama itu janganlah hanya

merupakan saja, haruslah dihayati maknanya.

Dalam Kamus Antropologis, disebutkan bahwa adat yaitu kebiasaan

yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli meliputi

antara lain mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma hukum, aturan-

aturan yang saling berkaitan dengan kemudian menjadi suatu sistem aturan

tradisional.

5. Sekaten

Sekaten (Garebeg) adalah : upacara Kerajaan yang diselenggarakan

untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Soelarto, 1996

: 41).

Sekaten adalah : upacara keagamaan di Keraton, yang diadakan tiga

kali setahun, bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, Hari
10

Raya Idul Fitri (Garebeg Sawal) dan Hari Raya Idul Adha atau Garebeg

Besar (Brongtodiningrat, 1978 : 15).

Sekatenan merupakan serangkaian acara untuk memperingati hari

lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulud Nabi (Morisson, 2002 : 191).

Morisson menjelaskan serangkaian upacara Sekatenan terdiri dari : acara

pertama adalah Pasar Malam Perayaan Sekaten. Kemudian seminggu

menjelang puncak acara (tanggal 5 Rabiulawal tepat pukul 21.00)

diadakan Upacara Miyos Gongso atau gamelan dikeluarkan dari Keraton

untuk kemudian ditempatkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan

Masjid Agung Yogyakarta. Keesokan harinya pada tanggal 12 Rabiulawal

diadakan puncak acara Sekaten dihalaman Masjid Agung Yogyakarta.

Gunungan yang dibawa dari Keraton, oleh pembesar Keraton diserahkan

kepada Kiai Pengulu di depan Masjid Agung Yogyakarta. Upacara

penyerahan gunungan dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang dipimpin

Kiai Pengulu. Gunungan yang disedekahkan oleh Keraton lalu menjadi

rebutan Masyarakat yang hadir (Soelarto, 1993 : 55).

6. Pemerintahan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 672), pemerintahan

mempunyai beberapa pengertian, diantaranya :

a. Sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan

sosial, ekonomi, dan politik suatu negara (bagian-bagiannya).

b. Sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab

terbatas untuk menggunakan kekuasaan.


11

c. Penguasaan suatu negara (bagian negara).

Dalam penelitian ini Pemerintahan yang dimaksud adalah :

a. Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (tahun 1940-1988)

Pemerintahan GRM Dorojatun (Sinuhun Sepuh) mempunyai

wewenang untuk berkuasa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

b. Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwno X (tahun 1989 –

sekarang).

Pemerintahan GRM Hardjuno Darpito yang mempunyai

wewenang dan menguasai Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

7. Keraton

Keraton berasal dari kata : ka + ratu + an : karatuan atau kraton. Yang

disebut karaton adalah : tempat bersemayam ratu-ratu. Juga disebut

kadaton, yaitu ke + datu + an : kadaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu.

Keraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, filosofis

dan kultural (Brongtodiningrat, 1978 : 7)

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sebuah kompleks

bangunan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono dan bekas pusat

pemerintahan Kasultanan Yogyakarta yang mempunyai latar belakang

keagamaan Islam (Punto H, 2001 : 1)

Keraton adalah tempat tinggal raja dan ratu Yogyakarta. Keraton tidak

hanya memiliki arti sebagai bangunan tempat tinggal raja saja, tetapi lebih

jauh Keraton memiliki arti filosofis yang sangat dalam dipandang dari

kacamata Budaya Jawa (Morisson, 2002 : 185).


12

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat sebenarnya sudah lumayan banyak. Tetapi penelitian yang

memfokuskan Peranan Abdi Dalem dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten

masih sangat terbatas, terutama kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam

rangkaian Upacara Sekaten.

Menurut Wignyasubrata dalam bukunya yang berjudul Sekaten di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lebih memfokuskan pada riwayat

lahirnya Sekaten dan Perayaan Sekaten di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat (Widyobudoyo : 1). Abdi Dalem sebagai komunitas sosial

didalam Keraton menjaga kelestarian kebudayaan Keraton turut aktif

dalam kegiatan penyelenggaraan Tradisi Sekaten seperti : mempersiapkan

ubo rampai (perlengkapan) Hajad Dalem Pareden seperti Gunungan

Wadon, Gunungan Lanang, Gunungan Pawohan, dan kebutuhan yang lain.

Kesetiaan Abdi Dalem terhadap Keraton menjadi kunci tidak surutnya

untuk mengabdi pada Pemerintahan Sri Sultan. Ini terlihat dari ucapan

Abdi Dalem “dekat keraton dekat dengan berkah”. Ini memberikan makna

bahwa mendekatkan diri dengan lingkungan Keraton akan mendapat

berkah dan keturunannya akan hidup jauh lebih baik darinya (Abdi

Dalem). Penulisan ini hanya terbatas pada cerita Perayaan Sekaten dengan

sedikit menyinggung adanya peranan Abdi Dalem terhadap tradisi

kebudayaan leluhur. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat itu Abdi
13

Dalem belum terlihat jelas sekali muatan peranan dalam kegiatannya atau

mungkin luput dari pandangan penulis.

Demikian pula dengan studi Kapujanggan Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, penelitiannya mengenai Riwayat Sekaten menyangkut studi

historis dari Zaman Demak, Zaman Majapahit, dan Zaman Hindu. Dalam

penelitian ini Abdi Dalem diceritakan sebagai bagian dari keluarga

Keraton yang bertugas menjaga kegiatan Sekaten, selama kegiatan Sekaten

berlangsung Abdi Dalem duduk di Serambi Masjid dan sebagian

melakukan Tadarusan di dalam Masjid Agung, di Malam Garebeg Maulud

Abdi Dalem dan Abdi Dalem Punokawan semuanya berkumpul dengan

Bendoro Putra dan Pangeran Sentana serta kerabat lainnya. Penelitian ini

sudah sedikit memfokuskan pada peranan Abdi Dalem terhadap Perayaan

Sekaten dimana disisi lain juga banyak menjabarkan riwayat lahirnya

Sekaten. Tetapi penelitian ini telah menuliskan Zaman Majapahit dan

Zaman Hindu. Kedua zaman tersebut seharusnya tidak perlu dimasukkan,

akan lebih tepat bila yang ditulis Zaman Pajang dan Zaman Mataram

sebagai kelanjutan dari Kerajaan Demak.

Penelitian berikutnya oleh Theresia Styastuti dalam karyanya Upacara

Garebeg Maulud pada Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono

IX (1999 : 105), meski topiknya sedikit berbeda karena kurang memfokus

tetapi karena masih studi historis Tradisi Sekaten, Theresia berpendapat

dari pelaksanaan Tradisi Sekaten pada masa Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak banyak


14

terdapat perbedaan dalam pelaksanannya dimana Gunungan yang menjadi

khas perlengkapan upacara tetap ada dan prajurit Keraton dengan pakaian

seragam masih tetap ditampilkan. Ada dua sedikit perbedaan, yaitu :

1. Penyelenggaraan Upacara Garebeg Maulud pada Masa Sri Sultan

Hamengkubuwono IX - Sri Sultan Hamengkubuwono X yaitu : jumlah

prajurit yang digunakan pada waktu Upacara Garebeg Maulud

berlangsung. Kalau pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono IX jumlah

prajurit setiap bergodo terdiri dari 80 orang. Tetapi pada masa Sri

Sultan Hamengkubuwono X jumlah prajurit dari setiap bergodo

dikurangi 30 orang sehingga menjadi 50 orang dari setiap bergodonya,

hal itu disesuaikan dengan perkembangan zaman.

2. Perbedaan Waktu dan Situasi

Kalau penyelenggaraan Upacara Garebeg Maulud pada masa Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dilakukan pada masa penjajahan Belanda dan

Jepang. Pada masa pendudukan Jepang Tradisi Upacara Garebeg

pernah dihapuskan tetapi kemudian setelah Indonesia merdeka Tradisi

Upacara Garebeg diadakan lagi. Sedangkan pada masa Sri Sultan

Hamengkubuwono X Upacara Garebeg Maulud diselenggarakan pada

saat rakyat Indonesia sudah merdeka. Dari penelitian Theresia terlihat

sekali kalau perbedaan yang ada tidak terlalu signifikan. Melainkan

Tradisi Sekaten tetap menjadi kultur budaya Keraton sebagai tradisi

dan sebagai upacara yang bersifat tradisional yang tetap

diselenggarakan dijamin yang semakin maju dan semakin modern.


15

Kesimpulan yang ditemukan dari penelitian Theresia adalah bahwa

Tradisi Sekaten dalam setiap pelaksanaannya terdapat banyak kesamaan

walaupun terkadang juga terdapat sedikit perbedaan, namun begitu

yang menjadi khas dari perayaan Sekaten tetap ada dalam setiap

penyelenggaraan rangkaian upacaranya. Di sini yang menjadi objek

penelitian hanya sebatas penyelenggaraan Sekaten saja, mungkin aspek

sosial Abdi Dalem hanya dijadikan sebagai acuan tambahan dalam

penelitian sehingga kajian Abdi Dalem hanya dibahas singkat saja.

Penelitian Soelarto mengenai Garebeg di Kasultanan Yogyakarta

menyangkut cerita upacara Garebeg atau Sekaten sebagai upacara religius

khas kejawen yang sudah ditradisikan sejak Sultan Hamengkubuwono I

sampai sekarang. Tradisi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari

Kasultanan Yogyakarta yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Asal

muasal dan makna di balik peristiwa perayaan tersebut hanya bisa

dipahami dengan mengingat adat istiadat yang berkembang sejak zaman

keemasan Kerajaan Mataram. Dalam penelitian ini Soelarto juga

menuliskan informasi tentang seluk beluk penyelenggaraan tradisi

Sekaten, hakikat dari perayaan Sekaten, tempat-tempat yang menjadi pusat

rangkaian upacara Sekaten., serta ubo rampai (perlegkapan) yang dipakai

pada upacara Sekaten. Terlepas dari pembuatan gunungan ada

perlengkapan yang dipakai seperti : benda-benda upacara dan pusaka-

pusaka Keraton. Penelitiaan ini telah banyak mengungkap sejarah

perayaan Garebeg dan hal-hal yang perlu dipersiapkan pada upacara


16

Garebeg, namun Abdi Dalem sebagai panitia penyelenggaraan Sekaten

peranannya kurang disinggung.

Penelitian Morisson mengenai Upacara Sekaten (2002 : 191), selain

meneliti Keraton sebagai kota budaya yang memiliki karakter kuat dari

hasil penelitiannya ia juga menjelaskan secara rinci Tradisi Sekatenan

sebagai Upacara Tradisional Jawa yang diikuti dengan antusias oleh

Masyarakat Yogya dan sekitarnya. Acara Sekaten ini menjadi bagian ajang

promosi wisata Yogyakarta. Di sisi lain Morisson juga sedikit

mengungkap pegawai Keraton (Abdi Dalem) yang merawat setiap

bangunan, ruangan, ukiran, tanaman, atau apapun yang terdapat di

Kompleks Keraton. Jika diperhatikan Abdi Dalem mempunyai peranan

yang cukup penting dalam pengembangan adat dan tradisi Jawa di Keraton

khususnya pada pelaksanaan Tradisi Sekatenan. Pada persiapan sampai

pelaksanaan Tradisi Sekatenan, Abdi Dalem mempunyai peranan yang

cukup penting, salah satunya pembuatan Gunungan untuk Garebegan

(Upacara Sekaten). Saat upacara Sekatenan dilaksanakan di depan barisan

Gunungan, Abdi Dalem Gedhong Kiwa atau Tengen, Kalang, Gladhan,

dan Pangreh Praja bertindak sebagai barisan pelopor. Di sini peranan Abdi

Dalem tampak sekali dari awal sampai pelaksanaan Upacara Sekatenan.

Mereka berperan sebagai panitia yang mempersiapkan perlengkapan

upacara dan berperan sebagai barisan pelopor. Morisson melihat peran

Abdi Dalem yang besar, sebagai bagian dari warga Keraton mereka

bekerja pada administrasi maupun pemerintahan Kasultanan Yogyakarta


17

dengan sangat baik dan penuh tanggung jawab. Selain itu Morisson

banyak memfokuskan pada Abdi Dalem yang mengenakan pakaian

tradisional Jawa yang bertugas menjaga dan merawat seisi bangunan dan

gedung-gedung dalam dan bagian luar kompleks Keraton.

Pada pokoknya hasil penelitian masalah Sekatenan tersebut saling

melengkapi. Disatu pihak penulisan Sekatenan dengan studi historis telah

mengungkapkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat

Kebudayaan Jawa yang mengembangkan Tradisi Sekaten sebagai Upacara

Tradisional Masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta. Disamping Keraton

sebagai pusat kebudayaan Jawa juga sebagai pusat pemerintahan yang

dipimpin oleh seorang Sultan. Dipihak lain adanya penyelenggaraan

Sekaten, sebagai tradisi yang mengandung tiga dimensi penting yaitu

kultural, religius, dan historis hendaknya dijadikan momentum

pemberhentian sejenak guna merekonstruksi letak koordinat budaya.

Maksudnya masyarakat melakukan introspeksi diri dengan menghayati

perayaan Sekaten yang sebenarnya. Sehingga hal yang dipercaya benar-

benar memiliki nilai religius tinggi dan bisa membawa perilaku yang baik

bagi penyelenggaraan Sekaten serta masyarakat yang menghendaki

perayaan Sekaten.

Telaah pustaka yang diuraikan diatas menunjukkan perlunya

penulisan Sejarah yang lebih khusus meneliti Peranan Abdi Dalem dalam

Pelaksanaan Tradisi Sekatenan. Apabila berbagai penelitian yang

dihasilkan selama ini belum mengungkapkan sejauh mana peranan Abdi


18

Dalem dalam Pelaksanaan Tradisi Sekatenan pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX - Sri Sultan Hamengkubuwono X, maka perlu

adanya penelitian terhadap hal tersebut. Maka penelitian ini diharapkan

dapat melengkapi penulisan yang telah ada sebelumnya.

G. Metodologi Penelitian

A. Metode Penelitian

Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian, sangat menentukan

sejauh mana penelitian menjawab pertanyaan dan permasalahan dalam

kegiatan penelitian. Berdasarkan penelitian tersebut, untuk sistematika

penulisan Sejarah yang analisis dan ilmiah, maka metode yang digunakan

metode penulisan Sejarah.

1. Heuristik (Pengumpulan Data)

Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak dimasa lampau.

Kegiatan pengumpulan data (heuristik) meliputi kegiatan mencari, dan

menghimpun sumber-sumber Sejarah termasuk bahan-bahan tertulis,

tercetak serta sumber lisan yang relevan dengan masalah yang diteliti

(Gottschalk, 1986 : 18).

Sumber heuristik terbagi menjadi dua :

a. Sumber Primer

Suatu kesaksian dari saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan

panca indera lain atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan.

Teknik pengumpulan data yang terpenting dalam penelitian ini melalui :

Pertama : Sumber lisan (wawancara). Peneliti melakukan wawancara


19

dengan beberapa panitia (Abdi Dalem penyelenggaraan Sekaten).

Adapun wawancara dilakukan dengan narasumber kunci (Abdi Dalem)

diantaranya mereka yang menjadi panitia penyelenggaraan Tradisi

Sekatenan (lihat gambar 1), antara lain :

1. Panitia penyelenggaraan Pasar Malam Perayaan Sekaten

2. Panitia penyelenggaraan acara Miyos Gongso

3. Panitia penyelenggaraan Upacara Numplak Wajik

4. Panitia Upacara Garebeg Maulud (Sekaten)

Kedua : Sumber benda. Sumber benda berupa alat-alat yang telah

dipakai dalam pelaksanaan upacara Sekatenan dari pemerintahan

Hamengkubuwono I sampai pemerintahan sekarang

(Hamengkubuwono X). Adapun alat-alat yang dipakai dalam upacara

Sekatenan adalah benda-benda upacara dan pusaka-pusaka Keraton.

b. Sumber Sekunder

Suatu kesaksian dari siapapun yang bukan dari saksi pandang mata,

yaitu saksi dari orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan

(Gottschalk, 1986 : 35). Sumber sekunder yang digunakan oleh peneliti

adalah :

1. Studi pustaka : buku.

2. Sumber tertulis atau dokumen : brosur, tulisan pujanggga Keraton,

dan hasil liputan Koran.

Dalam pengumpulan data, peneliti banyak menggunakan studi

pustaka dan sumber tertulis (dokumen).


20

2. Kritik Sumber

Kritik sumber yaitu : menyelidiki apakah jejak-jejak sejarah itu sejati,

baik bentuk maupun isi. Kritik ini bertujuan untuk menilai sumber-

sumber yang dibutuhkan dalam penelitian, sehingga sumber-sumber

yang digunakan benar-benar dapat dipercaya.

