SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Dwi Retno Mulianingsih
NIM 3101401015
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia
Hari :
Tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui :
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu
Hari :
Tanggal :
Penguji Skripsi
Anggota I Anggota II
Mengetahui :
Dekan FIS UNNES
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi atau tugas akhir ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang
lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Persembahan
Dengan tidak
mengurangi syukur pada Illahi Robbi,
skripsi ini
kupersembahkan untuk :
¾ Bapak dan Ibu Tercinta, terima
kasih atas semua kasih sayang
dan do’a-do’anya yang selalu
mengiringi setiap langkahku.
¾ Kakakku Joni Subarkah, adikku
Tri Indarti Arum Cahyani yang
selalu aku banggakan.
¾ Seseorang yang selalu
memotivasi, mengerti, dan
membangun imajinasiku.
¾ Teman-teman Sejarah angkatan
2001: Rover, Dhiant, Sancay,
v
Azmie…..makasih atas semua
bantuannya selama ini.
¾ Teman curhatku : Hatie,
Cuplis...makasih atas segala
perhatian dan pengertian tak
terhingga.
PRAKATA
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini digunakan untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar
Sarjana Pendidikan (S-I) pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang. Dalam hal ini penulis mengambil judul “Peranan Abdi Dalem
Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan
bimbingan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
kepada :
vi
4. Drs. Subagyo, M.Pd. dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan
5. Dra. Rr. Sri Wahyu Sarjanawati, M.Hum. dosen pembimbing II yang dengan sabar
6. GBPH. H. Prabukusumo, S.Psi. yang telah memberi izin terhadap peneliti untuk
11. Teman-teman HMI (Mr. Ghonie, Mr. Hanafie, Naily, Tika, Iien) dan teman-
12. Spesial thank’s to the Big Family Fastabiqul Khoerot for the spirit and the
support.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
Semoga amal baik mereka diterima sebagai suatu amal kebajikan untuk
vii
Semarang, Juni 2005
Penyusun
SARI
Dwi Retno M.N. 2005. Peranan Abdi Dalem Dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten
Pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono
X Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 102 h.
Dosen Pembimbing : I. Drs. Subagyo, M.Pd., II. Dra. Rr. Sri Wahyu S., M.Hum.
viii
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Penelitian Sejarah.
Langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam metode tersebut adalah :
heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. Dalam teknik pengumpulan
data, disamping kajian pustaka, juga digunakan teknik wawancara dan melakukan
pengamatan atau observasi. Untuk mendapatkan penulisan Sejarah yang analisis dan
ilmiah digunakan pendekatan penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah Teori-teori Sosial Budaya (Sosiologi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kehidupan Abdi Dalem pada masa
Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat banyak sekali persamaannya, antara lain :
organisasi dan tugas Abdi Dalem, jam kerja Abdi Dalem, pangkat Abdi Dalem, dan
tempat tinggal Abdi Dalem. Perbedaannya ada tetapi tidak begitu signifikan, antara
lain : besar gaji Abdi Dalem dan perhatian Sri Sultan terhadap Abdi Dalem ; (2) Latar
belakang Sejarah pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
terkait erat dengan tradisi sejak zaman Kasultanan Demak untuk mensyiarkan agama
Islam. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Kerajaan generatif dari Demak,
Pajang, Mataram, kemudian Kasultanan Yogyakarta merasa sangat perlu untuk
melaksanakan tradisi leluhurnya sebagai upacara religius keislaman yang bercorak
khas kejawen dengan segala hikmah dan berkahnya ; (3) Peranan Abdi Dalem dalam
pelaksanaan tradisi Sekaten pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – Sri
Sultan Hamengkubuwono X sangat signifikan sekali. Abdi Dalem berperan penting
dalam pelaksanaan tradisi Sekaten mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai
selesainya tradisi Sekatenan.
Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terkait erat dengan tradisi
leluhur untuk mensyiarkan agama Islam. Peran Abdi Dalem sangat signifikan sekali
dalam pelaksanaan tradisi Sekaten.
Akhirnya peneliti menyarankan agar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
sebagai penyelenggara tradisi Sekaten hendaknya bisa menjadi media agar dalam
pelaksanaannya tradisi tersebut benar-benar bisa memenuhi kebutuhan religius dalam
syiar agama Islam untuk membentuk akhlak dan budi pekerti luhur.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ............................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PERNYATAAN............................................................................................... iv
PRAKATA....................................................................................................... vi
SARI................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
B. Permasalahan................................................................................... 5
F. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 12
x
G. Metodologi Penelitian ..................................................................... 18
H. Sistematika Penulisan...................................................................... 28
xi
c. Besar Gaji Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 59
d. Pangkat Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 62
e. Tempat Tinggal Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat..................................................................... 63
f. Perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono X terhadap
Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat......... 64
BAB IV PERANAN ABDI DALEM DALAM PELAKSANAAN
TRADISI SEKATEN DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 95
B. Saran .............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Hamengkubuwono IX ...................................................................... 50
xiii
DAFTAR GAMBAR
Maulud.
Keraton.
