Anda di halaman 1dari 162

KONDISI SOSIAL-EKONOMI

MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II :


KASUS KABUPATEN LINGGA
KONDISI SOSIAL-EKONOMI
MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II:
KASUS KABUPATEN LINGGA

HANING ROMDIATI
SRI SUNARTI PURWANINGSIH

COREMAP-LIPI
PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
(PPK-LIPI), 2008
LIPI COREMAP-LIPI
RINGKASAN

K ajian BME Aspek Sosial Ekonomi di Desa Limbung,


Kabupaten Lingga, Provinsi Riau pada tahun 2008 bertujuan
untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi, khususnya tingkat
pendapatan masyarakat yang merupakan indikator untuk memantau
dampak Program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif, kajian ini mengumpulkan data rumah tangga dan individu
tentang kondisi sosial-ekonomi terkait dengan pengelolaan terumbu
karang. Pengumpulan data/informasi mengenai pendapatan rumah
tangga mendapat penekanan dalam kajian ini, karena indikator
keberhasilan COREMAP dari aspek sosial ekonomi adalah (1)
pendapatan per kapita masyarakat di lokasi target COREMAP
meningkat sebesar dua persen per tahun, dan (2) terdapat
peningkatan taraf hidup sekitar 10.000 rumah tangga pada akhir
program.
Desa Limbung yang merupakan wilayah kepulauan memiliki potensi
sumber daya laut yang cukup besar. Selain kepiting rajungan
(ketam), cumi-cumi, dan ikan bilis, beragam jenis ikan karang
campuran maupun pelagis terdapat di perairan desa ini. Tingginya
potensi SDL tersebut bukan hanya dimanfaatkan sebagian besar
penduduk sebagai sumber mata pencaharian utama, tetapi juga
mendorong perkembangan sektor industri pengolahan daging ketam
(kepiting) yang dapat menyediakan kesempatan kerja kepada
penduduk Desa Limbung, khususnya perempuan.
Teknologi penangkapan SDL yang umum digunakan nelayan
Limbung tergolong masih sederhana. Kebanyakan penduduk
menggunakan sampan dan pompong dengan ukuran mesin kecil (12-
17 PK). Dalam dua tahun terakhir tidak terlihat perubahan pemilikan
dan penguasaan armada tangkap, kecuali jumlah sampan yang
cenderung meningkat, karena bertambahnya nelayan yang hanya
mencari ketam di perairan tidak jauh dari garis pantai yang tentunya

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | iii
cukup dilakukan dengan menggunakan sampan. Pada umumnya
nelayan juga menggunakan alat-alat tangkap sederhana dan
cenderung tidak merusak terumbu karang. Sudah sangat jarang
ditemukan nelayan yang menggunakan parit gamat untuk menangkap
teripang. Selama kurun waktu 2006-2008 telah terjadi perubahan
penggunaan alat tangkap ketam, yaitu dari jaring ke bubu. Perubahan
alat tangkap tersebut didorong oleh kemudahan untuk mendapatkan
bubu ketam dengan cara meminjam kepada tauke dengan harga yang
lebih murah daripada jaring ketam. Disamping itu, bubu ketam juga
mudah dioperasikan, termasuk oleh nelayan perempuan. Jenis alat
tangkap lain yang biasa dipakai oleh nelayan Desa Limbung adalah
jaring ikan, bubu ikan karang, kelong bilis, dan penyauk untuk
menangkap cumi-cumi. Meskipun cenderung tidak ada spesifikasi
terhadap jenis alat tangkap tertentu, tampaknya sebagian nelayan
memilih untuk berkonsentrasi pada penangkapan ketam dengan
menggunakan bubu. Keadaan ini kemungkinan besar dipengaruhi
oleh kemudahan dalam menjual ketam yang dapat dilakukan setiap
saat kepada penampung maupun langsung ke industri pengolahan
ketam yang dalam dua tahun terakhir bertambah dari satu menjadi
menjadi tiga buah.
Kecenderungan penggunaan alat-alat tangkap yang tidak merusak
terumbu karang tersebut sudah cukup lama terjadi, kira-kira sejak
masyarakat mengenal COREMAP yang pertama kali
diimplementasikan pada tahun 2000-an. Sebelumnya, penggunaan
racun, parit gamat, dan jaring dasar untuk menangkap SDL cukup
sering digunakan oleh nelayan setempat maupun nelayan luar.
Bahkan, ketika COREMAP I telah berakhir dan ada masa vakum
sekitar dua tahun karena proses otonomi daerah dan pengalihan
penanggung jawab COREMAP di daerah Lingga, penggunaan alat-
alat tangkap yang merusak mulai dilakukan kembali, khususnya oleh
nelayan dari luar Desa Limbung. Akibatnya, terumbu karang di Desa
ini telah mengalami kerusakan pada tingkat sedang. Keadaan ini
mendorong pengelola dan pelaksanan COREMAP Kabupaten Lingga
untuk memilih kembali lokasi COREMAP I sebagai lokasi
COREMAP II.

iv | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Selama pelaksaan COREMAP II yang dilatarbelakangi oleh nuansa
otonomi daerah dan pengalihan tanggung jawab pelaksana program
nasional tersebut, sejumlah kendala dan persoalan dihadapi yang
menyebabkan keterlambatan dalam pencapaian program dan kegiatan
COREMAP. Persoalan koordinasi, pendanaan, dan keterbatasan
sumberdaya manusia sangat menghambat dalam pelaksanaan kegiatan
COREMAP. Persoalan koordinasi dicerminkan oleh jarangnya
pertemuan antar komponen COREMAP maupun antara anggota
dalam satu komponen. Hal ini berdampak terhadap rendahnya
pemahaman anggota komponen terkait dengan tugas pokok dan
fungsinya (tupoksi) dalam melakukan kegiatan pengelolaan terumbu
karang melalui COREMAP II, disamping kegiatan yang dilakukan
oleh suatu komponen tidak berkoordinasi dengan komponen lain.
Sedangkan kendala pendanaan COREMAP II terjadi pada dana
pendamping dari anggaran APBD yang sering turun sangat terlambat.
Sistem ‘kejar target’ selalu mewarnai pelaksanaan kegiatan
COREMAP di desa/lokasi program, sehingga kualitas hasil kegiatan
tidak baik. Bahkan, sejumlah kegiatan yang direncanakan tidak dapat
dilaksanakan, sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap
pencapaian implementasi COREMAP. Terkait dengan kendala
keterbatasan sumber daya manusia, jabatan rangkap dapat ditemukan
pada semua koordinator komponen maupun Ketua PIU, bahkan
beberapa di antaranya memiliki lebih dari dua jabatan, baik jabatan
struktural maupun proyek. Keadaan ini berdampak terhadap
pelaksanaan kegiatan COREMAP yang tidak optimal, terlebih konflik
kepentingan hampir dipastikan terjadi, yaitu antara mendahulukan
kegiatanCOREMAP atau pekerjaan lain yang menjadi tanggung
jawabnya.
Demikian pula pelaksanaan COREMAP di Desa Limbung belum
menunjukkan keberhasilan dalam upaya meningkatkan pendapatan
penduduk maupun pengelolaan ekosistem terumbu karang. Kegiatan
COREMAP II yang telah dilakukan di Desa Limbung masih sangat
terbatas dan hanya terkonsentrasi di satu dusun. LPSTK dan tiga
pokmas (jender, produksi dan pengawasan) belum melakukan
kegiatan, kecuali pokmas jender yang mendapat bantuan modal dalam
jumlah yang sangat kecil. Akibatnya kegiatan usaha ekonomi

Kasus Kabupaten Lingga | v


produktif yang merupakan sasaran program mata pencaharian
alternatif (MPA) dari komponen PBM masih berhenti dalam usulan
kegiatan (proposal). Dengan demikian, dampak kegiatan COREMAP
terhadap pendapatan rumah tangga maupun pendapatan per kapita
belum nampak dengan nyata.
Perubahan pendapatan dalam dua tahun terakhir tampaknya lebih
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal daripada karena
implementasi kegiatan COREMAP dan program lain. Peningkatan
pendapatan rumah tangga sampel (termasuk mereka yang bekerja di
luar kegiatan kenelayanan) sebesar 30 persen, yaitu dari Rp 948.300,-
per bulan pada tahun 2006 menjadi Rp 1.360.700,- per bulan pada
tahun 2008. Sedangkan kenaikan pendapatan dari kegiatan
kenelayanan sebesar 23,2 persen (dari Rp 743.000,- pada tahun 2006
menjadi Rp 967.200,- pada tahun 2008. Hasil survei juga
menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada rumah tangga
yang memiliki pendapatan rendah (kurang dari 500 ribu rupiah per
bulan), yaitu dari 70 persen menjadi 51,5 persen. Namun demikian,
rumah tangga (lebih dari separuh jumlah rumah tangga sampel) masih
memiliki pendapatan di bawah rata-rata (mean). Gambaran tentang
kondisi kesejahteraan penduduk Desa Limbung yang semakin baik
juga diperlihatkan oleh peningkatan pendapatan per kapita. Pada
tahun 2008, pendapatan per kapita hanya sebesar Rp 423.050,- per
bulan, hampir dua kali lipatnya dari pendapatan per kapita pada tahun
2006 (Rp 223.200,- per bulan), atau meningkat 89,5 persen.
Dampak kenaikan pendapatan dari kegiatan kenelayanan terlihat
dengan jelas di Desa Limbung, karena sebagian besar rumah tangga
mendapat penghasilan dari lapangan pekerjaan perikanan tangkap.
Data empiris ini mengindikasikan semakin banyak rumah tangga
nelayan yang pendapatannya mengalami kenaikan. Pendapatan dari
kegiatan kenelayanan yang cenderung membaik juga terlihat dari
angka median yang meningkat tajam. Bahkan pada tahun 2008, angka
median hampir mendekati rata-rata pendapatan, mengindikasikan
semakin banyaknya rumah tangga nelayan yang pendapatannya
mengalami kenaikan. Terjadi kecenderungan peningkatan pendapatan
dialami oleh rumah tangga yang berpendapatan rendah maupun
menengah yang merupakan kelompok mayoritas.

vi | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Kenaikan pendapatan tertinggi terjadi pada musim ombak lemah,
yaitu sebesar 45,7 persen. Sedangkan kenaikan pendapatan rumah
tangga pada musim ombak kuat sekitar tiga kali lipat lebih besar (15,4
persen) daripada kenaikan rata-rata pendapatan pada musim
pancaroba (4,7 persen). Tren kenaikan pendapatan yang cukup tinggi
pada musim ombak kuat tersebut menggambarkan adanya
peningkatan kapasitas penangkapan nelayan, karena pada musim
ombak kuat hanya nelayan yang mempunyai perahu motor bermesin
cukup besar ( >15 PK) yang dapat melakukan aktivitas melaut.
Perbedaan perubahan pendapatan menurut musim tersebut dapat
dipahami dari kenyataan bahwa kegiatan kenelayanan pada musim
teduh dapat dilakukan dengan maksimal, sehingga pendapatan
nelayan juga lebih besar. Apalagi dalam dua tahun terakhir
tampaknya terjadi peningkatan pemilikan/penguasaan alat tangkap,
khususnya bubu ketam, yang dioperasikan terus-menerus selama
musim teduh dan umumnya selalu menghasilkan setiap pagi dan sore
hari, sehingga berkontribusi terhadap besarnya pendapatan rumah
tangga pada musim ini.
Perubahan pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian, yaitu di
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, dipengaruhi oleh faktor internal,
eksternal dan struktural, yang saling terkait satu dengan yang lain.
Perubahan teknologi penangkapan dalam dua tahun terakhir (2006-
2008) dari jaring menjadi bubu untuk menangkap ketam merupakan
faktor internal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah
tangga. Penggunaan bubu lebih banyak menghasilkan ketam daripada
jaring yang digunakan dua tahun yang lalu, sehingga hasil tangkapan
juga semakin bertambah Alat tangkap ini dapat dioperasikan oleh
anak-anak maupun perempuan dengan kawasan wilayah tangkap di
sekitar pantai yang dapat dijangkau dengan sampan, sehingga tidak
perlu mengeluarkan biaya BBM yang berarti mengurangi biaya
melaut. Setiap kali melaut bisa mengoperasikan lebih dari 20 buah
bubu, sehingga semakin banyak hasil tangkapan ketam, yang berarti
hasil penjualan juga semakin besar. Perubahan teknologi
penangkapan lainnya yang diperkirakan juga mempunyai kontribusi
terhadap peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga di Desa
Limbung adalah pertambahan jumlah pemilikan kelong bilis.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | vii
Meskipun modal untuk memasang kelong bilis cukup besar, hasl yang
diperoleh juga jauh lebih besar daripada hasil penjualan ketam atau
cumi-cumi, karena kelong bilis dapat menghasilkan setiap hari ketika
bulan gelap (20 hari per bulan pada musim teduh hingga awal
pancaroba).
Dari faktor ekternal, perubahan musim sedikit berpengaruh terhadap
hasil tangkapan, tetapi hal ini juga terkait dengan perubahan alat-alat
tangkap yang telah dikemukakan di atas. Peningkatan pendapatan
pada musim angin teduh adalah sangat erat kaitannya dengan
penggunaan bubu ketam dan meningkatnya pemilikan kelong bilis
dalam dua tahun terakhir. Wawancara mendalam dengan pihak
nelayan, industri pengolahan ketam, penampung, dan tokoh setempat,
diperoleh informasi bahwa faktor permintaan dan pemasaran
tampaknya perupakan faktor penting dalam mempengaruhi perubahan
pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayan. Pemasaran hasil
tangkapan yang berupa ketam sangat mudah dilakukan, yaitu kepada
penampung maupun langsung ke PT Ketam (industri pengolahan
ketam). Dengan harga jual yang cenderung stabil, sedangkan hasil
tangkapan ketam semakin banyak, tentunya menambah penghasilan
nelayan. Akses pemasaran ketam yang sangat baik tersebut tidak
terlepas dari faktor permintaan daging ketam olahan dari Singapura
yang cenderung terus meningkat. Dengan demikian, meningkatnya
peluang pasar karena permintaan yang terus menerus dari pasar
internasional terhadap daging ketam, mendorong nelayan untuk
meningkatkan hasil tangkapan dengan cara mengoptimalkan faktor
internal (memaksimalisasi tenaga kerja yang ada dalam rumah tangga
dan meningkatkan/merubah alat-alat tangkap), sehingga berkontribusi
dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga. Peluang pasar ikan
bilis kering dari Desa Limbung, seperti halnya daerah-daerah lain di
Kabupaten Lingga juga sangat luas. Ikan bilis dari daerah ini
dipasarkan di Kota Batam dan Tanjung Pinang, serta di provinsi
sekitar. Hal ni tentunya berdampak terhadap peningkatan pendapatan
nelayan, walaupun masih terbatas pada nelayan bermodal besar.
Sedangkan dari faktor struktural cenderung belum memperlihatkan
kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga.
COREMAP yang telah mengimplementasikan aktivitas usaha

viii | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
ekonomi produktif melalui pokmas produksi, jender, dan konservasi,
tampaknya juga belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Bantuan modal usaha kepada pokmas jender belum dapat
meningkatkan pendapatan rumah tangga peserta program,
kemungkinan besar karena jumlah bantuan tidak besar dan dilakukan
secara perorangan. Hal ini jelas berpengaruh terhadap lambatnya
usaha yang dijalankan oleh anggota pokmas,sehingga manfaat
bantuan tersebut masih terbatas pada terciptanya usaha ekonomi
produktif dalam skala yang sangat kecil. Sedangkan program
pemerintah lainnya adalah Program Bantuan Dana Penguatan Modal
dari KSDA Kabupaten Lingga yang dimulai tahun 2007 di Desa
Limbung. Meskipun bantuan ini lebih banyak diakses oleh nelayan
pemodal besar dan penampung, nelayan kecil juga mendapat manfaat
dari bantuan pinjaman program tersebut. Kredit usaha yang diperoleh
penampung kemudian dipinjamkan kepada anak buah mereka dalam
bentuk alat-alat tangkap maupun mesin pompong. Terpenuhinya
kebutuhan alat dan armada tangkap bagi nelayan dalam jumlah dan
kualitas yang baik berkontribusi terhadap peningkatan hasil
tangkapan yang selanjutnya berdampak terhadap kenaikan
pendapatan.
Kajian ini merekomendasikan perlunya memperkuat koordinasi antar
komponen menjadi sangat penting untuk dilakukan. PIU harus
meningkatkan kinerja untuk mengkoordinir dan memfasilitasi proses
pelaksanaan kegiatan dan target yang harus dicapai oleh masing-
masing komponen dalam mengimplementasikan kegiatan di lapangan.
Demikian pula dana pendamping COREMAP yang berasal dari
APBD perlu dipercepat pencairannya, agar kegiatan COREMAP
tidak selalu “kejar target”. Sedangkan keterbatasan sumber daya
manusia dari aspek kuantitas dan kualitas perlu segera dicarikan jalan
keluarnya, sehingga kegiatan COREMAP dapat berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan dan tujuan serta sasaran.
Upaya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan PBM
di pokmas-pokmas belum menunjukkan hasil nyata, tetapi indikasi ke
arah peningkatan pendapatan terlihat dari dimanfaatkannya bantuan
dana untuk kegiatan produktif pada kelompok jender. Dengan
demikian, konsistensi kegiatan program dan dukungan pengelolaan
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | ix
usaha pemberdayaan ekonomi penduduk perlu dilakukan mengingat
kualitas SDM yang masih rendah dan tidak terbiasa bekerja secara
berkelompok. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pendapatan nelayan adalah melalui program kredit lunak kepada
nelayan, terutama untuk meningkatkan hasil tangkapan (ketam
maupun bilis) yang merupakan sumber daya laut utama di Desa
Limbung.

x | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
KATA PENGANTAR

P elaksanaan COREMAP fase II bertujuan untuk menciptakan


pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut
ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara
berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan mengurangi kemiskinan. Program ini telah berjalan kurang lebih
tiga tahun atau pada pertengahan program. Keberhasilan COREMAP
dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya
peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun merupakan
indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sedangkan dari aspek
sosial ekonomi diharapkan pendapatan per-kapita penduduk naik
sebesar 2 persen per tahun dan terjadi peningkatan kesejahteraan
sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.
Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian
benefit monitoring evaluation (BME) baik ekologi maupun sosial-
ekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk
memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosial-ekonomi
dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi
bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan
mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat,
khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program
COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Hasil BME sosil- ekonomi ini selain dapat dipakai untuk memantau
perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya
peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP, juga dapat
dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan
program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat
lokasi. Dengan adanya evaluasi dan masukan-masukan bagi pengelola
dan pelaksana program, diharapkan dalam sisa waktu yang ada
sampai akhir program fase II, keberhasilan COREMAP dari indikator
bio-fisik dan sosial-ekonomi dapat tercapai.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xi
Buku laporan ini merupakan hasil dari BME sosial-ekonomi yang
dilakukan pada tahun 2008 di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia
Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). BME sosial-
ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim
peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan
beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.
Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan
melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan –
LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti
melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan,
ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan
informal, tokoh masyarakat di lokasi Desa Limbung kami ucapkan
terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu
pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola
COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Lingga, CRITC
Kabupaten Lingga dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah
membantu memberikan data dan informasi.
Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin
dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena
itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan
laporan ini.

Jakarta, Desember 2008


Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc

xii | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR ISI

RINGKASAN iii
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR MATRIKS xvii
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR PETA xxi
DAFTAR LAMPIRAN xxiii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Metodologi 4
1.4. Pembabakan Penulisan 7

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN 9


2.1. Kondisi Geografis 9
2.2. Potensi Sumber Daya Alam dan
Pengelolaannya 13
2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam 13
2.2.2. Wilayah pengelolaan 18
2.2.3. Teknologi Penangkapan 23
2.2.4. Sarana dan Prasarana 31
2.2.5. Program dan Kegiatan Pengelolaan
SDL 32
2.3. Kependudukan 35
2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 36
2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan 37
2.3.3. Pekerjaan 40
2.3.4. Kesejahteraan 47

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xiii
BAB III COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA 53
3.1. Pelaksanaan COREMAP: Permasalahan dan
Kendala 54
3.1.1. Pengelolaan dan Pelaksanaan
COREMAP Fase II Tingkat
Kabupaten 55
3.1.2. Pusat Informasi & Pelatihan
Terumbu Karang (Coral Reef
Information & Trainig Center/
CRITC) 66
3.1.3. Pengelolaan Dan Pelaksanaan
COREMAP Di Tingkat Desa 67
3.2. Pengetahuan Dan Partisipasi Masyarakat
Terhadap Program COREMAP 83

BAB IV PENDAPATAN RUMAH TANGGA:


PERUBAHAN DAN FAKTOR PENGARUH 95
4.1. Pendapatan Rumah Tangga dan
Perubahannya 95
4.1.1. Pendapatan Rumah Tangga dari
Semua Sumber Mata Pencaharian
dan Penerima Pendapatan 96
4.1.2. Pendapatan Rumah Tangga dari
Kegiatan Kenelayanan 100
4.2. Faktor Pengaruh Pendapatan Rumah Tangga 107
4.2.1. Pengaruh Program COREMAP dan
Program Lainnya: Faktor Struktural 107
4.2.2. Perubahan Pendapatan Karena
Faktor Internal 112
4.2.3. Perubahan Pendapatan karena
Faktor Eksternal 114

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 121


5.1. Kesimpulan 121
5.2. Rekomendasi 130

DAFTAR PUSTAKA 135


xiv | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut


Status Pemilikan Aset, 2006 dan 2008, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga 48
Tabel 3.1. Distribusi Persentase Responden Menurut
Pengetahuan Tentang Kegiatan COREMAP II,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga 85
Tabel 3.2. Distribusi Persentase Responden yang
Mengetahui Kegiatan COREMAP Menurut
Keterlibatannya 87
Tabel 3.3. Distribusi Persentase Responden Menurut
Pengetahuan Tentang Jenis Kegiatan UEP -
COREMAP 89
Tabel 3.4. Distribusi Responden Yang Mengetahui Jenis
Kegiatan UEP – COREMAP Menurut Sumber
Informasi 91
Tabel 3.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Keterlibatan
Kegiatan UEP – COREMAP dan Keterlibatannya 92
Tabel 3.6. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan
Mengenai Jenis Usaha Ekonomi yang Pernah
Dilakukan COREMAP 93
Tabel 3.7. Distribusi Responden yang Mengetahui Jenis
Usaha Ekonomi yang Pernah Dilakukan
COREMAP Menurut Keterlibatannya 94
Tabel 4.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, Tahun 2006
dan 2008 (Rupiah) 97

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xv
Tabel 4.2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan
Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Keluarga,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga Utara, Tahun
2006dan 2008 99
Tabel 4.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari
Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga Utara, Tahun 2006
dan 2008 (Rupiah) 105
Tabel 4.4. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut
Kelompok Pendapatan dan Musim, Tahun 2006
dan 2008 (%) 106

xvi | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR MATRIKS

Matriks 2.1. Ciri-ciri dan Kondisi Musim Angin Kawasan


Perairan Limbung 12
Matriks 2.2. Aktivitas Nelayan Desa Limbung Dalam
Pencarian Sumber Daya Laut Menurut Musim 22
Matriks 3.1. Pokmas MPA Desa Limbung Menurut
Program, Jumlah Anggota & Nama Ketua 77

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xvii
xviii | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Distribusi Persentase Responden Umur 7


Tahun keatas Menurut Tingkat Pendidikan
Yang Ditamatkan, Desa Limbung, Kabupaten
Lingga, 2008 38
Gambar 2.2. Distribusi Persentase Responden Umur 10
Tahun keatas Menurut Kegiatan Ekonomi,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, 2008 41
Gambar 2.3. Distribusi Persentase Responden Umur 10
Tahun Yang Bekerja Menurut Lapangan
Pekerjaan, Desa Limbung, Kabupaten Lingga,
2008 42
Gambar 2.4. Distribusi Persentase Responden Umur 10
Tahun Yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, 2008 45
Gambar 2.5. Distribusi Persentase Responden Umur 10
Tahun Yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, 2008 46
Gambar 4.1. Distribusi Persentase Rumah Tangga
Responden Menurut Kelompok Pendapatan,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, 2006 dan
2008 98
Gambar 4.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan
Dari Kegiatan Kenelayanan, Desa Limbung,
Kabupaten Lingga, Tahun 2006 dan 2008 102
Gambar 4.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari
Kegiatan Kenelayanan, Desa Limbung,
Kabupaten Lingga, 2008 104

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xix
xx | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR PETA

Peta 2.1. Desa Limbung dan Sekitarnya 10


Peta 2.2. Wilayah Tangkap SDL di Perairan Kawasan
Limbung 21

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xxi
xxii | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Tabel 2.1. Distribusi Persentase Penduduk Sampel


Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin, Desa Limbung, 2008 137
Lampiran Tabel 2.2. Distribusi Persentase Penduduk
Menurut Lapangan, Jenis, Status
Pekerjaan Utama Dan Jenis Kelamin,
Desa Limbung, Kabupaten Lingga 138

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | xxiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

E kosistem terumbu karang sangat rentan terhadap proses alam


dan perilaku manusia yang merusak, namun kerusakan
terumbu karang di Indonesia cenderung lebih banyak
disebabkan oleh aktivitas manusia. Kegiatan penangkapan SDL
berlebih dan menggunakan alat-alat penangkapan yang tidak ramah
lingkungan (seperti bom, sianida, pukat) merupakan faktor penting
penyebab kerusakan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di
Indonesia karena penangkapan ikan secara berlebihan diperkirakan
mencapai 64 persen dari luas keseluruhan (Sutanta, 2008). Sementara
itu, penangkapan ikan dengan metode merusak menyumbang 53
persen kerusakan terumbu karang di Indonesia.
Upaya merehabilisasi dan mengelola terumbu karang di perairan Desa
Limbung telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1998 melalui
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
Program nasional ini merupakan salah satu program yang bertujuan
untuk mengatasi penurunan populasi sumber daya laut (SDL) di
Indonesia, khususnya terumbu karang. Program ini
diimplementasikan pada kawasan yang dianggap banyak ditemukan
ekosistem terumbu karang dan perlu dipelihara atau diperbaiki
kondisinya. Kegiatan ini dilakukan untuk melestarikan alam atau
lingkungan sebagai akibat pengrusakan pengambilan SDL secara
berlebihan agar tidak mengganggu kehidupan ekonomi nelayan di
kawasan tersebut pada masa datang. Dalam kurun waktu hampir 10
tahun, COREMAP telah diimplementasikan di desa-desa yang
penduduknya menggantungkan hidup dari SDL, dan di akwasan
tersebut telah terjadi kerusakan terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang juga terjadi di perairan laut Limbung,
Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan hasil

Kasus Kabupaten Lingga | 1


penelitian Puslit Oseanologi (P20)-LIPI pada tahun 2006 dengan
menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT), kerusakan
karang di perairan Duara, yang terletak berdekatan dengan Desa
Limbung, berada dalam tingkatan sedang dengan tutupan karang
hidup sebesar 30,9 persen1. Tutupan karang di perairan Limbung
tersebut merupakan angka terendah dibandingkan dengan tujuh
stasiun pengamatan lainnya di perairan Lingga Utara. Selain karena
faktor alam, kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut juga
terjadi akibat aktivitas manusia. Penggunaan parit gamat untuk
menangkap teripang dan pelanggaran wilayah tangkap di daerah
perlindungan laut merupakan dua faktor penting yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan terumbu karang di perairan laut Limbung.
Dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya, kondisi terumbu
karang di Limbung paling buruk, meskipun terjadi kenaikan tutupan
terumbu karang hidup sekitar 9,94 persen (CRITC-LIPI, 2007).
COREMAP di Desa Limbung didanai oleh Bank Pembangunan Asia
(Asean Development Bank-ADB) yang telah dilakukan sejak fase I.
Coremap fase I telah selesai dilaksanakan di Desa Limbung, tetapi
tampaknya masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu,
pelaksanaan COREMAP fase II yang pada tahun 2008 ini telah
memasuki tahun ke tiga diharapkan dapat memperbaiki dan
mengatasi kekurangan pada fase sebelumnya. Program ini merupakan
program nasional yang dirancang untuk menekan laju kerusakan dan
membenahi/merehabilitasi terumbu karang. Selain itu, kegiatan
COREMAP juga mencakup upaya pengentasan masyarakat dari
kondisi kemiskinan, memberikan akses mata pencaharian alternatif,
dan perbaikan fungsi pemerintahan.
Salah satu komponen kunci COREMAP adalah pengelolaan sumber
daya berbasis masyarakat (PBM), yaitu menggabungkan aspek tehnis

1
LIPI dan COREMAP, dua lembaga yang mengukur kondisi terumbu
karang berdasarkan pengamatan langsung dilapangan, menggunakan metode
line intercept transect, membagi tingkat kerusakan berdasarkan persentase
tutupan karang hidup. Kondisi sangat bagus jika persentase tutupanya > 75
persen, bagus: 50 - 75 persen, rusak: 25 - 50 persen, dan rusak berat: < 25
persen.
2 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
pengelolaan dan aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
setempat. Tujuan umum PBM adalah untuk mengurangi tekanan
terhadap sumber daya laut dan ekosistem terumbu karang agar dapat
dimanfaatkan secara berkesinambungan, sekaligus dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka melihat pencapaian program, lembaga donor telah
menentukan indikator keberhasilan, yaitu dilihat dari aspek bio-fisik
dan sosial-ekonomi. Terjadinya peningkatan tutupan karang sebesar 2
persen per tahun merupakan indikator keberhasilan Coremap dari
aspek bio-fisik. Sedangkan indikator keberhasilan dari aspek sosial-
ekonomi adalah: (a) pendapatan per kapita masyarakat di lokasi target
COREMAP meningkat sebesar dua persen per tahun, dan (b) terdapat
peningkatan taraf hidup sekitar 10.000 rumah tangga pada akhir
program (Project Appraisal Document, 2005). Untuk mengetahui
pencapaian indikator keberhasilan COREMAP telah ditentukan suatu
cara monitoring yang dikenal dengan Benefit Monitoring Evaluation
(BME). Kegiatan BME sosial-ekonomi dilaksanakan pada
pertengahan dan akhir tahun program, yang dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program di tingkat lokasi,
kabupaten, maupun nasional. Dengan demikian, manfaat dari
kegiatan BME bagi pengelola program adalah sebagai dasar
pertimbangan dalam merespon permasalahan yang dihadapi dan
mengambil tindakan agar program dapat berjalan sesuai dengan arah
dan tujuan yang telah ditentukan.

1.2. TUJUAN
Survei “Benefit Monitoring Evaluation Aspek Sosial-Ekonomi
COREMAP” merupakan kelanjutan dari “Studi Aspek Sosial
Terumbu Karang tahun 2006”. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kondisi sosial-ekonomi, khususnya tingkat pendapatan
masyarakat yang merupakan indikator untuk memantau dampak
Program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Secara detail tujuan survei BME meliputi:
1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan
Program COREMAP di daerah

Kasus Kabupaten Lingga | 3


2. Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai Program
COREMAP
3. Menggambarkan perubahan tingkat pendapatan masyarakat
untuk memantau dampak Program COREMAP terhadap
kesejahteraan masyarakat.

1.3. METODOLOGI
Penelitian BME ini merupakan studi yang bertujuan untuk memantau
pelaksanaan Program COREMAP yang sudah berjalan. Oleh karena
itu, lokasi penelitian adalah desa yang juga dipilih pada kegiatan
survei pada tahun 2006. Lokasi penelitian adalah Desa Limbung,
Kecamatan Lingga Utara yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Lingga. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive
dengan alasan karena Desa Limbung merupakan salah satu desa dari
tujuh desa yang merupakan lokasi implementasi COREMAP fase I
maupun fase II. Meskipun Desa Limbung meliputi tiga dusun, tetapi
penelitian BME sosial-ekonomi hanya dilakukan di dua dusun, karena
satu dusun lainnya (Linau) tidak menjadi lokasi COREMAP. Bahkan,
direncanakan dusun tersebut akan terpisah dari Desa Limbung
menjadi desa tersendiri.
Sebagaimana dengan pemilihan lokasi penelitian, pemilihan rumah
tangga sampel merupakan responden yang disurvei pada tahun
20062). Namun demikian, sebanyak delapan (8) rumah tangga sampel
harus diganti, karena responden yang terdahulu tidak ada di tempat
selama survei dilakukan, meninggal (sedang ART bergabung dengan
kerabat), dan pindah ke luar desa. Pemilihan rumah tangga pengganti
diupayakan mempunyai kemiripan karakteristik sosial-ekonomi
dengan rumah tangga yang digantikan.
Pengumpulan data BME aspek sosial-ekonomi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yang bersifat
kuantitatif, sedangkan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan

2
Pemilihan rumah tangga dilakukan dengan metode sampel secara acak
sistematis (sistematic random sampling).
4 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
pemahaman lebih mendalam tentang berbagai isu terkait dengan
pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, serta pelaksanaan
kegiatan COREMAP.
Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan data di tingkat
rumah tangga, yaitu dengan melakukan survei terhadap rumah tangga
terpilih. Survei dilakukan dengan cara tatap muka dengan responden.
Sebanyak 7 orang pewawancara yang telah mendapat pelatihan,
membantu dalam pelaksanaan survei. Pelatihan dilakukan untuk
memberikan pemahaman tentang maksud dan tujuan pengumpulan
data, serta materi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner.
Selanjutnya, kuesioner yang telah terisi diperiksa oleh tim peneliti
untuk melihat kelengkapan data dan konsistensi jawaban. Data yang
diperoleh dari survei adalah data rumah tangga dan individu. Data
rumah tangga ditanyakan kepada kepala rumah tangga (KRT) atau
ART dewasa yang mengetahui tentang kehidupan rumah tangga
bersangkutan. Sedangkan data individu diperoleh dari ART berusia >
15 tahun yang dipilih dengan cara acak insidental/kebetulan (pada
saat dilakukan survei ada di tempat). Data rumah tangga mencakup
kondisi demografi anggota rumah tangga dan kondisi ekonomi
(pekerjaan, pendapatan, dan pemilikan aset rumah tangga), atau sama
dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada survei tahun 2006,
sehingga dapat dipakai untuk analisis perubahan pendapatan.
Sedangkan pada tingkat individu, data/informasi yang dikumpulkan
adalah pengetahuan dan partisipasi ART terpilih (responden) dalam
kegiatan COREMAP, pengetahuan dan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan serta keterlibatan ART terpilih, serta dampak COREMAP
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan
wawancara mendalam, diskusi terfokus (FGD), dan observasi.
Wawancara mendalam ditujukan pada informan di tingkat lokasi/desa
dan kabupaten. Informan di tingkat desa adalah nelayan, ketua dan
anggota Pokmas, pemuka masyarakat (formal maupun informal),
anggota masyarakat lain yang diperkirakan mengetahui tentang
pengelolaan terumbu karang, dan tenaga pendamping. Sedangkan
informan di tingkat kabupaten adalah koordinator/anggota komponen
COREMAP Kabupaten Lingga, LSM, dan fasilitator. Sedangkan

Kasus Kabupaten Lingga | 5


FGD di tingkat kabupaten dilakukan pada tujuh orang tenaga
pendamping COREMAP di Kabupaten Lingga. FGD di desa
penelitian juga dilakukan dengan peserta berasal dari kelompok
nelayan dan anggota Pokmas. Observasi lapangan hanya dilakukan di
tingkat desa, yaitu untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman
tentang keadaan lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut dan
terumbu karang. Data yang dikumpulkan melalui pendekatan
kualitatif adalah data/informasi yang tidak diperoleh dari kegiatan
survei, sehingga dapat saling melengkapi dengan data kuantitatif.
Informasi yang dikumpulkan dengan pendekatan kualitatif meliputi
berbagai aspek terkait dengan program dan kegiatan pengelolaan
terumbu karang dan sumber daya laut, produksi dan pemasaran SDL,
lokasi dan wilayah penangkapan, kondisi daerah, dan degradasi
lingkungan.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian BME aspek sosial ekonomi
juga digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang tersedia di
instansi-instansi pemerintah dan non-pemerintah. Desk review
terhadap hasil penelitian/kajian sebelumnya, kebijakan/program
terkait dengan program COREMAP, dan bahan-bahan dokumentasi
lain yang relevan juga dilakukan untuk menambah pemahaman
tentang BME dari aspek sosial ekonomi.
Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei dianalisis dengan
menggunakan tabulasi frekuensi dan tabulasi silang untuk mengetahui
keterkaitan antara variabel-variabel yang dianalisis. Analisis data
kuantitatif berfokus pada perubahan kondisi sosial ekonomi rumah
tangga, khususnya perubahan pendapatan. Sedangkan analisis data
kualitatif yang dilakukan dengan tehnik analisis kontekstual (content
analysis) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat,
dengan penekanan pada faktor yang mempengaruhi perubahan
pendapatan serta isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan COREMAP
di tingkat desa maupun kabupaten.

6 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
1.4. PEMBABAKAN PENULISAN
Laporan peneitian “BME Sosial Ekonomi di Desa Limbung,
Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga” ini terdiri dari lima
bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar
belakang dilakukannya kajian Benefit Monitoring Evaluation Sosial-
Ekonomi, tujuan dan metodologi penelitian. Deskripsi tentang kondisi
daerah penelitian terdapat pada Bab II yang meliputi kondisi
geografis, potensi sumber daya alam darat dan laut, wilayah
pengelolaan dan kapasitas penangkapan sumber daya laut, sarana-
prasarana terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan
kesejahteraan penduduk, serta kondisi kependudukan. Selanjutnya
Bab III berisi uraian tentang pelaksanaan dan pengelolaan
COREMAP di tingkat desa maupun kabupaten. Sedangkan analisis
tentang pendapatan penduduk dan perubahannya serta faktor yang
mempengaruhinya dibahas pada Bab IV. Sebagai akhir tulisan adalah
Bab V yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi
yang merupakan pemikiran-pemikiran untuk pertimbangan dalam
penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan terumbu
karang.