Kritik sumber ada dua, yaitu kritik ekstern dan kritik intern

a. Kritik ekstern (kritik luar)

Yaitu dengan melakukan kegiatan penelitian terhadap sumber-

sumber informan yang telah dikumpulkan apakah sumber-sumber

informasi tersebut benar-benar autentik dan asli sebagai sumber

Sejarah. Dalam penelitian ini penulis membandingkan dengan

sumber buku yang lain (membandingkan sumbernya). Ini dilakukan

sebagai data penguat dan koreksi.

b. Kritik intern (kritik dalam)

Yaitu suatu proses yang dilakukan untuk membuktikan dapat

dipercaya tidaknya (kredibilitas) dan kesahihan (validitas) dari isi

informasi yang telah dikumpulkan. Dalam penelitian ini, informasi

yang terkumpul dari sekian informasi melalui wawancara, terencana

maupun tidak terencana diteliti atau diuji dengan membanding-

bandingkan informasi antara satu dengan yang lain, sehingga dapat

ditarik kesimpulan untuk mendapatkan informasi yang valid. Jadi

peneliti melakukan cross cek terhadap hasil wawancara.


21

3. Interpretasi (Mentafsirkan Data)

“Interpretasi sebagai tindakan menyimpulkan kesaksian yang

dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang autentik (Gotschalk,1986:

16).

Berdasarkan pernyataan diatas, maksud dari interpretasi adalah

menetapkan makna dan menghubungkan data-data yang didapatkan dari

sumber yang ada maka dalam penelitian ini penulis menghubungkan

secara kronologis semua informasi yang ditafsirkan sehingga menjadi

rangkaian cerita yang logis.

4. Historiografi

Historiografi atau merekonstruksi Sejarah merupakan penyusunan

kesaksian yang dapat dipercaya menjadi kisah atau penyajian yang berarti

(Gotschalk,1986 : 18).

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari kerja metode penelitian

Sejarah yaitu penyajian dalam bentuk penulisan Sejarah yang berdasarkan

fakta-fakta yang terpisah-pisah antara satu dengan yang lain. Artinya

proses heuristik, kritik, dan interpretasi tidak lengkap tanpa dibuat

kesimpulan dalam bentuk cerita yang disajikan. Data disusun secara

sistematis menurut pembagian atau seleksi data dari Peranan Abdi Dalem

terhadap perkembangan Tradisi Sekatenan.

B. Pendekatan

Pendekatan dalam kegiatan penelitian sebagai kegiatan dari penggunaan

dan pemanfaatan konsep dan Ilmu-ilmu Sosial (Antropologi dan Sosiologi)

sangat perlu dilakukan dalam penulisan Sejarah yang analisis dan ilmiah.
22

Penelitian juga menggunakan Ilmu-ilmu Sosial yang telah mengalami

perkembangan pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang

merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis Historis

(Kartodirdjo, 1993 : 120). Hal ini bermanfaat sebagai piso analitis dalam

penulisan Sejarah (menggunakan multidimensional approach).

Sesuai dengan judul, peneliti mencoba menggunakan Teori-teori Sosial

Budaya yang dianggap relevan sebagai pendekatan dalam kegiatan penelitian

Sejarah. Maka peneliti memilih Teori-teori Sosial Budaya, sebagai berikut :

1. Teori Fungsionalisme Struktural oleh Talcott Parsons

Talcott Parsons dalam bukunya Usman Pelly (1994 : 60) menyatakan

bahwa ada empat asumsi penting yang diperlukan suatu sistem, yaitu :

a. Setiap masyarakat secara relatif adalah tetap, struktur unsur-unsurnya

relatif stabil (Stabilitas).

b. Setiap masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang terintegrasi secara

baik. Ini mempunyai pengertian bahwa sebuah sistem harus mengatur

komponen-komponen yang menjadi bagiannya (Integrasi).

c. Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, yaitu memberikan

kontribusi terhadap pemeliharaan keutuhan dari sebuah sistem (Fungsi

Koordinasi).

d. Setiap fungsi struktur sosial didasarkan pada konsensus terhadap nilai-

nilai di antara anggota-anggotanya (Konsensus).


23

Demikianlah dalam pendekatannya aliran Fungsionalisme

Strukturalisme selalu menekankan unsur : 1) Stabilitas, 2) Integrasi, 3)

Fungsi Koordinasi dan, 4) Konsensus (Pelly, 1994 : 60).

Jika dilihat dari teori Fungsionalisme Struktural (Talcott Parsons)

dalam bukunya Usman Pelly (1994 : 60) yang menyatakan bahwa setiap

masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang terintegrasi secara baik, maka

Abdi Dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga merupakan

sebuah komponen-komponen yang menyebabkan terbentuknya sistem

sosial di Keraton. Di mana sistem itu harus mengelola antar hubungan

ketiga fungsi penting lainnya yaitu : stabilitas, fungsi koordinasi dan

kosensus. Menurut Abdurrachman (2000 : 27), di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat terdapat sebuah sistem yang terbentuk dari komponen-

komponen sesuai dengan susunan-susunan kelas yang terdiri dari, yaitu :

a. Lapis pertama: Sultan.

Sultan bertugas sebagai kepala pemerintahan yang berkuasa di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat.

b. Lapis kedua : Kerabat Keraton atau Sentana Keraton.

Kerabat Keraton merupakan keturunan dari Raja yang mempunyai

keistimewaan dalam bidang-bidang tertentu.

c. Lapis ketiga : Pekerja Administrasi Kasultanan maupun pemerintahan

(Abdi Dalem atau Kaum Priyayi).

Abdi Dalem bertugas sebagai pegawai Keraton yang bekerja sesuai

dengan jenjang kepangkatan atau gelar mereka.


24

d. Lapis keempat : Golongan Wong Cilik.

Golongan wong cilik merupakan rakyat biasa yang patuh dan hormat

terhadap Raja.

Terlihat sekali kalau Abdi Dalem yang menempati lapis ketiga sebagai

komponen dari sebuah sistem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Teori Kebudayaan oleh Malinowski

Malinowski dalam bukunya Roland Robertson (1992 : 53),

menyatakan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi

masyarakat yang memiliki unsur kebudayaan itu. Setiap pola kelakuan

yang sudah menjadi kebiasaan, setiap pola dari perilaku masyarakat yang

menjadi kebudayaan dalam masyarakat dianggap memenuhi kebutuhan

dasar maupun kebutuhan sekunder.

Dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang setiap bulan Maulud

selalu mengadakan Tradisi Sekaten menganggap tradisi tersebut

bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam membentuk akhlak

dan budui pekerti luhur. Setiap tahun selalu diselenggarakan Upacara

Tradisional Resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Garebeg

Maulud) yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW

dalam rangka memenuhi kebutuhan religius masyarakat (Soelarto, 1996 :

24) .

H. Sietematika Penulisan

Sistematika penulisan dibuat dalam setiap penulisan untuk

memberikan gambaran umum tentang keseluruhan isi dari penelitian.


25

Dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, dalam setiap bab tersebut

terbagi dalam beberapa sub bab. Dengan adanya sistematika penulisan

ini, pembaca akan memperoleh gambaran yang jelas, terperinci dan

sistematik mengenai materi yang akan disaji oleh peneliti. Berikut adalah

sistematika penulisan dalam penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi : latar belakang, permasalahan, tujuan dan

manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, penegasan

istilah, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian.

Metodologi penelitian di sini meliputi : metode penelitian

dan pendekatan penelitian.

BAB II KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang sejarah berdirinya

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat pemerintahan dan

pusat Kebudayaan Jawa.

BABIII KEHIDUPAN ABDI DALEM PADA MASA

PEMERINTAHAN SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO

IX – SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X

Bab ini menceritakan tentang Kehidupan Abdi Dalem pada

masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan

Abdi Dalem pada masa Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono X.
26

BAB IV PERANAN ABDI DALEM DALAM PELAKSANAAN

TRADISI SEKATEN DI KERATON NGAYOGYAKARTA

HADININGRAT

Bab ini berisi hasil penelitian terhadap pelaksanaan Tradisi

Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang

meliputi : Sejarah lahirnya Tradisi Sekaten sebagai upacara

tradisional keagamaan Islam di Keraton Ngayogyakarta

Hadinninngrat. Dan di sini juga berisi hasil penelitian

mengenai Peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan upacara

Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran


27
BAB II

KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan atas dasar perjanjian

Giyanti yang ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono III dan Pangeran

Mangkubumi dipihak lain serta Nicolas Harting pada tanggal 29 Rabiulakhir

1680 Jawa 13 Februari 1755 (Punto H, 2001 : 1). Perjanjian tersebut mengakhiri

perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dengan Sunan Pakubuwono III.

Menurut Perjanjian Giyanti, wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi

dua : Pangeran Mangkubumi menjadi raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I Senopati Ing Alaga Ngabdurahman

Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Ngayogyakarta. Sementara sebagian

wilayah lain tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan Ibukota

Kerajaan Surakarta (Punto H, 2001 : 2).

Keraton Yogyakarta mempunyai luas wilayah 87.050 km2 dan meliputi

daerah Mataram asli seperti Kedu, Bagelan, Banjarnegara, sebagian Pajang,

Pacitan, Madiun, Grobogan, dan Mojokerto (FA. Sucipto, 1979 : 34). Semula

tempat yang dipilih untuk mendirikan Keraton adalah desa Telogo, dimana

baginda pernah mendirikan pesanggrahan yang diberi nama Ngambar Ketawang,

tetapi kemudian baginda memutuskan untuk mendirikan Keraton di Hutan

Garjitawati, dekat Desa Beringin dan Desa Pacetokan. Dengan alasan daerah ini

27
dianggap kurang memadai untuk membangun sebuah Keraton dengan

bentengnya, maka aliran sungai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran

sungai Winanga sedikit dibelokkan ke barat (Brongtodiningrat, 1978 : 7).

Menurut cerita mitos, hutan Beringin tersebut dijaga dua ekor ular naga,

yaitu bernama kiai Jaga dan kiai Jegot. Maka setelah Keraton Yogyakarta berdiri,

kiai Jaga kemudian bertempat tinggal pada bangunan tugu, sedang kiai Jegot

bersemayam pada bangsal Proboyekso Keraton Yogyakarta (Punto H, 2001 : 4).

Hutan Beringin yang dipilih oleh Sultan merupakan tempat bersejarah

karena di daerah itu pada tahun 1747 dan tahun 1749 Kanjeng Pangeran Haryo

Mangkubumi dihadapan rakyat mengumumkan penobatan dirinya sebagai

Susuhunan ing Mataram. Baginda menetapkan tempat itu untuk didirikan

Keraton dan menjadi Ibukota yang kemudian diberi nama Ngayogyakarta

Hadiningrat. Dari latar belakang perkembangan yang selintas diceritakan di atas,

tampak adanya berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan tempat di

Hutan Beringin itu sehingga menjadi pangkal pertumbuhan kota Yogyakarta.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut meliputi faktor sejarah,

keagamaan, pengalaman pribadi Mangkubumi sendiri, dan adanya unsur asing

yang datang yaitu VOC yang dikemudian hari bertambah dengan pengaruh

pemerintahan Inggris diawal abad ke-19 (Poerwokoesoemo, 1985 : 24).

Pembuatan Keraton Yogyakarta selesai pada tahun 1682 Jawa dan

ditandai dengan sengkalan memet (condrosengkolo memet) dipintu Gerbang

28
Kemagangan dan pintu gerbang Gedung Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan

satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa : Dwi naga rasa tunggal. Artinya, Dwi :

2, naga : 8, rasa : 6, tunggal : 1. Dibaca dari belakang : 1682 (Brongtodiningrat,

1978 : 8). Naga berwarna hijau memiliki makna tersendiri yaitu simbol dari

pengharapan. Pembangunan Keraton Yogyakarta kemudian diikuti dengan

pembuatan benteng keliling sebagai batas wilayah ibukota kerajaan dan

pembuatan masjid Agung.

Arsitek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ialah Sri Sultan

Hamengkubuwono I. Keahlian sebagai arsitek bangunan sudah dimiliki sejak

masih muda, baginda bergelar Pangeran Mangkubumi Sukowati. Menurut

Pigeund dan Adam dimajalah tahun 1940 (1978 : 7) : Sri Sultan

Hamengkubuwono I mendapat julukan de bowmeester van zijn broer Sunan

Pakubuwono II (arsitek dari kakanda Sri Sunan Pakubuwono II). Beliau

membuat arsitektur Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang arsitekturnya ada

kemiripannya dengan arsitektur Kasunanan Surakarta. Satu hal yang

membedakan adalah bagian utama dari bagian-bagian penting di Keraton

Kasultanan Yogyakarta dibuat lebih megah dan memberi kesan yang lebih

berwibawa daripada Kasunanan Surakarta. Keraton Yogyakarta yang berlatar

belakang budaya Islam pada bangunannya banyak dijumpai unsur-unsur

kebudayaan Hindu. Pola dasar pendirian bangunan pada komplek Keraton

Yogyakarta menggunakan unsur kebudayaan Hindu, ini tampaknya memang

begitu menonjol di dalam proses akulturasi dengan kebudayaan yang sedang

29
berkembang di Keraton Yogyakarta yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Tata

letak maupun pengelompokan bangunan pada komplek Keraton Yogyakarta

mempunyai kesamaan dengan sistem yang digunakan pada komplek Keraton dari

periode Hindu (Punto H, 2001 : 209). Bentuk-bentuk bangunan yang terdapat

dalam komplek Keraton Yogyakarta mirip sekali dengan bentuk bangunan

konstruksi kayu yang terdapat dalam relief candi, yang tentunya menggambarkan

bangunan yang digunakan oleh masyarakat pada periode klasik (Punto H, 2001 :

209). Demikian halnya beberapa hiasan dan dua buah arca dwarapala yang

terdapat pada bangunan dalam komplek Keraton Yogyakarta, mempunyai

kesamaan dengan hiasan dan arca dwarapala yang terdapat pada peninggalan-

peninggalan dari periode klasik.

Bentuk-bentuk bangunan yang terdapat di komplek Keraton Yogyakarta

mirip sekali dengan bentuk bangunan kontruksi kayu yang terdapat dalam relief

candi, yang tentunya menggambarkan bangunan yang digunakan oleh

masyarakat pada periode klasik. Beberapa hiasan dengan motif flora, fauna,

ataupun alam banyak dijumpai pada bangunan dalam komplek Keraton

Yogyakarta, antara lain pada gapura, atap bangunan, tiang, umpak, baturana dan

sebagainya. Hiasan-hiasan tersebut merupakan pengisi bidang dan hiasan yang

mempunyai arti tertentu. Oleh karena itu, jelaslah bahwa unsur-unsur

kebudayaan Hindu masih tampak pada komplek bangunan Keraton Yogyakarta

yang kemudian berakulturasi dengan kebudayaan yang sedang berkembang.

30
Adapun bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton

Yogyakarta sebagian besar menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan

sebagian diantaranya menggunakan konstruksi kayu. Bangunan-bangunan

tersebut menggunakan atap tunggal (atap susun) yang berbentuk limasan, tajug,

kampung (pelana) dan joglo. Bagian tubuh bangunan ada dua bentuk, yaitu

merupakan bangunan terbuka (tanpa dinding penutup ruangan) dan merupakan

bangunan yang menggunakan dinding penutup tubuh (Punto H, 2001 : 203)

Di dalam Keraton Yogyakarta terdapat banyak bangunan, halaman, dan

lapangan. Komplek Keraton terletak ditengah-tengah, tetapi daerah Keraton

membentang dari sungai Code sampai sungai Winanga, dari utara ke selatan, dari

Tugu sampai Krapyak.

Tujuh buah halaman yang terdapat dalam komplek Keraton disusun

berderet dari utara dan selatan. Antara halaman yang satu dengan halaman yang

lain dipisahkan oleh dinding penyekat dan dihubungkan dengan pintu gerbang.

Ketujuh buah halaman tersebut masing-masing berisi bangunan dan nama-nama

halaman kebanyakan disesuaikan dengan nama bangunan yang terdapat

didalamnya.

Adapun halaman yang terdapat di Keraton Yogyakarta, antara lain :

1. Halaman sitihinggil utara

2. Halaman kemandungan utara

3. Halaman srimanganti

4. Halaman pusat Keraton Yogyakarta

31
5. Halaman kemagangan

6. Halaman kemandungan selatan

7. Halaman sitihinggil selatan

Keraton Yogyakarta merupakan komplek bangunan pusat pemerintahanan

Kerajaan yang terletak di pusat ibu kota Kasultanan Yogyakarta. Membicarakan

komplek bangunan Keraton Yogyakarta sebagai pusat Kerajaan, tidak dapat

terlepas dari unsur-unsur bangunan yang terdapat dilingkungan komplek

Keraton, diantaranya benteng, parit keliling, alun-alun, masjid Agung, dan

komplek Tamansari (Punto H, 2001 : 46).

Unsur-unsur bangunan pada komplek Keraton :

1. Benteng

Benteng yang mengelilingi ibu kota Kerajaan disebut benteng Baluwarti,

didirikan tahun 1782 Masehi. Di dalam benteng, selain istana Sri Sultan dan

komplek Tamansari dijumpai pula bangunan-bangunan, diantaranya tempat

tinggal para bangsawan, tempat tinggal Abdi Dalem dan tempat tinggal

kelompok prajurit Keraton.