Gambar 10 : Gunungan yang disedekahkan oleh Sri Sultan pada puncak acara
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keraton Yogyakarta didirikan atas dasar Perjanjian Giyanti atau disebut juga
Rabiulakhir 1680 Jawa atau tanggal 13 Februari tahun 1755 Masehi, di Desa
dua wilayah kerajaan Mataram, sebagian wilayah tetap dikuasai oleh Sri
terdiri dari kerabat keraton atau sentana keraton, menyusul lapis ketiga terdiri
bahasa Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan disini adat dan
tradisi Jawa lahir dan dikembangkan (Morisson, 2002 : 180). Khususnya pada
Tradisi Sekaten, acara ini menjadi rutinitas yang berpusatkan di Keraton dan
Indonesia tidak bisa lepas dari peran Keraton (Castle) karena Keraton
menjadi sentra perkembangan adat, budaya dan tradisi. Hal tersebut telah
melahirkan beragamnya karya seni dan tradisi seperti tarian, gamelan dan
hubungan seni dengan tradisi Keraton dan hubungan seni dengan agama.
3
Jawa menjadi kelas elit Jawa, yaitu golongan yang mengembangkan watak
Islam dalam tradisi hanyalah dalam batas-batas tertentu yang secara implisit
berupa ajaran (Fananie, 2000 : 229). Tradisi Sekaten sebagai bagian dari
Keraton tidak identik dengan istana saja. Keraton juga mempunyai nilai
implisit dari nilai keagamaan, filsafat dan kultural, karena itu Keraton tidak
tetapi yang jelas bahwa Pantai Selatan, Krapyak, Keraton, Gunung Merapi
terletak pada sebuah garis imajiner (Keraton Ngayogyakarta : 3). Selain itu
Keraton memiliki arti filosofis yang sangat dalam dipandang dari kacamata
Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan
Muhammad SAW.
Islam mempunyai hubungan penting dengan para Abdi Dalem yang berperan
dalam pelaksanaannya.
B. Permasalahan
Ngayogyakarta Hadiningrat ?
A. Tujuan Penelitian
Ngayogyakarta Hadiningrat.
6
B. Manfaat Penelitian
bagi pembaca
2. Bermanfaat bagi penelitian yang lebih luas dan lebih mendalam dalam
Jawa.
bidang yang diteliti. Sesuai dengan judul, peneliti memfokuskan pada lokasi
Tengah.
sehingga mudah dicapai dengan baik dari arah Malioboro, menuju ke Selatan
melalui Alun-alun. Rute ini lebih mudah untuk memasuki Keraton jika
7
pemerintahan kedua Raja tersebut. Dalam kurun waktu dua pemerintahan ini,
E. Penegasan Istilah
persoalan yang ada diluar topik persoalan. Dari topik “Peranan Abdi Dalem
Ngayogyakarta Hadiningrat”.
8
Agar tidak terjadi salah persepsi atau pengertian dari berbagai pihak,
penelitian ini.
1. Peranan
2. Abdi Dalem
abdinya Raja atau Ratu dan dapat diartikan sebagai kesetiaan terhadap
Jawa).
dilapis ketiga yang terdiri dari mereka yang bekerja pada administrasi
3. Perkembangan
yaitu:
4. Tradisi
dijalankan masyarakat.
b. Penilaian bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling
baik dan benar : perayaan hari besar agama itu janganlah hanya
yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli meliputi
aturan yang saling berkaitan dengan kemudian menjadi suatu sistem aturan
tradisional.
5. Sekaten
: 41).
kali setahun, bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, Hari
10
Raya Idul Fitri (Garebeg Sawal) dan Hari Raya Idul Adha atau Garebeg
lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulud Nabi (Morisson, 2002 : 191).
6. Pemerintahan
sekarang).
7. Keraton
Keraton adalah tempat tinggal raja dan ratu Yogyakarta. Keraton tidak
hanya memiliki arti sebagai bangunan tempat tinggal raja saja, tetapi lebih
jauh Keraton memiliki arti filosofis yang sangat dalam dipandang dari
F. Tinjauan Pustaka
untuk mengabdi pada Pemerintahan Sri Sultan. Ini terlihat dari ucapan
Abdi Dalem “dekat keraton dekat dengan berkah”. Ini memberikan makna
berkah dan keturunannya akan hidup jauh lebih baik darinya (Abdi
Dalem). Penulisan ini hanya terbatas pada cerita Perayaan Sekaten dengan
kebudayaan leluhur. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat itu Abdi
13
Dalem belum terlihat jelas sekali muatan peranan dalam kegiatannya atau
historis dari Zaman Demak, Zaman Majapahit, dan Zaman Hindu. Dalam
Bendoro Putra dan Pangeran Sentana serta kerabat lainnya. Penelitian ini
akan lebih tepat bila yang ditulis Zaman Pajang dan Zaman Mataram
khas perlengkapan upacara tetap ada dan prajurit Keraton dengan pakaian
prajurit setiap bergodo terdiri dari 80 orang. Tetapi pada masa Sri
yang menjadi khas dari perayaan Sekaten tetap ada dalam setiap
meneliti Keraton sebagai kota budaya yang memiliki karakter kuat dari
Masyarakat Yogya dan sekitarnya. Acara Sekaten ini menjadi bagian ajang
yang cukup penting dalam pengembangan adat dan tradisi Jawa di Keraton
dan Pangreh Praja bertindak sebagai barisan pelopor. Di sini peranan Abdi
Abdi Dalem yang besar, sebagai bagian dari warga Keraton mereka
dengan sangat baik dan penuh tanggung jawab. Selain itu Morisson
tradisional Jawa yang bertugas menjaga dan merawat seisi bangunan dan
benar memiliki nilai religius tinggi dan bisa membawa perilaku yang baik
perayaan Sekaten.