Kasus Kabupaten Lingga | 7


8 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
BAB II
PROFIL LOKASI PENELITIAN

2.1. KONDISI GEOGRAFIS

D esa Limbung adalah salah satu desa dari 36 desa yang


termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Lingga
Utara3 dengan luas wilayah 40,408 km2. Jarak antara Desa
Limbung dengan pusat pemerintahan Kabupaten Lingga, Kota Daik,
sekitar 37 kilometer yang dapat ditempuh melalui jalan darat4. Namun
sarana jalan ini dibandingkan pada saat survey data dasar COREMAP
(2006) kondisinya semakin parah, sehingga bila hujan sulit untuk
keluar desa menuju kota kabupaten (Kota Daik) atau desa sekitarnya.
Desa Limbung berbatasab dengan Kecamatan Senayang di sebelah
utara, Desa Keton, Desa Sei Pinang, dan Desa Bukit Harapan di
sebelah selatan, Desa Pekaka di sebelah barat, dan Desa Teluk di
sebelah timur (lihat Peta Desa Limbung).
Pada struktur pemerintahan Desa Limbung, desa ini terbagi atas tiga
dusun yaitu Dusun Centeng, Dusun Sinempek, dan Dusun Linau.

3
Kecamatan Lingga Utara termasuk dalam wilayah Kabupaten Lingga.
Kecamatan ini terbentuk bersamaan dengan perubahan status wilayah
administrasi, yaitu dari Kecamatan Lingga menjadi Kabupaten Lingga yang
merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (pada saat
ini menjadi Provinsi Kepulauan Riau).
4
Alat transportasi umum yang menghubungan ibukota Propinsi Kep. Riau
(Tanjung Pinang) dengan ibukota Kabupaten Lingga (Daik) adalah fery yang
berlabuh di dermaga, tak jauh jauh dari Dermaga Tanjung Buton yang masih
dalam proses penyelesaian, kemudian disambung dengan pompong hingga
Dermaga Tanjung Buton. Dari dermaga ini disambung dengan transportasi
darat menuju Kota Daik, selanjutnya ke Desa Limbung dengan waktu
tempuh sekitar satu setengah jam. Jalur lain untuk menuju Desa Limbung
dari pelabuhan Tanjung Pinang langsung Kecamatan Lingga (Dermaga
Pancur), kemudian disambung dengan pompong langsung ke desa.

Kasus Kabupaten Lingga | 9


Selain tiga dusun tersebut, terdapat beberapa ’dusun kecil’ yang
masuk dalam lingkup tiga dusun dan penduduk menyebutnya
’kampung’. Misalnya, Dusun Sinempek ada Kampung Air Kelat dan
Kampung Sei Nona, Dusun Centeng ada Kampung Seranggas.
Transportasi antar desa atau dusun umumnya dilakukan melalui laut
menggunakan pompong atau sampan. Jalan darat yang ada hanya
menghubungi Dusun Centeng dan Dusun Sinempek namun
kondisinya sangat buruk; terutama pada saat hujan atau setelah hujan.
Oleh karena itu, penduduk jarang yang melalui jalan darat dan lebih
memilih jalan laut bila hendak keluar atau masuk ke Dusun
Sinempek.
Peta 2.1. Desa Limbung dan Sekitarnya

Sumber : Bappeda Kabupaten Lingga, 2005.


Sebagai kawasan kepulauan, Desa Limbung terdiri dari wilayah pulau
dan pesisir yang dikelilingi oleh lautan. Luas pulau-pulau tersebut
berkisar antara 1 – 3 hektar dan di antaranya ada yang tidak
berpenghuni. Beberapa pulau yang menjadi tempat masyarakat
mencari ikan dan berkebun antara lain adalah P. Jakok, P. Tikus, P.
Malang Sekateh, P. Seranggas, P. Telum, P. Baruk, P. Kekek, P

10 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Terumbu Terap, dan P. Hantu. Para nelayan Limbung mencari ikan di
sekitar pulau-pulau tersebut karena dengan peralatan yang sederhana
mereka kurang berani untuk pergi melaut dengan jarak jauh.
Sedangkan tanah yang tidak berpenghuni ada yang telah dikelola
penduduk secara turun-temurun, sehingga dianggap tanah milik
keluarga.
Walaupun desa ini terletak di wilayah pesisir, namun secara topografi
desa ini berbentuk datar, bergelombang, berbukit dengan tingkat
kemiringan cukup tajam. Pada dataran tinggi terdapat kawasan hutan
yang kayunya dimanfaatkan masyarakat untuk dijual maupun
digunakan sendiri. Penduduk ada yang membawa kayu tersebut ke
luar Desa Limbung sebagai salah satu kegiatan mereka, namun
kegiatan ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Dampak dari
kegiatan ini jalan menjadi jelek dan bila hujan sangat licin karena
belum diaspal, sehingga sulit untuk keluar masuk Desa Limbung.
Pada saat ini pengambilan kayu memang berkurang karena adanya
larangan untuk menebang kayu, namun jalan-jalan ke desa ini
terlanjur hancur; terutama di daerah perbukitan.
Akhir-akhir ini, iklim di kawasan Limbung mulai menunjukkan
ketidakteraturan. Kondisi alam ini mulai dirasakan nelayan dengan
ketidakteraturannya cuaca di kawasan Limbung atau perairan di
sekitar tempat mencari ikan, sehingga berpengaruh dalam melakukan
kegiatan kenelayanan. Penduduk ada yang mengatakan, mungkin
pemanasan global mulai memasuki kawasan Limbung. Namun secara
umum kawasan ini dipengaruhi oleh empat (4) musim dengan ciri-ciri
tiupan angin berbeda-beda yang berpengaruh terhadap gelombang
laut di kawasan tersebut. Keempat musim tersebut adalah musim
timur, musim selatan, musim barat, dan musim utara yang sangat
mempengaruhi nelayan dalam mencari SDL (lihat matriks 2.1. di
bawah ini).
Alat tranportasi umum (laut) antar pulau atau dusun belum ada.
Apabila akan ke kota kecamatan (Pancur) menggunakan perahu
motor umum (sewa) atau terlebih dahulu naik ojek/motor hingga Desa
Resun dengan sewa Rp. 40.000,-, kemudian dilanjutkan angkutan
perahu motor hingga Pancur Rp. 5.000,- per orang. Selain itu, secara
periodik (3 kali seminggu) ada kapal motor pengumpul ikan dari
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 11
Pancur ke perairan Desa Limbung yang kadang-kadang bisa
ditumpangi penduduk yang akan ke Pancur atau sebaliknya tampa
membayar. Transportasi jalur Limbung – Pancur ini cukup ramai,
karena Pancur adalah tempat penduduk Limbung melakukan transaksi
penjualan hasil laut dan berbelanja kebutuhan nelayan dan rumah
tangga. Sedangkan transportasi umum dari Daik menuju Desa
Limbung belum ada, kecuali ojek motor dan penyewa kendaraan
pribadi yang berdomisili di Daik. Sewa kendaraan Daik – Limbung
cukup mahal, yaitu ojek antara Rp. 40.000,- - Rp. 50.000,- dan sewa
kendaraan sekitar Rp. 300.000,- satu kali jalan (tahun 2008).
Transportasi laut dari Daik ke Limbung adalah melalui Kota
Kecamatan Lingga Utara (Pancur) yang jaraknya sekitar 47 kilometer.
Pada umumnya penduduk Limbung menggunakan perahu
motor/pompong milik sendiri atau menumpang pompong orang lain
dengan memberi uang untuk pembeli bahan bakar minyak.
Matriks 2.1. Ciri-ciri dan Kondisi Musim Angin Kawasan Perairan Limbung

Musim Bulan Kondisi Laut Kegiatan Melaut


Angin Maret – Mei • Angin lemah • Persiapan melaut
Timur • Gelombang • Setiap hari melaut
tenang • Panen ikan & SDL lain
Angin Juni - • Pancaroba • Menurunkan semua alat tangkap
Selatan September • Kadang2 angin & yang digunakan untuk
hujan, tapi penangkapan SDL yang ada di
sebentar perairan Limbung
• Setiap hari
• Panen cumi, gonggong, bilis,
ikan, kepiting, teripang
Angin Barat September – • Pancaroba • Melaut namun diiringi rasa
(Ulu Barat) Desember • Tiba2 angin ribut, khawatir karena cuaca yang tiba-
berawan, dan tiba berubah
hujan
• Sering dengan
waktu yang lama
Angin Januari – • Gelombang kuat • Tidak melaut Æ libur
Utara Maret • Menebar jaring atau memancing
ikan di pinggir pantai
Sumber: Wawancara dengan beberapa informan penduduk Desa Limbung, penelitian BME –
COREMAP, 2008

12 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
2.2. POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN PENGELOLAANNYA
Desa Limbung walaupun tidak luas namun memiliki potensi sumber
daya alam (SDA) yang cukup kaya, baik yang terdapat di darat
maupun di laut. Kira-kira sebagian dari luas daratan desa ini memiliki
potensi di sektor pertambangan, perkebunan, pertanian (tanaman
keras dan pangan), dan kehutanan. Begitu pula dengan sumber daya
laut (SDL), potensi pokoknya adalah kepiting rajungan, cumi-cumi,
dan ikan bilis. Sedangkan hasil tangkapan lain seperti beragam jenis
ikan karang campuran dan pelagis walaupun bukan tangkapan pokok
nelayan, namun cukup banyak dijumpai di perairan Limbung.
Selanjutnya akan dideskripsikan kondisi sumber daya darat dan
sumber daya laut yang berpotensi di Desa Limbung.

2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam


Sumber Daya Darat
Sumber daya darat yang ada di Desa Limbung mencakup hutan
primer, perkebunan keras, dan pertambangan. Pada saat ini kondisi
hutan primer semakin berkurang dengan adanya pembalakan kayu
yang cukup tinggi, terutama pada saat pembukaan hutan untuk daerah
transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini makin parah
dengan adanya penebangan liar, baik dilakukan oleh perusahaan
maupun masyarakat, yang kayunya dijual ke luar Desa Limbung.
Selain itu, penduduk pun memanfaatkan kayu-kayu tersebut untuk
pembuatan tiang pancang kelong bilis dan papan untuk dinding rumah
penduduk. Akhir-akhir ini memang telah dilakukan berbagai tindakan
terhadap penebang liar, namun kondisi hutan sudah parah dan
kayunya pun makin menipis.
Kondisi tanah di Kabupaten Lingga juga cocok untuk lahan
perkebunan. Oleh karena itu, kabupaten ini telah mengembangkan
beberapa jenis komoditas yang dianggap cukup besar antara lain
adalah kelapa, karet, lada, cengkeh, dan sagu. Selain itu, walaupun
tidak berskala besar juga dikembangkan beberapa jenis komoditas
perkebunana lain yang cukup potensial, yaitu kakao, gambir, dan kopi
(BPS Kab. Lingga, 2007: 25). Beberapa jenis tanaman perkebunan
tersebut juga terdapat di Desa Limbung yang umumnya masih
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 13
merupakan perkebunan rakyat. Antara lain jenis tanaman yang
dikembangkan masyarakat Desa Limbung adalah tanaman sagu,
kelapa dan karet.
Wilayah kebun sagu di Kabupaten Lingga hanya terdapat di
Kecamatan Lingga Utara dan Kecamatan Lingga dengan total luas
3.492,68 ha. Berdasarkan luas perkebunan sagu yang menghasilkan
(1.382,01 ha.) di kedua kecamatan tersebut, Kecamatan Lingga Utara
memiliki lahan sagu paling luas yaitu 841,36 ha (BPS Kab. Lingga,
2007: 37). Khusus Desa Limbung, luas kebun sagu sekitar 250 ha.
dan terluas banyak dijumpai di Dusun Sinempek. Perkembangan
perkebunan sagu di Sinempek cukup baik terutama dengan adanya
pabrik tepung sagu di dusun tersebut. Bahkan menurut pemilik
pabrik, kebutuhan akan tepung sagu cukup tinggi namun pemasok
masih kurang dan terbanyak dari kebunnya sendiri. Ini disebabkan
penduduk yang membuka lahan sagu masih terbatas dan mereka lebih
suka pergi melaut daripada berkebun sagu. Produksi pabrik yang
berupa tepung tersebut dikirim ke Palembang dengan kapal melalui
Jambi. Mengingat prospek kebutuhan tepung sagu cukup baik, maka
sebaiknya areal kebun sagu lebih diperluas karena kondisi tanah di
dusun ini cocok untuk tanaman ini.
Penduduk Desa Limbung, terutama mereka yang berdiam di wilayah
daratan, telah lama mengusahakan tanaman karet. Pemanfaatan lahan
untuk kebun karet masih sistem kebun rakyat, tampak ada perawatan,
dan disadap ketika permintaan pasar tinggi. Luas kebun karet hanya
sekitar 7 persen dari luas daratan Desa Limbung, namun umumnya
kondisi pohon karet tersebut berusia cukup tua. Walaupun belum
banyak penduduk yang membuka perkebunan karet, namun bila
pohan-pohan karet yang telah tua tersebut direvitalisasi tampaknya
akan berpotensi untuk dikembangkan. Apalagi pada saat evaluasi ini
dilakukan, harga karet sedang tinggi sehingga penduduk mulai
bersemangat mengusahakan kembali perkebunan karet mereka.
Situasi ini juga berpengaruh terhadap penduduk lain yang juga
bersemangat membuka lahan mereka untuk ditanami karet.
Perkebunan kelapa yang ada di Desa Limbung umumnya tumbuh
secara alamiah dan tidak diusahakan secara profesional, sehingga
hasilnya pun tidak maksimal dan hanya untuk memenuhi kebutuhan
14 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
sendiri. Apalagi harga jualnya rendah dan bila dibawa ke luar desa
tranportasinya cukup mahal. Mungkin usaha perkebunan kelapa dapat
berkembang di desa ini bila ada penduduk yang mengusahakan
pengolahan produksi kelapa yang dapat mendorong penduduk untuk
berkebun secara profesional. Misalnya usaha produksi kopra atau
makanan terbuat dari kelapa. Sebagai daerah pesisir, potensi pohon
kelapa perlu menjadi perhatian sebagai alternatif mata pencarian
apabila tidak melaut.
Pada saat surveI data dasar aspek sosial ekonomi terumbu karang
dilakukan (tahun 2006), pemerintah kabupaten bersama perusahaan
swasta berencana untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di
wilayah Desa Limbung, yaitu lokasi transmigran Dusun Linau.
Walaupun lahan untuk perkebunan ini telah dibuka, namun
tampaknya usaha ini tidak berjalan dengan semestinya. Bahkan
menurut informasi yang diperoleh, perusahaan akan mengalihkan
lahan untuk kelapa sawit tersebut untuk tanaman jagung. Situasi ini
berdampak terhadap kekecewaan penduduk yang sangat berharap
terhadap usaha perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan data Kabupaten Lingga dalam Angka 2006, kountur
tanah Kecamatan Lingga Utara cocok untuk lahan pertanian pangan,
terutama Pulau Lingga, Pulau Singkep dan beberapa pulau di
Kecamatan Senayang (BPS Kab. Lingga, 2007: 12). Khusus Desa
Limbung, jenis tanaman pangan yang dominan adalah palawija,
sayuran, dan buah yang banyak dijumpai di daerah transmigrasi.
Masyarakat transmigran sejak awal di desa ini yang membuka lahan
pertanian tampa irigasi atau lahan kering, karena umumnya mereka
tidak biasa pergi melaut. Sedangkan masyarakat setempat atau orang
Melayu jarang yang mengolah lahan kering atau kebun, karena
mereka umumnya pergi melaut. Tanah-tanah mereka tidak atau jarang
yang dirawat atau dibuka untuk sebagai usaha pertanian atau kebun,
dan bila ada tumbuh yang menghasilkan umumnya adalah tanaman
liar atau tidak dipelihara. Pengembangan pada usaha pertanian pangan
ini, walaupun sulit bila masyarakat mau mengelola lahannya secara
optimal untuk tanaman palawija mungkin dapat berhasil. Dalam hal
ini, bila ada Pokmas MPA-COREMAP yang memulai dan diberi
pelatihan atau bimbingan cukup mungkin usaha ini dapat menjadi

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 15
mata pencaharian alternatif bagi penduduk Desa Limbung. Paling
tidak untuk memenuhi kebutuhan sayur dan buah bagi penduduk
Limbung, sehingga tidak tergantung pemasokan dari luar seperti
Pancur dan Daik.
Kawasan daratan Kabupaten Lingga ada beberapa jenis pertambangan
yang berpotensi cukup menonjol, antara lain adalah boksit, pasir, dan
batu granit. Di Desa Limbung yang sudah dieksplorasi adalah
pertambangan pasir di sekitar Air Kelat dan melibatkan perusahaan
swasta yang dieksport ke negara tetangga (Singapura). Usaha ini
sudah berlangsung lama, sekitar tahun 2000-an, dalam volume besar
dan sekitar dua tahun silam ditutup karena ada larangan untuk
penambangan pasir. Namun larangan tersebut muncul setelah pasir di
lokasi itu telah terkeruk dan pantainya terlihat rusak. Kondisi ini
terntu akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya laut,
termasuk terumbu karang. Kegiatan pertambangan lain belum muncul
di kawasan Desa Limbung, walaupun potensi tambang seperti batu
granit ada di sekitar desa ini. Untuk menjaga kelestarian lingkungan
dan ekosistem SDL, pemerintah harus mempunyai perencanaan yang
jelas dan tidak sembarangan dalam memberikan ijin pada pengusaha
yang ingin membuka usaha tambang di Kawasan COREMAP,
termasuk Kawasan Limbung.

Sumber Daya Laut


Perairan kawasan Desa Limbung mengandung potensi sumber daya
laut, baik berbagai jenis ikan maupun non-ikan, yang produksinya
cukup besar. Jenis-jenis SDL yang menonjol di perairan sekitar Desa
Limbung dan merupakan hasil tangkapan utama nelayan antara lain
adalah kepiting/ketam, cumi-cumi, ikan bilis, teripang dan gonggong
atau siput. Besarnya potensi dua jenis biota laut ini menjadikan Desa
Limbung sebagai pemasok ketam, cumi-cumi dan ikan bilis ke
Tanjung Pinang dan Batam, bahkan ke Negara Singapura.
SDL ikan yang banyak terdapat di perairan Limbung adalah ikan
bilis/teri, ikan karang seperti kerapu, delah, sangerat, ungar, ikan
merah, ikan bulat, dan dingkis. Selain itu, terdapat juga berbagai jenis
ikan pelagis seperti ikan tenggiri, pari, dan kembung. Meskipun ikan

16 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
karang dan pelagis bukan merupakan hasil tangkapan utama, namun
potensi jenis-jenis ikan tersebut cukup besar karena kondisi terumbu
karang di Desa Limbung termasuk sedang hingga baik. Pemasaran
dari ikan-ikan tersebut tidak di desa ini, namun kepada pedagang ikan
yang datang tiga kali seminggu dari Pancur untuk mengambilnya.
Sistem pemasaran ada dua macam, yaitu ikan hidup dan ikan mati.
Pada saat kapal datang, nelayan pengumpul akan mengantarkannya ke
kapal yang berlabuh agak jauh dari pantai.
Akhir-akhir ini berkembang budidaya ikan kerapu, khususnya kerapu
sunu dan tiger, yang diusahakan oleh beberapa nelayan. Kegiatan ini
terutama ada di Dusun Sinempek karena budidaya ikan ini cocok
untuk perairan di dusun ini. Melihat keuntungan yang diperoleh dari
usaha budidaya ini cukup tinggi, penduduk banyak yang ingin
mencoba namun terbentur pada modal. Untuk mengembangkan usaha
ini dibutuhkan biaya cukup besar untuk membangun tempat
pemeliharaan ikan dan membeli bibit ikan kerapu yang harganya
cukup mahal. besarnya minat masyarakat Desa Limbung untuk
mengembangkan budidaya kerapu terlihat dari proposal Pokmas
MPA-COREMAP, yaitu cukup banyaknya kelompok yang
berkeinginan untuk budidaya ikan tersebut. Kemudian, pada tahun
2007 dan dilanjutkan 2008 pemerintah melalui Dinas Kelautan dan
Pertambangan memberi bantuan bibit ikan kerapu di dusun ini.
Sumberdaya lain yang juga masih banyak dijumpai adalah hutan
bakau (mangrove) di bagian pesisir pulau-pulau kawasan Desa
Limbung. Kondisi hutan bakau mulai berkurang karena masa lalu
penduduk sering mengambil kayu bakau sebagai bahan bakar.
Adanya intervensi untuk menjaga kelestarian ekosistem SDL seperti
kepiting bakau dan ketam, yaitu dengan tidak melakukan penebangan
pohon bakau secara berlebihan terlihat dari berkurangnya masyarakat
memanfaatkan kayu bakau untuk kayubakar. Namun kegiatan ini
dapat saja diulangi kembali oleh masyarakat bila terdesak oleh
kehidupan ekonomi yang semakin tinggi atau kesulitan memperoleh
bahan bakar untuk memasak, sehingga mereka kembali menebang
kayu bakau untuk kebutuhan hidupnya. Apalagi program COREMAP
fase I untuk penanaman pohon bakau terhenti begitu saja, sehingga
banyak yang gagal dan belum ada kelanjutannya. Seperti umumnya di

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 17
masyarakat, kesadaran untuk penanaman kembali secara individu
belum muncul dan hanya menunggu pemberian atau intervensi dari
pihak luar. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya kembali
kegiatan penebangan bakau sebaiknya Pemerintah Desa berupaya
melindungi hutan bakau dengan menetapkan kawasan perlindungan
hutan mangrove. Hal ini mengingat pohon bakau memiliki fungsi
untuk melindungi pantai dan sekaligus sebagai tempat bernaungnya
berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.

2.2.2. Wilayah pengelolaan


Nelayan Desa Limbung umumnya adalah nelayan tradisional, baik
dari alat tangkap maupun sarana transportasinya. Dampak dari
kesederhanaan perlengkapan mereka adalah lokasi penangkapan ikan
dan SDL lainnya yang tidak jauh dari Desa Limbung. Wilayah
tangkap para nelayan bervariasi menurut jenis sumber daya laut yang
ditangkap. Ada beberapa jenis sumber daya laut yang menjadi
andalan nelayan di Kawasan Limbung, yakni ketam, bilis/teri,
teripang (Strombus Camariun), cumi-cumi (nus), dan ikan karang.
Jarak tempuh paling jauh adalah ke Pulau Semut di Kabupaten
Senayang untuk mencari cumi-cumi (nus). Kenaikan harga BBM
sangat berdampak terhadap jangkauan nelayan untuk mencari ikan.
Pencarian cumi-cumi, dikenal dengan istilah nyomek, sebagai SDL
yang banyak memberi keuntungan bagi nelayan Desa Limbung,
khususnya nelayan Dusun Sinempek, tidak hanya di sekitar perairan
Limbung namun di luar Limbung. Lokasi pencarian cumi-cumi di
perairan Limbung adalah sekitar Batu Putih (Tanjung Takeh) hingga
ke bagian selatan Pulau Buluh atau Pulau Kojong. Walaupun harga
BBM naik yang cukup berpengaruh terhadap jarak tempuh nelayan,
namun karena cumi-cumi akan memberi keuntungan maka Pulau
Semut tetap merupakan wiayah tangkap nelayan dalam mencari cumi-
cumi. Hal ini mengingat lokasi ini nelayan dapat memperoleh cumi-
cumi tanpa mengenal musim. Terutama bagi nelayan yang telah
mempunyai pasar dan pengolahan paska panen dapat dilakukan di
Pulau Semut hingga penjualan langsung pun dilakukan dari pulau
tersebut. Untuk mengatasi masalah BBM, akhir-akhir ini mereka ke
Pulau Semut secara berkelompok dan setelah di sana mulai bekerja
18 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
menggunakan sampan sendiri-sendiri. Dengan demikian, BBM untuk
pulang-pergi Limbung – Pulau Semut sekitar 10 liter (PP) dapat
ditanggung bersama dan setelah di lokasi pencaharian tidak memakai
diesel (motor) karena lokasi pencarian tidak jauh dari pulau.
Selain pencarian cumi-cumi, pada saat ini kepiting atau ketam juga
merupakan SDL yang sangat dicari penduduk karena pemasaran yang
mudah dengan adanya tiga pabrik pengolahan kepiting di Desa
Limbung yang menerima dengan harga relatif stabil. Pencarian
kepiting cukup di sekitar Perairan Desa Limbung, yakni di wilayah
teluk dan Pantai Timur; paling jauh sekitar Pulau Hantu. Di lokasi ini,
nelayan memasang jaring hingga dasar laut yaitu sekitar 1 mil dari
pantai selama kira-kira satu malam. Jaring tersebut diangkat setiap
pagi bagi mereka yang memasang malam hari, dan sore hari bagi
mereka yang memasang kembali jaringnya pada pagi hari. Lamanya
waktu melaut sangat tergantung jarak antara tempat tinggal nelayan
tersebut dengan lokasi di mana jaring diletakkan. Para nelayan Desa
Limbung bebas memasang jaring asalkan tidak ada nelayan lain yang
memasang jaring di lokasi tersebut, yang dikenal dengan istilah ‘asal
berada di luar pagar’. Akhir-akhir ini yang mencari tidak hanya laki-
laki, namun juga kaum perempuan. Pada awalnya hanya satu orang
ibu dan sekarang ada sekitar lima orang ibu-ibu mencari kepiting
yang umumnya berasal dari Dusun Centeng dan Dusun Sranggas.
Mereka cukup menggunakan pompong, terkadang sendiri atau berdua
dengan anaknya. Makin banyaknya penduduk memasang bubu di
perairan Limbung berdampak terhadap padatnya laut oleh bubu
sehingga kapal yang lalu harus hati-hati agar tidak mengenanya. Di
samping itu bila pemasangan bubu makin meluas hingga di air dalam
dekat Pulau Hantu di mana banyak dijumpai karang, baik secara
langsung maupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap
kehidupan ekosistem tersebut.
Ikan bilis termasuk SDL yang utama bagi penduduk Desa Limbung
walaupun pengelolanya terbatas bagi mereka yang punya kelong.
Pemasangan kelong mengikuti arah arus air yang dapat mendorong
ikan bilis masuk dalam kelong-kelong yang terhampar di sekitar teluk
dan sepanjang pantai bagian laut lepas dekat Pulau Bulu dan Pulau
Kojong. Lokasi kelong ini, pada musim angin kuat (Juni –

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 19
September) arus air cukup kuat yang akan membawa bilis-bilis masuk
kelong mereka. Pada musim-musim tersebut, pengambilan bilis
dilakukan setiap malam ketika bulan gelap, yaitu selama 20 hari.
Namun sayangnya lokasi pemasangan kelong tersebut banyak
dijumpai terumbu karang, sehingga pada saat pemasangan maupun
penarikan jala dapat mengganggu kehidupan ekosistem terumbu
karang.
Pada waktu-waktu tertentu, nelayan Limbung juga ada yang mencari
ikan namun masih tidak dalam jumlah besar. Hal ini sangat terkait
dengan peralatan yang dimiliki masih sederhana. Apalagi dengan
maraknya permintaan akan kepiting yang mudah diperoleh di sekitar
pantai membuat kegiatan pencaharian ikan hanya sebagai sambilan
saja. Para nelayan Limbung yang umumnya menggunakan sampan
karena pencaharian ikan hanya di sekitar teluk. Kecuali nelayan yang
punya kapal motor berusaha mencari ikan di laut lepas hingga
Tanjung Nyang atau sekitar Pulau Bulu dan Pulau Kojong. Dengan
meningkatnya harga nilai ikan tertentu, terutama jenis ikan karang
untuk eksport ke Singapore, ada beberapa nelayan yang khusus
mencari ikan tersebut di sekitar teluk dan pantai yang banyak
dijumpai di daerah tersebut. Dulu mereka hanya menggunakan alat
pancing, namun tingginya permintaan pasar mulai ada yang
menggunakan bubu. Peletakan bubu ini tentu saja dapat merusak
karang, karena jenis ikan yang dicari berada di sekitar karang.
Sumberdaya laut lain yang juga bernilai tinggi adalah teripang
(gamat) dan banyak dijumpai di daerah berlumpur yang ada di
Perairan Limbung, terutama wilayah teluk sekitar ½ mil dari pantai.
Lokasi pengambilan teripang adalah di sepanjang perairan Limbung
antara Pulau Malang Sekateh – Pulau Tanjung Rawa – Pulau Jako,
namun belum sampai di laut lepas. Musim selatan (Bulan Mei hingga
September) adalah musim yang menguntungkan bagi nelayan pencari
teripang. Teripang dapat diperoleh dalam jumlah banyak pada Bulan
Juli dan Agustus, yaitu ketika air laut surut pada jarak terjauh dari
pantai. Pada bulan-bulan tersebut hampir setiap hari nelayan Desa
Limbung mencari teripang dengan menggunakan ‘galah’. Keberadaan
teripang di perairan Limbung mendorong nelayan luar untuk ikut
mengambilnya, antara lain adalah nelayan dari Buton dan Madura

20 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
yang menggunakan peralatan lebih canggih. Sayangnya nelayan
pendatang ini bekerja tanpa mengenal waktu dan musim; biasanya
malam hari menggunakan sampan sedangkan kapal mereka berada di
tengah laut.
Peta 2.2. Wilayah Tangkap SDL di Perairan Kawasan Limbung

Sumber: PRA bersama nelayan Dusun Sinempek, 2007.


Siput gonggong (Strombus Camarun) umumnya hidup pada tempat-
tempat yang bersih atau tidak tercemar, terutama di daerah karang.
Jenis siput ini banyak dijumpai di Perairan Limbung, yaitu sepanjang
pantai di bagian teluk Desa Limbung. Kegiatan ini dapat dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan dari kelompok usia anak-anak hingga
dewasa. Anak-anak mencari siput hanya di pinggir pantai pada saat
air surut. Khusus penduduk Dusun Sinempek yang mencari siput
banyak juga dilakukan perempuan dengan cara menyelam
menggunakan kacamata khusus dan galah. Pencari siput di Dusun
Sinempek berkisar antara 20 hingga 30 orang, terbanyak adalah
perempuan. Waktu pencarian siput adalah pada saat air kering (air
tohor), yaitu sore hari, dan disebut musim karang jauh. Pada saat air

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 21
dekat (air kelat) tidak ada orang yang mencari gonggong, terutama
dengan cara menyelam. Musim air kelat berlangsung selama satu
minggu, dan bila ada yang mencari gonggong hanya di bagian pantai.
Dalam penangkapan atau pencarian SDL sangat terkait dengan
kondisi musim yang memengaruhi wilayah penangkapan mereka,
yaitu Musim Barat, Timur, Utara dan Selatan. Musim yang paling
aman mencari ikan adalah musim angin selatan dan musim angin
utara, namun yang terbanyak memperoleh ikan pada musim angin
selatan. Di samping pengaruh musim, pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh banyak atau sedikit orang yang terlibat dalam
pencarian SDL di Perairan Kawasan Limbung. Dalam 5 – 10 terakhir
ini pendapatan nelayan dirasakan makin berkurang yang disebabkan
oleh makin banyaknya nelayan yang menggunakan alat tangkap
dengan mengambil ikan tanpa batas. Artinya, alat tangkap ini
menangkap semua jenis ikan, besar maupun kecil. Lihat matriks 2.2.
tentang aktivitas nelayan dalam pencarian sumber daya laut menurut
musim di Perairan Kawasan Limbung.
Matriks 2.2. Aktivitas Nelayan Desa Limbung Dalam Pencarian Sumber Daya Laut
Menurut Musim

Kategori Musim Timur Musim Barat Musim Selatan Musim Utara


Waktu ( Maret – Mei) (September – (Juni – (Januari -Awal
Desember) September) Maret)
Kondisi Gelombang • Musim Gelombang Gelombang kuat
alam lemah pancaroba; kuat namun
karena Lingga
• Banyak terletak di mata
hujan, Utara atau
mendung, pantai
angin tidak menghadap
menentu, Utara sehingga
mendung ke laut selatan
dan kadang- terlindungi.
kadang
angin ribut.
Kegiatan • Melaut namun • Pencarian Kegiatan Musim ini
nelayan hasilnya SDL hanya nelayan normal dianggap musim
minimal dan di pinggir karena mereka istirahat, kegiatan
tidak dapat pinggir, dapat melaut cari ikan hanya
diperhitung- khususnya setiap hari sekedarnya saja.
kan, tetap ketam, ikan. untuk Kegiatan yang
mencari menangkap dilakukan:
ketam; semua macam 1. mencari ikan dan

22 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
• Mengatur & SDL yang ketram di pinggir
mempersiap- menjadi pantai;
kan alat andalan 2. kegiatan melaut
tangkap, ekonomi dilakukan oleh
memperbaiki penduduk Æ sebagian nelayan
kelong tapi nelayan (40/50 %) tapi
belum pancing, bubu tidak penuh;
dipasang dan jaring di 3. menjaring
pantai Timur ketam.
hingga pantai
Selatan. SDL
yang ditangkap
a.l. ikan teri,
sotong, ikan
pari, teripang,
kepiting dan
rajungan (ketam
renjong).
Sumber: Wawancara dengan beberapa informan penduduk Desa Limbung, penelitian BME –
COREMAP, 2008.

2.2.3. Teknologi Penangkapan


Teknologi pengelolaan SDL yang umum digunakan nelayan Limbung
tergolong sederhana sesuai dengan kapasitas penangkapan yang tidak
besar. Pemanfaatan teknologi tersebut disesuaikan dengan SDL yang
dikelola, baik saat melaut maupun kegiatan paska panen, terdiri tiga
kelompok besar yaitu armada tangkap, alat tangkap, dan pengelolaan
paska panen. Pada umumnya, nelayan Limbung memiliki sendiri
teknologi tersebut sesuai dengan SDL yang dikelolalanya. Misalnya:
nelayan pengelola ikan bilis akan punya kelong dan perahu atau
sampan, nelayan pencari ketam punya perahu dan bubu ketam.
Selanjutnya akan dideskripsikan ketiga kelompok teknologi
penangkapan nelayan Limbung.

Armada Tangkap
Armada tangkap yang digunakan nelayan Desa Limbung masih
sederhana, yaitu perahu motor yang berkekuatan mesin (PK) sangat
kecil dan perahu atau sampan yang tidak menggunakan motor
(pompong). Mesin perahu motor yang digunakan nelayan umumnya
berkekuatan antara 12 hingga 17 PK dan dapat digunakan untuk

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 23
melaut dengan jarak agak jauh. Sedangkan pompong hanya digunakan
untuk penangkapan di sekitar desa atau teluk seperti pengambilan
ketam di sekitar pantai Limbung.
Perahu motor menggunakan BBM yang kebutuhannya sangat terkait
dengan jarak tempuh pencarian atau pengambilan SDL yang menjadi
fokus kegiatannya. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh hanya
dibutuhkan minyak 1 giya (sekitar 5 liter), namun untuk mencari
cumi-cumi di Laut Batu Putih, Pulau Kojong atau Pulau Semut
dibutuhkan sekitar 4 giya untuk perjalanan pulang-pergi dengan
jarak tempuh sekitar 9 jam. Pada saat berada di lokasi penangkapan
SDL tersebut, kebutuhan operasional BBM tergantung dari waktu
dan jarak melaut. Jumlah armada alat tangkap antara tahun 2006 (T0)
hingga 2008 (T1) tidak banyak berubah. Misalnya di Dusun Centeng
terlihat hanya ada satu kapal baru, yaitu kapal operasional
COREMAP. Tampaknya yang cenderung bertambah adalah sampan
sebagai dampak makin banyaknya penduduk yang mencari ketam di
pinggir-pinggir perairan Limbung.