Bekas-bekas bangunan yang sekarang masih utuh adalah dinding sisi

selatan, bagian sudut tenggara, sudut barat daya dan sudut barat laut. Dilihat

dari bekas-bekasnya, benteng pertahanan kota ini mempunyai denah segi

empat, tiap-tiap sisinya menghadap kearah empat mata angin utama.

Pada sisi utara terdapat dua buah gapura (plengkung), sedang pada sisi

timur, selatan, dan barat masing-masing terdapat sebuah gapura (plengkung).

32
Pada tiap-tiap sudutnya terdapat gardu pengintai yang disebut tulak tala

(bastion) dan sekarang yang masih utuh adalah bagian sudut tenggara, barat

daya dan barat laut, sedangkan bagian timur laut sudah tidak ada.

2. Parit Keliling

Parit yang disebut dengan jagang merupakan saluran air yang

mengelilingi pusat kota Yogyakarta kuno. Parit keliling ini terdapat

disepanjang dinding benteng bagian luar dan berdenah segi empat. Panjang

parit sama dengan panjang dinding benteng, yaitu tiap sisinya lebih kurang

satu kilometer.

3. Alun-alun

Alun-alun adalah tanah lapang yang terdapat di depan dan di belakang

komplek Keraton, yang di depan disebut alun-alun utara, sedangkan yang di

belakang disebut alun-alun Pangkeran. Alun-alun selatan berfungsi sebagai

tempat latihan baris-berbaris para prajurit untuk persiapan upacara kerajaan,

tempat upacara pemberangkatan jenazah dan sebagainya.

4. Masjid Agung

Bangunan masjid ini terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian masjid yang

merupakan bagian utama yang dibangun pada tahun 1773 semasa

pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, raja pertama Kerajaan Mataram

Yogyakarta, sedangkan bagian kedua adalah serambi yang dibangun pada

tahun 1775 juga atas prakarsa Hamengkubuwono I.

33
Bangunan masjid Agung kondisinya masih baik dan sampai saat ini

masih dipergunakan sebagai tempat ibadah sholat dan upacara-upacara yang

berhubungan dengan agama Islam. Bentuk bangunan masjid Agung berbentuk

tajug ceblokan, yaitu bangunan dengan atap berbentuk tajug disangga oleh

beberapa tiang yang langsung berdiri di atas lantai bangunan, tanpa umpak.

Atap bangunan terdiri dari tiga tingkat (atap tumpang) yang disangga oleh 36

tiang, empat buah diantaranya adalah tiang saka guru (guru utama). Bangunan

berdiri di atas lantai yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 27,5 X 27,5

meter dan tebalnya 1,5 meter. Di samping kiri dan kanan bangunan terdapat

serambi samping yang disebut pawestren, yaitu sebagai tempat

bersembahyang bagi kaum wanita. Pada puncak atap masjid terdapat hiasan

kamuncak yang disebut mustaka.

Di bagian depan masjid terdapat serambi yang luas dan bersuasana teduh,

sedangkan di halaman masjid terdapat bangunan yang disebut pagongan,

tempat untuk menyimpan gamelan Sekaten yang digunakan sejak berabad-

abad lamanya untuk mengumpulkan masyarakat sekitar. Masjid Agung

Yogyakarta memiliki perpaduan arsitektur bernafaskan Islam dan Jawa.

Dibeberapa bagian masjid terdapat ukiran kayu dan tulisan aksara Jawa.

5. Tamansari

Tamansari adalah sebuah komplek yang berisi bangunan, kolam, kebun,

dan taman. Tamansari didirikan tahun 1765 Masehi oleh Sri Sultan

Hamengkubuwono I. Adapun fungsi Tamansari sebagai tempat berekreasi,

34
bercengkrama atau bersenang-senang Sri Sultan dengan seluruh keluarganya.

Peninggalan-peninggalan di dalam komplek Tamansari dapat dikategorikan

berupa gapura, gedung, kolam-kolam kecil, urung-urung dan kolam segaran.

B. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sebagai Pusat Pemerintahan dan Pusat


Kebudayaan Jawa

Keraton seringkali identik dengan istana, namun di sisi lain Keraton juga

secara implisit mengandung nilai keagamaan, filsafat, dan kultural. Jika merunut

perjalanan sejarah dari awal sampai berkembangnya Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat telah menunjukkan fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat

kebudayaan Jawa. Ini berarti Keraton telah memenuhi segi dimensi fungsional.

a. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pusat Pemerintahan

Keraton terdiri dari gedung-gedung (gedung yang berdinding), bangsal-

bangsal (gedung yang tidak berdinding). Masing-masing bagian dibatasi tembok

tinggi, tebal dan kokoh. Bangunan-bangunan yang terdapat dalam Keraton

mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam menempatkan kondisi Keraton

sebagai pusat pemerintahan. Dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX - Sri

Sultan Hamengkubuwonono X memimpin di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, di sini Sri Sultan bertindak sebagai pemimpin pemerintahan yang

membawahi struktur organisasi Kasultanan yang hierarkis untuk memimpin

masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah yang

diberi kewenangan istimewa untuk mengatur pemerintahan sendiri namun tetap

masuk kedalam wilayah Indonesia.

35
Pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai

wewenang untuk mandiri dalam mengelola haknya sebagai daerah otonomi

dengan menjadikan Keraton sebagai pusat pemerintahan, layaknya negara yang

membawahi daerah-daerah yang masuk kedalam kekuasaannya.

Secara umum komplek Keraton mencakup beberapa bangunan, yaitu

bangunan depan dan bangunan dalam Keraton (Morisson, 2002 : 185). Bangunan

depan terdiri atas bangsal pagelaran yang diapit oleh bangsal pemandangan,

tempat raja menyaksikan prajurit Keraton melaksanakan latihan keprajuritan di

alun-alun, dan bangsal pengapit atau bangsal pasewakan, tempat Raja

memberikan perintah-perintah kepada para senapati. Selain itu, bangunan depan

juga memiliki bangsal pengrawit sebagai tempat Raja melantik patih dan pejabat

Kerajaan lainnya, dan siti hinggil sebagai tempat pelaksanaan upacara penobatan

Raja.

Memasuki bangsal besar siti hinggil suasana terasa begitu megah karena

dahulu di tempat ini dilakukan penobatan para Sultan Mataram, termasuk

penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Di tengah-tengah bangsal besar itu

terdapat bangsal kecil yang terukir indah disebut bangsal manguntur tangkil yang

dipergunakan sebagai tempat singgasana Sultan.

Bangunan dalam Keraton terdiri atas antara lain Gapura Keraton yang

memiliki patung arca yang menyerupai Dwarapala pada sisi kiri dan kanannya.

Bangsal Kencono merupakan bangsal upacara kebesaran Keraton untuk

menerima tamu agung kerajaan, Bangsal Proboyekso digunakan untuk

36
menyimpan benda-benda pusaka Keraton, Kesatrian yaitu bangunan tempat

kediaman para putera Raja, Kaputren yaitu bangunan tempat kediaman puteri

Raja, Gedong Kuning yaitu merupakan kediaman pribadi Sultan beserta

keluarganya.

Pusat Keraton terletak pada aula kedatangan (bangsal kencono) yang

memiliki tiang penyangga besar dari kayu jati berukir dan langit-langit (plafon)

penuh dengan ukiran yang rumit. Pada langit-langit (plafon) terdapat hiasan,

diantaranya jenis suluran tumbuhan, patran, motif bunga (daun), kuncung

bermotif bunga padma dengan daun-daun bunganya berwarna merah (Punto H,

2001 : 84). Sebagian besar dari ruangan Keraton dipakai sebagai museum yang

menyimpan koleksi barang-barang Kerajaan yang sangat berharga, seperti

hadiah-hadiah yang diberikan oleh berbagai Kerajaan di Eropa, tempat pusaka

Kerajaan, serta instrumen musik gamelan.

b. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pusat Kebudayaan Jawa

Kebudayaan merupakan warisan sosial yang memiliki warga masyarakat

pendukungnya. Agar masyarakat pendukung terutama generasi mudanya

mempelajari hal tersebut ada beberapa cara dan mekanisme tertentu, antara lain

dengan penyelenggaraan upacara tradisi Keraton.

Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para

warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan

yang diharapkan. Upacara tradisional mengandung aturan-atuaran yang wajib

dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.

37
Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun-temurun

sehingga mempunyai peranan dapat melestarikan ketertiban hidup dalam

masyarakat (Utomo, 2004 : 1). Mereka patuh terhadap peraturan-peraturan

tersebut karena adanya sangsi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian,

upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis. Akan

tetapi, wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah

lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat.

Di samping sebagai pranata sosial, upacara tradisional juga sebagai alat

komunikasi antar sesama manusia dan antar dunia yang nyata dengan dunia yang

ghaib. Pemahaman sebagai alat komunikasi antara dunia nyata dengan dunia

ghaib akan lebih terlihat nyata melalui pemahaman simbol-simbol. Pesan-pesan

ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,

dengan simbol-simbol disampaikan kepada seluruh warga masyarakat

pendukungnya. Sehingga upacara Tradisi Sekaten itu merupakan sarana

sosialisasi, terutama kepada generasi muda masyarakat pendukungnya yang

masih harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan dalam kehidupan

masyarakat.

Upacara Tradisi Sekaten dilaksanakan tanggal 12 bulan Maulud Nabi

Muhammad SAW. Tujuan dilaksanakannya upacara ini untuk memenuhi fungsi

tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis (Soelarto, 1996: 24).

38
Dengan harapan masyarakat penyelenggara Sekaten akan memperoleh nilai-nilai

budaya yang bermanfaat karena telah mematuhi norma dari para leluhurnya.

Orang Jawa adalah penduduk asli bagian Tengah dan Timur Pulau Jawa

yang berbahasa Jawa (Suseno, 2001 : 1). Dalam wilayah kebudayaan Jawa

sendiri dibedakan antara penduduk pesisir utara yang mempunyai hubungan

perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan

bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah-daerah

Jawa pedalaman, sering juga disebut “kejawen” yang mempunyai pusat budaya

dalam kota-kota Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, termasuk Karesidenan

Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.

Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial : (1) wong cilik

atau orang kecil, terdiri dari sebagian besar masa petani dan mereka yang

berpendapatan rendah dikota, (2) kaum priyayi termasuk didalamnya pegawai

dan orang-orang intelektual. Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil

tetapi tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat atau

ndara (Suseno, 2001 : 12).

Kaum priyayi tradisional hampir seluruhnya harus dianggap Jawa

Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengakui Islam (Suseno, 2001 : 13).

Mereka banyak berasal dari pengikut-pengikut paguyuban, yaitu kelompok-

kelompk yang mengusahakan kesempurnaan hidup manusia melalui praktek-

praktek asketis, meditasi, dan mistik. Kaum priyayi adalah pembawa kebudayaan

Kota Jawa tradisional yang mencapai tingkat sempurna khususnya di Keraton

39
Ngayogyakarta Hadiningrat (Suseno, 2001 : 13). Mereka juga mengembangkan

Tradisi leluhur “tradisi Sekaten” yang mengandung nilai religius dan tradisional

(Bernas, 13 Juni 2004). Kaum priyayi sebagai pembawa kebudayaan kota Jawa

tradisional yang mencapai tingkat sempurna di sekitar Keraton Yogyakarta

sampai sekarang masih mengembangkan bentuk kesenian, tradisi dan budaya

Jawa (Suseno, 2001 :13). Usaha pengembangan ini selaras dengan cita-cita

estetis dan religius zaman Hindu yang masih dijalankan oleh kaum priyayi.

Yogyakarta disebut kota Kerajaan karena merupakan ibukota bekas

kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi tempat

berkembangnya kebudayaan seni, tradisi Keraton, dan sastra Jawa (Suseno, 2001

: 12). Pertunjukkan gamelan, wayang kulit, lagu-lagu Jawa, dan tarian klasik

kerap diadakan disalah satu ruangan Keraton (Morisson, 2000 : 186).

Diantaranya ruangan yang dipakai untuk pertunjukkan gamelan namanya

Bangsal Srimanganti, Bangsal Kencono, dan Bangsal Mandalasana. Ruangan

untuk pertunjukkan wayang kulit namanya Bangsal Kencono dan Bangsal

Kemagangan. Sedangkan untuk pertunjukkan tarian klasik di Bangsal Kencono

dan Bangsal Ksatrian. Perannya yang dominan dalam sejarah Jawa telah

menjadikan kota ini sangat berpengaruh. Wibawa dan pengaruh Yogya sangat

luas jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Yogya adalah kota yang bangga

dengan budaya dan tradisinya yang terpelihara selama ini.

Meskipun budaya Jawa dalam banyak hal masih nampak kental dalam

kehidupan masyarakat Yogyakarta, namun demikian masyarakatnya akomodatif

40
terhadap masuknya unsur-unsur budaya baru. Justru dalam keadaan yang

demikianlah, Yogyakarta menjadi sebuah daerah Istimewa yang cukup maju

dimana masyarakatnya mau mengadopsi unsur-unsur luar yang tidak merugikan,

tetapi tanpa harus meninggalkan unsur-unsur budaya miliknya sendiri.

Perkembangan zaman dan semangat baru yang hendak diemban oleh

Keraton Yogyakarta menuntut “kelegawaan dan kejembaran” pikiran untuk

melaksanakannya. Sebagai salah satu dari keragaman tradisi Keraton, Sekaten-

pun harus bisa dijadikan tuntunan dan tontonan, keduanya harus tetap

berdasarkan pada tujuan semula diadakannya perayaan Sekaten. Jangan sampai

kepercayaan masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur

tontonannya. Perayaan Sekaten tidak boleh semena-mena, spiritnya harus dijaga

antara perimbangan dan proporsi keduanya (tuntunan dan tontonan) harus

terjaga.

Suasana tradisional Jawa merupakan ciri Yogya yang sangat kuat.

Yogyakarta dipimpin oleh seorang Sultan yang memiliki istana (Keraton) yang

menjadi pusat kehidupan tradisional masyarakat Jawa (Morisson, 2002 : 180). Di

sinilah bahasa Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan dari sinilah

adat dan tradisi Jawa lahir dan dikembangkan. Yogya adalah tempat yang paling

bagus bagi mereka yang tertarik dengan tradisi dan budaya Jawa dan ingin

mempelajarinya, karena di Yogya terdapat Keraton sebagai tempat pusat

kebudayaan Jawa berkembang.

41
42
42

BAB III

KEHIDUPAN ABDI DALEM PADA MASA PEMERINTAHAN SRI


SULTAN HAMENGKUBUWONO IX – SRI SULTAN
HAMENGKUBUWONO X

Abdi Dalem sebagai organisasi sosial di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat masa pemerintahan Hamengkubuwono IX – Hamengkubuwono X

selama ini telah menjalankan fungsinya dan berperan dalam pengembangan

Kebudayaan dan Tradisi Keraton seperti Sekatenan.

Jika melihat teori Fungsionalisme Struktural oleh Talcott Parsons

yang mengemukakan pandangan bahwa setiap sistem masyarakat tersusun dari

komponen-komponen yang terintegrasi secara baik. Dimana setiap komponen-

komponen dalam sistem mempunyai fungsi, yaitu memberikan kontribusi

terhadap pemeliharaan keutuhan dari sebuah sistem (Pelly, 1994 : 60). Mereka

mempunyai hubungan yang terdiri dari komponen-komponen yang saling

berhubungan. Jika dihubungkan dengan teori tersebut, maka Abdi Dalem di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan komponen-komponen dari

sistem di Keraton. Sebagai komponen dari sistem yang menempati lapis ketiga

dalam susunan kelas di Keraton, Abdi Dalem bekerja pada administrasi

Kasultanan maupun pemerintahan. Abdi Dalem bekerja di Keraton dengan

prinsip sukarela, artinya mereka bekerja atas kemauan sendiri dengan jumlah

honor yang sangat kecil. Mereka bekerja dengan tujuan untuk mencari berkah

dalem Keraton (Mulyani, 2000 : 160).

Sepanjang perjalanan sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,

Abdi Dalem berperan dalam pengembangan kebudayaan dan tradisi Keraton.


43

Sehingga Sri Sultan sangat memperhatikan sekali kehidupan Abdi Dalem

walaupun tidak dalam bentuk materi.

Abdi Dalem lebih cenderung pada orientasi pengabdian terhadap

Sultan. Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berasal dari rakyat

biasa dan dari Pegawai Pemda DIY yang memang mengabdikan diri pada

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Mulyani, 2000 : 36).

A. Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Hamengkubuwono IX memerintah sejak tanggal 18 Maret 1940-3

Oktober 1988. Di dalam Keraton beliau adalah seorang Raja yang tetap

menjunjung tinggi semua adat istiadat, etika, falsafah, yang berlaku di Keraton

sejak lebih dari 200 tahun silam (Mulyani, 2000 : 30). Dalam tata krama bagi

kerabat Keraton dan Abdi Dalem masih tetap berlaku tradisi Jawa seperti cara

berpakaian adat Jawa. Abdi Dalem masih tetap mengenakan baju pranakan

yang dilengkapi dengan samir, ikat kepala dan keris (Mulyani, 2000 : 30-31).