penulisan Sejarah yang lebih khusus meneliti Peranan Abdi Dalem dalam
G. Metodologi Penelitian
A. Metode Penelitian
penulisan Sejarah yang analisis dan ilmiah, maka metode yang digunakan
tercetak serta sumber lisan yang relevan dengan masalah yang diteliti
a. Sumber Primer
Suatu kesaksian dari saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan
panca indera lain atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan.
b. Sumber Sekunder
Suatu kesaksian dari siapapun yang bukan dari saksi pandang mata,
yaitu saksi dari orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan
adalah :
2. Kritik Sumber
baik bentuk maupun isi. Kritik ini bertujuan untuk menilai sumber-
Kritik sumber ada dua, yaitu kritik ekstern dan kritik intern
16).
4. Historiografi
kesaksian yang dapat dipercaya menjadi kisah atau penyajian yang berarti
(Gotschalk,1986 : 18).
sistematis menurut pembagian atau seleksi data dari Peranan Abdi Dalem
B. Pendekatan
sangat perlu dilakukan dalam penulisan Sejarah yang analisis dan ilmiah.
22
merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis Historis
(Kartodirdjo, 1993 : 120). Hal ini bermanfaat sebagai piso analitis dalam
bahwa ada empat asumsi penting yang diperlukan suatu sistem, yaitu :
Koordinasi).
dalam bukunya Usman Pelly (1994 : 60) yang menyatakan bahwa setiap
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Golongan wong cilik merupakan rakyat biasa yang patuh dan hormat
terhadap Raja.
Terlihat sekali kalau Abdi Dalem yang menempati lapis ketiga sebagai
yang sudah menjadi kebiasaan, setiap pola dari perilaku masyarakat yang
24) .
H. Sietematika Penulisan
Dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, dalam setiap bab tersebut
sistematik mengenai materi yang akan disaji oleh peneliti. Berikut adalah
BAB I PENDAHULUAN
Hamengkubuwono X.
26
HADININGRAT
BAB V PENUTUP
1680 Jawa 13 Februari 1755 (Punto H, 2001 : 1). Perjanjian tersebut mengakhiri
wilayah lain tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan Ibukota
Pacitan, Madiun, Grobogan, dan Mojokerto (FA. Sucipto, 1979 : 34). Semula
tempat yang dipilih untuk mendirikan Keraton adalah desa Telogo, dimana
Garjitawati, dekat Desa Beringin dan Desa Pacetokan. Dengan alasan daerah ini
27
dianggap kurang memadai untuk membangun sebuah Keraton dengan
bentengnya, maka aliran sungai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran
Menurut cerita mitos, hutan Beringin tersebut dijaga dua ekor ular naga,
yaitu bernama kiai Jaga dan kiai Jegot. Maka setelah Keraton Yogyakarta berdiri,
kiai Jaga kemudian bertempat tinggal pada bangunan tugu, sedang kiai Jegot
karena di daerah itu pada tahun 1747 dan tahun 1749 Kanjeng Pangeran Haryo
yang datang yaitu VOC yang dikemudian hari bertambah dengan pengaruh
28
Kemagangan dan pintu gerbang Gedung Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan
satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa : Dwi naga rasa tunggal. Artinya, Dwi :
1978 : 8). Naga berwarna hijau memiliki makna tersendiri yaitu simbol dari
Kasultanan Yogyakarta dibuat lebih megah dan memberi kesan yang lebih
29
berkembang di Keraton Yogyakarta yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Tata
mempunyai kesamaan dengan sistem yang digunakan pada komplek Keraton dari
konstruksi kayu yang terdapat dalam relief candi, yang tentunya menggambarkan
bangunan yang digunakan oleh masyarakat pada periode klasik (Punto H, 2001 :
209). Demikian halnya beberapa hiasan dan dua buah arca dwarapala yang
kesamaan dengan hiasan dan arca dwarapala yang terdapat pada peninggalan-
mirip sekali dengan bentuk bangunan kontruksi kayu yang terdapat dalam relief
masyarakat pada periode klasik. Beberapa hiasan dengan motif flora, fauna,
Yogyakarta, antara lain pada gapura, atap bangunan, tiang, umpak, baturana dan
30
Adapun bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton
tersebut menggunakan atap tunggal (atap susun) yang berbentuk limasan, tajug,
kampung (pelana) dan joglo. Bagian tubuh bangunan ada dua bentuk, yaitu
membentang dari sungai Code sampai sungai Winanga, dari utara ke selatan, dari
berderet dari utara dan selatan. Antara halaman yang satu dengan halaman yang
lain dipisahkan oleh dinding penyekat dan dihubungkan dengan pintu gerbang.
didalamnya.
3. Halaman srimanganti
31
5. Halaman kemagangan
1. Benteng
didirikan tahun 1782 Masehi. Di dalam benteng, selain istana Sri Sultan dan
tinggal para bangsawan, tempat tinggal Abdi Dalem dan tempat tinggal
selatan, bagian sudut tenggara, sudut barat daya dan sudut barat laut. Dilihat
Pada sisi utara terdapat dua buah gapura (plengkung), sedang pada sisi
32
Pada tiap-tiap sudutnya terdapat gardu pengintai yang disebut tulak tala
(bastion) dan sekarang yang masih utuh adalah bagian sudut tenggara, barat
daya dan barat laut, sedangkan bagian timur laut sudah tidak ada.