Teknologi Alat Tangkap


Mengacu kepada SDL yang menjadi fokus pencarian nelayan, alat
tangkap yang digunakan adalah kelong untuk ikan bilis, bubu untuk
ikan hidup, penyauk untuk cumi-cumi, jarring dan bubu ketam untuk
ketam, jarring tangsi untuk ikan pesisir, serok untuk teripang, dan
keramba untuk pemeliharaan ikan hidup. Di antara alat tangkap
tersebut, yang makin banyak jumlahnya adalah alat tangkap bubu
ketam. Hal ini disebabkan makin banyak orang mencari ketam,
termasuk perempuan, dengan menggunakan bubu ketam buatan
Thailand karena dianggap lebih mudah pemakaiannya dibanding
jarring ketam yang harus dipasang agak di tengah laut.
Pada awal kegiatan, pencari ketam dapat mengoperasionalkan bubu
sebanyak 25 buah karena ketika membeli harus satu set sebanyak 25
buah bubu dengan hara Rp. 600.000,-. Dalam peletakkan bubu dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem pncung menggunakan kayu
dan sistem benang atau tali. Dilihat dari cara mereka memiliki bubu
umumnya dimulai dengan berhutang pada tauke, dan bila telah lunas

24 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
biasanya mereka akan menambah bubu agar memperoleh hasil lebih
banyak. Pada saat ini, biasanya satu kali melaut nelayan memasang
bubu sebanyak 45 buah. Dampak dari pemasangan bubu ketam yang
demikian banyaknya di Laut Limbung, maka produksi ketam yang
diperoleh para nelayan tersebut berkurang atau yang masuk lebih
banyak ukuran kecil. Nelayan yang sadar bahwa bila anak ketam
diambil berdampak terhadap produksi ketam ukuran besar berkurang,
maka anak ketam tidak diambil dan dikembalikan ke laut. Namun
mereka yang ingin memperoleh uang tidak perduli sehingga tetap
mengambil walaupun harganya rendah.
Jenis bubu juga ada yang digunakan untuk penangkapan ikan dalam
kondisi hidup, yang umumnya disebut dengan bubu sono. Pada
umumnya, bubu ini dimanfaatkan nelayan untuk menangkap jenis
ikan karang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti kerapu dan
ikan merah. Oleh karena itu, pemasangannya pun pada tempat-tempat
yang banyak dijumpai terumbu karang, yaitu dari ujung timur hingga
barat Perairan Limbung. Alat tangkap ini diperoleh nelayan dapat
dengan cara membeli atau membuat sendiri. Harga bubu ikan ini
cukup mahal sehingga tidak semua nelayan memilikinya, dan jumlah
bubu ikan di Desa Limbung diperkirakan hanya berkisar antara 50
hingga 60 buah. Rendahnya tingkat kepemilikan bubu karena
pengambilan ikan karang atau ikan hidup ini tidak menjadi kegiatan
utama nelayan dibandingkan dengan pencarian cumi-cumi, ketam,
dan ikan bilis. Apalagi perolehan ikan menggunakan bubu ini tidak
stabil. Terutama bila bubu ditanam di daerah sekitar teluk sedangkan
pada lokasi di perairan air jauh ada nelayan yang mengambil ikan
sehingga tidak ada ikan yang datang ke perairan teluk. Harga bubu
ikan bila dibandingkan dengan dua tahun lalu harganya masih tetap
sama, yaitu sekitar Rp. 600.000,- untuk 24 buah.
Penangkapan ikan bilis juga merupakan fokus kegiatan nelayan Desa
Limbung dengan amenggunakan alat tangkap kelong. Pembuatan
kelong dengan cara ditancapkan pada lokasi yang diperkirakan akan
banyak didatangi ikan bilis, terutama dengan memperhatikan arus air
yang mendorong ikan tersebut masuk ke jaring. Kelong yang
dianggap kurang berhasil karena dipengaruhi oleh waktu penanaman
yang kurang memperhatikan arus air atau terhambat dengan kelong

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 25
lain. Namun adapula faktor keberuntungan atau nasib, karena
menangkap ikan bilis dengan kelong berarti kegiatan ini berbentuk
pasif karena hanya menunggu ikan untuk masuk ke kelong. Dalam
dua tahun ini (2006 – 2008), jumlah kelong di Desa Limbung
tampaknya tidak berubah; bahkan diperkirakan berkurang. Karena
menurut informasi pada saat survey terdahulu (T0) jumlah kelong ada
39 buah baik yang dimiliki penduduk Limbung maupun orang luar
Limbung, sedangkan saat ini diperkirakan hanya ada sekitar 30
kelong. Lokasi pemasangan kelong paling banyak di sekitar Dusun
Linau, dan lainnya di sekitar Pulau Bulu dan Pulau Kojong.
Penyauk adalah alat tangkap cumi-cumi berbentuk kerucut yang
terbuat dari jaring halus untuk penangkap, kawat sebagai kerangka
penyauk, tali pengikat, dan kayu sebagai pemegang alat yang panjang
sekitar 2 meter. Alat tangkap ini dapat digunakan untuk jangka waktu
dua hingga tiga tahun. Dalam satu tahun hanya dua bulan yang
digunakan secara terus menerus, yaitu pada Musim Selatan. Bagian
dari alat tangkap penyauk yang paling sering dan mudah rusak adalah
kawat penyangga atau kerangka pengikat jaring. Perlengkapan lain
dalam pencarian cumi-cumi adalah lampu petromaks sebagai alat
untuk menarik atau mengumpulkan cumi-cumi agar mudah
ditangkap. Alat tangkap cumi-cumi lain adalah pancing yang
diujungnya diberi umpan terbuat dari kayu menyerupai udang atau
ikan yang disebut candar atau candit di Pulau Abang (Romdiati &
Mita Noveria, 2005:69-70). Akhir-akhir ini para nelayan mengganti
candar dengan umpan menyerupai udang yang terbuat dari karet
buatan Jepang dengan harga antara Rp. 15.000,- ~ Rp. 16.000,-.
Umpan udang-udangan ini diberi warna yang akan bersinar di dalam
laut bila diterangi lampu. Apabila cumi-cumi sudah tersangkut pada
umpan tersebut tidak akan lepas sehingga mudah ditangkap.
Pengetahuan tentang penggunaan umpan ini diperoleh dari teman
sesama nelayan cumi-cumi, namun bila umpan sudah koyak-koyak
ikan tidak mau memakannya dan harus diganti dengan yang baru.
Alat tangkap jarring ada dua macam, yaitu jarring untuk menangkap
ikan dan jarring menangkap ketam. Jaring ikan (jaring tangsi),
umumnya digunakan untuk menangkap ikan pesisir dan kadang-
kadang juga menangkap ikan karang. Sebagaimana telah

26 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
digambarkan sebelumnya, pencarian ikan bukan merupakan kegiatan
utama bagi nelayan Desa Limbung, sehingga penggunaan jaring ikan
pun tidak dianggap sebagai alat utama bagi mereka. Jenis ikan yang
biasa ditangkap dengan menggunakan jaring tangsi antara lain ikan
pinang, ikan sembilang, ikan penggali dan ikan debaun.
Berbeda dengan jaring ketam yang dimiliki hampir oleh semua
nelayan Desa Limbung, karena ketam merupakan target tangkapan
utama dari nelayan desa ini. Perlengkapan untuk membuat jaring
dapat diperoleh melalui tauke yang ada di Dusun Centeng atau
penampung ketam yang ada di setiap dusun di mana penduduknya
beraktivitas mencari ketam. Satu jaring ketam memiliki ukuran
panjang sekitar 500 meter (2 bantal) dilengkapi dengan batu sebanyak
20 kg., tali 12 buku, pelampung 396 buah, dan tali pengikat 3 gulung.
Jaring ketam bila digunakan setiap hari biasanya hanya dapat
bertahan dalam tempo tiga bulan, dan bagian alat tangkap yang dapat
bertahan dalam waktu lama adalah batu hingga 10 tahun. Khusus
untuk pemasangan jarring ketam biasanya dilakukan oleh laki-laki
karena jarring ketam lebih berat dibanding alat bubu ketam. Selain
itu, lokasi pemasangan jarring ketam agak jauh dari pesisir Desa
Limbung, yaitu dekat laut lepas sehingga biasanya menggunakan
perahu motor. Dengan tingginya permintaan akan ketam oleh pabrik-
pabrik pengolahan daging ketam, maka pemasangan jarring ketam
pun meningkat sama dengan pemasangan bubu ketam. Padatnya
lokasi pemasangan bubu di sekitar desa, maka akhir-akhir ini nelayan
mulai mencari lokasi yang strategis untuk pemasangan jarring;
bahkan hingga di lokasi daerah konservasi COREMAP pada fase I.
Apabila situasi ini dibiarkan, maka usaha pelestarian terumbu karang
di kawasan perairan Limbung tidak akan tercapai.
Di antara pulau-pulau yang terdapat di bagian teluk perairan Limbung
banyak dijumpai teripang (gamat). Ada beberapa alat yang dilakukan
nelayan untuk mencari teripang, baik secara tradisional maupun
modern. Cara tradisional umumnya dilakukan oleh nelayan lokal
seperti membuat parit gamat, alat serok atau suluh, dan tuba khusus
oleh Suku Laut. Pengambilan teripang dengan membuat parit dan
sistem penarikan menggunakan trawl kecil untuk menjaring teripang
yang telah terkumpul telah dilarang, yaitu pada saat implementasi

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 27
program COREMAP fase I di desa ini. Begitupula dengan cara
penangkapan menggunakan racun yang dapat membunuh ikan-ikan
karang lain yang terdapat di sekitar pencarian teripang. Pada saat ini
nelayan lokal dan Suku Laut mencari teripang hanya menggunakan
serok atau suluh yang terbuat dari kayu dan ujungnya diikat kawat
runcing. Alat tambahan lain adalah kacamata selam buatan sendiri
yang digunakan ketika menyelam sebagai penutup mata. Sedangkan
cara modern umumnya dilakukan oleh nelayan pendatang seperti
nelayan asal Madura dan Buton. Alat yang digunakan adalah
kompresor dan mungkin juga tuba atau racun agar teripang lemas
sehingga mudah ditangkap. Walaupun alat yang digunakan nelayan
pendatang dilarang, namun karena mereka melakukan kegiatan secara
sembunyi-sembunyi sulit untuk menangkapnya.
Akhir-akhir ini Desa Limbung mulai mengembangkan usaha
pembesaran ikan dengan menggunakan karamba yang berbentuk
kotak seluas 2 x 3. Bahan yang diperlukan untuk membuat karamba
adalah jarring, tali untuk satu bubu, dan tali kecil. Masa operasional
keramba sekitar 2 hingga 3 tahun, dan bila ada yang rusak harus cepat
diganti agar ikan-ikan tidak lari. Ikan yang dipeliharan dalam
keramba ini adalah kerapu sunu atau kerapu tiger yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi, terutama bila di eksport ke Singapore. Usaha
keramba mulai banyak dalam dua tahun terakhir ini yang berlokasi di
Dusun Centeng dan Dusun Sinempek, namun yang dianggap berhasil
adalah nelayan karamba Dusun Sinempek. Keramba bantuan Dinas
SDA ada di Dusun Sinempek, yaitu APBD tahun 2007 – 2008. Pada
awal program dilaksanakan diberi kerapu tiger sebanyak 1000 ekor,
namun dalam tempo satu hari saja mati 500 ekor. Kerapu tiger
tampaknya memang kurang cocok di perairan Limbung karena
arusnya kurang kuat dan jenis air adalah payau. Sedangkan kerapu
sunu cocok di daerah ini karena jenisnya adalah kerapu alam, namun
bibitnya sulit didapat dan harga jual sering tidak stabil.

Teknologi Paska Panen


Dalam tempo dua tahun, yaitu sejak survey data dasar aspek sosial
terumbu karang (T0) hingga survey evaluasi program COREMAP
(T1) di Desa Limbung, menunjukkan bahwa kegiatan paska panen
28 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
masih terfokus pada tiga jenis SDL yaitu pengeringan cumi-cumi,
pengeringan ikan bilis, dan pengolahan daging kepiting. Kegiatan
pengeringan ikan bilis dan cumi-cumi masih tetap dilakukan secara
sederhana oleh nelayan dan keluarganya, sedangkan pengolahan
kepiting diproses di pabrik pengolahan kepiting yang ada di Dusun
Centeng.
Pengeringan cumi-cumi menggunakan teknologi pengasapan yang
harus dilakukan sesegera mungkin setelah SDL tersebut ditangkap.
Oleh karena itu, nelayan cumi-cumi ada yang melakukan proses
pengeringan di pulau-pulau sekitar pencarian cumi-cumi yaitu Pulau
Buluh, Pulau Kojong, dan Pulau Semut. Di pulau-pulau tersebut
mereka bermalam sekitar satu minggu, bahkan satu bulan bila ke
Pulau Semut. Kegiatan pengolahan cumi-cumi dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu:
• Tahap pertama, pembersihan dan pembelahan cumi-cumi
menggunakan pisau yang dilakukan di atas kapal/ perahu oleh
di nelayan (laki-laki);
• Tahap kedua, penjemuran secara tradisional dengan
menggunakan semacam tampah dan diletakkan di atas
genteng atau tembok di halaman rumah. Dalam kondisi cuaca
baik atau panas penjemuran cumi-cumi memerlukan waktu
sekitar 1 ½ hari, tetapi pada malam hari dimasukkan ke dalam
rumah. Apabila hari hujan, di antara nelayan akan
menggunakan kompor yang ditutup kain agar hawanya tetap
panas, sehingga cumi-cumi cepat menjadi kering. Sistem
pengeringan menggunakan kompor ini dipelajari dari orang
Vietnam yang sering datang ke Pulau Semut, yaitu di tempat
para nelayan beristirahat setelah mencari cumi-cumi di sekitar
pulau tersebut. Kegiatan pengeringan ini dilakukan oleh
isteri, saudara perempuan atau anak-anak;
• Tahap ketiga, mengontak tauke dengan menggunakan HT
bahwa cumi-cumi/nus siap dijual. Pada musim cumi-cumi
tauke datang ke Desa Limbung dengan rutin, terutama ke
Dusun Sinempek yang dilakukan sebanyak tiga kali per
minggu.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 29
Sedangkan pengolahan paska panen ikan teri umumnya dilakukan di
Desa Limbung setelah diangkut dari kelong ke rumahnya. Proses
pengeringan dilakukan dalam empat tahap, yaitu:
• Tahap pertama, ikan teri yang ditangkap di kelong dimasukkan
dalam bakul dan dibawa ke daratan menggunakan perahu;
• Tahap kedua, ikan teri direbus menggunakan panci besar dan
kompor. Kegiatan ini dilakukan oleh si pemilik kelong dibantu
pekerja atau keluarga, namun terkadang hanya pekerja saja;
• Tahap ketiga, ikan teri yang telah direbus dijemur pada tempat
khusus untuk menjemur ikan yang terbuat dari bambu atau kayu;
• Tahap keempat, setelah ikan teri kering dimasukkan kembali ke
bakul dan siap untuk dijual ke tauke di Dusun Centeng atau
pembeli/pedagang yang datang dari Pancur.
Apabila kegiatan paska panen dari kedua SDL tersebut di atas
dilakukan secara sederhana oleh anggota keluarga atau satu/dua orang
pekerja, berbeda dengan pengolahan paska panen kepiting. Kegiatan
ini dilakukan pada pabrik pengolahan kepiting yang ada di Dusun
Centeng. Dalam kurun waktu dua tahun ini, pabrik pengolahan
kepiting bertambah satu yang pemiliknya bukan orang Centeng.
Namun dalam pengelolaannya diserahkan kepada orang Centeng yang
sebelumnya pernah bekerja pada salah satu pabrik di dusun tersebut.
Proses pengolahan setelah menerima kepiting dari pencari di laut
diawali dengan merebus, kemudian memisahkan kepiting menurut
ukurannya. Proses selanjutnya adalah mengeluarkan daging kepiting
dan disusun dalam kotak berdasarkan kelompok-kelompok dari jenis
daging tersebut, yaitu kelompok daging kaki, daging dada atau perut,
dan daging serpihan. Di antara jenis daging tersebut, nilai ekonomi
tertinggi adalah daging perut atau dada yang disebut “mawar”.
Setelah masuk kotak disusun dalam kotak viber untuk dibawa ke
perusahaan cabang (branch) di Pancur atau di Daik, dan terakhir
perusahaan pokok (central) di Tanjung Pinang atau Batam untuk
pengolahan selanjutnya sebelum dikirim ke konsumen.

30 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
2.2.4. Sarana dan Prasarana
Gambaran Desa Limbung tidak jauh berbeda dengan desa-desa lain di
Indonesia. Sarana – prasarana yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi, khususnya SDL, masih sangat terbatas. Tempat penjual dan
pembeli bertemu atau mengadakan transaksi kegiatan ekonomi hanya
lah warung klontong, toko, pedagang sayur-mayur orang transmigran,
dan tauke di mana mereka mempunyai hubungan sosial atau kerja.
Sebagian besar pemilik toko, terutama di Desa Centeng, adalah warga
keturunan Cina yang umumnya juga memiliki kondisi ekonomi jauh
lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Di Dusun Centeng kira-kira terdapat delapan (8) toko yang yang
tergolong besar, baik dilihat dari ukuran/luas toko maupun
ketersedian jumlah dan jenis barang. Sedangkan jumlah kios/kedai
diperkirakan hanya sebanyak enam (6) kedai yang umumnya dimiliki
warga Etnis Melayu. Selain itu, toko dalam ukuran lebih kecil juga
terdapat di Dusun Sinempek dan Linau. Pemilik toko umumnya juga
bekerja sebagai penampung produksi SDL sebelum dikirim kepada
tauke atau pembeli yang lebih besar. Apabila akan mengadakan
hubungan ekonomi yang luas adalah di kota kecamatan Pancur atau
kota kabupaten Daik. Jumlah kedai/kios dan toko, baik yang terdapat
di Dusun Centeng maupun Dusun Sinempek, dalam dua tahun ini
belum menunjukkan penambahan yang berarti. Selain toko dan
kios/kedai, di desa ini juga terdapat penjual bahan makanan dan
sayuran keliling.
Sarana ekonomi lain yang dapat melangsungkan kegiatan ekonomi
penduduk adalah keberadaan pedagang pengumpul SDL yang biasa
disebut penampung. Jumlah penampung di Dusun Centeng
tampaknya ada pengurangan karena penampung kepiting atau ikan
yang dua tahun lalu ada di Dusun Sranggas dan Kampung Air Berani,
saat evaluasi tidak berjalan lagi. Di sisi lain, tahun lalu berdiri satu
perusahaan penampung kepiting milik orang luar Desa Limbung di
Dusun Centeng. Penampung mempunyai peran penting untuk
transaksi hasil tangkapan nelayan, karena di Desa ini belum ada
tempat pelelangan ikan (TPI). Para penampung kepiting yang telah
lama berusaha di desa ini umumnya memiliki toko yang dapat
dimanfaatkan nelayan untuk menjual SDL, namun dapat juga
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 31
membeli/berhutang barang-barang kebutuhan rumah tangga dan
kebutuhan melaut.
Dalam mendukung kegiatan ekonomi masyarakat Desa Limbung,
sarana transportasi dan komunikasi semestinya mempunyai peran
cukup penting. Namun sampai saat ini belum ada tranportasi umum
yang masuk Desa Limbung untuk menghubungkan penduduk dengan
daerah luar, kecuali ojek, perahu/kapal motor, atau kendaraan
bermotor milik pribadi. Untuk sarana kendaraan permasalahannya
karena buruknya sarana jalan yang menghubungkan desa ini dengan
daerah luar. Mungkin bila sarana jalan diperbaiki akan lebih memberi
peluang bagi penduduk untuk melakukan transaksi ekonomi dengan
masyarakat luar.
Sarana pendukung lain adalah komunikasi, baik sarana media cetak,
elektronik, maupun telekomunikasi. Sarana media cetak belum ada
yang masuk Desa Limbung secar teratur, bahkan desa pun tidak
menyediakan koran dinding yang bisa diakses oleh penduduk. Kotak
pengumuman yang ada di Dusun Centeng hanya berisikan
pengumuman lowongan pekerjaan. Sarana komunikasi yang diikuti
penduduk terbanyak adalah televisi dan radio. Khusus televisi,
penduduk yang memiliki masih terbatas karena terkait dengan listrik
negara yang belum masuk desa ini. Oleh karena itu, penduduk
menonton televisi pada rumah-rumah yang memilikinya dan ada
aliran listrik, baik diesel desa mapun diesel pribadi. Akhir-akhir ini
mulai banyak penduduk yang memiliki telpon genggam sebagai alat
komunikasi dengan masyarakat luar desa, namun sinyalnya masih
terbatas pada kartu tertentu atau lokasi tertentu seperti di ujung
jembatan yang dibuat COREMAP fase II. Bagi penduduk yang
mempunyai ekonomi lebih membuat saluran telpon yang dapat
digunakan untuk telpon genggam. Sedangkan telpon umum ada satu
wartel (warung telekomuniksi) di Dusun Centeng yang menggunakan
saluran satelit.

2.2.5. Program dan Kegiatan Pengelolaan SDL


Program yang berkaitan dengan pengelolaan SDL yang masuk Desa
Limbung diawali dengan Program COREMAP Fase I, namun belum

32 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
terlaksana seluruhnya berhenti di tengah jalan dan hanya berlangsung
sekitar empat tahun. Pada waktu itu, stakeholders yang terkait adalah
pemberi donor ADB, instansi dari tingkat pusat hingga lokal yaitu
pemerintah pusat (antara lain Bappenas, Depdagri, LIPI), tingkat
provinsi (antara lain Pemda dan Bappeda Provinsi, Universitas Riau,
LSM), tingkat kabupaten (antara lain Pemda dan Bappeda
Kabupaten), Pemda tingkat kecamatan, dan Perangkat desa. Khusus
Desa Limbung, waktu itu telah dibentuk tiga (3) kelompok
masyarakat (Pokmas) yang terdiri dari Pokmas Konservasi, Pokmas
Usaha dan Produksi, dan Pokmas Pemberdayaan Perempuan (Jender).
Masing-masing Pokmas beranggotakan sekitar 25 orang dan setiap
Pokmas cenderung berasal dari dusun yang sama, kecuali Pokmas
Konservasi yang beranggotakan penduduk dari Dusun Centeng dan
Air Kelat. Dipilihnya anggota dari ‘Dusun’ Air Kelat adalah karena
mereka tinggal paling dekat dengan Pulau Hantu yang merupakan
titik program upaya konservasi terumbu karang di Desa Limbung.
Mereka diharapkan dapat melakukan pengawasan terumbu karang
dengan mudah, di samping dapat bertindak dengan cepat jika ada
pelanggar yang melakukan pengambilan SDL dengan alat-alat
tangkap yang merusak di wilayah konservasi tersebut. Sedangkan
Pokmas Usaha Produksi hanya ada di Dusun Centeng. Berbeda
dengan Pokmas Jender yang cakupannya cukup tersebar di beberapa
dusun yaitu Dusun Centeng, Linau dan Sinempek.
Keberadaan Pokmas-pokmas tersebut telah dapat menggerakkan
masyarakat dalam upaya mengelola dan melestarikan terumbu
karang, di samping meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pengembangan usaha untuk Pokmas Usaha Produksi dan Pokmas
Jender. Namun demikian, kegiatan Pokmas tersebut tidak jalan lagi,
bahkan berhenti sejak fasilitator Program COREMAP fase I
meninggalkan Desa Limbung. Terhentinya kegiatan Program
COREMAP fase I ini kemungkinan besar berkaitan dengan adanya
peralihan tanggung jawab program dari satu instansi ke instansi lain,
sehingga mengganggu kelancaran pelaksanaan program. Selain itu,
terhentinya kegiatan Pokmas-pokmas tersebut tampaknya juga
dipengaruhi oleh rendahnya motivasi masyarakat dalam
meningkatkan kesejahteraannya melalui usaha bersama yang tidak

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 33
biasa mereka lakukan. Masyarakat Desa Limbung umumnya bila
tanpa bimbingan dan pengawasan, maka kegiatan usaha bersama
tampaknya masih sulit dilakukan.
Pada masa COREMAP fase I, beberapa kegiatan pelatihan
ketrampilan dan praktek langsung diberikan kepada masyarakat Desa
Limbung seperti pengembangan budidaya kepiting bakau (rajungan)
dengan menggunakan karamba apung dan pembuatan krupuk ikan.
Ketrampilan tersebut sebenarnya sangat bermanfaat dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Di samping itu juga ada
pelatihan yang diberikan di luas desa. Yaitu ketrampilan membuat
abon ikan. Di luar pemanfaatan sumber daya laut, Program
COREMAP fase I juga memberikan ketrampilan membuat kue-kue
dan ternak ayam sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan
rumah tangga. Meskipun pada awalnya berbagai ketrampilan tersebut
dimanfaatkan penduduk, tertama anggota Pokmas, namun karena
adanya ‘kevakuman’ pada kegiatan program COREMAP berdampak
terhadap berhentinya usaha masing-masing Pokmas dan ketrampilan
yang sudah mereka peroleh tidak dipergunakan lagi. Hanya sebagian
anggota yang masih memanfaatkan ketrampilan tersebut, namun
hanya untuk kepentingan rumah tangganya sendiri.
Tahun 2006 proyek COREMAP fase II mulai diimplementasikan
kembali di Desa Limbung. Seiring dengan masuknya otonomi daerah,
pelaksanaan program COREMAP fase II ini lebih melibatkan
stakeholders tingkat kabupaten, yaitu Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Lingga. Dinas-dinas yang banyak terlibat dengan program
COREMAP fase II antara lain adalah Dinas SDA, Lingkungan, PU,
dan aparat keamanan seperti polisi dan angkatan laut. Selain itu
adalah LSM dari tingkat Provinsi Kepulauan Riau yang diharapkan
berhubungan langsung dengan masyarakat Desa Limbung sebagai
fasilitator. Beberapa program telah berjalan, namun implementasi ke
desa belum dapat terlaksana karena terbentur dengan proposal dan
dana (lihat BAB III tentang implementasi program COREMAP fase II
di Kabupaten Lingga, khususnya Desa Limbung).
Selain program COREMAP, pada tahun 2007 mulai masuk beberapa
program pembangun yang berasal dari pemerintah dengan dana
APBD. Program-program pemerintah tersebut, walaupun tidak secara
34 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
langsung berkaitan dengan pengelolaan SDL namun tujuannya adalan
untuk kesejahteraan masyarakat. Antara lain program tersebut adalah:
1) Program Pembangunan Mandiri (PPM), 2) program air bersih, 3)
program sekolah dan perumahan guru, 4) program Polindes dan
Pustu, program perbaikan dermaga, dan 5) program budidaya ikan
kerapu tiger. Program pembangunan mandiri dimulai tahun 2007
dengan dana 200 juta per desa. Khusus Desa Limbung rencananya
akan dilaksanakan pembangun fisik jambatan Dusun Sranggas dan
semenisasi jalan di Dusun Sinempek pada tahun 2008. Stakeholders
yang terkait pada kegiatan ini umumnya adalah Pemda adalah Dinas
PU. Selain pembangunan fisik, PPM juga menganggarkan program
simpan-pinjam untuk kelompok perempuan dengan dana 60 juta per
desa. Rencana dari Desa Limbung dana tersebut akan dibagi per dusu
dan juga digunakan untuk menggerakkan kegiatan PKK.
Dalam pelaksanaan program lain tersebut di atas juga akan
melibatkan dinas-dinas yang terkait dengan program tersebut. Oleh
karena program tersebut cenderung ke arah pembangunan fisik, maka
stakeholders yang banyak terkait adalah Dinas Pekerja Umum (PU).
Dinas lain seperti kesehatan dan pendidikan hanya terkait setelah
bangunan selesai dan melanjutkan program ke dalam agar berjalan
seperti yang diharapkan. Misalnya pembangunan masyarakat dalam
mengelola Pustu dan Polindes akan melibatkan staf dari Dinas
Kesehatan, bangunan sekolah setelah jadi akan melibatkan dinas
pendidikan dalam mencari staf pengajar.

2.3. KEPENDUDUKAN
Penduduk merupakan sumber daya yang sangat penting, karena
dengan kemampuannya, mereka dapat mengelola sumber daya alam
dan lingkungannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Namun demikian, tidak jarang akibat kebutuhan yang sangat
mendesak maupun untuk tujuan komersial, penduduk justru merusak
sumber daya alam yang berdampak negatif bagi kehidupan mereka
dan generasi berikutnya. Dengan mendasarkan pada hasil survei
rumah tangga, pada bagian ini diuraikan tentang kondisi
kependudukan di daerah penelitian yang mencakup aspek kuantitas
dan kualitas penduduk. Dari segi kuantitas, uraian menekankan pada
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 35
jumlah, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta
besar anggota rumah tangga. Untuk aspek kualitas penduduk,
pembahasan menekankan pada tingkat pendidikan dan keadaan
ketrampilan responden.

2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk


Uraian tentang jumlah dan komposisi penduduk sangat bermanfaat
untuk menganalisis berbagai fenomena demografi dan implikasi yang
ditimbulkannya sekaligus memberikan masukan kepada pengambil
kebijakan untuk perencanaan dan monitoring kegiatan-kegiatan yang
akan dan telah dilakukan oleh COREMAP. Sebagai contoh,
banyaknya penduduk produktif dan berjenis kelamin perempuan
memberikan indikasi bahwa pelaksanaan COREMAP harus
melibatkan perempuan.
Jumlah penduduk Desa Limbung adalah tertinggi ke dua
dibandingkan dengan enam desa lainnya di Kecamatan Lingga Utara.
Pada tahun 2008, jumlah penduduk Desa Limbung sebanyak 2.516
jiwa (Catatan di Kantor Kecamatan Lingga Utara), atau lebih sedikit
dibandingkan jumlah penduduk desa ini pada tahun 2005 ( 2.559
jiwa). Selain karena adanya kelahiran dan kematian, faktor migrasi ke
luar desa diperkirakan juga berpengaruh terhadap perubahan jumlah
penduduk di Desa Limbung. Pelaku migrasi ke luar desa biasanya
penduduk usia muda yang bertujuan untuk bekerja, biasanya di sektor
pemerintahan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin
menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih banyak daripada
penduduk perempuan, yaitu 1.334 laki-laki dan 2.516 perempuan.
Rasio jenis kelamin yang sebesar 113, menggambarkan bahwa setiap
113 laki-laki terdapat 100 perempuan. Angka ini sedikit lebih rendah
dari rasio jenis kelamin hasil survei terhadap 100 rumah tangga di
Dusun Centeng dan Senempek, Desa Limbung, yang sebesar 115.
Sedangkan jumlah responden menurut hasil survei adalah 411 jiwa,
terdiri dari 220 laki-laki dan 191 perempuan.
Struktur umur penduduk sampel (responden) di Desa Limbung
cenderung mengarah struktur penduduk dewasa, karena persentase
penduduk sampel yang berumur 0-14 tahun adalah < 40 persen, yaitu

36 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
hanya sebanyak 30,9 persen (lihat Lampiran Tabel 2.1). Angka ini
lebih rendah dari hasil survei pada tahun 2006 yang masih mencapai
34,0 persen. Penurunan persentase penduduk pada kelompok usia
tersebut menggambarkan turunnya jumlah kelahiran di desa
penelitian, khususnya dialami oleh rumah tangga sampel. Jumlah
penduduk usia muda yang semakin sedikit mempengaruhi rendahnya
angka beban ketergantungan (dependency ratio), yaitu hanya sebesar
0,51, yang berarti setiap satu orang usia belum/tidak produktif (0-14
tahun dan 65 tahun ke atas) ditanggung oleh dua orang usia produktif
(15-64 tahun). Lebih lanjut, hasil survei menunjukkan, persentase
penduduk pada kelompok usia produktif utama (prime working age
group)5 kira-kira 36,5 persen. Kelompok ini merupakan tenaga kerja
potensial untuk pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, di
mana sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan.
Diperhatikan menurut jenis kelamin, persentase responden perempuan
pada kelompok usia produktif utama sedikit lebih tinggi daripada
laki-laki. Dengan kondisi seperti ini, maka keterlibatan perempuan
dalam pelaksanaan COREMAP, khususnya kegiatan pemberdayaan
masyarakat, menjadi penting dilakukan, sehingga mereka dapat
memanfaatkan sumber daya yang tersedia di lingkungan mereka yang
selanjutnya berkontribusi positif dalam upaya peningkatan
kesejahteraan rumah tangga.

2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan


Tingkat pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu indikator
untuk melihat kualitas penduduk. Semakin terdidik dan terampil,
maka kualitas penduduk semakin baik. Kualitas penduduk sampel
(responden) di Desa Limbung masih termasuk rendah. Sebanyak 87,6
persen responden hanya berpendidikan SD ke bawah, bahkan

5
Dalam tulisan ini, kelompok usia produksi utama adalah mereka yang
berumur antara 25-49 tahun, sedangkan kelompok angkatan kerja lainnya
adalah mereka yang baru saja masuk dalam pasar kerja (15-24 tahun) dan
mereka yang berumur 50 ke atas. Dalam konteksnya dengan wilayah pesisir,
penduduk yang berumur 50 tahun ke atas biasanya sudah mulai mengurangi
frekuensi melaut dan jangkauan wilayah tangkap.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 37
sebagian besar dari kelompok ini adalah mereka yang tidak/atau
belum menamatkan SD. Meskipun termasuk kelompok ini adalah
responden anak-anak yang masih berstatus belum sekolah, persentase
penduduk dewasa dan orang tua yang tidak berpendidikan cukup
besar. Sebagai contoh diperlihatkan pada Lampiran Tabel 2, di antara
responden yang tidak berpendidikan (belum/tidak sekolah) terdapat
sebanyak 83,9 persen berumur 19 tahun ke atas. Angka ini lebih
tinggi dari pada responden pada kelompok umur sama yang
menamatkan pendidikan SD maupun SMP. Menurut sejumlah
informan, rendahnya tingkat pendidikan penduduk Desa Limbung
tidak terlepas dari adanya fenomena migrasi ke luar desa yang
dilakukan oleh penduduk berpendidikan tinggi. Selepas menamatkan
jenjang pendidikan menengan atas dan tinggi di kota, pada umumnya
mereka tidak kembali lagi ke desa, tetapi tetap tinggal dan bekerja di
kota.
Gambar 2.1. Distribusi Persentase Responden Umur 7 Tahun
keatas Menurut Tingkat Pendidikan Yang
Ditamatkan, Desa Limbung, Kabupaten Lingga,
2008

Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2007

Walaupun masih termasuk rendah, kondisi pendidikan penduduk


Desa Limbung menunjukkan pergeseran ke arah yang lebih baik.
Selama dua tahun terakhir terjadi tren peningkatan persentase
responden yang menamatkan pendidikan SMP ke atas, yaitu dari 11,6
persen pada tahun 2006 (Romdiati dkk, 2008) menjadi 12,3 persen

38 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
berdasarkan hasil survei BME tahun 2008. Membaiknya kondisi
pendidikan ini kemungkinan dipengaruhi oleh semakin luasnya akses
penduduk terhadap fasilitas pendidikan, karena sejak setahun yang
lalu (tahun 2007) di Desa Limbung tersedia gedung SMP yang
merupakan peningkatan status dari SMP terbuka menjadi SMP
Negeri.
Kondisi pendidikan responden laki-laki cenderung lebih baik
dibandingkan perempuan, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang
menonjol di semua jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan SD
ke bawah, persentase responden laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan, demikian pula pada pendidikan SMA ke atas. Sedangkan
untuk jenjang pendidikan SMP, persentase pendidikan perempuan
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Temuan survei ini
menggambarkan bahwa kesenjangan jender tidak dijumpai di bidang
pendidikan, khususnya untuk jenjang pendidikan menengah ke
bawah.
Selain kualitas pendidikan yang masih rendah, ketrampilan penduduk
juga terbatas. Ketrampilan yang dikuasai oleh responden adalah jenis-
jenis ketrampilan yang berhubungan dengan kegiatan kenelayanan
dan pengolahan SDL. Membuat bubu, kelong, dan jaring merupakan
jenis ketrampilan yang dikuasai dan diterapkan oleh masyarakat di
Desa Limbung. Namun demikian, ketrampilan membuat bubu
diperkrakan akan semakin hilang di masa-masa yang akan datang,
karena nelayan lebih senang membeli bubu (ketam) siap pakai.
Sedangkan perempuan di Desa Limbung pada umumnya mempunyai
ketrampilan di bidang industri rumah tangga, seperti membuat
kerupuk ikan, kue, dan mengopek (pengolahan daging) ketam. Jenis
ketrampilan lain yang dikuasai oleh perempuan adalah membuat atap
rumbia. Sedangkan ketrampilan mengolaj tepung sagu hanya dikuasai
oleh sebagian laki-laki di Dusun Senempek membuat tepung sagu,
karena di dusun ini terdapat industri rumah tangga pengolahan sagu
yang hasilnya dipasarkan ke luar daerah. Meskipun pada pelaksanaan
COREMAP fase I pernah dilakukan pelatihan industri rumah
(misalnya membuat kerupuk dan abon ikan, kue) dan peternakan
ayam, ketrampilan tersebut tidak nampak diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Jika pada saat penelitian ini ada sebagian kecil perempuan

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 39
yang tergabung dalam Pokmas Jender membuat kerupuk ikan dan
kue, kegiatan ini semata-mata dilakukan karena mereka sudah
mendapatkan bantuan modal usaha yang jumlahnya terhitung sangat
kecil (Rp 100.000 per kelompok yang beranggotakan 4 orang).
Peningkatan jenis ketrampilan maupun kualitasnya belum terlihat di
kalangan masyarakat Desa Limbung. Meskipun COREMAP fase II
juga memberikan pelatihan kepada Pokmas Jender, jenis ketrampilan
yang diberikan sudah dikuasai oleh peserta.

2.3.3. Pekerjaan
Pekerjaan dalam tulisan ini diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang
menghasilkan barang dan/atau jasa. Pembahasan mengenai pekerjaan
meliputi pekerjaan utama dan tambahan yang dbedakan menjadi
lapangan, jenis, dan status pekerjaan. Sebelum membahas tentang
pekerjaan penduduk, dikemukakan terlebih dahulu status kegiatan
ekonomi penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang berumur 10 tahun
ke atas. Dari sebanyak 348 responden yang berunur 10 tahun ke atas,
hampir separuhnya mempunyai kegiatan utama bekerja (lihat Gambar
2.2). Sedangkan mereka yang sekolah hanya hanya sekitar
seperempatnya, atau hampir sama dengan responden yang
mempunyai pekerjaan mengurus rumah tangga. Persentase responden
yang menganggur dan tidak mencari kerja, yang dalam istilah
ketenagakerjaan disebut dengan penganggur putus asa, mencapai 6,9
persen. Namun demikian, ketika ditanyakan kepada beberapa
penganggur dan tokoh masyarakat diperoleh informasi bahwa
‘penganggur putus asa’ tersebut terkadang juga pergi melaut untuk
membantu orang tua. Mereka beranggapan bahwa konsep mencari
pekerjaan diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan di luar pekerjaan
kenelayanan, karena pekerjaan sebagai nelayan selalu tersedia tanpa
harus dicari.