Suasana di kantor Yogya berbeda dengan pemerintahan modern lain,

Abdi Dalem duduk bersila di atas pasir yang memakai alas tikar dan ada yang

tidak memakai alas. Mereka menggunakan bahasa Jawa yang paling halus

untuk dituturkan (Kromo Inggil) dengan sangat egaliter. Penjaga pintu

gerbang Keraton tetap berpenampilan tradisional dengan perlengkapan dan

senjata lama, seperti : tombak, pedang, dan keris. Abdi Dalem sebagai

pegawai Keraton melakukan tugas dengan penuh disiplin dan setia serta

menjunjung budaya dan tradisi Keraton Yogyakarta (Mulyani, 2000 : 31).


44

Abdi Dalem merupakan suatu pengabdian terhadap tuan atau

majikannya. Sedangkan arti Abdi Dalem Keraton Yogyakarta bagi mereka

merupakan suatu pengabdian para Abdi Dalem sebagai abdining kanjeng

sinuwun, yaitu abdinya Sultan, dan dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan

kepada Sultan dan penguasa alam ini, setia terhadap yang menguasai keadaan

alam ini dan setia dengan penguasa yang dapat diartikan sebagai Raja Keraton

Yogyakarta (Afrianto, 2002 : 39).

“ Abdi Dalem menika abdining kanjeng sinuwun, inggih menika setia


kalian sing nguasai kawontenan, setia kalian penguasa, nyuwun intisarinipun
injih menika bibit lan bobot” ( Wawancara dengan KMT Widyoseputro, 10
April 2005).

Menjadi Abdi Dalem di Keraton harus melalui proses dan seleksi

ketat. Jabatan Abdi Dalem diperoleh seseorang setelah berhasil melalui seleksi

yang pada awalnya dimulai dengan kegiatan magang tanpa mendapat gaji.

Seseorang yang orang tuanya telah bekerja sebagai Abdi Dalem akan diterima

bekerja di Keraton dengan seleksi dan syarat yang tidak begitu sulit.

Persyaratannya yaitu harus bisa berbahasa Jawa dengan baik, sopan santun di

dalam tindakan, dan dapat disiplin. Selanjutnya dalam penempatannya

disesuaikan dengan pekerjaan dan keahlian masing-masing. Sulitnya untuk

menjadi Abdi Dalem di Keraton terletak pada kegiatan magang tanpa

mendapat gaji dan harus membeli perlengkapan sendiri (pakaian, sinjang atau

jarik, samir dan sebagainya) tanpa disediakan oleh Keraton, di sini seseorang

bisa diterima menjadi Abdi Dalem di Keraton harus diuji ketulusan hatinya

untuk mengabdi terhadap Keraton.


45

a. Struktur Organisasi dan Tugas Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat

Ngarso
Dalem

Sekretaris KH.
Sriwandono

Parentah Hageng
Keraton

Tepas Magang
Dwarapura

Koordinator I Koordinator II Koordinator III Koordinator Kordinator V


1. KH.Sriwandono 1.KHP. 1.KHP. Purorekso IV 1.KWD.Keparak
2. KWD. Pengulon Widyobudoyo 2.KHP.Wahono 1.Tepas Para Gusti
3. TepasDarah 2.KHP. Sarto Kriyo Rantamarto 2.Kelurahan
Dalem .Kridomardowo 3.Tepas 2.Tepas Puteri
4. Kalurahan 4.KHP. Halpitopuro Danartopuro
Benawan Puroyokoro 4.Tepas 3.Tepas
5. Kalurahan 5.Tepas Keprajuritan Witandono
Pangeran Banjarwilopo 5.Tepas Scurity
Hadikusuman 6.Tepas Museum
6.Kesehatan
6. Kabupaten 7.Tepas
Puroloyo Imogiri Pariwisata

7. Kabupaten
Puroloyo
Kithaageng

Sumber : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat


46

Dengan melihat teori Fungsionalisme Struktural “Talcott Parsons”

dalam bukunya Usman Pelly (1994 : 60), yang mengemukakan pandangan

bahwa setiap sistem masyarakat terdiri dari komponen-komponen atau unsur-

unsur yang terintegrasi secara baik. Sistem harus mengatur antar hubungan

komponen-komponen yang menjadi bagiannya (Ritzer dan Goodman, 2004 :

121). Jika dihubungkan dengan teori tersebut, dengan melihat bentuk bagan

maka Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibagi dalam

komponen-komponen yang menjalankan kerja dibawah koordinator

Pengageng. Setiap komponen mempunyai tugas masing-masing yang pada

hakekatnya menjadi bagian dari sistem di Keraton . Terlihat sekali bentuk

sistem yang dinamis tersusun secara hierarkis.

Jika dilihat dari bentuk bagan, maka Abdi Dalem masuk dalam

sistem yang paling bawah. Mereka bekerja dibawah koordinir Pengageng.

Pengageng membawahi personalia dari setiap tepas (kantor) dan caos (piket).

Struktur sistem tersebut menunjukkan bahwa permasalahan yang ada

di Keraton cukup banyak dan rumit. Oleh karena itu dibuat koordinator yang

masing-masing membawahi bagian kerja yang saling berkaitan. Masing-

masing bagian itu memiliki carik (sekretaris) yang bertugas dalam :

• Mengelola pembagian gaji

• Mengelola absensi

• Mengelola jalannya bagian kerja

• Menerima dan melayani tamu


• Melaksanakan tugas dan kesekretariatan
47

Masing-masing Kawedanan Hageng, tepas dan koordinator dipimpin

oleh kerabat Sultan. Sementara itu, pelaksana tugas masing-masing

kawedanan dan tepas tersebut dilaksanakan oleh pegawai Keraton yaitu Abdi

Dalem.

Dari bagan struktur organisasi tersebut, masing-masing komponen

memiliki tugas sebagai berikut :

• Ngarso Dalem yaitu pemegang kekuasaan tertinggi, penguasa

tunggal.

• Kawedanan Hageng Sri Wandono yaitu sekretariat

pemerintahan.

• Parentah Hageng Keraton yaitu mengkoordinir seluruh

komponen yang ada di Keraton. Dalam hal ini berkaitan

dengan tugas Abdi Dalem, yaitu :

ƒ Kawedanan Hageng Punokawan (KHP)

Widyobudoyo bertugas dalam bidang kebudayaan.

ƒ KHP. Purorakso bertugas dalam bidang keamanan.

ƒ KHP. Kridhomardowo bertugas dalam bidang


kesenian.
ƒ KHP. Purakoro bertugas dalam bidang
perbendaharaan (menjaga dan memelihara pusaka
Keraton).
ƒ KHP. Wahono Sarto Kriyo bertugas dalam bidang
transportasi dan pekerjaan (tenaga).
ƒ Tepas Rantamarto bertugas dalam bidang

perencanaan keuangan.
48

ƒ Tepas Danartopuro bertugas dalam bidang

penerimaan, pengeluaran, dan penyimpanan uang.

ƒ Tepas Halpitopuro bertugas dalam bidang

pembelanjaan seluruh kebutuhan.

ƒ Tepas Dwarapuro bertugas dalam bidang penghubung

Keraton dengan pihak-pihak luar Keraton.

ƒ Tepas Darah Dalem bertugas dalam pemberian gelar

keturunan.

ƒ Tepas Banjarwilopo bertugas dalam bidang penataan

buku-buku tidak termasuk manuskrip.

ƒ Tepas Pariwisata bertugas dalam bidang pelayanan

terhadap para wisatawan.

ƒ Tepas Keprajuritan bertugas sebagai kelengkapan

kebesaran Keraton, bukan untuk berperang.

ƒ Kawedanan Pengulon bertugas dalam bidang

keagamaan.

ƒ Kabupaten Puroloyo Kitho Ageng bertugas menjaga

makam kerabat Raja di Kotagede.

ƒ Kabupaten Puroloyo Imogiri bertugas menjaga

makam kerabat Raja di Imogiri.

ƒ Babadan Wiratama bertugas dalam bidang

kesejahteraan (asuransi).
49

ƒ Babadan Museum bertugas menjaga dan memelihara

museum. Setiap bidang dikoordinir oleh Sentana

Dalem yang memiliki beberapa staf yang terdiri dari

Abdi Dalem dari tingkat terendah sampai tingkat

tertinggi.

Di Keraton Yogyakarta, para Abdi Dalem mengerjakan berbagai

tugas- tugas dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab terhadap

pemimpinnya yaitu Sultan. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta jumlahnya

mencapai ribuan orang bahkan lebih dengan berbagai tugas dan

pengabdiannya masing-masing. Oleh karena itu Abdi Dalem Keraton

Yogyakarta dibagi dalam beberapa jenis serta tugasnya (Afrianto, 2002 : 40),

yaitu :

1. Abdi Dalem Punokawan

Yaitu Abdi Dalem yang berasal dari rakyat biasa bukan Pegawai

Pemda DIY. Mereka sengaja ingin mengabdikan diri di Keraton

Yogyakarta dan Sri Sultan.

Abdi Dalem Punokawan dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Abdi Dalem Punokawan Sowan

Yaitu para Abdi Dalem punokawan yang bertugas di tepas

(kantor), setiap hari masuk kerja pada pukul 09.00-14.00,

kecuali hari libur.


50

b. Abdi Dalem Punokawan Caos

Yaitu Abdi Dalem Punokawan yang masuk kerja hanya selang

3 hari sekali, 7 hari sekali, 10 hari sekali, dan 12 hari sekali

dalam setiap bulannya. Abdi Dalem ini bertugas menjaga

beberapa tempat selama satu hari satu malam, yaitu : di Regol

Keben, Regol Taman, Regol Magangan, Dan Regol Gapuro.

2. Abdi Dalem Keparak

Yaitu Abdi Dalem perempuan yang umumnya menunaikan

kewajibannya di Keraton kilen (keputren). Abdi Dalem Keparak

umumnya bertugas menyiapkan piranti seperti sesaji kalau ada acara-

acara Upacara Keraton. Seperti pada Upacara Miyos Dalem dalam

rangkaian Sekaten Abdi Dalem Keparak membuat udik-udik

(Wawancara dengan Ny KRT Tejonegoro, 19 April 2005).

Selain Abdi Dalem menjalankan tugas di dalam Keraton, Sri Sultan

juga memberi kebebasan para Abdi Dalem untuk bekerja di tempat-tempat

lain. Seperti halnya pada Abdi Dalem caos yang hanya bekerja di Keraton

pada hari-hari tertentu saja sesuai dengan jadwal piketnya dapat menggunakan

sisa waktunya untuk bekerja di luar Keraton (ada yang sebagai pegawai

kantor, tukang kayu, penjahit, pedagang dan masih banyak yang lainnya)

asalkan kewajibannya bekerja di Keraton dipenuhi dulu. Kebijaksanaan ini

dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga Abdi Dalem sendiri

(Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 10 April 2005).


51

b. Jam Kerja Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sesuai jam kerjanya maka ada dua macam jam kerja dari Abdi

Dalem, diantaranya :

a) Abdi Dalem yang bertugas di tepas (kantor), setiap hari

masuk kerja dari pukul 09.00-14.00 WIB, kecuali hari

libur.

b) Abdi Dalem yang bertugas di caos (piket), tidak setiap

hari masuk kerja, Ada yang 3 hari sekali, 7 hari sekali, 10

hari sekali, dan 12 hari sekali dalam tiap bulannya.

Selain Abdi Dalem yang berseling kerjanya, juga ada Abdi

Dalem caos yang bekerja tiap hari yaitu Abdi Dalem caos

kantoran dibagian Pariwisata (Wawancara dengan KRT

Rintaiswara, 10 April 2005).

c. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Abdi Dalem bekerja dengan prinsip sukarela, artinya mereka mau

melakukan pekerjaan apa saja atas kemauan sendiri dengan gaji yang sangat

kecil. Mereka bekerja di Keraton dengan prinsip rame ing gawe sepi ing

pamrih untuk mendapat berkah dalem (Wawancara dengan MW Mandoyo

Citrolumakso,10 April 2005).


52

Adapun besar gaji Abdi Dalem periode akhir pemerintahan Sri

Sultan Hamengkubuwono IX, antara lain :

Gaji Bagi Abdi Dalem yang Bekerja di Tepas (Kantor)

No Pangkat Besarnya Gaji Per Bulan

1 Jajar Rp 150,00

2 Bekel Enom Rp 550,00

3 Bekel Tuwa Rp 750,00

4 Lurah Rp 1.450,00

5 Wedana Rp 2.750,00

6 Riyo Bupati Rp 2.950,00

7 Bupati Rp 3.150,00

8 Bupati Enom Rp 3.550,00

9 Bupati Kliwon Rp 4.000,00

10 Bupati Nayaka Rp 4.500,00

11 Kanjeng Pangeran Harya Rp 5.000,00

Gaji Bagi Abdi Dalem yang Bekerja di Caos (Piket)

No Pangkat Besarnya Gaji Per Bulan

1 Jajar Rp 60,00

2 Bekel Enom Rp 350,00

3 Bekel Tuwa Rp 450,00

4 Lurah Rp 550,00
53

5 Wedana Rp 650,00

6 Riyo Bupati Rp 750,00

7 Bupati Enom Rp 1.500,00

8 Bupati Rp 1.900,00

9 Bupati Kliwon Rp 2.400,00

10 Bupati Nayaka Rp 2.650,00

Sumber : Tepas Rantamarto Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Secara lahiriah jika dilihat besar gaji Abdi Dalem dari Keraton tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Abdi Dalem dan

keluarga, tetapi mereka tetap mau bekerja di Keraton. Adapun gambaran

hidup Abdi Dalem untuk bekerja di Keraton adalah :

a) Among Atmo Sumbogo (hidup mati dekat keraton).

b) Condro Boto (pelaksana pedaleman Keraton Yogyakarta).

c) Walijo (berkah setelah mengabdi di Keraton).

d) Medi Oetomo (madep mantep mengabdi terhadap Sultan).

d. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Golongan Abdi Dalem adalah semua pejabat Keraton dari tingkat

tertinggi sampai terendah yang bertugas membantu para bangsawan dalam

menjalankan tugasnya. Golongan Abdi Dalem terbentuk karena alasan

kepangkatan atau jabatan dengan sifat terbuka, artinya siapa saja dapat

menjadi Abdi Dalem dan bisa berubah kedudukannya karena kenaikan

pangkat. Pada masa Hamengkubuwono IX Abdi Dalem dan para bangsawan

yang mengabdi di Keraton memperoleh pangkat, kedudukan, dan gaji pepetan.


54

Kepangkatan Abdi Dalem masa pemerintahan Hamengkubuwono IX

berubah tidak tentu tergantung dari kerajinan, ketekunan, dan keberuntungan

Abdi Dalem. Jika Abdi Dalem bekerja sesuai tata tertib Keraton dan tidak

mempunyai kesalahan dalam menjalankan tugas maka pangkatnya ada

kenaikan sesuai jabatannya,tetapi tugasnya di Keraton tetap. Disisi lain jika

Abdi Dalem rajin bekerja maka Sri Sultan akan mempercepat Kenaikan

pangkatnya. Pada Hamengkubuwono IX pangkat Abdi Dalem naik setelah 4

atau 5 tahun mengabdi di Keraton (Wawancara dengan MW Mandoyo

Citrolumakso, 10 April 2005 ).

Namun jika Abdi Dalem berbuat kesalahan akan dipindahkan

ketugas yang lebih rendah. Itu tergantung dari kesalahannya, namun jika

kesalahannya parah sampai membuat citra Keraton menjadi buruk maka Abdi

Dalem akan dikeluarkan.

e. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Mengenai tempat tinggal Abdi Dalem, Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat memberi tanah untuk ditempati oleh Abdi Dalem yang masih

keturunan Keraton atau darah biru tapi tidak boleh dijual. Sedangkan untuk

Abdi Dalem yang bukan keturunan Keraton tinggal diluar tanah Keraton

(perumahan) yang diberi nama tanah Magersari.

Masa Hamengkubuwono IX tempat tinggal Abdi Dalem kebanyakan

diluar Keraton.
55

f. Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap Abdi Dalem


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Abdi

Dalem, Sri Sultan mendirikan lembaga pendidikan, yaitu :

1. Pedalangan Wayang Kulit yang diberi nama Habiranda.

Melalui lembaga pendidikan pedalangan tersebut telah banyak

meluluskan dalang dari Abdi Dalem. Banyak Abdi Dalem yang

merangkap pekerjaan, selain bekerja di Keraton juga berprofesi

sebagai dalang baik di Keraton maupun diluar sebagai dalang

panggilan, dengan demikian pendapatan ekonomi Abdi Dalem menjadi

bertambah.

2. Pendidikan Karawitan (menabuh gamelan).

3. Pendidikan Nyinden (lagu tradisional Jawa).

Pada masa pemerintahannya, sebagai bentuk perhatian Sri Sultan

Hamengkubuwono IX pernah juga memberi sesuatu terhadap Abdi

Dalem, antara lain :

a. Selama Sri Sultan Hamengkubuwono IX memerintah sudah tiga


kali memberi jarik atau sinjang terhadap seluruh Abdi Dalem
Keraton.
b. Memberi sembako dan uang zakat terhadap Abdi Dalem ketika
menjelang lebaran, dari jabatan tertinggi sampai terendah
semuanya mendapatkan.
c. Memberi sepeda sebagai inventaris bagi seseorang Abdi Dalem.
Ada juga pemberian sepeda bagi tiap tepas (kantor) untuk
memperlancar administrasi Keraton.
56

B. Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X

Hamengkubuwono IX meninggal dunia bulan Oktober 1988, ia

digantikan Pangeran Mangkubumi putera tertua dari 16 anak laki-laki

kemudian dilantik sebagai Sultan Hamengkubuwono X.