2. Parit Keliling
disepanjang dinding benteng bagian luar dan berdenah segi empat. Panjang
parit sama dengan panjang dinding benteng, yaitu tiap sisinya lebih kurang
satu kilometer.
3. Alun-alun
4. Masjid Agung
Bangunan masjid ini terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian masjid yang
33
Bangunan masjid Agung kondisinya masih baik dan sampai saat ini
tajug ceblokan, yaitu bangunan dengan atap berbentuk tajug disangga oleh
beberapa tiang yang langsung berdiri di atas lantai bangunan, tanpa umpak.
Atap bangunan terdiri dari tiga tingkat (atap tumpang) yang disangga oleh 36
tiang, empat buah diantaranya adalah tiang saka guru (guru utama). Bangunan
berdiri di atas lantai yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 27,5 X 27,5
meter dan tebalnya 1,5 meter. Di samping kiri dan kanan bangunan terdapat
bersembahyang bagi kaum wanita. Pada puncak atap masjid terdapat hiasan
Di bagian depan masjid terdapat serambi yang luas dan bersuasana teduh,
Dibeberapa bagian masjid terdapat ukiran kayu dan tulisan aksara Jawa.
5. Tamansari
dan taman. Tamansari didirikan tahun 1765 Masehi oleh Sri Sultan
34
bercengkrama atau bersenang-senang Sri Sultan dengan seluruh keluarganya.
Keraton seringkali identik dengan istana, namun di sisi lain Keraton juga
secara implisit mengandung nilai keagamaan, filsafat, dan kultural. Jika merunut
kebudayaan Jawa. Ini berarti Keraton telah memenuhi segi dimensi fungsional.
35
Pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai
bangunan depan dan bangunan dalam Keraton (Morisson, 2002 : 185). Bangunan
depan terdiri atas bangsal pagelaran yang diapit oleh bangsal pemandangan,
juga memiliki bangsal pengrawit sebagai tempat Raja melantik patih dan pejabat
Kerajaan lainnya, dan siti hinggil sebagai tempat pelaksanaan upacara penobatan
Raja.
Memasuki bangsal besar siti hinggil suasana terasa begitu megah karena
terdapat bangsal kecil yang terukir indah disebut bangsal manguntur tangkil yang
Bangunan dalam Keraton terdiri atas antara lain Gapura Keraton yang
memiliki patung arca yang menyerupai Dwarapala pada sisi kiri dan kanannya.
36
menyimpan benda-benda pusaka Keraton, Kesatrian yaitu bangunan tempat
kediaman para putera Raja, Kaputren yaitu bangunan tempat kediaman puteri
keluarganya.
memiliki tiang penyangga besar dari kayu jati berukir dan langit-langit (plafon)
penuh dengan ukiran yang rumit. Pada langit-langit (plafon) terdapat hiasan,
2001 : 84). Sebagian besar dari ruangan Keraton dipakai sebagai museum yang
mempelajari hal tersebut ada beberapa cara dan mekanisme tertentu, antara lain
37
Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun-temurun
tersebut karena adanya sangsi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian,
upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis. Akan
tetapi, wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah
lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat.
komunikasi antar sesama manusia dan antar dunia yang nyata dengan dunia yang
ghaib. Pemahaman sebagai alat komunikasi antara dunia nyata dengan dunia
ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,
masyarakat.
tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis (Soelarto, 1996: 24).
38
Dengan harapan masyarakat penyelenggara Sekaten akan memperoleh nilai-nilai
budaya yang bermanfaat karena telah mematuhi norma dari para leluhurnya.
Orang Jawa adalah penduduk asli bagian Tengah dan Timur Pulau Jawa
yang berbahasa Jawa (Suseno, 2001 : 1). Dalam wilayah kebudayaan Jawa
bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah-daerah
Jawa pedalaman, sering juga disebut “kejawen” yang mempunyai pusat budaya
Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial : (1) wong cilik
atau orang kecil, terdiri dari sebagian besar masa petani dan mereka yang
dan orang-orang intelektual. Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil
tetapi tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat atau
Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengakui Islam (Suseno, 2001 : 13).
praktek asketis, meditasi, dan mistik. Kaum priyayi adalah pembawa kebudayaan
39
Ngayogyakarta Hadiningrat (Suseno, 2001 : 13). Mereka juga mengembangkan
Tradisi leluhur “tradisi Sekaten” yang mengandung nilai religius dan tradisional
(Bernas, 13 Juni 2004). Kaum priyayi sebagai pembawa kebudayaan kota Jawa
Jawa (Suseno, 2001 :13). Usaha pengembangan ini selaras dengan cita-cita
estetis dan religius zaman Hindu yang masih dijalankan oleh kaum priyayi.
berkembangnya kebudayaan seni, tradisi Keraton, dan sastra Jawa (Suseno, 2001
: 12). Pertunjukkan gamelan, wayang kulit, lagu-lagu Jawa, dan tarian klasik
dan Bangsal Ksatrian. Perannya yang dominan dalam sejarah Jawa telah
menjadikan kota ini sangat berpengaruh. Wibawa dan pengaruh Yogya sangat
luas jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Yogya adalah kota yang bangga
Meskipun budaya Jawa dalam banyak hal masih nampak kental dalam
40
terhadap masuknya unsur-unsur budaya baru. Justru dalam keadaan yang
pun harus bisa dijadikan tuntunan dan tontonan, keduanya harus tetap
terjaga.