40 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Gambar 2.2. Distribusi Persentase Responden
Umur 10 Tahun keatas Menurut
Kegiatan Ekonomi, Desa Limbung,
Kabupaten Lingga, 2008

Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI


2007

Di antara penduduk yang bekerja, kira-kira sebesar 62 persen


mempunyai pekerjaan utama pada lapangan pekerjaan perikanan
tangkap (Gambar 2.3). Persentase responden yang bekerja di sektor
tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil survei tahun
2005 (58 persen). Peningkatan ini kemungkinan dipengaruhi adanya
beberapa perempuan yang mulai tertarik untuk melaut. Beberapa
faktor yang mempengaruhi perempuan melakukan pekerjaan melaut
adalah ketersediaan bubu ketam berukuran kecil yang mudah
digunakan oleh perempuan, pemasaran mudah, wilayah tangkap di
sekitar tempat tinggal mereka sehingga dapat mengunakan sampan
untuk jangka waktu yang sangat singkat (kira-kira satu jam). Selain
mencari ketam, sebagian nelayan perempuan, khususnya di dusun
Senempek juga melaut untuk mencari gonggong.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 41
Gambar 2.3. Distribusi Persentase Responden Umur
10 Tahun Yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan, Desa Limbung,
Kabupaten Lingga, 2008

Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI


2007
Di luar perikanan tangkap, sektor perdagangan merupakan lapangan
pekerjaan yang cukup banyak menyerap tenaga kerja responden, atau
lebih tinggi dari lapangan pekerjaan industri pengolahan. Temuan ini
berbeda dengan kondisi pada dua tahun sebelumnya, di mana sektor
perdagangan menyerap 5,8 persen, sedangkan sektor industri
pengolahan sebesar 17,3 persen. Penurunan persentase responden
yang bekerja di sektor industri tampaknya tidak sesuai dengan adanya
peningkatan kegiatan sektor industri pengolahan (khususnya
pengolahan kepiting/ketam), ditunjukkan oleh bertambahnya jumlah
industri kecil yang memproduksi daging ketam. Jika pada tahun 2006
di Desa Limbung hanya terdapat satu PT Ketam, pada saat penelitian
ini berlangsung (2008) bertambah menjadi tiga buah (walaupun
jumlah tenaga kerja hanya berkisar 5-8 orang). Bekerja pada sektor
industri pengolahan ketam biasanya dilakukan oleh perempuan
dengan sistem borongan, sehingga bukan merupakan tenaga tetap.
Sistem kerja seperti ini, tenaga kerja sangat mudah untuk masu dan

42 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
keluar dari pekerjaan. Dengan demikian besar kemungkinan
menurunnya persentase responden yang bekerja pada lapangan
pekerjaan industri dalam dua tahun terakhir ini adalah karena
sebagian dari mereka tidak lagi bekerja di sektor tersebut. Di antara
mereka diperkirakan beralih bekerja di sektor perdagangan (usaha
kios kecil) maupun tidak bekerja lagi.
Lapangan pekerjaan perkebunan dan jasa kemasyarakatan tidak
menunjukkan perubahan selama kurun waktu 2006-2008. Jenis
perkebunan di Desa Limbung adalah kebun karet yang sudah berumur
cukup tua. Pemilik kebun karet pada umumnya warga keturunan
Tionghoa, meskipun beberapa penduduk etnis Melayu juga
mempunyai kebun karet, walau tidak luas. Sedangkan lapangan
pekerjaan jasa kemasyarakatan adalah pekerjaan di sektor
pemerintahan desa dan pendidikan.
Sebagai wilayah pesisir dengan sektor perikanan tangkap sebagai
mata pencaharian utama, maka jenis pekerjaan nelayan ditekuni oleh
hampir dua-pertiga dari total anggota rumah tangga sampel (Gambar
2.4). Pekerjaan sebagai nelayan dilakukan setiap hari pada musim
teduh (gelombang laut dalam keadaan tenang), bahkan dua kali per
hari jika wilayah tangkap tidak jauh dari tempat tinggal. Pada musim
pancaroba nelayan tetap melaut setiap hari, tetapi harus mencermati
keadaan angin kencang yang datangnya tiba-tiba dalam waktu
sebentar. Jenis pekerjaan sebagai nelayan jarang dilakukan pada
musim angin kencang/gelombang kuat, dan bagi nelayan yang
melalut biasanya hanya di wilayah pantai. Apabila dirinci lebih
lanjut, temuan survei memperlihatkan, nelayan dengan alat tangkap
jaring merupakan jenis pekerjaan terbanyak (ditekuni oleh 51 persen
dari 96 orang nelayan) dibandingkan dengan nelayan dengan alat
bubu (33,3 persen) dan nelayan kelong (15,6 persen). Namun
demikian, pengelompokan nelayan menurut jenis alat tangkap
tersebut hanya menggambarkan jenis alat tangkap utama, karena pada
umumnya nelayan juga mengoperasikan alat tangkap lainnya selain
alat tangkap utama (misalnya selain menggunakan jaring, mereka
juga menggunakan bubu ketam, demikian sebaliknya). Hanya
beberapa nelayan kelong (bilis) yang ketika sedang musim bilis tidak
menggunakan alat tangkap lain, karena kelong bilis bisa

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 43
menghasilkan setiap hari ketika musim teduh pada saat bulan gelap
(kira-kira 20 hari per bulan).
Jenis pekerjaan ke dua yang dilakukan oleh responden adalah sebagai
tenaga penjualan, atau sejalan dengan lapangan pekerjaan
perdagangan yang juga berada pada urutan ke dua. Sedangkan
persentase responden dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga industri
adalah 9,7 persen. Termasuk mereka bukan hanya yang bekerja di
sektor industri pengolahan ketam, tetapi juga tenaga industri anyaman
atap rumah dan makanan (kue yang dititipkan di kios orang lain
maupun milik sendiri). Jenis pekerjaan sebagai tenaga industri dan
penjualan lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki
(lihat Lampiran Tabel 2.2), karena mengindikasikan adanya stereotipi
perempuan. Hal ini karena tenaga penjualan di Desa Limbung
merupakan pedagang-pedagang skala sangat kecil yang dilakukan di
rumah, sehingga masih dapat melakukan pekerjaan domestik.
Sedangkan pekerjaan industri pengolahan ketam yang memerlukan
ketelitian juga hanya dilakukan perempuan. Sebaliknya jenis
pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik, misalnya nelayan, banyak
dilakukan oleh laki-laki. Hanya sedikit perempuan yang melakukan
jenis pekerjaan ini, biasanya menggunakan bubu ketam dan melaut di
kawasan tidak jauh dari tepi pantai.
Berdasarkan status pekerjaan, hampir tiga-perempat responden
bekerja/berusaha sendiri. Sebagian besar dari status pekerjaan ini
adalah nelayan yang melaut sendiri, karena mereka hanya
menggunakan sampan atau pompong berkekuatan mesin kecil.
Walaupun bekerja sendiri, biasanaya mereka pergi ke wilayah
tangkap bersama dengan nelayan lain. Hanya sebagian kecil nelayan
yang bekerja dibantu oleh anggota rumah tangganya, biasanya dengan
anak mereka. Sedangkan di luar jenis pekerjaan nelayan, mereka yang
bekerja/berusaha meliputi penyadap karet, pencari kayu, dan tenaga
penjualan di kios milik sendiri.

44 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Gambar 2.4. Distribusi Persentase Responden
Umur 10 Tahun Yang Bekerja
Menurut Jenis Pekerjaan, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga,
2008.

Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi,


PPK-LIPI 2007
Responden yang bekerja dengan status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan pada umumnya mereka yang bekerja sebagai buruh
industri pengolahan daging ketam, dan beberapa guru serta pamong
desa. Buruh industri pengolahan ketam dilakukan setiap hari, juga
pada hari minggu, dengan jam kerja antara 6-8 jam, tergantung pada
produksi hasil tangkapan nelayan setempat dan pasokan dari daerah
lain. Untuk status pekerjaan sebagai pekerja keluarga hanya sekitar 3
persen, pada umumnya mereka adalah ART yang membantu bekerja
pada lapangan pekerjaan nelayan dan perdagangan.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 45
Gambar 2.5. Distribusi Persentase Responden
Umur 10 Tahun Yang Bekerja
Menurut Jenis Pekerjaan, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga, 2008.

Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-


LIPI 2007
Selain melakukan pekerjaan utama, sebagian kecil responden juga
mempunyai pekerjaan tambahan, yaitu sebanyak 34 responden (21,9
persen dari 155 responden yang bekerja). Selain menjadi lapangan
pekerjaan utama, perikanan tangkap juga menjadi lapangan pekerjaan
tambahan bagi sekitar 26,5 persen responden yang memiliki
pekerjaan tambahan. Kemungkinan besar termasuk kelompok tersebut
antara lain responden yang pekerjaan utamanya di sektor perdagangan
(biasanya warga keturunan Tionghoa) yang mempunyai usaha kelong.
Sedangkan sektor pertanian pangan yang hanya diminati oleh sangat
sedikit (0,6 persen) responden sebagai lapangan pekerjaan utama
(lihat Gambar 2.3), tampaknya justru menjadi lapangan pekerjaan
tambahan oleh sebagian responden (20,6 persen dari total responden
yang mempunyai pekerjaan tambahan). Hal sama juga untuk sektor
perkebunan (17,6 persen). Pentingnya sub-sektor pertanian pangan
dan tanaman keras (perkebunan) sebagai lapangan pekerjaan
tambahan mengindikasikan adanya potensi ke arah pengembangan
mata pencaharian alternatif pada dua sub-sektor ini, walaupun perlu
dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan ketrampilan SDM dan
pengelolaan usahatani.

46 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
2.3.4. Kesejahteraan
Untuk mengetahui gambaran kondisi kesejahteraan rumah tangga,
salah satu di atanranya dapat diketahui dari pemilikan aset produksi
maupun non produksi, serta kondisi permukiman dan sanitasi
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu rumah tangga
yang mempunyai banyak aset produksi, maka rumah tangga
bersangkutan juga sejahtera. Dengan pemilikan aset yang banyak,
suatu rumah tangga mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk
memperoleh penghasilan yang lebih besar, sehingga dapat
dibelanjakan untuk aset rumah tangga non-produksi maupun untuk
pemenuhan semua kebutuhan rumah tangganya. Aset produksi antara
lain berupa armada dan alat-alat penangkapan, lahan/tanah, dan alat
transportasi. Sedangkan aset non produksi mencakup rumah tinggal
dan barang-barang berharga yang dimiliki oleh rumah tangga.

Pemilikan Aset Rumah Tangga


Data pemilikan aset produksi dan bukan produksi berdasarkan hasil
survei dapat dilihat pada Tabel 2.1. Desa Limbung yang sebagian
besar masyarakatnya menggantungkan sumber kehidupan pada
sumber daya laut, maka perahu motor merupakan aset produksi yang
sangat berharga bagi suatu rumah tangga nelayan. Berdasarkan hasil
survei BME Aspek Sosial Ekonomi, terdapat kira-kira separuh rumah
tangga responden mempunyai perahu tanpa motor (sampan),
sedangkan rumah tangga yang mempunyai perahu motor sebanyak 45
persen, semuanya berupa perahu motor dalam. Ukuran mesin motor
cukup beragam, tetapi kebanyakan berukuran 175 dan 195. Setiap
rumah tangga pemilik perahu motor hanya mempunyai satu buah.
Informasi yang diperoleh dari beberapa nelayan menunjukkan adanya
pemilikan dua jenis armada tangkap (perahu motor dan tanpa
motor/sampan) pada beberapa rumah tangga nelayan yang kondisi
ekonominya baik, misalnya nelayan kelong bilis. Pemilikan perahu
motor di Desa Limbung memperlihatkan tren yang meningkat selama
tahun 2006-2008, walaupun tidak banyak. Keadaan ini
menggambarkan adanya perbaikan kesejahteraan rumah tangga
nelayan.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 47
Tabel 2.1. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut
Status Pemilikan Aset, 2006 dan 2008, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga
Status Pemilikan
Jenis Pemilikan n
2006 2008
Asset produktif perikanan
Perahu tanpa motor 48,0 54,0 100
Perahu motor 41,0 45,0 100
Kelong bilis 15,0 26,0 100
Karamba 3,0 7,0 100
Jaring 89,0 45,0 100
Bubu 12,0 39,0 100
Asset produktif lainnya 100
Lahan 18,0 21,0 100
Alat transportasi 7,0 3,0 100
Asset rumah tangga lain 100
Rumah 92,0 98,0 100
TV 47,0 66,0 100
VCD 35,0 57,0 100
Parabola 41,0 59,0 100
Perhiasan 46,0 49,0 100
Kendaraan bermotor 22,0 24,0 100
Ternak (sapi/kambing) 4,0 4,0 100
Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2007
Membaiknya kesejahteraan rumah tangga nelayan juga terlihat dari
meningkatnya persentase pemilikan alat-alat tangkap selama periode
dua tahun terakhir (2006-2008), kecuali jaring yang turun tajam, yaitu
dari 89 persen dari 100 rumah tangga responden menjadi 45 persen.
Penurunan ini disebabkan oleh perubahan alat tangkap dari jaring,
khususnya jaring ketam, ke alat tangkap bubu ketam. Pada tahun
2006, persentase responden yang memiliki bubu hanya 12 persen,
meningkat sangat tajam menjadi 39 persen. Pengamatan di lokasi
wilayah penangkapan (fishing ground) memperlihatkan fenomena
tersebut, demikian pula hasil wawancara mendalam dengan beberapa
nelayan. Sepanjang wilayah pantai, terutama di Dusun Centeng dan
Sinempek, merupakan wilayah penangkapan ketam dengan
48 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
menggunakan bubu yang jumlahnya cukup banyak. Kondisi ini
berkaitan dengan jumlah pemilikan bubu oleh rumah tangga nelayan
yang umumnya mencapai puluhan buah. Data hasil survei BME
Aspek Sosial Ekonomi tahun 2008 memperlihatkan, kira-kira
seperempatnya (25,6 persen) mempunyai bubu sebanyak 50 buah.
Hanya ada sekitar 23,1 persen yang mempunyai bubu dengan jumlah
kurang dari 25 buah. Selebihnya adalah rumah tangga yang
mempunyai bubu antara 25-49 buah (48,8 persen), dan satu rumah
tangga responden (2,6 persen) yang memiliki 92 bubu ketam. Tabel
2.1 juga memperlihatkan, rumah tangga yang memiliki alat tangkap
berupa kelong bilis juga meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun
waktu 2006-2008. Modal untuk membuat kelong bilis yang mencapai
jutaan rupiah, tergantung pada luas kelong. Dengan demikian,
kenaikan persentase responden pemilik kelong bilis tersebut
merupakan indikasi adanya peningkatan kondisi kesejahteraan
sebagian nelayan di Desa Limbung.
Rumah tangga yang memiliki lahan menunjukkan tren meningkat,
meskipun pada tahun 2008 jumlahnya hanya kira-kira seperempatnya
dari 100 rumah tangga yang menjadi sampel penelitian ini. Lahan
tersebut umumnya berupa lahan kebun karet yang umumnya telah
berusia tua dan perlu peremajaan, meskipun masih dapat
menghasilkan getah. Pemilik kebun karet pada umumnya adalah
penduduk desa keturunan Tionghoa, sedang Suku Melayu berperan
sebagai pekerja (buruh sadap).
Keadaan kesejahteraan rumah tangga Desa Limbung dilihat dari aset
non-produksi cenderung menunjukkan tren meningkat. Dalam dua
tahun terakhir, semua jenis aset non-produksi semakin banyak
dimiliki oleh rumah tangga sampel. Peningkatan pesat terlihat pada
rumah tangga yang memiliki televisi dan VCD, serta parabola.
Jumlah pemilikan barang elektronik adalah satu buah untuk setiap
rumah tangga. Pada umumnya rumah tangga yang memiliki televisi
juga memiliki parabola, dan hanya sedikit rumah tangga yang
memanfaatkan/menumpang parabola milik tetangganya. Peningkatan
pemilikan televisi tersebut merupakan faktor yang kondusif terhadap
penyebarluasan informasi pengelolaan terumbu karang, tetapi harus
dikemas dalam bentuk hiburan karena jenis siaran ini yang cenderung

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 49
diminati oleh penduduk di daerah penelitian. Sedangkan pemilikan
perhiasan juga meningkat (Tabel 2.1), memberikan indikasi adanya
perbaikan kesejahteraan. Pada tahun 2008, kira-kira sepertiga (32,7
persen dari 49 rumah tangga responden) memiliki sebanyak tiga unit.
Sedangkan rumah tangga yang memiliki dua unit perhiasan sekitar
seperempatnya (26,5), atau lebih tinggi dari rumah tangga yang hanya
memiliki satu unit perhiasan. Selebihnya, yakni 20,4 persen memiliki
perhiasan antara 4-10 unit. Tren meningkat terkait dengan pemilikan
aset non-produksi juga terjadi untuk jenis rumah. Hampir semua
rumah tangga responden mempunyai rumah. Setiap rumah tangga
memiliki satu buah rumah dengan kondisi bangunan yang umumnya
sederhana, walau sebagian rumah tangga responden memiliki rumah
yang kondisi bangunan lebih baik dari rumah kebanyakan.

Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan


Indikator kesejahteraan dari aspek perumahan dan sanitasi lingkungan
meliputi kondisi fisik rumah, sumber air bersih, sarana mandi-cuci-
kakus, dan tempat pembuangan air limbah rumah tangga. Sebagian
rumah tinggal di Desa Limbung berdiri di atas daratan yang langsung
menempel pada permukaan tanah maupun berupa rumah panggung.
Sebagian rumah lainnya, terutama yang berada di pinggir pantai,
berupa rumah panggung yang didirikan di atas permukaan air laut.
Kondisi fisik rumah cenderung masih sederhana. Dinding rumah pada
umumnya terbuat dari papan, demikian pula lantai rumah. Sedangkan
atap rumah pada umumnya terbuat dari seng, dan sebagian lainnya
terbuat dari anyaman sejenis daun pandan. Hanya sebagian kecil
rumah yang dindingnya terbuat dari tembok atau papan kayu
berkualitas baik, berlantai keramik, dan beratap seng. Menurut
pengamatan dan wawancara dengan beberapa informan, kondisi
bangunan rumah dalam dua tahun terakhir ini cenderung tidak ada
perubahan, kecuali beberapa rumah milik penduduk yang
berkecukupan.
Sumber air bersih berasal dari mata air yang dialirkan ke beberapa
hidran dan bak penampungan air ke permukiman penduduk. Bak
penampungan air tersebut dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Lingga
melalui Dinas Kimpraswil, tetapi tampaknya kurang berhasil karena
50 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
kesalahan tehnis penempatan bak penampungan yang menyebabkan
air tidak bisa mengalir ke dalam bak tersebut. Penduduk
memanfaatkan hidran air bersih yang telah ada sejak dua tahun
sebelumnya yang didanai Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
BBM Infrastruktur Pembangunan (PKPS-IP), tetapi pada musim
kemarau hidran juga kering. Sebagian rumah tangga memiliki sumur
gali dengan kondisi sangat sederhana sebagai sumber air minum, juga
mandi dan cuci. Sedangkan saluran pembuangan limbah rumah
tangga juga jauh dari standar kesehatan. Limbah cair, yaitu air bekas
mencuci dan mandi, maupun limbah padat dibuang di laut atau di
pekarangan rumah. Kepedulian penduduk terhadap lingkungan yang
belum baik juga terlihat dari kepemilikan kakus yang tidak higienis.
Tempat MCK umum yang tersedia di Dusun Air Brani dan
Seranggas, selebihnya penduduk memanfaatkan kakus/WC cemplung
milik sendiri yang limbahnya langsung dibuang ke laut atau anak
sungai yang berada di dekat rumah. Kondisi sanitasi lingkungan
seperti ini mungkin bukan berkaitan dengan kesejahteraan penduduk,
tetapi tampaknya berkaitan dengan belum baiknya pengetahuan
mereka tentang kesehatan lingkungan.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 51
52 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
BAB III
COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA

D alam upaya meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi


masyarakat dan pelestarian terumbu karang di perairan
Kabupaten Lingga, COREMAP mengimplementasikan
berbagai program di beberapa lokasi, baik daerah pesisir maupun
kepulauan. Pada dasarnya, COREMAP ditujukan untuk masyarakat
nelayan dan keluarganya yang diperkirakan mempunyai hubungan
kuat dengan kehidupan sumber daya laut, khususnya ekosistem
terumbu karang. Di Desa Limbung, program ini telah berlangsung
sejak fase pertama namun terhenti karena adanya perubahan
administrasi struktur pemerintahan di tingkat provinsi. Ketika
COREMAP I diimplementasikan di Desa Limbung, Kabupaten
Lingga masih termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Riau,
namun sejak otonomi daerah masuk wilayah Provinsi Kepulauan
Riau. Perbedaan antara COREMAP I dan II terletak pada aspek
pertanggungjawaban teknis maupun non-teknis. Pertanggungjawaban
COREMAP I berada di BAPPEDA tingkat provinsi, sedangkan
COREMAP II pada Pemerintah Daerah Tingkat II Bupati Kabupaten
Lingga. Perubahan administrasi pemerintahan ini mempengaruhi
kegiatan COREMAP I yang terhenti sebelum waktunya. COREMAP
I berlangsung antara tahun 1999 hingga pertengahan tahun 20036,
sedangkan COREMAP II antara tahun 2005- 2009. Kegiatan yang
sudah berjalan pada COREMAP I adalah kegiatan pengawasan
terhadap daerah konservasi terumbu karang yang ditetapkan di Pulaua
Hantu, pembangunan pondok informasi dan pelatihan-pelatihan
berkaitan dengan pemetaan lokasi terumbu karang, daerah
penangkapan SDL, dan penghitungan ekonomi dari pengambilan
SDL. Namun demikian, sejalan dengan berhentinya COREMAP I,
kegiatan-kegiatan tersebut juga berhenti, yang kemudian dimulai lagi
dengan pembentukan Pokmas-Pokmas pada COREMAP II.
6
Fase pertama seharusnya berakhir pada tahun 2004.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 53
Pada bagian ini dikemukakan implementasi COREMAP II di
Kabupaten Lingga dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat
di lokasi progam. Ada dua pokok bahasan yang dikaji, yaitu:(1)
pelaksanaan COREMAP di tingkat kabupaten dan tingkat desa
dengan menekankan pada aspek permasalahan dan kendala; (2)
pengetahuan dan partisipasi masyarakat di lokasi program dalam
kegiatan COREMAP.

3.1. PELAKSANAAN COREMAP: PERMASALAHAN DAN KENDALA


Program nasional COREMAP di Kabupaten Lingga dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen
Perikanan dan Kelautan. Komponen-komponen COREMAP yang
bertugas untuk mengimplementasikan program tersebut adalah
CRITC (Coral Reef Information and Training Center), PBM
(Pengelolaan Berbasis Masyarakat), MCS (Monitoring, Controlling,
and Surveillance) dan PA (Public Awarenees-penyadaran
masyarakat). Semua komponen tersebut dikoordinir oleh seorang
yang duduk sebagai Project Implementation Units (PIU).
Pendekatan yang digunakan dalam pelaksanan COREMAP II adalah
pengelolaan yang berbasis masyarakat, baik pada tingkat kabupaten
sebagai pengelola maupun desa sebagai pelaksana program. Melalui
pendekatan ini diharapkan masyarakat berpartisipasi secara aktif pada
setiap program yang dilaksanakan. Pelaksanan COREMAP II di
Kabupaten Lingga diawali dengan kegiatan pembentukan KPD
(Komite Pengarah Daerah) oleh Bupati Lingga yang tertuang pada
Surat Keputusan Bupati Lingga No. 59/KPTS/VI/2005. Pada SK
bupati tersebut tercantum bahwa Ketua KPD adalah Kepala
BAPPEDA Kabupaten Lingga yang beranggotakan staf dari berbagai
instansi. Tugas KPD adalah mengarahkan, mengkordinasikan, dan
memberi masukan terhadap segala bentuk perencanaan dan kegiatan
yang menjadi tujuan dan target program COREMAP II kepada PIU
(Project Implementation Units).
Selama empat tahun implementasi COREMAP II di Kabupaten
Lingga, semua komponen COREMAP talah melaksanakan kegiatan,
tetapi baru sebagian kecil dari yang semestinya dilakukan. Banyak

54 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
kendala yang dihadapi, baik menyangkut persoalan dana pendamping,
personil pada setiap komponen di tingkat kabupaten maupun di lokasi
program.

3.1.1. Pengelolaan dan Pelaksanaan COREMAP Fase II Tingkat


Kabupaten
PIU (Project Implementation Units)
Pengelola COREMAP II di tingkat kabupaten adalah PIU (Project
Implementation Units)7 yang berperan untuk memfasilitasi proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian COREMAP. Keberadaan
PIU bertujuan agar program COREMAP dapat berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur, dan mekanisme COREMAP di
lokasi program. Pada setiap kabupaten, PIU terdiri dari unsur-unsur
DKP, BAPPEDA, KSDA atau Taman Nasional Laut terkait, serta
instansi terkait lainnya. Kelompok ini secara khusus dibantu oleh tim
konsultan yang akan membantu kegiatan ini hingga PIU dapat
berjalan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.
Keputusan pembentukan PIU COREMAP II tercantum dalam SK
Bupati No. 58/KPTS/VI/2005 yang dikeluarkan tanggal 23 Juni 2005.
Struktur kepengurusan PIU meliputi berbagai unsur kepemerintahan
dari Kabupaten Lingga yang terbagi menjadi lima komponen yang
bertanggung jawab langsung kepada PIU, yaitu (1) Kelembagaan dan
Sumber Daya Manusia; (2) Pengelolaan Sumber Daya Berbasis
Masyarakat (CBM); (3) Penyadaran Masyarakat (PA); (4) Penegakan
Hukum (MCS); dan (5) Pelatihan dan Informasi Terumbu Karang
(CRITC). Setiap komponen terdiri dari koordinator yang membawahi
anggota antara enam (6) hingga sembilan (9) orang yang berasal dari
berbagai dinas terkait. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, PIU
COREMAP II mempertanggungjawabkan pelaksanaan program

7
Untuk selanjutnya tulisan ini akan menggunakan singkatan PIU (Project
Implementation Units) yang umum digunakan untuk proyek COREMAP
yang didanai ADB.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 55
kepada Bupati Lingga. Sesuai dengan surat keputusan tersebut, tugas
PIU adalah8:
1. Melakukan implementasi aspek perencanaan dalam rangka
memadukan perencanaan pembangunan kegiatan program
COREMAP II Kabupaten Lingga dengan pembangunan
daerah serta melakukan pemantapan perencanaan
pembangunan yang ramah lingkungan di Kabupaten Lingga
secara berkesinambungan;
2. Melaksanakan survei (penelitian/kajian) dan pelatihan dalam
rangka pembangunan program COREMAP II;
3. Melaksanakan pengendalian, pemantauan dan evaluasi
terhadap kegiatan program COREMAP II;
4. Membuat laporan perkembangan secara berkala sesuai
dengan tahapan perencanaan dan tahapan pengendalian, juga
analisa terhadap program yang terkait dalam program
COREMAP II Kabupaten Lingga.
Telah dikemukakan di atas, selama empat tahun implementasi
COREMAP II di Kabupaten Lingga, tampaknya masih banyak
kegiatan yang belum berjalan sesuai dengan rencana. Banyak faktor
yang berpengaruh. Menurut beberapa anggota komponen,
permasalahan ini terutama disebabkan oleh ketidakpedulian PIU

8
Tugas PIU yang tercantum pada SK Bupati tersebut sesuai dengan
tanggung jawab dan fungsi PIU yang tertera dalam buku pedoman umum
PBM COREMAP fase II (2007:30), yaitu (1) melaksanakan kebijakan dan
rekomendasi Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (CCEB/Coastal
Community Empowerment Board); (2) mempersiapkan rencana kerja dan
anggaran tahunan sesudah mendapat persetujuan CCEB; (3)
mengkoordinasikan keseluruhan program; (4) mengelola anggaran,
administrasi, pemantauan dan evaluasi; (5) mengadakan sosialisasi di
wilayah program; (5) Menyusun dan menyampaikan laporan kegiatan
(keuangan dan fisik) ke NCU (National Coordinating Unit); (6)
Mempersiapkan strategi untuk mengatasi hal-hal yang berpotensi
menimbulkan masalah dalam pelaksanaan program; (7)Memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan program.

56 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
dalam menjalankan fungsinya dalam mengkoordinasi dan
memfasilitasi semua kegiatan yang semestinya dijalankan setiap
komponen COREMAP. Lemahnya fungsi koordinasi PIU terhadap
semua komponen, antara lain diindikasikan oleh sangat jarangnya
pertemuan antar anggota komponen COREMAP untuk saling
bersinergi dalam menjalankan tugasnya. Selama tiga tahun proyek
COREMAP II berjalan, hingga saat ini (Mei 2008) pertemuan seluruh
komponen COREMAP untuk koordinasi program dengan undangan
dari PIU baru dua (2) kali. Akibatnya, masing-masing komponen
cenderung berjalan sendiri-sendiri, bahkan komponen yang bukan
berasal dari instansi teknis (KDA) cenderung tidak menjalankan
kegiataan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini kemungkinan
besar karena mereka tidak mengetahui dengan jelas tentang tugas
pokok dan fungsinya dalam COREMAP II. Sebagai contoh, salah
seorang anggota pelaksana COREMAP yang namanya tertulis dalam
SK hingga penelitian BME ini berlangsung, belum mengetahui
tentang keterlibatannya dalam kegiatan COREMAP di Kabupaten
Lingga, karena belum pernah diberitahukan, apalagi diberi SK
tentang kepenguruasan COREMAP.
Ketua PIU yang juga merangkap lebih dari dua jabatan struktural
disamping jabatan pada proyek lainnya tampaknya menghambat
kegiatan-kegiatan COREMAP yang menjadi tanggung jawabnya.
Keadaan ini tentunya berdampak terhadap kegiatan yang harus
dilakukan oleh komponen-komponen pada COREMAP. Namun
demikian, kendala-kendala di tingkat PIU tersebut tidak terlepas dari
keterlambatan pencairan dana pendamping COREMAP yang
bersumber dari anggaran APBD. Dikemukakan oleh seorang
informan yang mengetahui aspek anggaran COREMAP, dana
pendamping pada tahun 2006 baru dapat dicairkan pada bulan
Oktober 2006, bahkan anggaran pada tahun 2007 baru turun dua
bulan sebelum anggaran harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan
dana pendamping pada tahun 2008, hingga saat penelitian ini
berlangsung (bulan Mei) belum ada tanda-tanda kapan akan turun.
Keterlambatan dana pendamping yang jumlahnya tidak besar (10
persen) tersebut sangat berpengaruh terhadap pencapaian program,
karena kegiatan COREMAP di lokasi program tidak bisa

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 57
dilaksanakan sebelum dana pendamping turun. Keterbatasan waktu
pelaksanaan kegiatan program nasional terumbu karang tersebut,
yang praktis hanya berjalan antara 2-3 bulan, menyebabkan kegiatan
COREMAP dilakukan dengan sistem kejar target (terburu-buru).
Keadaan ini berdampak pada kualitas pekerjaan yang rendah, karena
umumnya hanya dilakukan asal jadi sebagai akibat dana harus segera
dipertanggungjawabkan. Pelaksanaan kegiatan COREMAP dengan
sistem kejar target tersebut antara lain terlihat dari pekerjaan-
pekerjaan infrastruktur bantuan COREMAP yang dilakukan oleh
pihak ke tiga, pada umumnya tidak memenuhi persyaratan yang
disepakati dalam lelang. Keterlambatan pencairan dana pendaping
tersebut juga menyebabkan sebagian anggaran harus dikembalikan ke
negara., sebanyak 32 persen dari total COREMAP II di Kabupaten
Lingga harus dikembalikan ke negara karena tidak terserap dalam
kegiatan. Dari 68 persen yang terserap, sebanyak 40 persen untuk
pembangunan infrastruktur, sedangkan 28 persen untuk kegiatan lain-
lain. Lebih tingginya penyerapan dana untuk pembangunan fisik
daripada kegiatan lain-lain tersebut menggambarkan bahwa kegiatan
COREMAP tampaknya belum menyentuh pada pembangunan non
fisik yang secara langsung berpengaruh terhadap kondisi
kesejahteraan masyarakat.
Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan COREMAP Kabupaten
Lingga, PIU membawahi beberapa koordinator yang tercakup dalam
empat komponen projek, seperti telah dikemukakan di atas.

Komponen Penyadaran Masyarakat (Public Awareness)


Pelaksanaan kegiatan pada komponen penyadaran masyarakat (public
awareness) yang disingkat dengan kata PA bertujuan untuk
menyadarkan masyarakat akan adanya perubahan kebijakan dan
keputusan yang lebih baik tentang pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya laut. Kegiatan ini melibatkan berbagai stakeholders di
tingkat kabupaten maupun lokasi program. Terdapat empat indikator
yang mendukung program ini, yaitu:
1) Pelatihan pada kelompok sasaran di tingkat kabupaten
maupun desa terpilih;

58 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
2) Pelakukan advokasi melalui mass media tentang konservasi
terumbu karang yang pengelolaannya berbasis masyarakat;
3) Faslitas komponen ini adalah peralatan seperti kamera
video, projector video, dan computer untuk membuat
dokumen aktivitas program COREMAP fase II;
4) Para stakeholders berpartisipasi dalam mendukung
manajemen peningkatan ekosistem terumbu karang dari
survey data dasar sebesar 20 %.
Berdasarkan SK Bupati Lingga tentang pembentukan PIU, komponen
PA beranggotakan enam (6) orang yang dikoordinir oleh staf dari
Kantor Sumber Daya Alam. Anggota dipilih dari unsur dinas
pemerintah kabupaten dengan anggota berasal dari tingkat kecamatan
sebagai lokasi program (yaitu Kecamatan Senayang dan Kecamatam
Lingga Utara). Menurut informasi dari salah seorang anggota PA,
sejak penetapan SK, anggota komponen PA belum pernah melakukan
pertemuan, sehingga informan tersebut tidak mengetahui tugas dan
fungsinya dalam pelaksanaan kegiatan COREMAP. Informan lain
dari komponen yang sama juga mengungkapkan ketidaktahuannya
tentang kegiatan-kegiatan yang mestinya dilakukan, kecuali hanya
mengetahui bahwa salah satu kegiatan PA adalah melakukan
distribusi poster dan brosur.
Implementasi kegiatan PA di Desa Limbung masih sangat terbatas.
Kegiatan di tingkat kabupaten masih terbatas pada distribusi poster
dan brosur (leaflet) ke lokasi program. Itupun tampaknya tidak
dilakukan kontrol terhadap pelaksanaan di desa. Poster dan brosur
biasanya hanya dititipkan pada pelaksana di lokasi program yang
datang ke kabupaten. Tanpa ada kontrol dari anggota komponen PA
ke lokasi program, menyebabkan kegiatan tidak efektif dalam upaya
meningkatkan penyadaran masyarakat. Hal ini karena poster dan
brosur tentang pentingnya pengelolaan dan pelestarian terumbu
karang yang ditipkan kepada pelaksana di lapangan tersebut tidak
menjamin sampai dengan cepat ke masyarakat. Contoh nyata dari
permasalahan tersebut ditemukan di Desa Limbung. Poster dan brosur
penyadaran masyarakat yang sudah beberapa bulan dipasang di
Pondok Informasi (PI) sebelum penelitian BME Aspek Sosial

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 59
Ekonomi ini berlangsung, pada kenyataannya baru saja disebarkan ke
dusun lainnya.

Komponen Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat


(Community Based Management)
Pengelolaan sumber daya laut, khususnya ekositem terumbu karang,
pada COREMAP II dilakukan melalui pendekatan yang berbasis
masyarakat. Pendekatan ini dikenal Community Based Management-
CBM), atau Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM). Terdapat tiga
(3) tujuan dari komponen PBM, yakni:
1) Meningkatkan penguatan tingkat ekonomi masyarakat
melalui pengembangan mata pencaharian alternatif;
2) Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi
dalam kelanjutan pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya laut dan pencegahan terjadinya degradasi laut;
3) Mengembangkan infrastruktur masyarakat dan kesempatan
ekonomi yang berorientasi ke depan agar kehidupan
sumber daya laut dapat berlanjut, khususnya terumbu
karang.
Tujuan tersebut kemudian diterjemahkan dalam empat (4) kegiatan
PBM, yaitu:
- Melakukan penguatan masyarakat dengan membentuk
kelompok-kelompok masyarakat dan memperkuat kapasitas
lembaga;
- Melakukan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat
antara lain untuk mengontrol aktivitas yang merusak
terumbu karang dan memprotek lokasi atau tempat biota
laut berada;
- Melakukan pembangunan infrastruktur dan pelayanan
masyarakat seperti bangunan sarana-prasarana kebutuhan
pokok masyarakat, rehabilitasi dan memprotek lingkungan
tempat biota laut yang dilindungi berada;

60 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
- Melakukan pengembangan mata pencaharian alternatif
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat seperti
mengembangkan jaringan pasar dan meningkatkan
pengetahuan manajemen usaha kecil.
Dalam SK Bupati No. 58/KPTS/VI/2005 ditetapkan anggota PBM
Kabupaten Lingga berjumlah delapan (8) orang yang berasal dari
berbagai unsur aparat pemerintah Kabupaten Lingga. Kepala Bagian
Ekonomi Pembangunan Setda Lingga sebagai koordinator, sedangkan
anggotanya terdiri dari Dinas SDA, Bawasda, dan camat di wilayah
program. Implementasi program PBM tampaknya belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Menurut salah seorang staf komponen
COREMAP, program komponen CBM mungkin baru berjalan sekitar
separuhnya, antara lain meliputi:
- Pelatihan PBM di Bali dengan peserta dua orang koordinator
dari komponen CBM dan CRITC. Kegiatan menggunakan
dana Dipa APPBN Dinas SDA;
- Pelatihan manajemen kepengurusan LPSTK di Senayang
pada tahun 200 selama satu hari. Peserta adalah perwakilan
dari setidap desa yang menjadi lokasi COREMAP. Pelatihan
ini diadakan dalam rangka pembentukan LPSTK
- Pelatihan tentang pembukuan laporan keuangan yang
diselenggarakan di Senayang yang diikuti oleh bendahara
LPSTK;
- Pelatihan selam di Tanjung Pinang;
- Tahun 2007 melakukan beberapa pertemuan dengan
masyarakat pengelola terumbu karang, aparat desa, aparat
kecamatan, tokoh masyarakat. Pelatihan ini bertujuan untuk
mengenalkan lokasi kegiatan PBM dan penyusunan profil
desa.
- Tahun 2007 melakukan pengumpulan informasi tentang profil
SDM, SDA, pemanfaatan sumberdaya pantai pada area
terumbu karang dan penilaian kebutuhan dari sisi ekonomi,
lingkungan dan sumberdaya khusus di lokasi COREMAP

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 61
yang dapat dikembangkan sebagai sumber penghidupan
nelayan.
- Pelatihan kelompok jender dengan kegiatan membuat
kerupuk di Senayang pada tahun 2007, dengan peserta ketua
dan satu orang anggota Pokmas. Kegiatan ini sering dikaitkan
pula dengan usaha ekonomi produktif (UEP). Namun
demikian, pelatihan ini seolah-olah hanya untuk mengisi
kegiatan, karena materi pelatihan tersebut sudah pernah
dilaksanakan pada masa COREMAP I.
- Pembangunan infrastruktur di lokasi COREMAP dengan
jenis bangunan fisik yang berbeda-beda di setiap desa. Untuk
Desa Limbung, pembangunan infrastruktur yang dilakukan
adalah membangun tambatan perahu, memperbaiki pondok
informasi, dan membangun fasilitas MCK umum;
- Pengembangan budidaya kerapu tiger sebagai pengganti
budidaya teripang yang tidak berhasil pada kegiatan
sebelumnya
Mengacu kepada beberapa program yang telah dilaksanakan oleh
komponen PBM di atas dan dikaitkan dengan fokus PBM, tampaknya
masih terdapa beberapa kegiatan yang belum sepenuhnya sampai
pada masyarakat di kawasan COREMAP. Kegiatan yang telah
dilakukan masih pada tahap pelatihan, pembangunan, dan
pengumpulan informasi berkaitan dengan profil lokasi COREMAP.
Demikian pula kegiatan baru diimplementasikan pada kampung yang
mudah dijangkau dari tingkat kabupaten yang telah menjadi lokasi
COREMAP sejak fase I. Keterbatasan program dan kegiatan PMB di
tingkat lokasi program tersebut cenderung sebagian masyarakat di
lokasi yang tidak atau belum tersentuh program COREMAP merasa
ditinggalkan atau tidak diikutsertakan. Hal ini membuat sebagian
masyarakat tidak sepenuhnya berpartisipasi dalam COREMAP,
bahkan di antaranya ada yang tidak mau terlibat karena dianggap
hanya menimbulkan konflik di antara mereka dan tidak memberi
keuntungan. Kemungkin permasalahan ini muncul karena efektifnya
kegiatan sosialisasi COREMAP kepada masyarakat, khususnya di
dusun-dusun yang sulit letaknya agak jauh dari pusat desa.