Sri Sultan Hamengkubuwono X menyandang tiga substansi yang

bersumber dari makna Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni (Mulyani,

2000 : 34).

Makna hamangku diaktualisasikan dengan membebaskan hati

dengan lebih banyak memberi daripada menerima (hakikat berbudi bawa

laksana). Hamengku mengandung makna ngemong (hangrengkuh),

melindungi tanpa membeda-bedakan golongan keyakinan dan agama (hakikat

ambeg adil paramarta). Hamengkoni mengandung makna pengayom yang siap

berdiri paling depan menjadi anutan dan tampil mengambil tanggung jawab

dengan segala resikonya atau ing ngarso sung tulodho (Mulyani, 2000 : 34).

a. Struktur Organisasi dan Tugas Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat

Sistem pemerintahan di Keraton Yogya dari Hamengkubuwono IX

– Hamengkubuwono X pada dasarnya banyak kesamaan, karena yang

dijalankan bentuk pemerintahan generatif secara turun-temurun. Berbeda

sekali dengan pemerintahan moderat seringkali terjadi perubahan

organisasi pemeritahannya.

Jika dibandingkan antara pemerintahan Hamengkubuwono IX dan


Hamengkubuwono X banyak sekali persamaannya. Baik pada organisasi
57

pemerintahannya maupun tugas dari Abdi Dalem banyak terdapat


kesamaan. Sedangkan perbedaannya terletak pada masa
Hamengkubuwono X yang memperbolehkan Keraton untuk menerima
Abdi Dalem Keprajan. Jadi masa Hamengkubuwono X ada tiga jenis Abdi
Dalem Keraton menurut jenis dan tugasnya (Afrianto, 2002 : 40), yaitu :
1. Abdi Dalem Punokawan

Yaitu : Abdi Dalem yang berasal dari rakyat biasa

bukan Pegawai Pemda DIY, yang memang sengaja ingin

mengabdikan diri di Keraton Yogyakarta dan Sri Sultan.

2. Abdi Dalem Keparak

Yaitu : Abdi Dalem perempuan yang umumnya

menunaikan kewajibannya di Keraton kilen (keputren).

3. Abdi Dalem Keprajan

Yaitu : Abdi Dalem yang berasal dari Pegawai

Pemerintah Propinsi DIY. Abdi Dalem Keprajan ini

terbagi dalam dua bagian, yaitu :

i. Abdi Dalem Keprajan Aktif

Yaitu : Abdi Dalem keprajan yang masih aktif di

Pemda DIY namun sesekali bertugas di Keraton Yogya,

misalnya : Wali Kota Kodya Yogyakarta dan Bupati

Gunung Kidul.
58

ii. Abdi Dalem Keprajan Caos Bekti

Yaitu : Abdi Dalem Keprajan yang sudah pensiun

dari Pemda DIY tetapi menunaikan kewajiban sowan

bekti setiap selang 12 hari pada jam 09.00-12.00.

Abdi Dalem Keprajan yang masih aktif bekerja dan

yang sudah pensiun ketika pertama kali bekerja di

Keraton pangkatnya Wedono tanpa mengawalinya

dengan proses magang. Khusus untuk Anggota Polri dan

TNI, ketika sudah menjadi Abdi Dalem pangkatnya

disamakan dengan PNS.

b. Jam Kerja Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sebenarnya lama jam kerja Abdi Dalem pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X sama. Perbedaannya

hanya karena masa pemerintahan Hamengkubuwono X membuka Keraton

untuk dunia luar, maka banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang

berkunjung ke Keraton. Bagian tepas pariwisata yang semula buka jam

09.00 dan tutup jam 14.00 WIB, kalau ada pengunjung tetap melayani

pengunjung sebagai guide sementara kantornya sudah tutup (Wawancara

dengan KRT Rintaiswara, 19 April 2005). .

Abdi Dalem guide di Keraton berbeda dengan guide yang berada

ditempat wisata pada umumnya, karena kebanyakan mereka memandu

pengunjung dengan penuh ikhlas tanpa mengharap imbalan. Dan jika ada

pengunjung yang memberi uang tip untuk Abdi Dalem guide maka mereka
59

akan menerima apa adanya tanpa meminta tambahan lagi. Semua itu

karena pengabdian yang tulus, walaupun mereka harus mendapat

tambahan jam kerja (Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 19 April

2005).

c. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Dengan menyesuaikan situasi dan kondisi perkembangan zaman,

Sri Sultan mengeluarkan peraturan kenaikan gaji Abdi Dalem walaupun

masih belum sesuai UMR. Pada hakekatnya kenaikan gaji ini nilainya

sama dengan masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX hanya

perbedaan zamannya saja.

Secara moral ini menjadi wujud perhatian Sri Sultan kepada Abdi

Dalem yang mengabdi di Keraton (Mulyani, 2000 : 35).

Gaji untuk Abdi Dalem diperoleh dari sumber dana yang berasal

dari subsidi pemerintah, hasil pariwisata, dan usaha-usaha Keraton (pabrik

gula, pabrik rokok, hotel dan lain sebagainya). Bagi Abdi Dalem yang

bekerja setiap hari di tepas mendapat gaji bulanan tetap dari Keraton.

Termasuk di dalamnya Abdi Dalem yang bekerja di sekretariat KHP, tepas

dan caos. Selain itu juga ada Abdi Dalem Koncobiru yang setiap hari

berangkat dan pekerjaannya membersihkan lingkungan Keraton.

Ada juga gaji harian yang diperoleh Abdi Dalem bagian tepas

pariwisata yang bertugas sebagai pemandu wisata. Ini tergantung jumlah

wisatawan yang dipandu setiap harinya.


60

Adapun besar gaji Abdi Dalem periode awal pemerintahan

Hamengkubuwono X (1989-sekarang), antara lain :

Gaji Abdi Dalem yang Bekerja di Kantor (Tepas)

No Pangkat Besarnya Gaji Per Bulan

1 Jajar Rp 4.600,00

2 Bekel Enom Rp 5.800,00

3 Bekel Tuwa Rp 6.900,00

4 Lurah Rp 8.800,00

5 Wedana Rp 13.300,00

6 Riyo Bupati Rp 15.900,00

7 Bupati Rp 19.000,00

8 Bupati Enom Rp 21.000,00

9 Bupati Kliwon Rp 25.000,00

10 Bupati Nayaka Rp 30.000,00

11 Kanjeng Pangeran Harya Rp 35.000,00

Gaji Bagi Abdi Dalem yang Bekerja di Caos (Piket)

No Pangkat Besarnya Gaji Per Bulan

1 Jajar Rp 2.300,00

2 Bekel Enom Rp 3.500,00

3 Bekel Tuwa Rp 4.600,00

4 Lurah Rp 5.600,00
61

5 Wedana Rp 7.800,00

6 Riyo Bupati Rp 8.800,00

7 Bupati Enom Rp 12.700,00

8 Bupati Rp 16.000,00

9 Bupati Kliwon Rp 21.000,00

10 Bupati Nayaka Rp 22.500,00

Sumber : Tepas Rantamarto Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Selain sistem gaji ada juga sistem pengupahan berupa pemberian

sejumlah uang bagi Abdi Dalem yang mendapat tugas sebagai utusan dari

Keraton seperti menerima dan melayani tamu Sri Sultan baik yang datang

secara individu maupun rombongan, sebagai utusan Keraton dalam

pameran kesenian dan budaya serta menjadi utusan Keraton dalam ajang

kesenian dan budaya baik dalam maupun luar negeri. Masa

Hamengkubuwono X juga ada pengupahan yang bersifat insidental. Sesuai

kebijakan Sri Sultan yaitu naik haji bagi Abdi Dalem atas biaya Keraton.

Jika diperhatikan secara umum sistem pengupahan di Keraton

hampir sama dengan pemerintahan modern tetapi penerapannya lebih

sederhana. Artinya gaji pokok tidak sesuai dengan jumlah UMR yang

diterapkan pemerintah. Ini karena pengabdian terhadap Sultan lebih

diutamakan dibanding orientasi komersial. Pembagian gaji pokok dari

Keraton “paring dalem” untuk kerabat Keraton dan Abdi Dalem setiap

bulan
62

disesuaikan dengan jenjang kepangkatan atau gelar (Wawancara dengan

KRT Suryoseputro, 10 April 2005).

d. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Setelah pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X, kenaikan

pangkat Abdi Dalam ditentukan tiga tahun sekali untuk Abdi Dalem yang

bertugas di tepas (kantor) dan lima tahun sekali untuk Abdi Dalem caos

(piket). Selain itu diikuti dengan persyaratan dari Abdi Dalem itu sendiri

yang memiliki kriteria seperti rajin bekerja, tekun dan berprestasi.

Mengenai kenaikan pangkat terdapat kesamaan antara

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X, yaitu ada dua sistem

kenaikan pangkat :

1. Kenaikan yang tetap (reguler)

Kenaikan yang didasarkan pada bektinya terhadap pekerjaan

Keraton.

2. Kenaikan yang spesial

Kenaikan yang diperoleh karena pemberian Sri Sultan, dimana

Abdi Dalem tersebut rajin bekerja sehingga membuat Keraton

menjadi maju. Sedangkan kenaikan yang lain diberikan terhadap

Abdi Dalem yang cacat tapi masih mau mengabdi di Keraton.

Kepercayaan mengabdi terhadap Keraton membuat banyak orang

berminat bekerja sebagai Abdi Dalem. Mereka yakin lingkungan

tempat tinggal mereka tidak bisa merubah kehidupan sosial ekonomi

mereka,
63

namun yang menyebabkan terjadinya perubahan pada Abdi Dalem

adalah setelah mereka bekerja sebagai Abdi Dalem di Keraton.

Mengenai Abdi Dalem masa pemerintahan Hamengkubuwono X

sebenarnya hampir sama dengan Abdi Dalem masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX.

Selain pemberian kenaikan pangkat, pada pemerintahan

Hamengkubuwono X juga melakukan penghentian terhadap Abdi

Dalem. Hal ini belum pernah dilakukan oleh pemerintahan

sebelumnya. Adapun Abdi Dalem yang dikeluarkan pada

Hamengkubuwono X karena hal-hal sebagai berikut :

1. Pocot : Abdi Dalem melakukan kesalahan yang

besar.

2. Miji tumpuk : Abdi Dalem yang dikeluarkan karena

berbuat kesalahan, dimana jarang masuk tetapi masih

tercantum namanya dan pangkatnya tidak naik.

3. Miji mulyo : Abdi Dalem yang tidak masuk kerja di


Keraton tetapi masih mendapat gaji. Misalnya : Abdi
Dalem yang telah lanjut usia.
e. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Pada pemerintahan Hamengkubuwono X hampir semua Abdi Dalem

tinggal diluar tanah Keraton. Tanah Keraton hanya ditempati oleh Abdi Dalem

keturunan kerabat Keraton (darah biru).


64

Berkaitan dengan tempat tinggal Abdi Dalem pada pemerintahan

Hamengkubuwono X ada pemberian tunjangan berupa peminjaman hak pakai

tanah milik Keraton (tanah magersari), bahkan dapat pula diberikan hak

pemilikan tanah namun harus didahului dengan surat permohonan.

f. Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono X terhadap Abdi Dalem


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Secara sepintas perhatian Hamengkubuwono X ada kesamaan

dengan Hamengkubuwono IX. Tetapi jika dilihat dari bentuk materi Abdi

Dalem masa Hamengkubuwono X lebih sering menerima berkah dalem dari

Sri Sultan, diantaranya :

a. Setiap Abdi Dalem mendapat kain batik yang coraknya

berbeda-beda disesuaikan dengan tepas (kantor) dan caos

(piket) tetapi harganya sama.

b. Selama Hamengkubuwono X memerintah sampai sekarang

sudah empat kali memberi jarit atau sinjang terhadap

seluruh Abdi Dalem Keraton. Termasuk pemberian ketika

puteri sulung Sri Sultan menikah.

c. Setiap Abdi Dalem mendapat baju pranakan dengan corak

sama (satu kali).

d. Sepeda sebagai inventaris bagi Abdi Dalem dan ada lagi

untuk setiap tepas (kantor). Ini untuk memperlancar

kegiatan administrasi di Keraton.


65

e. Sembako dan uang zakat ketika menjelang lebaran (Abdi

Dalem dari jabatan tertinggi sampai terendah semuanya

dapat).

Ada beberapa hal yang dilakukan Hamengkubuwono X ketika

memerintah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Beliau melakukan

perubahan organisasi intern Keraton yang belum sempat dilakukan oleh

almarhum ayahandanya. Misalnya : Membuka Keraton untuk dunia luar

termasuk berbagai kesenian dari luar Keraton yang dipadukan dengan

kesenian dalam Keraton. Jadi Keraton selain berfungsi sebagai tempat

bersemayam raja-raja dan ratu-ratu, pusat pemerintahan, pusat kebudayaan

juga berfungsi sebagai objek wisata. Suatu predikat tambahan, sehingga

Keraton Yogya mengemban empat fungsi sekaligus (Keraton : 9).

Adanya perubahan ini maka keluarga Keraton termasuk Abdi Dalem

merasakan perubahan yang sangat bermanfaat sekali. Khususnya untuk Abdi

Dalem tepas pariwisata. Jika pengunjungnya banyak, mereka akan mendapat

tambahan uang tip. Pada Hamengkubuwono X terjadi perubahan yang sangat

drastis. Keraton tidak lagi mempunyai banyak pujangga, mereka lebih banyak

mengembangkan ide-idenya diluar Keraton.

Dari uraian pada bab ini dapat disimpulkan, bahwa Abdi Dalem di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X banyak sekali

persamaannya. Perbedaannnya ada tapi tidak begitu signifikan.


66

A. Persamaan Antara Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan


Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X

1. Organisasi dan Tugas Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat

Struktur organisasi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

masa Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X banyak

terdapat kesamaan. Pada bagian tiap tepas termasuk caos

dikoordinir oleh Pengageng Keraton yang bertanggung jawab

terhadap kinerja dan tugas dari setiap kelompok Abdi Dalem.

Tugas Abdi Dalem masa Hamengkubuwono IX dan

Hamengkubuwono X masih tetap sama. Masing-masing kelompok

Abdi Dalem mempunyai tugas sesuai dengan tepas (kantor) dan

caos (piket) yang tetap, sesuai tugas yang mereka dapatkan ketika

mereka pertama kali bekerja atau mengabdi terhadap Ngarso

Dalem. Perlu diketahui juga bahwa tugas Abdi Dalem selalu tetap

tapi pangkatnya ada kenaikan. Sangat jarang sekali ada Abdi

Dalem yang pindah ke tepas atau ke caos lain. Kalaupun ada itu

hanya karena kejadian istimewa saja.

Pada dasarnya Abdi Dalem yang masuk di Keraton, awal

mereka masuk mereka sudah ditempatkan sesuai kemampuan dan

ketrampilan yang dimiliki Abdi Dalem.


67

2. Jam Kerja Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Lama jam kerja di Keraton masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X masih sama. Abdi

Dalem yang bekerja di tepas (kantor) mereka berangkat tiap hari

dari jam 09.00-14. 00, kecuali libur. Khusus untuk Abdi Dalem

yang kerja di caos (piket) tidak setiap hari kerja yaitu : ada yang 3

hari sekali, 7 hari sekali, 10 hari sekali dan 12 hari sekali. Mereka

bekerja terhitung satu hari satu malam.

3. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sistem kenaikan pangkat untuk Abdi Dalem terdapat

kesamaan, yaitu : sistem kenaikan pangkat yang tetap (reguler) dan

sistem kenaikan pangkat yang spesial. Antara pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X juga menetapkan

kenaikan pangkat dengan syarat dan kriteria seperti rajin bekerja,

disiplin, tekun, berprestasi, serta patuh terhadap tata tertib yang

ditetapkan Ngarso Dalem.

4. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Tempat tinggal Abdi Dalem masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X hampir semuanya

tinggal di luar tanah Keraton yang diberi nama tanah Magersari.

Ada juga ada Abdi Dalem yang tinggal di tanah Keraton

mereka adalah Kerabat Keraton atau Sentana Keraton yang masih

keturunan
68

Raja yang mempunyai keistimewaan dalam bidang – bidang

tertentu. Tapi jumlahnya sangat sedikit karena ada pembatasan.

B. Perbedaan Antara Abdi Dalem Masa Pemerintahan Sri Sultan


Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X

1. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Sebenarnya Abdi Dalem yang bekerja di Keraton dari

pemerintahan Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X

tidak pernah menilai seberapa besar gaji yang diterima tiap

bulannya, karena mereka bekerja dengan prinsip sukarela untuk

mendapatkan berkah dalem.