Yogyakarta dipimpin oleh seorang Sultan yang memiliki istana (Keraton) yang
sinilah bahasa Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan dari sinilah
adat dan tradisi Jawa lahir dan dikembangkan. Yogya adalah tempat yang paling
bagus bagi mereka yang tertarik dengan tradisi dan budaya Jawa dan ingin
41
42
42
BAB III
terhadap pemeliharaan keutuhan dari sebuah sistem (Pelly, 1994 : 60). Mereka
sistem di Keraton. Sebagai komponen dari sistem yang menempati lapis ketiga
prinsip sukarela, artinya mereka bekerja atas kemauan sendiri dengan jumlah
honor yang sangat kecil. Mereka bekerja dengan tujuan untuk mencari berkah
biasa dan dari Pegawai Pemda DIY yang memang mengabdikan diri pada
Oktober 1988. Di dalam Keraton beliau adalah seorang Raja yang tetap
menjunjung tinggi semua adat istiadat, etika, falsafah, yang berlaku di Keraton
sejak lebih dari 200 tahun silam (Mulyani, 2000 : 30). Dalam tata krama bagi
kerabat Keraton dan Abdi Dalem masih tetap berlaku tradisi Jawa seperti cara
berpakaian adat Jawa. Abdi Dalem masih tetap mengenakan baju pranakan
yang dilengkapi dengan samir, ikat kepala dan keris (Mulyani, 2000 : 30-31).
Abdi Dalem duduk bersila di atas pasir yang memakai alas tikar dan ada yang
tidak memakai alas. Mereka menggunakan bahasa Jawa yang paling halus
senjata lama, seperti : tombak, pedang, dan keris. Abdi Dalem sebagai
pegawai Keraton melakukan tugas dengan penuh disiplin dan setia serta
sinuwun, yaitu abdinya Sultan, dan dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan
kepada Sultan dan penguasa alam ini, setia terhadap yang menguasai keadaan
alam ini dan setia dengan penguasa yang dapat diartikan sebagai Raja Keraton
ketat. Jabatan Abdi Dalem diperoleh seseorang setelah berhasil melalui seleksi
yang pada awalnya dimulai dengan kegiatan magang tanpa mendapat gaji.
Seseorang yang orang tuanya telah bekerja sebagai Abdi Dalem akan diterima
bekerja di Keraton dengan seleksi dan syarat yang tidak begitu sulit.
Persyaratannya yaitu harus bisa berbahasa Jawa dengan baik, sopan santun di
mendapat gaji dan harus membeli perlengkapan sendiri (pakaian, sinjang atau
jarik, samir dan sebagainya) tanpa disediakan oleh Keraton, di sini seseorang
bisa diterima menjadi Abdi Dalem di Keraton harus diuji ketulusan hatinya
Ngarso
Dalem
Sekretaris KH.
Sriwandono
Parentah Hageng
Keraton
Tepas Magang
Dwarapura
7. Kabupaten
Puroloyo
Kithaageng
unsur yang terintegrasi secara baik. Sistem harus mengatur antar hubungan
121). Jika dihubungkan dengan teori tersebut, dengan melihat bentuk bagan
Jika dilihat dari bentuk bagan, maka Abdi Dalem masuk dalam
Pengageng membawahi personalia dari setiap tepas (kantor) dan caos (piket).
di Keraton cukup banyak dan rumit. Oleh karena itu dibuat koordinator yang
• Mengelola absensi
kawedanan dan tepas tersebut dilaksanakan oleh pegawai Keraton yaitu Abdi
Dalem.
tunggal.
pemerintahan.
perencanaan keuangan.
48
keturunan.
keagamaan.
kesejahteraan (asuransi).
49
tertinggi.
tugas- tugas dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab terhadap
Yogyakarta dibagi dalam beberapa jenis serta tugasnya (Afrianto, 2002 : 40),
yaitu :
Yaitu Abdi Dalem yang berasal dari rakyat biasa bukan Pegawai
lain. Seperti halnya pada Abdi Dalem caos yang hanya bekerja di Keraton
pada hari-hari tertentu saja sesuai dengan jadwal piketnya dapat menggunakan
sisa waktunya untuk bekerja di luar Keraton (ada yang sebagai pegawai
kantor, tukang kayu, penjahit, pedagang dan masih banyak yang lainnya)
Sesuai jam kerjanya maka ada dua macam jam kerja dari Abdi
Dalem, diantaranya :
libur.
Dalem caos yang bekerja tiap hari yaitu Abdi Dalem caos
melakukan pekerjaan apa saja atas kemauan sendiri dengan gaji yang sangat
kecil. Mereka bekerja di Keraton dengan prinsip rame ing gawe sepi ing
1 Jajar Rp 150,00
4 Lurah Rp 1.450,00
5 Wedana Rp 2.750,00
7 Bupati Rp 3.150,00
1 Jajar Rp 60,00
4 Lurah Rp 550,00
53
5 Wedana Rp 650,00
8 Bupati Rp 1.900,00
Secara lahiriah jika dilihat besar gaji Abdi Dalem dari Keraton tidak
kepangkatan atau jabatan dengan sifat terbuka, artinya siapa saja dapat
Abdi Dalem. Jika Abdi Dalem bekerja sesuai tata tertib Keraton dan tidak
Abdi Dalem rajin bekerja maka Sri Sultan akan mempercepat Kenaikan
ketugas yang lebih rendah. Itu tergantung dari kesalahannya, namun jika
kesalahannya parah sampai membuat citra Keraton menjadi buruk maka Abdi
Hadiningrat memberi tanah untuk ditempati oleh Abdi Dalem yang masih
keturunan Keraton atau darah biru tapi tidak boleh dijual. Sedangkan untuk
Abdi Dalem yang bukan keturunan Keraton tinggal diluar tanah Keraton
diluar Keraton.