62 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Kendala lain terkait dengan kegiatan PBM adalah minimnya dana
yang langsung dapat dikelola masyarakat, sehingga pelaksanaannya
pun tidak maksimal. Misalnya, bantuan untuk kegiatan jender yang
berkaitan dengan peningkatan ekonomi keluarga hanya sekitar 1,2
juta pada saat pelatihan, tetapi dana itu tidak semuanya untuk
implementasi program, karena harus dikurangi untuk biaya
transporatsi ke tempat pelatihan (di Desa Sekanah) dan membeli
peralatan memasak. Dengan demikian, dana yang sampai ke Pokmas
Jender tinggan sedikit. Sebagai contoh, kelompok jender Desa
Limbung hanya menerima dana sebesar Rp. 200.000,- yang kemudian
dipakai untuk kas Rp. 50.000,- dan kegiatan usaha sebesar Rp.
150.000,- . Kegiatan usha yang semestinya dilakukan secara
berkelompok, pada kenyataannya dibagikan kepada anggota karena
mereka tidak terbiasa kerja kelompok, sehingga masing-masing
anggota hanya menerima Rp. 15.000,- yang dimanfaatkan untuk
untuk membuat kerupuk dan makan kecil yang kemudian dijual
dengan cara dititipkan di warung.

Komponen Penegakan Hukum (Monitoring, Controlling &


Surveillance)
Fungsi dan tugas komponen Monitoring, Controlling & Surveillance
(MCS) adalah memonitor, mengawasi, dan menjaga ekosistem
sumber daya laut, termasuk terumbu karang, dari perilaku orang-
orang yang tidak bertanggungjawab agar tetap terjaga keberadaan dan
kelestariannya. Hal ini karena ekosistem terumbu karang sangat
penting perannya bagi keberlanjutan kehidupan nelayan dan
pelestarian sumber daya laut pada masa datang. Seperti halnya
kondisi di Indonesia pada umumnya, terumbu karang di perairan
kawasan Lingga sudah cukup mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan
tingginya aktivitas nelayan, khususnya nelayan pendatang, yang
mencari ikan dengan mengunakan alat tangkap yang dapat merusak
terumbu karang, misalnya penggunaan bom, racun, kompresor, dan
parit gamat (alat penangkap teripang).
Berdasarkan SK Bupati Kabupaten Lingga No. 58/KPTS/VI/2005,
komponen MCS di Kabupaten Lingga beranggotakan enam (6) orang
yang berasal dari berbagai unsur pemerintahan yang bertanggung
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 63
jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Koordinator
MCS adalah dari instansi Bawasda (Badan Pengawasan Daerah),
sedangkan anggotanya terdiri dari instansi Kesbang Linmas, Polres,
Kejaksaan, dan Lannal Dabo Sinkep. Kegiatan yang dilakukan oleh
komponen ini masih sangat terbatas, bahkan sebagian besar anggota
masih belum mengetahui dengan pasti tentang tugas dan fungsi
mereka dalam pelaksanaan program nasional pengelolaan dan
pelestarian terumbu karang tersebut. Padahal keberadaan komponen
ini sangat penting di kawasan perairan Lingga yang masih sering
menjadi lokasi target penangkapan ikan dengan menggunakan alat-
alat terlarang, disamping kegiatan eksploitasi SDA (misalnya
kegiatan penambangan pasir dan boksit) yang dapat merusak
ekosistem terumbu karang. Kegiatan-kegiatan tersebut secara
langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap degradasi
lingkungan laut dan ekosistem di perairan tersebut. Namun demikian,
berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa anggota
komponen COREMAP II diketahui adanya beberapa permasalahan
dan kendala yang dihadapi komponen MCS untuk dapat menjalankan
kegiatannya, yaitu:
- Lemahnya koordinasi antara anggota komponen MCS
maupun antara MCS dengan anggota komponen COREMAP
II lainnya. Kendala geografis dan pendanaan menyebabkan
kegiatan MCS tidak dapat dilakukan sesuai dengan harapan.
Keberadaan sebagian orang anggota yang masih berkantor
dan tinggal di Kota Dabo yang termasuk dalam wilayah
Kepulauan Singkep sangat tidak efektif dalam mendukung
pelaksanaan MCS, karena semua lokasi kegiatan COREMAP
II berada di kawasan yang tidak jauh dari Kepulauan Lingga.
Kendala geografis tersebut juga berimbas pada masalah
waktu dan pendanaan, karena apabila mengadakan pertemuan
untuk koordinasi di suatu lokasi tertentu sangat tergantung
dengan waktu dan anggaran yang ada.
- Kurangnya pengetahuan anggota MCS tentang COREMAP,
terutama berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai
pengurus dan pelaksana komponen MCS, karena hingga kini
belum pernah ada anggota MCS yang mengikuti pelatihan

64 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
berkaitan penegakkan hukum terkait dengan pengawasan
terumbu karang. Walaupun pernah ada pelatihan untuk
anggota MCS di luar Kepulauan Riau yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat, tetapi COREMAP dari Kabupaten
Lingga tidak mengirimkan perwakilannya. Faktor
penyebabnya adalah masalah pendanaan dan tidak adanya
kata ”putus” dari PIU untuk mengikuti kegiatan tersebut.
- Minimnya peralatan yang dimiliki komponen MCS untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik. Komponen MCS di
Kabupaten Lingga hanya mempunyai kapal yang kapasitas
mesinnya lebih kecil dibandingkan dengan kapal nelayan
yang melakukan penangkapan secara ilegal. Dengan
demikian, komponen MCS tidak bisa menangkappelaku
pencurian maupun penangkapan ikan dengan menggunakan
alat tangkap yang merusak. Padahal perairan Kawasan Lingga
sering menjadi wilayah penangkapan SDL dengan
menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu
karang. Berdasarkan wawancara dengan komponen
COREMAP maupun pihak masyarakat, keterbatasan
kapasitas kapal untuk kegiatan pengawasan tersebut
menyebabkan kapal sering dipergunakan untuk alat
transportasi antar pulau-pulau kecil di kawasan Kepulauan
Lingga.
- Terbatasnya kegiatan MCS di tingkat kabupaten berdampak
pada pelaksanaan di tingkat lapangan/lokasi program. Di
Desa Limung, misalnya, keberadaan Pokmas Pengawasan
(Pokmaswas) masih terbatas pada nama. Bahkan, penduduk
di Dusun Air Kelat yang letaknya paling dekat dengan Pulau
Hantu sebagai lokasi daerah perlindungan laut pada umumnya
belum mengetahui adanya COREMAP II. Padahal pada
pelaksanaan COREMAP I, kegiatan Pokmaswas menjadi
tanggung jawab penduduk di Dusun Air Kelat yang karena
lokasi daerah konservasi cukup dekat, maka mereka dapat
melakukan pengawasan setiap saat.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 65
3.1.2. Pusat Informasi & Pelatihan Terumbu Karang (Coral
Reef Information & Trainig Center/CRITC)
Komponen CRITC bertujuan dalam memberi informasi dan pelatihan
yang berkaitan dengan ekositem SDL, termasuk terumbu karang.
Berdasarkan SK Bupati Kabupaten Lingga No. 58/KPTS/VI/2005,
anggota komponen CRITC kawasan Lingga adalah sembilan (9)
orang yang terdiri dari berbagai unsur pemerintah Kabupaten Lingga.
Antara lain dari dinas perhubungan & PU, lingkungan hidup,
disnakertrans, BAPPEDA, Pemda bagian informasi, dokumentasi,
dan Humas Kab. Lingga, dan Pemda bagian sosial. Hingga evaluasi
ini dilakukan (Mei 2008) CRITC belum melakukan kegiatan, baik
yang berkaitan dengan pelatihan tentang terumbu karang maupun
penyelenggaraan pusat informasi di lokasi COREMAP atau desa
pilihan COREMAP.
Menurut rencana, komponen CRITC akan diawali dengan
membangun pusat informasi di desa atau lokasi COREMAP.
Keberadaan pusat informasi ini dianggap penting karena di tempat ini
semua kegiatan desa akan berfokus, yaitu sebagai tempat penyebaran
informasi berkaitan dengan kegiatan COREMAP dan isu-isu
pelesatrian terumbu karang. Pada desa yang telah dibangun pusat
informasi pada saat pelaksanaan COREMAP fase I, maka dana yang
disediakan hanya untuk merenovasi bangunan tersebut. Misalnya
memperbaiki bangunan yang rusak dan menambah fasilitas lain yang
dibutuhkan.
Kegiatan yang berkaitan dengan pelatihan dalam rangka konservasi
terumbu karang, baik pada tingkat pengurus di kabupaten maupun
peaksana di daerah konservasi atau desa COREMAP, belum
dilaksanakan. Pelatihan dari tingkat pusat (Krill) pernah diadakan di
luar Kepulauan Riau, namun staf dari komponen COREMAP
Kabupaten Lingga tidak ada yang pergi atau mewakili. Pada awalnya
akan diikutsertakan dua orang staf, yaitu dari komponen CRITC dan
komponen COREMAP lainnya. Tepat pada waktunya tidak jadi
karena hingga waktunya ijin dari PIU tidak keluar. Komponen
CRITC Kabupaten Lingga berencana akan melaksanakan pelatihan
Krill di Daik pada tahun 2008 ini. Dana untuk kegiatan ini sudah
dianggarkan hanya tinggal pelaksanaannya.
66 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
3.1.3. Pengelolaan Dan Pelaksanaan COREMAP Di Tingkat Desa
Terdapat beberapa lokasi COREMAP di provinsi Kabupaten Lingga.
Salah satu desa yang menjadi fokus implementasi COREMAP adalah
Desa Limbung yang terletak tidak begitu jauh dari pusat kota
Kabupaten Lingga. Implementasi COREMAP fase I di Desa Limbung
meliputi berbagai pelatihan yang berkaitan dengan program
COREMAP, pembangunan infrastruktur sosial ekonomi sebagai
pendukung kegiatan COREMAP di bidang lain, dan pemb entukan
kelompok masyarakat. Infrastruktur yang dibangun pada fase I
meliputi sarana air bersih, yaitu membangun beberapa pompa air,
namun sekarang sudah rusak dan tidak berfungsi lagi. Sedangkan
infrastruktur yang mendukung kegiatan COREMAP adalah pondok
informasi yang dilengkapi dengan papan untuk menempelkan poster
dan pengumuman tentang kegiatan COREMAP yang saat ini masih
jarang dimanfaatkan, walaupun COREMAP fase II sudah berjalan
selama kurang lebih tiga tahun. Demikian pula Pokmas yang dibentuk
dan telah menjalankan kegiatannya pada fase I sudah tidak ada, tetapi
beberapa anggota Pokmas pada COREMAP I kembali terlibat pada
keanggotanan untuk kegiatan COREMAP fase II. Seiring dengan
berhentinya kegiatan Pokmas COREMAP I, ketrampilan masyarakat
yang diperoleh dari pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh
COREMAP I juga tidak dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi
produktif.
Pada tahun 2006, COREMAP mulai dilaksanakan kembali di Desa
Limbung setelah mengalami kevacuman selama kurang lebih dua
tahun. COREMAP fase II yang dimulai pada tahun 2005 di Desa
Limbung. Seperti halnya program yang telah dilaksanakan
sebelumnya, kegiatan COREMAP II dilakukan melalui berbagai
tahap mulai dari persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan. Untuk
mengetahui perkembangan implementasi COREMAP di tingkat desa,
pada bagian ini dideskripsikan pelaksanakan kegiatan COREMAP di
Desa Limbung serta permasalahan yang dihadapi dalam
implementasi.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 67
Kelembagaan COREMAP Di Desa Limbung
Dalam rangka pengelolaan terumbu karang, pemerintah menetapkan
sembilan (9) strategi dan 34 program sebagai kebijakan nasional
(DKP, 2005:10-12). Di antara kesembilan strategi tersebut, program
yang berkaitan dengan kelembagaan dalam rangka pengelolaan
ekosistem terumbu karang tercantum pada strategi pertama9 dan ke
lima10. Strategi pertama adalah program tentang peningkatan peran
serta lembaga non pemerintah dalam program pemberdayaan
masyarakat pesisir. Sedangkan strategi ke lima meliputi empat
program, yaitu: (1) peningkatan kuantitas dan kualitas SDM di
berbagai institusi melalui perekrutan, pelatihan serta pendidikan
formal dan informal; (2) penguatan kelembagaan di daerah dalam
rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) peningkatan
kapasitas dan kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelola
ekosistem terumbu karang; (4) pengaktualisasi tradisi musyawarah
dalam mengelola ekosistem terumbu karang. Dari kelima program
tersebut, tampaknya yang tidak langsung berkaitan dengan
pengelolaan kelembagaan di tingkat desa adalah program peningkatan
kapasitas dan kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelola
ekosistem terumbu karang. Program ini lebih ditujukan kepada
pengelola di tingkat kabupaten atau nasional.
Desa Limbung yang merupakan salah satu desa implementasi
program COREMAP II di Kabupaten Lingga, semenjak tahun 2006
telah membentuk beberapa lembaga yang terkait dengan komponen
COREMAP. Ada dua kelembagaan pokok yang mendukung kegiatan
COREMAP II, yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu
Karang (LPSTK) dan Kelompok Masyarakat (Pokmas).
Pembentukan LPSTK dilakukan pada tahun 2006, sedangkan Pokmas
tahun anggaran 2007. Untuk selanjutnya, berikut ini dideskripsikan

9
Strategi 1: memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung
maupun tidak langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem
terumbu karang
10
Strategi 5: menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan
kapabilitas pihak-pihak pelaksana pengelola ekosistem terumbu
karang
68 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
dan dikaji permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh lembaga-
lembaga COREMAP yang ada di Desa Limbung.

Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)


Kegiatan COREMAP di Desa Limbung diawali dengan mengirimkan
tiga (3) orang penduduk desa tersebut pada kegiatan pelatihan calon
pengurus LPSTK di Senayang atas undangan pihak kabupaten.
Pelatihan tersebut hanya dilakukan selama satu hari dengan materi:
(a) menjelaskan fungsi dan peran LPSTK; (b) cara menyusun
perencanaan kegiatan satu tahun ke depan (RPTK); dan (c)
pemberitahuan tentang anggaran LPSTK. Sepulangnya dari pelatihan,
peserta mengadakan pertemuan dengan masyarakat desa untuk
memilih kepengurusan LPSTK.
Sesuai dengan AD/ART, LPSTK merupakan lembaga di tingkat desa
dengan visi untuk mensukseskan program COREMAP dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok binaan
komponen COREMAP. Tujuan pembentukan LPSTK adalah untuk
membantu pemerintah kabupaten dalam rangka mensukseskan
program COREMAP. Dalam hal ini, LPSTK bertugas mengawasi dan
mengkoordinir semua perangkat COREMAP di tingkat desa. Oleh
karena itu, LPSTK bertanggung jawab atas terlaksananya semua
kegiatan COREMAP di Desa Limbung, yaitu: (1) mewujudkan
LPSTK menjadi lembaga yang berbadan hukum ; (2) merangkul
seluruh masyarakat untuk ikut andil dalam pengelolaan kegiatan; (3)
memfasilitasi keberhasilan kegiatan Pokmas.
Walaupun pembentukan LPSTK atas anjuran manajemen COREMAP
tingkat kabupaten, pemilihan pengurus lembaga ini dipilih atas dasar
kesepakatan masyarakat. Oleh karena itu, pemilihan pengurus LPSTK
Desa Limbung melibatkan perwakilan masyarakat, tetapi terbatas
pada tokoh masyarakat, dan aparat desa. Namun demikian, tidak
semua dusun yang ada di Desa Limbung hadir pada saat pemilihan
pengurus, diasmping karena jauh lokasinya, juga karena pelaksanaan
COREMAP II cenderung hanya dikonsentrasikan di salah satu dusun,
yaitu Dusun Centeng yang terletak di pusat desa, itupun tidak
mencakup semua lingkungan RW (Kampung) yang ada di dusun
tersebut. Dari hasil pertemuan warga terbentuk kepengurusan LPSTK
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 69
yang kemudian disahkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa tahun
2006 dengan struktur organisasi yang terdiri dari dewan kehormatan
(pelindung, penasehat, dan pembina), pelaksana harian (ketua,
sekretaris, dan bendahara), dan seksi-seksi (pengawasan TK & DPL,
pemberdayaan perempuan, kesejahteraan masyarakat). Kebanyakan
dari pengurus LPSTK berdomisili di Kampung Air Brani dan
Centeng, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi penduduk di
dusun dan kampung lain yang merasa tidak diikutkan dalam kegiatan
COREMAP II. Hingga penelitian ini berlangsung, LPSTK telah
melaksanakan tiga kegiatan, yaitu (1) menyusun RPTK (rencana
pengelolaan terumbu karang)11 bersama-sama dengan anggota
Pokmas dan perangkat desa dengan bantuan fasilitator, (2) menyusun
usulan kegiatan (proposal)berdasarkan usulan dari kelompok
masyarakat (pokmas), (3) melakukan koordinasi dengan kepala desa
terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan, (4) melaksanakan
kegiatan pembangunan infrastruktur sosial.
Sedangkan dari informasi kualitatif diketahui adanya kelemahan
kepengurusan LPSTK, antara lain terkait dengan pembentukan dan
kepengurusan LPSTK. Pembentukan pengurus LPSTK tidak
melibatkan masyarakat di semua dusun, tetapi hanya didominasi oleh
satu dusun. Kenyataan ini berdampak negatif terhadap kegiatan
COREMAP, terutama terkait dengan kegiatan pengawasan daerah
perlindungan laut (dpl) yang lokasinya berada dekat dengan
Kampung Air Kelat yang penduduknya tidak dilibatkan dalam
pembentukan LPSTK. Konsekuensi dari tidak diundangnya
perwakilan dari dusun lain dalam pembentukan LPSTK, maka
pengurus kelembagaan ini juga hanya terwakili dari satu dusun
(walau agak terdistribusi menurut lingkungan RT). Keadaan ini
tentunya berdampak terhadap kurang pedulinya masyarakat luas
terhadap pengurusan LPSTK yang selanjutnya dikhawatirkan akan
mempengaruhi kinerja kegiatan yang berarti mengganggu kelancaran
pelaksanaan COREMAP.

11
Dalam penyusunan RPTK harus memperhatikan isu-isu yang berkaitan
dengan pelestarian ekosistem terumbu karang dan SDL lainnya.
70 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Seiring dengan pembentukan LPSTK, dibentuk pula beberapa
kelompok masyarakat sebagai pendukung COREMAP di Desa
Limbung. Dua lembaga ini dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata
uang logam, karena saling mendukung dalam pelaksanaan kegiatan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan kelompok, LPSTK bertugas
sebagai penghubung antara kelompok di desa dengan pelaksana
COREMAP kabupaten. Hal yang paling nyata adalah dalam
pengajuan proposal kegiatan yang akan dilaksanakan kelompok, di
mana LPSTK mempunyai peran dalam mengumpulkan dan
mengajukan proposal tersebut ke pelaksana COREMAP kabupaten.
Keberhasilan implementasi COREMAP fase II di Desa Limbung
sangat terkait dengan keberhasilan kelompok dalam membuat
proposal sebagai bentuk rencana kegiatan yang akan dilakukan. Hal
yang perlu dipertimbangkan oleh kelompok dalam membuat proposal
antara lain adalah berkaitan dengan:
- Penataan wilayah atau sistem zonasi, karena hal ini dianggap
sebagai masukan dari masyarakat sebagai dasar untuk
melakukan kegiatan konservasi dan pemanfaatan yang
berkelanjutan;
- Sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan terumbu
karang yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan
kehidupan masyarakat nelayan Desa Limbung. Sistem ini
misalnya dengan pengelolaan SDL yang ramah lingkungan
dan pengembangan usaha berbasis budidaya;
- Sistem pemantauan dan pengawasan sumberdaya perikanan
dan terumbu karang untuk membatasi dan melindungi
sumberdaya dari aktivitas yang merusak SDL tersebut;
- Perencanaan program dan jenis kegiatan yang disusun
berdasarkan visi dan misi masyarakat Desa Limbung seperti
program konservasi, pengembangan MPA, dan pembangunan
infrastruktur.
Mengacu kepada pelatihan yang diberikan pada pengurus LPSTK di
Sekanah, bagi kelompok yang mengajukan proposal akan melalui
beberapa tahapan dari pembuatan proposal hingga persetujuan di

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 71
tingkat kabupaten. Dalam hal ini tim inti pembuat proposal selalu
didampingi oleh fasilitator lapangan dari awal hingga siap untuk
dikirim ke COREMAP kabupaten (PIU). Selama pembuatan proposal,
tim inti atau LPST selalu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang
berkopempeten dalam proyek COREMAP di tingkat kabupaten baik
substansi, hukum maupun teknis pembuatan RPTK. Jalur proposal
yang dibuat kelompok hingga disetujui pada tingkat kabupaten adalah
diusulkan oleh kelompok yang kemudian diberikan kepada LPSTK
untuk diajukan pada pelaksana komponen di tingkat kabupaten, yang
selanjutnya disampaikan pada PIU.
Beberapa proposal yang telah diajukan kelompok COREMAP Desa
Limbung adalah:
1. Program mata pencaharian alternatif: keramba ikan kerapu
sunu (8 unit); peternakan sapi (10 ekor); bubu ketam (4
unit); budidaya rumput laut (4 unit); peternakan ayam
kampung (3 pokmas); pembuatan kerupuk (5 Pokmas);
pembuatan bakso ikan (1 Pokmas);
2. Program infrastruktur: sarana air bersih (1 unit);
pelabuhan/tambatan perahu (jarak 100 meter); perluasan
jalan desa (300 meter); penginapan untuk wisatawan (1
unit); MCK (5 buah);
3. Program pengelolaan terumbu karang: pemasangan
pelampung tanda batas (50 buah); pemasangan papan
peringatan (5 buah); bahan2 sosialisasi (1 paket); pelatihan
penggunaan peralatan selam (1 paket); buku2 untuk
perpustakaan (1 paket);
Dari tiga proposal yang diajukan, belum ada satu pun dari proposal
tersebut disetujui oleh PIU. Padahal proposal tersebut telah
berulangkali diperbaiki, sehingga membuat anggota kelompok
menjadi ’malas’ atau ’patah semangat’ terhadap COREMAP II.
Menurut pihak pelaksana di tingkat kabupaten maupun LSM yang
berperan dalam mendapingi masyarakat di lokasi program, beberapa
permasalahan atau kendala yang muncul berkaitan dengan
berhentinya proposal di tingkat PIU, yaitu:

72 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
- Adanya keharusan LPSTK memilik NPWP sebelum
pengajuan atau pencairan dana, padahal biaya pembuatan
NPWP harus disediakan terlebih dahulu oleh masyarakat.
Persyaratan ini memberatkan masyarakat, karena biaya
pembuatan NPWP cukup besar, yaitu sekitar Rp. 2.140.000,-
berikut biaya tranportasi ke Tanjung Pinang.
- Terbatasnya waktu oleh pihak fasilitator dalam melakukan
pendampingan, yaitu hanya sekitar tiga (3) bulan. Sedangkan
fasilitator lapangan untuk Desa Limbung hanya bertahan
sekitar satu bulan (2007), setelahnya tidak ada tenaga
pendamping lapangan, yang berarti masyarakat harus bekerja
sendiri dalam membuat proposal. Meskipun ada tenaga
penyuluh, tetapi keberadaan mereka di lapangan hanya salam
waktu sangat singkat dan umumnya untuk kepentingan
tugasnya.
- Pembuatan proposal hanya dalam rangka mengejar target
agar terpenuhi sesuai dengan yang ditentukan;
- Kurang seriusnya komponen COREMAP fase II tingkat
kabupaten dalam menanggapi apa yang telah dilakukan
masyarakat desa, sehingga mereka harus menunggu cukup
lama dan seolah-olah tidak ada kata putus dari pelaksana
COREMAP tingkat kabupaten.

Kelompok Masyarakat (Pokmas)


Salah satu tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan
implementasi proyek COREMAP fase II, khususnya dari komponen
CBM, adalah pembentukan masyarakat (Pokmas). Keberadaan
kelompok ini merupakan ’ujung tombak’ keberhasilan program
COREMAP di Desa Limbung, sehingga perlu diperhatikan pula
adanya faktor-faktor yang mendukung keberhasilan kelompok.
Menurut Sahyuti (2006:44-45), faktor-faktor tersebut meliputi:
- Pemimpin yang cakap dan paham tentang visi atau tujuan
kelompok;

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 73
- SDM anggota kelompok, pendamping, dan logistik yang
cukup;
- Startegi dan tujuan yang jelas;
- Pendekatan yang digunakan dapat diadaptasi dalam konteks
yang berubah-ubah;
- Harapan yang wajar terhadap usaha yang akan dilakukan;
- Keberlanjutan keterlibatan kelompok di masyarakat;
- Ketrampilan dan ketulusan petugas lapangan yang ditugaskan
di desa membantu kelompok;
- Hubungan yang kuat antara kelompok, pemimpin lokal dan
lembaga pendukung;
Pembentukan kelompok masyarakat di Desa Limbung sudah
dilakukan, tetapi belum menjalankan kegiatannya, kecuali Pokmas
Jender. Situasi ini berkaitan dengan anggapan dari sebagian besar
anggota pokmas yang selalu mengkaitkan kegiatan pokmas dengan
pemberian dana. Terdapat tiga pokmas yang sudah terbentuk di Desa
Limbung, yaitu Pokmas Jender, Pokmas MPA, dan Pokmas
Pengawasan (Pokmaswas).

a) Pokmas Jender
Pokmas Jender dibentuk pada tahun 2007 yang bertujuan
meningkatkan peran ibu rumahtangga dalam kegiatan ekonomi untuk
membantu suami, khususnya pada keluarga nelayan. Pokmas ini
sudah melakukan kegiatan, meskipun dengan dana yang sangat kecil
dan kegiatan tersebut tidak dilakukan berkelompok. Kegiatan diawali
dengan membuat proposal yang berisi rencana kegiatan untuk
berusaha di bidang industri rumah tangga yang berupa kue dan
kerupuk. Pada akhir tahun 2007, dua orang (ketua dan satu anggota)
Pokmas Jender mengikuti pelatihan usaha industri rumah tangga di
Sekanah selama dua hari dan langsung mendapat bantuan dana untuk
modal usaha sebesar 1,2 juta rupiah per desa. Dana tersebut

74 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
digunakan untuk biaya transportasi, membeli peralatan untuk usaha
membuat kerupuk, uang kas pokmas, dan modal usaha12.
Pomas Jender di Desa Limbung terdiri dari satu (1) kelompok induk
dan empat (4) ‘kelompok kecil’, yang dibentuk pada awal tahun 2008.
Pada tahap awal, anggota kelompok hanya dipilih dari masyarakat
Dusun Centeng yang masing-masing kelompok mendapat bantuan
dana Rp 100.000,-. Sedangkan sisa dana sebesar Rp. 80.000,-,
disimpan untuk kas Pokmas jender. Dalam pelaksanaannya, dana
yang diterima kelompok itu dibagikan kepada anggota mereka, karena
umumnya mereka menjalankan usaha sendiri-sendiri. Misalnya dalam
satu kelompok kecil yang beranggotakan empat (4) orang, kemudian
membagi dana pinjaman sebesar Rp. 100.000,- kepada 4 orang
anggota, sehingga masing-masing anggota hanya mendapat pinjaman
Rp. 25.000,- yang biasanya dimanfaatkan untuk usaha membuat
kerupuk atau kue epuk-epuk. Pengembalian dana diangsur selama tiga
(3) bulan, seterusnya uang sebesar Rp. 105.000,-. dari anggota
‘kelompok kecil’ disetorkan kepada bendahara pokmas induk. Oleh
kelompok inti, dana tersebut direncanakan akan diputar, dalam arti
dipinjamkan kepada anggota ‘kelompok kecil’ lainnya. Apabila dana
COREMAP tersebut telah lunas, maka LPSTK berencana untuk
membentuk satu kelompok inti lagi di Kampung Seranggas.
Diharapkan dana tersebut dapat bergulir ke kampung dan dusun lain
sesuai dengan tujuan pembentukan Pokmas jender di Desa Limbung.
Berdasarkan pengalaman anggota kelompok jender yang pernah
terlibat pada COREMAP fase I mengatakan bahwa penyelenggarakan

12
Biaya transportasi ke Senayang Rp. 400.000,- (pp) untuk dua orang dan
pembelian alat Rp. 320.000,-. Peralatan yang dibeli telah tersedia dari
penyelenggara pelatihan antara lain untuk setiap desa adalah kompor (2),
kukusan (2), gilingan ikan (2), ayakan (4), dan ember (1) yang
menghabiskan dana sekitar Rp. 320.000,-. Sisa uang yang dibawa pulang ke
Limbung adalah Rp. 480.000,- dan digunakan sebagai modal usaha
kelompok dan uang kas. Usaha pokmas jender tidak dilakukan secara
berkelompok, tetapi setiap anggota melakukan usaha produktif sendiri,
sehingga modal usaha dibagikan merata pada anggota. Setiap anggota yang
mendapatkan bantuan wajib mengembalikan setiap bulan dengan sistem
angsuran.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 75
fase I lebih baik daripada kegiatan pada COREMAP II, baik dari sisi
dana maupun kegiatannya. Misalnya, pada saat pertemuan atau
pelatihan di luar desa, selain diberi makan dan kue mereka juga diberi
uang sebesar Rp. 50.000,- per hari. Begitupula dengan dana yang
diterima lebih besar, di mana dana tersebut dalam tempo enam bulan
sudah dapat digulirkan kepada kelompok lain, sehingga jumlah
kelompok cepat bertambah. Dilihat dari pelatihan yang diberikan,
materi pelatihan lebih banyak yaitu selain kerupuk, juga diberikan
ketrampilan membuat nuget, bakso, dan abon ikan. Pada waktu itu,
pelatih datang ke Desa Limbung sehingga peserta cukup bany
banyak, yaitu sekitar 20 orang yang berasal dari empat dusun.
Walaupun tidak semua peserta pernah memperoleh dana COREMAP
I, namun karena pernah ikut berlatih maka mereka bisa mencoba
sendiri.
Terdapat kecenderungan umum di kalangan masyarakat untuk
membandingkan kegiatan usaha pemberdayaan ekonomi antara
pelaksanaan COREMAP I dan II, sehingga memunculkan
permasalahan. Pada saat penelitian ini berlangsung, hanya beberapa
orang yang sudah memperoleh bantuan modal usaha, bahkan itupun
terkonsentrasi di satu dusun. Keadaan ini memunculkan kecemburuan
dari mereka yang sudah membentuk pokmas, tetapi belum mendapat
bantuan modal usaha. Kondisi ini dapat dihindari jika ada saling
keterbukaan antara kelompok induk dengan kelompok keci, karena
kelompok kecil tampaknya belum mengetahui tentang bantuan modal
usaha ekonomi produktif pada COREMAP fase II yang dilakukan
secara bertahap, tidak seperti COREMAP I yang dilakukan secara
serentak. Tidak adanya tenaga pendamping di Desa Limbung yang
semestinya dapat mengatasi permasalahan tersebut, menjadikan
permasalahan akan menjadi potensi ketidakharmonisan dalam
hubungan bermasyarakat/sosial.

b) Pokmas MPA
Pokmas MPA (Mata Pencaharian Alternatif) mulai dibentuk tahun
2007 setelah ada pertemuan antara LPSTK dan masyarakat Desa
Limbung. Pembentukan Pokmas MPA masih terbatas pada
masyarakat Dusun Centeng (6 kelompok) dan Kampung Sranggas (1
76 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
kelompok). Kelompok ini memulai kegiatan dengan menyusun
proposal bersama LPSTK dan tenaga pendamping (dikenal dengan
field fasilitator-FF). Berbagai jenis usaha yang ingin dikembangkan
masyarakat Desa Limbung sesuai dengan yang diminati anggota
kelompok, sehingga dijumpai beberapa kesamaan jenis kegiatan.
Misalnya, dari tujuh (7) Pokmas MPA ada beberapa Pokmas yang
mengajukan program sama seperti peternakan sapi dan jaring ketam
(lihat Matriks 3.1).
Matriks 3.1. Pokmas MPA Desa Limbung Menurut Program, Jumlah
Anggota & Nama Ketua
NAMA JUMLAH
NO. PROGRAM
KELOMPOK ANGGOTA
1. Jasa Mandiri Ternak sapi, rumput 7
laut, bubu
2. Camar Laut Budidaya kerapu sunu, 6
jaring ketam, bubu
3. Usaha Bersama Ternak sapi, bubu, 8
jaring ikan
4. Harapan Bunda Budidaya kerapu sunu, 6
jaring ketam, bubu
5. Sumber Makmur Ternak sapi, bubu, 5
jaring ketam
6. Bunga Karang Ternak ayam, 14
pengolahan kerupuk
ikan, dagang, simpan-
pinjam
7. Siput Laut (Dusun Ternak ayam, 23
Seranggas) pengolahan kerupuk (laki-laki dan
ikan, dagang, simpan- perempuan)
pinjam
Sumber: - Laporan akhir kegiatan CBM Program COREMAP II
Kabupaten Lingga
- Usulan draft RPTK-T dan draft Perdes Tahun 2007
Disamping jenis kegiatan yang sama, dari wawancara mendalam juga
diketahui adanya beberapa orang yang terlibat pada lebih dari satu
pokmas. Hal ini mungkin disebabkan pelaksanaan program
COREMAP fase II didominasi oleh masyarakat yang tinggal di

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 77
Dusun Centeng, padahal di dusun ini terdapat banyak WNI keturunan
Cina yang umumnya tidak bersedia terlibat dalam kegiatan
COREMAP, karena sibuk dengan usaha dagang/toko. Gambaran ini
juga memicu terjadinya rasa ”iri” dari masyarakat dusun lain yang
tidak terlibat, sehingga mempengaruhi hubungan sosial antar dusun.
Implementasi program MPA yang akan dilaksanakan Pokmas
setempat belum berjalan. Keenam Pokmas telah mengajukan proposal
sejak tahun 2006 dan telah berulangkali diperbaiki sesuai dengan
saran dari fasilitator/tenaga pendamping, motivator, maupun
komponen COREMAP kabupaten. Hal ini berdampak terhadap
kebosanan dan kurang peduli dari anggota Pokmas lagi terhadap
COREMAP, akibat sudah terlalu lama menunggu. Sejumlah
informan, bahkan membandingkan pelaksanaan COREMAP I yang
berjalan lebih baik, lebih berhasil, bantuan yang diterima lebih
banyak, turunnya dana lebih cepat karena tidak perlu memiliki
NPWP, dan fasilitator menyatu dengan masyarakat.

c) Pokmas Pengawasan
Pokmas Pengawasan (Pokmaswas) dibentuk pada tahun 2007. Secara
umum, kegiatan yang dilakukan oleh kelompok pengawasan adalah
melakukan pengawasan terhadap kelestarian sumberdaya laut dari
berbagai ancaman, terutama yang berasal dari pihak luar seperti
nelayan pendatang. Pokmas ini beranggotakan 10 orang dari Dusun
Centeng. Kegiatan yang direncanakan kelompok ini adalah
melakukan patroli dan pengawasan laut, kebersihan lingkungan laut
dan pantai, dan penanaman bakau. Ketika Kajian BME Sosial
Ekonomi ini dilakukan (Mei 2008), Pokmaswas belum memulai
kegiatan, karena proposal belum disetujui komponen dan PIU
Kabupaten Lingga. Pokmaswas baru mempunyai sebuah kapal
dengan jangkauan terbatas dan tidak dapat mengejar nelayan yang
melakukan kegiatan ilegal yang umumnya menggunakan kapal
dengan mesin besar. Padahal di kawasan perairan Limbung dan
sekitarnya sering terjadi penangkapan ikan dengan menggunakan alat
terlarang, yang biasanya dilakukan oleh nelayan luar. Sementara itu,
berhentinya pengawasan laut yang dilakukan COREMAP fase I di
Desa Limbung mendorong kembali kegiatan penangkapan ikan secara
78 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
berlebihan oleh nelayan dari desa yang tidak terlibat program
COREMAP. Namun kegiatan nelayan ini turut mendorong nelayan
Desa Limbung untuk mengambil ikan di sekitar kawasan konservasi
pada masa COREMAP fase I, yaitu sekitar Pulau Hantu. Oleh
karena itu, tampaknya perlu melibatkan masyarakat yang tinggal
paling dekat dengan wilayah tangkap yang merupakan target
pengambilan ikan secara ilegal. Pada saat ini, keterlibatan dalam
Pokmaswas masih terbatas pada penduduk dari Dusun Centeng,
namun seharusnya juga melibatkan penduduk Kampung Air Kelat
seperti pada masa COREMAP fase I karena mereka tinggal sangat
dekat dengan daerah perlindungan laut yang juga menjadi wilayah
penangkapan nelayan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang
merusak.
Permasalahan terkait dengan pemanfaatan perairan laut kawasan
perairan Limbung tersebut tampaknya terkait dengan ketidakjelasan
program yang dimotori oleh komponen MCS COREMAP di tingkat
kabupaten, sehingga kelompok pengawasan pun sulit untuk bertindak.
Hal ini juga didukung dengan tidak adanya biaya dan
sarana/prasarana pengawasan yang memadai sehingga sulit memantau
kegiatan nelayan di tengah laut. Apalagi dilihat dari keseriusan pihak-
pihak terkait dengan pengawasan, ada kecenderungan adanya
tindakan yang tidak serius, diindikasikan oleh dilepaskannya
pelanggar yang sudah ditangkap tanpa proses pengadilan terlebih
dahulu.