Mengenai besar gaji Abdi Dalem masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX tercantum dari jabatan tertinggi sampai

terendah mendapat gaji yang berbeda – beda sesuai dengan

pangkatnya. Sri Sultan mengupayakan lembaga pendidikan

bagi Abdi Dalem yang nantinya bisa menjadi tambahan gaji

bagi Abdi Dalem, diantaranya : pendidikan pedalangan wayang

kulit yang diberi nama Habiranda, pendidikan seni karawitan,

dan pendidikan nyinden.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono X, Sri Sultan

mengeluarkan peraturan kenaikan gaji Abdi Dalem sebagai

upaya meningkatkan kesejahteraan hidup Abdi Dalem. Ini

merupakan
69

bentuk perhatian Sri Sultan terhadap abdinya yang mengabdi

pada Ngarso Dalem.

Masa pemerintahan Hamengkubuwono X selain ada sistem

gaji bagi Abdi Dalem ada juga pemberian sistem pengupahan

berupa pemberian sejumlah uang bagi Abdi Dalem yang

mendapat tugas sebagai utusan Keraton, dan ada juga sistem

pengupahan yang bersifat insidental.

2. Perhatian Sri Sultan terhadap Abdi Dalem di Keraton


Ngayogyakarta Hadiningrat

Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan

Hamengkubuwono X pada dasarnya sama. Dengan

mendasarkan pada “Tahta bagi Kesejahteraan Sosial Budaya

Rakyat”. Tapi jika melihat secara lahiriah perhatian

Hamengkubuwono X jauh lebih besar, dimana beliau sudah

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat

ini.
70

BAB IV

PERANAN ABDI DALEM TERHADAP TRADISI SEKATEN DI KERATON


NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya

Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali

terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak

sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi

masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan

ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah

penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat Wali

Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak

berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas

dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan

Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda dan

rakyat hidup tentram.

Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan

pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selalu diselenggarakan

Raja Hindu-Budha secara turun temurun. Pada perkembangannya perayaan Sekaten

(Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta, Yogyakarta,

Cirebon, Banten dan Aceh. Khususnya di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon

perayaan Maulud disebut Sekaten (Mustafa, 2004 : 86).


71

Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan percaya

kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah

Rasul-nya (Mustafa, 2004 : 148). Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di

Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan

mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada

perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh

Sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh

banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari hasil interaksi antara

budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan Non Fisik. Proses

interaksi tersebut secara langsung mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa.

Masjid Agung Demak yang dibuat Wali Sanga tahun 1477 M yang semula

digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan dan tiap tahun digunakan sebagai

tempat Musyawarah tahunan Wali Sanga. Selain itu masjid ini juga digunakan

sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan Sekaten sebagai perwujudan

Selamatan Negara Tahunan yang dimeriahkan dengan ditampilkan dan ditabuhnya

gamelan pusaka Kanjeng Kiai Sekati ciptaan Sunan Giri yang selama seminggu

ditabuh, kecuali hari jum’at tidak ditabuh (Wignyasubrata : 3).

Gamelan dimanfaatkan sebagai alat musik. Rakyat yang sangat gemar dengan

bunyi gamelan, segera berduyun-duyun datang untuk menikmati dari dekat.

Wignyasubrata dalam bukunya Sekilas Tentang Sekaten menuliskan bahwa :

kedatangan masyarakat disambut dengan ramah oleh para santri pimpinan Wali

Sanga dan diperkenalkan dengan ajaran agama Islam, antara lain :


72

a. Menyucikan diri (wudlu) sebelum masuk Masjid.

b. Diteruskan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat : Asyhadu Anlaa

Ilaaha Illallah…Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah sebagai

pertanda bahwa telah ikhlas menjadi umat Islam.

c. Lalu diijinkan masuk ke Masjid dengan tertib untuk mengikuti kajian

(uraian) agama Islam yang disampaikan oleh Wali Sanga secara bergilir

(Wignyasubrata : 4).

Pada proses Islamisasi berikutnya, mengucapkan dua kalimat syahadat yang

bahasa arabnya Syahadatain, oleh ucapan masyarakat Jawa yang belum fasih lafal

bahasa arab maka ucapan Syahadatain akhirnya berubah menjadi Sekaten.

Menurut Wignyasubrata dalam bukunya Sekilas Tentang Sekaten, ia

mengatakan setelah Kerajaan Demak runtuh, Kerajaan dipindahkan ke Pajang tahun

1560 oleh Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Dari Pajang berpindah ke Mataram

pada tahun 1590 oleh Sutawijaya. Pada tahun 1755 M Kerajaan Mataram pecah

menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dari awal

munculnya tradisi Sekaten sampai sekarang tetap menjadi acara tahunan yang selalu

diselenggarakan. Pada pemerintahan Kanjeng Sultan Agung Prabu

Hanyakrakusuma tahun 1613-1645, perayaan Sekaten disempurnakan dan

ditingkatkan kualitasnya. Sebagai pelengkap acara Sekaten, dipakai dua perangkat

gamelan yaitu : Kanjeng Kiai Sekati yang diberi gelar Kanjeng Kiai Guntursari dan

Kanjeng Kiai Gunturmadu sebagai alat musik (Wignyasubrata :3).


73

Para Wali sangat gigih memperjuangkan penyebaran agama Islam, hingga

akhirnya para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai objek

dakwahnya. Kemudian muncul usaha Sunan Kalijogo dengan sensasinya melalui

Gamelan Sekaten (Sofwan, 2004 : 278-279). Islam menjadi maju pesat dan dapat

diterima masyarakat Jawa berkat peranan Wali Sanga dan Raja Jawa yang masuk

agama Islam yang kemudian mendukung usaha Wali.

A. Sejarah Lahirnya Tradisi Sekaten sebagai Upacara Tradisional


Keagamaan Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah

menjadi dua, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala)

di bawah pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta

yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota

Yogyakarta yang sekarang di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X.

Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi dua ditentukan dalam perjanjian

Giyanti (Poerwokoesoemo, 1971 : 1).

Pusaka Keraton dibagi menjadi dua, seperti halnya gamelan.

Kasunanan Surakarta memperoleh Gamelan Kiai Guntursari dan Kasultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat memperoleh Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu.

Sebagai imbangan supaya tetap dua perangkat lalu dibuat perangkat gamelan

yang lain dan diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan inilah yang

nantinya digunakan dalam setiap perayaan Sekaten, yang kemudian menjadi

khasnya alat musik perayaan Sekaten.


74

Sekaten yang menjadi salah satu bentuk adat Keraton Kasultanan

Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan

Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah

Sekaten di Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri (Soelarto,

1996 : 17).

Ketika Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintah, keadaan Keraton

aman, tentram, dan rakyat hidup sejahtera. Sultan Hamengkubuwono I

berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu dilaksanakan oleh para

Raja Jawa sebelumnya. Sultan Hamengkubuwono I merupakan putra

Susuhunan Prabu Amangkurat IV (1719-1726) yang sejak masih muda hidup

dilingkungan Keraton (Kasunanan Surakarta) sangat menaruh perhatian besar

terhadap tata cara dan adat Keraton. Oleh karena itu, tidak mengherankan

kalau Baginda ingin melestarikan upacara dan adat Keraton Jawa, termasuk

didalamnya upacara Sekaten. Usaha melestarikan adat yang ada sebelumnya

ini menunjukkan sikap tradisional orang Jawa dalam memuliakan leluhurnya.

Selain itu, upacara-upacara Kerajaan mencerminkan kemuliaan dan

kewibawaan Kerajaan. Demikian pula berbagai upacara adat Keraton juga

mencerminkan adat kehidupan dan tingkat kebudayaan Keraton. Disini akan

tampak sekali kalau Keraton benar-benar berperan sebagai pusat tradisi dan

kebudayaan Jawa (Soelarto, 1996 : 19).


75

Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan

upacara Kerajaan yang melibatkan seisi Keraton, seluruh aparat Kerajaan,

seluruh lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar Pemerintah

Kolonial berperan serta.

Dari penyelenggaraan Sekaten, secara publik terlihatlah kehadiran

Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri sebagai kehadiran tradisi Jawa

Islam. Sekaten yang secara formal bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari

kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari situ secara publik juga menjabarkan

gelar Sultan yang bersifat kemusliman : Ngabdurrahman Sayidin Panatagama

Kalifatullah (Mondoyokusumo, 1977 : 9).

Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional

keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap

dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto,

1996 : 19). Jika Kerajaan dalam keadaan gawat, misalnya dalam keadaan

perang maka penyelenggaraan Sekaten dapat ditiadakan. Disisi lain meski

Kerajaan dalam keadaan gawat, namun jika memungkinkan Baginda atau

Wakil Baginda tetap melangsungkan upacara Sekatenan. Misalnya yang

terjadi antara bulan Desember 1810-September 1811 Kasultanan Yogyakarta

dilanda kemelut. Gubernur Jenderal Daendels menurunkan Sri Sultan

Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dari tahta Kerajaan dan

menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi Sultan yang ke-III.

Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan. Seperti


76

waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh) dipersilahkan

datang, Beliau duduk disebelah anaknya (Soetanto, 1952 : 74-75).

Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan ekspresi masuk dan

tersosialisasinya Islam kebumi Nusantara secara damai, karena memang Islam

sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat

banyak simpati dari masyarakat di Jawa.

Dalam perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik

Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni).

Bagi sebagian besar masyarakat di Propinsi DIY, baik masyarakat perkotaan

maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara

religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan

berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan

kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh

Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24).

Pelaksanaan tradisi Sekaten jika dihubungkan dengan teori

Kebudayaan Malinowski dalam bukunya Roland Robertson (1992 : 53), yang

mengemukakan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat

yang memiliki unsur kebudayaan itu. Dalam hal ini masyarakat Yogya yang

setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu mengadakan tradisi Sekatenan

menganggap Upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain

melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad


77

lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran

penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat.

Sekaten sebagai instrumen dalam memenuhi kebutuhan religius tetap

dilaksanakan oleh masyarakat penerusnya dan mempunyai beberapa makna

dan manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak

hanya bermakna religius, tetapi juga bermakna historis dan kultural.

Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk

mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan

kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang tercantum dalam rangkaian

gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah. Makna historis, berkaitan dengan

keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris sah dari Panembahan

Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam. Makna Kultural, berkaitan dengan

Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat

kuat diwarnai oleh kepercayaan lama (Soelarto, 1996 : 24).

Perayaan Sekaten pertama kali muncul di Kerajaan Demak yang

kemudian dilaksanakan oleh Kerajaan-kerajaan generatifnya (penerusnya)

yang bercorak Islam. Upacara Sekaten diadakan oleh Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat sebagai tradisi leluhur khususnya dalam syiar agama Islam di

Pulau Jawa yang tepatnya diperingati tanggal 12 bulan Maulud.

Demikianlah lintasan sejarah Sekaten yang dari masa ke masa secara

berkesinambungan menunjukkan toleransi dalam sikap religius dan sikap

kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari
78

ratusan suku bangsa senusantara yang membentuk kepribadian bangsa

Indonesia pada masa kini (Soelarto, 1996 : 24).

B. Peranan Abdi Dalem dalam Pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Setiap menjelang upacara tradisi Sekatenan Abdi Dalem Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat selalu terlibat dari persiapan sampai selesainya

pelaksanaan. Secara intens mereka sibuk mempersiapkan perlengkapan

selama satu bulan lamanya sebelum acara puncak yaitu upacara Garebeg

Maulud tiba. Ada banyak kelompok Abdi Dalem yang terlibat dalam

pelaksanaan tradisi Sekatenan, diantaranya :

1. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Widyobudoyo

Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang kebudayaan. Mereka

mengkoordinir persiapan sampai pelaksanaan upacara Sekatenan.

2. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Purorakso

Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang keamanan. Dari mulainya Miyos

Dalem (gamelan dikeluarkan di Pagongan Selatan dan Pagongan Utara

Masjid Agung) sampai puncak acara Sekatenan yaitu gunungan dibawa

kedepan Masjid Agung, KHP. Purorakso menjaga keamanan dengan ketat

bersama POLRI, anggota pramuka, dan kelompok keamanan lain yang

memang sengaja diterjunkan untuk menjaga ketertiban pelaksanaan

Upacara Sekatenan.
79

3. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Kridhomardowo

Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang kesenian. Mereka

mempersiapkan kelengkapan kesenian seperti gending, gamelan, dan lain

sebagainya yang berkaitan dengan kegiatan seni seperti kegiatan pagelaran

dan pelaksanaan Miyos Gongso (gamelan dikeluarkan) sampai Kondur

Gongso (gamelan dibawa lagi ke Keraton).

4. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Purakoro

Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang perbendaharaan yang khusus

menjaga serta memelihara benda-benda pusaka Keraton. Terutama dalam

kegiatan Pagelaran Abdi Dalem ini akan sibuk sekali mengeluarkan

benda-benda pusaka Keraton untuk dipamerkan, seperti : kereta, keris,

meja dan seperangkat kursi kerja yang pernah dipakai oleh Sri Sultan

Hamengkubuwono I – Sri Sultan Hamengkubowono X.

5. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Wahono Sarto Kriyo

Bertugas dalam bidang transportasi dan pekerjaan (tenaga Abdi Dalem)

untuk upacara Sekaten dari menjelang upacara Sekaten sampai saat

pelaksanaan upacara Sekatenan.

6. Tepas Rantamarto

Bertugas dalam bidang perencanaan keuangan untuk menghitung seberapa

besar dana yang diperlukan untuk kegiatan Sekaten dan besar dana yang

diperoleh Keraton selama pelaksanaan Sekatenan berlangsung.


80

7. Tepas Danartopuro

Bekerjasama dengan Tepas Rantamarto mengelola uang dalam hal

penerimaan, pengeluaran dan penyimpanan uang untuk kegiatan Sekaten.

8. Tepas Pariwisata

Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang pelayanan terhadap wisatawan.

Setiap tahun Keraton Yogya mempunyai acara yang sangat besar yaitu

tradisi Sekatenan yang ditandai dengan puncak acara Garebeg Maulud,

dimana pengunjungnya sangat banyak baik dari masyarakat DIY sendiri,

luar daerah maupun Luar Negeri. Tepas Pariwisata sangat berperan sekali.

Selain mereka memberi pelayanan terhadap pengunjung mereka juga

mengarahkan para peneliti yang akan meneliti jalannya upacara

Sekatenan.

9. Tepas Keprajuritan

Tepas ini berperan sebagai kelengkapan kebesaran Keraton ketika

pelaksanaan Miyos Dalem, Kondur Gongso dan upacara Garebeg Maulud

untuk mengawal gunungan, namun prajurit ini dipersiapkan bukan untuk

berperang.

10. Kawedanan Pengulon

Kawedanan ini bertugas dalam bidang keagamaan. Berkaitan dengan

pelaksanaan Miyos Dalem, Abdi Dalem Pengulon menyampaikan riwayat

Maulud Nabi Muhammad SAW dihadapan Sri Sultan, Adipati-adipati,


81

Raja-raja muda, Bupati-bupati, Pembesar-pembesar wilayah, Abdi Dalem

Keraton dan seluruh masyarakat yang hadir pada acara Miyos Dalem.

11. Abdi Dalem Konco Gladhag atau Kabantu

Abdi Dalem Konco Gladhag merupakan tenaga kasar yang tugasnya

serabutan yaitu mengangkat gamelan Sekaten dari Keraton ke Keben, dari

Keben ke Masjid Besar, mengusung gunungan dari Magangan ke Keben

dan dari Keben ke Masjid Besar dan sebagainya. Pakaian yang mereka

kenakan berupa baju koko merah, celana hitam dan kain. Abdi Dalem

yang mempersiapkan perlengkapan untuk pelaksanaan upacara Sekatenan

sampai puncak acara, yaitu Garebeg Maulud yang ditandai dengan

dikeluarkannya gunungan atau pareden dari Keraton.

12. Abdi Dalem Pendherek

Abdi Dalem yang mengomandani Garebeg Maulud dilaksanakan.

13. Abdi Dalem Keparak Para Gusti

Abdi Dalem yang terlibat dalam pembuatan sesaji, pembuatan gunungan

dan pembuatan udik-udik untuk acara Kondur Gongso.

Secara umum banyak Abdi Dalem yang terlibat dalam pelaksanaan

Sekatenan. Namun secara khusus Abdi Dalem yang terlibat dari persiapan

sampai akhir pelaksanaan (saat gunungan dikeluarkan) hanya Abdi Dalem

Widyobudoyo, Abdi Dalem Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem Rantamarto,

Abdi Dalem Danartopuro, Abdi Dalem Konco Gladhag atau Kabantu, dan
82

Abdi Dalem Kridhomardowo (wawancara dengan KRT Rintaiswara, 10 April

2005).

Ada juga Abdi Dalem yang tidak terlibat dari awal pelaksanaan

sampai akhir pelaksanaan, karena kerja Abdi Dalem untuk upacara Sekatenan

memang sudah disesuaikan dengan tugasnya masing-masing. Jadi memang

Abdi Dalem Widyobudoyo, Abdi Dalem Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem

Rantamarto, Abdi Dalem Danartopuro, Abdi Dalem Konco Gladhag atau

Kabantu, dan Abdi Dalem Kridhomardowo yang menjadi inti dalam

pelaksanaan Sekatenan yang dibantu oleh Abdi Dalem kelompok yang

lainnya.