55
bertambah.
2000 : 34).
berdiri paling depan menjadi anutan dan tampil mengambil tanggung jawab
dengan segala resikonya atau ing ngarso sung tulodho (Mulyani, 2000 : 34).
organisasi pemeritahannya.
Gunung Kidul.
58
untuk dunia luar, maka banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang
09.00 dan tutup jam 14.00 WIB, kalau ada pengunjung tetap melayani
pengunjung dengan penuh ikhlas tanpa mengharap imbalan. Dan jika ada
pengunjung yang memberi uang tip untuk Abdi Dalem guide maka mereka
59
akan menerima apa adanya tanpa meminta tambahan lagi. Semua itu
2005).
masih belum sesuai UMR. Pada hakekatnya kenaikan gaji ini nilainya
Secara moral ini menjadi wujud perhatian Sri Sultan kepada Abdi
Gaji untuk Abdi Dalem diperoleh dari sumber dana yang berasal
gula, pabrik rokok, hotel dan lain sebagainya). Bagi Abdi Dalem yang
bekerja setiap hari di tepas mendapat gaji bulanan tetap dari Keraton.
dan caos. Selain itu juga ada Abdi Dalem Koncobiru yang setiap hari
Ada juga gaji harian yang diperoleh Abdi Dalem bagian tepas
1 Jajar Rp 4.600,00
4 Lurah Rp 8.800,00
5 Wedana Rp 13.300,00
7 Bupati Rp 19.000,00
1 Jajar Rp 2.300,00
4 Lurah Rp 5.600,00
61
5 Wedana Rp 7.800,00
8 Bupati Rp 16.000,00
sejumlah uang bagi Abdi Dalem yang mendapat tugas sebagai utusan dari
Keraton seperti menerima dan melayani tamu Sri Sultan baik yang datang
pameran kesenian dan budaya serta menjadi utusan Keraton dalam ajang
kebijakan Sri Sultan yaitu naik haji bagi Abdi Dalem atas biaya Keraton.
sederhana. Artinya gaji pokok tidak sesuai dengan jumlah UMR yang
Keraton “paring dalem” untuk kerabat Keraton dan Abdi Dalem setiap
bulan
62
pangkat Abdi Dalam ditentukan tiga tahun sekali untuk Abdi Dalem yang
bertugas di tepas (kantor) dan lima tahun sekali untuk Abdi Dalem caos
(piket). Selain itu diikuti dengan persyaratan dari Abdi Dalem itu sendiri
kenaikan pangkat :
Keraton.
mereka,
63
Hamengkubuwono IX.
besar.
tinggal diluar tanah Keraton. Tanah Keraton hanya ditempati oleh Abdi Dalem
tanah milik Keraton (tanah magersari), bahkan dapat pula diberikan hak
dengan Hamengkubuwono IX. Tetapi jika dilihat dari bentuk materi Abdi
dapat).
drastis. Keraton tidak lagi mempunyai banyak pujangga, mereka lebih banyak
Dari uraian pada bab ini dapat disimpulkan, bahwa Abdi Dalem di
caos (piket) yang tetap, sesuai tugas yang mereka dapatkan ketika
Dalem. Perlu diketahui juga bahwa tugas Abdi Dalem selalu tetap
Dalem yang pindah ke tepas atau ke caos lain. Kalaupun ada itu
dari jam 09.00-14. 00, kecuali libur. Khusus untuk Abdi Dalem
yang kerja di caos (piket) tidak setiap hari kerja yaitu : ada yang 3
hari sekali, 7 hari sekali, 10 hari sekali dan 12 hari sekali. Mereka
keturunan
68
merupakan
69
ini.
70
BAB IV
terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi
penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat Wali
dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan
Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda dan
(Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta, Yogyakarta,
Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan percaya
kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan
banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari hasil interaksi antara
budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan Non Fisik. Proses
Masjid Agung Demak yang dibuat Wali Sanga tahun 1477 M yang semula
digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan dan tiap tahun digunakan sebagai
tempat Musyawarah tahunan Wali Sanga. Selain itu masjid ini juga digunakan
gamelan pusaka Kanjeng Kiai Sekati ciptaan Sunan Giri yang selama seminggu
Gamelan dimanfaatkan sebagai alat musik. Rakyat yang sangat gemar dengan
kedatangan masyarakat disambut dengan ramah oleh para santri pimpinan Wali
(uraian) agama Islam yang disampaikan oleh Wali Sanga secara bergilir
(Wignyasubrata : 4).