Kegiatan COREMAP Di Desa Limbung


Kegiatan COREMAP II di Desa Limbung tidak hanya sebatas
pembentukan kelompok masyarakat (Pokmas) sebagai alat untuk
implementasi program, tetapi juga meliputu upaya meningkatkan
pengetahuan masyarakat dan pembangunan infrastruktur yang
mendukung terlaksananya program COREMAP. Ada beberapa
kegiatan COREMAP yang telah dilaksanakan di Desa Limbung,
yaitu: penyadaran masyarakat, sosialisasi COREMAP, pelatihan,
pembangunan tambatan perahu dan fasilitas MCK, bantuan kapal
motor sebagai sarana untuk kegiatan pengawasan wilayah konservasi.
Namun demikian, semua kegiaatan tersebut belum berjalan sesuai
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 79
dengan harapan. Program penyadaran masyarakat baru dilakukan
pada tahap penyebaran leaflet dan itu pun belum mencakup seluruh
wilayah Desa Limbung. Pemasangan leaflet baru dilakukan di Dusun
Centeng, sedangkan dusun-dusun lain yang sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai nelayan seperti di Kampung Air Kelat,
Sranggas, dan Senempek belum dilakukan. Khusus Kampung
Sinempek, leaflet baru diserahkan ke perangkat dusun ketika
penelitian ini berlangsung, padahal poster dan leaflet sudah diterima
oleh LPSTK pada awal tahun 2008. Dari pihak komponen penyadaran
masayarakat di Kabupaten Lingga, direncananan program penyadaran
masyarakat akan diimplementasikan di kampung yang ditempati oleh
Suku Laut dan Linau (terutama di lingkungan masyarakat yang
mencari penghidupan sebagai nelayan). Penyadaran masyarakat
melalui pendidikan formal belum dilakukan, misalnya memasukkan
materi pengelolaan dan pelestarian terumbu karang dalam mulok.
Dalam rangka memperkenalkan keberadaan COREMAP di
masyarakat, khususnya desa yang menjadi fokus implementasi
program, kegiatan sosialisasi kepada masyarakat maupun anggota
Pokmas juga telah dilakukan, tetapi tampaknya juga cenderung
terkonsentrasi di Dusun Centeng. Bahkan kegiatan sosialisasi tersebut
baru dilakukan pada masyarakat yang sangat terbatas, yaitu mereka
yang hadir ketika pembentukan LPSTK (sekitar 30 orang), yang juga
dihadiri oleh field fasilitator dan senior fasilitator. Materi sosialisasi
meliputi pengetahuan tentang COREMAP, pelestarian terumbu
karang, pengetahuan tentang alat-alat penangkapan yang merusak,
kelembagaan COREMAP di tingkat desa dan kegiatan kelembagaan
tersebut, cara membuat proposal. Dengan demikian, kegiatan
sosialisasi masih terbatas pada anggota masyarakat yang terlibat
program COREMAP. Meskipun perwakilan dari dusun juga diundang
dalam rapat pembentukan LPSTK yang sekaligus dimanfaatkan untuk
sosialisi COREMAP, tampaknya masih banyak anggota masyarakat
yang belum mengetahui tentang COREMAP II, terutama mereka
yang tinggal di Kampung Senempek, Air Kelat, Linau, dan kampung
Suku Laut.
Kegiatan pelatihan merupakan sarana penting dalam melaksanakan
implementasi program,, terutama program-program yang berkaitan

80 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
dengan peningkatan pengetahuan masyarakat dan upaya memperbaiki
ekonomi. Dalam kaitan dengan program COREMAP yang berfokus
untuk pelestarian terumbu karang dan peningkatan ekonomi keluarga,
maka dibutuhkan pelatihan-pelatihan yang berfokus pada program
tersebut. Namun tampaknya kegiatan pelatihan baru dilakukan pada
pengurus lembaga COREMAP desa, yang dilakukan di luar Desa
Limbung, seperti pelatihan untuk Ketua LPSTK, ketua dan bendahara
Pokmas Jender. Sebagian anggota Pokmas mengharapkan adanya
kegiatan pelatihan yang dilakukan di Desa Limbung yang diikuti
dengan penyuluhan secara rutin oleh fasilitator/tenaga pendamping,
agar supaya kegiatan tersebut dapat diikuti oleh semua anggota
kelompok.
Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu program
COREMAP fase II. Tambatan perahu dan fasilitas MCK adalah dua
jenis fasilitas umum yang dibangun di Desa Limbung. Pelaksanaan
pembangunan fasilitas tersebut dilakukan dengan sistem lelang.
Dalam waktu yang sama, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Limbung juga membangun/merenovasi tambatan perahu yang sudah
ada sebelumnya, yaitu di Kampung Centeng yang terletak
bersebelahan dengan Kampung Air Berani yang merupakan lokasi
tambatan perahu bantuan COREMAP. Hal ini menunjukkan tidak
adanya koordinasi antar institusi pemerintahan di Kabupaten Lingga.
Padahal jika dilakukan koordinasi, maka kualitas tambatan perahu
dapat lebih baik, sehingga kekuatannya dapat bertahan dalam jangka
waktu lama. Terlepas dari kekurangannya, keberadaan tambatan
perahu tersebut dapat mempermudah nelayan untuk menambatkan
perahu/sampan yang selama ini menjadi salah satu kebutuhan penting
nelayan. Hal ini karena ketika air laut surut, pantai di perkampungan
nelayan pada umumnya menjadi kering, sehingga nelayan harus
berjalan cukup jauh untuk menuju daratan. Tambatan perahu
dibangun di pantai dengan kedalaman air cukup dalam, sehingga
tidak pernah kering walaupun air laut surut. Hal ini menguntungkan
nelayan, karena hemat waktu dan hasil tangkapan segera dapat
dipasarkan. Sepertihalnya dengan tambatan perahu, pembangunan
fasilitas MCK yang juga berlokasi di Kampung Air Berani, karena di
kampung ini terdapat mata air yang tidak pernah kering. Namun

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 81
tampaknya MCK ini kurang terkontrol dalam pembangunannya
sehingga sudah banyak yang rusak dan tidak jalan seperti pompa,
pintu-pintu, tembok yang sudah mulai retak, dan genteng yang pecah.
Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya sistem lelang, di mana
pembangunan dilakukan oleh pihak ketiga yang biasanya banyak
mengambil keuntungan dan kurang memperhatikan kualitas
bangunan.
Kegiatan lain yang sedang dalam tahap rencana adalah merenovasi
bangunan pondok informasi yang dibangun pada COREMAP I.
LPSTK telah mengajukan proposal untuk biaya renovasi pondok ini
dengan dana sekitar 30 juta rupiah, namun tampaknya yang disetujui
hanya 19 juta rupiah. Padahal renovasi akan dilakukan dengan sistem
swakelola yang merupakan ‘aturan main’ proyek COREMAP. Pada
saat ini, pondok informasi hanya digunakan sebagai tempat
pertemuan dan kegiatan lainnya yang terkait dengan pelaksanaan
COREMAP.
Dalam usaha menjaga ekosistem terumbu karang dan SDL lainnya di
perairan Limbung, kegiatan pengawasan laut merupakan hal yang
penting dan perlu menjadi perhatian dari berbagai stakeholders
terkait. Namun demikian, kegiatan pengawasan di Desa Limbung
belum berjalan, padahal pelaksanaan COREMAP II sudah memasuki
tahun ke tiga. Proposal yang diajukan oleh Pokmaswas Dea Limbung
belum mendapat persetujuan, sedangkan pelatihan yang berkaitan
dengan pengawasan juga belum pernah diikuti. Sarana yang tersedia
hanya sebuah kapal, tetapi lebih banyak dimanfaatkan untuk alat
transportasi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di atas, UEP (Usaha
Ekonomi Produktif) adalah salah satu kegiatan yang diharapkan dapat
menjadi bagian keberhasilan proyek COREMAP fase II. Kegiatan ini
diperkirakan akan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk
melalui pekerjaan yang tidak merusak SDL, khususnya terumbu
karang. Oleh karena itu program ini lebih ditujukan pada masyarakat
nelayan yang diperkirakan paling tinggi berpotensi dalam merusak
terumbu karang. Adanya pekerjaan alternatif yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarganya, maka aktivitas sebagai
nelayan dapat dikurangi atau paling tidak mengurangi mencari ikan di
82 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
tempat-tempat yang banyak ditumbuhi terumbu karang. Di Desa
Limbung program UEP baru pada tingkat pembuatan proposal, yaitu
sejak tahun 2006, namun sampai saat evaluasi dilakukan belum ada
realisasinya. Pokmas UEP didirikan sekitar tahun 2006, yaitu ada
enam (6) Pokmas, dengan diawal dengan membuat proposal bersama
LPSTK dan FF (field fasilitator). Kegiatan yang direncanakan ada
yang berkaitan dengan kegiatan kenelayanan dan adapula kegiatan di
darat seperti ternak sapi. Menurut informasi, proposal dibuat Pokmas
tersebut masih ditangan PIUs, namun sudah diperiksa oleh komponen
COREMAP terkait. Dengan tidak adanya kabar-berita mengenai
kelanjutan proposal tersebut, anggota kelompok mulai ”bosan” dan
tidak perduli apakah program tersebut ada atau tidak. Sedangkan
permasalahan yang muncul terkait dengan kegiatan UEP di Desa
Limbung adalah terkait dengan tidak adanya tenaga pendaping,
sedangkan tenaga penyuluh sangat jarang datang, dan jika datang
hanya beberapa saat untuk mendapatkan data/informasi bagi
kepentingannya sendiri. Padahal anggota kelompok sangat
membutuhkan bimbingan untuk pembuatan proposal maupun
implementasi kegiatan. Permasalahan lain adalah dana yang belum
turun sehingga tidak dapat mengimplementasikan program yang
direncanakan. Kegiatan UEP yang baru berjalan adalah yang
dilakukan oleh Pokmas Jender yang meliputi empat kelompok kecil
dan semua berdomisili di Dusun Centeng. Telah dikemukakan
sebelumnya, kegiatan yang dilakukan adalah membuat kerupuk ikan
dan kue, tetapi karena modal sangat kecil (Rp 25 ribu per orang),
sehingga tidak bisa menambah penghasilan rumah tangga.

3.2. PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP


PROGRAM COREMAP
Sebagian besar masyarakat tampaknya telah mengetahui tentang
COREMAP, namun partisipasi mereka masih rendah, karena program
hanya terkonsentrasi di satu dusun. Tingginya pengetahuan tersebut
adalah karena COREMAP telah lama masuk di desa ini, yaitu sejak
COREMAP I. Berdasarkan Survei Data Dasar Sosial Ekonomi yang
dilakukan tahun 2006 (T0) (Romdiati dkk., 2008:101-10) dan survey
BME tahun 2008 (T1), diketahui adanya peningkatan pengetahuan

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 83
masyarakat tentang COREMAP. Dari beberapa kegiatan COREMAP
fase II yang diimplementasikan di Desa Limbung, terutama yang
paling diketahui responden adalah kegiatan yang berkaitan dengan
pentingnya pelestarian terumbu karang (75 persen) dan perlindungan
daerah pesisir/laut (67 persen). Tingginya pengetahuan responden
tersebut memperlihatkan bahwa mereka sudah mengetahui tentang
pentingnya terumbu karang untuk dilestarikan atau dijaga; terutama
bagi keberlanjutan kehidupan mereka yang sangat tergantung dengan
laut. Pada umumnya, pengetahuan tersebut pernah diterima beberapa
responden pada saat program COREMAP fase I dilaksanakan di desa
ini dan mareka mulai menjaga terumbu karang agar tidak rusak.
Pengetahuan responden tentang COREMAP cukup baik,
diindikasikan oleh tingginya proporsi responden yang mengetahui
kegiatan-kegiatan yang dilakukan program ini. Dari sembilan
pertanyaan mengenai kegiatan-kegiatan COREMAP yang diajukan
kepada responden, hanya tiga kegiatan yang hanya diketahui oleh
kurang lebih sepertiga dari keseluruhan responden, yaitu kegiatan
terkait dengan pelatihan UEP, pendampingan UEP, dan kegiatan
pokmas UEP (lihat Tabel 3.1.). Temuan ini mendiikasikan bahwa
kegiatan-kegiatan COREMAP yang berhubungan dengan
pengembangan usaha produktif belum diketahui secara meluas,
mungkin karena kegiatan yang dilakukan masih terkonsentrasi di satu
kampung, yaitu di Air Brani. Sedangkan pengetahuan responden
terkait dengan kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya pelestarian terumbu karang diketahui oleh tiga perempar
dari total responden, yang merupakan proporsi paling tinggi
dibandingkan pengetahuan tentang kegiatan-kegiatan COREMAP
lainnya. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh adanya papan
nama (bilbord) tentang COREMAP yang dipasang di depan pondok
informasi, yang terletak berdampingan dengan Puskesmas dan Kantor
Desa. Selain itu, Desa Limbung telah menjadi lokasi program sejak
COREMAP fase I, maka mudah dipahami jika sebagian besar
penduduknya telah mengetahui adanya kegiatan COREMAP yang
terkait untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya pelestarian terumbu karang.

84 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Untuk kegiatan perlindungan dan pengawasan pesisir dan laut yang
merupakan salah satu kegiatan COREMAP juga diketahui oleh kira-
kira dua pertiga responden, atau hanya sedikit lebih tingi daripada
mereka yang mengetahui kegiatan pembentukan LPSTK (62 persen).
Cukup tingginya pengetahuan tersebut tidak terlepas dari
pembentukan LPSTK yang telah dilakukan cukup lama, disamping
juga LPSTK sudah melakukan beberapa kegiatan. Walaupun
terkonsentrasi di Kampung Air Brani, pada saat pembentukan LPSTK
terdapat perwakilan dari kampung lain, meskipun kampung-kampung
yang letaknya cukup jauh dari pusat desa tidak hadir.
Tabel 3.1. Distribusi Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang
Kegiatan COREMAP II, Desa Limbung, Kabupaten Lingga
Tidak Jumlah
Kegiatan COREMAP Tahu
tahu (N=100)
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran 75,0 25,0 100
akan pentingnya pelestarian terumbu
karang
Kegiatan perlindungan/pengawasan 67,0 33,0 100
pesisir dan laut
Pembentukan lembaga pengelola 62,0 38,0 100
sumberdaya terumbu karang LPSTK
Pelatihan UEP 32,0 68,0 100
Kegiatan pendampingan UEP 40,0 60,0 100
Kegiatan penyusunan rencana 51,0 49,0 100
pemanfaatan & pelestarian TK
Kegiatan Pokmas konservasi 59,6 40,4 100
Kegiatan Pokmas UEP 29,6 70,4 100
Kegiatan Pokmas wanita/jender 58,2 41,8 100
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa
Limbung, 2008.

Cukup tingginya pengetahuan responden mengenai kegiatan-kegiatan


COREMAP tersebut tampaknya belum diimplementasikan dalam
praktek. Hal ini digambarkan oleh rendahnya persentase responden
yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan COREMAP, sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 3.2. Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa keterlibatan responden yang hanya kira-kira separuhnya dari
mereka yang mengetahui. Bahkan, persentase responden dalam
kegiatan pendampingan UEP, pokmas jender, dan pembentukan
LPSTK hanya mencapai kurang dari sepertiganya dari responden

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 85
yang mengetahui adanya tiga jenis kegiatan tersebut dalam
COREMAP. Lebih kecilnya proporsi yang terlibat dalam masing-
masing kegiatan jauh lebih kecil daripada proporsi responden yang
mengetahui jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam COREMAP
tersebut kemungkinan besar karena mereka biasanya hanya terlibat
dalam salah satu kegiatan, terutama terkait dengan keanggotaan
pokmas. Bahkan, sebagian lainnya tidak terlibat sama sekali dalam
kegiatan-kegiatan COREMAP. Dari wawancara mendalam diketahui
bahwa keterlibatan dalam kegiatan COREMAP, terutama sebagai
anggota dalam salah satu pokmas, pada umumnya juga belum
melakukan kegiatan apapun, kecuali beberapa orang anggota Pokmas
Jender. Namun demikian, keterlibatan responden dalam kegiatan
Pokmas Jender hanya sebesar 14 persen dari jumlah mereka yang
mengetahui pokmas ini (57 responden). Ada dua kemungkinan
jawaban ini muncul, yakni (1) karena yang menjadi responden
umumnya laki-laki yang tentunya tidak terlibat program jender, dan
(2) mereka yang terlibat program jender baru mencapai 16 orang yang
mungkin juga tidak termasuk sampel rsponden individu. Persentase
responden pada angka yang sangat rendah juga ditemukan pada
kegiatan pendampingan UEP (15 persen). Pendampingan UEP di
Desa Limbung hanya dilakukan oleh tenaga penyuluh dengan jadwal
kerja yang tidak teratur. Sedankan tenaga pendamping lapangan
hanya bekerja satu bulan, dan kemudian meninggalkan desa tanpa ada
penggantinya. Oleh karena itu, mudah dimengerti jika keterlibatan
responden dalam kegiatan pendampingan UEP sangat rendah, terlebih
tenaga penyuluh dan senior fasilitator jarang berkinjung ke Desa
Limbung.

86 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Tabel 3.2. Distribusi Persentase Responden yang Mengetahui
Kegiatan COREMAP Menurut Keterlibatannya
Keterlibatan Kegiatan Terlibat Tidak Jumlah
COREMAP terlibat (N)
Peningkatan pengetahuan dan 41,3 58,7 75
kesadaran akan pentingnya
pelestarian terumbu karang
Perlindungan/pengawasan pesisir 35,8 64,2 67
dan laut
Pembentukan LPSTK 22,6 77,4 62
Pelatihan UEP 34,4 65,6 32
Pendampingan UEP 15,0 85,0 40
Penyusunan rencana pemanfaatan 32,7 67,3 49
& pelestarian TK
Pokmas konservasi 37,9 62,1 58
Pokmas UEP 20,7 79,3 29
Pokmas wanita/jender 14,0 86,0 57
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-
Ekonomi Desa Limbung, 2008.
Persentase responden yang terlibat pada jenis kegiatan peningkatan
pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu
karang serta perlindungan/pengawasan pesisir dan laut paling tinggi
dibandingkan dengan jenis-jenis kegiatan lainnya, meskipun hanya
mencapai 41,3 persen. Angka ini hanya sedikt lebih tinggi daripada
mereka yang terlibat dalam pokmas konservasi (37,9 persen).
Sebaliknya, persentase responden dalam kegiatan yang berkaitan
dengan UEP lebih rendah daripada kegiatan pelestarian terumbu
karang. Temuan penelitian ini menggambarkan bahwa kegiatan
penyadaran dan konservasi ekosistem terumbu karang cukup
diminati, meskipun tidak selalu terkait dengan penerimaan bantuan
(terutama untuk keterlbatan dalam kegiatan peningkatan pengetahuan
dan kesadaran pentingnya pelestarian terumbu karang). Kenyataan ini
mudah diphami karena kegiatan yang merupakan tahap awal
pelaksanaan program tersebut diselenggarakan untuk seluruh anggota
masyarakat. Selain itu, karena kegiatan tersebut hanya melibatkan
berbagai bentuk pertemuan, maka kemungkinan masyarakat untuk
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 87
mengikutinya juga paling besar dibandingkan dengan kegiatan
lainnya. Untuk keterlibatan pada pembentukan LPSTK dan
penyusunan RPTK juga hanya melibatkan sebagian kecil responden.
Besar kemungkinan termasuk mereka hanya terbatas pada beberapa
anggota dalam pokmas dan/atau LPSTK, sehingga mempengaruhi
rendahnya persentase responden yang terlibat dalam dua jenis
kegiatan COREMAP tersebut.
Tabel 3.3 menyajikan data mengenai pengetahuan responden terkait
dengan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan COREMAP di Desa
Limbung. Persentase responden yang mengetahui jenis-jenis kegiatan
ekonomi produktif yang dilaksanakan program ini termasuk tinggi,
kecuali untuk jenis kegiatan pemberian dana bergulir/kredit yang
hanya diketahui oleh sekitar sepertiga dari jumlah responden. Dapat
dilihat pada Tabel 3.3, sebagian besar responden telah mengetahui
jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang. Dari wawancara
mendalam dengan beberapa anggota pokmas juga mencerminkan hal
ini, yaitu dicerminkan dari pengetahuan untuk pemilihan jenis usaha
yang diajukan dalam proposal pokmas yang memilih usaha-usaha
usaha peternakan sapi, keramba ikan kerapu, dan jaring ikan.
Sebaliknya, rendahnya persentase responden yang tidak mengetahui
pemberian dana bergulir untuk pengembangan UEP kemungkinan
disebabkan karena implementasi kegiatan belum dilakukan,
disamping kurangnya sosialisasi yang berkaitan dengan penggunaan
dana COREMAP untuk program UEP. Di sisi lain, mereka umumnya
hanya mengetahui bahwa sebelum kegiatan dilakukan akan diadakan
pelatihan dan bimbingan agar usaha yang akan dikembangkan
berhasil. Hal ini mungkin disebabkan dalam pembuatan proposal
mereka telah dilatih dan dibimbing oleh anggota LPSTK, tenaga
pendamping, dan motivator.

88 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Tabel 3.3. Distribusi Persentase Responden Menurut
Pengetahuan Tentang Jenis Kegiatan UEP -
COREMAP

Jenis Kegiatan UEP – Tahu Tidak Jumlah


COREMAP tahu (N=100)

Pemilihan jenis-jenis usaha yang 80,0 20,0 100


tidak merusak terumbu karang
Pemberian dana bergulir/kredit 36,0 64,0 100
untuk mengembangkan UEP
masyarakat

Pelatihan dan bimbingan 68,0 32,0 100


keterampilan untuk meningkatkan
usaha
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-
Ekonomi Desa Limbung, 2008.
Ketiga jenis kegiatan UEP di atas diketahui masyarakat Desa
Limbung dari empat sumber informasi, yaitu pengurus COREMAP,
aparat desa, anggota masyarakat yang terlibat kegiatan COREMAP,
dan anggota masyarakat lainnya. Berdasarkan jawaban responden
mengenai sumber informasi dari kegiatan tersebut, jawaban terbanyak
adalah dari pengurus COREMAP termasuk fasilitator dan motivator.
Khususnya untuk kegiatan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak
merusak terumbu karang adalah mencapai lebih dari separuhnya
(58,8 persen) dan pemberian dana bergulir untuk mengembangkan
UEP di masyarakat (55,6 persen). Sedangkan kegiatan UEP lain,
yaitu kegiatan pelatihan dan bimbingan ketrampilan untuk
meningkatkan usaha, diketahui responden hampir berbanding antara
dari pengurus COREMAP (35,9 persen) dan masyarakat yang terlibat
dengan kegiatan COREMAP (30,9 persen). Mengacu kepada jawaban
responden ini dapat dimengerti karena pada sosialisasi awal kegiatan
COREMAP fase II umumnya penjelasan program implementasi,
termasuk UEP, diberikan oleh pengurus tingkat kabupaten. Penjelasan
selanjutnya yang lebih rinci akan diberikan kepada kelompok yang
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 89
telah terbentuk dan umumnya juga dilakukan oleh pengurus
COREMAP, yaitu tenaga pendamping/field fasilitator (FF) dan
motivator. Informasi dari anggota masyarakat yang terlibat program
COREMAP biasanya diterima dari ketua kelompok atau pengurus
COREMAP tingkat desa (LPSTK) yang telah terlebih dahulu
mengikuti pelatihan atau menerima informasi dari pengurus
COREMAP tingkat kabupaten.
Dalam penyampaian informasi tentang program COREMAP,
termasuk UEP, tampaknya sangat kurang diberikan dari kepala desa
dan aparatnya. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang hanya
kurang dari 6 persen responden mengatakan bahwa sumber informasi
tentang kegiatan UEP diperoleh dari aparat desa. Gambaran ini
menunjukkan bahwa kemungkinan aparat Desa Limbung kurang
dilibatkan dalam kegiatan COREMAP yang berdampak terhadap
kurangnya pemberian informasi mengenai kegiatan ini kepada
masyarakat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara
mendalam, pada umumnya kegiatan COREMAP yang akan
diimplementasikan kepada masyarakat Desa Limbung langsung
diberikan kepada pengurus LPSTK atau ketua kelompok. Kepala desa
dan perangkatnya hanya diberitahu pada saat awal kegiatan
COREMAP akan diimplementasikan di Desa Limbung, yang
sekaligus dalam rangka pembentukan LPSTK.

90 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Tabel 3.4. Distribusi Responden Yang Mengetahui Jenis Kegiatan UEP – COREMAP
Menurut Sumber Informasi

Sumber informasi
Anggota
Fasilitator/ Kepala/
Jenis Kegiatan masyarakat
motivator/ aparat desa/ Anggota Jumlah
UEP – yang terlibat
pengurus dusun/ masyarakat (N)
COREMAP dalam
COREMAP kampung/ lainnya
kegiatan
RT/RW
COREMAP
Pemilihan jenis-
jenis usaha yang
tidak merusak 58,8 2,5 26,3 12,5 80
terumbu karang
Pemberian dana
bergulir/kredit
untuk 55,6 2,8 27,8 13,9 36
mengembangkan
UEP masyarakat
Pelatihan dan
bimbingan
keterampilan
35,9 5,9 30,9 7,4 68
untuk
meningkatkan
usaha
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Limbung, 2008.

Sebagian dari responden yang mengetahui jenis kegiatan UEP –


COREMAP ada yang terlibat lebih dari satu kegiatan. Misalnya,
seseorang terlibat pada kegiatan pemilihan jenis-jenis usaha yang
tidak merusak terumbu karang, namun dia juga mengikuti kegiatan
pelatihan dan bimbingan ketrampilan untuk meningkatkan usaha.
Namun tampaknya kegiatan UEP yang berkaitan dengan pemberian
dana bergulir untuk mengembangkan UEP di masyarakat sangat kecil
yang terlibat, yaitu 14,3 persen. Permasalahan ini mungkin karena
sampai evaluasi ini dilakukan dana untuk kegiatan UEP sebagian
besar belum turun, sehingga mereka belum merasa terlibat pada
kegiatan UEP. Sedangkan jawaban terbanyak adalah responden yang
terlibat pada kegiatan memilih jenis-jenis usaha yang tidak merusak
terumbu karang, yaitu sebesar 32 persen. Hal ini dimaklumi karena
kegiatan ini umumnya diikuti pada saat pembuatan proposal, di mana
salah satu yang harus dipertimbangkan adalah kegiatan yang tidak
merusak terumbu karang. (Lihat Tabel 3.5).

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 91
Tabel 3.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Keterlibatan
Kegiatan UEP – COREMAP dan Keterlibatannya
Jenis kegiatan UEP - Terlibat Tdk Jumlah
COREMAP Terlibat (N)
Pemilihan jenis-jenis usaha 31,2 68,8 77
yang tidak merusak terumbu
karang
Pemberian dana 14,3 85,7 35
bergulir/kredit untuk
mengembangkan UEP
masyarakat
Pelatihan dan bimbingan 20,6 79,4 68
keterampilan untuk
meningkatkan usaha
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-
Ekonomi Desa Limbung, 2008.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan UEP diharapkan dapat
menggantikan kegiatan yang dapat merusak lingkungan, khususnya
lingkungan SDL dan ekosistem terumbu karang, dan meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat nelayan atau pesisir. Oleh karena itu,
baik secara langsung maupun tidak langsung kegiatan ini akan
berkaitan dengan usaha ekonomi yang dilakukan di darat atau di laut.
Sebagaimana diketahui, program COREMAP di Desa Limbung telah
berlangsung dua fase dan pada fase pertama pernah kegiatan yang
berkaitan dengan usaha ekonomi. Berdasarkan pengetahuan
responden ada beberapa jenis usaha ekonomi pernah dilakukan
COREMAP. Di antara tujuh (7) kegiatan yang diketahui responden,
jawaban terbanyak adalah kegiatan pembuatan makanan atau kue (66
persen), pengolahan hasil ikan laut (59 persen), dan usaha ternak
rumahtangga (52 persen). Mengacu kepada usulan kegiatan dari
Pokmas-pokmas COREMAP fase II, tampaknya kegiatan yang
mereka ketahui umumnya adalah mirip dengan kegiatan pada

92 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
COREMAP fase I. Hal ini karena kegiatan tersebut ada yang tidak
muncul atau belum dilaksanakan pada fase II, kecuali pembuatan
makanan atau kue yang telah dilaksanakan oleh Pokmas Jender.
Di antara kegiatan ekonomi yang diketahui responden, muncul
jawaban usaha kerajian atau souvenir yang hanya sekitar 2 persen.
Padahal di Desa Limbung hingga saat ini belum ada kegiatan
membuat kerajinan atau souvenir khas dari Desa Limbung atau
Kepulauan Riau. Berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa
kegiatan tersebut bukan berasal dari COREMAP, tetapi usahanya
sendiri bila tidak pergi melaut atau berkebun. Kegiatan ekonomi lain
adalah usaha BBM (1 persen). Apabila dilihat dari poroposal yang
diajukan oleh Pokmas UEP COREMAP fase II belum muncul usaha
penjualan BBM. Mungkin kegiatan ini pernah dilakukan pada
program COREMAP fase I.
Tabel 3.6. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan
Mengenai Jenis Usaha Ekonomi yang Pernah
Dilakukan COREMAP
Jenis usaha ekonomi Tahu Tidak Jumlah
tahu (N)
Perdagangan/warung - 100,0 100
Keramba ikan/udang/kepiting/biota 27,0 73,0 100
laut lainnya
Pembelian armada dan alat tangkap 2,0 98,0 100
Ternak 52,0 48,0 100
ayam/bebek/itik/kambing/lele/babi
Pembuatan makanan/kue/minyak 66,0 34,0 100
kelapa
Pengolahan hasil laut/ikan 59,0 41,0 100
asin/asap/pindang/ kerupuk
Kerajinan/souvenir 2,0 98,0 100
Lainnya (penyaluran BBM) 1,0 99,0 100
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-
Ekonomi Desa Limbung, 2008.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 93
Kegiatan ekonomi COREMAP mencakup sejumlah besar jenis usaha
ekonomi produktif yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
dan sekaligus juga mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya
laut. Namun demikian, hanya sebagian kecil responden yang terlibat
dalam kegiatan ekonomi tersebut. Sebagai contoh beberapa usaha
ekonomi produktif seperti perdagangan/warung, pembuatan kerajinan
hanya diketahui oleh kurang dari 10 persen responden, bahkan untuk
keterlibatan dalam penyaluran BBM hanya satu orang responden.
Salah satu kemungkinan yang menyebabkan fenomena ini adalah
kurangnya sosialisasi mengenai jenis-jenis usaha ekonomi produktif
yang bisa dilakukan dalam rangka pelaksanaan COREMAP.
Tabel 3.7. Distribusi Responden yang Mengetahui Jenis Usaha
Ekonomi yang Pernah Dilakukan COREMAP
Menurut Keterlibatannya
Jenis usaha ekonomi yang diikuti Terlibat Tidak Jumlah
Terlibat (N)
Perdagangan/warung - - -
Keramba ikan/udang/kepiting/biota 3,7 96,3 27
laut lainnya
Pembelian armada dan alat tangkap - 100,0 2
Ternak 7,8 92,2 52
ayam/bebek/itik/kambing/lele/babi
Pembuatan makanan/kue/minyak 7,7 92,3 66
kelapa
Pengolahan hasil laut/ikan - 100,0 2
asin/asap/pindang/ kerupuk
Kerajinan/souvenir - 100,0 2
Lainnya (penyaluran BBM) 100,0 - 1
Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-
Ekonomi Desa Limbung, 2008.

94 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
BAB IV
PENDAPATAN RUMAH TANGGA:
PERUBAHAN DAN FAKTOR PENGARUH

4.1. PENDAPATAN RUMAH TANGGA DAN PERUBAHANNYA

P embahasan pendapatan rumah tangga pada tulisan ini


mendasarkan pada hasil survei rumah tangga, mencakup rata-
rata pendapatan rumah tangga per bulan, pendapatan per
kapita, median, dan distribusi rumah tangga menurut besar
pendapatan per bulan. Sejalan dengan fokus penelitian pada
perubahan pendapatan dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu
karang, maka bagian ini juga menguraikan tentang pendapatan dari
kegiatan kenelayan dan faktor yang berpengaruh, yang meliputi faktor
internal, eksternal dan struktural. Termasuk dalam faktor internal
antara lain teknologi penangkapan, produksi, dan kualitas sumber
daya manusia. Sedangkan aspek pemasaran, sarana-prasarana
produksi dan kompetisi pemanfaatan sumber daya laut, merupakan
beberapa contoh dari faktor eksternal. Faktor struktural meliputi
kebijakan, program, peraturan dan penegakkan hukum terkait dengan
pemanfaatan sumber daya laut dalam rangka memperoleh
pendapatan.
Pendapatan rumah tangga yang dimaksudkan dalam tulisan ini
merujuk pada total pendapatan suatu rumah tangga yang diperoleh
oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga. Pendapatan
rumah tangga dapat berasal dari beberapa sumber: (1) penghasilan
yang diperoleh anggota rumah tangga yang bekerja (seperti gaji/upah,
keuntungan usaha), (2) penghasilan dari bunga tabungan/saham/
deposito, kiriman/pemberian, dan (3) uang pensiun. Sedangkan
pendapatan dari kegiatan kenelayanan adalah semua pendapatan
yang diperoleh oleh kepala maupun anggota rumah tangga yang
bekerja sebagai nelayan, baik pada musim angin teduh, pancaroba
maupun kencang/kuat.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 95
4.1.1. Pendapatan Rumah Tangga dari Semua Sumber Mata
Pencaharian dan Penerima Pendapatan
Kondisi pendapatan rumah tangga responden di Desa Limbung
menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir (2006-2008).
Semua ukuran statistik pendapatan menunjukkan fenomena
membaiknya kondisi ekonomi rumah tangga responden. Pada tahun
2006, rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan dari berbagai
sumber pendapatan di daerah penelitian sebesar Rp 948.300,-,
meningkat menjadi Rp 1.360.700,- pada tahun 2008, atau mengalami
kenaikan sebesar 43,5 persen selama periode 2006-2008 (lihat Tabel
3.1). Peningkatan pendapatan rumah tangga terjadi pada mereka yang
berpendapatan rendah maupun tinggi, terlihat dari adanya kenaikan
pendapatan minimum maupun maksimum. Gambaran tentang kondisi
kesejahteraan penduduk Desa Limbung yang semakin baik juga
diperlihatkan oleh peningkatan pendapatan per kapita. Pada tahun
2008, pendapatan per kapita hanya sebesar Rp 423.050,- per bulan,
hampir dua kali lipatnya dari pendapatan per kapita pada tahun 2006
(Rp 223.200,- per bulan), atau meningkat 89,5 persen. Peningkatan
pendapatan per kapita ini mungkin berkaitan dengan perubahan
jumlah anggota rumah tangga, antara lain karena migrasi ke luar
untuk bekerja maupun karena perkawinan. Informasi dari masyarakat
dan pengamatan di lokasi penelitian memperkuat alasan tersebut.
Tingkat pendapatan rumah tangga menunjukkan tren meningkat,
tetapi lebih dari separuh rumah tangga sampel hanya mempunyai
pendapatan di bawah rata-rata pendapatan rumah tangga,
diperlihatkan oleh angka median yang lebih rendah dari rata-rata
pendapatan rumah tangga.

96 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Tabel 4.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga, Tahun 2006 dan 2008
(Rupiah)

Pendapatan Jumlah (Rp.)

2006 2008

Per kapita 223.200 423.050


Rata-rata rumah tangga 948.300 1.360.700
Median 754.800 981.250
Minimum 10.000 75.000
Maksimum 6.375.000 10.157.500

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang,


PPK-LIPI 2006 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi,
PPK-LIPI 2007
Perubahan pendapatan rumah tangga di Desa Limbung terjadi di
setiap kategori besar pendapatan (lihat Gambar 4.1). Persentase
rumah tangga pada kelompok rumah tangga berpendapatan terendah
menurun tajam, yaitu dari 37 persen pada tahun 2006 menjadi 13,1
persen pada tahun 2008. Diperkirakan rumah tangga tersebut
berpindah ke kelompok rumah yang mempunyai rata-rata pendapatan
antara 500 ribu – 1 juta rupiah per bulan, yang ditunjukkan oleh
tingginya persentase rumah tangga dengan jumlah pendapatan
tersebut, yang juga mengalami sedikit peningkatan. Perubahan
pendapatan ini kemungkinan besar dialami oleh rumah tangga
nelayan yang mengganti alat tangkap jenis jaring (pada tahun 2006)
dengan bubu (pada tahun 2008. Meskipun sama-sama dipasang
sepanjang siang dan malam hari yang hasil tangkapannya diambil
pada pagi dan sore hari, hasil ketam yang ditangkap dengan bubu
cenderung lebih banyak daripada dengan jaring (wawancara dengan
beberapa nelayan di Dusun Centeng maupun Senempek).