Upacara Sekaten merupakan upacara dan perayaan Keraton terbesar,

karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi

Muhammad SAW, sehingga dalam melaksanakan persiapan perayaan

Sekatenan, khususnya Abdi Dalem Keparak Para Gusti harus benar-benar

dalam keadaan suci. Ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan

kekhusyukan nilai religius dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW

yang jatuh pada tanggal 12 bulan Maulud. Sementara bagi kelompok Abdi

Dalem yang lain tidak ada syarat-syarat tertentu secara khusus.

Pada peringatan upacara Sekaten di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat Abdi Dalem tetap mengenakan pakaian tradisional yaitu baju

pranakan beserta perlengkapannya dan baju kebesaran yang lain sesuai

dengan tugasnya waktu pelaksanaan Sekatenan. Pelaksanaan upacara Sekaten


83

pada masa pemerintahan Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X

banyak terdapat kesamaan, baik dari rangkaian upacara maupun gunungan

yang dipergunakan dalam upacara Garebeg Maulud itu.

Penyelenggaraan upacara Sekaten ternyata masih dapat diterima baik

oleh masyarakat setempat walaupun zaman banyak mengalami perubahan.

Upacara Sekaten tidak hanya dipadati oleh kalangan pemuda-pemudi yang

ingin mencari hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga

memadati Alun-alun untuk mendapatkan berkah. Itu dapat diperhatikan ketika

gunungan diperebutkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha

untuk mendapatkan bagian dari gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun

hiasan kue-kue. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari

gunungan itu, mereka akan mendapatkan berkah (Artikel Theuraphy, 2005 :

1). Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka

meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah

yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil.

Selain bagian dari gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat

ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega atau Manggala

Yuda GBPH. Drs.H. Prabu Yudaningrat, M.M diminta oleh masyarakat. Itu

semua karena adanya rasa kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan

lain. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga

Keraton, mereka akan mendapatkan berkah dari benda yang dimilikinya

(Pengamatan peneliti pada puncak acara Garebeg Maulud, 21 April 2005).


84

Secara garis besar, upacara Sekaten pada masa Hamengkubuwono IX

dan Hamengkubuwono X melibatkan peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan

dan perkembangannya serta banyak terdapat kesamaannya. Adapun rangkaian

upacara Sekaten pada Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X

melibatkan Abdi Dalem secara signifikan, diantaranya pada kegiatan :

a. Perayaan Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya

Slametan atau Wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketentraman dan

ketenangan. Slametan ini menandai dimulainya pembuatan ubo rampai

atau perlengkapan gunungan (Setyastuti, 1999 : 106). Ini juga menandai

kegiatan Pasar Malam Perayaan Sekaten dimulai, pada tahun 2005 dimulai

tanggal 11 Maret 2005 dan berakhir pada tanggal 22 April 2005. Pasar

Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan Garebeg

Maulud tiba (lihat gambar 2). Pada perayaan Sekaten ini masyarakat

banyak yang berkunjung hanya sekedar untuk mencari hiburan atau

membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam itu.

b. Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten, tepatnya tanggal 15 April

2005 (jum’at pahing) jam 21.00 WIB gamelan dikeluarkan dari Keraton

dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk kemudian diletakkan di

Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi

Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang bertugas

dalam bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa

gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara dan


85

Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta (Pengamatan yang dilakukan

peneliti, 15 April 2005). Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus

kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat azan dikumandangkan dan hari

jum’at. Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng

Punokawan Kridhomardowo. Instrumen Jawa atau gamelan dipakai

sebagai bentuk kesenian yang paling digemari rakyat Jawa, karena dapat

dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam dengan membunyikan

gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya maka rakyat akan

datang.

c. Rangkaian upacara Sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik,

tepatnya tanggal 18 April 2005 jam 15.30 WIB yang bertempat di

Magangan Kidul (lihat gambar 3). Upacara Numplak Wajik sebagai awal

dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik diawali

dengan iringan Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco

Gladhag (lihat gambar 4). Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan

wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara ini dimulai biasanya

diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam

pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Pada upacara

Numplak Wajik ini, Abdi Dalem Bupati Kawedanan Hageng Punokawan

Widyobudoyo juga hadir untuk memimpin jalannya upacara Numplak

Wajik (Pengamatan yang dilakukan peneliti, 18 April 2005).


86

d. Acara selanjutnya, tanggal 20 April 2005 jam 18.30 WIB dilaksanakan

Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta (lihat gambar 5). Acara ini

dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati, Abdi Dalem

Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak wisatawan

mancanegara yang sengaja hadir untuk menyaksikan Miyos Dalem milik

sejuta umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan

pembesar Keraton Abdi Dalem Bupati Punokawan Kawedanan Hageng

Pengulon membacakan Siratun Nabi (riwayat hidup Nabi Muhammad

SAW). Sebelum Miyos Dalem dilaksanakan, Sri Sultan menyebar udhik-

udhik yang telah disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan

pintu Pagongan Selatan dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana

selama 7 hari berturut-turut kedua Gamelan sekaten dibunyikan yaitu

Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng Kiai

Nagawilaga dihadapan masyarakat yang menghadiri upacara Miyos

Dalem. Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaan Kondur

Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton jam 23.00 WIB oleh

Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridomardhowo dan Abdi

Dalem Konco Gladhag yang diiringi Abdi Dalem Tepas Keprajuritan

sebanyak 4 bergodo (lihat gambar 6). Miyos Dalem Sri Sultan

Hamengkubuwono menuju ke Masjid Agung ini didahului 4 bergodo

prajurit, para gusti bendera pangeran, serta para Abdi Dalem Sipat Bupati

yaitu Abdi Dalem tingkat tinggi di Keraton (Abdi Dalem yang berpangkat
87

Bupati Punokawan). Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan

Upacara Sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan

harinya (Pengamatan yang dilakukan peneliti, 20 April 2005).

e. Sebagai rangkaian upacara terakhir dari Tradisi Sekatenan yaitu puncak

acara Garebeg Maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya Hajad

Dalem Pareden (gunungan) tepat tanggal 12 bulan Maulud jam 08.30 WIB

(Pengamatan yang dilakukan peneliti, 21 April 2005). Dalam Garebeg

Maulud ini Sri Sultan mengeluarkan Hajad Dalem berupa 6 gunungan

diantaranya : 2 buah gunungan lanang (1 buah gunungan untuk berkatan

ke Pakualaman), 1 buah gunungan wadon, 1 buah gunungan dharat, 1

buah gunungan gepak, dan 1 buah gunungan pawuhan (Wawancara

dengan KRT Wignyasubrata, 21 April 2005). Urut-urutan jalannya

upacara Garebeg Maulud masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono X sama dengan masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX , ialah :

Pertama kali yang keluar adalah Prajurit Wirobraja, Prajurit Daheng,

Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagokaryo, Prajurit Nyutro, Prajurit

Ketanggung, dan Prajurit Mantrijero. Hampir semua kesatuan prajurit

Abdi Dalem tepas Keprajuritan dikeluarkan sebagai tanda kelengkapan

kebesaran Keraton (lihat gambar 7). Tetapi apabila Prajurit keluar melalui

Sitihinggil, Prajurit Nyutro dan Mantrijero mendapat urutan paling

belakang sendiri. Beberapa menit kemudian GBPH. Drs. H. Prabu


88

Yudaningrat, M.M, miyos dari Sitihinggil diikuti oleh para Abdi Dalem,

disini beliau berperan sebagai manggala yuda atau inspektur upacara

(Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 20 April 2005).

Setelah inspektur upacara sampai di alun-alun diadakan penghormatan

oleh semua prajurit yang dipimpin seorang Pandega. Penghormatan

dimaksudkan untuk menghormati kedatangan inspektur upacara di alun-

alun. Kemudian setelah penghormatan selesai dilakukan dimulailah

upacara Garebeg Maulud di alun-alun.

Setelah selesai mengadakan upacara pembukaan, beberapa jam kemudian

Abdi Dalem prajurit Bugis keluar dari Kagungan dalem Sitihinggil

mengawal keluarnya Hajad Dalem gunungan, di depan iring-iringan

gunungan tersebut ada beberapa Abdi Dalem Bupati Nayoko dari Keraton

Yogyakarta, dan yang paling belakang mengawal gunungan itu adalah

Prajurit Surokarso. Adapun urutan dibawanya gunungan (pareden)

awalnya pareden disiapkan di Bangsal Ponconiti (Keben), kemudian

diusung oleh Abdi Dalem ke Masjid Agung tepat jam 08.30 melalui

halaman Sitihinggil, Gedhong Pagelaran, Alun-alun Utara, dan berakhir di

halaman depan Masjid Agung (lihat gambar 8).

Dari Abdi Dalem Tepas Keprajuritan mengeluarkan 8 bergodo prajurit

Keraton yang melakukan display dari istana sampai alun-alun Utara. 2

bergodo prajurit Keraton yang lain menunggu di Keben dan seterusnya

mengawal gunungan sampai kedepan Regol Masjid Agung. Setiap 1


89

bergodo prajurit terdiri dari 50 orang. Jadi semuanya kurang lebih ada 400

orang prajurit Keraton (Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 20 April

2005).

Ketika arak-arakan yang membawa gunungan mendekati Alun-alun Utara,

kesatuan prajurit Keraton melakukan 3 kali tembakan salvo sebagai tanda

penghormatan. Kemudian 5 gunungan langsung dibawa ke Masjid Agung

untuk didoakan yang dipimpin oleh Pengulu dari Abdi Dalem Kawedanan

Pengulon, setelah itu kesemua gunungan menjadi rebutan bagi masyarakat

yang hadir sebagai berkah dari Ngarso Dalem (lihat gambar 9 dan 10).

Sedangkan 1 buah gunungan lanang dibawa ke Pakualaman sebagai Hajad

Dalem dari Sri Sultan kepada warga Pakualaman (Wawancara dengan

KRT Rintaiswara, 20 April 2005).

Adapun yang membawa gunungan ke Pakualaman adalah Prajurit

Lombok Abang dan Prajurit Plangkir yang berseragam biru. Sesampainya

di Pakualaman gunungan tersebut langsung dibawa ke Masjid Pakualaman

untuk didoakan, setelah itu sama seperti kelima gunungan di Keraton

Yogyakarta, gunungan yang diberikan kepada Pakualaman inipun menjadi

rebutan masyarakat sekitar yang hadir.

Setelah semuanya berjalan lancar, kemudian pandega melapor kepada

manggala yuda bahwa Upacara Garebeg Maulud telah selesai, lalu

manggala yuda memberikan izin agar semua prajurit ditertibkan. Semua

prajurit kembali ke Kagungan Dalem Pracimasana melalui Bangsal Siti


90

Hinggil dan Bangsal Ponconiti. Dengan demikian, upacara Sekaten telah

berakhir dengan ditandai pelaksanaan puncak acara Garebeg Maulud

(Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 20 April 2005).

Seperti penyelenggaraan tradisi Sekaten pada masa pemerintahan Sri

Sultan Hamengkubuwono IX, pada perkembangannya penyelenggaraan

Upacara Sekaten pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X

ini peran Abdi Dalem masih tetap sama. Mereka mempunyai peran sangat

penting sekali, dimana dari awal persiapan sampai selesainya pelaksanaan

Sekatenan para Abdi Dalem bekerja dengan giat dan ikhlas mempersiapkan

ubo rampai (perlengkapan) untuk Sekatenan. Hal tersebut merupakan

pekerjaan yang maha besar karena untuk bisa melaksanakan upacara

Sekatenan butuh waktu yang tidak sedikit dan butuh kerjasama yang sangat

tinggi sekali antar kelompok kerja Abdi Dalem sesuai tugasnya masing-

masing.

Upacara Sekaten yang dilaksanakan pada masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X mempunyai banyak

kesamaan, karena dari masa kemasa upacara Sekaten yang diselenggarakan

hanya sedikit mengalami perubahan (Pengamatan yang dilakukan peneliti

selama kegiatan Tradisi Sekaten berlangsung).

Upacara Sekaten dari zaman Sultan-sultan terdahulu sebagai upacara

adat Keraton, dan sampai sekarangpun upacara Sekaten tersebut masih

dianggap sebagai upacara yang sudah dimiliki oleh KeratonYogyakarta


91

selama bertahun-tahun. Dimana dalam setiap pelaksanaan dan

perkembangannya selalu melibatkan Abdi Dalem untuk berperan dari awal

sampai selesainya pelaksanaan Sekatenan.

Dari uraian pada bab ini dapat disimpulkan, bahwa tradisi Sekaten

sebagai tradisi leluhur yang bermakna religius dalam rangka memperingati

Maulud Nabi Muhammad SAW pertama kali diadakan oleh Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono

I. Acara ini bercorak khas kejawen yang bermakna religius, historis dan

kultural. Keraton Yogyakarta setiap tahun merayakan Sekaten sebagai media

syiar agama Islam, karena sebagai kerajaan generatif yang bercorak Islam

merasa sangat perlu untuk melaksanakan tradisi leluhurnya.

Sekatenan identik dengan rangkaian upacara yang selalu berurutan

dari Wilujengan atau Selametan, Perayaan Sekaten, Upacara Numplak Wajik,

dan Garebeg Maulud sebagai puncak acara yang ditandai dengan keluarnya

gunungan (pareden) dari Ngarso Dalem. Gunungan itulah yang nantinya

dijadikan berkah oleh Sultan untuk rakyatnya (Wawancara dengan KRT. H.

Kawendrodipuro, BA, 20 April 2005).

Pada rangkaian tradisi Sekatenan hampir semua Abdi Dalem Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat berperan dari prosesi persiapan, pelaksanaan,

sampai selesainya acara tersebut. Ada banyak kelompok Abdi Dalem yang

terlibat, diantaranya : Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan

Widyobudoyo, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Purorakso, Abdi


92

Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo, Abdi Dalem

Kawedanan Hageng Punokawan Purakoro, Abdi Dalem Kawedanan Hageng

Punokawan Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem Tepas Rantamarto, Abdi

Dalem Tepas Danartopuro, Abdi Dalem Pariwisata, Abdi Dalem Tepas

Keprajuritan, Abdi Dalem Kawedanan Pengulon, Abdi Dalem Konco Gladhag

atau Kabantu, Abdi Dalem Pendherek, dan Abdi Dalem Keparak Para Gusti

(Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 20 April 2005).

Setiap kelompok Abdi Dalem bekerja sesuai tugasnya masing-masing

dibawah koordinator Pangageng. Jika diperhatikan secara menyeluruh dalam

pelaksanan Sekatenan banyak melibatkan peranan Abdi Dalem, namun yang

terlibat dari awal sampai akhir pelaksanaan hanya Abdi Dalem Widyobudoyo,

Abdi Dalem Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem Rantamarto, Abdi Dalem

Danartopuro, Abdi Dalem Kridhomardowo, dan Abdi Dalem Konco Gladhag.

Penyelenggaraan Sekaten pada pemerintahan Hamengkubuwono IX

dan Hamengkubuwono X ternyata tidak jauh berbeda, bahkan perbedaannnya

sedikit sekali bila dibandingkan dengan banyaknya persamaan dari

penyelenggaraannya.

Adapun perbedaan-perbedaan yang ada pada penyelenggaraan tradisi

Sekatenan antara pemerintahan Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono

X, antara lain :
93

1. Penyelenggaraan Sekaten masa pemerintahan Hamengkubuwono

IX dan Hamengkubuwono X ialah : jumlah prajurit yang

digunakan pada waktu upacara Garebeg Maulud berlangsung.

Kalau pada masa Sultan Hamengkubuwono IX jumlah prajurit dari

setiap bergodo mencapai 80 orang, sehingga keseluruhan

jumlahnya mencapai ribuan orang. Tetapi pada masa Sultan

Hamengkubuwono X jumlah prajurit dari setiap bergodo dikurangi

30 orang sehingga menjadi berjumlah 50 orang saja. Jumlahnya

diperkecil hal ini disesuaikan dengan perkembangan zaman. Ini

dilakukan dengan pertimbangan financial atau biaya untuk

mengurangi beban membayar jumlah prajurit Keraton yang terlalu

banyak terlibat dalam Pelaksanaan Sekaten (Setyastuti, 1999 :

115).

2. Perbedaan waktu dan situasi. Kalau penyelenggaraan Sekaten pada

masa Hamengkubuwono IX dilakukan pada masa penjajahan

Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang tradisi Sekaten

pernah dihapuskan tetapi setelah merdeka diadakan lagi.

Sedangkan pada masa Hamengkubuwono X Sekaten

diselenggarakan pada saat rakyat Indonesia sudah merdeka

(Setyastuti, 1999 : 115) .

3. Pemberian berkat Gunungan ke Pakualaman. Ketika

Hamengkubuwono IX memerintah, saat pelaksanaan Garebeg


94

tidak ada pemberian gunungan untuk Pakualaman tetapi ketika

Hamengkubuwono X memerintah ada pemberian berkat gunungan

lanang ke Pakualaman (Wawancara dengan KRT Rintaiswara, 20

April 2005).