bahasa arabnya Syahadatain, oleh ucapan masyarakat Jawa yang belum fasih lafal
1560 oleh Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Dari Pajang berpindah ke Mataram
pada tahun 1590 oleh Sutawijaya. Pada tahun 1755 M Kerajaan Mataram pecah
menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dari awal
munculnya tradisi Sekaten sampai sekarang tetap menjadi acara tahunan yang selalu
gamelan yaitu : Kanjeng Kiai Sekati yang diberi gelar Kanjeng Kiai Guntursari dan
akhirnya para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai objek
Gamelan Sekaten (Sofwan, 2004 : 278-279). Islam menjadi maju pesat dan dapat
diterima masyarakat Jawa berkat peranan Wali Sanga dan Raja Jawa yang masuk
Sebagai imbangan supaya tetap dua perangkat lalu dibuat perangkat gamelan
yang lain dan diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan inilah yang
1996 : 17).
terhadap tata cara dan adat Keraton. Oleh karena itu, tidak mengherankan
kalau Baginda ingin melestarikan upacara dan adat Keraton Jawa, termasuk
tampak sekali kalau Keraton benar-benar berperan sebagai pusat tradisi dan
Islam. Sekaten yang secara formal bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari situ secara publik juga menjabarkan
keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap
1996 : 19). Jika Kerajaan dalam keadaan gawat, misalnya dalam keadaan
waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh) dipersilahkan
Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni).
religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan
kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh
yang memiliki unsur kebudayaan itu. Dalam hal ini masyarakat Yogya yang
penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat.
dan manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak
keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris sah dari Panembahan
Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat
kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari
78
selama satu bulan lamanya sebelum acara puncak yaitu upacara Garebeg
Maulud tiba. Ada banyak kelompok Abdi Dalem yang terlibat dalam
Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang keamanan. Dari mulainya Miyos
Upacara Sekatenan.
79
meja dan seperangkat kursi kerja yang pernah dipakai oleh Sri Sultan
6. Tepas Rantamarto
besar dana yang diperlukan untuk kegiatan Sekaten dan besar dana yang
7. Tepas Danartopuro
8. Tepas Pariwisata
Setiap tahun Keraton Yogya mempunyai acara yang sangat besar yaitu
luar daerah maupun Luar Negeri. Tepas Pariwisata sangat berperan sekali.
Sekatenan.
9. Tepas Keprajuritan
berperang.
Keraton dan seluruh masyarakat yang hadir pada acara Miyos Dalem.
dan dari Keben ke Masjid Besar dan sebagainya. Pakaian yang mereka
kenakan berupa baju koko merah, celana hitam dan kain. Abdi Dalem
Sekatenan. Namun secara khusus Abdi Dalem yang terlibat dari persiapan
Abdi Dalem Danartopuro, Abdi Dalem Konco Gladhag atau Kabantu, dan
82
2005).
Ada juga Abdi Dalem yang tidak terlibat dari awal pelaksanaan
sampai akhir pelaksanaan, karena kerja Abdi Dalem untuk upacara Sekatenan
Abdi Dalem Widyobudoyo, Abdi Dalem Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem
lainnya.
yang jatuh pada tanggal 12 bulan Maulud. Sementara bagi kelompok Abdi
ingin mencari hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga
untuk mendapatkan bagian dari gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun
1). Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka
meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah
yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil.
ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega atau Manggala
Yuda GBPH. Drs.H. Prabu Yudaningrat, M.M diminta oleh masyarakat. Itu
kegiatan Pasar Malam Perayaan Sekaten dimulai, pada tahun 2005 dimulai
tanggal 11 Maret 2005 dan berakhir pada tanggal 22 April 2005. Pasar
Maulud tiba (lihat gambar 2). Pada perayaan Sekaten ini masyarakat
2005 (jum’at pahing) jam 21.00 WIB gamelan dikeluarkan dari Keraton
Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi
dalam bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa
kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat azan dikumandangkan dan hari
sebagai bentuk kesenian yang paling digemari rakyat Jawa, karena dapat
dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam dengan membunyikan
gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya maka rakyat akan
datang.
Magangan Kidul (lihat gambar 3). Upacara Numplak Wajik sebagai awal
dengan iringan Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco
diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam
Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta (lihat gambar 5). Acara ini
dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati, Abdi Dalem
Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak wisatawan
sejuta umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan
udhik yang telah disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan
pintu Pagongan Selatan dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana
Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton jam 23.00 WIB oleh
prajurit, para gusti bendera pangeran, serta para Abdi Dalem Sipat Bupati
yaitu Abdi Dalem tingkat tinggi di Keraton (Abdi Dalem yang berpangkat
87
Dalem Pareden (gunungan) tepat tanggal 12 bulan Maulud jam 08.30 WIB
Hamengkubuwono IX , ialah :
kebesaran Keraton (lihat gambar 7). Tetapi apabila Prajurit keluar melalui
Yudaningrat, M.M, miyos dari Sitihinggil diikuti oleh para Abdi Dalem,
gunungan tersebut ada beberapa Abdi Dalem Bupati Nayoko dari Keraton
diusung oleh Abdi Dalem ke Masjid Agung tepat jam 08.30 melalui
bergodo prajurit terdiri dari 50 orang. Jadi semuanya kurang lebih ada 400
2005).
untuk didoakan yang dipimpin oleh Pengulu dari Abdi Dalem Kawedanan
yang hadir sebagai berkah dari Ngarso Dalem (lihat gambar 9 dan 10).
ini peran Abdi Dalem masih tetap sama. Mereka mempunyai peran sangat
Sekatenan para Abdi Dalem bekerja dengan giat dan ikhlas mempersiapkan
Sekatenan butuh waktu yang tidak sedikit dan butuh kerjasama yang sangat
tinggi sekali antar kelompok kerja Abdi Dalem sesuai tugasnya masing-
masing.