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 97
Gambar 4.1. Distribusi Persentase Rumah Tangga
Responden Menurut Kelompok
Pendapatan, Desa Limbung, Kabupaten
Lingga, 2006 dan 2008

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu


Karang, PPK-LIPI 2006 dan Survei BME Aspek
Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2007
Perubahan tingkat pendapatan rumah tangga ke arah yang lebih besar
juga terjadi pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi,
dengan peningkatan tajam dialami oleh mereka yang memiliki
pendapatan antara 2 juta – 2,4 juta rupiah dan 3,5 juta rupian per
bulan ke atas. Nelayan kelong bilis yang umumnya mempunyai
kondisi ekonomi lebih baik diperkirakan termasuk kelompok rumah
tangga berpendapatan tinggi ini. Observasi di wilayah penangkapan
kelong bilis memperlihatkan adanya penambahan jumlah kelong
dibandingkan pada survei tahun 2006, dengan wilayah tangkap yang
semakin mendekati lokasi terumbu karang. Lokasi wilayah tangkap
seperti ini memungkinkan nelayan untuk mendapatkan hasil
tangkapan bilis lebih banyak, sehingga berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan. Walau terjadi penurunan persentase rumah
tangga responden yang berada pada kelompok pendapatan antara 2,5
juta -2,9 juta rupiah per bulan, tetapi hanya dialami sedikit rumah
tangga. Dengan demikian, peningkatan pendapatan rumah tangga
dirasakan oleh mayoritas rumah tangga di Desa Limbung. Namun

98 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
demikian, meningkatnya pendapatan rumah tangga tampaknya belum
dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan, karena harga barang dan
jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar juga semakin
mahal.
Pendapatan rumah tangga berasal dari penghasilan yang diperoleh
dari kepala maupun anggota rumah tangga, tetapi keterlibatan kepala
rumah tangga (KRT) pada umumnya paling tinggi, karena perannya
sebagai pencari nafkah utama. Data rata-rata pendapatan berdasarkan
lapangan pekerjaan KRT memperlihatkan adanya kecenderungan
peningkatan rata-rata pendapatan per bulan di setiap sektor, kecuali
sektor industri pengolahan dan lainnya. Peningkatan pendapatan KRT
yang tertinggi dialami oleh mereka yang bekerja pada lapangan
pekerjaan perkebunan (karet), yaitu meningkat sebesar 60,2 persen
selama dua tahun terakhir. Namun demikian, keterlibatan KRT pada
lapangan pekerjaan ini hanya sedikit, sehingga peningkatan
pendapatan tersebut tidak berdampak luas pada kesejahteraan rumah
tangga secara umum. Sedangkan peningkatan pendapatan KRT yang
bekerja pada lapangan pekerjaan perikanan tangkap yang hanya 23,7
persen tampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat, karena jumlah
KRT yang bekerja di sektor ini adalah paling banyak dibandingkan
mereka yang bekerja di sektor lain.
Tabel 4.2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan Menurut
Lapangan Pekerjaan Kepala Keluarga, Desa Limbung, Kabupaten
Lingga Utara, Tahun 2006dan 2008
Lapangan Pekerjaan Rata-rata Pendapatan (Rp.)
2006 N 2008 n
Perikanan tangkap 1.050.500 68 1.376.800 67
Pertanian pangan 505.000 2 600.000 1
Kehutanan - - 700.000 2
Perkebunan 681.300 7 1.712.200 6
Perdagangan 933.300 3 1.858.700 2
Industri pengolahan 850.200 5 600.000 12
Jasa Kemasyarakatan 777.600 4 - -
Lainnya 732.500 4 470.000 2
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI
2006 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2008

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 99
Kenaikan pendapatan KRT yang berasal dari lapangan pekerjaan
perikanan tangkap diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan
perkembangan sektor lainnya. Peningkatan pendapatan KRT yang
bekerja pada lapangan usaha perdagangan yang mencapai 49,8 persen
mungkin juga dipengaruhi oleh peningkatan daya beli rumah tangga
responden yang kebanyakan dikepalai oleh mereka yang bekerja di
sektor perikanan tangkap. Hal ini karena lapangan pekerjaan
perdagangan di Desa Limbung pada umumnya berupa usaha dagang
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Penurunan pendapatan KRT terjadi di sektor industri dan sektor
lainnya. Lapangan pekerjaan industri pengolahan yang terlihat
menonjol di Desa Limbung adalah usaha pengolahan daging kepiting
yang mayoritas tenaga kerjanya perempuan. Demikian pula KRT
yang bekerja di sektor industri tersebut didominasi oleh KRT
perempuan (berstatus janda) yang bekerja pada usaha pengolahan
daging ketam, anyaman untuk atap rumah, dan membuat makanan
kecil. Usaha –usaha industri kecil dan rumah tangga yang cenderung
memberikan upah rendah dan diperkirakan belum dapat
meningkatkan pendapatan pekerja13.
Tabel 4.2 juga memperlihatkan, pada tahun 2008 tidak ditemukan
KRT yang bekerja di sektor jasa kemasyakatan yang pada tahun 2006
berjumlah empat orang. Keterangan yang diperoleh dari masyarakat
menunjukkan bahwa responden yang semula bekerja pada sektor jasa
kemasyarakatan telah memasuki usia pensiun dan pindah ke luar
desa, sedangkan pengganti responden bekerja di luar sektor tersebut.

4.1.2. Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan


Kapasitas penangkapan sebagian besar nelayan di Indonesia masih
rendah. Penggunaan dan sarana-prasarana penangkapan sumber daya

13
Besar penghasilan dari sektor industri pengolahan kepiting tersebut
tergantung pada hasil kerja kelompok dengan sistem upah borongan. Pabrik
ketam terbesar mempunyai tiga kelompok dengan anggota per kelompok
(meja) antara 6-8 orang. Sedangkan dua usaha industri ketam lainnya hanya
mempekerjakan tenaga kerja masing-masing 5 orang dan 8 orang.
100 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
laut umumnya berupa perahu motor (dan bahkan perahu tanpa
motor/sampan), demikian pula alat tangkap yang digunakan masih
sederhana. Keadaan ini berdampak terhadap pendapatan dari kegiatan
kenelayanan yang rendah.
Analisis pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan dalam
tulisan ini didasarkan pada data hasil survei rumah tangga yang
memperoleh penghasilan dari kegiatan kenelayanan. Besar
pendapatan dihitung dari semua pendapatan anggota rumah tangga
yang bekerja pada sub-sektor perikanan tangkap/laut, baik berasal
dari pekerjaan utama maupun tambahan. Di antara 100 rumah tangga
responden, terdapat sebanyak 79 rumah tangga yang mempunyai
penghasilan dari kegiatan kenelayanan. Jumlah rumah tangga tersebut
menjadi lebih sedikit pada saat musim pancaroba (68 rumah tangga)
dan ombak kuat (38 orang). Sedikitnya jumlah rumah tangga yang
mendapat penghasilan dari kegiatan kenelayanan pada musim ombak
kuat berhubungan dengan cukup banyaknya nelayan yang
menghentikan aktivitas melaut, karena mereka hanya mempunyai
kapal motor bermesin kecil atau sampan yang tidak dapat menembus
ombak besar.
Tanpa memperhitungkan musim angin, data pada Tabel 4.2
memperlihatkan rata-rata pendapatan rumah tangga dari kegiatan
kenelayanan sebesar Rp 967.200, atau lebih besar dari nilai upah
minimum Provinsi Kepulauan Riau yang sebesar Rp 833.000,- .
Pendapatan tersebut mengalami peningkatan sekitar 23,2 persen
dalam kurun waktu 2006-2008 (lihat Gambar 4.2). Pendapatan dari
kegiatan kenelayanan yang cenderung membaik juga terlihat dari
angka median yang meningkat tajam. Bahkan pada tahun 2008, besar
median hampir mendekati angka rata-rata pendapatan,
mengindikasikan bahwa semakin banyak rumah tangga nelayan yang
pendapatannya mengalami kenaikan.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 101
Gambar 4.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per
Bulan Dari Kegiatan Kenelayanan, Desa
Limbung, Kabupaten Lingga, Tahun 2006 dan
2008

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu


Karang, PPK-LIPI 2006 dan Survei BME Aspek
Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2008
Pendapatan rumah tangga nelayan sangat bergantung pada musim
angin. Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada musim teduh
(gelombang lemah) adalah paling tinggi dibandingkan dengan
pendapatan rata-rata pada musim pancaroba dan musim gelombang
kuat. Demikian pula statistik pendapatan lainnya (median, pendapatan
maksimum dan minimum), juga menunjukkan angka lebih tinggi
dibandingkan dengan dua musim lainnya. Keadaan ini terjadi karena
pada musim teduh nelayan dapat melaut dua kali per hari dengan
menggunakan beberapa jenis alat tangkap. Pada musim ini semua
nelayan turun ke laut. Meskipun terjadi penurunan harga jual, tetapi
selain kepiting/ketam sebagai hasil tangkapan utama, nelayan juga
sering memperoleh berbagai jenis ikan, sehingga penjualan hasil
tangkapan dapat memberikan pendapatan lebih besar dibandingkan

102 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
dengan dua musim lainnya (gelombang kuat dan pancaroba). Harga
jual sedikit menurun, tetapi karena hasil tangkapan tergolong banyak,
maka pendapatan yang diperoleh nelayan juga cukup besar, seperti
diungkapkan oleh salah seorang nelayan berikut ini.
“...............pada musim teduh, banyak ketam dan
ikan yang dapat ditangkap nelayan, tapi harga
turun. Tapi ketam bisa dijual kemana saja dan
turunnya (harga) juga tidak banyak. Di sini ada
tiga PT. Kita jual kemana kita mau. Kalau jual
ikan bisa ke kapal yang datang dari Pancur, ke
penampung di sini juga bisa, terserah kita mau
kemana. Harganya memang lebih murah
dibandingkan dengan jualan ikan pada saat angin
ribut (musim angin kencang), tapi karena
hasilnya lebih banyak, dapat uangnya juga lebih
banyak.”
Pendapatan rumah tangga nelayan pada musim pancaroba lebih
rendah daripada pendapatan pada musim teduh, tetapi lebih tinggi
dibandingkan musim gelombang kuat (lihat Gambar 4.2). Perubahan
pendapatan dari kegiatan kenelayanan menurut perubahan pada
musim tersebut berhubungan dengan frekuensi melaut dan jangkauan
wilayah tangkap. Pada musim pancaroba, kegiatan kenelayanan
dilakukan dengan memperhitungkan kondisi angin yang sewaktu-
waktu dapat berubah cepat, sehingga mengurangi waktu melaut.
Sedangkan kegiatan melaut pada musim ombak kuat sangat jauh
berkurang dengan jangkauan wilayah tangkap sangat terbatas,
sehingga hasil tangkapan biasanya hanya dapat dipakai untuk
memenuhi kebutuhan sendiri.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 103
Gambar 4.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari
Kegiatan Kenelayanan, Desa Limbung,
Kabupaten Lingga, 2008

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi


Terumbu Karang, PPK-LIPI 2006 dan Survei
BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2008
Pendapatan dari kegiatan kenelayanan cenderung meningkat selama
periode tahun 2006-2008 (Tabel 4.3). Kecuali pendapatan
maksimum14, semua statistik pendapatan menunjukkan adanya
peningkatan pendapatan pada setiap musim. Perubahan pendapatan
menurut musim tampak konsisten pada tahun 2006 maupun 2008
(Tabel 4.3), yaitu pendapatan paling besar diperoleh pada musim
teduh/ombak lemah, terendah pada musim ombak kuat, sedangkan
pada musim pancaroba berada di antara musim teduh dan ombak
kuat. Tren tingkat pendapatan selama periode 2006-2008 juga
menunjukkan, pada musim ombak lemah terjadi kenaikan pendapatan
paling tinggi (45,7 persen). Kenaikan rata-rata pendapatan pada
musim ombak kuat adalah 15,4 persen, atau kira-kira tiga kali lipat

14
Penurunan pendapatan maksimum kemungkinan berhubungan dengan
pergantian responden (yaitu dari seorang nelayan pemilik beberapa kelong
bilis dengan nelayan lain yang kondisi ekonominya lebih rendah), karena
menolak untuk diwawancara.
104 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
lebih besar daripada kenaikan rata-rata pendapatan pada musim
pancaroba (4,7 persen). Tren kenaikan pendapatan yang cukup tinggi
pada musim ombak kuat tersebut menggambarkan adanya
peningkatan kapasitas penangkapan nelayan, karena pada musim
ombak kuat hanya nelayan yang mempunyai perahu motor bermesin
cukup besar ( >15 PK) yang dapat melakukan aktivitas melaut.
Kenaikan pendapatan rumah tangga nelayan pada musim ombak kuat
cenderung dialami oleh rumah tangga yang berpendapatan kurang
dari Rp 1 juta (lihat Tabel 4.4).
Tabel 4.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut
Musim, Desa Limbung, Kabupaten Lingga Utara, Tahun 2006 dan 2008
(Rupiah).
Musim

Ombak Lemah Pancaroba Ombak Kuat


Pendapatan 2006 2008 2006 2008 2006 2008

Rata-rata 1.236.400 1.802.100 839.500 879.050 561.500 647.850

Median 750.000 1.500.000 500.000 650.000 310.000 500.000

Minimum 50.000 300.000 45.000 150.000 25.000 100.000


Maksimum 7.200.000 6.750.000 9.900.000 3.900.000 5.100.000 3.000.000

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2006 dan
Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2008

Perubahan pendapan yang lebih baik juga terlihat dari angka median
pendapatan yang meningkat, sebaliknya pendapatan minimum
cenderung menurun. Meskipun demikian, masih banyak rumah
tangga nelayan yang mempunyai pendapatan rumah di bawah rata-
rata pendapatan, yaitu ditunjukkan oleh angka median yang masih
berada di bawah nilai rata-rata pendapatan, baik pada musim
teduh/ombak lemah, pancaroba maupun ombak kuat.
Data distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan
musim menunjukkan perbedaan perubahan pendapatan menurut
musim angin. Secara umum terjadi kenaikan pendapatan pada
kelompok rumah tangga nelayan yang memiliki besar pendapatan di
bawah angka rata-rata pendapatan. Namun demikian, perubahan
pendapatan ke arah yang lebih baik paling jelas terlihat pada musim
ombak lemah dibandingkan dengan dua musim lainnya. Tabel 4.5

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 105
memperlihatkan persebaran rumah tangga yang cenderung merata
pada kelompok pendapatan ke dua, ke tiga dan ke empat terbawah
(Rp 500 - 999 ribu, Rp 1 juta-1,4 juta, dan Rp 1,5- Rp 1,9 juta).
Sedangkan pada musim pancaroba dan ombak kuat, persentase rumah
tangga nelayan berdasarkan kelompok pendapatan cenderung terpusat
pada dua kelompok pendapatan terendah (< Rp 500 ribu dan Rp 500 -
999 ribu). Perbedaan ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa
kegiatan kenelayanan pada musim teduh dapat dilakukan dengan
maksimal, sehingga pendapatan nelayan juga lebih besar. Apalagi
dalam dua tahun terakhir tampaknya terjadi peningkatan
pemilikan/penguasaan alat tangkap, khususnya bubu ketam, yang
dioperasikan terus-menerus selama musim teduh dan umumnya selalu
menghasilkan setiap pagi dan sore hari, sehingga berkontribusi
terhadap besarnya pendapatan rumah tangga pada musim ini. Namun
demikian, pada musim pancaroba dan ombak kuat, pendapatan
mereka diperkirakan turun pada kelompok pendapatan yang lebih
rendah, karena frekuensi dan waktu melaut berkurang. Data pada
Tabel 4.5 menggambarkan keadaan tersebut, yaitu persentase rumah
tangga pada kelompok pendapatan terendah (< Rp 500 ribu) jauh
lebih tinggi dibandingkan pada musim ombak lemah.
Tabel 4.4. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan dan
Musim, Tahun 2006 dan 2008 (%)

Pendapatan Musim
(‘000 rp) Ombak Lemah Pancaroba Ombak Kuat
2006 2008 2006 2008 2006 2008
< 500 25,3 2,7 47,1 31,9 68,4 46,6
500 – 999 35,4 24,0 32,4 37,7 21,0 41,4
1.000 – 1.499 7,6 22,7 8,8 13,0 5,3 6,9
1.500 – 1.999 11,4 18,7 7,4 8,7 2,7 1,7
2.000 – 2.499 10,1 13,3 0,0 4,3 0,0 0,0
2.500 – 2.999 2,5 8,0 0,0 1,4 0,0 0,0
3.000 – 3.499 1,3 0,0 0,0 1,4 0,0 3,4
> 3.500 6,3 10,7 4,4 1,4 2,6 0,0
Jumlah 100 100 100 100 100 100
(N) (79) (75) (68) (69) (38) (42)
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2005 dan
Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2007

106 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Data tren pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan juga
menunjukkan, kenaikan persentase rumah tangga pada kelompok
pendapatan tinggi (> Rp 2,5 juta) terjadi pada musim teduh/ombak
lemah. Kenaikan proporsi rumah tangga yang memiliki pendapatan
tinggi pada musim teduh tersebut kemungkinan berhubungan dengan
bertambahnya rumah tangga yang memiliki kelong bilis yang
biasanya dioperasikan pada musim teduh. Sebaliknya, pada musim
pancaroba dan ombak kuat, rumah tangga nelayan pada kelompok
pendapatan tinggi tersebut tampaknya juga mengalami penurunan
pendapatan. Hal ini diindikasikasikan oleh peningkatan persentase
rumah tangga nelayan pada kelompok pendapatan Rp 2,5 – Rp 2,9
juta dan Rp 3,0 – Rp 3,4 juta, sebaliknya terjadi penurunan persentase
rumah tangga nelayan pada kelompok pendapatan tertinggi (> Rp 3,5
juta) yang cukup besar. Dengan perkataan lain terjadi pergeseran
kelompok rumah tangga nelayan dari kelompok pendapatan tertinggi
ke kelompok pendapatan lebih rendah.

4.2. FAKTOR PENGARUH PENDAPATAN RUMAH TANGGA


Perubahan pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian, yaitu di
Desa Limbung, Kabupaten Lingga, dipengaruhi oleh faktor internal,
eksternal dan struktural, yang saling terkait satu dengan yang lain.
Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pendapatan
rumah tangga adalah kebijakan/program/aturan pemerintah dan
lembaga lain, misalnya Program COREMAP maupun program-
program pembangunan lainnya. Sedangkan faktor-faktor eksternal
yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan perubahannya
antara lain permintaan sumber daya laut, akses pemasaran, musim,
dan degradasi sumberdaya pesisir/laut. Fator internal meliputi semua
faktor yang ada dalam diri dan lingkungan masyarakat setempat,
antara lain teknologi penangkapan, wilayah penangkapan, biaya
produksi, dan kualitas sumber daya nelayan.

4.2.1. Pengaruh Program COREMAP dan Program Lainnya:


Faktor Struktural
Tujuan COREMAP fase II yang berlangsung selama periode 2005 –
2010 adalah untuk mengembangkan sistem pengelolaan terumbu
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 107
karang, memberdayakan dan mendukung masyarakat dalam
pengelolaan terumbu karang dan ekosistem terkait secara
berkelanjutan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir di Indonesia. Pelaksanaan COREMAP di
Kabupaten Lingga, yaitu di tujuh desa (salah satunya adalah Desa
Limbung) telah dimulai sejak fase I dan dilanjutkan pada fase II.
Kegiatan COREMAP diawali dengan sosialisasi di tingkat kabupaten
dan desa, disamping pembentukan beberapa kelompok masyarakat
(pokmas). Program ini terus berusaha mendorong dan meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengorganisir diri, termasuk
menentukan pilihan kegiatan pembangunan di daerahnya secara
musyawarah dengan mengacu pada azas COREMAP II (yaitu dari,
oleh, dan untuk masyarakat) (DKP, 2007).
Pada saat survei BME Sosial Ekonomi dilakukan, kegiatan
COREMAP II telah berlangsung selama tiga tahun. Beberapa
kegiatan untuk mencapai tujuan COREMAP telah dilakukan,
meskipun sebagian diantaranya masih belum memberikan dampak
positif, karena berbagai kendala. Berikut ini dibahas capaian dan
kendala yang dihadapi selama pelaksanaan program. Data maupun
informasi yang berasal dari hasil survei BME sosial ekonomi tersebut
dapat dimanfaatkan oleh komponen CBM (community based
management) untuk perbaikan implementasi COREMAP selanjutnya.
Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang merupakan target
pelaksanaan COREMAP II dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan penduduk di lokasi Desa Limbung tampaknya masih
sangat terbatas. Walaupun telah terbentuk enam (6) pokmas UEP,
hanya terdapat satu pokmas yang sudah berjalan, yaitu pokmas jender
yang melakukan kegiatan usaha industri rumah tangga. Dengan modal
usaha sebesar Rp 500 ribu per kelompok dengan anggota 16 orang15,
15
Walaupun mengatasnamakan pokmas, pada kenyataannya kegiatan usaha
dilakukan secara individu. Dari satu pokmas yang beranggotakan sebanyak
16 orang, kemudian dibagi menjadi empat (4) kelompok,. Masing-masing
kelompok mendapat bantuan modal Rp 100 ribu yang kemudian dibagikan
kepada empat orang anggota. Uang sebesar Rp 25 ribu tersebut dipakai
sebagi modal usaha membuat kue kering (mereka menyebutnya epuk-epuk)
atau kerupuk ikan.
108 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
maka kegiatan UEP yang baru berjalan kira-kira empat (4) bulan
sebelum pelaksanaan survei BME Sosek, dampak kegiatan ini
terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga belum terlihat nyata.
Meskipun demikian, ketua dan salah seorang anggota pokmas jender
tersebut mengatakan bahwa kegiatan UEP dapat membantu dalam
memberikan kegiatan produktif bagi anggota pokmas yang jumlahnya
masih terbatas pada beberapa orang.
Dampak positif lain yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya
COREMAP adalah fasilitas (kemudahan) dalam melakukan kegiatan
melaut, yang secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan
pendapatan rumah tangga nelayan. Penentuan daerah perlindungan
laut (DPL) yang dimotori oleh COREMAP dengan partisipasi
masyarakat setempat, membuat nelayan tidak lagi berani melakukan
penangkapan di kawasan tersebut dan juga tidak menggunakan alat-
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, misalnya parit gamat yang
sebelumnya sering digunakan untuk mencari teripang. Lebih-lebih
dengan dikeluarkannya peraturan desa (Perda) tentang larangan
penggunaan alat-alat tangkap yang merusak yang juga difasilitasi oleh
COREMAP fase I, masyarakat nelayan menjadi berani untuk
melakukan protes jika ada nelayan setempat dan luar desa yang
melanggar aturan tersebut. Menurunnya atau bahkan tidak adanya lagi
penggunaan alat-alat tangkap yang merusak, demikian pula tidak
dilakukannya penangkapan SDL di lingkungan DPL, menyebabkan
tekanan terhadap ekosistem terumbu karang dan kekeruhan air laut
semakin berkurang, sehingga meningkatkan populasi sumber daya
laut, termasuk ikan bilis yang tidak bisa hidup di lingkungan air
keruh. Informasi yang diperoleh dari FGD di Dusun Seranggas
menggambarkan semakin meningkatnya ketersediaan ikan bilis,
seperti diungkapkan sebagai berikut:
“.....hasil kelong sejak COREMAP II jadi baik lagi,
karena ada larangan penggunaan alat tangkap yang
merusak, seperti parit gamat untuk cari teripang. Parit
gamat buat air jadi keruh dan teri tak mau masuk (ke
kelong). Sekarang orang yang mampu pada cacak
(memasang) baru, jadi kelong makin banyak. Tak apa-

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 109
apa mereka pada nambah, karena lokasinya besar
(luas), soalnya tempatnya di laut.”
Pengamatan di wilayah penangkapan nelayan Desa Limbung
memperkuat semakin banyaknya keberadaan ikan bilis di perairan
tersebut, ditunjukkan oleh semakin banyaknya jumlah kelong bilis
pada saat ini dibandingkan dua tahun yang lalu. Dampak lanjutan dari
peningkatan populasi SDL adalah bertambahnya hasil tangkapan,
yang selanjutnya meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan.
Kondisi ini akan semakin baik apabila pokmas pengawasan (reef
watcher) yang sudah terbentuk dapat segera melakukan aktivitasnya.
Menurut sejumlah informan, pokmas pengawasan belum aktif dalam
melakukan kegiatan karena belum memiliki peralatan (kapal motor,
bahan bakar minyak, lampu sorot, dan atribut untuk tanda batas DPL),
padahal anggota pokmas kebanyakan berasal dari dusun yang
letaknya jauh dari lokasi dpl. Meskipun pada COREMAP fase I
pernah ada kegiatan pengawasan, dengan berhentinya program ini
selama kurang lebih tiga tahun berdampak pada rusak/hilangnya
peralatan, sarana dan atribut kawasan perlindungan laut.
Kemudahan dalam kegiatan melaut lainnya adalah bantuan
infrastruktur yang berupa pembangunan tambatan perahu (dermaga).
Keberadaan fasilitas ini sangat membantu nelayan, khususnya di
Dusun Air Berani dan Seranggas, yang selama ini hanya
memanfaatkan tambatan perahu pribadi atau swadaya dengan kondisi
sangat sederhana. Manfaat keberadaan tambatan perahu bantuan
COREMAP ini tidak hanya dirasakan oleh nelayan, tetapi juga
masyarakat lainnya (setempat dan luar desa) yang akan menyeberang
dari dan ke dusun lainnya di Desa Limbung atau bahkan ke
kecamatan lain, misalnya Penaah.
Selain COREMAP, termasuk dalam faktor eksternal yang mungkin
berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Desa
Limbung antara lain Program Bantuan Dana Penguatan Modal dari
Kantor Sumber Daya Alam (KSDA) Kabupaten Lingga, yang sumber
dananya berasal dari tingkat provinsi. Program ini dimulai tahun 2006
(tetapi di Desa Limbung baru berjalan pada awal tahun 2007) yang
ditujukan pada nelayan dan pembudidaya di Kabupaten Lingga, tetapi
20 persen dari total anggaran ditujukan untuk wilayah COREMAP
110 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
(wawancara di KSDA Kabupaten Lingga). Lebih lanjut dikemukakan
bahwa penyaluran dana dilakukan oleh salah satu koperasi di
kabupaten ini yang merupakan rekanan KSDA, sedangkan KSDA
bertindak sebagai pendampingan teknis. Sepertihalnya dengan
persyaratan untuk mendapatkan kredit, calon peminjam harus
memiliki agunan yang berupa sertifikat tanah atau surat BPKB.
Persyaratan semacam ini sulit dipenuhi oleh nelayan di Desa
Limbung, karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki
tanah/kendaraan sebagai agunan. Akibatnya, penerima program di
Desa Limbung adalah nelayan pemodal besar dan penampung.
Meskipun demikian, nelayan kecil juga mendapat keuntungan/
manfaat dari bantuan pinjaman program tersebut. Hal ini karena
kredit usaha yang diperoleh penampung, biasanya dipinjamkan
kepada anak buah mereka dalam bentuk alat-alat tangkap yang dapat
dibayar secara kredit pada saat nelayan menjual hasil tangkapan.
Informasi dari beberapa nelayan Desa Limbung juga menunjukkan
adanya peningkatan peminjaman alat-alat tangkap (umumnya berupa
bubu ketam) kepada penampung. Pengamatan di wilayah
penangkapan nelayan memperkuat informasi tersebut, yaitu hampir di
sepanjang pantai di lingkungan perairan Desa Limbung dapat
ditemukan bubu ketam dalam jumlah banyak. Kondisi ini tentunya
akan berkontribusi terhadap peningkatan hasil tangkapan yang
selanjutnya berdampak terhadap kenaikan pendapatan. Bahkan,
nelayan yang mepunyai modal cukup juga dapat meminjam kepada
penampung yang mendapat Program Bantuan Dana Penguatan Modal
dari Kantor Sumber Daya Alam (KSDA) Kabupaten Lingga tersebut
untuk cacak kelong bilis yang memerlukan modal cukup besar.
Program pemerintah lain yang diimplementasikan di Desa Limbung
yang memberikan kontribusi tidak langsung terhadap peningkatan
pendapatan adalah pembangunan perbaikan dermaga dengan dana
APBD melalui proyek Dinas Kimpraswil Kabupaten Lingga. Pada
saat survei BME Aspek Sosial Ekonomi, pembangunan sarana ini
masih dalam proses penyelesaian, sehingga belum dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Ketersediaan dermaga ini akan
memfasilitasi masyarakat Desa Limbung yang bertipologi daerah

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 111
pesisir dan kepulauan dalam melakukan kegiatan ekonomi, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan.

4.2.2. Perubahan Pendapatan Karena Faktor Internal


Peningkatan pendapatan rumah tangga selama dua tahun terakhir
tampaknya juga tidak terlepas dari pengaruh internal yang melekat
dalam kehidupan masyarakat Desa Limbung. Faktor internal yang
berperan penting dalam mempengaruhi peningkatan pendapatan
rumah tangga adalah perubahan teknologi penangkapan dan modal
melaut, serta peningkatan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja.
Teknologi penangkapan merupakan salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Perkembangan teknologi
penangkapan di lingkungan masyarakat nelayan di Desa Limbung
terlihat nyata dalam peningkatan jumlah dan perubahan jenis alat
tangkap. Wawancara mendalam dengan beberapa nelayan, tokoh
desa, dan penampung, serta pengamatan di wilayah penangkapan
menggambarkan fenomena perkembangan teknologi penangkapan di
Desa Limbung. Teknologi penangkapan yang berubah drastis dalam
dua tahun terakhir (2006-2008) adalah alat tangkap kepiting/ketam,
yaitu dari jaring menjadi bubu. Telah dikemukakan sebelumnya,
rumah tangga pemilik bubu ketam meningkat lebih dari tiga kali lipat
dalam dua tahun terakhir. Hasil survei BME Aspek Sosial Ekonomi
2008 memperlihatkan, rata-rata pemilikan bubu ketam kira-kira 35
buah dengan pemilikan terendah 10 buah dan tertinggi 92 buah.
Perubahan alat tangkap ketam tersebut disebabkan karena bubu lebih
murah dan mudah dalam pengoperasian, dibandingkan dengan
jaring16. Bubu ketam juga dapat dipakai sepanjang musim, meskipun

16
Harga bubu ketam di tingkat penampung pada saat survei dilakukan
(tahun 2008) sekitar Rp 600 ribu untuk 25 buah. Pada umumnya nelayan
membeli bubu di penampung dengan cara kredit yang pembayarannya
dilakukan pada saat menjual hasil tangkapan. Ukuran dan berat bubu ketam
cukup ringan, sehingga mudah untuk dioperasionalkan, bahkan jenis alat
tangkap ini juga menarik kaum perempuan untuk ikut melaut yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan.
112 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
pada musim ombak besar pemakaian alat ini jauh berkurang. Salah
seorang nelayan di Dusun Centeng, Desa Limbung mengambarkan
alasan kenapa nelayan di desa ini pada umumnya menggantikan
jaring ketam menjadi bubu ketam, seperti berikut.
“...............pasang bubu ketam tak pakai musim,
tergantung keberanian saja. Bubu juga mudah dibeli
jadi, tidak suah buat sendiri, paling mengganti kawat
yang rusak. Perempuan juga bisa pakai, karena tidak
berat. Makanya sekarang ibu-ibu di sini juga ada yang
pergi melaut”.
Menurut sejumlah nelayan lainnya, penggunaan bubu lebih banyak
menghasilkan ketam daripada jaring yang digunakan dua tahun yang
lalu, sehingga hasil tangkapan juga semakin bertambah17. Melaut
dengan menggunakan bubu ketam yang dilakukan di kawasan pantai
juga tidak perlu mengeluarkan biaya operasional (BBM maupun
ransum), karena hanya menggunakan sampan dan dalam waktu paling
lama dua jam. Hanya nelayan yang mencari ketam hingga agak ke
tengah dan menggunakan perahu motor memerlukan biaya
operasional, tetapi hasil tangkapan juga lebih banyak daripada mereka
yang mencari ketam di kawasan pantai. Peningkatan hasil tangkapan
ketam akibat perubahan alat tangkap dari jaring ke bubu tampaknya
berkontribusi cukup besar terhadap peningkatan pendapatan dalam
dua tahun terakhir.
Perubahan teknologi penangkapan lainnya yang diperkirakan juga
mempunyai kontribusi terhadap peningkatan rata-rata pendapatan
rumah tangga di Desa Limbung adalah pertambahan jumlah
pemilikan kelong bilis. Telah dikemukakan sebelumnya, rumah
tangga yang mempunyai kelong bilis terus bertambah dalam dua
tahun terakhir, yaitu hampir mencapai dua kali lipat. Kelong bilis
harus ditempatkan di wilayah tangkap yang agak ke tengah yang
berarti memerlukan modal usaha cukup besar. Namun demikian,

17
Pemasangan dan pengangkatan bubu ketam dilakukan pagi dan sore hari.
Tidak semua bubu terisi ketam, tetapi setiap melaut sering memperoleh hasil
yang dijual ke penampung atau pabrik ketam.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 113
pendapatan dari hasil kelong juga terhitung tinggi, karena
menghasilkan setiap hari selama bulan gelap (sekitar 20 hari/bulan
pada musim angin teduh/lemah dan terkadang pancaroba). Dengan
demikian, bertambahnya pemilikan kelong bilis di antara nelayan di
Desa Limbung berkontribusi terhadap peningkatan rata-rata
pendapatan rumah tangga secara keseluruhan.
Selain teknologi penangkapan, pertambahan jumlah anggota rumah
tangga yang bekerja juga berkontribusi terhadap peningkatan rata-rata
pendapatan rumah tangga. Data survei menunjukkan, pada tahun
2006 rata-rata jumlah ART yang bekerja hanya satu orang, meningkat
menjadi antara 1-2 orang. Tambahan ART yang baru mulai bekerja
pada dua tahun terakhir ini diantaranya adalah perempuan dan anak-
anak yang bekerja sebagai nelayan bubu ketam18, dan sebagian
lainnya bekerja di sektor jasa kemasyarakatan (guru honor) dan
industri pengolahan ketam.

4.2.3. Perubahan Pendapatan karena Faktor Eksternal


Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat pendapatan
rumah tangga di Desa Limbung meliputi musim angin (iklim),
permintaan dan pemasaran SDL. Berikut dibahas pengaruh eksternal
terhadap perubahan rata-rata pendapatan rumah tangga di Desa
Limbung.

Musim angin/iklim
Pengaruh musim/iklim terhadap tingkat pendapatan nelayan sangat
besar. Walaupun SDL selalu tersedia sepanjang tahun, hasil
tangkapan sangat sulit diperoleh pada musim angin kencang karena

18
Keterlibatan perempuan dalam pekerjaan sebagai nelayan bubu karena
alat tangkap ini biasanya hanyadipasang/ditempatkan di wilayah
penangkapan yang letaknya tidak jauh dari pantai, sehingga mereka bisa
menggunakan sampan yang didayung sendiri atau dengan bantuan anak.
Mereka juga tidak perlu pergi terlalu lama, sehingga masih bisa melakukan
pekerjaan rumah tangga.

114 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
laut sedang berombak besar. Pada umumnya nelayan hanya
mempunyai kapal motor bermesin kecil, sehingga armada ini hanya
dapat menjangkau wilayah tangkap yang terlindung dan dekat dengan
pantai. Sedangkan nelayan sampan sama sekali tidak bisa melakukan
aktivitas ke laut. Keadaan ini berdampak terhadap sedikitnya hasil
tangkapan, sehingga pendapatan juga tidak besar, meskipun harga
jual SDL lebih tinggi daripada musim teduh. Sebaliknya, harga jual
SDL menurun pada musim teduh, tetapi karena hasil tangkapan
melimpah akibat semua nelayan pergi melaut dengan semua alat
tangkap yang mereka miliki, maka berkontribusi terhadap pendapatan
nelayan yang lebih tinggi daripada musim ombak kuat dan pancaroba.
Seperti terjadi di daerah-daerah lainnya, masyarakat nelayan Desa
Limbung juga merasakan adanya perubahan iklim/musim angin
dalam beberapa tahun terakhir. Menurut beberapa nelayan, musim
angin seperti yang mereka perhitungkan selama ini sudah tidak bisa
lagi menjadi pedoman. Dicontohkan, musim angin barat yang
biasanya terjadi hujan, saat sekarang justru ada panas. Demikian pula
pada musim teduh (angin timur dan selatan) terkadang muncul angin
pancaroba. Namun demikian, perubahan musim di Desa Limbung
tersebut mungkin belum berpengaruh terhadap perubahan pendapatan
nelayan. Data survei BME Sosial Ekonomi di Desa Limbung
menunjukkan adanya tren peningkatan rata-rata pendapatan rumah
tangga nelayan pada setiap musim (lihat Tabel 4.3), tetapi kenaikan
tersebut kemungkinan lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya
(seperti perubahan teknologi, permintaan dan pemasaran hasil SDL)
daripada faktor musim.

Permintaan
Permintaan SDL hasil tangkapan nelayan di Desa Limbung cukup
tinggi di pasar dalam maupun luar negeri. Bahkan permintaan daging
ketam dari Singapura meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun tidak
ada data statistik tentang permintaan daging ketam yang diekspor ke
negara tersebut, bertambahnya industri pengolahan daging ketam di
Desa Limbung dari satu menjadi tiga industri, tetapi skala usaha
masih terbilang usaha kecil, mengindikasikan meningkatnya
permintaan pasar terhadap daging ketam. Salah seorang pengelola
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 115
industri mengemukakan bahwa pasokan daging ketam dari
perusahaan di Daik ke Singapura tidak pernah ada penolakan, bahkan
permintaan cenderung bertambah terus. Merespon permintaan ini,
pihak industri tidak pernah menolak membeli ketam hasil tangkapan
nelayan Desa Limbung, sepanjang memenuhi ukuran standar19.
Keadaan ini mendorong nelayan untuk meningkatkan kapasitas
penangkapan (antara lain dengan memperbanyak pemasangan bubu)
dan mengoptimalkan ART untuk melakukan kegiatan melaut
(misalnya dengan menyertakan isteri/anak) agar dapat menangkap
ketam sebanyak mungkin20. Potensi ketam di perairan Desa Limbung
tergolong cukup besar, didindikasikan oleh dominasi jenis SDL ini
sebagai hasil tangkapan nelayan, terutama pada musim selatan, timur
dan barat. Namun demikian, hasil tangkapan nelayan Desa Limbung
belum dapat memenuhi permintaan pasar Singapura, sehingga pihak
industri pengolahan daging ketam di desa ini juga membeli dari hasil
tangkapan nelayan di luar Desa Limbung, misalnya dari daerah
Tanjung Keriting dan Bukit Harapan. Banyaknya pasokan ketam
tersebut memberikan pekerjaan yang lebih banyak terhadap buruh
industri, sehingga upah yang diperoleh juga semakin besar. Dengan
demikian, tingginya permintaan daging ketam olahan tersebut
memberikan kontribusi terhadap peningkatan rata-rata pendapatan
rumah tangga yang bukan hanya berasal dari penjualan hasil
tangkapan ketam, tetapi juga dari meningkatnya jumlah tenaga dan

19
Industri pengolahan daging ketam menetapkan ukuran (berat) per satuan
ekor ketam menjadi tipe A (super), B (besar), dan C (kecil). Harga ketam
berukuran A lebih mahal daripada ukuran B , sedangan harga termurah
adalah ketam berukuran C.
20
Dampak negatif dari penggunaan bubu ketam adalah tertangkapnya
ketam berukuran kecil (anak ketam) yang selanjutnya akan berakibat pada
berkurangnya populasi ketam di masa depan. Sebagian nelayan melepas
kembali anak ketam tersebut ke laut karena tidak laku untuk dijual, tetapi
kebanyakan membawa pulang anak ketam tersebut untuk dikonsumsi
sendiri.
116 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
upah sebagai buruh industri ketam (penduduk setempat menyebutnya
buruh kopek ketam)21.
Selain ketam, permintaan ikan bilis kering di pasaran Kota Batam dan
Tanjung Pinang cukup besar. Kondisi ini mendorong nelayan Desa
Limbung untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan bilis. Potensi jenis
SDL di perairan Desa Limbung cukup tinggi dan cenderung semakin
banyak dalam dua tahun terakhir. Wawancara mendalam dengan
beberapa nelayan kelong bilis menunjukkan bahwa meningkatnya
ketersediaan ikan bilis dalam dua tahun terakhir ini antara lain karena
tidak ada lagi nelayan yang menggunakan parit gamat, sehingga air
laut menjadi tidak keruh yang sangat kondusif untuk tempat hidup
ikan bilis. Peningkatan populasi ikan bilis di perairan Desa Limbung
tersebut, mendorong nelayan bermodal cukup besar untuk memasang
(dalam istilah lokalnya adalah cacak) kelong baru, sehingga produksi
ikan bilis semakin banyak pula. Kondisi ini berdampak terhadap
peningkatan pendapatan rumah tangga, bukan hanya bagi pemilik
kelong, tetapi juga para buruhnya. Hal ini karena pemilik kelong
biasanya mempunyai buruh untuk menunggu kelong dan mengangkat
jaring, serta buruh membersihkan ikan bilis sebelum dikeringkan.
Permintaan nus (cumi-cumi yang sudah dikeringkan) di pasar
Singapura maupun pasar domestik yang juga cukup besar tampaknya
kurang berpengaruh terhadap perubahan pendapatan rumah tangga di
Desa Limbung. Hal ini karena produksi nus tidak sebanyak ketam dan
ikan bilis. Meskipun cumi-cumi dapat diperoleh di perairan Limbung
(sekitar Batu Putih di Tanjung Takeh, Pulau Buluh atau Pulau
Kojong), tetapi populasinya tidak besar. Untuk mendapatkan cumi-
cumi dalam jumlah cukup banyak, nelayan harus pergi ke wilayah
perairan Pulau Semut di Kecamatan Singkep, sehingga diperlukan

21
Dari tiga industri pengolahan ketam di Desa Limbung pada tahun 2008,
terdapat kira-kira 40-an orang buruh kopek ketam, atau mencapai dua kali
lipat lebih besar dibandingkan dengan tahun 2006 yang jumlahnya sekitar 20
orang. Sedangkan upah buruh industri yang dibayarkan dengan sistem upah
borongan (pekerjaan dilakukan secara berkelompok) juga mengalami sedikit
peningkatan, meskipun besarnya tidak pasti karena tergantung pada
banyaknya daging ketam yang dapat diproduksi oleh kelompok kerja.
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 117
biaya operasional cukup besar. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan
yang melakukan kegiatan penangkapan cumi-cumi (umumnya dari
Dusun Senempek), sehingga kontribusi hasil penjualan terhadap
pendapatan rumah tangga nelayan tidak besar.