Pelaksanaan Tradisi Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X ternyata

perbedaannya tidak begitu banyak. Walaupun demikian perbedaan yang ada

tidak menjadi hambatan dalam penyelengaraannya. Bahkan pihak Keraton dan

masyarakat berusaha untuk melestarikan tradisi Sekaten yang bersifat

tradisional agar tidak mengalami kepunahan, karena zaman yang semakin

modern ini (Pengamatan yang dilakukan peneliti selama kegiatan Tradisi

Sekaten berlangsung).

Sekaten yang berakhir dengan puncak acara Garebeg Maulud telah

membuat hidup masyarakat pelaksananya tidak lepas dari sikap yang ada pada

diri orang Jawa yang beragama Islam pada umumnya. Sikap hidup itu terlihat

dari sikap narima (menerima), hal itu diungkapkan dalam pelaksanaan

Upacara Maulud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha

Esa.
95

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya diatas,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kehidupan Abdi Dalem pada masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai

pegawai di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat banyak sekali

persamaannya. Perbedaannya ada tetapi tidak begitu signifikan.

Persamaan antara Abdi Dalem masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X, antara lain

: organisasi dan tugas Abdi Dalem, jam kerja Abdi Dalem, pangkat

Abdi Dalem, dan tempat tinggal Abdi Dalem. Adapun perbedaan

antara Abdi Dalem masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono

IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, antara lain : besar gaji Abdi Dalem dan perhatian Sri

Sultan terhadap Abdi Dalem.

2. Latar belakang sejarah pelaksanaan Tradisi Sekaten di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat terkait erat dengan tradisi sejak zaman

Kasultanan Demak untuk mensyiarkan agama Islam. Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Kerajaan generatif dari Demak,


96

Pajang, Mataram, kemudian Kasultanan Yogyakarta merasa sangat

perlu untuk melaksanakan tradisi leluhurnya sebagai upacara religius

keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan

berkahnya. Tradisi Sekaten merupakan upacara keagamaan di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat yang diadakan setiap tahun bertepatan

dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW (Garebeg Maulud). Itulah

sebabnya Garebeg yang diselenggarakan untuk memperingati

kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut Garebeg Maulud. Namun di

Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon perayaan Garebeg Maulud lebih

dikenal dengan nama Sekatenan. Di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat memperingati dan merayakan tradisi Sekaten sebagai

upacara Kerajaan yang telah dipelopori oleh Kasultanan Demak pada

perkembangannya tetap exist dengan konsep Sunan Kalijogo untuk

selalu memperdengarkan gamelan di Pagongan Utara dan Pagongan

Selatan selama satu minggu lamanya kecuali hari jum’at dan jam-jam

tertentu (ketika azan dikumandangkan). Bagi masyarakat Yogya,

tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai

makna religius, historis dan kultural. Peringatan tradisi Sekaten

sebagai upacara keagamaan yang bertepatan dengan hari lahirnya Nabi

Muhammad SAW bertujuan untuk menghormati kehadirannya di

dunia ini dan untuk memetik suri teladan kehidupan Rasulullah SAW.

Sedangkan bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, perayaan tradisi


97

Sekaten dimanfaatkan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam

sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Kasultanan Demak. Pada

kenyataannya tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

pada masa sekarang, sebagian besar masyarakat belum memahami

makna yang sebenarnya tentang pelaksanaan tradisi Sekaten.

Masyarakat belum paham terhadap makna yang sesunguhnya dari

pelaksanaan tradisi Sekaten, sehingga mereka merasa ikut dalam

pelaksanaan perayaan Sekaten tetapi pada kenyataannya justru

menggiring mereka kepada hal yang jauh dari tradisi perayaan yang

bernafaskan Islam. Hal ini bisa dilihat dari anggapan masyarakat

bahwa dengan berhasil mendapat gunungan yang disedekahkan Sri

Sultan pada acara Garebeg Maulud mereka akan mendapat berkah dan

kemudahan dalam hidupnya atau adanya anggapan bahwa mereka

akan awet muda jika mengunyah sirih di halaman Masjid Agung

Yogyakarta. Padahal segala sesuatu yang akan didapatkan manusia

dan umur yang akan dilalui manusia sudah ditentukan oleh Tuhan

Yang Maha Esa.

2. Peranan Abdi Dalem terhadap perkembangan dan pelaksanaan tradisi

Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri

Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

sangat signifikan sekali. Abdi Dalem sebagai hamba Kerajaan disetiap

penyelenggaraan Sekaten bekerja sesuai dengan tugasnya masing-


98

masing dibawah perintah Pengageng. Diantaranya mempersiapkan ubo

rampai (perlengkapan) yang dibutuhkan dalam tradisi Sekatenan.

Tradisi Sekaten merupakan upacara terbesar dalam perayaannya di

Keraton. Pada pelaksanaannya hampir semua kelompok Abdi Dalem

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terlibat dan berperan aktif dari

persiapan, prosesi pelaksanaan sampai selesainya tradisi Sekatenan.

Banyak kelompok Abdi Dalem yang berperan secara aktif, diantaranya

: Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Widyobudoyo, Abdi

Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Purorakso, Abdi Dalem

Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo, Abdi Dalem

Kawedanan Hageng Punokawan Purakoro, Abdi Dalem Kawedanan

Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem Tepas

Rantamarto, Abdi Dalem Tepas Danartopuro, Abdi Dalem Tepas

Pariwisata, Abdi Dalem Tepas Keprajuritan, Abdi Dalem Kawedanan

Pengulon, Abdi Dalem Konco Gladhag atau Kabantu, Abdi Dalem

Pendherek, dan Abdi Dalem Keparak Para Gusti. Secara menyeluruh

banyak melibatkan peranan kelompok Abdi Dalem, namun yang

terlibat dari awal sampai akhir pelaksanaan Tradisi Sekatenan hanya

kelompok Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan

Widyobudoyo, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Wahono

Sarto Kriyo, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan


99

Kridhomardowo, Abdi Dalem Tepas Rantamarto, Abdi Dalem Tepas

Danartopuro, dan Abdi Dalem Konco Gladhag atau Kabantu.

B. Saran

Bertolak dari kesimpulan di atas maka penulis mengajukan beberapa

saran, diantaranya :

1. Para peneliti dan penulis Sejarah, hendaknya melakukan pengkajian

yang lebih jauh lagi mengenai perkembangan keadaan sosial ekonomi

Abdi Dalem dari awal berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

sampai sekarang dengan harapan agar kajian mengenai kehidupan

keluarga Abdi Dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat semakin

lengkap.

2. Rekan-rekan jurusan Sejarah, diharapkan untuk lebih giat melakukan

penelitian-penelitian tentang peranan Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram dalam kegiatan

syiar agama Islam di Pulau Jawa. Tujuan melakukan penelitian-

penelitian di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai objek

Sejarah akan menambah pengetahuan dan wawasan kesejarahan. Kita

tahu bahwa untuk mengkaji Sejarah tidak hanya cukup di lingkungan

formal saja (bangku kuliah), melainkan juga dengan praktek atau

terjun langsung ke lapangan sehingga wawasan kesejarahan semakin

lengkap dan berbobot nilainya.


100

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Afrianto, Cahyo Donny. 2002. Abdi Dalem Sebuah Pengabdian Dalam Pelestarian
Kebudayaan. Yogyakarta : UGM.

Brongtodiningrat. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Museum Kraton


Yogyakarta.

Depdikbud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru


Van Hoeve.

Dipodiningrat. 2005. Risalah Maulud Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta :


Kawedanan Pengulon Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Fananie, Zainuddin. 2000. Rekonstruksi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MN I.


Yogyakarta :…

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia.

Graaf, De. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi Sultan Agung).
Jakarta : PT Temprint.

J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya.

K, Sartono. 2004. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Yogyakarta : MUD History.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.


Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Magnis Suseno, Fransz. 2001. Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafati tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Mulyani, Sri. 2000. Perubahan Kehidupan Sosial Ekonomi Abdi Dalem Dari
Kehidupan Ke Keratonan Ke Kehidupan Non Kekeratonan. Medan : USU.
101

Morisson. 2002. Petunjuk Wisata Lengkap Jawa–Bali. Jakarta : PT Ghalia Indonesia.

Punto Hendro G, Eko. 2001. Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu. Semarang :
Bendera.

Peelly, Usman dan Menanti, Asih. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta :
Depdikbud.

Poerwokoesoemo, Soedarisman. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta : Gadjah


Mada University Press.

Robertson, Roland. 1992. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis.


Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta : Rajawali.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan
Alimandan. Jakarta : Kencana.

Santoso, Budi. 2000. Sekilas Tentang Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Malang :
Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta : Teraju.

Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.


Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.

Sofyan, Ridin dkk. 2004. Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam di Jawa
Menurut Penuturan Babad). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.

Suprianto, Eko. 2000. Dakwah Dalam Tradisi Sekaten. Jombang : Institut Keislaman
Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang

Surjomihardjo, Abdurrachman. 2000. Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta


1880-1930. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.

Setyastuti, Theresia. 1999. Upacara Garebeg Maulud Pada Pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.

Wignyasubrata.---. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta :


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
102

---. Riwayat Sekaten. Yogyakarta : Panitia Kapujanggan Keraton Ngayogyakarta


Hadiningrat.

Whardani, Yetti WS. 2000. Upacara Garebeg Ditinjau Dari Aspek Budaya, Religius,
Serta Peranannya Dalam Upaya Meningkatkan Lama Tinggal Wisatawan di
Yogyakarta. Yogyakarta : Politeknik “API”.

Internet

http // www. tembi org / keraton yogya / htmx. mantrigawen.

http // www. com / vision. net . id / keraton yogyakarta (13 juni 2004)

http // www. tembi org / sultan buka sekaten / 1pb. htmx (13 juni 2004)

http // www. tembi org / sekaten tetap tanpa dangdut / 1pb. htmx (13 juni 2004)

Jurnal / Makalah

Theuraphy. April 2005. Sekaten Syiar Islam Melalui Budaya. Edisi III.
103

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : KRT. H. Kawendrodipuro, BA


Umur : 70 tahun
Tanggal Lahir : 6 Oktober 1933
Pekerjaan : Carik Kawedanan Hageng Punokawan Widyo Budoyo
Alamat : Jl. Namburan Kidul No. I Yogyakarta 55131
2. Nama : KRT. Rintaiswara
Umur : 62 tahun
Tanggal Lahir : 10 Januari 1943
Pekerjaan : Abdi Dalem Widyo Budoyo
Alamat : Siluk, Imogiri, Bantul, DIY
3. Nama : KRT. Tejonegoro
Umur : 62 tahun
Tanggal Lahir : 14 Desember 1943
Pekerjaan : Bupati Kliwon Kelurahan Putri
Alamat : Jl. Langenastran Kidul 20 Rt 05 / II Panembahan Kraton
4. Nama : KRT. Suryoseputro
Umur : 65 tahun
Tanggal Lahir : 28 Mei 1940
Pekerjaan : Bupati Nayaka Tepas Danartopuro
Alamat : Tuntungan Baru UH 3 / 1181 Rt 41 / IX Tahunan Umbulharjo
5. Nama : KMT. Widyoseputro
Umur : 84 tahun
Tanggal Lahir : …-…- 1921
Pekerjaan : Bagian Administrasi Widyobudoyo
Alamat : Ngasem Rt 57 / Rw 05, Yogyakarta
104

6. Nama : MBKS. Puraksorejoso


Umur : 49 tahun
Tanggal Lahir : 2 September 1956
Pekerjaan : Pengirit di Regol Gepuro
Alamat : Prawirodirjan GM 2 / 1204 Rt 41 / Rw 13
7. Nama : MW. Mandoyo Citrolumakso
Umur : 64 tahun
Tanggal Lahir : 31 Desember 1941
Pekerjaan : Wedono Punokawan Regol Gepuro
Alamat : Magangan Kulon 2 YK Rt 0003 / 001 Yogyakarta 55133
8. Nama : MB. Puraksosewoko
Umur : 46 tahun
Tanggal Lahir : 10 Oktober 1959
Pekerjaan : Konco Punokawan Polowijo Bagus
Alamat : Sidomulyo Rt 06 / Rw XXXIV
9. Nama : RB. Soenardjowinoto
Umur : 69 tahun
Tanggal Lahir : 11 Juni 1936
Pekerjaan : Bekel Sepuh Nrangdahono
Alamat : Minggiran MJ 2 / 1413 Yogyakarta
10. Nama : MB. Purakso Pramono
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Anggota Pecaosan Regol Gepuro
Alamat : Godean, Sleman
105

ACUAN PERTANYAAN DALAM KEGIATAN WAWANCARA

1. Dalam organisasi pemerintahan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Abdi


Dalem masuk dalam kelompok organisasi yang mana ?
2. Dalam menjalankan tugas di Keraton, Abdi Dalem bekerja dibawah perintah
siapa ?
3. Apa saja tugas dari setiap kelompok Abdi Dalem di Keraton ? Jelaskan !
4. Apakah setiap kelompok Abdi Dalem memiliki ketua atau penanggung jawab
yang mengatur mereka dalam bekerja ?
5. Selain Abdi Dalem bertugas di dalam Keraton, apakah Abdi Dalem diberi
kesempatan oleh Sri Sultan untuk bekerja ditempat lain ?
6. Jelaskan tugas Abdi Dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
(spesifikasi kerja) ?
7. Berapa lama jam kerja Abdi Dalem di dalam Keraton setiap harinya ?
8. Berapa besar gaji Abdi Dalem pada pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X ?
9. Apakah gaji yang diperoleh Abdi Dalem dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari keluarga Abdi Dalem ? Kalau secara ekonomi tidak memenuhi,
mengapa mereka tetap mau bekerja di Keraton ?
10. Bagaimana pandangan orang luar tentang orang yang bekerja sebagai Abdi
Dalem di Keraton ? Jelaskan bagaimana hidup mereka di lingkungan
masyarakat Abdi Dalem tinggal !
11. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa diterima
dalam seleksi menjadi Abdi Dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ?

Keterangan : Semua pertanyaan di atas diajukan untuk pemerintahan Sri


Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
106

12. Munculnya tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pertama


kali pada pemerintahan siapa ?
13. Sebab-sebab apa saja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengadakan
(menyelenggarakan) tradisi Sekatenan ?
14. Apa yang menjadi rutinitas Abdi Dalem di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat selain pada persiapan tradisi Sekatenan ?
15. Abdi Dalem melakukan tugas apa saja ketika menjelang upacara Sekatenan
sampai saat pelaksanaan upacara Sekatenan ?
16. Sebelum melaksanakan persiapan upacara Sekatenan, dalam mempersiapkan
ubo rampai (perlengkapan Sekaten) apakah ada syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi oleh Abdi Dalem ?
17. Perlengkapan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk upacara Sekatenan ?
18. Ada banyak kelompok Abdi Dalem yang terlibat dalam upacara Sekatenan.
Kelompok Abdi Dalem apa saja yang terlibat ?
19. Dalam upacara Sekaten jika ada Abdi Dalem yang tidak terlibat dari awal
pelaksanaan, tetapi di tengah-tengah acara dia terlibat pelaksanaan
Sekatenan. Mengapa begitu ? Contohnya kelompok Abdi Dalem apa saja ?
20. Jenis pakaian apa yang dikenakan oleh Abdi Dalem pada saat puncak acara
Sekaten (Garebeg Maulud) ?
21. Apakah ada perbedaan antara upacara Sekatenan pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X ? Jika ada
perbedaan, coba jelaskan ?
Gambar 1. Wawancara dengan Abdi Dalem Keparak (AD Perempuan).
(Dokumentasi pribadi, 19 April 2005)

Gambar 2. Pasar Malam Perayaan Sekaten berlangsung selama 40 hari dan selesai
setelah perayaan Garebag Maulud tiba.
(Dokumentasi pribadi, 16 April 2005)
Gambar 3. Upacara Numplak Wajik sebagai awal pembuatan gunungan wadon (dihadiri
AD Bupati KHP Widyobudoyo, AD Konco Gladhag dan AD Keparak Para Gusti).
(Dokumentasi pribadi, 18 April 2005)

Gambar 4. Gejog Lesung dilakukan oleh Konco Gladhag sebelum Upacara Numplak
Wajik dimulai.
(Dokumentasi pribadi, 18 April 2005)
Gambar 5. Acara Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta yang dihadiri Sri Sultan
dan AD berpangkat bupati.
( Dokumentasi pribadi, 20 April 2005 )

Gambar 6. Pelaksanaan Kondur Gongso ( gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton ) oleh
AD Konco Gladhag dan AD Kridhomardowo.
(Dokumentasi pribadi, 20 April 2005)
Gambar 7. Kesatuan prajurit yang mengawal gunungan pada upacara Garebeg Maulud.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)

Gambar 8. Gunungan diusung ke depan Masjid Agung dikawal oleh Prajurit Keraton.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)
Gambar 9. Upacara penyerahan gunungan dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang
dipimpin oleh Kiai Pengulu.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)

Gambar 10. Gunungan yang disedekahkan oleh Sri Sultan pada puncak acara Garebegan
menjadi rebutan masyarakat.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)

Anda mungkin juga menyukai