Dari uraian pada bab ini dapat disimpulkan, bahwa tradisi Sekaten
I. Acara ini bercorak khas kejawen yang bermakna religius, historis dan
syiar agama Islam, karena sebagai kerajaan generatif yang bercorak Islam
dan Garebeg Maulud sebagai puncak acara yang ditandai dengan keluarnya
sampai selesainya acara tersebut. Ada banyak kelompok Abdi Dalem yang
atau Kabantu, Abdi Dalem Pendherek, dan Abdi Dalem Keparak Para Gusti
terlibat dari awal sampai akhir pelaksanaan hanya Abdi Dalem Widyobudoyo,
Abdi Dalem Wahono Sarto Kriyo, Abdi Dalem Rantamarto, Abdi Dalem
penyelenggaraannya.
X, antara lain :
93
115).
April 2005).
Sekaten berlangsung).
membuat hidup masyarakat pelaksananya tidak lepas dari sikap yang ada pada
diri orang Jawa yang beragama Islam pada umumnya. Sikap hidup itu terlihat
Upacara Maulud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
95
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
: organisasi dan tugas Abdi Dalem, jam kerja Abdi Dalem, pangkat
Hadiningrat, antara lain : besar gaji Abdi Dalem dan perhatian Sri
Selatan selama satu minggu lamanya kecuali hari jum’at dan jam-jam
dunia ini dan untuk memetik suri teladan kehidupan Rasulullah SAW.
menggiring mereka kepada hal yang jauh dari tradisi perayaan yang
Sultan pada acara Garebeg Maulud mereka akan mendapat berkah dan
dan umur yang akan dilalui manusia sudah ditentukan oleh Tuhan
B. Saran
saran, diantaranya :
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Afrianto, Cahyo Donny. 2002. Abdi Dalem Sebuah Pengabdian Dalam Pelestarian
Kebudayaan. Yogyakarta : UGM.
Graaf, De. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi Sultan Agung).
Jakarta : PT Temprint.
Magnis Suseno, Fransz. 2001. Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafati tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Mulyani, Sri. 2000. Perubahan Kehidupan Sosial Ekonomi Abdi Dalem Dari
Kehidupan Ke Keratonan Ke Kehidupan Non Kekeratonan. Medan : USU.
101
Punto Hendro G, Eko. 2001. Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu. Semarang :
Bendera.
Peelly, Usman dan Menanti, Asih. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta :
Depdikbud.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan
Alimandan. Jakarta : Kencana.
Santoso, Budi. 2000. Sekilas Tentang Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Malang :
Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.
Sofyan, Ridin dkk. 2004. Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam di Jawa
Menurut Penuturan Babad). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suprianto, Eko. 2000. Dakwah Dalam Tradisi Sekaten. Jombang : Institut Keislaman
Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
Setyastuti, Theresia. 1999. Upacara Garebeg Maulud Pada Pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Whardani, Yetti WS. 2000. Upacara Garebeg Ditinjau Dari Aspek Budaya, Religius,
Serta Peranannya Dalam Upaya Meningkatkan Lama Tinggal Wisatawan di
Yogyakarta. Yogyakarta : Politeknik “API”.
Internet
http // www. com / vision. net . id / keraton yogyakarta (13 juni 2004)
http // www. tembi org / sultan buka sekaten / 1pb. htmx (13 juni 2004)
http // www. tembi org / sekaten tetap tanpa dangdut / 1pb. htmx (13 juni 2004)
Jurnal / Makalah
Theuraphy. April 2005. Sekaten Syiar Islam Melalui Budaya. Edisi III.
103
DAFTAR INFORMAN
Gambar 2. Pasar Malam Perayaan Sekaten berlangsung selama 40 hari dan selesai
setelah perayaan Garebag Maulud tiba.
(Dokumentasi pribadi, 16 April 2005)
Gambar 3. Upacara Numplak Wajik sebagai awal pembuatan gunungan wadon (dihadiri
AD Bupati KHP Widyobudoyo, AD Konco Gladhag dan AD Keparak Para Gusti).
(Dokumentasi pribadi, 18 April 2005)
Gambar 4. Gejog Lesung dilakukan oleh Konco Gladhag sebelum Upacara Numplak
Wajik dimulai.
(Dokumentasi pribadi, 18 April 2005)
Gambar 5. Acara Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta yang dihadiri Sri Sultan
dan AD berpangkat bupati.
( Dokumentasi pribadi, 20 April 2005 )
Gambar 6. Pelaksanaan Kondur Gongso ( gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton ) oleh
AD Konco Gladhag dan AD Kridhomardowo.
(Dokumentasi pribadi, 20 April 2005)
Gambar 7. Kesatuan prajurit yang mengawal gunungan pada upacara Garebeg Maulud.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)
Gambar 8. Gunungan diusung ke depan Masjid Agung dikawal oleh Prajurit Keraton.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)
Gambar 9. Upacara penyerahan gunungan dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang
dipimpin oleh Kiai Pengulu.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)
Gambar 10. Gunungan yang disedekahkan oleh Sri Sultan pada puncak acara Garebegan
menjadi rebutan masyarakat.
(Dokumentasi pribadi, 22 April 2005)