Pemasaran
Tingginya permintaan produk SDL hasil tangkapan nelayan Desa
Limbung berdampak pada peluang pasar yang semakin terbuka. Hal
ini diindikasikan dari mudahnya menjual hasil tangkapan untuk jenis
SDL apa saja dan berapapun jumlahnya, serta pada waktu kapan saja.
Hasil tangkapan nelayan Desa Limbung dipasarkan di dalam desa,
umumnya kepada penampung. Setiap dusun terdapat beberapa
penampung yang selalu siap membeli hasil tangkapan nelayan.
Kecuali penampung yang mengkhususkan pada ikan bilis,
penampung di Desa Limbung bersedia membeli semua jenis SDL.
Selain penampung dan pengusaha industri, hasil tangkapan nelayan
juga dapat dijual ke kapal ikan dari Pancur yang datang tiga kali per
minggu ke Desa Limbung.
Pemasaran kepiting/ketam yang merupakan SDL andalan di Desa
Limbung semakin mudah dalam pemasarannya, diindikasikan oleh
bertambahnya jumlah usaha pengolahan daging ketam, seperti telah
dikemukakan sebelumnya. Wawancara dengan dua orang pengelola
industri pengolahan daging ketam menggambarkan adanya peluang
pasar yang masih terbuka luas, terutama ke Singapura. Kondisi ini
tentunya berdampak positif terhadap pendapatan nelayan Desa
Limbung, karena potensi SDL di perairan desa ini sangat tinggi.
Peluang pasar ikan bilis kering dari Desa Limbung, seperti halnya
daerah-daerah lain di Kabupaten Lingga juga sangat luas. Ikan bilis
dari daerah ini dipasarkan di Kota Batam dan Tanjung Pinang, serta
di provinsi sekitar. Harga ikan bilis yang cukup stabil mendorong
nelayan Desa Limbung untuk meningkatkan hasil tangkapan melalui
cacak kelong baru, yang selanjutnya berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan, walau cenderung terbatas pada nelayan yang
mempunyai kondisi ekonomi baik, karena pembuatan kelong
memerlukan modal yang tidak sedikit. Hasil tangkapan lain, seperti

118 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
gonggong yang langsung dikirim ke Kota Batam juga
mengindikasikan bahwa pasaran jenis SDL ini masih terbuka lebar.
Kemudahan dalam pemasaran dalam dan luar negeri untuk semua
jenis SDL hasil tangkapan nelayan tersebut berpengaruh terhadap
perolehan pendapatan rumah tangga. Bahkan dengan meningkatnya
peluang pasar, khususnya ketam, mendorong nelayan untuk
meningkatkan hasil tangkapan melalui perubahan kapasitas
penangkapan dan maksimalisasi tenaga kerja rumah tangga, sehingga
berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 119
120 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. KESIMPULAN

I mplementasi COREMAP II di Kabupaten Lingga telah berjalan


selama empat tahun. Lokasi program yang mengambil desa-desa
sama dengan lokasi COREMAP I merupakan suatu pilihan yang
tepat jika infrastruktur dan kelembagaan masyarakat yang dibentuk
pada COREMAP I masih berfungsi. Pada kenyataannya, hampir
semua desa menghadapi kondisi yang tidak berbeda, di mana hanya
sebagian kecil infrastuktur yang masih dapat dimanfaatkan, itupun
harus dilakukan perbaikan. Sedangkan kelembagaan masyarakat
terkait dengan pengelolaan terumbu karang dan peningkatan
pendapatan masyarakat sudah terhenti sejalan dengan berhentinya
COREMAP I yang sempat mengalami masa vakum kira-kira selama
dua tahun akibat adanya perubahan status wilayah administrasi
pemerintahan dan pengalihan tanggung jawab pengelolaan
COREMAP dari Bappeda Provinsi Riau ke Kantor Sumber Daya
Alam Kabupaten Lingga. Selama pelaksaan COREMAP II yang
dilatarbelakangi oleh nuansa otonomi daerah dan pengalihan
tanggung jawab pelaksana program nasional tersebut, sejumlah
kendala dan persoalan dihadapi yang menyebabkan keterlambatan
dalam pencapaian program dan kegiatan COREMAP.
Persoalan koordinasi, pendanaan, dan keterbatasan sumberdaya
manusia (kuantitas dan kualitas) sangat menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan COREMAP. Persoalan koordinasi dicerminkan
oleh jarangnya pertemuan antar komponen COREMAP maupun
antara anggota dalam suatu komponen. Kendala geografis sering
dikaitkan dengan lemahnya koordinasi. Terpencarnya domisili tempat
kerja dan tempat tinggal anggota komponen dijadikan ‘kambing
hitam’ untuk menutupi buruknya koordinasi antar komponen maupun
anggota komponen COREMAP. Padahal sebagian besar anggota
sudah tinggal dan berdomisili di Kepulauan Lingga. Kelemahan
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 121
dalam koordinasi ini berdampak terhadap rendahnya pemahaman
anggota komponen terkait dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) dalam melakukan kegiatan pengelolaan terumbu karang
melalui COREMAP II, disamping kegiatan yang dilakukan oleh suatu
komponen tidak berkoordinasi dengan komponen lain.
Kendala pendanaan COREMAP II yang mensyaratkan adanya dana
pendamping dari anggaran APBD yang sering turun sangat terlambat,
sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program.
Sejak COREMAP II diimplementasikan, dana pendamping selalu
menjadi hambatan utama, karena pencairan dana baru dapat dilakukan
antara tiga atau dua bulan sebelum penutupan tahun anggaran,
padahal kegiatan tidak bisa dilaksanakan sebelum dana pendamping
dapat dicairkan. Keadaan ini berdampak terhadap pelaksanaan
kegiatan COREMAP di lokasi program yang tidak dapat dilakukan
dengan optimal. Sistem ‘kejar target’ selalu mewarnai pelaksanaan
kegiatan COREMAP di desa/lokasi program, sehingga kualitas hasil
kegiatan sering tidak sesuai dengan persyaratan yang disepakati
dalam lelang dengan pihak ketiga, khususnya pekerjaan-pekerjaan
infrastruktur yang ditangani oleh perusahaan kontraktor.
Keterlambatan dalam pendanaan juga menyebabkan setiap komponen
harus segera melaksanakan program dan kegiatan tanpa berkoordinasi
dengan komponen lain, karena keterbatasan waktu. Akibatnya,
komponen yang satu terkadang tidak mengetahui apa yang dilakukan
oleh komponen yang lain, lebih-lebih kegiatan koordinasi yang
semestinya difasilitasi oleh PIU juga sangat jarang dilakukan.
Bahkan, sejumlah kegiatan yang direncanakan tidak dapat
dilaksanakan, sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap
pencapaian implementasi COREMAP.
Faktor keterbatasan sumber daya manusia yang menghambat dalam
pelaksanaan COREMAP tercermin dari keterbatasan jumlah maupun
rendahnya kualitas pengelola program. Tenaga pengelola COREMAP
yang terbatas dalam jumlah dan kualitas terlihat dari sebagian besar
koordinator komponen dan PIU yang harus memegang jabatan
rangkap, bahkan beberapa di antaranya memiliki lebih dari dua
jabatan, baik jabatan struktural maupun proyek. Keadaan ini tentunya
mempengaruhi kelancaran kegiatan COREMAP yang tidak dapat

122 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
ditangani dengan baik, karena konflik kepentingan antara
mendahulukan COREMAP atau pekerjaan lain yang menjadi
tanggung jawabnya diperkirakan dihadapi oleh mereka yang memiliki
jabatan rangkap. Dalam konteks Kabupaten Lingga dengan potensi
sumber daya alam sangat besar yang cenderung lebih
menguntungkan untuk meningkatkan pembangunan daerah maupun
meningkatkan kesejahteraan ekonomi SDM pengelolanya daripada
COREMAP, maka menjadi hal yang wajar jika implementasi
COREMAP bukanlah menjadi prioritas utama bagi pemerintah
Kabupaten Lingga. Bahkan, terdapat indikasi adanya upaya ekploitasi
penambangan boksit dan pasir besi yang akan dilakukan di lokasi-
lokasi COREMAP. Apabila kegiatan tersebut terlaksana, maka
program nasional pengelolaan dan pelestarian terumbu karang di
Kabupaten Lingga yang telah dilakukan selama ini akan sia-sia, dan
bahkan kondisi terumbu karang semakin mengalam kerusakan parah.
Sejumlah kendala dalam implementasi COREMAP juga dihadapi
pada pelaksanaan kegiatan di lokasi program, termasuk di Desa
Limbung. Sebagaimana dengan kondisi di tingkat kabupaten,
pelaksanaan COREMAP II di Desa Limbung telah dilakukan sejak
fase I, yang kemudian dilanjutkan pada fase II yang pada saat ini
sudah memasuki tahun ke tiga (satu tahun lebih lambat dari
pelaksanaan di tingkat kabupaten). Implementasi COREMAP I tidak
meninggalkan bekas, dalam arti semua kegiatan berhenti sejalan
dengan berhentinya program. Sedangkan kegiatan COREMAP II
yang telah dilakukan di Desa Limbung masih sangat terbatas, itupun
cenderung terkonsentrasi pada kegiatan di salah satu dusun. Terjadi
kecenderungan pada kebanyakan masyarakat yang kurang peduli
terhadap pelaksanaan kegiatan COREMAP yang sudah ada maupun
rencana kegiatan yang akan dilakukan. Hal ini kemungkinan besar
berkaitan dengan kurangnya sosialisai program dan rendahnya
keterlibatan masyarakat luas dalam COREMAP. Kondisi seperti ini
tampaknya bukan semata-mata merupakan kekeliruan masyarakat
Desa Limbung, tetapi juga tidak terlepas dari pengelola COREMAP
Kabupaten Lingga yang menyetujui bahwa fokus kegiatan
COREMAP II hanya pada satu dusun yang terletak di pusat Desa
Limbung. Kegiatan pengawasan yang terjadwal juga jarang dilakukan

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 123
oleh komponen COREMAP, sehingga pelaksanaan program dan
kegiatan cenderung diputuskan oleh masyarakat sendiri, itupun pada
kalangan yang sangat terbatas. Tenaga pendamping lapangan (Field
Fasilitator-FF) yang direkrut oleh pihak ketiga (LSM) hanya ada di
Desa Limbung selama satu bulan, sehingga praktis tidak dapat
melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam membantu masyarakat
untuk menggali usaha-usaha produktif yang dikembangkan,
membentuk kelembagaan COREMAP di tingkat desa, dan kegiatan
penyadaran masyarakat. Tenaga penyuluh lapangan juga cenderung
lebih banyak berada di kantor. Kondisi ini semakin membuat
masyarakat kurang peduli terhadap kelanjutan COREMAP.
Sikap ‘masa bodoh’ kebanyakan masyarakat Desa Limbung terhadap
kegiatan COREMAP II kemungkinan juga disebabkan oleh kinerja
LPSTK maupun tenaga pendamping yang kurang pro-aktif terhadap
masyarakat di luar lokasi binaan COREMAP yang hanya
dikonsentrasikan di satu dusun. Sangat jarang (jika tidak bisa
dikatakan tidak pernah) pengurus LPSTK maupun tenaga
pendamping yang berkunjung ke dusun lain untuk mensosialisasikan
COREMAP, apalagi memberi penyuluhan tentang pentingnya
pengelolaan terumbu karang. Meskipun bukan merupakan lokasi
program, sebagian besar penduduk di dusun lain (misalnya
Senempek dan Air Kelat) juga bekerja sebagai nelayan yang selalu
bersinggungan dengan ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu
tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan COREMAP dapat
menimbulkan kecemburuan sosial yang mungkin juga berdampak
lanjutan terhadap kelancaran kegiatan COREMAP, khususnya dalam
aspek pengawasan dan perlindungan daerah konservasi. Hal ini
disebabkan lokasi program COREMAP dimana pokmas pengawasan
berada justru berjarak paling jauh dengan kawasan konservasi
terumbu karang (daerah perlindungan laut-DPL).
Kelembagaan COREMAP di tingkat desa yang baru dibentuk pada
tahun 2007 yang terdiri dari LPSTK dan tiga pokmas (jender,
produksi dan pengawasan) belum melakukan kegiatan, kecuali
pokmas jender yang mendapat bantuan modal dalam jumlah yang
sangat kecil. Akibatnya kegiatan usaha ekonomi produktif yang
merupakan sasaran program mata pencaharian alternatif (MPA) dari

124 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
komponen PBM masih berhenti dalam usulan kegiatan (proposal).
Hal ini tampaknya berkaitan dengan belum berhasilnya pengurus
LPSTK untuk mendapatkan status sebagai lembaga yang berbadan
hukum, antara lain dengan kepemilikan NPWP.
Di luar kegiatan ekonomi produktif yang baru dilakukan oleh pokmas
jender, program PBM yang telah dilakukan di Desa Limbung adalah
memberikan bantuan di bidang pembangunan infrastruktur (tambatan
perahu dan sarana MCK), disamping bantuan untuk merenovasi
bangunan pondok informasi beserta peralatan pendukung. Bantuan
tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, meskipun
hanya untuk lingkungan masyarakat yang terbatas. Namun demikian,
lokasi tambatan perahu yang cukup strategirsdan berada dalam lokasi
dengan kondisi pantai yang cukup dalam, maka tambatan perahu ini
bukan hanya berfungsi sebagai tambatan perahu nelayan, tetapi juga
dimanfaatkan untuk dermaga penyeberangan antar dusun.
Implementasi COREMAP yang salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat memang belum terlihat nyata
di Desa Limbung. Namun demikian, ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perubahan pendapatan rumah tangga penduduk Desa
Limbung ke arah yang lebih baik. Sumber pendapatan utama rumah
tangga sampel di Desa Limbung berasal dari kegiatan kenelayanan.
Desa Limbung dengan wilayah daratan yang lebih luas dari lautannya
tampaknya belum menjadi pendorong bagi penduduknya untuk
mencari penghidupan dari sumber daya darat, yakni dari lahan
pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar penduduk
menggantungkan kehidupannya pada sumber daya laut (SDL),
terutama dipengaruhi oleh akses yang lebih mudah untuk mencari
penghidupan di laut daripada di daratan. Bekerja melaut sudah
dilakukan secara turun temurun, cepat mendapat uang, karena hasil
tangkapan bisa langsung dijual kepada penampung maupun industri
pengolahan ketam yang tersedia di dalam desa. Walaupun
pendapatan nelayan sangat jauh berkurang pada musim ombak besar,
tetapi adanya bantuan pinjaman barang maupun uang dari
penampung, menjadikan sebagian besar penduduk Desa Limbung
untuk tetap menekuni pekerjaannya sebagai nelayan. Di sisi lain,
‘kemurahan hati’ penampung untuk membantu nelayan pada musim

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 125
sulit ikan dilandasi oleh motif untuk tetap menjaga hubungan kerja
dengan mereka, karena kegiatan ekonomi penampung juga sangat
tergantung pada kegiatan nelayan.
Pendapatan dari kegiatan kenelayanan memang dapat memberikan
penghasilan kira-kira dua kali lipat lebih besar daripada pendapatan
dari sektor pertanian/perkebunan. Namun demikian, kenaikan
pendapatan rumah tangga per bulan dari kegiatan kenelayanan yang
sebanyak 23,2 persen (dari Rp 743.000,- pada tahun 2006 menjadi
Rp 967.200,- pada tahun 2008) masih lebih rendah dibandingkan
dengan kenaikan pendapatan rumah tangga sampel pada umumnya
(termasuk mereka yang bekerja di luar kegiatan kenelayanan) yang
mencapai 30 persen, atau dari Rp 948.300,- per bulan pada tahun
2006 menjadi Rp 1.360.700,- per bulan pada tahun 2008. Keadaan ini
menunjukkan membaiknya kondisi ekonomi penduduk Desa
Limbung, meskipun tidak selalu mengindikasikan perbaikan
kesejahteraan. Hal ini karena kenaikan pendapatan tersebut juga
seiring dengan kenaikan harga barang-barang konsumsi maupun
barang lainnya. Walaupun persentase rumah tangga yang memiliki
pendapatan rendah (kurang dari 500 ribu rupiah per bulan) menurun
cukup besar, yaitu dari 70 persen menjadi 51,5 persen, tetapi sebagian
besar rumah tangga mungkin tidak mengalami perbaikan
kesejahteraan. Hal ini diindikasikan oleh banyaknya rumah tangga
(lebih dari separuh jumlah rumah tangga sampel) yang memiliki
pendapatan di bawah rata-rata (mean).
Meskipun peningkatan pendapatan rumah tangga dari kegiatan
kenelayanan lebih rendah daripada kenaikan pendapatan rumah
tangga sampel pada umumnya, tetapi dampak perubahan pendapatan
tersebut cenderung terlihat cukup meluas di kalangan rumah tangga di
Desa Limbung. Hal ini karena sebagian besar rumah tangga di desa
ini memiliki sumber pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan,
kecuali mereka yang tinggal di Dusun Linau yang menurut rencana
akan menjadi desa pemekaran Desa Limbung. Selain pendapatan
rata-rata rumah tangga yang mengalami kenaikan cukup besar dalam
dua tahun terakhir, semua statistik pendapatan menunjukkan kenaikan
dengan perkecualian pendapatan maksimum. Kenaikan angka
median sangat tajam, dengan angka yang mencapai hampir dua kali

126 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
lipat lebih besar pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2006, sehingga
hampir menyamai besar pendapatan rata-rata. Data empiris ini
mengindikasikan semakin banyak rumah tangga nelayan yang
pendapatannya mengalami kenaikan. Terjadi kecenderungan
peningkatan pendapatan dialami oleh rumah tangga yang
berpendapatan rendah maupun menengah. Data pendapatan minimum
yang meningkat lebih dari dua kali lipat selama kurun waktu 2006-
2008 juga mencerminkan bahwa peningkatan pendapatan rata-rata
cenderung dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan rumah tangga
yang berpenghasilan rendah yang merupakan kelompok mayoritas.
Kenaikan pendapatan dari kegiatan kenelayanan menurut musim
selama periode 2006-2008 menunjukkan, pada musim ombak lemah
terjadi kenaikan pendapatan paling tinggi (45,7 persen), sedangkan
musim ombak kuat sekitar tiga kali lipat lebih besar daripada
kenaikan rata-rata pendapatan pada musim pancaroba (4,7 persen).
Tren membaiknya pendapatan rumah tangga nelayan juga
ditunjukkan oleh angka median pendapatan yang meningkat,
sebaliknya pendapatan minimum cenderung menurun. Namun
demikian, kenaikan pendapatan nelayan di Desa Limbung tersebut
belum dapat menempatkan rumah tangga ke posisi yang
pendapatannya lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata,
diindikasikan oleh angka median yang lebih rendah daripada
pendapatan rata-rata (mean) masih berada di bawah pendapatan, baik
pada musim teduh/ombak lemah, pancaroba maupun ombak kuat.
Data distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan
menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya pendapatan
rumah tangga nelayan pada musim teduh selama kurun waktu 2006-
2008. Penurunan proporsi rumah tangga dengan pendapatan kurang
dari satu juta rupiah dari 60 persen menjadi 27 persen mencerminkan
membaiknya pendapatan rumah tangga. Pada periode sama untuk
rumah tangga dengan kelompok pendapatan sama hanya turun sedikit
pada musim pancaroba (79 persen menjadi 69 persen), dan penurunan
terendah terjadi pada musim ombak kuat (89 persen menjadi 87
persen). Beberapa faktor yang dapat dikelompokkan menjadi faktor
internal, eksternal, dan struktural, mempengaruhi perubahan

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 127
pendapatan dari kegiatan kenelayanan tersebut yang tentunya juga
sangat bergantung pada kondisi musim angin.
Perubahan teknologi penangkapan dalam dua tahun terakhir (2006-
2008) dari jaring menjadi bubu untuk menangkap ketam merupakan
faktor internal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah
tangga. Alat tangkap bubu ketam lebih murah dan lebih mudah
dioperasikan daripada jaring. Bubu yang berukuran relatif kecil dapat
dioperasikan oleh anak-anak maupun perempuan dengan kawasan
wilayah tangkap di sekitar pantai yang dapat dijangkau dengan
sampan, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya BBM. Keterlibatan
anak-anak dan perempuan dalam kegiatan melaut akibat perubahan
alat tangkap ketam tersebut telah meningkatkan rata-rata jumlah
ART yang bekerja. Pada tahun 2006, rata-rata anggota rumah tangga
yang bekerja hanya satu orang, meningkat menjadi antara 1-2 orang
pada tahun 2008.
Walaupun Desa Limbung juga terjadi perubahan musim angin, faktor
ini cenderung bukan merupakan faktor eksernal yang berperan
penting dalam mempengaruhi pendapatan rumah tangga dari kegiatan
kenelayan. Seperti yang umum terjadi, musim angin lemah dengan
kondisi laut sangat teduh merupakan musim panen bagi nelayan Desa
Limbung, sehingga pendapatan rumah tangga pada musim ini paling
tinggi dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh pada musim
pancaroba dan ombak kuat. Dalam dua tahun terakhir terjadi sedikit
perubahan musim yang diindikasikan oleh datangnya angin ribut pada
musim teduh, tetapi fenomena perubahan musim ini belum
berpengaruh terhadap perubahan pendapatan nelayan menurut musim.
Dua faktor eksternal lainnya, yaitu permintaan dan pemasaran.
Sumber daya laut hasil tangkapan nelayan Desa Limbung dapat
tertampung oleh pasar dalam dan luar negeri. Dua jenis SDL tersebut
(terutama ketam) tersedia cukup banyak wilayah perairan Limbung
dan sekitarnya dan dapat ditangkap hanya dengan menggunakan
teknologi penagkapan yang sederhana. Mudahnya pemasaran ketam
dicerminkan pula dengan semakin meningkatnya permintaan daging
ketam yang pengolahannya juga dilakukan di Desa Limbung. Hal ini
diindikasikan bertambahnya jumlah industri pengolahan ketam dari
dua menjadi tiga buah. Meningkatnya peluang pasar, khususnya

128 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
ketam, mendorong nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan
dengan cara mengoptimalkan faktor internal (memaksimalisasi tenaga
kerja yang ada dalam rumah tangga dan meningkatkan/merubah alat-
alat tangkap), sehingga berkontribusi dalam meningkatkan
pendapatan rumah tangga.
Berbedan dengan faktor internal dan eksternal yang memperlihatkan
pengaruh nyata dalam peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan,
faktor struktural belum memperlihatkan kontribusi penting dalam
memperbaiki kesejahteraan nelayan yang diukur dari kenaikan
pendapatan rumah tangga. COREMAP (Coral reef Rehabilitation and
Management Program) yang telah mengembangkan aktivitas usaha
ekonomi produktif melalui pokmas produksi, jender, dan konservasi,
tampaknya juga belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Bantuan modal usaha kepada pokmas jender belum dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, bahkan pendapatan rumah
tangga peserta program. Disamping besar bantuan dalam jumlah tidak
besar, pemanfaatannya yang dilakukan secara perorangan
kemungkinan besar berpengaruh terhadap lambatnya usaha yang
dijalankan oleh anggota pokmas,sehingga manfaat bantuan tersebut
masih terbatas pada terciptanya usaha ekonomi produktif dalam skala
yang sangat kecil. Tanpa adanya tambahan modal dan upaya
mewujudkan usaha kelompok, diperkirakan usaha tersebut tidak akan
bertahan lama, akibat semakin habisnya modal usaha yang hanya
sebesar Rp 100.000,- per kelompok yang beranggotakan empat orang,
sehingga satu orang mendapat bantuan Rp 25.000,-. Sedangkan
bantuan infrastruktur yang berupa pembangunan tambatan perahu
(dermaga) dari COREMAP memberi kemudahan bagi nelayan,
khususnya di Dusun Air Berani dan Seranggas, yang selama ini hanya
memanfaatkan tambatan perahu pribadi atau swadaya dengan kondisi
sangat sederhana. Di luar COREMAP, Program Bantuan Dana
Penguatan Modal dari KSDA Kabupaten Lingga yang dimulai tahun
2007 di Desa Limbung tampaknya menunjukkan kecenderungan
positif dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan.
Meskipun penerima program di Desa Limbung adalah nelayan
pemodal besar dan penampung, nelayan kecil juga mendapat manfaat
dari bantuan pinjaman program tersebut. Hal ini karena kredit usaha

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 129
yang diperoleh penampung kemudian dipinjamkan kepada anak buah
mereka dalam bentuk alat-alat tangkap maupun mesin pompong.
Terpenuhinya kebutuhan alat dan armada tangkap bagi nelayan dalam
jumlah dan kualitas yang baik berkontribusi terhadap peningkatan
hasil tangkapan yang selanjutnya berdampak terhadap kenaikan
pendapatan.

5.2. REKOMENDASI
Berdasarkan temuan kajian BME Aspek Sosial Ekonomi tersebut,
beberapa pemikiran yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar
pertimbangan dalam merespon permasalahan yang dihadapi dan
untuk mengambil tindakan agar program dapat berjalan sesuai dengan
arah dan tujuan yang telah ditentukan adalah seperti berikut ini.
Konsep COREMAP dengan komponennya (CRITC, CBM/PBM,
MCS, PA) yang semestinya merupakan satu tubuh (karena
program setiap komponen harus mendukung komponen yang lain)
tampaknya belum dilakukan dalam pelaksanaan program dan
kegiatan di Kabupaten Lingga. Hal ini jelas berdampak terhadap
kelancaran pelaksanaan program dan kegiatan. Oleh karena itu,
memperkuat koordinasi antar komponen menjadi sangat penting
untuk dilakukan. PIU harus meningkatkan kinerja untuk
mengkoordinir dan memfasilitasi proses pelaksanaan kegiatan dan
target yang harus dicapai oleh masing-masing komponen dalam
mengimplementasikan kegiatan di lapangan. Koordinasi program
yang terjadwal secara teratur diharapkan dapat mempermudah
dalam koordinasi pelaksanaan kegiatan dan menghindari
terjadinya tumpang tindih program antara satu komponen ssatu
dengan lainnya. Disamping itu, koordinasi yang teratur juga
bermanfaat dalam memfasilitasi keterbukaan dan penyediaan
informasi yang dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan
untuk pelaksanaan kegiatan COREMAP di lokasi program.
Dana pendamping COREMAP yang berasal dari APBD perlu
dipercepat pencairannya, agar kegiatan COREMAP tidak selalu
“kejar target” yang juga tidak bisa mencapai target dari aspek
kuantitas, apalagi kualitas. Jika keterlambatan dana pendamping

130 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
terus terjadi jelas akan berpengaruh terhadap usaha peningkatan
tutupan terumbu karang dan peningkatan pendapatan masyarakat,
masing-masing 10 persen pada saat berakhirnya program di
Kawasan Lingga.
Keterbatasan sumber daya manusia dari aspek kuantitas dan
kualitas perlu segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga kegiatan
COREMAP dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan dan tujuan serta sasaran. Namun demikian, jabatan
rangkap tidak menjadi masalah besar, tetapi pengelola
(koordinator dan anggota setiap komponen) harus dapat membagi
waktu dan tidak mengesampingkan salah satu pekerjaan yang
ditanganinya. Selain itu, adanya kecenderungan anggota
komponen yang belum memahami tentang COREMAP,
tampaknya perlu dilakukan kaji ulang terhadap keanggotaan
komponen.
Komponen MCS yang belum menjalankan tugas dan fungsinya
karena persoalan personil, peralatan maupun koordinasi, perlu
penentuan anggota adalah yang berdomisili pada satu lokasi.
Selain itu, agar anggota komponen MCS lebih mengetahui dan
memahami proyek COREMAP yang berbasis masyarakat maka
perlu di antara mereka diikutsertakan pada pelatihan MCS atau
COREMAP. Sedangkan untuk kelancaran tugas sebagai penegak
hukum , kelengkapan peralatan komponen MCS harus disediakan,
meliputi alat navigasi, alat komunikasi antar anggota, kapal patroli
untuk anggota MCS, dan kapal “patroli” nelayan. Pada saat ini
yang tersedia baru kapal patroli nelayan, namun belum
dimanfaatkan untuk kegiatan patroli karena dana operasional
belum tersedia, sedangkan nelayan tidak mampu untuk membiayai
sendiri.
Lambatnya kegiatan penyadaran masyarakat (PA) tentang
pentingnya pengelolaan dan pelestarian terumbu karang tersebut
tampaknya dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi, baik di antara
anggota komponen PA maupun lintas komponen dan PIU sebagai
pimpinan pelaksana proyek COREMAP II. Oleh karena perlu
dilakukan kaji ulang pilihan orang-orang yang terlibat pada
komponen ini. Misalnya dengan memilih anggota komponen yang
K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 131
memahami persoalan masyarakat nelayan, disamping juga
memahami konsep atau teknik penyadaran masyarakat yang tidak
sama antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya.
Program PBM yang telah diimplementasikan di Desa Limbung
belum berjalan baik karena alasan pendanaan maupun ketiadaan
tenaga pendamping (field fasilitator), dapat diatasi antara lain
dengan memperbanyak kunjungan dari anggota komponen atau
tenaga penyuluh untuk memonitor dan sekaligus melakukan
pembinaan kepada pokmas-pokmas.
Sikap kurang peduli terhadap kegiatan COREMAP oleh
masyarakat di Desa Limbung dapat diatasi antara lain dengan
meningkatkan kemampuan pengurus LPSTK untuk berkoordinasi
dengan perangkat desa dan jajaranya (RW dan RT) dalam rangka
mengakomodasikan kepentingan semua masyarakat terkait dengan
pengelolaan dan pelestarian terumbu karang, serta peningkatan
pendapatan penduduk. Hal ini akan berdampak positif terhadap
upaya penyelesaian masalah terkait dengan kegiatan COREMAP
dan memperlancar kegiatan di masa depan.
Kegiatan perlindungan ekosistem terumbu karang sudah dilakukan
dengan memberi tanda pada kawasan konservasi (DPL), tetapi
belum diikuti dengan kegiatan pengawasan. Pembentukan
kelompok pengawasan dengan anggota yang berasal dari dusun
yang jauh dengan lokasi DPL sangat tidak efektif. Oleh karena
itu, melibatkan masyarakat yang tinggal paling dekat dengan
lokasi DPL sangat membantu dalam kegiatan MCS di lokasi
program. Namun demikian, penyediaan atribut-atribut yang lebih
jelas (bukan hanya semacam pelampung/marine eboy) , disamping
juga melalui kesepakatan antara semua masyarakat dan
pemerintahan desa yang kemudian disosialisaikan kepada
masyarakat. Hal ini untuk memperkuat keberadaan pokmas
pengawasan dalam melakukan kegiatannya, terutama dapat
menindak pelanggar.
Upaya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan
PBM di pokmas-pokmas belum menunjukkan hasil nyata karena
bantuan dana masih sangat kecil. Namun demikian, indikasi ke

132 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
arah peningkatan pendapatan terlihat dari dimanfaatkannya
bantuan dana untuk kegiatan produktif pada kelompok jender. Hal
ini menginsyaratkan bahwa mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam Program COREMAP II bukanlah upaya yang
terlalu sulit untuk dilakukan, tetapi harus disertai dengan
konsistensi kegiatan program dan dukungan pengelolaan usaha
pemberdayaan ekonomi penduduk mengingat kualitas SDM yang
masih rendah dan tidak terbiasa bekerja secara berkelompok. Oleh
karena itu, upaya membangun kerjasama diantara kelompok
masyarakat dan mengembangkan kapsitas institusi (termasuk
pemerintah setempat), memobilisasi dan menanamkan sikap
optimis akan pemanfaatan SDL berkelanjutan, dan membagi
secara proporsional berkaitan dengan kewenangan dan tanggung
jawab antara masyarakat dan pengelola Program COREMAP
Bantuan modal usaha melaut (armada dan alat penangkapan)
melalui program kredit lunak kepada nelayan diharapkan dapat
meningkatkan hasil tangkapan (ketam maupun bilis) yang
merupakan sumber daya laut utama di Desa Limbung. Melakukan
kerjasama dengan penampung dan indusri pengolahan ketam yang
selama ini menjalin hubungan kerja dengan nelayan cukup baik,
kemungkinan besar dapat membantu kelancaran pengembalian
dana bantuan, yang kemudian dapat digulirkan kepada nelayan
lain. Namun demikian, kegiatan evaluasi dan memonitorng dari
pengelola program perlu dilakukan agar masyarakat sebagai
kelompok sasaran tetap menjadi penerima manfaat, bukan
penampung/pemilik usaha industri maupun pengelola program.

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 133
134 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Lingga, 2007. Kabupaten Lingga dalam Angka,


2006. Daik: BPS Kabupaten Lingga.
BPS Kabupaten Lingga, 2007. Statistik Pertanian 2006 Kabupaten
Lingga. Daik: BPS Kabupaten Lingga.
CRITC-COREMAP-LIPI. BME Reef Health Monitoring di Lokasi
ADP. Power Point.
CRITCT-LIPI. 2007. BME Ekologi di Kabupaten Lingga. Riset
Agenda.
http:///www.coremap.or.id/research_agenda/article.php?id=4
92
Departemen Kelautan dan Perikanan-Republik Indonesia. 2004.
Sambutan Direktur Jendral Pesisir dan Pulau-Pulau kecil
Pada Peluncuran Proyek Pengelolaan Dan Rehabilitasi
Terumbu Karang dan Pemantapan Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut.
http://www.dkp.go.id/content.php?c=1530.
Dirjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2005. Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu
Karang. Jakarta:
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP, 2007.
Pedoman Umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat
COREMAP II. Jakarta: DKP
Kantor Kecamatan Linga Utara. Catatan Statistik Kantor Kecamatan
Lingga Utara 2008.
Romdiati, H, E.Djohan; dan S.Rahayu. 2008. Data Dasar Aspek
Sosial Terumbu Karang Indonesia: Desa Limbung,
Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga. Jakarta: LIPI
Press

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 135
Ruchimat, Toni (ed), 2007. Panduan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). Jakarta: Dirjen.
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Sutanta, Hari. 2008. Kualitas Terumbu Karang Indonesia Turun
Hingga 50 Persen. http://satudunia.oneworld.net/node/1163
Syahyuti, 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan
dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.

136 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 
Lampiran Tabel 2.1.
Distribusi Persentase Penduduk Sampel Menurut Kelompok
Umur dan Jenis Kelamin, Desa Limbung, 2008

Kelompok Jenis Kelamin Total


Umur
Laki-laki Perempuan
0–4 11,4 6,8 9,2
5– 9 6,8 8,9 7,8
10 – 14 14,5 13,1 13,9
15 – 19 6,8 10,5 8,5
20 – 24 10,0 9,4 9,7
25 – 29 8,2 11,5 9,7
30 – 34 9,5 4,2 7,1
35 – 39 5,5 9,9 7,5
40 – 44 6,4 7,9 7,1
45 – 49 5,5 4,7 5,1
50 – 54 5,5 5,2 5,4
55 – 59 2,7 3,1 2,9
60 – 64 3,2 3,1 3,2
65 + 4,1 1,6 2,9
Jumlah 100,0 100,0 100,0
N 220 191 411

K a s u s K a b u p a t e n L i n g g a | 137
Lampiran Tabel 2.2
Distribusi Persentase Penduduk Menurut Lapangan, Jenis, Status
Pekerjaan Utama Dan Jenis Kelamin, Desa Limbung, Kabupaten
Lingga
Jenis Kelamin
Pekerjaan Laki-laki Perempuan Lk-lk + Pr
Lapangan Pekerjaan:
Perikanan tangkap 73,2 (4) 61,9
Pertanian pangan (1) (0) (1)
Perkebunan 5,5 (2) 5,8
Kehutanan (4) (0) (4)
Perdagangan 8,7 28,6 12,3
Industri pengolahan (3) 42,9 9,7
Jasa kemasyarakatan 4,7 (2) 5,2
Lainnya (2) (1) 1,9

Jenis Pekerjaan:
Profes/Kepm?Adm 5,5 (2) 5,8
Nelayan 72,4 (4) 61,9
Petani 7,1 92) 7,1
Tenaga penjualan 8,7 25,0 11,6
Tenaga industri (3) 42,9 9,7
Tenaga kasar 3,9 (1) 3,9

Status Pekerjaan:
Berusaha sendiri 78,7 39,3 71,6
Berusaha dg 3,9 (1) 3,9
ART/orang lain
Buruh/karyawan 16,5 42,9 21,3
Pekerja keluarga (1) (4) 3,2
Jumlah 100,0 100,0 100,0
N 127 28 155

138 | Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II – Hasil BME 

Anda mungkin juga menyukai